HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH DALAM UNDANG U

A. Pendahuluan
Para pendiri bangsa sejak awal telah sepakat untuk menjadikan
negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang menganut desentralisasi
dalam penyelenggaraan pemerintah, yang kemudian dituangkan dalam
Pasal 18 UUD 1945, “Pembagian Daerah atas Daerah Beasar dan Kecil,
dengan bentuk Pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang
dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sidang
Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam Daerah yang bersifat
Istimewa”.

Dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut : “ oleh

karena Negara Indonesia itu suatu “ eenheidsstaat”, maka Indonesia tak
akan mempunyai Daerah dilingkungannya yang bersifat “Staat” juga.
Daerah Indonesia dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan
dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom
(streek

dan

locale


rechtsgemeenschappen)

atau

bersifat

daerah

Administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan
Undang-Undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan
badan perwakilan daerah, oleh karena daerahpun pemerintah akan bersendi
atas dasar permusyawaratan1.
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 dan penjelasannya tersebut tampak
bahwa

penyelenggaraan

pemerintahan


di

Indonesia

menghendaki

pemencaran kewenangan pemerintahan dengan memberikan otonomi
kepada satuan pemerintahan daerah, bukan pemusatan penyelenggaraan
Pemerintah (sentralisasi).2 Pilihan untuk menggunakan otonomi untuk
menggunakan bagi penyelenggaraan pemerintahan ini sejalan dengan
wilayah Indonesia yang luas dan terpencar dalam berbagai kepulauan
dengan susunan masyarakat yang heterogen.3 Bagir manan mengatakan
bahwa pilihan penggunaan otonomi bukan sekedar pertimbangan teknis
atau pertimbangan praktis. Pilihan itu ditentukan pula oleh pilihan politik,

1 Ridwan, Hukum Administrasi Di Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 50
2 Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, BPFE-Ygyakarta, Yogyakarta,
2004, hlm.15
3 Ibid…hlm.51


pertimbangan pengalaman, pertimbangan kesejarahan, kenyataan social
budaya, dan lain sebagainya.4
Pengaturan mengenai hubungan antara pusat dan daerah dalam
konteks negara kesatuan merupakan suatu yang sangat penting untuk
dikaji dan dianalisis agar tidak terdapat kendala dalam penyelenggaraan
pemerintahan secara keseluruhan. Kelahiran satuan pemerintahan tingkat
daerah adalah konsekuensi adanya konsep pembagian dan pembatasan
kekuasaan

sebagai

salah satu unsure negara hukum.5 Sehingga

Perbincangan tentang hubungan pemerintahan antara pusat dan daerah
senantiasa selalu menjadi perdebatan panjang dinegara Indonesia.Bentuk
perdebatan tentang hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah tersebut selalu tidak lepas dari cara-cara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dalam berbagi wewenang dan kekuasaan.
Dalam literatur tentang pemerintahan sebenarnya hanya dikenal 2 cara
yang menghubungkan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,

yaitu cara pertama dikenal dengan istilah “sentralisasi”, dimana segala
urusan, tugas, fungsi dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan ada
pada

pemerintah

pusat

yang

pelaksanaannya

dilakukan

secara

dekonsentrasi. Cara yang lain adalah dengan “desentralisasi” yang
berkonotasi sebaliknya yaitu urusan, tugas dan wewenang pelaksanaan
pemerintahan diserahkan seluas-luasnya kepada daerah.
Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah dari makalah ini adalah

Bagaimanakah hubungan kewenangan yang cocok antara pusat dan daerah
dengan konsep otonomi yang seluas-luasnya untuk Negara Kesatuan
menurut UUD NRI 1945 ?
B. Pembahasan
1. Hubungan kewenangan yang cocok antara pusat dan daerah
dengan konsep otonomi yang seluas-luasnya untuk Negara
Kesatuan menurut UUD NRI 1945
4 Bagir Manan, Dasar dan DImensi Politik Otonomi dan UU No. 22 Tahun 1999, Makalah,
Bandung, 1999, hlm. 5
5 Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah kajian tentang hubungan keuangan antara
pusat dan daerah, UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm 1.

Untuk mencari hubungan kewenangan yang cocok antara pusat dan
daerah

dengan konsep otonomi yang seluas-luasnya untuk Negara

Kesatuan menurut UUD NRI 1945, maka sangat efektif apabila kita
terlebih dahulu melihat secara singkat bagaimana konsep hubungan
kewenangan yang pernah dan berlaku di negara Indonesia.

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945
Pada saat Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan
pada tanggal 17 Agustus 1945, hukum dasar (konstitusi) yang disepakati
adalah UUD 1945 yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 agustus 1945, didalam konstitusi ini
telah mengamanatkan bahwa bentuk Negara

Kesatuan (eenheidsstaat)

dengan mengedepankan desentralisasi. Kemudian secara tekstual, terdapat
beberapa Pasal yang menjiwai pelaksanaan pemerintahan daerah
diantaranya Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 18, dan secara tersirat
makna yang terkandung dalam Pasal 18, ini adalah dapat ditafsirkan
sebagai pengaturan pemerintahan daerah dengan mengedepankan aspek
desentralisasi.
Bahwa makna yang tersirat dalam Pasal 18 tersebut, secara tidak
langsung

dapat


dijakdikan

piranti

dasar

dalam

penyelenggaraan

pemerintahan daerah, sebab kaidah-kaidah yang terkandung dalam batang
tubuh UUD 1945 tidak mencantumkan secara tersurat mengenai bentuk
dan susunan Pemerintahan Daerah demikian pula sifat otonominya.
Ketidak jelasan ini kemungkinan dijadikan dasar oleh Soepomo untuk
memberikan penafsiran dalam penjelasan UUD 1945, yang member
peluang dalam menentukan bentuk susunan pemerintahan baik bersifat
administrative maupun bersifat otonom. Atas dasar penjelasan inilah yang
memberi peluang bagi pembentuk undang-undang untuk “dapat” berkreasi
dalam melahirkan peraturan perundang-undangan yang berbeda satu sama


lain mengenai bentuk dan susunan daerah dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.6
Undang-undang yang menagtur mengenai Pemerintahan Daerah
yang paling pertama dibentuk adalah UU No.1 1945 tentang Komite
Nasional Daerah (KND) yang hanya berjumlah 6 Pasal yang dimana pada
saat itu pemerintahan daerah masih sangat sederhana sehingga
pemerintahan pusat mempunyai kewenangan yang sangat besar terhadap
pemerintahan daerah (sentralistik), yang dimana Komite Nasional Daerah
(kapala Daerah) ditentukan olah Ir. Soekarno.
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948
Setelah berjalan selama 3 tahun berada dalam kegamangan
penafsiran maka usaha untuk merevisi diwujudkan dalam bentuk aturan
yang legal formal tentang pelaksanaan Pemerintahan Daerah dengan
dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah yang
dimana pemerintah pusat ingin memberikan otonomi luas kepada daerah
namun mewujudkan Pemerintahan Daerah yang berotonomi luas dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat itu mengalami hambatan
yang sangat berat karena pihak Belanda terus menerus melancarkan
tekanan-tekanan diplomatis yang hingga pada akhirnya ditahun 1949
bentuk negara Negara Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi

Republik Indonesia Serikat.dimana UU No.22 tahun 1948 hanya berlaku
di Negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta sebagai
salah satu negara Bagian yang tetap menggunakan UUD 1945 sebagai
landasan konstitusinya.7
3. Undang-Undang No.1 Tahun 1957
Setahun setelah berlakunya konstitusi RIS pada Tahun 1950 bentuk
Negara Republik Indonesia kembali menjadi negara Kesatuan dan
diberlakukan UUDS 1950 sebagai konstitusi Negara Kesatuan Negara
6 R.Soepomo dalam Sekretariat Negara Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI (29 Mei-22 Agustus
1945), dalam Astin Riyanto, Negara Kesatuan, Konsep, Asas dan Aktualisasinya, Yapendo,
Bandung,2010, hlm. 205
7 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2009,
hlm.328

Republik Indonesia. Setelah berlakunya UUDS 1950 muncul semngat baru
yang

ingin

menyelenggarakan


pemerintahan

Daerah

dengan

mengedepankan semangat kedaerahan yang tinggi dan cukup liberal
sehingga mendorong parlemen dan daerah-daerah agar UU No.22 tahun
1948 segera ditinjau kembali yang pada akhirnya setelah melalui proses
yang sangat panjang, lahirlah UU No.1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, yang dimana Undang-Undang ini menganut sistem
otonomi yang riil dan seluas-luasnya yang dimana prinsip otonomi riil
berarti pemberian otonomi kepada daerah harus didasarkan pada faktorfaktor perhitungan dan tindakan atau kebijakan yang benar-benar dapat
menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus
rumah tangganya sendiri.8 Sedangkan seluas-luasnya berarti bahwa kepada
daerah-daerah akan diserahkan urusan sebanyak mungkin untuk menjadi
urusan rumah tangganya sendiri.9
4. Penpres No. 6 Tahun 1959
Berlakunya kembali UUD 1945 melalui dekrit Presiden 5 Juli

1959, menjadi konstitusi Negara RI menggantikan UUDS 1950, akan
membawa konsekuensi perubahan yang sangat luas dalam bidang
ketatanegaraan Indonesia, dan beberapa produk hukum yang berdasarkan
UUDS 1950 yang dikenal dengan demokrasi parlementernya harus
disesuaikan dengan jiwa UUD 1945 yang dengan demikian pemerintah
pusat kembali ke azas sentralisasi, dan tuntutan otonomi seluas-luasnya
bergeser kea rah demokrasi terpimpin sehingga UU Pemerintahan Daerah
yang berlaku ketika itu yaitu UU No.1 Tahun 1957 akan berubah. Maka
pada tanggal 7 September 1959 Presiden mengeluarkan Penetapan
Presiden (Penpres) No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah, yang
bertujuan untuk menyempurnakan UU No. 1 Tahun 1957. Dengan
keluarnya Penpres No.6 Tahun 1959 bukan berarti UU No.1 Tahun 1957
sudah tidak berlaku lagi, karena Penpres ini tidak mencabut UU tersebut,
8 Soehino, Azas-azas Hukum Tata Pemerintahan, Liberty, Yogyakarta, 1948, hlm.50
9 ibid

sehingga secara formal masih tetap berlaku. Dalam Penetapan Presiden
No. 6 Tahun 1959 ini ada beberapa prinsip dasar dalam UU No.1 Tahun
1957 yang tetap dipertahankan tentang Pemerintahan Daerah, yang
disebutkan dalam penjelasannya yaitu pemberian otonom yang seluasluasnya kepada daerah dan sistem rumah tangga nyata. Walaupun
keinginan itu tidaklah begitu sejalan dengan ketentuan dalam Penpres No.6
Tahun 1959 yang memperbesar campur tangan pemerintah daerah
sehingga dapat dikatakan Penpres tersebut mengandung spaning dalam
dirinya.10
5. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965
Setelah dikeluarkannya Undang-undang No.18 Tahun 1965
Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah ini maka semua peraturan
perundang-undangan yang sebelumnya tidak berlaku, baik dalam bentuk
undang-undang maupun penetapan presiden.dan secara umum dikatakan
bahwa Undang-undang ini merupakan undang-undang Pemerintahan
Daerah sebagai kebijakan setelah berlakunya kembali UUD 1945 sebagai
Konstitusi NKRI.dalam undang-undang ini malaupun semangat yang
dibangun adalah untuk tercapainya desentralisasi territorial yakni
meletakan tanggung jawab otonomi riil yang seluas-luasnya ditangan
pemerintah daerah disamping menjalankan politik dekonsentrasi sebagai
komplemen yang vital,11namun sesungguhnya peran pusat terhadap daerah
masih sangat kuat (sentralistik) karena seperti yang telah diatur dalam
Pasal 11 UU No. 18 Tahun 1965 bahwa Kepala Daerah diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden untuk daerah Tingkat I,Mendagri dengan
persetujuan Presiden bagi daerah tingkat II dan Kepala Daerah Tingkat I
dengan Persetujuan Mendagri bagi Daerah tingkat II yang ada dalam
daerah tingkat I.
6. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974

10 Bagirmanan, Dalam Astim Riyanto, Hukum………,op.cit, hlm.242
11 Penjelasan Umum Tap MPRS No. XXI/MPRS/1966/Angka I

Setelah terjadinya Tragedi Gerakan 30 September Partai Komunis
(G30 S/PKI) pada tahun 1965 yang sampai pada akhirnya pada tahun 1967
karena Presiden Soekarno dianggap tidak dapat mempertanggung
jawabkan “tragedy nasional” (G30 S/PKI) MPRS pada saat itu mencabut
mandate Presiden Soekarno sebagai Presiden dan sekaligus mendudukan
Soeharto sebagai pejabat Presiden. Lalu setahun kemudian Soeharto
ditetapkan menjadi Presiden Defenitif yang dimana dikenal dengan
lahirnya Orde Baru.Setelah Lahirnya Orde Baru, tidak lama kemudian UU
No.18 Tahun 1965 dan Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1965 yang dimana
dengan demikian MPRS mengeluarkan Ketetapan yang menyangkut
otonomi daerah yaitu ketetapan Nomo XXI/MPRS/1966, yang ditegaskan
dalam Pasal 1, bahwa daerah harus diberi otonom seluas-luasnya tanpa
mengurangi tanggung jawab pemerintah pusat dibidang perencanaan,
koordinasi dan pengawasan terhadap daerah, dan Pasal 5, memerintahkan
kepada pemerintah bersama DPR untuk meninjau kembali UndangUndang No.18 Tahun 1965. Namun setelah format baru Politik Indonesia
terbentuk Pada Tahun 1969-1971 maka asas otonomi seluas-luasnya mulai
ditolak, dianggap tidak sesuai dengan prinsip negara Kesatuan, kemudian
diganti dengan asas otonomi nyata dan bertanggung jawab.12
Sehubungan dengan itu, maka setelah format baru sistem politik
Orde terbentuk maka asas otonomi seluas-luasnya dinyatakan dicabut
artinya ketetapan MPRS Nomor XXI/1996 sebelum dilaksanakan sicabut,
alasannya dapat dilihat dalam isi GBHN 1973, yaitu menggariskan prinsipprinsip otonomi daerah sebagai berikut “ dalam melancarkan pelaksanaan
pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok negara, dan dalam membina
kestabilan politik serta kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi antara
pemerintah pusat dan daerah atas dasar ketentuan negara kesatuan,
diarahkan pada pelaksanaan otonom yang nyata dan bertanggung jawab
dan dapat menjamin perkembangan serta pembangunan daerah, dan
12 P. Rosodjatmiko dalam Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Rajawali Pers, 2012,
hlm. 265

dilaksanakan
semangat

bersama-sama

tersebut

pada

dengan

tahun

1974

dekonsentrasi
Pemerintah

“.13berdasarkan
bersama

DPR

mengesahkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
di Daerah.
Dalam Pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1974 sangat jelas
perwujudan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Nyata
berarti bahwa dalam pemberian otonomi pada daerah harus berdasarkan
faktor-faktor perhitungan-prhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijakan
yang benar-benar daerah yang bersangkutan dapat secara nyata dan
mampu melaksanakan urusan rumah tangga sendiri. Bertanggung jawab
artinya otonomi yang diberikan kepada daerah benar-benar sejalan dengan
tujuan yaitu supaya pembangunan yang tersebar sampai pelosok-pelosok
dapat berjalan lancar serasi tidak bertentangan dengan pengarahan yang
telah diberikan, serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa,
menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah serta
dapat menjamin perkembangan pembangunan daerah diseluruh wilayah
NKRI.14
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, tidak diperkenankan
membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan kebijakan pusat karena akan
mengganggu hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Dan karena
itu dapat dikatakan tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini dapat menjadi
alasan pemerintah pusat untuk mencabut kembali wewenang otonomi yang
sudah diberikan. Inilah maksud otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab, walaupun urusan otonomi telah diserahkan kepada daerah sebagai
urusan rumah tangganya. Namun penyerahan itu baru dapat diserahkan
apabila daerah yang bersangkutan dianggap mampu untuk menerima
urusan yang diserahkan untuk memperkuat posisi pusat dalam NKRI
sehingga prinsip otonomi seluas-luasnya tidak digunakan dalam Undangundang ini karena dianggap dapat membahayakan NKRI.
13 Ibid
14 Huruf g angka 1, mengenai dasar pemikiran bagian penjelasan umum UU No 5 Tahun 1974

7. Undang-undang No. 22 Tahun 1999
Sejak runtuhnya rezim orde baru di bawah kepemimpinan soeharto
pada tahun 1998 yang kemudian lahir era reformasi, tahap awal dengan
diadakannya amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali, yang merupakan
landasan konstitusional dibangunnya struktur ketatanegaraan bangsa
Indonesia yang demokratis barulah diikuti oleh perubahan peraturan
perundang-undangan lainnya yang salah satu ya adalah perubahan UU
yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, dari yang semula menganut
sistem atau asas otonomi nyata dan bertanggung jawab, menjadi asas
ototnomi luas kemudian secara politis dari asas sentralistik menjadi asas
desentralistik.15berdasarkan hal tersebut, maka sebagai gambaran umum
dari kedua UU tersebut, bahwa dengan kelurnya UU No.22 Tahun 1999
merupakan koreksi total terhadap UU No.5 Tahun 1974 yang sentralistik
dan berjalan selama 32 tahun dibawah pemerintahan orde baru dan sudah
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi pemerintahan setelah era
reformasi, sehingga dalam perjalanan sejarah tidak pernah ada satupun
daerah di Indonesia yang dapat melaksanakan otonomi daerah dengan
sempurna karena kecenderungan pemerintah pusa selalu interfensi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
8. Undang-undang No. 32 Tahun 2004
Setelah berlakunya UU No. 22 Tahun 1999, belum sampai 5 tahun
UU ini, wacana untuk melaksanakan revisi terhadap UU tersebut mulai
marak karena banyaknya persoalan dihadapi dalam pelaksanaanya, seperti
dalam tataran praktis telah membangun konsep yang justru merusak
tatanan Negara Kesatuan RI, yang telah menjadi kesepakatan para pendiri
negeri ini, yang dimana nuansa federalism sangat kental dalam UU ini.
Atas dasar pemahaman inilah maka lahirlah UU No.32 Tahun 2004 untuk
menggantikan UU 22 tahun 1999.16

15 Moh.Mahfud MD, Politik Hukum……..op.cit, hlm.374
16 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atmajaya Yogyakarta,
2009, hlm.337

Pada Hakekatnya bila dikaji dari aspek historis, konsep
penyusunan UU Pemerintahan Daerah ini sejak bergulirnya reformasi pada
tahun 1998, dapat dikatakan sebagai langkah kompromis untuk
menyatukan diantara dua kelompok yang memiliki konsep yang berbeda.
Karena waktu itu dalam tataran konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia
khususnya yang menyangkut pembenahan sistem pemerintahan dan
bangunan negara, yaitu munculnya dua konsep yang demikian kuat, yaitu
satu sisi keinginan melakukan perubahan bangunan negara dalam bentuk
Federal dan disatu sisi ingin mempertahankan dalam bentuk negara
kesatuan dengan memberikan keleluasaan dari aspek desentralisasi
maupun otonomi daerah.17
Bahwa konsepsi Yuridis yang terdapat dalam Pasal 1 huruf (c)
tentang pengertian desentralisasi dan Pasal 7 ayat (1) UU No. 22 Tahun
1999 tentang kewenangan daerah yang merupakan hasil kompromi yang
sangat signifikan, dan kedua konsepsi yuridis inilah yang menjadi titik
pangkal permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia
sehingga UU tersebut perlu direvisi.sehubungan dengan hal tersebut maka
konsep desentralisasi ini kemudian diubah oleh UU No. 32 Tahun 2004,
dengan konsep yang menjelaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah Pusat kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.18
9. Undang-Undang No 23 Tahun 2014
Apabila kita melihat konsep hubungan kewenangan pemerintah
pusat dan daerah dalam UU No.23 Tahun 2014 masih sama seperti yang
berlaku dalam UU No. 32 Tahun 2004 asas yang digunakan dalam UU ini
adalah asas otonomi seluas-luasnya dan otonomi riil bertanggung jawab
sperti dalam konsepsi Yuridis dalam Pasal 1 ayat (8) mengatakan bahwa
desentralisasi yaitu penyerahan urusan Pemerintahan oleh Pemerintah
17 Ibid……338
18 Ibid……339

Pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi.Pnulis melihat
bahwa asas yang dianut dalam undang-undang ini adalah asas otonomi rill
bertanggung jawab semata dan meninggalkan asas otomi seluas-luasnya.
Hal tersebut bisa dilihat pada defenisi desentralisasi yang pada UU No 32
tahun 2004 mengatakan penyerahan wewenang, sedangkan UU 23 Tahun
2014 mengatakn penyerahan urusan, hal tersebut diperkuat oleh hilangnya
pasal yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 mengenai Hak Daerah
yaitu Pasal 21 ayat (1) poin a yang mengatakan bahwa

dalam

menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Sementara dalam UU No 23
Tahun 2014 ketentuan tersebut telah dihilangkan. Hal selanjutnya
mengenai pemberhentian langsung kepala daerah oleh pusat apabila tidak
melaksanakan program strategis nasional.19 Dalam penjelasan UU tersebut
dikatakan bahwa program strategis nasional adalah program yang
ditetapkan Presiden sebaga program yang memiliki sifat straregi secara
nasional dalam upaya meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan serta menjaga pertahanan dan keamanan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penjelasan tersebut masih
ambigu dan multi iterpretasi, yang sebenarnya bisa dikatakan dengan
alasan politis presiden bisa secara langsung memberhentikan Kepala
Daerah tanpa melibatkan DPR sebagai wakil rakyat dalam sebuah daerah.
Apabila kita melihat uraian panjang dari perjalanan pembentukan
Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah di negara
Indonesia pada dasarnya konseptor hanya selalu berfikir bagaimana
memberikan konsep otonomi yang seluas-luasnya seperti yang diimpikan
para pendiri bangsa Indonesia, namun dengan tidak mencederai Konsep
Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga selalu ada pergeseran
paradigma mengenai konsep hubungan kewenangan antara pemerintah
Pusat dan Daerah yang selalu dianggap ideal dan tentunya lahirnya

19 Pasal 67 huruf (f), Pasal 68 Ayat (1), (2), dan (3) UU NO 23 Tahun 2014

undang-undang baru merupakan hasil evaluasi dari pemberlakuan undangUndang sebelumnya.
C. KESIMPULAN
Berangkat dari Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa
“ Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik”, dan
dalam Pasal 18 ayat (1) ditegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan
kota mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan UndangUndang”. Pada hakekatnya negara kesatuan adalah negara yang tidak
tersusun daripada beberapa negara, seperti halnya dalam negara federasi,
melainkan negara itu sifatnya tunggal, artinya hanya ada satu negara, tidak
ada negara dalam negara.20jadi dengan demikian didalam negara kesatuan
itu juga hanya ada satu pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan
atau wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan.21. Sebagai
negara Kesatuan yang menganut sistem desentralisasi, penyelenggaraan
pemerintahan tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah pusat tapi juga
oleh satuan pemerintahan daerah.22 Sehingga penulis melihat bahwa asas
yang digunakan asas otonomi riil dan bertanggung jawab sudah sangat
tepat dalam mengatur hubungan kewenangan antara pemerintah Pusat dan
daerah dan terhadap kedua hal tersebut harus dilaksanakan seimbang tanpa
ada dominasi artinya bahwa pemerintah daerah diberi kewenangan yang
besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, namun
dalam konteks NKRI, pemerintah daerah harus mempertanggung
jawabkan setiap pelaksanaan otonomi tersebut kepada pemerintah pusat.
Sehubungan dengan hal tersebut untuk mengefektifkan pelaksanaan
hubungan kewenangan antara pusat dan Daerah yang baik maka
pengawasan terhadap hal tersebut harus kuat, dimana Penulis menekankan
20 Ridwan, hukum administrasi…..op.cit hlm.15
21 Soehino, Ilmu Negara,Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm.224
22 Ridwan, Hukum Administrasi…..op.cit hlm.47

bahwa Dewan Perwakilan Daerah disini harus berperan lebih aktif dalam
mengawasi

daerah,

dan

hubungannya

dengan

Pemerintah

Pusat

sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945 dalam Pasal 22D ayat (2) .