DISTRIBUSI DAN KERAPATAN POPULASI ALAM A

`DISTRIBUSI DAN KERAPATAN POPULASI ALAM Acacia decurrens PADA LAHAN PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI

(Studi kasus di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogykarta)

TUGAS AKHIR

Disusun oleh : Paskah Margaretha Anthoinette 10/308023/DKT/01437

PROGRAM DIPLOMA III PENGELOLAAN HUTAN SEKOLAH VOKASI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

2013

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa” ( Roma 12 : 12 )

Kupersembahkan karya kecilku ini untuk

 Bos besar Bapak M.Simbolon dan Mama R. Simanjuntak “ betapa besar cinta kasihnya dan pengorbanannya yang diberikan kepada saya”  Kakak dan Abang tersayang (Julpet, Kentang, Kipang dan my beloved brother alm. Alberto) dan Kedua abangku Siregar bersaudara beserta Keponakan yang luar biasa, yang turut mendukung saya dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

 Teman – teman Naposo Gereja HKBP Yogyakarta yang selalu ada  Teman-teman seperjuangan di Diploma Kehutanan UGM  Kelurahan desa Kepuharjo serta Bapak dan Ibu yang ada di desa Kepuharjo,

yang membantu saya dalam proses pengambilan data Tugas Akhir saya.  Dosen pembimbing saya Bapak Drs. Wiyono M.Si. yang baik hati dan sabar dalam membantu saya, membimbing saya menyelesaikan semua tugas akhir ini

 Pak pepen akademik Diploma III pengelolaan hutan yang selalu membantu saya apapun yang berhubungan dengan akademik, beasiswa dan tempat curahan hati para mahasiswa.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan

baik. Tugas Akhir yang berjudul “ Distribusi Populasi Acacia decurrens Wild yang Mampu Tumbuh Pada Lahan Pasca Erupsi Gunung Merapi di Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, DIY ” ini dibuat sebagai salah satu persyaratan untuk meraih gelar Ahli Madya Kehutanan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu secara langsung maupun tidak langsung penyusunan Tugas Akhir ini, yaitu

1. Bapak Drs. Wiyono, M.Si yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan tenaganya untuk membimbing dan mengarahkan hingga selesainya penulisan Tugas Akhir ini.

2. Ir. Hotma Prawoto Sulistyadi. MT selaku ketua Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada.

3. Bapak Wiyono S.Hut,M.Si selaku ketua Diploma III kehutanan, Universitas Gadjah Mada.

4. Seluruh teman-teman seangkatan Diploma III pengelolaan hutan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada.

5. Bapak Lurah dan beserta warga desa Kepuharjo Dengan kerendahan hati penulis akan menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga hasil penyusunan ini bermanfaat untuk kita semua.

Yogyakarta, 29 Oktober 2013 Penulis

Tabel 21. Nilai Frekuensi Tingkat Sapihan pada Strata I …………………………..44 Tabel 22. Nilai Frekuensi Tingkat Tiang pada Strata I ……………………………..45 Tabel 23. Nil ai Frekuensi Tingkat Semai pada Strata II …………………………...45 Tabel 24. Nilai Frekuensi Tingkat Sapihan pada Strata II …………………………46 Tabel 25. Nilai Frekuensi Tingkat Tiang pada Strata II …………………………...47

Tabel 26. Nilai Frekuensi Tingkat Semai pada Strata I

II ………………………….48 Tabel 27. Nilai Frekuensi Tingkat Sapihan pada Strata III ………………………..48 Tabel 28. Nilai Frekuensi Tingkat Tiang pada Strata III …………………………..49

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Petak Ukur Sampel ………………………………………………55 Lampiran 2. Peta Wilayah Desa K epuharjo ………………………………………...80 Lampiran 3. Foto Pengambilan Data ………………………………………………..81

DISTRIBUSI DAN KERAPATAN POPULASI ALAM Acacia decurrens PADA LAHAN PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI

(Studi kasus di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogykarta)

Oleh : Paskah Margaretha Anthoinette

INTISARI

Gunung merapi adalah salah satu gunung teraktif didunia, pada bulan Oktober tahun 2010, gunung merapi mengalami letusan yang menelan banyak korban, kerugian dan kerusakan lahan pertanian maupun kehutanan. Berdasarkan pengamatan pasca letusan, zona hutan gunung bawah mengalami kerusakan parah sampai ± 90% areanya rusak. Pasca erupsi tahun 2010 tanaman Acacia decurrens dapat tumbuh dengan mudah dilahan bekas erupsi dan pertumbuhannya tampak subur. Hal ini yang membuat diadakan penelitian untuk mengetahui distribusi dan kerapatan populasi spesies tersebut.

Pengambilan data menggunakan metode teknik sampling dengan membuat petak ukur yang berukuran 20 x 20 meter, metode pengukuran menggunakan petak ukur ini dikarenakan lokasi yang dilakukan inventarisari ialah termasuk hutan alam bukan hutan tanaman walaupun hamper semua rata didesa Kepuharjo spesies yang tumbuh adalah tanaman Acacia decurrens, dengan membuat 3 lokasi pengambilan data dengan elevasi tempat yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pola

sebaran tanaman Acacia decurrens tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola distribusi sebaran populasi Acacia decurrens pada tingkat semai, sapihan dan tiang ialah pola sebaran mengelompok dengan memiliki kerapatan yang sangat besar, dan sebaran spesies ini sangat tergantung pada elevasi tempat tumbuh, ini terlihat dari data yang didapat bahwa semakin tinggi tempat tumbuh tanaman Acacia decurrens ini maka semakin banyak tanaman ini mendominasi suatu luasan, dan jika semakin rendah elevasi tempat maka semakin sedikit jumlah tanaman Acacia decurrens yang tumbuh, ini juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan tempat tumbuhnya spesies tersebut.

Kata kunci : Acacia Decurrens, Distribusi, Erupsi Merapi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acacia decurrens. Willd. Nama Acacia decurrens berasal dari bahasa yunani, Acacia decurrens yang artinya duri, merujuk pada batangnya yang memang berduri , decurrens artinya penebalan yang ada pada pangkal tangkai daun yang terus keranting merupakan rusuk yang nyata.

Para ahli botani menyimpulkan bahwa tanaman Acacia decurrens berasal dari Australia. Acacia decurrens dapat menyebar keseluruh penjuru dunia dengan cepat karena tanaman Acacia decurrens dapat hidup dengan mudah dan tidak memiliki syarat tumbuh yang sulit. Batang tanaman Acacia decurrens yang keras dan kuat dapat dimanfaatkan sebagai bahan utama berbagai macam industri manufacture. Bahkan untuk jenis Acacia decurrens mangium saat ini tengah diproyeksikan sebagai pengganti pohon jati oleh Perum Perhutani dan dikenal dengan istilah jati plus perhutani.

Pertambahan penduduk yang sangat pesat akan mengakibatkan kebutuhan hidup meningkat pula. Sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan tersebut khususnya di Pulau Jawa mengakibatkan sumber daya alam yang tersedia semakin diserap dan dimanfaatkan untuk mencukupinya.

Hutan di Jawa Tengah yang luasnya 647.133 hektar atau 19,88% dari luas daratan Jawa Tengah dirasa masih kurang bila mengingat isi dari pasal 7 UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang ketentuan luas hutan suatu kawasan minimum 30% dari luas seluruh daratan. Ketentuan ini berdasarkan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat dan pertimbangan-pertimbangan mengenai keadaan fisik, iklim dan pengaturan tata air.

Pada bulan Oktober 2010 Jawa Tengah ( D.I Yogyakarta) mengalami bencana alam letusan Gunung Merapi yang menelan korban jiwa serta kerugian material yang banyak, dan meninggalkan kerusakan lahan yang parah. Baik lahan pertanian maupun kehutanan rusak akibat tertimbun material vulkanik dari Gunung merapi. Tanaman pertanian maupun kehutanan mati seketika karena panasnya suhu materi vulkanik. Lahan yang terdampak material vulkanik mengalami perubahan signifikan baik dari sifat fisik, kimia maupun biologi tanah sehingga memerlukan upaya tertentu untuk dapat ditanami kembali.

1.2 Rumusan Masalah

Gunung Merapi salah satu gunung teraktif di dunia. Tepat pada tanggal 26 Oktober 2010 terjadi letusan dahsyat dengan erupsi material vulkanik dan awan panas yang sangat membahayakan bagi mahkluk hidup yang tumbuh di radius 5-

10 km pusat semburan. Berdasarkan pengamatan pasca letusan, zona hutan gunung bawah mengalami kerusakan parah sampai dengan + 90% areanya. Yang terutama pada area zona hutan gunung bawah di bagian atas. Sebagian area yang 10 km pusat semburan. Berdasarkan pengamatan pasca letusan, zona hutan gunung bawah mengalami kerusakan parah sampai dengan + 90% areanya. Yang terutama pada area zona hutan gunung bawah di bagian atas. Sebagian area yang

Kasno dkk., (2010) mengatakan bahwa kerusakan sumberdaya lahan yang terjadi akibat letusan Gunung Merapi adalah erupsi abu dan pasir yang menutupi lahan pertanian dengan ketebalan abu dan pasir yang bervariasi untuk setiap lokasi tergantung jarak dari pusat letusa, arah, dan kecepatan angin.

Salah satu daerah yang mengalami kerusakan ialah daerah Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Daerah tersebut mengalami kerusakan yang parah seperti rumah tinggal, sekolah, tempat wisata, pertokoan, masjid, pipa air, poskamling, bumi perkemahan, harta benda dan masih banyak lagi kerusakan lainnya.

Pasca erupsi tahun 2010 tanaman Acacia decurrens dapat hidup dengan mudah didaerah bekas erupsi dan pertumbuhannya tampak subur dimana – mana hingga sekarang. Penelitian distribusi populasi Acacia decurrens belum ditemukan, oleh karena itu perlu diadakan penelitian untuk mengetahui distribusi populasi jenis tersebut.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui distribusi populasi Acacia decurens Willd yang mampu tumbuh pada lahan pasca terjadinya erupsi gunung Merapi khususnya di desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, DIY.

2. Untuk mengetahui nilai kerapatan dan frekuensi populasi Acacia decurrens pada lahan pasca erupsi di Desa Kepuharjo.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat berupa informasi tentang sebaran populasi Acacia decurens Willd yang mampu tumbuh di desa Kepuharjo, Cangkringan pasca Erupsi Gunung Merapi 2010.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Acacia decurrens Willd

Acacia decurrens termasuk dalam Famili Mimosaceae dan Ordo Fabales. Mengenai sistematik dari varietas-varietas Acacia decurrens terdapat banyak pendapat, Namun menurut Willdenow membedakan 2 spesies Acacia yaitu : Acacia decurrens. Willd dan Acacia mollissima. Menurut Jones. SB dan A.E. Luchsinger (1979), klasifikasi Acacia decurrens adalah sebagai berikut :

Divisio : Magnoliophyta Sub class

: Rosidae Class

: Magnoliopsida (dicotil) Ordo

: Fabales Family

: Mimosaceae Sub Family : Mimosaceae Genus

: Acacia Spesies

: Acacia decurrens Willd

2.2 Deskripsi Spesies

Acacia ialah termasuk tumbuhan dikotil yang berakar tunggang berwarna putih kotor dan biji berkeping dua berbentuk lonjong pipih. Menurut definisinya, morfologi tumbuhan tidak hanya menguraikan bentuk dan susunan tubuh tumbuhan saja, tetapi juga bertugas untuk menentukan apakah fungsi masing-masing bagian itu dalam kehidupan tumbuhan, dan selanjutnya juga berusaha mengetahui dari mana asal dan bentuk dan susunan tubuh yang dimiliki tadi (Tjitosoepomo, 1985).

Acacia memiliki batang yang berkambium dengan bentuk bulat lurus dan bercabang banyak (simpodial) yang berkulit tebal agak kasar hingga berduri. Acacia decurrens merupakan tumbuhan yang selalu hijau sepanjang tahun (evergreen) dan berbentuk perdu atau pohon mampu tumbuh mencapai ketinggian 2 - 15 m. Semua cabang inermous (memiliki duri), berbentuk kepala, pod (menghasilkan polong) datar berbentuk tali berukuran 1,5 – 10 cm, memiliki kelopak 2, dan dibudidayakan. Bunga tunggal sessile, padat, filament berwarna kuning, berada di aksila (ujung) malai yang dibagian atas cabang sering digabungkan kedalam senyawa malai. Tanaman Acacia memiliki daun bippinate (daun majemuk yang menyirip) , dengan bentuk lonjong dan tepi yang rata. Daunnya ini biasanya mempunyai bantalan tanin dalam jumlah yang cukup besar. Tanin memiliki rasa yang pahit sehingga dapat mengikat atau mengecilkan protein dengan cepat. Tanin dapat menyebabkan perasaan kering pada mulut. Buah tanaman Acacia merupakan sejenis polong-polongan berwarna hijau saat masih muda dan berubah menjadi coklat setelah tua.

2.3 Biologi Spesies

Spesies Acacia decurrens merupakan tumbuhan berumur pendek sekitar 10 –

15 tahun. Spesies ini merupakan spesies yang bersifat kosmopolitan. Spesies ini memiliki bunga yang menarik dengan morfologi yang sederhana sehingga menarik dan memudahkan serangga pollinator untuk membantu penyerbukan. Jumlah biji yang dihasilkan banyak, ringan, dan resisten terhadap kebakaran. Hal ini memudahkan biji tersebar secara luas. Kebakaran yang disebabkan seperti terjangan awan panas justru mempermudahkan perkecambahan. Dengan demikian spesies ini merupakan spesies pioneer pasca kebakaran ( Lorenzo et al. , 2010 ).

Perkembangbiakan spesies ini selain melalui fase generatif menggunakan biji juga bisa melalui fase vegetatif yaitu dengan rhizoma atau bertunas setelah dipotong, dibakar, atau beku ( Lorenzo et al. , 2010 ). Hasil penelitian Suryanto et al. ( 2010 ), menunjukkan kecepatan tumbuh Acacia decurrens mencapai diameter 14,22 ± 1,85 cm dan tinggi 5,97 ± 0,66 m dalam jangka waktu 18 bulan.

2.4 Kegunaan Acacia decurrens Willd

Tanaman Acacia decurrens ini banyak kegunaannya, menurut Purwaningsih (2010) dan Advisory Committee on Technology Innovation (1983) serta informasi sekunder lainnya, Acacia decurrens memiliki berbagai fungsi diantaranya :

1. Daun Acacia decurrens berkhasiat sebagai obat sakit perut.

2. Bunga dapat dimakan atau sebagai bahan pewarna

3. Batang dapat diambil gumnya yang berwarna gelap untuk digunakan sebagai bahan pembuat permen karet atau jelly

4. Kayu Acacia decurrens merupakan bahan bakar kayu dan arang yang baik ( 3530 – 3940 kcl/kg ) , dapat pula digunakan untuk tiang – tiang penyangga bangunan berlantai

5. Kulit kayu dapat diambil tannin dan astringent

6. Dapat meningkatkan nitrogen ( nitrogen fixation ) yang baik

7. Pohon Acacia decurrens dapat membantu memecah angin.

2.5 Distribusi dan Kesesuaian Habitat

Para ahli botani menyimpulkan bahwa tanaman Acacia decurrens berasal dari Greater Blue Mountain, New South Weales, Australia. Tanaman ini dapat menyebar keseluruh penjuru dunia dengan begitu cepat karena tanaman Acacia dapat hidup dengan mudah dan tidak memiliki syarat yang cukup sulit. Menurut Purwaningsih (2010) tanaman Acacia decurrens merupakan spesies yang kosmopolitan dan dapat beradaptasi dengan berbagai habitat.

Berikut ini adalah beberapa syarat kondisi lingkungan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan Acacia decurrens.

Tabel 1. Kesesuaian Habitat untuk Pertumbuhan Acacia decurrens No

1. Temperatur udara

12 - 25º C, tahan Lorenzo et al.,2010 terhadap suhu beku dan ternaung

2. Curah hujan

900 – 2600 mm

Lorenzo et al.,2010

3. Iklim Tropical, Sub Tropical, Maslin and Mac Temperate

Donald, 2004 dalam www.kahlwax.de

4. Ketinggian

350 – 1000 mdpl

May and Attiwi (2001)

dalam www.kahlwax.de

5. PH tanah

Anonim, 2012

6. Panjang musim kering 0 – 6 bulan Anonim, 2012

2.6 Pola Persebaran

Pola persebaran merupakan bentuk pertumbuhan suatu individu dalam bidang atau ruang tertentu dengan daya hidup dan reproduksi yang dapat dipengaruhi oleh iklim. (Whittaker, 1975 dan Barbour et al, 1980).

Menurut Mc Naughton dan Wolf (1990), kemampuan suatu individu dalam suatu persebaran parsial atau populasi ditentukan oleh kemampuannya dalam berinteraksi dengan individu lainnya dan dalam menanggapi faktor – faktor lingkungan tempat hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa individu yang memiliki kemampuan tertentu merupakan refleksi dari faktor – faktor pembatasnya dan Menurut Mc Naughton dan Wolf (1990), kemampuan suatu individu dalam suatu persebaran parsial atau populasi ditentukan oleh kemampuannya dalam berinteraksi dengan individu lainnya dan dalam menanggapi faktor – faktor lingkungan tempat hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa individu yang memiliki kemampuan tertentu merupakan refleksi dari faktor – faktor pembatasnya dan

1. Pola penyebaran mengelompok Pola ini terjadi dalam suatu areal yang cukup sempit di permukaan bumi oleh beberapa spesies. Artinya dalam suatu wilayah tertentu, hadir suatu spesies yang akan diikuti oleh spesies yang sama.

Barbour et. Al (1980) menyatakan bahwa ada dua alasan yang menyebabkan timbulnya pola persebaran tumbuhan mengelompok tersebut, yaitu :

 Apabila suatu tumbuhan perkembangbiakannya menggunakan biji atau buah yang ada kecenderungan untuk jatuh didekat induknya, dan bagi

tumbuhan yang berkembangbiak secara vegetatif melalui umbi, rhizome yang tentunya individu baru akan berada di sekitar induknya.

 Akan berhubungan dengan lingkungan mikro, dimana habitat yang homogen pada lingkungan makro terdiri atas beberapa mikrositus

yang berbeda dan memungkinkan tumbuhan tersebut dapat tumbuh pada lingkungan yang sesuai. Pada mikrositus yang paling sesuai kerapatan populasi spesies akan menjadi lebih tinggi.

2. Pola penyebaran secara acak Pola ini menggambarkan penyebaran tumbuhan secara sembarangan atau acak, artinya setiap spesies tidak mempunyai arah dan posisi terhadap suatu lokasi tertentu, serta spesies yang sama.

3. Pola penyebaran teratur Pola persebaran tumbuhan secara teratur jarang terjadi di hutan alam. Pola persebaran teratur artinya jarak antara satu individu dengan individu lain pada spesies yang sama dalam satu wilayah adalah sama atau hampir sama. Keadaan ini hanya terjadi pada ekosistem buatan, seperti persawahan dan perkebunan.

Faktor – faktor yang menyebabkan persebaran individu suatu jenis dalam ketiga macam persebaran spasial, yang dikemukakan oleh Ludwig dan Reynolds (1988), adalah :

1. Faktor – faktor eksternal vektoril yang dihasilkan dari aksi kekuatan lingkungan eksternal, seperti : angin, aliran air, dan intensitas cahaya matahari

2. Faktor reproduksi yang dicirikan oleh bentuk – bentuk reproduksi suatu jenis seperti klon dan progeny

3. Faktor – faktor sosial yang mengacu pada tingkah laku bawaan (tingkah laku territorial)

4. Faktor –faktor ko-aktif sebagai hasil dari interaksi intra spesifik persaingan

5. Faktor –faktor stohastik yang merupakan variasi acak dari beberapa faktor yang telah disebutkan diatas.

Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), pola persebaran teratur atau seragam terjadi karena interaksi negatif diantara individu –individu, seperti persaingan zat hara dan ruang tumbuh. Namun persebaran dengan pola teratur ini jarang dijumpai pada kondisi yang alami. Persebaran dengan pola teratur lebih sering dijumpai di areal perkebunan. Tjitrosoedirdjo et al., (1984) persebaran dengan pola acak yang dibentuk oleh suatu individu dengan yang lainnya cenderung tidak sama. Penyebaran dengan pola acak sering dijumpai di hutan – hutan alami. Sedangkan pola penyebaran mengelompok, keberadaan individu pada suatu titik yang lain disekitarnya. Menurut Whittaker (1975), persebaran mengelompok disebabkan oleh :

1. Pemancaran dari tumbuhan induk, yaitu biji – biji yang dihasilkan tumbuhan induk jatuh disekitarnya lalu berkembang

2. Perbedaan – perbedaan faktor lingkungan seperti intensitas penerimaan cahaya, relief makro yang tampak naik turun, dan karakteristik tanah.

3. Hubungan timbal balik antara spesies, misalnya ketergantungan suatu jenis parasit pada sistem perakaran tertentu.

Ketiga pola diatas menunjukkan karakteristik tersendiri bagi pertumbuhan tiap – tiap jenis, juga dapat dikatakan faktor –faktor tertentu yang membuat suatu

jenis tumbuhan tersebar menurut pola tertentu yang dialaminya. Untuk mengetahui pola persebaran jenis dapat didekati dengan perhitungan persebaran statistik yang mempergunakan nilai dari frekuensi jenis yang diteliti dan hasil akhirnya bertujuan untuk menentukan suatu jenis tumbuhan termasuk pada pola persebaran tertentu (Brower dan Zar, 1977 ; Ludwig dan Reynolds, 1988).

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian yang saya lakukan berada pada 1 (satu) dusun yang bernama dusun kaliadem yang terdapat di desa kepuharjo. Secara administrasi dusun kaliadem merupakan salah satu dusun yang berada di Desa Kepuharjo, terletak di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman dengan batas sebelah utara yaitu Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), sebelah selatan yaitu Desa Wukirsari, sebelah barat yaitu Desa Umbulharjo, serta sebelah timur berbatasan dengan Desa Glagaharjo. Dusun ini adalah salah satu dusun yang terkena erupsi merapi pada tahun 2010 yang lalu, dan dimana didesa kepuharjo ini merupakan salah satu kawasan areal yang banyak di tumbuhi tanaman Acacia decurrens pasca terjadinya erupsi merapi. Pemilihan lokasi ini dikarenakan kondisi alamnya yang sangat menarik. Pada lahan-lahan yang terkena erupsi merapi telah ditumbuhi oleh tanaman Acacia decurrens dengan sendirinya, secara tidak langsung masyarakat disekitar hutan tersebut merasa terbantu oleh adanya tumbuhan tersebut, dikarenakan mereka tidak lagi menanam tanaman untuk mereboisasi lahan bekas erupsi tersebut. Asas manajemen pengelolaan hutan yaitu Planning, Organazing, Actuating, dan Controlling (POAC).

Wilayah Desa Kepuharjo secara geografis berada di koordinat

0 0 0 07 0 40’42.7”LS – 07 43’00.9”LS dan 110 27’59.9”BT – 110 28’51.4”BT. Dilihat dari topografi, ketinggian wilayah Kepuharjo berada pada 600 – 1200 mdpl, 0 0 0 07 0 40’42.7”LS – 07 43’00.9”LS dan 110 27’59.9”BT – 110 28’51.4”BT. Dilihat dari topografi, ketinggian wilayah Kepuharjo berada pada 600 – 1200 mdpl,

3.2 Cara Pengumpulan Data

Jenis-jenis data yang digunakan berupa data sekunder dan data primer.

a. Data Primer Pengambilan data primer dilakukan secara langsung dengan melakukan pengamatan di lapangan yaitu di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah inventarisasi tanaman Acacia decurrens Wild dengan cara pembuatan petak ukur dengan ukuran 20 m x 20 m dengan metode sistematik sampling. Dimana petak ukur 2 m x 2 m itu kategori semai dengan kriteria (tinggi < 150 cm), 5 m x 5 m itu untuk sapihan dengan kriteria ( Ө < 10 cm ), 10 m x 10 m untuk tiang dengan kriteria ( Ө 11 – 19 cm ) dan 20 m x 20 m itu kategori pohon dengan kriteria ( Ө > 19 cm). Pembuatan petak ukur ini dilakukan sebanyak 15 – 25 kali.

Pengambilan data dilakukan pada 3 tempat dengan ketinggian berbeda, hal ini dilakukan agar dapat mengetahui keadaan tempat tumbuh dan pemerataan tanaman Acacia decurrens tersebut. Dalam hal ini pengambilan data dilakukan

3 Zona dengan membagi kawasan desa Kepuharjo menurut elevasi tempat, dikarenakan elevasi desa Kepuharjo (600-1200 mdpl), sehingga Zona I pada ketinggian (1000-1200 mdpl), Zona II pada ( 1000-800) dan pada Zona III (± 800-600 mdpl)

Setelah dilakukan petak ukur maka dicari parameter kuantitatif yaitu kerapatan, frekuensi dan dominansi untuk dapat mengetahui distribusi populasi tanaman Acacia decurrens tersebut bukan untuk mencari INP, dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Mueller-Dombois dan Elenberg (1974) sebagai berikut :

 Cara Menghitung Nilai Kerapatan :

 Cara Menghitung Nilai Frekuensi :

Selain menghitung nilai Kerapatan dan Frekuensi, dilalukan pencarian nilai Pola Sebaran menggunakan rumus statistik distribusi spasial. Distribusi spasial ialah suatu spesies ditentukan nilainya dengan menggunakan Indeks

Dispersi kemudian dilanjutkan dengan perhitungan nilai chi-square ( 2 χ ) (Ludwig dan Reynolds, 1988). Namun pada kegiatan ini menggunakan Dispersi kemudian dilanjutkan dengan perhitungan nilai chi-square ( 2 χ ) (Ludwig dan Reynolds, 1988). Namun pada kegiatan ini menggunakan

1. Distribusi Binomial Negatif dengan rumus :

 n=

 N=

b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data monografi desa, yang menjabarkan mengenai keadaan umum serta kondisi topografi wilayah, peta desa, luas total desa dan kondisi masyarakat Desa Kepuharjo serta hal – hal yang berhubungan dengan jenis tanaman Acacia decurrens. Dimana data sekunder tersebut diperoleh dari Pemerintah Desa atau Dinas terkait.

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1 Kabupaten Sleman

Wilayah Kabupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan ibukota Sleman. Secara geografis, Kabupaten Sleman berada di bagian utara Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan jarak linier Kabupaten Sleman menuju Ibukota Pripinsi DIY sekitar

9 km. Luas wilayah Kabupaten Sleman mencapai 57.482 Ha atau 574,82 km² atau sekitar 18% dari luas wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Sleman termasuk Kabupaten terluas ketiga setelah Kabupaten Gunung kidul dan Kulonprogo . Secara astronomis letak Kabupaten Sleman berada pada : 110° 33' 00 ″ dan 110° 13' 00ʺ Bujur Timur dan 7° 34' 51″ sampai 7° 47' 30″ Lintang selatan. Batas wilayah geografis Kabupaten Sleman sebagai berikut:

1. Sebelah Utara : Kabupaten Boyolali (Provinsi Jateng)

2. Sebelah Selatan : Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunung kidul (Provinsi DIY)

3. Sebelah Barat : Kabupaten Kulon Progo (Provinsi DIY), dan Kabupaten Magelang (Provinsi Jateng)

4. Sebelah Timur : Kabupaten Klaten (Provinsi Jateng) Kabupaten Sleman terdiri dari 17 wilayah kecamatan, 86 desa, 1.212 dusun. Kecamatan yang ada di Sleman antara lain : Kecamatan Moyudan, Godean, Minggir, Gamping, Seyegan, Sleman, Ngaglik, Mlati, Tempel, Turi,

Suhu udara di Kabupaten Sleman untuk suhu rata-rata harian 26,9° C, Suhu minimum 20,2°C dan suhu maksimum 33,60° C. Semakin ke bagian utara, suhu udara pada Kabupaten Sleman semakin sejuk dikarenakan mendekati kawasan lereng Gunung Merapi. Kelembaban nisbi di Kabupaten Sleman berkisar antara 41% - 96%. Kelembaban nisbi ini bagi wilayah Kabupaten Sleman terlalu berpengaruh oleh tinggi tempat dan dipengaruhi oleh musim. Menurut, Badan Statistik Iklim Kabupaten Sleman, 2011. Curah hujan pada Kabupaten Sleman dalam periode Januari 2011 sampai dengan Desember 2011, rata-rata curah hujan

tertinggi terjadi pada bulan November 2011 yaitu 168 mm 3 . Disisi lain, curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus 2011 yaitu 0 mm 3 . Sehingga didapat rata-rata curah hujan maksimum dalam setahun sebesar 64 mm 3 .

4.1.1 Desa Kepuharjo

Desa Kepuharjo merupakan sebuah desa di Kecamatan Cangkringan, Sleman, D.I Yogyakarta. Desa Kepuharjo yang berada sekitar 7 Km arah Utara Kecamatan Cankringan dan 27 Km arah timur laut ibukota Sleman memiliki aksesibilitas baik, mudah dijangkau dan terhubung dengan daerah-daerah lain di sekitarnya oleh jalur transportasi jalan raya. Luas Desa Kepuharjo seluas 875 Ha terbagi dalam beberapa peruntukkan seperti bangunan umum, jalan, ladang, pemukiman, tanah wakaf, tempat wisata, lapangan golf, lapangan olahraga dan lain-lain. Luas lahan yang diperuntukkan bangunan umum adalah seluas 1.6880 Ha, Jalan sepanjang 5.2237 Ha, sawah dan tegalan seluas 260.3075 Ha, pemukiman seluas 1.0600 Ha, Pekarangan 188.1100 Ha, tanah wakaf dan Sultan

Ground (SG) seluas 7.4450 Ha, dan peruntukkan lain-lainnya termasuk lapangan olahraga seluas 1.2000 m 2 yang terdiri dari 8 dusun/padukuhan. Desa ini terletak

di ketinggian 600 - 1200 meter dpl (dari permukaan laut) dengan memiliki suhu rata-rata 16-17° C. Curah hujan di Desa Kepuharjo ini sebesar 2500 mm/tahun. Tingkat kemiringan tanah di desa ini > 40 % .

Secara administrasi Desa Kepuharjo terletak di Kecamatan Cangkringan,Kabupaten Sleman dengan batas sebagai berikut :

1. Sebelah Utara : Taman Nasional Gunung Merapi

2. Sebelah Selatan : Desa Wukirsari

3. Sebelah Barat : Desa Umbulharjo

4. Sebelah Timur : Desa Glagaharjo Desa Kepuharjo terdiri dari 8 dusun/pedukuhan yaitu Dusun Kaliadem, Dusun Jambu, Dusun Petung, Dusun Kopeng, Dusun Batur, Dusun Pagerjurang, Dusun Kepuh dan Dusun Manggong. Penelitian ini dilakukan di Dusun Kaliadem yang memiliki Kelompok Tani.

4.2 Penggunaan Lahan

Pengunaan lahan di Desa Kepuharjo terbesar pada sektor pertanian dan perkebunan sehingga sebagian besar penduduk bekerja sebagai pekebun atau buruh tani. Pengunaan lahan dilakukan di Desa Kepuharjo meliputi pemukiman, tegalan/ ladang, tanah wakaf, pekarangan, perkantoran, tanah fasilitas umum dan tanah hutan. Kawasan penggunaan lahan yang paling besar yaitu Pekarangan seluas 256.3052 Ha. Sedangkan luasan tegalan yaitu 226.8350 Ha, Pengunaan lahan di Desa Kepuharjo terbesar pada sektor pertanian dan perkebunan sehingga sebagian besar penduduk bekerja sebagai pekebun atau buruh tani. Pengunaan lahan dilakukan di Desa Kepuharjo meliputi pemukiman, tegalan/ ladang, tanah wakaf, pekarangan, perkantoran, tanah fasilitas umum dan tanah hutan. Kawasan penggunaan lahan yang paling besar yaitu Pekarangan seluas 256.3052 Ha. Sedangkan luasan tegalan yaitu 226.8350 Ha,

4.3 Kependudukan

Berdasarkan hasil pemutakhiran data penduduk Desa kepuharjo Tahun 2008, jumlah KK (Kepala Keluarga) yang tercatat secara administrasi di Desa Kepuharjo yaitu 902 KK dengan jumlah penduduk sebanyak 2.817 jiwa. Komposisi penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 1384 jiwa dan wanita 1433 jiwa, sehingga kepadatan penduduk di Desa Kepuharjo sebesar 5,38 jiwa/Ha. Sedangkan jumlah migrasi penduduk di Desa Kepuharjo sebanyak 52 orang, dengan perincian penduduk yang dating sebanyak 34 orang, dan penduduk yang pergi atau pindah tempat sejumlah 18 orang, dimana jumlah penduduk paling banyak terdapat pada dusun kaliadem. Sebagian besar penduduk Desa Kepuharjo memiliki mata pencaharian sebagai petani, buruh tani, PNS dan wiraswasta. Mayoritas penduduk di Desa Kepuharjo menganut agama Islam yaitu sebesar 99,9%

4.4 Sosial, Ekonomi, dan Budaya

Masyarakat Desa Kepuharjo yang agraris mempunyai sikap kolektif yang kuat. Suasana yang terlihat di desa ini menjunjung tinggi sikap tolong menolong dan gotong royong. Selain mengurangi beban tenaga dalam pengolahan lahan sikap ini juga mengeratkan tali persaudaraan. Pada Desa Kepuharjo, warga saling membantu apabila ada pertemuan dusun ataupun ada hajatan di sebuah rumah.

Rasa kebersamaan yang kuat pada masyarakat tersebut mendorong mereka untuk berorganisasi dan melakukan perkumpulan-perkumpulan. Organisasi atau perkumpulan yang dilakukan mulai dari sektor pertanian, keagamaan, pemerintahan sampai perkumpulan karang taruna.

Diluar dari hal tersebut, Desa Kepuharjo juga mengadakan pemberdayaan kelembagaan untuk menunjang kesejahteraan social masyarakat desa, seperti adanya LPMD ( Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa), KPD (Kader Pembangunan Desa) dan PKK. Melalui lembaga-lembaga tersebut diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan social masyarakat desa dengan adanya program-program yang telah dibuat. Selain dari itu juga ada lembaga BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) lembaga ini merupakan bagian dari P2KP yang merunjuk pada pemberantasan kemiskinan, lembaga-lembaga ini dilakukan disetiap padukuhan dan lembaga ini berjalan dibidang kesehatan dan simpan pinjam, ini dilakukan agar masyarakat desa tidak kesulitan dalam membutuhkan pertolongan. Sedangkan lembaga yang beranggotakan partisipasi ibu-ibu yaitu PKK, lembaga tersebut membentuk aspirasi dan pemberdayaan perempuan agar ditingkatkan untuk mencapai kesetaraan Gender. Aktivitas dari lembaga tersebut meliputi, simpan pinjam, demo masak, dan sebagainya.

Sisi ekonomi dari dusun ini dapat dilihat dari mata pencaharian masyarakat sebagai petani. Pekerjaan lainnya yang berada di Desa Kepuharjo yaitu seperti petani peternak sebanyak 112 orang, PNS (Pegawai Negeri Sipil) sebanyak 43 orang, TNI sebanyak 2 orang, POLRI sebanyak 1 orang, pembantu rumah tangga sebanyak 9 orang, satpam sebanyak 19 orang, wiraswasta/pedagang sebanyak 73 Sisi ekonomi dari dusun ini dapat dilihat dari mata pencaharian masyarakat sebagai petani. Pekerjaan lainnya yang berada di Desa Kepuharjo yaitu seperti petani peternak sebanyak 112 orang, PNS (Pegawai Negeri Sipil) sebanyak 43 orang, TNI sebanyak 2 orang, POLRI sebanyak 1 orang, pembantu rumah tangga sebanyak 9 orang, satpam sebanyak 19 orang, wiraswasta/pedagang sebanyak 73

Desa kepuharjo masih kuat dengan unsur kebudayaannya, ini terdapat beberapa jenis kesenian yang masi ada sampai sekarang. Kesenian jathilan merupakan kesenian asli daerah Desa Kepuharjo. Selain hal tersebut penduduk di Desa Kepuharjo banyak yang masih tertarik dengan kesenian jathilan tersebut, sehingga sampai saat ini keberadaan kesenian jathilan masih terkenal dab dibudayakan masyarakat penduduk Desa Kepuharjo. Selain itu, masyarakat juga masih mempertahankan adat-istiadat desa seperti, menjalankan upacara tradisi yang berkaitan dengan daur hidup (live circle), diantaranya adalah :

1. Upacara Mitoni yaitu upacara selamatan pada saat usia kehamilan mencapai genap tujuh bulan.

2. Upacara Puputan yaitu upacara selamatan pada saat tali pusar bayi sudah lepas/mengering

3. Upacara Becekan (Dandan kali) yaitu upacara kenduri didasar Sungai Gendol dengan menyembelih kambing jantan, dimana masing-masing dusun menyembelih satu ekor

secara bersamaan, yang dilaksanakan pada hari Jum’at Kliwon mangsa kapat penanggalan jawa atau bulan Oktober pada tahun masehi.

4. Upacara Jagongan yaitu acara wungon (tidak tidur semalam suntuk) atau betandang di rumah keluarga yang baru melahirkan bayi pada malam hari selama kurang lebih 7 malam (satu minggu).

5. Upacara Selapanan yaitu acara kenduri atau selamatan bertepatan dengan usia bayi 35 (tiga puluh lima hari) sebagai ungkapan rasa syukur.

6. Upacara Kematian yaitu diadakan acara kenduri tiga hari (3 hari), tujuh hari (7 hari), empat puluh hari (40 hari), satu tahun (1 tahun), dua tahun (2 tahun) sampai 1000 hari.

7. Upacara Khitanan yaitu tanda bahwa anak lelaki sudah mulai menjadi laki-laki dewasa.

8. Upacara Pernikahan yaitu mengikuti berbagai urutan pernak-pernik tradisi jawa, seperti siraman, midodareni, ijab, panggih dan resepsi.

4.5 Sumber Daya Alam

Desa Kepuharjo adalah daerah atau kawasan yang berada di sebelah selatan lereng Gunung Merapi, dan berbatasan langsung dengan wilayah Kehutanan dengan kondisi tanah yang gembur dan subur. Potensi yang terdapat dalam kawasan hutan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat desa, terutama adanya sumber mata air Umbul Bebeng, namun dari tahun ke tahun mengalami Desa Kepuharjo adalah daerah atau kawasan yang berada di sebelah selatan lereng Gunung Merapi, dan berbatasan langsung dengan wilayah Kehutanan dengan kondisi tanah yang gembur dan subur. Potensi yang terdapat dalam kawasan hutan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat desa, terutama adanya sumber mata air Umbul Bebeng, namun dari tahun ke tahun mengalami

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Keberadaan Acacia decurrens

Pasca erupsi merapi 2010 jenis tanaman Acacia decurrens atau masyarakat setempat menamakan kayu soga, banyak tumbuh dengan sendirinya di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dan didesa-desa sekitarnya, tanaman Acacia decurrens ini dulunya tidak begitu banyak namun akibat terjadinya erupsi, biji tanaman Acacia decurrens ini dapat terskarifikasi sendiri, sehingga pada saat terbawa oleh lahar biji-biji tersebut dapat berkembang dengan sendirinya.

Tumbuhnya tanaman Acacia decurrens yang mendominasi ini, dapat menghambat pertumbuhan spesies lain dan merusak keragaman spesies di hutan tersebut. Acacia decurrens mulai merebak setelah erupsi tahun 2010, sejumlah lahan yang terpapar erupsi rusak, tanaman Acacia decurrens ini mengalami proses suksesi sehingga dapat mendukung tumbuh secara alami.

Tanaman Acacia decurrens ini termasuk tanaman invasif, sehingga didefenisikan tanaman invasif sebagai spesies asing yang introduksinya dapat mengakibatkan kerugian ekonomi atau membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia. Tanaman Acacia decurrens sekarang berumur berkisar 3-4 tahun itu terhitung sejak terjadinya erupsi merapi. Tanaman ini dapat menjadi tanaman yang menguntungkan dan bisa juga menjadi tanaman yang merugikan. Tanaman ini Tanaman Acacia decurrens ini termasuk tanaman invasif, sehingga didefenisikan tanaman invasif sebagai spesies asing yang introduksinya dapat mengakibatkan kerugian ekonomi atau membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia. Tanaman Acacia decurrens sekarang berumur berkisar 3-4 tahun itu terhitung sejak terjadinya erupsi merapi. Tanaman ini dapat menjadi tanaman yang menguntungkan dan bisa juga menjadi tanaman yang merugikan. Tanaman ini

5.2 Kegiatan Inventarisari tegakan Acacia decurrens

Inventarisasi hutan adalah suatu usaha untuk menguraikan kuantitas dan kualitas pohon-pohon hutan serta berbagai karakteristik areal tempat tumbuhnya. Suatu inventarisasi yang lengkap dipandang dari segi penaksiran kayu harus berisi deskripsi areal berhutan serta kepemilikannya.

Secara umum inventarisasi hutan didefenisikan sebagai pengumpulan dan penyusunan data dan fakta mengenai sumberdaya hutan untuk perencanaan pengelolaan sumberdaya tersebut bagi kesejahteraan masyarakat secara lestari dan serbaguna. Inventarisasi hutan dilakukan untuk mengetahui kondisi biofisik sumberdaya hutan baik yang berupa flora, fauna maupun keadaan fisik lapangan, serta kondisi social ekonomi dari areal atau kawasan hutan yang diinventarisasi.

Istilah inventore atau inventarisasi hutan, merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu forest inventory, atau bahasa Belanda bosch inventarisatie. Secara umum, pengertian inventarisasi hutan adalah suatu tindakan untuk mengumpulkan informasi tentang kekayaan hutan. Istilah lain yang sering dipakai dalam bahasa

Indonesia adalah perisalahan. Istilah serupa dalam bahasa Inggris yang mempunyai arti lebih spesifik, adalah timber cruising, yang lebih menitikberatkan pengumpulan informasi tentang potensi kayu dari suatu areal hutan dalam rencana pembalakan atau logging (Departemen Kehutanan RI 1992).

Jenis informasi yang akan dikumpulkan dalam suatu inventore hutan tergantung pada tujuan. Tingkat kecermatan masing-masing informasi juga bervariasi sesuai dengan peranan informasi tersebut dalam tujuan pengelolaan hutan ini.

Dalam kegiatan Tugas Akhir ini, pengamatan dilakukan secara langsung di lapangan, dimana dalam pengambilan data ini menggunakan metode inventarisasi tanaman dengan cara pembuatan petak ukur dengan ukuran 20 x 20 meter dengan metode sistematik sampling. Dengan deskripsi 20 m x 20 m kategori pohon, 10 m x

10 m kategori tiang, 5 m x 5 m untuk sapihan dan 2 m x 2 m untuk semai. Pada saat pengambilan data dilakukan di 3 (tiga) lokasi yang berbeda ketinggian tempatnya, yaitu pada zona I ketinggian 1000 – 1200 mdpl dimana lokasi paling dekat dengan Gunung merapi, Zona II ketinggian 800 – 1000 mdpl dan pada Zona III ketinggian 600 – 800 mdpl.

Untuk kepentingan deskripsi suatu komunitas tumbuhan maka diperlukan parameter kuantitatif dan parameter kualitatif, yaitu parameter kuantitatif adalah kerapatan, frekuensi dan dominansi, sedangkan parameter kualitatif itu yaitu : fisiognomi, penyebaran, daya hidup, bentuk pertumbuhan, dan sebagainya. Dalam kegiatan ini, untuk menentukan distribusi tanaman Acacia decurrens tersebut menggunakan metode parameter kuantitatif, dimana kerapatan itu adalah jumlah Untuk kepentingan deskripsi suatu komunitas tumbuhan maka diperlukan parameter kuantitatif dan parameter kualitatif, yaitu parameter kuantitatif adalah kerapatan, frekuensi dan dominansi, sedangkan parameter kualitatif itu yaitu : fisiognomi, penyebaran, daya hidup, bentuk pertumbuhan, dan sebagainya. Dalam kegiatan ini, untuk menentukan distribusi tanaman Acacia decurrens tersebut menggunakan metode parameter kuantitatif, dimana kerapatan itu adalah jumlah

5.3 Analisis Data

Pada saat dilapangan penilaian secara kualitatif terjadi, dimana bentuk tumbuhan dapat didefenisikan bahwa tumbuhan Acacia decurrens tersebut memiliki keseragaman yang sama, ini juga dilihat dari umur tanaman tersebut yang berkisar ±

3 tahun, itu terhitung setelah terjadinya erupsi merapi pada tahun 2010. Data yang didapat dilapangan dilakukan penilaian secara kuantitatif yaitu mencari nilai kerapatan, frekuensi dan dominansi untuk dapat mengetahui distribusi populasi tanaman Acacia decurrens di desa Kepuharjo tersebut. Berikut data yang didapat dilapangan ditinjau dari distribusi dan nilai kerapatan tanaman : 3 tahun, itu terhitung setelah terjadinya erupsi merapi pada tahun 2010. Data yang didapat dilapangan dilakukan penilaian secara kuantitatif yaitu mencari nilai kerapatan, frekuensi dan dominansi untuk dapat mengetahui distribusi populasi tanaman Acacia decurrens di desa Kepuharjo tersebut. Berikut data yang didapat dilapangan ditinjau dari distribusi dan nilai kerapatan tanaman :

ini akan membahas pola sebaran tanaman Acacia decurrens yang mampu tumbuh pada lahan pasca erupsi merapi. Rumus yang digunakan untuk mengetahui pola sebaran tanaman Acacia decurrens di desa Kepuharjo ialah menggunakan rumus statistik yaitu distribusi spasial, dimana rumus distribusi spasial ini memiliki 3

langkah yaitu : Indeks Dispersi, Menghitung nilai chi- 2 square (χ ) dan mengetahui distribusi spasial dengan menggunakan parameter d. Namun pada kegiatan ini

menggunakan pendekatan umum mengenai jumlah per unit pencuplikan tentang pola spasial dan penjelasan mengenai distribusi frekuensi, distribusi frekuensi ini terbagi menjadi 3 yaitu : Distribusi Poisson, Distribusi Binomial Negatif dan Distibusi Binomial Positif. Sehingga untuk mencari pola sebaran tanaman Acacia decurrens menggunakan rumus Distribusi Binomial Negatif. Hal ini dikarenakan pengambilan data dibagi menjadi 3 Zona sehingga ditemukan setiap lokasi mewakili 8 petak ukur dan total petak ukur dari ketiga Zona tersebut berjumlah 24 petak ukur. Berikut data perhitungan :

5.2.1 Hasil Pengamatan Data Distribusi Spasial

Tabel 2. Data Pola Sebaran Tingkat Semai Zona I

Fx

Sumber : Data Primer 2013

Perhitungan : x = angka peluang Fx= frekuensi x

n= = (0x0)+(1x0)+(2x1)+(3x1)+(4x1)+(5x1)+(6x2)+(7x1)+(8x0)+(9x1)

2 2 2 2 2 2 = ((0-5,25) 2 +(0-5,25) +(1-5,25) +(1-5,25) +(1-5,25) +(1-5,25) +(2-5,25)

2 2 +(1-5,25) 2 +(0-5,25) + (1-5,25) /5,25 = 201,63/5,25

= √2x38,4 - √2(8-1)-1 = 2,1

 Jika d< 1,96 maka distribusi spasialnya acak  Jika d< -1,96 maka distribusi spasialnya teratur  Jika d> 1,96 maka distribusi spasialnya mengelompok

 Distribusi tanaman tingkat semai memiliki nilai d > 1,96 , maka distribusinya

Mengelompok

Tabel 3. Data Pola Sebaran Tingkat Semai Zona II

Fx 3 0 1 3 0 0 0 0 0 1

Sumber : Data Primer 2013

Perhitungan :

= √2x84,65 - √2(8-1)-1 = 6,30

 Distribusi tanaman tingkat semai memiliki nilai d > 1,96 , maka distribusinya

Mengelompok

Tabel 4. Data Pola Sebaran Tingkat Semai Zona III

Fx 2 0 1 2 0 2 1 0 0 0

Sumber : Data Primer 2013

= √2x68,54- √2(8-1)-1 = 5,00

 Distribusi tanaman tingkat semai memiliki nilai d > 1,96 , maka distribusinya

Mengelompok.

Pola sebaran tanaman Acacia decurrens dari ketiga Zona tingkai semai mendapat nilai d > 1,96, maka distribusinya disebut mengelompok. Dapat di lihat dari hasil perhitungan yang menggunakan rumus distribusi binomial negativ, sehingga dapat diketahui nilai distribusi semai pada Zona I d = 2,1, semai pada Zona II d = 6,3 dan pada semai Zona III d = 5. Berikut perhitungan tingkat sapihan. Tabel 5. Data Pola Sebaran Tingkat Sapihan Zona I

X 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Fx 0 0 0 0 1 0 3 2 1 0 0 1

Sumber : Data Primer 2013

= √2x175,51- √2(8-1)-1 = 12,03

 Distribusi tanaman tingkat semai memiliki nilai d > 1,96 , maka distribusinya

Mengelompok.

Tabel 6. Data Pola Sebaran Tingkat Sapihan Zona II

X 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Fx 0 0 1 1 2 1 2 1 0 0 0 0

Sumber : Data Primer 2013

= √2x204,2 - √2(8-1)-1 = 13,5

 Distribusi tanaman tingkat semai memiliki nilai d > 1,96 , maka distribusinya

Mengelompok.

Tabel 7. Data Pola Sebaran Tingkat Sapihan Zona III

X 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Fx 2 0 1 0 3 1 1 0 0 0 0 0

Sumber : Data Primer 2013

= √2x229,75- √2(8-1)-1 = 14,73

Distribusi tanaman Acacia decurrens pada tingkat sapihan yang ada pada ketiga Zona ini termasuk kategori mengelompok, dan hasil perhitungan menunjukkan pada tingkat semai memiliki nilai yang cukup tunggi, ini dikarenakan dilokasi penelitian juga ditemukan bahwa tingkat yang mendominasi adalah sapihan, sehingga nilai distribusi pada tingkat sapihan tinggi dapat dilihat pada Zona I d = 12,03 , Zona

II d = 13,5 dan pada sapihan Zona III mendapat nilai d = 14,73. Nilai-nilai ini diperoleh dari rumus distribusi binomial negativ. Berikut perhitungan untu tingkat tiang. Tabel 8. Data Pola Sebaran Tingkat Tiang Zona I

Fx 0 0 0 0 1 3 1 3 0 0

Sumber : Data Primer 2013

= √2x44,98 - √2(8-1)-1 = 2,78  Distribusi tanaman tingkat semai memiliki nilai d > 1,96 , maka distribusinya

Mengelompok.

Tabel 9. Data Pola Sebaran Tingkat Tiang Zona II

Fx 0 0 0 0 2 3 1 1 1 0

Sumber : Data Primer 2013

X= 2 /N X =( )/ X = 44/8

= √2x46,3 - √2(8-1)-1 = 2,91

Tabel 10. Data Pola Sebaran Tingkat Tiang Zona III

Fx 4 1 1 1 1 0 0 0 0 0

Sumber : Data Primer 2013

X= 2 /N X =( )/ X = 10/8

= √2x206,9- √2(8-1)-1 = 13,6

Dari data hasil perhitungan distribusi menyatakan bahwa pola sebaran tanaman Acacia decurrens pada ketiga lokasi pengambilan data, pada tingkat semai, sapihan dan tiang adalah mengelompok. Jika dibandingkan tingkat sapihan mendapat hasil lebih tinggi, ini dikarenakan umur tanaman Acacia decurrens pada desa Kepuharjo ini sama yaitu berumur kisaran 3-4 tahun, dimana dalam umur ini termasuk kategori sapihan. Pola sebaran tingkat sapihan dan tiang, ini dapat dilihat dari kesimpulan distribusi spasial yaitu dikatakan mengelompok jika nilai parameter

d > 1,96 maka disebut pola sebaran mengelompok. Selain dari hasil perhitungan juga terlihat dari penilaian dilapangan melalui parameter kualitatif.

b. Kerapatan Populasi Distribusi tanaman Acacia decurrens yang berada di desa Kepuharjo mampu

tumbuh dilahan bekas erupsi cukup tinggi ini dapat dilihat dari hasil parameter kuantitatif yaitu perhitungan kerapatan, frekuensi dan dominansi. Pada data dominasi didapat nilai dominasi yang rendah, itu disebabkan karena perhitungan nilai dominansi menggunakan nilai lbds ini sangat mempengaruhi hasil dominansi itu juga dikarenakan umur tanaman Acacia decurrens tersebut masih muda. Apabila sekitar ±

10 tahun ke depan kemungkinan tanaman ini dapat menjadi pohon yang besar, itu dapat dilihat dari hasil penelitian Suryanto et al (2010), menunjukkan bahwa kecepatan tumbuh Acacia decurrens mencapai diameter 14,22 ± 1,85 cm dan tinggi 5,97 ± 0,66 m dalam jangka waktu 18 bulan. Berikut perhitungan kerapatan :

Tabel 11. Nilai Kerapatan Tingkat Semai pada Zona I

Semai

Plot Luas (m )

Acacia.D

K (hektar)

13125/ha

Sumber : Data Primer 2013

Data tabel diatas menunjukkan total jumlah sample semai pada 8 plot tersebut.

Tabel 12. Nilai Kerapatan Tingkat Sapihan pada Zona I

Sapihan

2 Plot Luas (m ) Acacia.D Total

K (hektar)

6350/ha

Sumber : Data Primer 2013

Data tabel diatas menunjukkan total jumlah sample sapihan pada 8 plot tersebut.

Tabel 13. Nilai Kerapatan Tingkat Tiang pada Zona I

Tiang

Plot 2 Luas (m )

Acacia.D

K (hektar)

575/ha

Sumber : Data Primer 2013

Data tabel 11, 12 dan 13 diatas menunjukkan total jumlah sample tiang pada 8 plot tersebut. Dari data-data tabel di atas dapat kita lihat bahwa dari total luas plot