BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNA
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)
DALAM PENGAJUAN PERMOHONAN HAK MILIK ATAS TANAH
19.49
No comments
Penulis
Marsitiningsih, SH, MH. dan Ardiana Hidayah, SH, MH
Abstrak
BPHTB merupakan pajak yang terhutang yang harus dibayar oleh pihak yang
memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar akta atau risalah lelang, atau surat
keputusan pemberian hak dapat dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
Pada dasarnya perolehan hak merupakan hasil dari suatu peralihan hak dari suatu pihak
yang memiliki atau menguasai suatu tanah dan bangunan kepada pihak lain yang menerima
hak atas tanah dan bangunan tersebut.
Pengajuan Hak Milik atas Tanah dilakukan menurut prosedur yang sesuai dengan
Hukum Tanah Nasional yang berlaku di Indonesia. Apabila wajib pajak dalam hal ini
pemohon tidak membayar BPHTB maka akan dikenakan sanksi administrasi
berupa sertipikat yang dimohonkan tidak akan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan .
A. Latar Belakang
Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahwa tanah adalah sebagian dari
pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya
serta yang berada di bawah air. Tanah mempunyai arti yang sangat penting bagi
kehidupan manusia, karena tanah merupakan salah satu sumber utama bagi
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Makin besar akses rakyat terhadap tanah,
makin besar pula kesempatan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus
mendongkrak martabat sosial.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut
permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam
segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspek saja, yaitu tanah
dalam pengertian yuridis yang disebut hak.[1]
Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria menentukan bahwa :
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termasuk dalam ayat 1 pasal ini memberikan
wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa;
c menentukan dan mengatur hubungan-hubunagan hukum antara orang-orang
dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat
(2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam
arti kebahagian, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara
hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan:
Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal
2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengenal lebih dari 10 (sepuluh)
jenis penguasaan tanah, yaitu diantaranya hak milik, hak guna usaha dan hak guna
bangunan, yang merupakan jenis penguasaan tanah untuk tanah-tanah yang
diperlukan bagi proyek-proyek pembangunan yang dapat berupa tanah negara
ataupun tanah hak milik perseorangan.[2] Oleh karena itu, untuk mendukung
kegiatan pembangunan, pertambahan penduduk dan kegiatannya, maka sumber
daya tanah perlu dikelola secara efisien dan efektif, agar pemanfaatannya dapat
terselenggara secara optimal dan berkelanjutan, sehingga mampu memberikan
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, khususnya untuk memenuhi tuntutan
mutu kehidupan yang lebih baik yaitu sebagai salah satu sarana utama yang
digariskan dalam arahan kebijaksanaan pembangunan nasional.
Dewasa ini perkembangan pembangunan semakin pesat, dan untuk
menunjang pembangunan dan perekonomian nasional ini tentu dibutuhkan lahan
atau tanah yang tidak sedikit. Hampir tidak ada kegiatan pembangunan yang tidak
memerlukan tanah. Dengan pembangunan yang terus meningkat, khususnya
pembangunan fisik yang memerlukan tanah yang luas menyebabkan ketersediaan
akan tanah semakin terbatas dan menimbulkan permasalahan-permasalahan
pertanahan, seperti timbulnya sengketa-sengketa pertanahan. Melihat kenyatan ini
maka, Pemerintah merasa perlu untuk membuat peraturan perundang-undangan
yang membatasi penguasaan tanah dan memungut pajak bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan terhadap perseorangan atau badan hukum sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ada berbagai kepentingan berkenaan dengan persoalan tanah dalam sarana
utamanya, yaitu sebagian besar dari warga masyarakat memerlukan tanah (lahan)
sebagai tempat pemukiman/tempat tinggal dan tempat mata pencahariannya. Untuk
memperoleh kepemilikan hak atas tanah khususnya hak milik, hanya dapat
diperoleh melalui pendaftaran tanah yang sesuai dengan prosedur dan memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan oleh Kantor Pertanahan setempat.
Pendaftaran tanah merupakan jaminan tertib hukum dan kepastian hukum
hak atas tanah yang dalam rangka pelaksanaan tugasnya pendaftaran tanah
dilakukan sebagai suatu kegiatan berupa pembukuan, pendaftaran tanah dan
pengalihan hak atas tanah.[3] Pendaftaran tanah dengan prosedur yang benar
merupakan suatu langkah awal terhadap proteksi pemerintah akan hak atas tanah.
Bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, sudah sewajarnya
menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui
pembayaran pajak, dalam hal ini yaitu Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) demi menunjang pembangunan nasional. Selain tanah,
bangunan juga dikenakan pajak karena bangunan juga merupakan benda yang
penting bagi manusia, berbagai bangunan dibangun untuk memenuhi berbagai
kebutuhan manusia.
Sebagai upaya untuk memenuhi pengeluaran pemerintah berkaitan dengan
tugasnya untuk menyelenggarakan pemerintahan umum dan pembangunan,
pemerintah menerapkan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan Negara. Jika
melihat perkembangan penerimaan pajak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), tampak bahwa pajak telah menjadi primadona yang mendominasi
penerimaan Negara. Hal ini tentunya cukup menggembirakan karena menandakan
bahwa kemandirian bangsa dalam pembiayaan pengeluaran Negara yang menjadi
tujuan reformasi perpajakan di Indonesia semakin nyata dari waktu ke waktu.
Bangsa yang mandiri adalah bangsa yang berusaha sedapat mungkin memenuhi
kebutuhan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dari dalam negeri. Salah satu
cara yang paling efektif untuk hal ini adalah melalui penggalian potensi pajak.[4]
Untuk tetap dapat meningkatkan penerimaan Negara dari sektor pajak,
pemerintah berupaya menggali potensi pajak. Salah satunya diwujudkan dengan
cara mencari dan menerapkan jenis pajak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia.
Berbagai jenis pajak diterapkan sesuai dengan kondisi masyarakat yang pada suatu
masa mungkin dipungut suatu jenis pajak, mungkin pada waktu berikutnya
dihilangkan atau dihapus dengan berbagai pertimbangan dan kemudian dipungut
dan diberlakukan kembali. Hal ini wajar saja mengingat rezim pemerintahan yang
berkuasa pada suatu masa akan menyelesaikan pungutan yang dikenakana pada
masyarakat sesuai dengan kepentingannya juga.
Jenis pajak yang baru diterapkan di Indonesia seiring dengan penggalian
potensi baru adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang
mulai diberlakukan sejak tahun 1998. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) sebenarnya merupakan jenis pajak lama yang pernah dipungut pada masa
pemerintahaan penjajahan, tetapi dihapus seiring dengan berlakunya UndangUndang Pokok Agraria (UUPA). Sekarang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) diterapkan kembali karena dianggap sesuai dengan keadaan
bangsa Indonesia dewasa ini.[5]
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat merumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimana prosedur penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dalam Pengajuan Permohonan Hak Milik atas tanah berdasarkan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)?
2. Apa akibat hukumnya apabila Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) tidak dibayar ?
C. Tinjauan Pustaka
1.
Pengertian Tanah
Sebutan untuk “Tanah” (land) dapat mempunyai arti yang berbeda tergantung
dari sudut pandang keilmuan untuk mengartikannya. Dalam konsep hukum tanah
tidak sekedar permukaan bumi, namun mempunyai tiga dimensi yakni ruang
angkasa, permukaan bumi dan di bawah tubuh bumi. Dalam konteks hukum tanah,
tanah diartikan sebagai “permukaan bumi” sebagaimana ditentukan (lihat Pasal 4
ayat 1 UUPA), “Tanah Negara” seperti hal sebutan tanah yang lain, selain yang telah
dimiliki misalnya tanah milik dan sebagainya.[6] Hal ini menunjukan suatu status
hubungan hukum tertentu antara obyek dan subyeknya yang dalam konteks ini
lebih kepada hubungan kepemilikan atau kepunyaan antara subyek dan obyek yang
bersangkutan.
Dalam pengertian sebagai obyek dan Negara sebagai subyeknya maka jika
kita menyebutkan tanah Negara artinya adalah Negara mempunyai hubungan
hukum tertentu dengan obyeknya yakni tanah.[7] Namun dalam hal ini Negara
bukan sebagai pemilik tanah akan tetapi mempunyai kewenangan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang hubungan hukum itu
dapat berupa hubungan kepemilikan kekuasaan atau kepunyaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), pengertian tanah adalah[8]:
1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali
2. Keadaan bumi di suatu tempat
3. Permukaan bumi yang diberi batas
4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir dll)
Dalam hukum tanah, sebutan kata “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai
suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA yang terdapat dalam
Pasal 4 UUPA menyatakan, “bahwa atas dasar hak menguasai dari Negara,
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang”. Dengan demikian
jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi
sebagaimana
ditentukan
Pasal
4
(ayat
1)
UUPA,
sedang
hak
atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas,
berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.[9]
Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang
disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya
dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna, jika
penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk
keperluan apapun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh
bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya, oleh karena itu
dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan
hanya memberikan wewenang untuk
mempergunakan
sebagian
tertentu
permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut “tanah” tetapi juga tubuh bumi
yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya.[10]
Seberapa dalam bumi itu boleh digunakan dan setinggi apa ruang yang ada di
atasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batasbatas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri,
kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan. Atas pemahaman konsep dan peraturan perundangan tentang
pengertian tanah Negara dapat ditarik kesimpulan dalam tataran yuridis bahwa
terdapat dua kategori tanah Negara dilihat dari asal usulnya[11] :
1) Tanah Negara yang berasal dari tanah yang benar-benar belum pernah ada hak atas
tanah yang melekatinya atau disebut sebagai tanah Negara bebas;
2) Tanah Negara yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya ada haknya, karena
sesuatu hal atau adanya perbuatan hukum tertentu menjadi tanah Negara. Tanah
bekas hak barat, tanah dengan hak atas tanah tertentu yang telah berakhir jangka
waktunya, tanah yang dicabut haknya, tanah yang dilepaskan secara sukarela oleh
pemiliknya.
2. Pengertian Hak Atas Tanah
Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak
untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak
penggunaan atas tanah.[12] Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah
berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya.
Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam Pasal 16 jo Pasal 53 UUPA, antara lain[13] :
1) Hak Milik
2) Hak Guna Usaha
3) Hak Guna Bangunan
4) Hak Pakai
5) Hak Sewa
6) Hak Membuka Tanah
7) Hak Memungut Hasil Hutan
8) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan
oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana
disebutkan dalam pasal 53.
Pasal 16 UUPA menentukan adanya dua hak yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah
yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan karena hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk
mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam Pasal
16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat.
Kedua hak tersebut merupakan manifestasi dari hak ulayat. Selain hak–hak atas tanah yang disebut dalam
Pasal 16, dijumpai juga lembaga–lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional
diberi sifat sementara dan pada suatu saat nanti akan dihapuskan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53
UUPA.
3. Pengertian Hak Milik
Menurut ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria Hak Milik adalah
hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat ketentuan Pasal 6.
Kata “terkuat” dan “terpenuhi” tidak berarti bahwa hak milik itu merupakan hak
yang mutlak, tidak dapat diganggu gugat dan tidak terbatas seperti Hak Eigendom,
akan tetapi kata terkuat dan terpenuh itu dimaksudkan untuk membedakan dengan
hak-hak lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah maka
Hak Milik yang terkuat dan terpenuh.[14]
a. Merupakan hak yang “terkuat”, artinya Hak Milik tidak mudah hapus dan musnah
serta mudah dipertahankan terhadap hak pihak lain, oleh karena itu harus
didaftarkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
b. “Terpenuh” artinya kewenangan pemegang hak milik itu paling penuh dengan
dibatasi ketentuan Pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial tanah.
c. “Turun-temurun” berarti jangka waktunya tidak terbatas, dapat beralih karena
perbuatan hukum dan peristiwa hukum.
Sedangkan menurut A.P. Parlindungan, kata-kata terkuat dan terpenuhi itu bermaksud untuk membedakannya
dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan hak-hak lainnya, yaitu untuk menunjukkan
bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak miliklah yang “ter” (paling kuat dan penuh).
Begitu pentingnya hak milik, pemerintah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap persoalan hak milik
atas tanah tersebut.[15]
Hal ini dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
d.
1)
2)
3)
Menurut Pasal 22
Hak milik atas tanah yang terjadi menurut Hukum Adat
Hak milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah
Hak milik atas tanah terjadi karena ketentuan Undang-undang.[16]
4.
Pendaftaran Hak Atas Tanah dan Bangunan
Ketentuan tentang pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997. Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997, Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh
Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan
keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang berada di
wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi
kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang
pertanahan, termasuk penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya.
Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah seperti yang disebutkan
pada Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.[17]
Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran yang
dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961
dan
Peraturan Pemerintah Nomor24 Tahun 1997, yang dapat dilaksanakan dengan 2
(dua) cara, yaitu [18] :
a) Pendaftaran tanah secara sistematik
adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara
serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftarkan
dalam wilayah atau bagian wilayah suatu Desa/Kelurahan yang dilakukan atas dasar
prakarsa Pemerintah.
b) Pendaftaran tanah secara sporadik
adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau
beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
Desa/Kelurahan secara individual atau massal.
Sedangkan pemeliharaan data pendaftaran tanah, menurut pasal 1 angka 11 adalah
kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam
peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah dan sertipikat
dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Kegiatan pemeliharaan data
pendaftaran tanah meliputi :
a) Pendaftaran peralihan
b) Pembebanan hak
c) Pendaftaran perubahan data fisik dan data yuridis
Data fisik
adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang dan satuan rumah susun
yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian
bangunan atas.
Data yuridis
adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun
yang didaftar pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang
membebaninya.
Hak atas tanah baru dapat dibuktikan dengan cara, yaitu [19]:
a) Penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan
hak menurut ketentuan yang berlaku, apabila pemberian tersebut berasal dari
tanah Negara atau tanah hak pengelolaan, yang dapat diberikan secara individual,
kolektif ataupun secara umum.
b) Asli akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh Pemegang Hak Milik
kepada penerima hak yang bersangkutan, apabila mengenai Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai Atas tanah hak Milik.
Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, asas-asas pendaftaran tanah adalah
pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.
Tujuan dari pendaftaran tanah seperti yang dinyatakan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah antara lain adalah[20]:
1) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah,
satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan, untuk itu kepada pemegang haknya diberikan sertipikat sebagai surat tanda
buktinya.
2) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk Pemerintah, agar dengan
mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
3) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan, demi terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik
dan sebagai perwujudan tertib administrasi dibidang pertanahan. Untuk itu setiap bidang tanah dan satuan
rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak, wajib didaftarkan.
5.
Pajak dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Secara yuridis, pengertian pajak terdapat dalam Pasal 1 UU Nomor 28 Tahun
2007 yang menyatakan bahwa, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sedangkan menurut Soeparman Soemahamidjaja, pajak adalah iuran wajib berupa
uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum,
guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai
kesejahteraan
umum.[21] Pajak
juga
mempunyai
dua
fungsi
yaitu
fungsi budgetair (sumber keuangan Negara) dan fungsi regularend (pengatur).
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh
hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek Pajak sebagaimana tersebut diatas yang
dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut UndangUndang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BPHTB atau bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang
perseorangan pribadi atau badan. Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.[22]
BPHTB merupakan pajak yang terhutang yang harus dibayar oleh pihak yang
memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar akta atau risalah lelang, atau
surat keputusan pemberian hak dapat dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang. Pada dasarnya perolehan hak merupakan hasil dari suatu peralihan hak
dari suatu pihak yang memiliki atau menguasai suatu tanah dan bangunan kepada
pihak lain yang menerima hak atas tanah dan bangunan tersebut.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan dapat terjadi karena 2 (dua) hal, yaitu
peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Perolehan hak karena peristiwa hukum
merupakan perolehan hak yang diperoleh oleh seseorang karena adanya suatu
peristiwa hukum, misalnya pewarisan, yang mengakibatkan hak atas tanah tersebut
berpindah dari pemilik tanah dan bangunan sebelumnya (pewaris) kepada ahli waris
yang berhak. Sedangkan cara perolehan hak yang kedua adalah melalui perbuatan
hukum, yaitu pemilik tanah dan bangunan secara sadar melakukan perbuatan
hukum mengalihkan hak atas tanah dan bangunan miliknya kepada pihak lain yang
akan menerima peralihan hak tersebut. Contoh perolehan hak karena perbuatan
hukum antara lain jual beli, hibah dan lelang.[23]
Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di
Indonesia dilakukan dengan berpegangan pada 5 (lima) prinsip, antara lain:[24]
1) Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan sistem self assessment, yaitu wajib pajak menghitung dan
membayar sendiri utang pajaknya.
2) Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5 % dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP).
3) Agar pelaksanaan undang-undang BPHTB dapat berlaku secara efektif, wajib pajak dan pejabat umum yang
melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh undang-undang
akan dikenakan sanksi menurut peraturan perundang yang berlaku.
4) Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan Negara yang sebagian besar diserahkan kepada pemerintah
daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan
dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
5) Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan di luar ketentuan Undang-Undang BPHTB tidak
diperkenankan.
Dasar hukum pelaksanaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan selain sebagai legalitas yang
menjamin wewenang Negara untuk memungut pajak dari masyarakat, juga menjamin hak dan kewajiban
masyarakat dalam pemenuhan pajak dan menjamin kerahasiaan pajak. Aturan yang menjadi dasar hukum
pemungutan BPHTB di Indonesia, antara lain :[25]
1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, tentang
BPHTB, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak BPHTB.
4) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan.
5) Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep-21/PJ/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran BPHTB dan Bentuk
serta Fungsi Surat Setoran BPHTB
6) Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep-22/PJ/1997 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan
BPHTB.
DPP/Dasar Pengenaan Pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak atau disingkat menjadi
NPOP. NPOP dapat berbentuk harga transaksi dan nilai pasar. Jika nilai NPOP tidak diketahui atau lebih kecil
dari NJOP PBB, maka NJOP PBB dapat dipakai sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB. BPHTB yaitu
merupakan pajak yang harus dibayar akibat perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.
Obyek pajak yang tidak dikenakan BPTHB tertuang dalam Pasal 3 ayat(1) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000 jo Keputusan Menteri Keuangan No.XX/KMK.04/2000 yang meliputi :
1) Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik ;
2) Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
3) Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri
dengan syarat tidak menjalankan usaha atau menjalankan kegiatan lain diluar fungsi
dan tugas badan atau perwakilan organisasi;
4) Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan
tidak adanya perubahan nama;
5) Orang pribadi atau badan karena wakaf;
6) Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
C. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Pengajuan Hak
Milik
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) timbul karena
adanya
pemberian
hak.
Pada
pelaksanaan
Undang-Undang
BPHTB
dalam pengajuan hak milik dilakukan sesuai dengan prosedur pengajuan Hak Milik.
Untuk dapat diterbitkannya sertipikat hak milik, masyarakat wajib memohonkan
tanahnya untuk didaftarkan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kabupaten tempat
letak tanah yang dimaksud.
1. Prosedur Pengajuan Hak Milik
Adapun prosedur pengajuan hak milik mengacu pada Undang-Undang Pokok
Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, seorang
pemohon Hak Milik harus memenuhi dan menjalankan syarat-syarat yang telah
ditetapkan, yaitu antara lain:
1) Hak Milik dapat diberikan apabila memenuhi syarat subjektif yang diatur di dalam
Pasal 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI
Nomor 9 Tahun 1999, meliputi:
a. Warga Negara Indonesia (WNI)
b. Badan-badan Hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1963 yang berlaku, yaitu:
- Bank Pemerintah
- Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah.
2) Syarat-syarat untuk mendapatkan Hak Milik harus memenuhi :
a. Syarat Fisik, antara lain :
- Tanahnya harus ada atau jelas
- Batas-batas tanahnya harus jelas
- Letak tanahnya harus jelas
- Luasnya harus jelas
b. Syarat Yuridis
adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan kelengkapan alas hak (riwayat
perolehan tanah)
3) Proses pemberian hak untuk tanah yang belum bersertipikat
a. Pemohon datang ke loket yang ada pada Kantor Pertanahan setempat.
Dalam hal ini pemohon adalah pemilik tanah ataupun kuasa dari pemilik tanah
maupun kuasa dari ahli waris.
b. Pemohon memenuhi atau memberikan syarat-syarat yang ditentukan oleh petugas
loket dan mengisi Permohonan Hak Milik atas Tanah Negara yang diajukan secara
tertulis yang berisi identitas pemohon, seperti: nama, umur, kewarganegaraan,
tempat tinggal dan pekerjaannya serta keterangan mengenai isteri atau suami dan
anaknya yang masih menjadi tanggungannya. (lampiran 1)
c. Setelah berkas permohonan diterima, petugas Kantor Pertanahan setempat akan:
- Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik
- Mencatat dalam formulir isian 404 (lampiran 2)
- Memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian 405 (lampiran
3)
d. Kemudian petugas loket memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya
yang diperlukan untuk menyelesaikan permohonan tersebut. Biaya-biaya tersebut
antara lain adalah :
-
Membayar uang untuk melakukan pengukuran. Adapun rumus perhitungan biaya pengukuran sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, adalah:
Biaya pengukuran = Luas tanah x 100.000 + 100.000
500
-
Setelah uang pengukuran dibayar, barulah petugas Kantor Pertanahan bersama pemilik tanah dan diketahui
oleh para pihak yang berbatasan dengan tanah tersebut, turun ke lokasi tempat tanah yang dimohon untuk
mengetahui dan memastikan batas-batas tanah, mengukur luas tanah, yang kemudian produk hasil dari
pengukuran tanah tersebut adalah Peta Bidang Tanah (PBT) yang terbit 15 hari setelah pengukuran.
-
Membayar tarif biaya untuk melakukan Panitia Pemeriksaan Tanah “A”. Adapun rumus perhitungan tarif biaya
tersebut, yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, adalah :
Biaya pengukuran A = Luas tanah x 100.000 + 350.000
500
-
Panitia Pemeriksaan Tanah A atau yang sering disebut Panitia A adalah Panitia yang bertugas melaksanakan
pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik maupun data yuridis baik di lapangan maupun di Kantor dalam
rangka penyelesaian permohonan pemberian Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai Atas Tanah Negara,
Hak Pengelolaan dan permohonan pengakuan hak atas tanah, yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan
Tanah. Hasil atau kesimpulan dari Panitia Pemeriksaan Tanah “A” yang telah turun kelapangan, dituangkan
dalam Risalah Pemeriksaan Tanah “A”. (lampiran 4)
-
Panitia Pemeriksaan Tanah “A” turun ke lapangan, yang anggotanya terdiri dari :
1)
2)
3)
4)
5)
Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah
Kepala Seksi Survey Pengukuran dan Pemetaan
Kepala Seksi Pengaturan, Penataan, Pertanahan
Lurah setempat
Kepala Subseksi Penetapan Hak Kantor Pertanahan
Setelah anggota Panitia A turun ke lapangan dan memutuskan tidak ada
permasalahan pada tanah tersebut, barulah dapat di keluarkan dan diterbitkan
Surat Keputusan Pemberian Hak.
Untuk melengkapi syarat, yang salah satunya adalah bukti setor BPHTB,
pemohon disarankan untuk membayar lunas BPHTB yang dikenakan karena adanya
pemberian hak. Adapun Cara menghitung besarnya BPHTB terutang adalah Luas
tanah dikali Nilai Jual Objek Pajak (NJOP PBB) per meter dikurang Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikali 5%.
Atau secara matematis rumusnya adalah :
BPHTB = 5% (luas tanah x NJOP) – NPOPTKP
Keterangan :
-
Luas tanah :
-
NJOP: adalah Nilai Jual Objek Pajak Per-meter yang dapat dilihat dari SPPT PBB tahun berjalan.
adalah luas tanah yang telah diukur oleh petugas ukur
-
NPOPTKP:
4.
Setelah Peta Bidang Tanah dan Surat Keputusan Pemberian Hak sudah
diperoleh, Petugas loket meminta kepada pemohon untuk mendaftarkan haknya
pada Kantor Pertanahan setempat yang akan dikenakan biaya pendaftaran
sebesar Rp.50.000,- sesuai dengan ketentuan PP No.13 Tahun 2010, dan
dengan melengkapi berkas-berkas, antara lain :
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
1) Peta Bidang Tanah atau Surat Ukur
2) Surat Keputusan Pemberian Hak
3) Kartu Tanda Penduduk (KTP)
4)
SPPT PBB tahun berjalan
5) Surat-surat asli perolehan tanah, contohnya : Surat Keterangan Tanah, Surat
Pelepasan Hak, Akta Jual Beli (jika diperlukan), Surat Keterangan Ahli Waris (jika
diperlukan)
6) Bukti Setor telah membayar Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB).
g. Setelah syarat-syarat tersebut sudah lengkap, maka barulah petugas Kantor
Pertanahan setempat dapat memproses pendaftaran hak tersebut dengan
melakukan :
- Kutip Surat Ukur/Gambar Situasi.
- Cetak Sertipikat
- Pengesahan atau dibubuhinya tanda tangan oleh pejabat yang berwenang pada
sertipikat, yang dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pertanahan setempat dan baru
kemudian sertipikat itu dijahit dan dibubuhi cap garuda.
4) Proses Pemberian Hak Untuk Tanah yang Sudah Bersertipikat
Proses pemberian hak untuk tanah yang sudah bersertipikat hampir sama
dengan proses pemberian hak untuk tanah yang belum bersertipikat (tanah mentah),
karena walaupun tanah tersebut sudah bersertipikat tapi tetap harus dilakukan
pengukuran yang hasil produknya Peta Bidang Tanah, Panitia Pemeriksaan Tanah
“A” tetap harus turun kelapangan guna meninjau kembali batas-batas tanah
tersebut, yang hasil peninjauan tersebut dituangkan dalamKonstatering Rapport, dan
pemohon diwajibkan untuk membayar biaya-biaya tersebut seperti yang telah
diuraikan diatas. Bedanya tanah yang sudah bersertipikat tidak lagi dikenakan
BPHTB apabila tidak ada perubahan nama atas pemiliknya sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000, dan proses kelengkapan berkasnya
dilengkapi dengan sertipikat yang sudah ada, misalnya pemohon sudah pernah
mendaftarkan tanahnya dan mendapat Hak Guna Bangunan, akan tetapi pemohon
hendak mengalihkan haknya menjadi Hak Milik. Untuk itu pemohon atau kuasa
pemohon datang dan mengisi surat permohonan pada loket Kantor Pertanahan
setempat dan melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan agar peralihan haknya
dapat diproses.
Berkas-berkas yang harus dilengkapi, antara lain :
1) Peta Bidang Tanah atau Surat Ukur
2) Surat Keputusan Pemberian Hak
3) Kartu Tanda Penduduk (KTP)
4) Surat-surat asli perolehan tanah, contohnya : Surat Keterangan Tanah, Surat
Pelepasan Hak, Akta Jual Beli (jika diperlukan), Surat Keterangan Ahli Waris (jika
diperlukan).
5) Sertipikat Tanah
Setelah berkas-berkas tersebut lengkap, barulah Petugas Kantor Pertanahan
setempat dapat memproses dan memberikan Hak Milik kepada pemohon.
2. Akibat Hukum Apabila Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Tidak
Dibayar
Apabila wajib pajak diketahui kurang bayar BPHTB maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan BPHTB Kurang Bayar (SKBKB) beserta denda sebesar 2% perbulan untuk jangka waktu maksimal 24
bulan dihitung mulai saat terhutang pajak sampai diterbitkan SKBKB karena menurut Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolahan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang merupakan sanksi apabila
wajib pajak tidak membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Pembayaran BPHTB menganut sistem self assessment, yaitu Wajib Pajak
atau pemohon diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak
yang terhutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan dan melaporkannya tanpa menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan
Pajak.
Jika biaya BPHTB tidak dibayar sama sekali dan tidak ada bukti setornya
maka sertipikat yang dimohon tidak akan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan atau
ditunda untuk sementara waktu menunggu hasil bukti setor BPHTB tersebut. Setelah
ada bukti setor BPHTB, dan sertipikat tersebut bisa ditandatangani oleh Pejabat
Pertanahan yang berwenang. Berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) apabila Pejabat
Pertanahan Kabupaten/Kotamadya menandatangani sertipikat sebelum adanya
bukti lunas setor BPHTB akan dikenakan denda sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta
lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisa yang telah dikemukakan maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa :
1. Pengajuan Permohonan Hak Milik atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dilakukan menurut
prosedur yang sesuai dengan Hukum Tanah Nasional yang berlaku di Indonesia
didasarkan pada Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.
2. Apabila wajib pajak dalam hal ini pemohon tidak membayar BPHTB maka akan
dikenakan sanksi administrasi sesuai UU BPHTB. Jika biaya BPHTB tidak dibayar
sama sekali dan tidak ada bukti setornya maka sertipikat yang dimohon tidak akan
ditandatangani oleh Pejabat Pertanahan yang berwenang pada Kantor Pertanahan
atau ditunda untuk sementara waktu menunggu hasil bukti setor BPHTB tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Bacaan:
A.P Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Bandung, 1993.
---------, Komentar Atas UUPA, Alumni, Bandung, 1986.
---------, Tanya Jawab Hukum Agraria dan Pertanahan, Mandar Maju, Bandung, 2003.
Arie.S.Hutagalung, Asas-Asas Hukum Agraria, Diktat, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 1997.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria,Isi dan pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 1991.
---------, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria,Isi dan pelaksanaannya, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, 1999.
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Irawan Soerodjo,Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arloka, Jakarta, 2003.
Khairul R, Menggenjot Pendaftaran Tanah, Tanah Air Media Perencanaan BPN RI Edisi ke4, Jakarta, 2007.
K.Watjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997.
Marihot P.Siahaan, Bea Perolehaan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori dan Praktir, Edisi
Revisi, Raja Grafika Persada, Jakarta, 2003.
Mardiasmo, AK, Perpajakan,Edisi Revisi, Andi Yogyakarta, 2009.
R.Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Keempat, Refika Aditama,
Bandung,2003.
Soeparman Soemahamidjaja, Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong, Universitas
Padjajaran, Bandung, 1964.
Soni Harsono, Hukum Pertanahan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan Praktek
Pelaksanaanya, BPN, Jakarta, 1990.
Supriadi, Hukum Agraria,Cetakan 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Grup,
Jakarta, 2007.
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Grup,
Jakarta, 2012
Wirawan B.Ilyas,dkk, Hukum Pajak, Edisi 3, Salemba Empat, Jakarta, 2007.
W.J.S.Perwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2003.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehaan Hak Atas Tanah dan
Bangunan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahaan Atas Undang-Undang Nomor
21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehaan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN RI Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
DALAM PENGAJUAN PERMOHONAN HAK MILIK ATAS TANAH
19.49
No comments
Penulis
Marsitiningsih, SH, MH. dan Ardiana Hidayah, SH, MH
Abstrak
BPHTB merupakan pajak yang terhutang yang harus dibayar oleh pihak yang
memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar akta atau risalah lelang, atau surat
keputusan pemberian hak dapat dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
Pada dasarnya perolehan hak merupakan hasil dari suatu peralihan hak dari suatu pihak
yang memiliki atau menguasai suatu tanah dan bangunan kepada pihak lain yang menerima
hak atas tanah dan bangunan tersebut.
Pengajuan Hak Milik atas Tanah dilakukan menurut prosedur yang sesuai dengan
Hukum Tanah Nasional yang berlaku di Indonesia. Apabila wajib pajak dalam hal ini
pemohon tidak membayar BPHTB maka akan dikenakan sanksi administrasi
berupa sertipikat yang dimohonkan tidak akan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan .
A. Latar Belakang
Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahwa tanah adalah sebagian dari
pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya
serta yang berada di bawah air. Tanah mempunyai arti yang sangat penting bagi
kehidupan manusia, karena tanah merupakan salah satu sumber utama bagi
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Makin besar akses rakyat terhadap tanah,
makin besar pula kesempatan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus
mendongkrak martabat sosial.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut
permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam
segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspek saja, yaitu tanah
dalam pengertian yuridis yang disebut hak.[1]
Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria menentukan bahwa :
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termasuk dalam ayat 1 pasal ini memberikan
wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa;
c menentukan dan mengatur hubungan-hubunagan hukum antara orang-orang
dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat
(2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam
arti kebahagian, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara
hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan:
Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal
2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengenal lebih dari 10 (sepuluh)
jenis penguasaan tanah, yaitu diantaranya hak milik, hak guna usaha dan hak guna
bangunan, yang merupakan jenis penguasaan tanah untuk tanah-tanah yang
diperlukan bagi proyek-proyek pembangunan yang dapat berupa tanah negara
ataupun tanah hak milik perseorangan.[2] Oleh karena itu, untuk mendukung
kegiatan pembangunan, pertambahan penduduk dan kegiatannya, maka sumber
daya tanah perlu dikelola secara efisien dan efektif, agar pemanfaatannya dapat
terselenggara secara optimal dan berkelanjutan, sehingga mampu memberikan
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, khususnya untuk memenuhi tuntutan
mutu kehidupan yang lebih baik yaitu sebagai salah satu sarana utama yang
digariskan dalam arahan kebijaksanaan pembangunan nasional.
Dewasa ini perkembangan pembangunan semakin pesat, dan untuk
menunjang pembangunan dan perekonomian nasional ini tentu dibutuhkan lahan
atau tanah yang tidak sedikit. Hampir tidak ada kegiatan pembangunan yang tidak
memerlukan tanah. Dengan pembangunan yang terus meningkat, khususnya
pembangunan fisik yang memerlukan tanah yang luas menyebabkan ketersediaan
akan tanah semakin terbatas dan menimbulkan permasalahan-permasalahan
pertanahan, seperti timbulnya sengketa-sengketa pertanahan. Melihat kenyatan ini
maka, Pemerintah merasa perlu untuk membuat peraturan perundang-undangan
yang membatasi penguasaan tanah dan memungut pajak bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan terhadap perseorangan atau badan hukum sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ada berbagai kepentingan berkenaan dengan persoalan tanah dalam sarana
utamanya, yaitu sebagian besar dari warga masyarakat memerlukan tanah (lahan)
sebagai tempat pemukiman/tempat tinggal dan tempat mata pencahariannya. Untuk
memperoleh kepemilikan hak atas tanah khususnya hak milik, hanya dapat
diperoleh melalui pendaftaran tanah yang sesuai dengan prosedur dan memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan oleh Kantor Pertanahan setempat.
Pendaftaran tanah merupakan jaminan tertib hukum dan kepastian hukum
hak atas tanah yang dalam rangka pelaksanaan tugasnya pendaftaran tanah
dilakukan sebagai suatu kegiatan berupa pembukuan, pendaftaran tanah dan
pengalihan hak atas tanah.[3] Pendaftaran tanah dengan prosedur yang benar
merupakan suatu langkah awal terhadap proteksi pemerintah akan hak atas tanah.
Bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, sudah sewajarnya
menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui
pembayaran pajak, dalam hal ini yaitu Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) demi menunjang pembangunan nasional. Selain tanah,
bangunan juga dikenakan pajak karena bangunan juga merupakan benda yang
penting bagi manusia, berbagai bangunan dibangun untuk memenuhi berbagai
kebutuhan manusia.
Sebagai upaya untuk memenuhi pengeluaran pemerintah berkaitan dengan
tugasnya untuk menyelenggarakan pemerintahan umum dan pembangunan,
pemerintah menerapkan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan Negara. Jika
melihat perkembangan penerimaan pajak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), tampak bahwa pajak telah menjadi primadona yang mendominasi
penerimaan Negara. Hal ini tentunya cukup menggembirakan karena menandakan
bahwa kemandirian bangsa dalam pembiayaan pengeluaran Negara yang menjadi
tujuan reformasi perpajakan di Indonesia semakin nyata dari waktu ke waktu.
Bangsa yang mandiri adalah bangsa yang berusaha sedapat mungkin memenuhi
kebutuhan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dari dalam negeri. Salah satu
cara yang paling efektif untuk hal ini adalah melalui penggalian potensi pajak.[4]
Untuk tetap dapat meningkatkan penerimaan Negara dari sektor pajak,
pemerintah berupaya menggali potensi pajak. Salah satunya diwujudkan dengan
cara mencari dan menerapkan jenis pajak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia.
Berbagai jenis pajak diterapkan sesuai dengan kondisi masyarakat yang pada suatu
masa mungkin dipungut suatu jenis pajak, mungkin pada waktu berikutnya
dihilangkan atau dihapus dengan berbagai pertimbangan dan kemudian dipungut
dan diberlakukan kembali. Hal ini wajar saja mengingat rezim pemerintahan yang
berkuasa pada suatu masa akan menyelesaikan pungutan yang dikenakana pada
masyarakat sesuai dengan kepentingannya juga.
Jenis pajak yang baru diterapkan di Indonesia seiring dengan penggalian
potensi baru adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang
mulai diberlakukan sejak tahun 1998. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) sebenarnya merupakan jenis pajak lama yang pernah dipungut pada masa
pemerintahaan penjajahan, tetapi dihapus seiring dengan berlakunya UndangUndang Pokok Agraria (UUPA). Sekarang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) diterapkan kembali karena dianggap sesuai dengan keadaan
bangsa Indonesia dewasa ini.[5]
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat merumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimana prosedur penetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dalam Pengajuan Permohonan Hak Milik atas tanah berdasarkan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)?
2. Apa akibat hukumnya apabila Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) tidak dibayar ?
C. Tinjauan Pustaka
1.
Pengertian Tanah
Sebutan untuk “Tanah” (land) dapat mempunyai arti yang berbeda tergantung
dari sudut pandang keilmuan untuk mengartikannya. Dalam konsep hukum tanah
tidak sekedar permukaan bumi, namun mempunyai tiga dimensi yakni ruang
angkasa, permukaan bumi dan di bawah tubuh bumi. Dalam konteks hukum tanah,
tanah diartikan sebagai “permukaan bumi” sebagaimana ditentukan (lihat Pasal 4
ayat 1 UUPA), “Tanah Negara” seperti hal sebutan tanah yang lain, selain yang telah
dimiliki misalnya tanah milik dan sebagainya.[6] Hal ini menunjukan suatu status
hubungan hukum tertentu antara obyek dan subyeknya yang dalam konteks ini
lebih kepada hubungan kepemilikan atau kepunyaan antara subyek dan obyek yang
bersangkutan.
Dalam pengertian sebagai obyek dan Negara sebagai subyeknya maka jika
kita menyebutkan tanah Negara artinya adalah Negara mempunyai hubungan
hukum tertentu dengan obyeknya yakni tanah.[7] Namun dalam hal ini Negara
bukan sebagai pemilik tanah akan tetapi mempunyai kewenangan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang hubungan hukum itu
dapat berupa hubungan kepemilikan kekuasaan atau kepunyaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), pengertian tanah adalah[8]:
1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali
2. Keadaan bumi di suatu tempat
3. Permukaan bumi yang diberi batas
4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir dll)
Dalam hukum tanah, sebutan kata “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai
suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA yang terdapat dalam
Pasal 4 UUPA menyatakan, “bahwa atas dasar hak menguasai dari Negara,
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang”. Dengan demikian
jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi
sebagaimana
ditentukan
Pasal
4
(ayat
1)
UUPA,
sedang
hak
atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas,
berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.[9]
Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang
disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya
dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna, jika
penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk
keperluan apapun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh
bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya, oleh karena itu
dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan
hanya memberikan wewenang untuk
mempergunakan
sebagian
tertentu
permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut “tanah” tetapi juga tubuh bumi
yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya.[10]
Seberapa dalam bumi itu boleh digunakan dan setinggi apa ruang yang ada di
atasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batasbatas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri,
kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan. Atas pemahaman konsep dan peraturan perundangan tentang
pengertian tanah Negara dapat ditarik kesimpulan dalam tataran yuridis bahwa
terdapat dua kategori tanah Negara dilihat dari asal usulnya[11] :
1) Tanah Negara yang berasal dari tanah yang benar-benar belum pernah ada hak atas
tanah yang melekatinya atau disebut sebagai tanah Negara bebas;
2) Tanah Negara yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya ada haknya, karena
sesuatu hal atau adanya perbuatan hukum tertentu menjadi tanah Negara. Tanah
bekas hak barat, tanah dengan hak atas tanah tertentu yang telah berakhir jangka
waktunya, tanah yang dicabut haknya, tanah yang dilepaskan secara sukarela oleh
pemiliknya.
2. Pengertian Hak Atas Tanah
Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak
untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak
penggunaan atas tanah.[12] Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah
berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya.
Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam Pasal 16 jo Pasal 53 UUPA, antara lain[13] :
1) Hak Milik
2) Hak Guna Usaha
3) Hak Guna Bangunan
4) Hak Pakai
5) Hak Sewa
6) Hak Membuka Tanah
7) Hak Memungut Hasil Hutan
8) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan
oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana
disebutkan dalam pasal 53.
Pasal 16 UUPA menentukan adanya dua hak yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah
yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan karena hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk
mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam Pasal
16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat.
Kedua hak tersebut merupakan manifestasi dari hak ulayat. Selain hak–hak atas tanah yang disebut dalam
Pasal 16, dijumpai juga lembaga–lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional
diberi sifat sementara dan pada suatu saat nanti akan dihapuskan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53
UUPA.
3. Pengertian Hak Milik
Menurut ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria Hak Milik adalah
hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat ketentuan Pasal 6.
Kata “terkuat” dan “terpenuhi” tidak berarti bahwa hak milik itu merupakan hak
yang mutlak, tidak dapat diganggu gugat dan tidak terbatas seperti Hak Eigendom,
akan tetapi kata terkuat dan terpenuh itu dimaksudkan untuk membedakan dengan
hak-hak lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah maka
Hak Milik yang terkuat dan terpenuh.[14]
a. Merupakan hak yang “terkuat”, artinya Hak Milik tidak mudah hapus dan musnah
serta mudah dipertahankan terhadap hak pihak lain, oleh karena itu harus
didaftarkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
b. “Terpenuh” artinya kewenangan pemegang hak milik itu paling penuh dengan
dibatasi ketentuan Pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial tanah.
c. “Turun-temurun” berarti jangka waktunya tidak terbatas, dapat beralih karena
perbuatan hukum dan peristiwa hukum.
Sedangkan menurut A.P. Parlindungan, kata-kata terkuat dan terpenuhi itu bermaksud untuk membedakannya
dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan hak-hak lainnya, yaitu untuk menunjukkan
bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak miliklah yang “ter” (paling kuat dan penuh).
Begitu pentingnya hak milik, pemerintah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap persoalan hak milik
atas tanah tersebut.[15]
Hal ini dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
d.
1)
2)
3)
Menurut Pasal 22
Hak milik atas tanah yang terjadi menurut Hukum Adat
Hak milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah
Hak milik atas tanah terjadi karena ketentuan Undang-undang.[16]
4.
Pendaftaran Hak Atas Tanah dan Bangunan
Ketentuan tentang pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997. Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997, Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh
Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan
keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang berada di
wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi
kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang
pertanahan, termasuk penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya.
Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah seperti yang disebutkan
pada Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.[17]
Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran yang
dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961
dan
Peraturan Pemerintah Nomor24 Tahun 1997, yang dapat dilaksanakan dengan 2
(dua) cara, yaitu [18] :
a) Pendaftaran tanah secara sistematik
adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara
serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftarkan
dalam wilayah atau bagian wilayah suatu Desa/Kelurahan yang dilakukan atas dasar
prakarsa Pemerintah.
b) Pendaftaran tanah secara sporadik
adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau
beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
Desa/Kelurahan secara individual atau massal.
Sedangkan pemeliharaan data pendaftaran tanah, menurut pasal 1 angka 11 adalah
kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam
peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah dan sertipikat
dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Kegiatan pemeliharaan data
pendaftaran tanah meliputi :
a) Pendaftaran peralihan
b) Pembebanan hak
c) Pendaftaran perubahan data fisik dan data yuridis
Data fisik
adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang dan satuan rumah susun
yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian
bangunan atas.
Data yuridis
adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun
yang didaftar pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang
membebaninya.
Hak atas tanah baru dapat dibuktikan dengan cara, yaitu [19]:
a) Penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan
hak menurut ketentuan yang berlaku, apabila pemberian tersebut berasal dari
tanah Negara atau tanah hak pengelolaan, yang dapat diberikan secara individual,
kolektif ataupun secara umum.
b) Asli akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh Pemegang Hak Milik
kepada penerima hak yang bersangkutan, apabila mengenai Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai Atas tanah hak Milik.
Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, asas-asas pendaftaran tanah adalah
pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.
Tujuan dari pendaftaran tanah seperti yang dinyatakan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah antara lain adalah[20]:
1) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah,
satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan, untuk itu kepada pemegang haknya diberikan sertipikat sebagai surat tanda
buktinya.
2) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk Pemerintah, agar dengan
mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
3) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan, demi terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik
dan sebagai perwujudan tertib administrasi dibidang pertanahan. Untuk itu setiap bidang tanah dan satuan
rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak, wajib didaftarkan.
5.
Pajak dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Secara yuridis, pengertian pajak terdapat dalam Pasal 1 UU Nomor 28 Tahun
2007 yang menyatakan bahwa, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sedangkan menurut Soeparman Soemahamidjaja, pajak adalah iuran wajib berupa
uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum,
guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai
kesejahteraan
umum.[21] Pajak
juga
mempunyai
dua
fungsi
yaitu
fungsi budgetair (sumber keuangan Negara) dan fungsi regularend (pengatur).
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh
hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek Pajak sebagaimana tersebut diatas yang
dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut UndangUndang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BPHTB atau bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang
perseorangan pribadi atau badan. Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.[22]
BPHTB merupakan pajak yang terhutang yang harus dibayar oleh pihak yang
memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar akta atau risalah lelang, atau
surat keputusan pemberian hak dapat dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang. Pada dasarnya perolehan hak merupakan hasil dari suatu peralihan hak
dari suatu pihak yang memiliki atau menguasai suatu tanah dan bangunan kepada
pihak lain yang menerima hak atas tanah dan bangunan tersebut.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan dapat terjadi karena 2 (dua) hal, yaitu
peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Perolehan hak karena peristiwa hukum
merupakan perolehan hak yang diperoleh oleh seseorang karena adanya suatu
peristiwa hukum, misalnya pewarisan, yang mengakibatkan hak atas tanah tersebut
berpindah dari pemilik tanah dan bangunan sebelumnya (pewaris) kepada ahli waris
yang berhak. Sedangkan cara perolehan hak yang kedua adalah melalui perbuatan
hukum, yaitu pemilik tanah dan bangunan secara sadar melakukan perbuatan
hukum mengalihkan hak atas tanah dan bangunan miliknya kepada pihak lain yang
akan menerima peralihan hak tersebut. Contoh perolehan hak karena perbuatan
hukum antara lain jual beli, hibah dan lelang.[23]
Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di
Indonesia dilakukan dengan berpegangan pada 5 (lima) prinsip, antara lain:[24]
1) Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan sistem self assessment, yaitu wajib pajak menghitung dan
membayar sendiri utang pajaknya.
2) Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5 % dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP).
3) Agar pelaksanaan undang-undang BPHTB dapat berlaku secara efektif, wajib pajak dan pejabat umum yang
melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh undang-undang
akan dikenakan sanksi menurut peraturan perundang yang berlaku.
4) Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan Negara yang sebagian besar diserahkan kepada pemerintah
daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan
dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
5) Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan di luar ketentuan Undang-Undang BPHTB tidak
diperkenankan.
Dasar hukum pelaksanaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan selain sebagai legalitas yang
menjamin wewenang Negara untuk memungut pajak dari masyarakat, juga menjamin hak dan kewajiban
masyarakat dalam pemenuhan pajak dan menjamin kerahasiaan pajak. Aturan yang menjadi dasar hukum
pemungutan BPHTB di Indonesia, antara lain :[25]
1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, tentang
BPHTB, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak BPHTB.
4) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan.
5) Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep-21/PJ/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran BPHTB dan Bentuk
serta Fungsi Surat Setoran BPHTB
6) Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep-22/PJ/1997 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan
BPHTB.
DPP/Dasar Pengenaan Pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak atau disingkat menjadi
NPOP. NPOP dapat berbentuk harga transaksi dan nilai pasar. Jika nilai NPOP tidak diketahui atau lebih kecil
dari NJOP PBB, maka NJOP PBB dapat dipakai sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB. BPHTB yaitu
merupakan pajak yang harus dibayar akibat perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.
Obyek pajak yang tidak dikenakan BPTHB tertuang dalam Pasal 3 ayat(1) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000 jo Keputusan Menteri Keuangan No.XX/KMK.04/2000 yang meliputi :
1) Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik ;
2) Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
3) Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri
dengan syarat tidak menjalankan usaha atau menjalankan kegiatan lain diluar fungsi
dan tugas badan atau perwakilan organisasi;
4) Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan
tidak adanya perubahan nama;
5) Orang pribadi atau badan karena wakaf;
6) Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
C. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Pengajuan Hak
Milik
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) timbul karena
adanya
pemberian
hak.
Pada
pelaksanaan
Undang-Undang
BPHTB
dalam pengajuan hak milik dilakukan sesuai dengan prosedur pengajuan Hak Milik.
Untuk dapat diterbitkannya sertipikat hak milik, masyarakat wajib memohonkan
tanahnya untuk didaftarkan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kabupaten tempat
letak tanah yang dimaksud.
1. Prosedur Pengajuan Hak Milik
Adapun prosedur pengajuan hak milik mengacu pada Undang-Undang Pokok
Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, seorang
pemohon Hak Milik harus memenuhi dan menjalankan syarat-syarat yang telah
ditetapkan, yaitu antara lain:
1) Hak Milik dapat diberikan apabila memenuhi syarat subjektif yang diatur di dalam
Pasal 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI
Nomor 9 Tahun 1999, meliputi:
a. Warga Negara Indonesia (WNI)
b. Badan-badan Hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1963 yang berlaku, yaitu:
- Bank Pemerintah
- Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah.
2) Syarat-syarat untuk mendapatkan Hak Milik harus memenuhi :
a. Syarat Fisik, antara lain :
- Tanahnya harus ada atau jelas
- Batas-batas tanahnya harus jelas
- Letak tanahnya harus jelas
- Luasnya harus jelas
b. Syarat Yuridis
adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan kelengkapan alas hak (riwayat
perolehan tanah)
3) Proses pemberian hak untuk tanah yang belum bersertipikat
a. Pemohon datang ke loket yang ada pada Kantor Pertanahan setempat.
Dalam hal ini pemohon adalah pemilik tanah ataupun kuasa dari pemilik tanah
maupun kuasa dari ahli waris.
b. Pemohon memenuhi atau memberikan syarat-syarat yang ditentukan oleh petugas
loket dan mengisi Permohonan Hak Milik atas Tanah Negara yang diajukan secara
tertulis yang berisi identitas pemohon, seperti: nama, umur, kewarganegaraan,
tempat tinggal dan pekerjaannya serta keterangan mengenai isteri atau suami dan
anaknya yang masih menjadi tanggungannya. (lampiran 1)
c. Setelah berkas permohonan diterima, petugas Kantor Pertanahan setempat akan:
- Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik
- Mencatat dalam formulir isian 404 (lampiran 2)
- Memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian 405 (lampiran
3)
d. Kemudian petugas loket memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya
yang diperlukan untuk menyelesaikan permohonan tersebut. Biaya-biaya tersebut
antara lain adalah :
-
Membayar uang untuk melakukan pengukuran. Adapun rumus perhitungan biaya pengukuran sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, adalah:
Biaya pengukuran = Luas tanah x 100.000 + 100.000
500
-
Setelah uang pengukuran dibayar, barulah petugas Kantor Pertanahan bersama pemilik tanah dan diketahui
oleh para pihak yang berbatasan dengan tanah tersebut, turun ke lokasi tempat tanah yang dimohon untuk
mengetahui dan memastikan batas-batas tanah, mengukur luas tanah, yang kemudian produk hasil dari
pengukuran tanah tersebut adalah Peta Bidang Tanah (PBT) yang terbit 15 hari setelah pengukuran.
-
Membayar tarif biaya untuk melakukan Panitia Pemeriksaan Tanah “A”. Adapun rumus perhitungan tarif biaya
tersebut, yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, adalah :
Biaya pengukuran A = Luas tanah x 100.000 + 350.000
500
-
Panitia Pemeriksaan Tanah A atau yang sering disebut Panitia A adalah Panitia yang bertugas melaksanakan
pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik maupun data yuridis baik di lapangan maupun di Kantor dalam
rangka penyelesaian permohonan pemberian Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai Atas Tanah Negara,
Hak Pengelolaan dan permohonan pengakuan hak atas tanah, yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan
Tanah. Hasil atau kesimpulan dari Panitia Pemeriksaan Tanah “A” yang telah turun kelapangan, dituangkan
dalam Risalah Pemeriksaan Tanah “A”. (lampiran 4)
-
Panitia Pemeriksaan Tanah “A” turun ke lapangan, yang anggotanya terdiri dari :
1)
2)
3)
4)
5)
Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah
Kepala Seksi Survey Pengukuran dan Pemetaan
Kepala Seksi Pengaturan, Penataan, Pertanahan
Lurah setempat
Kepala Subseksi Penetapan Hak Kantor Pertanahan
Setelah anggota Panitia A turun ke lapangan dan memutuskan tidak ada
permasalahan pada tanah tersebut, barulah dapat di keluarkan dan diterbitkan
Surat Keputusan Pemberian Hak.
Untuk melengkapi syarat, yang salah satunya adalah bukti setor BPHTB,
pemohon disarankan untuk membayar lunas BPHTB yang dikenakan karena adanya
pemberian hak. Adapun Cara menghitung besarnya BPHTB terutang adalah Luas
tanah dikali Nilai Jual Objek Pajak (NJOP PBB) per meter dikurang Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikali 5%.
Atau secara matematis rumusnya adalah :
BPHTB = 5% (luas tanah x NJOP) – NPOPTKP
Keterangan :
-
Luas tanah :
-
NJOP: adalah Nilai Jual Objek Pajak Per-meter yang dapat dilihat dari SPPT PBB tahun berjalan.
adalah luas tanah yang telah diukur oleh petugas ukur
-
NPOPTKP:
4.
Setelah Peta Bidang Tanah dan Surat Keputusan Pemberian Hak sudah
diperoleh, Petugas loket meminta kepada pemohon untuk mendaftarkan haknya
pada Kantor Pertanahan setempat yang akan dikenakan biaya pendaftaran
sebesar Rp.50.000,- sesuai dengan ketentuan PP No.13 Tahun 2010, dan
dengan melengkapi berkas-berkas, antara lain :
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
1) Peta Bidang Tanah atau Surat Ukur
2) Surat Keputusan Pemberian Hak
3) Kartu Tanda Penduduk (KTP)
4)
SPPT PBB tahun berjalan
5) Surat-surat asli perolehan tanah, contohnya : Surat Keterangan Tanah, Surat
Pelepasan Hak, Akta Jual Beli (jika diperlukan), Surat Keterangan Ahli Waris (jika
diperlukan)
6) Bukti Setor telah membayar Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB).
g. Setelah syarat-syarat tersebut sudah lengkap, maka barulah petugas Kantor
Pertanahan setempat dapat memproses pendaftaran hak tersebut dengan
melakukan :
- Kutip Surat Ukur/Gambar Situasi.
- Cetak Sertipikat
- Pengesahan atau dibubuhinya tanda tangan oleh pejabat yang berwenang pada
sertipikat, yang dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pertanahan setempat dan baru
kemudian sertipikat itu dijahit dan dibubuhi cap garuda.
4) Proses Pemberian Hak Untuk Tanah yang Sudah Bersertipikat
Proses pemberian hak untuk tanah yang sudah bersertipikat hampir sama
dengan proses pemberian hak untuk tanah yang belum bersertipikat (tanah mentah),
karena walaupun tanah tersebut sudah bersertipikat tapi tetap harus dilakukan
pengukuran yang hasil produknya Peta Bidang Tanah, Panitia Pemeriksaan Tanah
“A” tetap harus turun kelapangan guna meninjau kembali batas-batas tanah
tersebut, yang hasil peninjauan tersebut dituangkan dalamKonstatering Rapport, dan
pemohon diwajibkan untuk membayar biaya-biaya tersebut seperti yang telah
diuraikan diatas. Bedanya tanah yang sudah bersertipikat tidak lagi dikenakan
BPHTB apabila tidak ada perubahan nama atas pemiliknya sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000, dan proses kelengkapan berkasnya
dilengkapi dengan sertipikat yang sudah ada, misalnya pemohon sudah pernah
mendaftarkan tanahnya dan mendapat Hak Guna Bangunan, akan tetapi pemohon
hendak mengalihkan haknya menjadi Hak Milik. Untuk itu pemohon atau kuasa
pemohon datang dan mengisi surat permohonan pada loket Kantor Pertanahan
setempat dan melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan agar peralihan haknya
dapat diproses.
Berkas-berkas yang harus dilengkapi, antara lain :
1) Peta Bidang Tanah atau Surat Ukur
2) Surat Keputusan Pemberian Hak
3) Kartu Tanda Penduduk (KTP)
4) Surat-surat asli perolehan tanah, contohnya : Surat Keterangan Tanah, Surat
Pelepasan Hak, Akta Jual Beli (jika diperlukan), Surat Keterangan Ahli Waris (jika
diperlukan).
5) Sertipikat Tanah
Setelah berkas-berkas tersebut lengkap, barulah Petugas Kantor Pertanahan
setempat dapat memproses dan memberikan Hak Milik kepada pemohon.
2. Akibat Hukum Apabila Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Tidak
Dibayar
Apabila wajib pajak diketahui kurang bayar BPHTB maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan BPHTB Kurang Bayar (SKBKB) beserta denda sebesar 2% perbulan untuk jangka waktu maksimal 24
bulan dihitung mulai saat terhutang pajak sampai diterbitkan SKBKB karena menurut Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolahan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang merupakan sanksi apabila
wajib pajak tidak membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Pembayaran BPHTB menganut sistem self assessment, yaitu Wajib Pajak
atau pemohon diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak
yang terhutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan dan melaporkannya tanpa menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan
Pajak.
Jika biaya BPHTB tidak dibayar sama sekali dan tidak ada bukti setornya
maka sertipikat yang dimohon tidak akan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan atau
ditunda untuk sementara waktu menunggu hasil bukti setor BPHTB tersebut. Setelah
ada bukti setor BPHTB, dan sertipikat tersebut bisa ditandatangani oleh Pejabat
Pertanahan yang berwenang. Berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) apabila Pejabat
Pertanahan Kabupaten/Kotamadya menandatangani sertipikat sebelum adanya
bukti lunas setor BPHTB akan dikenakan denda sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta
lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisa yang telah dikemukakan maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa :
1. Pengajuan Permohonan Hak Milik atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dilakukan menurut
prosedur yang sesuai dengan Hukum Tanah Nasional yang berlaku di Indonesia
didasarkan pada Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.
2. Apabila wajib pajak dalam hal ini pemohon tidak membayar BPHTB maka akan
dikenakan sanksi administrasi sesuai UU BPHTB. Jika biaya BPHTB tidak dibayar
sama sekali dan tidak ada bukti setornya maka sertipikat yang dimohon tidak akan
ditandatangani oleh Pejabat Pertanahan yang berwenang pada Kantor Pertanahan
atau ditunda untuk sementara waktu menunggu hasil bukti setor BPHTB tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Bacaan:
A.P Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Bandung, 1993.
---------, Komentar Atas UUPA, Alumni, Bandung, 1986.
---------, Tanya Jawab Hukum Agraria dan Pertanahan, Mandar Maju, Bandung, 2003.
Arie.S.Hutagalung, Asas-Asas Hukum Agraria, Diktat, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 1997.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria,Isi dan pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 1991.
---------, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria,Isi dan pelaksanaannya, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, 1999.
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Irawan Soerodjo,Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arloka, Jakarta, 2003.
Khairul R, Menggenjot Pendaftaran Tanah, Tanah Air Media Perencanaan BPN RI Edisi ke4, Jakarta, 2007.
K.Watjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997.
Marihot P.Siahaan, Bea Perolehaan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori dan Praktir, Edisi
Revisi, Raja Grafika Persada, Jakarta, 2003.
Mardiasmo, AK, Perpajakan,Edisi Revisi, Andi Yogyakarta, 2009.
R.Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Keempat, Refika Aditama,
Bandung,2003.
Soeparman Soemahamidjaja, Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong, Universitas
Padjajaran, Bandung, 1964.
Soni Harsono, Hukum Pertanahan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan Praktek
Pelaksanaanya, BPN, Jakarta, 1990.
Supriadi, Hukum Agraria,Cetakan 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Grup,
Jakarta, 2007.
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Grup,
Jakarta, 2012
Wirawan B.Ilyas,dkk, Hukum Pajak, Edisi 3, Salemba Empat, Jakarta, 2007.
W.J.S.Perwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2003.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehaan Hak Atas Tanah dan
Bangunan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahaan Atas Undang-Undang Nomor
21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehaan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN RI Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.