STUDI MEKANIKA KUANTUM PADA REAKSI PRIMA-1 DAN TURUNANNYA TERHADAP N-ASETIL SISTEIN

STUDI MEKANIKA KUANTUM PADA REAKSI PRIMA-1 DAN TURUNANNYA TERHADAP N-ASETIL SISTEIN

Disusun Oleh : DEWI NURMALITASARI

M0307006

SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains Kimia JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Maret, 2012

commit to user

Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta Telah Mengesahkan Skripsi Mahasiswa:

Dewi Nurmalitasari M0307006, dengan judul “ Studi Mekanika Kuantum pada Reaksi PRIMA-1 dan Turunannya terhadap N-Asetil Sistein ”

Skripsi ini dibimbing oleh:

Dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi pada:

Anggota Tim Penguji:

1. Dr. Desi Suci Handayani, M.Si

1. ............................ NIP 19721207 199903 1001

2. Yuniawan Hidayat, M.Si

2. ............................ NIP 19790605 200501 1001

Disahkan Oleh Jurusan Kimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sebelas Maret Surakarta Ketua Jurusan Kimia,

Dr. Eddy Heraldy, M.Si NIP 19640305 200003 1002

Pembimbing I

Dr.rer.nat.Fajar. Rakhman W., M.Si NIP 19730605 200003 1001

commit to user

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul ”STUDI MEKANIKA KUANTUM PADA REAKSI PRIMA-1 DAN TURUNANNYA TERHADAP N- ASETIL SISTEIN” adalah benar-benar hasil penelitian sendiri

dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat kerja atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 7 Maret 2012

DEWI NURMALITASARI

commit to user

DAN TURUNANNYA TERHADAP N-ASETIL SISTEIN DEWI NURMALITASARI

Jurusan Kimia. Fakultas Matematia dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas Maret

ABSTRAK

PRIMA-1 (p53 Reactivation and Induction of Massive Apoptosis) dapat menginduksi reaktivasi p53 melalui pembentukan adduct, dengan pembentukan ikatan kovalen pada gugus thiol. Pembentukan adduct tersebut diasumsikan terjadi melalui konversi PRIMA-1. MQ (Methylene Quinuclidinone) adalah salah satu senyawa turunan PRIMA-1, yang secara eksperimen telah dipelajari untuk pembentukan tersebut. Untuk mempelajari mekanisme reaksi pembentukan tersebut, kami memodelkan pembentukan adduct tersebut dengan menggunakan NAC (N-Acetyl Cystein). Pembentukan adduct antara NAC dengan PRIMA-1 dimodelkan dengan reaksi substitusi nukleofilik pada salah satu gugus hidroksi PRIMA-1, sedangkan reaksi NAC dengan MQ dimodelkan dengan adisi nukleofilik pada karbon tak jenuh- α, β. Kalkulasi terhadap model tersebut dilakukan dengan menggunakan level teori MP2 dan basis set 6-31G(d). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa entalpi pembentukan adduct PRIMA-NAC jauh lebih besar dibandingkan adduct MQ-NAC, sehingga reaksi pembetukan adduct PRIMA-NAC lebih sulit terjadi. Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pembentukan adduct berlangsung melalui konversi PRIMA-1 menjadi MQ terlebih dahulu. Hasil penelitian kami juga mengarahkan pada dua tahap reaksi yang mungkin terjadi dalam pembentukan adduct MQ-NAC, yaitu pembentukan karbokation yang diikuti oleh serangan nukleofil pada karbokation MQ.

Kata kunci: PRIMA-1, MQ, NAC, adduct, QM, substitusi nukleofilik, adisi nukeofilik

commit to user

AND ITS DERIVATIVE TO N-ACETYL CYSTEINE

DEWI NURMALITASARI

Department of Chemistry. Mathematic and Natural Science Faculty. Sebelas Maret University.

ABSTRACT

PRIMA-1 (p53 Reactivation and Apoptosis Induction of Massive Apoptosis) induced reactivation of p53 through the adduct formation, a covalent bond formation, on thiol group. The formation was proposed the need of PRIMA-1 convertion. MQ (Methylene Quinuclidinone) was one of PRIMA-1 derivatives, which has been studied experimentally for the formation.In order to study the formation mechanism, we modeled the adduct formation using NAC (N-Acetyl Cystein ). The adduct formation between NAC with PRIMA-1 modeled by nucleophilic substitution reaction at one of the hydroxyl groups, whereas its reaction with MQ modeled by nucleophilic addition at α, β-unsaturated carbon. Calculation of our model was done at MP2 level of theory and 6-31G(d) basis set. Results showed that the enthalpy of formation was much greater on PRIMA-NAC adduct than MQ-NAC adduct, thus PRIMA-NAC formation was much less probable. This result agreed with the experimental finding that PRIMA-1 was converted to MQ prior to the adduct formation. Additionally, our results reveal a possible two stages reaction of MQ-NAC adduct, formation of carbocation followed by NAC attacks on the MQ-carbocation.

Keyword: PRIMA-1, MQ, NAC, adduct, QM, nucleophilic substitution,

nucleophilic addition

commit to user

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Ar Rahmaan:13)

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (A Lam Nasyrah:7-8)

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang (Imam Syafi’i)

Seperti besi yang dapat menajamkan besi lain, begitu pula seharusnya manusia dapat menajamkan manusia lain

(Anonim)

We learn wisdom from failure mush more than from success. We discover what will do by finding out what will not do...and he who never made a mistake never made a discovery (Anonim)

commit to user

Teruntuk,

Bapak & Ibu tercinta yang selalu menghiasi hari-hari penulis dengan milyaran kasih sayang Adikku Koko & Desi dengan segala tingkah polahnya yang selalu kurindukan 88_325, motivator dan inspirasi dalam hidupku Sahabat dan rekan2 terbaikku

Kupersembahkan karya kecil ini untuk kalian

commit to user

Segala puji dan segenap syukur bagi Allah SWT yang telah menunjukkan jalan yang indah bagi penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana sains Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta. Atas segala karunia-Nya pulalah penulis menyadari bahwa segala sesuatu memiliki proses dan waktunya masing-masing.

Dalam menyusun skripsi ini penulis menemui berbagai hambatan dan permasalahan yang beragam. Namun, atas bimbingan, kritikan, saran, dan dorongan semangat yang bermanfaat dari berbagai pihak, semua hambatan dan permasalahan tersebut dapat penulis atasi dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis, yaitu sebagai berikut.

1. Ir. Ari Handono Ramelan, M.Sc., Ph.D., selaku dekan Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta

2. Dr. Eddy Heraldy, M.Si., selaku ketua jurusan Kimia Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret, Surakarta

3. Drs. Patiha, MS., selaku pembimbing akademik

4. Dr.rer.nat.Fajar R. Wibowo, M.Si., selaku pembimbing skripsi, yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dari awal hingga akhir

5. I.F. Nurcahyo, M.Si., selaku ketua laboratorium Kimia Dasar, yang telah memberikan akses bagi penulis melakukan penelitian di laboratorium Kimia Dasar bagian Komputasi Kimia

6. Bapak Ibu dosen dan seluruh staf jurusan Kimia yang telah memberikan fasilitas dan pelayanan yang baik bagi penulis

7. Bapak, Ibu, Koko dan Desi dirumah, terimakasih atas doa, dukungan dan

motivasi yang diberikan untuk segera menyelesaikan karya ini

8. Computational Chemistry Comunity, terimakasih atas bantuan dan motivasi yang telah diberikan

commit to user

satu per satu, terimakasih atas semua dukungannya selama ini

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap, semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan dan bagi pembaca.

Surakarta, 7 Maret 2012

Dewi Nurmalitasari

commit to user

A. Penentuan Konfigurasi Reaktan .......................................................... 33

1. Penentuan Konfigurasi PRIMA-1 ................................................... 34

2. Penentuan Konfigurasi MQ ............................................................ 39

3. Penentuan Konfigurasi NAC .......................................................... 39

B. Penentuan Konfigurasi Produk ............................................................ 40

1. Penentuan Konfigurasi PRIMA-NAC ............................................ 41

2. Penentuan Konfigurasi MQ-NAC .................................................. 49

C. Penentuan Mekanisme Reaksi ............................................................. 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 63 DAFTAR PUSTAKA. ......................................................................................... 64 LAMPIRAN ........................................................................................................ 67

commit to user

Halaman

Gambar 1. Struktur PRIMA-1 dan MQ ............................................................ 7 Gambar 2. Reaksi substitusi oleh nukleofil netral dan anion ........................... 9 Gambar 3. Mekanisme reaksi substitusi nukleofilik unimolekuler (S N 1) ........ 10 Gambar 4. Mekanisme reaksi substitusi nukleofilik bimolekuler (S N 2) .......... 12 Gambar5. Mekanisme reaksi adisi nukleofilik pada senyawa karbonil

tak jenuh- α, β .................................................................................. 13

Gambar6. Kerangka dasar asam amino ........................................................... 14 Gambar7. Sudut dihedral phi (φ) dan psi (ψ) pada backbone protein

sekunder .......................................................................................... 15

Gambar8. Sudut dihedral phi (φ) dan psi (ψ) pada konformasi α-heliks

dan β-sheet dalam Ramachandran Plot .......................................... 16

Gambar9. Struktur PRIMA-1 teroptimasi ....................................................... 34 Gambar10. Grafik hasil scanning terhadap salah satu gugus hidroksi

PRIMA-1 ........................................................................................ 36

Gambar11. Konfigurasi PRIMA-1 sebelum dan setelah scanning .................... 37 Gambar 12. Konformasi PRIMA-1 hasil scanning pada gugus hidroksi

PRIMA-1 teroptimasi ..................................................................... 38

Gambar 13. Struktur MQ teroptimasi ................................................................. 39 Gambar 14. Struktur NAC teroptimasi. .............................................................. 40 Gambar 15. Konfigurasi awal produk PRIMA-NAC dengan konfigurasi

PRIMA-1 pada sudut putar 330 o termodifikasi ............................... 43

Gambar 16. Konfigurasi akhir produk PRIMA-NAC dengan menggunakan

konfigurasi PRIMA-1 pada sudut putar 330 o termodifikasi ........... 44

Gambar 17. Struktur PRIMA-NAC ( α-helix) teroptimasi dengan psi -124,19 .. . 46 Gambar 18. Struktur PRIMA-NAC ( β-sheet) teroptimasi dengan psi 152,37

dan psi 174,75. ................................................................................ 47

Gambar19. Struktur MQ-NAC ( α-helix) teroptimasi dengan psi -145,77 ......... 50 Gambar 20. Struktur MQ-NAC ( β-sheet) teroptimasi dengan psi 175,41 .......... 51

commit to user

Gambar 22. Hasil optimasi geometri dari konfigurasi MQ dan NAC yang

berdekatan ....................................................................................... 56

Gambar 23. Kurva reaksi pembentukan karbokation dari hasil perhitungan

optimasi QST2 ................................................................................ 58 Gambar 24. Struktur transition state yang diperoleh dari perhitungan optimasi QST2 ................................................................................ 59

commit to user

Halaman

Lampiran 1. Hasil kalkulasi single point terhadap energi dari konfigurasi

reaktan dengan menggunakan variasi level teori dan basis set ....... 67

Lampiran 2. Hasil kalkulasi single point terhadap energi dari konfigurasi

produk dengan menggunakan variasi level teori dan basis set........68

Lampiran 3. Hasil kalkulasi terhadap delta entalpi pembentukan produk

dengan menggunakan variasi level teori dan basis set.....................69

commit to user

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengendalian pertumbuhan sel tidak terlepas dari peran p53 sebagai gen penekan tumor (tumor suppressor gen). P53 merupakan mediator yang penting dalam pertahanan siklus sel dan apoptosis (bunuh diri sel terprogram) sebagai respon terhadap suatu keadaan yang mengancam sel (cellular stress) seperti kerusakan DNA, aktivasi onkogen dan hipoksia (Bykov et al., 2002a, 2002b; Wiman, 2010). Proses apoptosis adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh p53 dalam pengendalian pertumbuhan sel. Protein p53 akan menginduksi terjadinya apoptosis ketika terjadi kegagalan pada proses perbaikan kerusakan DNA dan kerusakan sel yang lain, sebelum terjadi replikasi pada sel tersebut (Alberts et al., 2002).

Mutasi pada p53 ditemukan dalam banyak kasus tumor pada manusia (dengan prosentase ± 50%) dan berimbas pada hilangnya fungsi p53 sebagai gen penekan tumor (Bykov et al., 2002a, 2002b). Keadaan tersebut dapat memicu kanker atau cacat lainnya dengan adanya kerusakan DNA yang tidak diikuti oleh penghentian replikasi sel (Bykov et al., 2002a). Terapi terhadap sel tumor yang membawa mutan p53 menunjukkan peningkatan resistensi terhadap kemoterapi (Bykov et al., 2002a, 2002b; Lambert et al., 2009). Pengembalian fungsi p53 termutasi berpotensi untuk memicu apoptosis massal yang dapat menghentikan pertumbuhan sel tumor secara efektif sehingga menjadikan p53 target yang cukup penting untuk terapi kanker (Lambert et al., 2009).

Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengembalikan fungsi p53 termutasi melalui penempelan molekul kecil ataupun peptida pendek. Bukti-bukti menunjukkan bahwa fungsi p53 dapat dikembalikan dengan mengatur konformasi dari mutan p53 sehingga menyerupai wild type p53. Adapun senyawa yang digunakan dalam penelitian tersebut antara lain CP-31398, WR-1065, STIMA-1 (SH group Targeting and Induction of Apoptosis), PRIMA-1 (p53 reactivation

and induction of massive apoptosis) , dan MIRA-1 (Mutant p53-dependent

commit to user

2009; Wiman, 2010). PRIMA-1 memiliki aktivitas yang menarik untuk menghambat pertumbuhan sel tumor manusia yang membawa mutan p53. Hasil penelitian Bykov (2002a) menunjukkan bahwa PRIMA-1 lebih efektif menghambat pertumbuhan sel tumor yang membawa mutan p53 dibandingkan dengan sel tumor yang membawa wild type p53. Senyawa dengan berat molekul kecil seperti PRIMA-1 dapat menghambat pembelahan sel yang mengekspresikan mutan p53. Hal ini memperkuat dugaan bahwa PRIMA-1 atau struktur analog PRIMA-1 mungkin akan menjadi senyawa yang mudah digunakan untuk pengembangan obat antikanker yang lebih efisien terhadap tumor yang membawa mutan p53 (Bykov et al., 2002a, 2002b).

Interaksi antara PRIMA-1 dengan p53 menyebabkan terjadinya modifikasi pada struktur p53. PRIMA-1 dapat mengkonversikan mutan p53 ke dalam konformasi aktif dengan berikatan secara spesifik pada sekuen tertentu DNA (Bykov et al., 2002a, 2002b; Liang et al., 2009; Wiman, 2010) dan mempunyai aktivitas antitumor secara in vivo (Bykov et al., 2002a). Wiman (2010) telah menjelaskan bahwa adanya modifikasi yang terdapat pada sekuen sistein mutan p53 dapat mengembalikan konformasi dan fungsi mutan p53 mendekati wild type- nya. Adanya modifikasi kovalen pada satu atau beberapa residu sistein mutan p53 diperkirakan mampu mengembalikan konformasi dan fungsi p53 mendekati wild type- nya sehingga dapat menginduksi apoptosis dalam sel yang mengekspresikan mutan p53 (Lambert et al., 2009).

PRIMA-1 dapat dikonversikan menjadi senyawa turunannya yang diketahui mempunyai aktivitas sama dalam reaktivasi mutan p53, salah satunya adalah MQ (Methylene Quinuclidinone). Hasil penelitian Lambert (2009) menunjukkan bahwa pembentukan adduct melalui terbentuknya ikatan kovalen dengan gugus thiol sistein dalam N-Asetil Sistein (N-Acetyl Cystein atau NAC) lebih mungkin terjadi melalui konversi PRIMA-1 menjadi MQ. MQ mempunyai gugus aktif berupa ikatan rangkap yang mempunyai kecenderungan untuk membentuk adduct dengan gugus thiol sistein melalui reaksi adisi. Produk dekomposisi PRIMA-1 tersebut juga memiliki kemampuan untuk berikatan

commit to user

penelitiannya, Padmarini (2011) menyatakan bahwa hasil docking MQ yang dilakukannya terhadap Y220C, menunjukkan bahwa MQ dapat masuk ke dalam cavity Y220C dan berinteraksi dengan sistein. Sehingga penggunaan senyawa MQ dalam modifikasi mutan p53 diperkirakan mampu mengembalikan konformasi p53 mendekati wild type-nya.

Identifikasi terhadap molekul kecil yang mampu mereaktivasi mutan p53, seperti PRIMA-1 dan turunannya membuka peluang untuk mengembangkan obat antikanker yang lebih efisien. Meskipun efek biologis PRIMA-1 dapat dijelaskan dengan baik, namun mekanisme reaksi yang menggambarkan interaksi antara molekul tersebut dengan mutan p53 belum diketahui. Sehingga dibutuhkan informasi yang dapat menjelaskan mekanisme reaksi tersebut untuk memfasilitasi desain rasional obat yang lebih berpotensi dan molekul yang spesifik untuk reaktivasi mutan p53. Oleh karena itulah perlu dilakukan penelitian mengenai kemampuan molekul tersebut untuk berikatan dengan mutan p53 melalui pembentukan ikatan kovalen dengan gugus thiol sistein dalam NAC.

B. Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Pembentukan ikatan kovalen antara PRIMA-1 dengan gugus thiol NAC diperkirakan terjadi melalui substitusi nukleofilik pada salah satu gugus hidroksi PRIMA-1. PRIMA-1 mempunyai dua gugus hidroksi yang dapat berputar bebas dan saling memberikan pengaruh. Keberadaan gugus hidroksi yang tidak tersubstitusi pada PRIMA-1 dapat memberikan halangan yang sterik cukup besar dan diperkirakan dapat memberikan kesulitan pada proses substitusi. Pengaruh halangan sterik dari gugus hidroksi tersebut dapat diketahui dengan membandingkan senyawa turunan PRIMA-1 yang tidak memiliki gugus hidroksi. PRIMA-1 dapat dikonversikan menjadi senyawa turunannya, yaitu PRIMA-1 MET dan MQ. PRIMA-1 MET mempunyai satu gugus hidroksi sedangkan MQ tidak mempunyai gugus hidroksi, yang keberadaannya digantikan oleh ikatan rangkap. Keberadaan gugus hidroksi yang tidak tersubstitusi pada PRIMA-1 dan PRIMA-

commit to user

kemudahan dalam pembentukan ikatan kovalen dengan gugus thiol NAC.

Pemodelan terhadap reaksi pembentukan ikatan kovalen antara PRIMA-

1 dan gugus thiol NAC dapat dilakukan dengan mengikuti mekanisme substitusi nukleofilik. Mekanisme reaksi substitusi tersebut dapat dipelajari menggunakan S N 1 ataupun S N 2 dengan memperhatikan leaving group ability dari gugus hidroksi PRIMA-1. Gugus hidroksi merupakan leaving group yang kurang baik sehingga pelepasan gugus tersebut tidak dapat terjadi secara langsung dan membutuhkan desakan dari suatu nukleofil untuk menyerang atom C pusat reaksi (atom C yang mengikat gugus hidroksi).

Mekanisme reaksi pembentukan ikatan kovalen pada gugus thiol NAC dapat dipelajari dengan mengetahui konformasi awal reaktan, transition state dan konformasi produk reaksi. Sebagian besar sistein pada protein p53 menempati struktur loop dan β-sheet. Perbedaan konformasi asam amino sistein dalam sebuah protein dapat m engarahkannya menempati kedudukan pada α-helix, β-sheet atau loop. Hal ini akan memberikan pengaruh terhadap konformasi produk reaksi yang dihasilkan, yaitu mendekati struktur α-helix, β-sheet atau loop. Dengan menganalogikan NAC sebagai sistein pada protein p53, konformasi produk reaksi akan diarahkan mendekati loop atau β-sheet.

Metode dalam komputasi yang dapat digunakan untuk pemodelan molekul adalah MM (Molecular Mechanics) dan QM (Quantum Mechanics). Metode MM dapat menangani struktur dan dinamika protein, tetapi tidak dapat diterapkan pada reaksi kimia mengingat metoda MM tidak cukup teliti. Sedangkan metode QM biasanya digunakan untuk mengkaji sistem reaksi yang melibatkan pemutusan dan pembentukan ikatan. Perhitungan dengan metode QM secara eksplisit mampu mendeskripsikan interaksi elektrostatik yang melibatkan distribusi elektron, yang tidak didapatkan dalam perhitungan dengan metode MM sehingga dapat memberikan akurasi yang lebih baik.

Metode yang dapat digunakan dalam perhitungan kimia kuantum adalah semi empirik, DFT (Density Functional Theory) dan ab initio. Metode semi empirik biasanya digunakan untuk perhitungan pada sistem organik dan

commit to user

untuk sistem yang melibatkan interaksi lemah (weakly bound system) seperti Van der Waals dan memiliki akurasi yang kurang baik untuk sistem dengan ikatan hidrogen. Metode ab initio dapat menyediakan akurasi terhadap hasil perhitungan kuantitatif, namun pada level teori HF (Hartree Fock) mengabaikan korelasi elektron pada sistem. Perhitungan komputasi pada reaksi kimia melibatkan distribusi elektron, meliputi transfer muatan dan efek polarisasi dalam sistem sehingga dibutuhkan treatment terhadap sistem untuk memperlihatkan interaksi antar elektron yang terlibat reaksi dengan memasukkan electron correlation (korelasi elektron). Electron correlation (EC) terdiri dari tiga teori, yaitu Configuration Interaction (CI), Perturbasi Moller-Pleset dan coupled cluster (CC).

CI dapat memperhitungkan interaksi antar orbital dari setiap konfigurasi yang berinteraksi. CC hampir sama dengan CI, tetapi dapat memperhitungkan interaksi elektron semua orbital dari konfigurasi yang berinteraksi . Perhitungan dengan CI maupun CC membutuhkan basis set yang besar dan memori yang lebih banyak. Perturbasi Moller-Pleset hampir sama dengan CI, tetapi dapat memperhitungkan adanya gangguan dari konfigurasi yang lain dengan adanya interaksi elektron pada orbital-orbital lainnya yang saling berinteraksi. Perturbasi Moller-Pleset terdiri dari beberapa level teori, yaitu: MP2, MP3, MP4, MP5. Penggunaan level teori yang sederhana seperti MP2 membutuhkan kapasitas memori yang lebih sedikit dan waktu komputasi yang lebih cepat. Peningkatan akurasi terhadap hasil perhitungan dapat ditentukan dengan menggunakan basis set yang sesuai dengan mempertimbangkan kondisi sistem.

2. Batasan Masalah

1. Senyawa turunan PRIMA-1 yang digunakan sebagai pembanding adalah MQ.

2. Mekanisme pembentukan ikatan kovalen antara PRIMA-1 dan NAC dimodelkan dengan mengikuti mekanisme S N 2 sedangkan mekanisme pembentukan ikatan kovalen antara MQ dan NAC dimodelkan dengan mengikuti mekanisme adisi nukleofilik.

commit to user

mengetahui konformasi transition state dan produk reaksi. Konformasi produk reaksi yang diambil adalah konformasi β-sheet.

4. Metode yang digunakan dalam komputasi untuk mendapatkan konfigurasi reaktan dan produk reaksi adalah semi empirik. Sedangkan metode yang digunakan untuk komputasi secara detail terhadap energi dari konfigurasi reaktan dan produk reaksi adalah ab initio dengan level teori MP2.

3. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kemudahan pembentukan ikatan kovalen pada reaksi antara NAC dengan PRIMA-1 yang mempunyai gugus hidroksi dibandingkan dengan MQ yang mempunyai ikatan rangkap ?

2. Apakah mekanisme reaksi pembentukan ikatan kovalen dengan NAC dapat berlangsung melalui PRIMA-1 dan MQ?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kemudahan pembentukan ikatan kovalen pada reaksi antara NAC dengan PRIMA-1 yang mempunyai gugus hidroksi dibandingkan dengan MQ yang mempunyai ikatan rangkap.

2. Mengetahui apakah mekanisme reaksi pembentukan ikatan kovalen dengan NAC dapat berlangsung melalui PRIMA-1 dan MQ

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai reaksi pembentukan ikatan kovalen antara NAC dengan PRIMA-1 maupun MQ serta mekanisme reaksinya yang sesuai dengan menggunakan pendekatan mekanika kuantum. Hal ini juga diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu kesehatan terutama di bidang pengobatan kanker.

commit to user

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Struktur PRIMA-1 dan MQ

Senyawa 2,2-bis(hydroxymethyl)-1-azabicyclo[2,2,2]octan-3-one atau yang dikenal sebagai PRIMA-1 (p53 reactivation and induction of massive apoptosis ) diketahui mempunyai aktivitas antitumor in vivo (Bykov et al., 2002a; Wiman, 2010). Penelitian Bykov (2002a) menunjukkan bahwa PRIMA-1 dapat menghambat pertumbuhan sel pada beberapa kasus tumor dan secara efektif menghambat pertumbuhan sel tumor yang membawa mutan p53.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari database National Cancer Institute (NCI), PRIMA-1 merupakan salah satu senyawa dengan berat molekul rendah yang dapat mengembalikan fungsi p53 sebagai tumor suppresor gen (Bykov et al., 2002a) melalui pengembalian konformasi mutan p53 agar menyerupai wild type-nya (Bykov et al., 2002a, 2002b; Liang et al., 2009). PRIMA-1 merupakan senyawa yang relatif cepat dikonversikan menjadi senyawa lain dibawah kondisi fisiologis (Wiman, 2010). Produk hasil dekomposisi PRIMA-1 diantaranya adalah PRIMA-1 Met dan MQ. Berikut ini adalah struktur PRIMA-1 dan MQ, seperti ditunjukkan oleh Gambar 1.

HO

HO

Gambar 1. Struktur PRIMA-1 dan MQ. A. Struktur PRIMA-1, B. Struktur MQ

Salah satu produk dekomposisi PRIMA-1, MQ (Methylene Quinoclidinone ) mempunyai gugus aktif berupa ikatan rangkap. Gugus aktif tersebut cenderung berpartisipasi dalam reaksi adisi nukleofilik (Lambert et al.,

commit to user

Induction of Rapid Apoptosis 1 ) yang mempunyai ikatan rangkap dua yang reaktif dan aktivitas biologis dalam menghambat pertumbuhan sel tumor yang mengekspresikan mutan p53. Ikatan rangkap dua tersebut dapat berperan sebagai akseptor Michael dalam reaksi adisi Michael (Wiman, 2010).

PRIMA-1 atau struktur analognya dapat menjadi senyawa yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi obat antikanker yang digunakan dalam treatment pada tumor yang membawa p53 (Bykov et al., 2002a). Hasil penelitian Lambert (2009) menunjukkan bahwa PRIMA-1 dan PRIMA-1 Met dapat membentuk adduct melalui pembentukan ikatan kovalen dengan gugus thiol sistein NAC. Hasil eksperimen Lambert (2009) mengindikasikan bahwa pembentukan adduct yang dominan dari PRIMA-1 dan PRIMA-1 Met dengan NAC adalah melalui konversi PRIMA-1 dan PRIMA-1 Met menjadi MQ. Sedangkan adduct lainnya diperoleh melalui substitusi pada gugus hidroksi PRIMA-1 atau gugus metoksi PRIMA-1 Met .

2. Mekanisme Reaksi Substitusi Nukleofilik Reaksi substitusi nukleofilik merupakan reaksi penggantian gugus pergi (leaving group) dalam suatu substrat, yang digantikan oleh nukleofil. Substrat merupakan senyawa yang mengalami reaksi substitusi atau pusat berlangsungnya reaksi substitusi. Reaksi substitusi berlangsung dengan adanya pemutusan satu ikatan kovalen dan pembentukan satu ikatan kovalen baru pada substrat. Mekanisme reaksi ini terjadi melalui pelepasan leaving group yang mengambil dua elektron dari ikatan kovalennya dan pengikatan nukleofil yang memberikan dua elektronnya untuk membentuk ikatan kovalen baru dengan substrat (Achmadi, 2003). Secara umum, reaksi substitusi ini dapat dijelaskan dengan menggunakan Gambar 2.

commit to user

Nu :

Nukleofil netral

gugus pergi

Nu :

Nukleofil anion

gugus pergi

Gambar 2. Reaksi substitusi oleh nukleofil netral dan anion

Pemahaman terhadap nukleofil dan leaving group dapat dijelaskan berdasarkan sifat kebasaan (basicity) yang berkaitan dengan leaving ability. Nukleofil merupakan basa keras sedangkan leaving group merupakan basa lunak. Nukleofil adalah basa lewis yang mempunyai kecenderungan yang cukup kuat untuk mendonorkan pasangan elektron bebasnya (lone pair electron) (Morrison and Boyd, 1983). Nukleofil dapat bersifat netral maupun bermuatan negatif (anion). Nukleofil yang paling sering dijumpai adalah oksigen, nitrogen, sulfur, halogen dan nukleofil karbon (Achmadi, 2003). Sedangkan leaving group merupakan gugus yang memiliki kecenderungan untuk lepas dengan menarik pasangan elektron dari ikatan kovalennya (Morrison and Boyd, 1983).

Leaving group ability ditentukan oleh kebasaan, anion basa keras merupakan leaving group yang buruk dibandingkan dengan anion basa lunak. Leaving group ability yang baik dimiliki oleh kelompok golongan halogen dalam senyawaan alkil halida, yang meningkat seiring naiknya keasaman. Iodida merupakan leaving group yang paling baik dari kelompok halogen (Carey, 2000). Sedangkan ion hidroksi adalah salah satu anion basa keras yang bersifat sebagai nukleofil kuat tetapi merupakan leaving group yang buruk (Isaac, 1995; Morrison and Boyd, 1983).

Mekanisme reaksi substitusi nukleofilik pada karbon dengan hibridisasi sp 3 (saturated carbon) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu S N 1 dan S N 2. Perbedaan dari kedua mekanisme tersebut ditentukan dari banyaknya langkah yang dibutuhkan dalam proses pemutusan dan pembentukan ikatan kovalen serta

commit to user

1968; Morrison and Boyd, 1983).

a. Substitusi Nukleofilik Unimolekuler (S N 1) S N 1 merupakan reaksi substitusi yang berlangsung secara unimolekur. Angka 1 menunjukkan orde reaksi substitusi tersebut dimana laju reaksi hanya ditentukan oleh substrat sebagai pusat reaksi. Reaksi dengan mekanisme tersebut berlangsung melalui dua tahap, yaitu pembentukan karbokation dan serangan nukleofil pada karbokation yang terbentuk. Dengan kata lain, proses pemutusan ikatan kovalen antara substrat dengan leaving group tidak berlangsung secara bersamaan dengan pembentukan ikatan kovalen baru pada substrat. Reaksi tersebut biasanya berlangsung pada atom karbon tersier (RR’R”C-) (Carey, 2000).

Tahap pertama dari reaksi S N 1 adalah pembentukan intermediet karbokation melalui pelepasan ikatan kovalen dengan leaving group. Tahap ini juga dikenal sebagai proses ionisasi atau disosiasi substrat (Achmadi, 2003; March, 1968). Tahap pertama merupakan tahap penentu laju reaksi yang bergantung pada kemudahan pembentukan karbokation. Karbokation yang terbentuk pada tahap pertama bersifat akhiral dan dapat mengalami rearrangement membentuk karbokation dengan stabilitas yang tinggi (karbokation 3 o >2 o >1 o ). Tahap kedua adalah serangan nukleofil terhadap karbokation yang terbentuk pada tahap pertama (Achmadi, 2003; Carey, 2000), seperti ditunjukkan oleh Gambar 3.

C + :L

substrat

karbokation gugus pergi

karbokation nukleofil

Gambar 3. Mekanisme reaksi substitusi nukleofilik unimolekuler (S N 1)

commit to user

subtituen secara kovalen membentuk geometri planar (Achmadi, 2003; Carey, 2000). Ketiga subtituen tersebut terletak pada bidang yang sama dan bidang tersebut simetri sehingga pada saat tahap kedua berlangsung, nukleofil dapat menyerang karbokation dari depan atau belakang bidang. Produk yang diperoleh dari reaksi ini merupakan rasemat yang mempunyai konfigurasi retensi apabila serangan nukleofil dari depan bidang dan konfigurasi inversi apabila serangan nukleofil dari belakang bidang. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi S N 1 tidak bersifat stereospesifik seperti reaksi S N 2 (Carey, 2000).

b. Substitusi Nukleofilik Bimolekuler (S N 2) S N 2 adalah reaksi substitusi nukleofilik yang berlangsung secara bimolekuler. Angka 2 menunjukkan bahwa mekanisme tersebut berlangsung bimolekuler. Reaksi bimolekuler melibatkan dua molekul yang berinteraksi secara langsung (Isaac, 1995). Reaksi dengan mekanisme ini berlangsung melalui satu langkah dimana proses pemutusan ikatan kovalen berlangsung secara bersamaan dengan pembentukan ikatan kovalen yang baru pada substrat (Gambar 4). Sehingga laju reaksi akan ditentukan oleh 2 molekul yang berinteraksi, yaitu substrat dan nukleofil (Achmadi, 2003; Carey, 2000; Isaac, 1995; March, 1968; Morrison and Boyd, 1983).

Reaksi S N 2 berlangsung pada atom karbon sebagai pusat reaksi. Atom karbon yang dapat berperan sebagai pusat reaksi S N 2 adalah gugus metil, atom C

primer (RCH 2 - ) dan atom C sekunder (RR’CH-) (Carey, 2000; Isaac, 1995). Pada

saat reaksi S N 2 berlangsung, nukleofil akan menyerang substrat pada posisi yang searah dengan lepasnya leaving group. Nukleofil akan menyerang dari sisi belakang ikatan kovalen atom C substrat - leaving group (Achmadi, 2003; Isaac, 1995; Morrison and Boyd, 1983) membentuk sudut 180 o terhadap leaving group (March, 1968).

Atom C pusat mengikat tiga substituen membentuk konformasi coplanar pada saat keadaan transisi. Disamping itu, atom C pusat juga mengikat nukleofil dan leaving group secara parsial (Achmadi, 2003; Carey, 2000; March, 1968), membentuk senyawa pentavalent dengan bentuk geometri trigonal bipiramid

commit to user

ikatan yang relatif pendek dengan nukleofil, sedangkan ikatan pada leaving group relatif panjang dan lemah. Oleh karena itulah, ikatan pada leaving group akan putus dan ikatan kovalen yang baru dengan nukleofil akan terbentuk secara bersamaan pada akhir reaksi. Produk reaksi yang dihasilkan mengalami perubahan bentuk geometri dari trigonal bipiramid menjadi tetrahedral dengan terbentuknya empat ikatan kovalen pada atom C pusat (Carey, 2000).

keadaan transisi

produk gugus pergi





Gambar 4. Mekanisme reaksi substitusi nukleofilik bimolekuler (S N 2)

Gambar 4 menjelaskan bahwa reaksi S N 2 merupakan reaksi yang bersifat stereospesifik, yaitu reaksi yang menghasilkan produk dengan konfigurasi yang secara stereokimia berbeda dengan reaktan (produk adalah enantiomer reaktan) (Morrison and Boyd, 1983). Atom C sebagai pusat reaksi bersifat optis aktif. Serangan nukleofil dari belakang atom pusat mengarahkan reaksi substitusi berjalan dengan konfigurasi inversi (Walden Inversi) (Achmadi, 2003; Carey, 2000; Morisson and Boyd, 1983).

3. Mekanisme Reaksi Adisi Nukleofilik pada karbon tak jenuh- α, β Adisi nukleofilik merupakan reaksi pemutusan ikatan rangkap oleh nukleofil, yang terjadi pada rantai karbon tak jenuh (unsaturated). Ikatan rangkap pada karbon-karbon alkena biasanya bersifat non polar. Adanya ikatan rangkap yang terkonjugasi dengan gugus karbonil seperti pada keton yang memiliki atom karbon tak jenuh- α, β, akan memberikan polaritas terhadap ikatan rangkap tersebut. Oksigen pada gugus karbonil yang memiliki elektronegatifitas lebih besar dibandingkan atom karbon cenderung bermuatan parsial negatif, sedangkan

commit to user

1999). Sistem dengan ikatan rangkap terkonjugasi gugus karbonil pada keton tak jenuh - α, β, akan mengarahkan reaksi adisi nukleofilik berlangsung melalui conjugate addition menyerupai reaksi adisi 1,4 pada diena terkonjugasi. Mekanisme reaksi adisi nukleofilik pada ikatan rangkap yang terkonjugasi dengan gugus karbonil pada umumnya berlangsung mengikuti mekanisme reaksi Michael Reaction atau Michael addition. (March, 1968; Laue & Plagens, 2005; Pudjaatmaka, 1999).

Reaksi Michael addition berlangsung melalui dua tahap reaksi. Tahap pertama yaitu serangan nukleofil pada ikatan rangkap karbon- α, β menghasilkan karbanion melalui pemutusan ikatan rangkap. Nukleofil membawa pasangan elektronnya menuju atom karbon- β yang terlibat dalam ikatan rangkap, memaksa elektron π pada ikatan rangkap tersebut menuju atom karbon lainnya membentuk karbanion yang dapat beresonansi, seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Karbanion dapat beresonansi dengan gugus karbonil membentuk anion pada atom oksigen. Tahap kedua adalah serangan substituen bermuatan positif pada spesi yang bermuatan negatif (March, 1968)

Gambar 5. Mekanisme reaksi adisi nukleofilik pada senyawa karbonil tak jenuh-

α, β

Reaksi Michael addition berlangsung melalui rearrangement karbanion pada ikatan rangkap yang terkonjugasi dengan karbonil dan mengarahkan pada tautomerisasi pembentukan enolat dan keton (March, 1968; Laue & Plagens, 2005, Pudjaatmaka, 1999).

commit to user

gugus karbonilnya, terutama untuk sistem terkonjugasi seperti aldehid tak jenuh- α, β. Reaksi adisi 1,2 berlangsung melalui serangan nukleofil pada karbon karbonil, menghasilkan spesi bermuatan negatif yang tidak dapat beresonansi. Sedangkan pada senyawa keton tak jenuh- α, β, nukleofil cenderung tidak menyerang pada atom karbon karbonil. Adanya sterik pada gugus karbonil mengarahkan nukleofil menyerang pada atom karbon parsial positif yang

terintangi (jauh dari karbonil) bukan pada karbon karbonil. Serangan nukleofil pada atom karbon- β menghasilkan karbanion yang dapat beresonansi. Sehingga produk yang dihasilkan cenderung lebih stabil (March, 1968; Pudjaatmaka, 1999).

4. Struktur Sekunder Protein

Asam amino tersusun dari atom karbon pusat yang bersifat khiral yaitu atom C alfa (Cα). Atom pusat tersebut mengikat gugus karbonil (COOH), gugus

amino (NH 2 ), atom hidrogen dan gugus tertentu (sebagai rantai samping), seperti

ditunjukkan oleh Gambar 6. Asam amino essensial terdiri dari 20 jenis dan semuanya memiliki struktur yang sama kecuali pada rantai sampingnya. Rantai samping memberikan karakteristik tertentu pada suatu asam amino sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam penggolongan asam amino (Nelson and Cox, 2004; Berg et al., 2002).

Asam amino dapat bergabung dengan asam amino lainnya melalui pembentukan ikatan amida atau ikatan peptida. Ikatan tersebut terbentuk melalui ikatan kovalen antara gugus karboksil suatu asam amino dengan gugus amino dari

asam amino lainnya, yang diikuti oleh pelepasan molekul air (H 2 O). Ikatan

peptida ini menghubungkan beberapa asam amino membentuk rangkaian polipeptida penyusun protein (Nelson and Cox, 2004).

commit to user

OH

gugus amino

gugus karboksilat

Gambar 6. Kerangka dasar asam amino

Struktur protein dapat digolongkan menjadi empat tingkatan yaitu struktur primer, struktur sekunder, struktur tersier dan struktur kuarterner (Nelson and Cox, 2004; Berg et al., 2002). Struktur primer merupakan struktur yang terbentuk dengan adanya ikatan peptida antara atom C karbonil dan atom N amino dari residu asam amino yang tersusun berurutan membentuk rantai polipeptida. Residu asam amino merupakan satu unit asam amino yang menyusun rantai polipeptida. Struktur primer dapat ditentukan dengan mengetahui jenis dan urutan residu asam amino penyusun rantai polipeptida (Berg et al., 2002).

Struktur sekunder merupakan struktur yang terbentuk dengan adanya perubahan pada backbone polipeptida membentuk pola lipatan berulang (Nelson and Cox, 2004). Pola lipatan berulang ini terbentuk dikarenakan adanya rotasi bebas dari dua ikatan kovalen pada backbone polipeptida, yaitu ikatan yang berada disekitar Cα dengan N gugus amino dan Cα dengan C karbonil. Rotasi disekitar kedua ikatan kovalen tersebut menghasilkan sudut dihedral yang spesifik (Berg et al., 2002; Murray et al., 2003), seperti ditunjukkan oleh Gambar 7.

NH

CO

Gambar 7. Sudut dihedral phi (φ) dan psi (ψ) pada backbone protein sekunder

Gambar 7 menunjukkan adanya rotasi pada backbone protein. Sudut dihedral yang terbentuk dari rotasi disekitar ikatan Cα dengan N adalah phi (ɸ).

commit to user

Sedangkan sudut dihedral yang terbentuk dari rotasi disekitar ikatan Cα dengan C karbonil adalah psi (Ψ) (Berg et al., 2002; Murray et al., 2003). Besar sudut dihedral tersebut berkisar antara -180° dan +180°. Rotasi-rotasi ini menentukan masing-masing bentuk struktur protein sekunder. Struktur sekunder memiliki 3 bentuk umum, yaitu: alfa (α) heliks, beta (β) sheet (kombinasi dari sejumlah beta strand ) dan loop (juga disebut reverse turns atau coil). Rotasi pada backbone dari konformasi α-heliks mempunyai nilai phi -57 o dan psi -47 o . Sedangkan untuk konformasi β-sheet mempunyai nilai phi dan psi positif (Murray et al., 2003). Spesifikasi sudut dihedral yang mendefinisikan dua tipe struktur sekunder α-heliks dan β-sheet telah ditentukan dalam Ramachandran Plot seperti ditunjukkan oleh Gambar 8.

Gambar 8. Sudut dihedral phi (φ) dan psi (ψ) pada konformasi α-heliks dan

β-sheet dalam Ramachandran Plot

Perbedaan kedua struktur tersebut juga ditentukan oleh ikatan hidrogen yang terbentuk antara C karbonil dan NH amino pada backbone polipeptidanya. Struktur α-heliks mempunyai konformasi spiral dengan terbentuknya ikatan hidrogen antara C karbonil residu pertama dengan NH amino residu kelima dalam satu rantai polipeptida. Sedangkan struktur β-sheet mempunyai konformasi membentuk rantai paralel atau antiparalel dengan bentuk zig-zag atau berkelok- kelok. Konformasi tersebut terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen antara C karbonil residu pertama pada suatu rantai polipeptida dengan NH amino residu kedua pada rantai polipeptida lain yang berdekatan (Berg et al., 2002).

commit to user

Quantum Mechanics (QM) atau mekanika quantum merupakan deskripsi matematik yang digunakan untuk menyelesaikan fungsi gelombang dengan menggunakan persamaan Schrodinger. Teori QM dapat digunakan untuk memprediksikan banyak sifat sebuah atom atau molekul secara tepat. Dalam praktiknya, persamaan QM telah digunakan untuk menyelesaikan sistem satu elektron. Teori QM menggunakan fungsi gelombang dan operator Hamiltonian untuk menghitung energi sistem. Fungsi gelombang merupakan fungsi posisi elektron dan nuclear untuk mendeskripsikan sebuah elektron sebagai sebuah fungsi gelombang. Fungsi gelombang ini dapat digunakan untuk mendeskripsikan probabilitas elektron pada lokasi tertentu, tetapi tidak dapat memprediksikan secara tepat letak dari elektron tersebut (Young, 2001). Operator Hamiltonian memberikan pengaruh terhadap nilai energi total sistem dengan memperhatikan kontribusi energi kinetik elektron dan inti, daya tarik elektron terhadap inti, tolakan interelektronik dan internuclear (Cramer, 2004).

Metode mekanika kuantum merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam permodelan molekul (Leach, 2001). Metode QM digunakan untuk pembelajaran secara detail terhadap struktur dan reaktivitas dari berbagai sistem. QM mampu merepresentasikan elektron secara eksplisit dalam sebuah perhitungan sehingga memungkinkan untuk mengetahui sifat-sifat elektronik yang terkait dengan distribusi elektron seperti momen dipol dan densitas muatan. Metode ini biasanya digunakan dalam investigasi reaksi kimia yang melibatkan pemutusan dan pembentukan ikatan (Field, 2002; Dolenc and Koller, 2006; Leach, 2001). QM dapat digunakan untuk menghitung energi relatif suatu konformasi dan energi barier-nya.

Metode QM dalam simulasi kimia digunakan untuk mendeskripsikan situs aktif dimana reaksi kimia atau eksitasi elektronik terjadi. Keuntungan dari sistem yang diberikan treatment dengan metode tersebut adalah interaksi elektrostatik dapat dideskripsikan secara realistis (Thiel, 2009). Alasan lain yang mendasari penggunaan QM dalam simulasi kimia adalah perubahan struktur elektronik yang melibatkan interaksi pertukaran muatan dan pengaruh polarisasi tidak diabaikan

commit to user

memberikan prediksi dengan akurasi yang lebih baik terhadap struktur dan energi dari kelompok yang terlibat reaksi dalam sistem molekuler yang besar (Field, 2001; Liu et al., 2001). Namun, kelemahan dari metode tersebut adalah komputasinya cukup mahal untuk pembelajaran sistem yang cukup besar, seperti biomolekul (Dolenc and Koller, 2006).

6. Metode Komputasi

QM dapat digunakan untuk menjelaskan tahapan dalam pembelajaran reaksi kimia, meliputi tahap pemutusan dan pembentukan ikatan, dimana tahapan tersebut berlangsung cepat atau sebaliknya. Metode QM dapat memprediksikan struktur dan energi dari kelompok reaksi dalam sistem molekuler yang besar secara akurat (Field, 2001). Di samping itu, QM dapat digunakan dalam pencarian struktur transisi (Leach, 2001). Ada beberapa teori kuantum untuk treatment sistem molekuler, diantaranya adalah ab initio dan semi empirik (Leach, 2001).

a. Ab Initio Perhitungan ab initio dapat dilakukan dengan sederhana menggunakan level teori Hartree-Fock (HF). Perhitungan dengan level teori HF didasarkan pada pendekatan medan pusat (central field approximation), dimana tolakan kolombik elektron-elektron dihitung sebagai rata-rata dari efek tolakan, bukan sebagai interaksi elektron-elektron secara eksplisit (Knowles et al , 2000; Young, 2001). Biasanya hasil perhitungan HF lebih besar dibandingkan dari energi yang sebenarnya dan cenderung mendekati nilai limitnya dengan adanya peningkatan basis set yang digunakan (Leach, 2001; Young, 2001). Dalam teori HF, probabilitas untuk menemukan elektron di suatu daerah dalam atom didefinisikan sebagai jarak dari inti bukan jarak terhadap elektron lainnya (Young, 2001). Kelebihan dari metode ini adalah penyelesaian persamaan Schrodinger yang lebih mudah dengan menggunakan persamaan satu elektron. Kekurangan dari perhitungan HF adalah tidak menyertakan korelasi elektron di dalamnya (Cramer, 2004; Dorsett and White, 2000; Hinchliffe, 2000; Leach, 2001; Young, 2001).

commit to user

menyertakan korelasi elektron (electron correlation) untuk memperlihatkan interaksi antar elektron. Teori yang menyertakan Electron Correlation (EC) terdiri dari tiga, yaitu Configuration Interaction (CI), Perturbasi Moller Pleset dan Coupled Cluster (CC). CI dapat memperhitungkan interaksi antar orbital dari setiap konfigurasi yang berinteraksi. CC hampir sama dengan CI, tetapi dapat memperhitungkan interaksi elektron semua orbital dari konfigurasi yang berinteraksi . Perhitungan dengan CI maupun CC membutuhkan basis set yang besar dan memori yang lebih banyak. Perturbasi Moller-Pleset hampir sama dengan CI, tetapi dapat memperhitungkan adanya gangguan dari konfigurasi yang lain dengan adanya interaksi elektron pada orbital-orbital lainnya yang saling berinteraksi (Leach, 2001).

Teori Perturbasi Moller-Plesset memberikan penyelesaian terhadap permasalahan yang terdapat dalam HF dengan adanya koreksi pada fungsi gelombang HF melalui penambahan perturbasi untuk menghitung korelasi elektron. Terdapat beberapa tingkatan teori Perturbasi Moller-Plesset berdasarkan jumlah korelasi yang ditambahkan, diantaranya teori Perturbasi Moller-Plesset orde 2 (MP2), orde 3 (MP3), orde 4 (MP4) dan orde 5 (MP5) (Cramer, 2004; Dorsett and White, 2000; Hinchliffe, 2000; Leach, 2001; Young, 2001). Perhitungan dengan MP5 jarang dilakukan karena biaya komputasinya cukup mahal. Untuk beberapa sistem, energi hasil perhitungan dengan MP2, MP3 dan MP4 dapat menjadi lebih rendah dan dekat dengan energi totalnya (Leach, 2001; Young, 2001).

Metode Perturbasi Moller-Plesset biasanya digunakan untuk kalkulasi single point terhadap geometri yang diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan teori pada level yang rendah. Perhitungan dengan Moller-Plesset merupakan cara yang populer dilakukan untuk memasukkan korelasi elektron dalam perhitungan mekanika kuantum, terutama pada level teori MP2. Beberapa perhitungan Moller-Plesset bersifat spesifik, yaitu menggunakan level teori dengan basis set tertentu. Salah satunya adalah perhitungan dengan

commit to user

2001).