BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatasi Konflik Pengaturan Pendaftaran Tanah

BAB I PENDAHULUAN A . Latar Belakang Pancasila sebagai sumber dari sumber hukum merupakan penentu isi dan

  pelaksanaan hukum di Indonesia yang secara konstitusional telah dijabarkan di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 terutama di dalam Pasal 4 Ayat (1) berbunyi “Pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan menurut Undang Undang Dasar”, dengan pengertian bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundangan. Ketentuan ini sekaligus menunjukan bahwa Negara Kesatuan

   Republik Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat).

  Selanjutnya untuk memberi batas terhadap kekuasaan pemerintah telah disepakati bersama Undang Undang Dasar Republik Indonesia yang sekaligus menjadi sumber hukum utama pembuatan peraturan perundangan termasuk pengaturan bidang pendaftaran tanah, hal ini didasarkan kepada suatu perbuatan hukum atau rekayasa hukum oleh lembaga berwenang yang disebut juga sebagai hukum yang diundangkan (enacted law) sehingga menghasilkan substansi yang tidak diragukan lagi kebenaran dan keabsahannya. 1 Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, CV.

  Sinar Bakti, Jakarta, Halaman 45.

  Namun demikian di dalam praktek penegakan hukum (law enforcement), tetap diperlukan dukungan kekuasaan (maachts) sebatas yang diperlukan untuk kepentingan penegakan hukum (law enforcement) itu sendiri, dengan pengertian bahwa kekuasaan tidak boleh digunakan secara berlebihan sampai menjurus kepada suasana penekanan, penindasan bahkan kekerasan bersifat

   repressive dan top down yang akhirnya bermuara kepada naked power.

  Sebagai contoh penggunaan kekuasan (maachts) menurut ketentuan Pasal

  2 Ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dimaksudkan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa juga termasuk mengatur hubungan hukum antara orang dengan tanah yang hanya bersifat publik semata (publiekrechtelijk) tanpa dapat ditafsirkan lain kecuali untuk kepentingan nasional, karena menyangkut kehidupan

   berbangsa dan bernegara.

  Pada dasarnya keberadaan hukum merupakan alat pengendali perubahan sosial sehingga diharapkan pada saatnya dapat memunculkan penggunaan hukum secara sadar dan aktif sekaligus sebagai sarana dalam peran serta hukum menata kehidupan masyarakat, baik dalam aspek legitimasi maupun efektivitas. 2 Bambang Sungguno, 1994, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, PT. Sinar Grafika, Jakarta, Halaman 1 dan 2. 3 Syafruddin Kalo, 2005, Kapita Selekta Hukum Pertanahan, Studi Tanah Perkebunan di sumatera Timur, Penerbit USU Press, Medan, Halaman 124-125.

  Sebaliknya peraturan perundangan yang dibuat pihak berwenang lebih bersifat umum sehingga suatu peraturan perundangan yang berlaku tidak mungkin dapat menjangkau hal-hal yang khusus dan rinci karena sifat terbatas dan sifat universalnya setiap peraturan perundangan sehingga tidak mungkin dapat menjangkau semua perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang belum jelas bentuk konkritnya, dengan pengertian bahwa peraturan perundangan hanya sanggup mengatasi suatu perbuatan atau peristiwa tertentu saja.

  Oleh karena itu pemerintah atau pemerintahan umum atau disebut juga dengan pemerintahan negara atau administrator negara atau yang menjalankan tata usaha negara bersama jajaran birokrasinya sampai ke daerah diberi wewenang (bevoegdheid) dalam mengambil tindakan pemerintahan (bestuuren) membuat penetapan (beshikking) berupa kebijaksanaan (beleidsregel atau

  policy atau discretion) dengan merumuskan freies ermessen dalam berbagai

  bentuk juridische regels seperti membuat peraturan, pedoman, pengumuman atau edaran sesuai dengan azas diskresi (discretionaire), legalitas (wetmatigheid) dan yuridikitas (rechtmatigheid) dengan syarat putusan kebijaksanaan tersebut harus sesuai dengan isi dan jiwa serta semangat Undang

   Undang Dasar dan peraturan perundangan (regelling).

4 Philipus M. Hadjon, 1999, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, UGM Press,

  Yogyakarta, Halaman 152

  Salah satu fakta hukum perlunya diadakan kebijaksanaan oleh pemerintah terutama di bidang pendaftaran tanah yaitu ketika dilaksanakan kegiatan pendaftaran tanah, namun peraturan yang ada berada pada suatu keadaan konflik peraturan perundangan, boleh jadi disebabkan berbagai alasan karena peristiwa hukum, perbuatan hukum, alat bukti hak atas tanah atau hubungan hukum bersangkutan sehingga sulit dilaksanakan baik secara hukum maupun secara administratif, keadaan konflik demikian jika tetap diproses atau tidak diproses tanpa melalui suatu tindakan atau langkah kebijaksanaan oleh pemerintah sehingga dikhawatirkan kekuatan hukum sertipikat hak atas tanah yang diterbitkan pemerintah boleh jadi akan melemah ketika diuji di hadapan hakim pengadilan atau boleh jadi muncul permasalahan lain yang pada akhirnya melemahkan tujuan negara.

  Namun sebaliknya kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah selaku birokrat bersama jajarannya dalam bidang pendaftaran tanah sampai ke tingkat pejabat pelaksana di kantor pertanahan di kabupten dan kota bukan merupakan kebijaksanaan dalam arti putusan beschikking yang bukan wewenangnya, melainkan hanya sebatas atribut peraturan regelling atau putusan beschikking yang dibuat oleh lembaga legislatif bersama eksekutif atau oleh lembaga lain

   atau oleh lembaga yang lebih rendah dari itu setingkat menteri.

5 Maria Farida Indrati Suprapto, 1998, Ilmu Perundang Undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya , Kanisius, Yoyakarta, Halaman 94.

  Memang seyogianya pemerintah dalam memberi pelayanan publik di bidang pendaftaran tanah di kantor pertanahan seharusnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan berlaku, namun ketika di dalam pelaksanaannya berhadapan dengan konflik peraturan perundangan yang berlaku, maka pemerintah beserta jajaran birokrasinya harus mampu menempuh jalan kebijaksanaan yang notabene tidak termasuk ke dalam peraturan yang diundangkan (unenacted law). Karena itu keadaan demikian dapat dipandang sebagai suatu fakta hukum yang memerlukan pemeriksaan dan analisis tertentu untuk dicarikan pemecahan masalahnya, antara lain melalui serangkaian kegiatan ilmiah menggunakan sistimatika dan metode serta pemikiran yang terfokus kepada permasalahan sehingga akhirnya diharapkan dapat

   mengungkap kebenaran hukum yang sebenarnya.

  Kantor pertanahan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah ketika berhadapan dengan konflik peraturan perundangan tidak ada dilarang mengambil langkah kebijaksanaan yang didasarkan kepada kewenangan pemerintah dan azas kepatutan sekaligus mencermati perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan merespon kebutuhan serta kepentingan masyarakat terkait bidang pendaftaran tanah sehingga diharapkan dapat memperoleh legalitas dari pihak berwenang.

6 Bambang Sungguno, 2001, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Halaman 39.

  Konflik peraturan perundangan memang sering terjadi sebagai akibat keadaan yang tidak dapat dihindari, hal ini disebabkan karena kaidah-kaidah hukum yang disusun atau yang direncanakan oleh pembuat peraturan perundangan selalu tertinggal jauh di belakang perubahan sosial yang sedang

   terjadi di dalam kehidupan masyarakat (het recht hink achter de feiten aan).

  Ketika kantor pertanahan harus berhadapan dengan konflik peraturan perundangan, maka pilihan hanya ada 2 (dua) ; pertama menolak permohonan ; kedua memproses permohonan. Namun adakalanya jika permohonan ditolak dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian hukum, keadilan atau kemanfaatan bagi pemohon, masyarakat atau negara. Sebaliknya jika permohonan tetap diproses adakalanya harus berhadapan dengan konflik peraturan perundangan.

  Salah satu di antaranya oleh kantor pertanahan dalam jajaran Badan Peranahan Nasional Republik Indonesia dengan kewenangan birokrasinya dapat saja dan tidak ada larangan membuat suatu putusan kebijaksanaan bersandarkan kepada azas-azas hukum secara patut sepanjang tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar dan peraturan perundangan berlaku dalam rangka memberi pelayanan kepada masyarakat untuk memberi kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi semua pihak.

7 Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Halaman 19.

  Menurut Alvi Syahrin bahwa pengaturan pertanahan yang diatur oleh beberapa peraturan perundangan terutama mengenai peruntukan, penggunaan, pemanfaatan dan pemilikan tanah ternyata tidak dapat terlaksana secara terpadu, padahal secara keseluruhan peraturan perundangan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara parsial bahkan keseluruhan peraturan perundangan merupakan suatu kesatuan tanpa konflik, karena sifat hukum itu yaitu memaksa

   dan mengatur.

  Menurut Syafruddin Kalo bahwa dewasa ini konflik kepentingan (conflicts of interest) bidang pertanahan secara materi dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok ; pertama konflik sesama anggota masyarakat ; kedua konflik antara anggota masyarakat dengan pemerintah ; ketiga konflik antara anggota masyarakat dengan investor, namun di sisi lain dapat juga terjadi konflik hukum (conflictenrecht) sehingga harus ditentukan hukum yang digunakan pada suatu hubungan hukum yang terjadi menyangkut dua atau lebih sistem hukum yang berlaku, sebagai akibat setidaknya dari sudut pandang ilmu hukum bahwa Udang-undang Pokok Agraria mengandung 2 (dua) sistem hukum yaitu ;

   pertama sistem hukum nasinal, ; kedua sistem hukum adat.

  8 Alvi Syahrin, 2003, Pengantar Hukum dan Kebijaksanaan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Pustaka Bangsa Press, Medan, Halaman 216. 9 Syafruddin Kalo, 2006, Redefinisi Hak Menguasai Negara dan Hak Ulayat Sebagai Solusi Permasalahan Tanah di Suamtera Utara, CV. Cahaya Ilmu, Medan, Halaman 28-29.

  Selanjutnya menurut Alvi Syahrin bahwa ketika terjadi konflik hukum pada prosedural pendaftaran tanah oleh lembaga terkait memang perlu diadakan kebijaksanaan, namun tentu tidak semuanya dapat diterima menurut hukum, sebaliknya konflik hukum dapat juga dapat terjadi ketika berhadapan dengan berbagai interpretasi dan persepsi sesuai kepentingan masing-masing pihak atau karena konflik kepentingan (conflicts of interest) termasuk juga terjadi di tubuh

   pemerintah sendiri yang selalu muncul dengan ego sektoralnya.

  Terlepas dari masalah konflik kepentingan (conflicts of interest) ataupun konflik keakuan (conflicts of egocentric) maka penelusuran penelitian dan penulisan ini hanya terfokus kepada kebijaksanaan pemerintah sepanjang mengenai solusi dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan permasalahan mengatasi konflik peraturan perundangan bidang pendaftaran tanah (conflicts of

  

land registration rights ) dapat terjadi dalam 3 (tiga) kegiatan penyelenggaraan

  pendaftaran tanah di kantor pertanahan sebagai berikut ; Pertama, konflik pengaturan dalam kegiatan pengumpulan dan pengolahan data fisik pada permohonan hak ; kedua, konflik pengaturan dalam kegiatan peralihan hak atas tanah ; ketiga, konflik pengaturan dalam kegiatan pendaftaran pembebanan hak atas tanah.

10 Ibid., Halaman 124

  Solusi kebijaksanaan yang harus dibuat kantor pertanahan tersebut pada dasarnya merupakan kebijaksanaan publik yang memang harus dilakukan jajaran pemerintah yang menjalankan roda pemeritahan yang melayani kepentingan publik di dalam bidang pendaftaran tanah, dalam hal ini menurut Thomas R. Dye bahwa kebijaksanaan publik meliputi semua tindakan pejabat pemerintah, baik memilih untuk melakukan sesuatu atau memilih untuk tidak melakukan sesuatu, namun selalu mempunyai tujuan tertentu dan keduanya tetap mempunyai akibat yang sama besarnya terhadap kehidupan sosial

   masyarakat.

  Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pemerintah pada penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah harus melaksanakannya menurut peraturan perundangan, namun ketika penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah tersebut dilaksanakan dan harus berhadapan dengan konflik sinkronsasi, konsistensi atau stagnasi peraturan perundangan bidang pendaftaran tanah, maka pemerintah bersama jajaran birokrasinya sampai ke tingkat paling bawah harus mampu mengatasinya dengan cara membuat kebijaksanaan (beleidsregel /

  diskresi / policy). Selanjutnya kebijaksanaan pemerintah bidang pendaftaran

  tanah tersebut akan diteliti, dianalisis dan disimpulkan secara ilmiah untuk dijadikan bahan pengetahuan.

11 Bambang Sungguno, 1994, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, PT. Sinar Grafika, Jakarta, Halaman 21.

  B . Permasalahan

  Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut ;

  1. Bagaimanakah bentuk konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah ?

  2. Bagaimanakah pandangan hukum terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah ?

  C . Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini secara umum yaitu untuk mengetahui keberadaan konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah dan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah, selanjutnya tujuan penelitian ini secara khusus sebagai berikut ;

  1. Untuk memperoleh pengetahuan mengenai keberadaan konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah.

  2. Untuk memperoleh pengetahuan mengenai pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah

  D . Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis maupun praktis, terutama bagi peneliti, akademisi, lembaga-lembaga negara, pemerintah maupun lembaga swasta yang membutuhkan sepanjang mengenai keberadaan konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah dan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah, selanjutnya sebagai berikut :

  1. Manfaat Secara Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan terutama bagi peneliti sebagai bahan kajian lebih lanjut sepanjang mengenai keberadaan konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah dan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah,Manfaat Secara Praktis

  Diharapkan penelitian ini berguna bagi para akademisi sebagai bahan pengetahuan dan bagi lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif sebagai bahan masukan sepanjang mengenai keberadaan konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah dan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah.

  E . Keaslian Penelitian

  Berdasarkan inventarisasi dan informasi terutama dari kepustakaan Universitas Sumatera Utara, ternyata penelitian mengenai “Analisis Hukum Terhadap Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Mengatasi Konflik Pengaturan Pendaftaran Tanah di Kota Medan” belum pernah dilaksanakan oleh peneliti lain, walaupun ada penelitian oleh Triono Eddy tahun 2002 mengenai “Kebijakan Pemerintah Kabupaten Langkat Terhadap Lahan Enclave Dan Kaitannya Dengan Pelestarian Taman Nasional Gunung Leuser“ dan oleh Ramlan tahun 2005 mengenai “Kebijakan Pemerintah Kota Tanjung Balai dan Pemerintah Kabupaten Agam Dalam Meningkatkan Kepercayaan Investor Setelah Berlakunya Otonomi Daerah”, namun secara ontologi, epistimologi maupun aksiologi berbeda, maka dengan demikian penelitian ini asli.

  F . Kerangka Teori Dan Konsepsi

  Penulisan ini berusaha memahami dan menguraikan permasalahan terkait dengan konflik pengaturan pendaftaran tanah dan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasinya sehingga diperlukan kerangka bersifat teoritis dan konsepsional untuk dapat digunakan sebagai landasan penelitian dan penulisan,

  

  karena di dalamnya terdapat sistem theorama atau ajaran (leerstelling)

12 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Halaman 7.

1. Kerangka teori

  Kerangka teori merupakan serangkaian konsep, asumsi, defenisi dan proposisi guna menjelaskan suatu fenomena sosial secara sistimatik

  

  dengan cara merumuskan melalui antar konsep , selanjutnya menurut Prof. M. Solly Lubis bahwa kerangka teori merupakan butir-butir pendapat atau thesis mengenai suatu permasalahan yang dijadikan bahan

   perbandingan atau pegangan secara teoritis.

  Dengan demikian dapat dipahami bahwa kerangka teori dibutuhkan di dalam penetian dan penulisan ini dengan harapan supaya memperoleh hasil optimal ketika dilakukan generalisasi untuk ditarik suatu simpulan sehingga dapat dibuat saran yang patut dan layak untuk dilaksanakan.

a. Teori kedaulatan negara.

  Teori kedaulatan negara satu teori yang dikemukakan Hans Kelsen yang kemudian berkembang menjadi aliran strukturalism yang secara umum di dalamnya terdapat dua aspek, yaitu aspek statis (nomostatics) dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum sebagai suatu hal yang mengatur perbuatan yang bersumber 13 dari norma dasar. 14 Burhan Ashshofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, Halaman 19.

  M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, Halaman 8.

  Selanjutnya teori tersebut dikenal dengan teori Grundnorm yang merupakan dalil sekaligus juga yang menjadi tujuan dari semua peraturan perundangan sehingga setiap hukum atau peraturan perundangan yang berada dalam kawasan rezim Grundnorm harus

   terkait dengannya.

  Terdapat dua istilah di dalam teori kedaulatan negara yaitu ; “kedaulatan” dan “negara”, kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi dalam suatu kelompok organisasi yang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat hukum tertentu sedangkan negara yaitu merupakan suatu organisasi yang mempunyai aneka ragam kepentingan dan setiap orang yang berada dalam lingkungan suatu masyarakatnya akan berusaha mencapai tujuannya yang disepakti

   baik secara kumunal maupun individual.

  Pada proses konkretisasi teori Kelsen mengukuhkan

  Stuffentheory yaitu suatu teori yang melihat tata hukum sebagai

  suatu proses menciptakan sendiri norma-norma mulai dari norma umum sampai kepada yang lebih konkrit dan paling konkrit yang 15 berujung kepada sanksi hukum dalam suatu kedaulatan negara.

  Jimly Asshiddiqi dan M.Ali Safa, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Halaman 8 16 Sri Soemantri Martosoewigogo, 1981, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara , CV. Rajawali, Jakarta, Cetakan Kedua, Halaman 15.

  Seperti halnya di Indonesia mulai dari Pancasila sebagai norma dasar, Undang Undang Dasar sebagai peraturan dasar sampai kepada undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang- undang, pearturan pemerintah, peraturan presiden sampai kepada peraturan pelaksana lainnya yang lebih rendah secara sistimatika tata hukum dalam hal ini penagturan bidang pendaftaran tanah.

  Selanjutnya menurut Hans Kelsen bahwa kedaulatan negara lebih mengarahkan agar setiap orang taat kepada hukum, namun kedaulatan negara bukan merupakan kehendak negara, melainkan kemauan setiap orang merasa harus mentaatinya sebagai perintah

   negara.

  Dengan demikian negara mempunyai kedaulatan atau otorisasi dalam mengatur tujuan yang hendak dicapai, baik untuk kepentingan bersama (komunal) maupun perorangan (individual), namun dalam interaksinya disinyalir akan terjadi pergeseran berbagai kepentingan, karena itu negara memerlukan kesepakatan norma atau peraturan yang lebih rinci sebagai bentuk penjabaran dari peraturan yang lebih tinggi seperti halnya kebijaksanaan yang 17 dibuat pemerintah.

  Sudarsono, 1995, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Kedua, Halaman 111.

b. Teori hukum responsif.

  Teori hukum responsif yang dikemukakan Philippe Nonet dan Philip Selznick membedakan hukum dalam 3 (tiga) kalsifikasi ; pertama, hukum sebagai pelayan kekuasaa (top-down) yang berpotensi represif ; kedua, hukum sebagai institusi tersendiri yang berpotensi otonom ; ketiga, hukum sebagai fasilitator kebutuhan dan aspirasi masyarakat (buttom-up) yang berpotensi responsif. Solusi teori hukum ini antara lain memerlukan kebijaksanaan pemerintah (diskresi), namun tidak mendorong otoritas yang tidak

   terkendali.

  Sebagai perbandingan, model hukum represif merupakan perintah penguasa dalam hal ini putusan hukum lebih kepada kebijaksanaan pemerintah (diskresi) sebagaimana yang digambarkan di dalam teori yang dikemukakan Thomas Hobbes, Jhon Austin dan Karl Marx sehingga antara negara dan hukum sulit dipisahkan, sedangkan hukum otonom lebih kepada kemandirian hukum terutama bagi negara hukum (rule of law) sebagaimana teori positivisme hukum kontemporer seperti H.L.H. Hart, Hans Kelsen, 18 A.V. Dicey dan Lon L. Fuller yang lebih banyak berbicara

  Satjipto Rahardjo, 2003, Hukum Responsif Plihan Di Masa Transisi, Hu-Ma, Jakarta, Halaman 12 mengenai putusan pejabat dan integritas putusan hukum sehingga mempersempit ruang kebijaksanaan pemerintah (diskresi), selanjutnya hukum responsif lebih berkomitmen kepada kebutuhan dan kepentingan publik yang berorientasi kepada tujuan sebagaimana teori realisme hukum dan Roscoe Pound atau

   Dworkin dengan konsep model of rules.

  Namun hukum responsif ketika berhadapan dengan konflik hukum sangat memperhatikan tujuan pengambilan keputusan pada tatanan hukum yang tidak sinkron atau konsisten atau stagnasi, karena di samping ada otoritas kekuasaan juga memperhatikan kepentingan masyarakat tanpa menghilangkan legitimasi prosedural dan sanggup mengoreksi dirinya sendiri.

  Oleh sebab itu maka hukum responsif dapat dikatakan relevan dalam pemecahan masalah konflik peraturan perundangan baik secara horizontal maupun vertikal, karena hukum responsif selalu dikaitkan dengan masalah sosial yang sedang terjadi maupun yang sedang berkembang di dalam kehidupan sosial masyarakat

   sebagaimana digambarkan Satjipto Rahardjo sebagai berikut.

  19 20 ibid, Halaman 14 ibid, Halaman 13

  Hukum Respresif Hukum Otonom Hukum Responsif Tuj. Hukum Ketertiban Keabsahan Kompetensi Legitimasi Perlind. masy. Kebenaran Keadilan

dasar alasan prosedural substansial

adanya negara Peraturan Keras, terperinci Dibuat dengan Tunduk asas hukum namun lunak dan teliti dan mengi dan kebijaksanaan- mengikat pada - kat ya membuat pembuat peratran dan yang diatur Alasan Bersifat keras, Melekat secara Sesuai dg tujuan yg adhoc, tepat dan ketat pada otori merupakan prluasn tersendiri tas hukum dari kompetensi le- gislatif (tujuan) Diskresi Meresap dilaku- Dibatasi oleh a- Diperluas, tapi di- sesuai dengan turan, pengesa- pertnggngjawabkan

kesmpatn yg ada han wewenang demi tujuan.

Pemaksaan Meluas, pemba- Dikendalikan o- Dicari kemngkinan tasnya lunak. leh pembatasan kira2 insentifdst yg hukum. diciptakan sendiri sesuai kewajiban. Politik Hukum berada Hukum terlepas Aspirasi hukum dan di bawah kekua- dari kekerasan terintegrasi menjadi

saan politik. politik. Satu kesatuan

  Hukum responsif yang berangkat dari pemikiran hukum represif dan hukum otonom, dalam perkembangannya untuk membuat hukum menjadi responsif dalam memenuhi aspirasi dan kebutuhan sosial yang terjadi dalam masyarakat dengan pemikirannya sebagai berikut :

  1). Kedaulatan tujuan.

  Perhatian hukum responsif terhadap kedaulatan tujuan berakar dari perkembangan hukum otonom yang memandang pertimbangan hukum sering tidak memadai kalau hanya berlandaskan kepada peraturan tetapi juga harus berlandaskan tujuan sehingga dapat mengurangi kesewenangan interprestasi tekstual dan mengekang aparatur pemerintah agar tidak bertindak melebihi kewenangan yang diberikan kepadanya (ultra vires)

  Tahap yang paling kritis ketika transisi antara hukum otonom dengan responsif yaitu pada generalisasi tujuan hukum sebagai sumber utama fleksibilitas dalam organisiasi modern, sebaliknya hukum responsif tidak dibangun secara radikal melainkan dengan cara melalui suatu pertimbangan dan nalar yang artifisial mengandung kelonggaran tersendiri dengan ciri khusus yaitu mencari nilai yang tersirat di dalam peraturan perundangan maupun di dalam setiap kebijaksanaan

   uang dibuat pemerintah (discretion).

  21 ibid, Halaman 64-65.

  Namun, ketika keadaan berubah maka peraturan perundangan yang ada harus ditata ulang tidak hanya memenuhi kebutuhan kebijaksanaan lebih lagi melindung otoritas peraturan perundangan dan integritasnya, pengambilan kebijaksanaan tersebut harus berpedoman kepada azas-azas otoritatif seperti konsep keadilan (fainess) atau demokrasi, intinya tidak boleh ada pihak yang mengambil keuntungan dari kesalahan akibat dari suatu

   keputusan hukum.

  Namun ketika kedaulatan tujuan melemahkan otoritas peraturan, maka hukum responsif dapat menyebabkan terbuka lebarnya ruang bagi kebijaksanaan pemerintah (discretion) sehingga dengan demikian maka lebih mudah menerima otoritas tujuan yang bersifat kritis dalam menginterprestasikan setiap peraturan perundangan, namun sebaliknya juga lebih sulit memiliki kepercayaan otoritas tujuan bersifat afirmatif bagi arah perkembangan kebijaksanaan yang dibuat pemerintah (discretion ) dalam pelaksanaan peraturan

   perundangan berlaku.

  22 23 Ibid., Halaman 65 ibid , Halaman 67.

  2). Kewajiban dan kesopanan.

  Kewajiban warga negara untuk mematuhi hukum menentukan dalam upaya menuju proses pembuatan peraturan perundangan yang fleksibel, dengan kata lain melemahnya kewajiban juga memiliki sumbernya sendiri dalam dan kerumitan yang selalu menemani perkembangan hukum otonom.

  Ciri khusus dari sistem hukum yang sudah maju yaitu keragaman yang luar biasa dari otoritas hukum. Lebih jauh lagi peraturan perundangan yang berbeda-beda dan seberapa kuat peraturan perundangan mampu membebankan kewajiban bagi warga negara, variasi ini mencerminkan kontribusi yang berbeda dalam enataan hukum yang pada akhirnya penilaian hukum membangkitkan teknik yang terelaborasi untuk menilai otoritas situasional perintah hukum dan manfaat substantifnya sebagai suatu kebijaksanaan (diskretion) sehingga di dalam kondisi tertentu peraturan perundangan

   dapat saling berbenturan (konflik).

  24 ibid , Halaman 70-72.

  Kesopanan cara hukum dilaksanakan merupakan acuan teori hukum responsif untuk mendefenisikan dan memelihara ketertiban umum yang cenderung dibatasi oleh tingkah laku yang baik dilandasi kepatutan, dengan pengertian yang lebih umum dan klasik bahwa kesopanan hukum merupakan atribut kehidupan politik yang mendukung nilai sentral kewarganegaraan dengan azas tidak ada anggota komunitas politik yang tidak terlindungi sehingga selalu terpelihara komunitas moral, karena itu pula standar kesopanan menjangkau pelaksanaan otoritas dan partisipasi publik yang menyerukan sikap moderat dan keterbukaan sedangkan dalam konteks politik kesopanan menghargai mengakui

   induvidualitas, keragaman dan konflik.

  Secara khusus hukum responsif mendorong dan mengembangkan kesopanan dalam 2 (dua) cara sebagai berikut ;

  a). Mengatasi kondisi sempitnya pandangan dalam moralitas komunal, dengan pengertian bahwa pembentukan tatanan hukum yang lebih beradab, lebih 25 menerima keragaman budaya, tidak mudah kejam ibid, Halaman 73. terhadap hal-hal menyimpang dan eksentrik, namun tidak melepaskan diri dari konsesus moral masyarakat b). Mendorong pendekatan baru terhadap krisis ketertiban umum yang berpusat kepada masalah (problem

  centered ) dan integratif secara sosial, dengan paradigma

  model pluralistik struktur kelompok dalam masyarakat, dengan menekankan realitas dan meneguhkan legitimasi konflik sosial, namun ketidakpatuhan dianggap sebagai beda pendapat, kerusuhan dianggap masuk akal bahkan diberikan pujian, karena relevansinya sebagai bentuk protes sosial sekaligus sebagai cara sah untuk menguji dan merobah peraturan, untuk itu seni negosiasi, diskusi

   dan kompromi secara politis dapat dilibatkan.

  3). Partisipasi hukum dan partisipasi politik.

  Ketika melemahnya kewajiban maka sistem hukum mendelegasikan lebih banyak kebijaksanaan (diskretion) pemerintah untuk membuat keputusan yang otoritatif. Partisipasi hukum memiliki arti yang baru buakn saja bersifat 26 pasif dan dan kurang patuh juga diperluas hingga menjangkau

  Ibid., Halaman 70-76 pembuatan dan interpretasi kebijaksanaan (diskretion) oleh pemerintah, terutama dalam model rule of law tatanan hukum dipandang sebagai bersifat hirarkhis. Perluasan partisipasi hukum tidak hanya mengembangkan nilai demokratik tatanan hukum melainkan juga mampu memberi kontribusi kepada kompentensi institusi hukum, dengan ciri-ciri birokrasi oleh pemerintah sebagai berikut

  

  a). Delegasi otoritas yang luas untuk memobilisasi dan menyebarkan sumber-sumber dalam rangka pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan.

  ;

  b). Penggunaan kreatif terhadap para staf perencana, evaluasi dan pengembangan dalam meningkatkan kompetensi kognitif organisasi.

  c). Diterimanya pengawasan dan loyalitas ganda demi mendorong kemandirian penilaian.

  d). Pembuatan keputusan kebijaksanaan partisipatif sebagai sumber pengetahuan, sarana komunikasi dan landasan bagi persetujuan.

  

  27 Ibid., Halaman 77-80. 28 Ibid., Halaman 81.

2. Kerangka konsepsi

  Kerangka konsepsi ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi sekaligus membuat batasan dalam melaksanakan penelitian dan penulisan tesis yang secara prinsi terkait erat dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Mengatasi Konflik Pengaturan hukum pendaftaran Tanah di Kota Medan”, yaitu dengan cara menggunakan model definisi operasional melalui kerangka konsepsi sebagai berikut : a. Analisis hukum.

  Kata analisis berasal dari Bahasa Inggris yang di dalam kamus Bahasa Inggris Indonesia yang disusun John M.Echols cetakan ke XXVII tahun 2003 ditulis dengan kata “analisys” berarti “pemeriksaan yang teliti” sedangkan kata hukum memang para ahli mempunyai defenisi yang tidak sama, namun menurut Soerojo Wignjodipoero dalam bukunya berjudul Pengantar Ilmu Hukum menyebutkan bahwa ;

  Hukum adalah “himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat” Dengan demikian jika dua kata tersebut digabung menjadi satu kalimat analisis hukum, maka maknanya dapat menjadi sebagai berikut ; pemeriksaan yang teliti terhadap himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

b. Konflik pengaturan.

  Menurut petunjuk teknis dari Deputi V Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 01/JUKNIS/D.V/2007 konflik adalah “perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara warga atau kelompok masyarakat dan atau warga atau kelompok masyarakat dengan badan hukum (privat atau publik), masyarakat dengan masyarakat mengenai status tentang peruntukan, penggunaan, pemilikan dan penguasaan tanah oleh pihak tertentu atau berdasarkan putusan Tata Usaha Negara yang mengandung aspek politik, ekonomi sosial budaya” sedangkan pengaturan dimaksud semua peraturan perundangan terkait pendaftaran tanah yang dibuat oleh lembaga legislatif bersama eksekutif atau lembaga lainnya dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

  c. Kebijaksanaan pemerintah.

  Kebijaksanaan pemerintah merupakan kebijaksanaan birokrat yang dibuat presiden atau jajarannya sebatas discreation, namun bukan merupakan beschikking dalam arti undang-undang yang dibuat pihak legislatif dengan pihak eksekutif, melainkan peraturan

  regelling sebatas atribut melengkapi putusan beschikking.

  Kebijaksanaan pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan dan tidak bertentangan secara konstitusional termasuk yang dibuat

   presiden atau bersama lembaga lain atau yang lebih rendah.

  d. Pendaftaran tanah.

  Pendaftaran tanah menurut Pasal 1 Angka (1) PP. Nomor 24 Tahun 1997 yaitu “ ..... rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan pengolahan pembukuan dan penyajian pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang- bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan 29 rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.

  Maria Farida Indrati Suprapto, 1998, Ilmu Perundang Undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya , Kanisius, Yoyakarta, Halaman 94.

  G . Metode Penelitian

  Metode penelitian merupakan cara yang digunakan di dalam penelitian yang akurasinya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan diharapkan memberi manfaat terkait dengan penelitian dan penulisan mengenai analisis hukum terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan

   pendaftaran tanah dilaksanakan sebagai berikut.

  1 . Tipe penelitian

  Penelitian ini normatif termasuk di dalam kelompok analisis data dengan tipologi penelitian diskriptif, yang memandang hukum sebagai suatu sistem peraturan yang abstrak dan otonom, dapat dibicarakan sebagai subyek lain sehingga pusat perhatian tetap terfokus kepada permasalahan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik

  

  pengaturan hukum pendaftaran tanah. Penelitian normatif ini merupakan studi hukum law in books mempelajari konsistensi, sinkronisasi dan stagnasi pengaturan hukum pendaftaran tanah melalui keserasian peraturan perundang-undangan bidang pendaftaran tanah yang

   30 dipermasalahkan baik secara vertikal maupun horizontal.

  Oloan Sitorus dan Darminsyah Minin, 2006, Cara Penyelesaian Karya Ilmiah di Bidang Hukum, Penerbit Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, Cetakan Kedua, Halaman 32. 31 32 Bambang Sungguno, Metodologi Penelitian Hukum, op. cit., Halaman 33 dan 70.

  Soerjono Soekamto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, op. cit, Halaman. 14.

  Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dengan pertimbangan bahwa penelitian ini bertitik tolak dari analisis data sekunder meliputi bahan-bahan hukum primer berupa ; norma dasar, peraturan dasar, bahan hukum sekunder berupa Undang-undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 serta peraturan perundang-undangan lainnya, bahan hukum tersier berupa azas-azas dan teori-teori serta adagium sepanjang terkait dengan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah, dengan cara melakukan langkah-langkah yang sistematik secara ilmiah.

  Selanjutnya dengan melalui eksplorasi literatur diharapkan dapat menjelaskan pengertian-pengertian terkait dengan permasalahan yang telah ditetapkan dalam penelitian ini sepanjang terkait dengan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah, antara lain ;

  a. Pengertian konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah yang tidak konsisten, tidak sinkron atau stagnasi.pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di kantor pertanahan

  b. Pengertian kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di kantor pertanahan

2. Sumber data penelitian

  Sumber data yang digunakan terutama bahan hukum primer, sekunder dan tersier berupa peraturan perundangan, azas-azas, teori-teori, adagium dan kamus terkait dengan permasalahan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di kantor pertanahan dengan langkah sebagai berikut : a. Penginventarisasian seluruh peraturan perundangan yang berlaku

  (hukum positif) berupa undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang beserta peraturan pelaksananya termasuk keputusan lembaga peradilan sepanjang mengenai pendaftaran tanah terutama terkait dengan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di kantor pertanahan b. Penginventarisasian azas-azas dan teori-teori untuk melengkapi isi sistem normatif yang belum tersusun lengkap terkait dengan bidang pendaftaran tanah terutama terkait kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di kantor pertanahan c. Penarikan kesimpulan berdasarkan pengetahuan bidang pendaftaran tanah yang benar, tepat, logis dan patut untuk dilaksanakan terkait bidang pendaftaran tanah terutama terkait kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada

   pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di kantor pertanahan.

  Namun demikian untuk mendukung hasil penelitian diperlukan tanggapan dan pendapat para narasumber dan pakar hukum di luar populasi.

  Populasi ditetapkan yaitu pengguna pelayanan bidang pendaftaran tanah didasarkan kepada penilaian bahwa yang bersangkutan merupakan pelaku yang terlibat langsung dalam penulisan tesis ini sehingga diharapkan dapat memberi tanggapan atau pendapat yang kritis dan konstruktif sepanjang terkait kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik peraturan perundangan bidang pendaftaran tanah.

  Sebagai tindaklanjut dari penetapan populasi tersebut di atas, maka penelitian ini dilaksanakan terhadap 3 (tiga) orang pengguna pelayanan pendaftaran tanah yang terbagi dalam 3 (tiga) kegiatan 33 pendafaran tanah, masing-masing sebagai berikut ;

  Bambang Sungguno, Metodologi Penelitian Hukum, op. cit., Halaman 73

  1) Permohonan hak = 1 orang 2) Peralihan hak = 1 orang 3) Pembebanan hak = 1 orang

  Penetapan instansi pemerintah menjadi narasumber didasarkan penilaian bahwa instansi pemerintah merupakan institusi yang terlibat langsung dalam penegakan hukum, khususnya terkait kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik peraturan perundangan bidang pendaftaran tanah telah dilaksanakan terhadap 3 (tiga) orang narasumber yang terdiri dari 3 (tiga) instansi pemerintah sebagai berikut ; 1) Kantor Pertanahan Kota Medan = 1 orang 2) Pengadilan Tata Usaha Negara Medan = 1 orang 3) Notaris / Pejabat Pembuat Akta Tanah = 1 orang

  Penetapan ahli hukum selaku pakar hukum didasarkan kepada penilaian bahwa ahli hukum secara teoretik lebih memahami tentang pendaftaran tanah terutama terkait dengan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik peraturan perundangan bidang pendaftaran tanah sehingga pada tahap generalisasi permasalahan berada dalam satu persepsi hukum, selanjutnya dilaksanakan terhadap 3 (tiga) orang ahli hukum sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing sebagai berikut ;

  1) Ahli hukum agraria = 1 orang 2) Ahli hukum perdata = 1 orang 3) Ahli hukum administrasi negara = 1 orang 3 . Tehnik pengumpulan data.

  Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data sekunder melalui literatur sedangkan data primer berupa tanggapan dan pendapat dari responden yang relevan dengan permasalahan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah dilaksanakan sebagai berikut ;

  a. Studi kepustakaan (library study) Studi kepustakaan (library study) dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder berupa bahan primer, bahan sekunder dan bahan tersier yang ada pada buku atau dalam bentuk tulisan yang terkait dengan penelitian kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah, meliputi ; 1). Norma Dasar, yang terdapat pada Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945.

  2). Peraturan Dasar, yang terdapat pada Batang Tubuh Undang- Undang Dasar 1945.

  3). Undang-undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 serta peraturan perundang-undangan lainnya.

  4). Azas-azas hukum dan teori-teori hukum serta doktrin-doktrin para ahli hukum. 5). Kamus hukum dan adagium.

  Temuan pada studi kepustakaan terkait dengan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah diasumsi untuk dipersiapkan sebagai pedoman pada pelaksanaan penelitian lapangan dengan menggunakan alat

  34 pengumpul data guna diverifikasi dengan para responden.

  b . Penelitian lapangan (field research) Penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk memperoleh data dukungan terkait permasalahan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah, melalui tanggapan atau pendapat dari responden yang telah ditetapkan sebelumnya dengan menggunakan alat pengumpul data berupa wawancara dan angket dimaksudkan untuk memperoleh data primer melalui tanggapan atau pendapat para responden dengan mengajukan pertanyaan secara langsung dan angket yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.

4. Metode analisis data

  Data sekunder yang ditemukan di penelitian kepustakaan (Library

  study) berupa norma dasar, peraturan dasar, Undang-undang Pokok

  Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, peraturan perundangan terkait lainnya yang menjadi bahan hukum primer dan teori- teori hukum, azas-azas hukum dan doktrin-doktrin hukum dari para ahli hukum yang menjadi bahan hukum sekunder serta adagium dan kamus hukum yang menjadi bahan hukum tersier sepanjang relevan dengan permasalahan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah, akhirnya dianalisis dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif.

  Data primer yang ditemukan dalam penelitian lapangan (field

  research) berupa tanggapan atau pendapat dari responden berkaitan

  dengan permasalahan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah yang diperoleh melalui wawancara dan angket akhirnya dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif digeneralisasi melalui tahapan klasifikasi, tabulasi dan dianalisis tanpa menggunakan angka kecuali sebatas uaraian atau tabulasi.