BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DI KECAMATAN MEDAN SELAYANG 2.1 Identifikasi - Studi Deskriptif Upacara Dan Musik Pada Perkawinan Adat Jawa Di Medan Selayang

BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA
DI KECAMATAN MEDAN SELAYANG

2.1 Identifikasi
Daerah asal suku Jawa adalah pulau Jawa (terutama Jawa Tengah dan
Jawa Timur). Pulau Jawa terletak di bagian selatan dari Kepulauan Indonesia.
Suku Jawa hanya mendiami bagian tengah dan bagian timur dari pulau Jawa,
sementara bagian baratnya didiami oleh suku Sunda. Pulau Jawa yang luasnya 7%
dari seluruh wilayah Indonesia dan dihuni oleh hampir 60% dari seluruh
penduduk Indonesia adalah daerah asal kebudayaan Jawa (Koentjaraningrat,
1984:3-5). Namun pada masa sekarang ini, orang-orang Jawa menetap diberbagai
kawasan di seluruh pulau di Indonesia, bahkan sampai ke Malaysia. Begitu juga
penyebarannya sampai ke Afrika Selatan, Suriname, dan Madagaskar.
Kepadatan penduduk yang tinggi dipulau Jawa menyebabkan banyaknya
penduduk pulau ini dibawa dan dipaksa bekerja sebagai budak ke daerah jajahan
Belanda di Suriname pada sekitar abad ke-18. Kemudian pada abad ke-19, banyak
suku Jawa di kirim dan di paksa bekerja pada perkebunan-perkebunan di
Kaledonia Baru (Perancis) dan pada perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara
(Koentjaraningrat, 1985: 5-10). Di Indonesia sendiri selain di Pulau Jawa, suku
Jawa ini tersebar ke berbagai kawasan, dengan tujuan meningkatkan taraf hidup

melalui transmigrasi yang dilakukan sejak zaman Belanda sampai sekarang. Di
antara kawasan-kawasan yang menjadi tempat tinggal baru suku Jawa adalah
Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan

Universitas Sumatera Utara

Selatan, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Papua
Barat, Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Utara, dan diberbagai daerah lainnya. Di
antara provinsi, jumlah yang paling menonjol suku Jawa nya adalah provinsi
Sumatera Utara.
Kebudayaan Jawa semula berpusat di Surakarta, tetapi dengan adanya
perjanjian Giyanti 1755, antara raja Surakarta dan Yogyakarta, pusat kebudayaan
Jawa juga terdapat di Yogyakarta. Di berbagai daerah tempat kediaman orang
Jawa terdapat variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam
beberapa unsur kebudayaan, seperti perbedaan mengenai berbagai istilah teknis,
dialek, bahasa, dan lain sebagainya. Namun jika di teliti lebih jauh hal-hal itu
masih merupakan suatu pola atau sistem dalam kebudayaan Jawa.
Agama yang di anut mayoritas suku Jawa pada umunya adalah agama
Islam, kemudian agam Kristen Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Orang
Santri adalah mereka yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran

Islam. Sedangkan orang Islam Kejawen biasanya tidak menjalankan shalat, puasa,
dan tidak bercita-cita naik Haji, tetapi mereka mengakui ajaran-ajaran agama
Islam pada umumnya.
Kedatangan suku Jawa di Sumatera Utara seperti yang sudah di jelaskan di
atas bermula dari pengiriman suku Jawa yang dipaksa bekerja sebagai budak pada
perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara di sebabkan karena pada waktu itu
perkebunan-perkebunan yang di kelola oleh bangsa asing kekurangan tenaga kerja
(Said, 1990:49). Berdasarkan pengiriman inilah awal kedatangan suku Jawa di
tanah Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

2.2 Letak Geografis dan Wilayah Kecamatan Medan Selayang
Kondisi fisik Kecamatan Medan Selayang secara geografis berada
diwilayah Barat Daya Kota Medan yang merupakan dataran kemiringan 0-5%.
Wilayah-wilayah yang berdekatan yang berbatasan langsung dengan Kecamatan
Medan Selayang adalah :
Sebelah Utara

: Kecamatan Medan Baru dan Medan Sunggal


Sebelah Selatan

: Kecamatan Medan Tuntungan dan Medan Johor

Sebelah Timur

: Kecamatan Medan Polonia

Sebelah Barat

: Kecamatan Medan Sunggal Kabupaten
Deli Serdang

Kecamatan Medan Selayang terbagi menjadi 6 (enam) kelurahan dan 63
(enam puluh tiga) lingkungan. Adapun luas Kecamatan Medan Selayang adalah
+/- 2.379 ha, disusul Kelurahan Tanjung Sari dengan luas +/- 510 ha, Kelurahan
Sempakata dengan Luas +/- 510 ha, dan yang terkecil adalah Kelurahan Beringin
dengan luas +/- 78 ha.


Universitas Sumatera Utara

Peta 2.1
Peta Kota Medan dan Kecamatan Medan Selayang

Sumber : http://www.pemkomedan.go.id

Kecamatan Medan Selayang adalah salah satu dari 21 kecamatan yang
berada di bagian Barat Daya Wilayah Kota Medan. Sebelum menjadi Kecamatan
Defenitif, terlebih dahulu melalui proses Kecamatan Perwakilan. Sesuai dengan
keputusan Kepala Daerah Tingkat 1 Sumatera Utara Nomor: 138/402/K/1991
tentang Penetapan dan Perubahan 10 (sepuluh) Perwakilan Kecamatan yang
merupakan pemekaran Wilayah Kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, dan
Medan Tuntungan dengan nama “Perwakilan Kecamatan Medan Selayang”
dengan 5 Kelurahan. Kantor masih menyewa bangunan rumah berukuran 6 x 12 m
di jalan Bunga Cempaka Kelurahan Padang Bulan Selayang II.

Universitas Sumatera Utara

Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

51 Tahun 1991 tentang Pembentukan beberapa Kecamatan di Sumatera Utara,
termasuk 8 (delapan) Kecamatan Pemekaran di Kota Medan secara resmi
Perwakilan Kecamatan Medan Selayang menjadi Kecamatan defenitif yaitu
Kecamatan Medan Selayang. Adapaun kantornya telah menempati bangunan
permanen dengan luas tanah +/- 2000 m2 dan luas bangunan 396 m2 dan dibangun
diatas bantuan partisipasi pihak ketiga/masyarakat.
Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Gubenur Sumatera Utara Nomor:
146.1/1101/K/1994 tentang Pembentukan 7 (tujuh) Kelurahan Persiapan di Kota
Medan. Berdasarkan itulah Kecamatan Medan Selayang berkembang dari 5
kelurahan menjadi 6 kelurahan, yaitu Kelurahan Sempakata.
Sejak terbentuknya Perwakilan Kecamatan Medan Selayang dari tahun
1991 sampai dengan sekarang, wilayah ini telah di pimpin oleh beberapa camat.
Daftar nama camat yang pernah memimpin di Kecamatan Medan Selayang dapat
dilihat pada Tabel 2.1 sebagai berikut.

Table 2.1
Daftar Nama Camat yang Pernah Memimpin di Kecamatan Medan Selayang
No

Nama Pejabat


Masa Bakti

1

OK Lailan Zaitun

1991 - 1993

2

Drs.Farid Wajedi, Msi

1993 - 1998

3

Drs. Parluhutan Hasibuan

1998 – 2000


4

H. Syarifuddin, SH

2000 – 2006

5

M. Reza Hanafi, S.STP, M.AP

2006 – 2009

Universitas Sumatera Utara

6

Drs. Halim Hasibuan

2009 – 2012


7

Zulfakhri Ahmadi S.Sos

2012 - Sekarang

Sumber: Kantor Kecamatan Medan Selayang

2.3 Mata Pencaharian
Orang Jawa meskipun pada umumnya di ketahui sebagai penghuni daerah
agraris, mereka sejak zaman dahulu melakukan perpindahan dalam berbagai
bentuk seperti perdagangan, migrasi secara spontan, dan sebagainya. Sebagai
pedagang, umpamanya, mereka terkenal bergerak antar pulau-pulau di Nusantara,
terutama membawa beras dan tekstil (Sartono Kartodirjo, 1988:10). Seiring
perkembangan zaman, kehidupan ekonomi masayarkat Jawa yang ada di
Sumatera Utara mengalami perkembangan pesat. Kini orang Jawa di Kota Medan,
khususnya di Kecamatan Medan Selayang banyak yang telah menggeluti berbagai
bidang-bidang pekerjaan lainnya seperti pegawai negeri sipil (PNS), tenaga
pendidik (guru dan dosen), wiraswasta, mekanik, buruh, seniman, tentara dan

polisi, wartawan, dan lain-lain sebagainya.
Kampung Jawa di sana-sini di bangun sejak zaman dahulu, seperti di
daerah Deli terdapat permukiman orang Jawa kira-kira 500 orang yang disebut
kota Jawa (Luckman Sinar, 1985:6), dan daerah Asahan sekitar Pasir Putih di
katakan sebagai pemukiman orang Jawa beberapa abad sebleum kunjungan John
Anderson (John Anderson, 1971:136). Di Semanjung Malaya juga terdapat
sejumlah migrant orang Jawa yang kini sudah turun temurun dan menetap di situ.

Universitas Sumatera Utara

Table 2.2
Komposisi Mata Pencaharian Penduduk menurut Kelurahan di
Kecamatan Medan Selayang Tahun 2011
No

Kelurahan

Pegawai

Pegawai


Negeri

Swasta

ABRI

Petani

1

Sempakata

421

1730

41

402


2

Beringin

396

2322

42

283

3

PB Selayang II

1886

721

574

198

4

PB Selayang I

336

1376

47

196

5

Tanjung Sari

651

2026

79

277

6

Asam Kumbang

437

484

819

301

JUMLAH

4127

8659

1602

1657

Sumber: Kantor Lurah se-Kecamatan Medan Selayang

Berdasarkan data Kantor Lurah se Kecamatan Medan Selayang tahun 2011
di atas dapat disimpulkan bahwa mata pencaharian penduduk Kecamatan Medan
Selayang kebanyakan adalah pegawai swasta atau buruh.

2.4 Sistem Religi dan Kepercayaan
2.4.1 Agama
Mayoritas penduduk Kecamatan Medan Selayang memeluk agama Islam,
yaitu sebanyak 76.292 orang dari jumlah keseluruhan dari se-kecamatan. Sisanya
sebanyak 40.553 orang memeluk agama Kristen, pemeluk agama Khatolik

Universitas Sumatera Utara

sebanyak 7.368 orang dan pemeluk agama Hindu sebanyak 1.234 orang, dan
sisanya memeluk agama Budha sebanyak 1.423 orang. Dari uraian di atas dapat
di ketahui bahwa keberadaan agama Islam sangatlah besar, sehingga potensi
masyarakat suku Jawa dapat di ketahui 50% keberadaannya di Kecamatan Medan
Selayang.
Tabel 2.3
Komposisi Penduduk di Kecamata Medan Selayang
Berdasarkan Agama Tahun 2013
No

Nama Kecamatan

ISLAM

KRISTEN

KHATOLIK

HINDU

BUDHA

WIL
21

Medan Selayang

1001

Asam Kumbang

17.670

2.947

478

292

1.111

1002

Tanjung Sari

27.654

10.406

1.879

276

152

1003

PB Selayang II

15.520

10.236

1.710

445

101

1004

Beringin

3.338

5.311

1.155

8

1

1005

PB Selayang I

7.819

4.509

631

212

40

1006

Sempakata

4.291

7.144

1.515

1

8

Jumlah/Kecamatan

76.292

40.553

7.368

1.234

1.423

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Medan, 2014

Umumnya masyarakat Jawa yang akan melakukan hajatan, sebelumnya
mereka harus menentukan kapan hajatan itu akan dilaksanakan. Untuk melakukan
hajat terlebih dahulu mereka harus menentukan hari baik, hal ini dilakukan untuk
menghindari naas yaitu hari yang di anggap tidak baik atau pantang. Jika hajat di
lakukan bertepatan dengan geblak yaitu saat meniggalnya salah seorang

Universitas Sumatera Utara

keluarganya, maka hari tersebut harus segera di hindari agar tidak ada kejadian
buruk yang akan menimpa mereka.
Berdasarkan tingkat kemurnian dan ketaatan pelaksanaanya ajarannya,
masyarakat Jawa membedakan pemeluk agama menjadi dua kelompok, yaitu: (1)
Wong Putihan, yaitu orang putih yang dimaksud adalah orang-orang Jawa yang
Taat menjalankan ibadah dengan ajaran Islam; (2) Wong Lorek, yaitu orang yang
badannya belang-belang hitam dan putih, maksudnya adalah orang yang meyakini
terhadap ajaran agama Islam tetapi tidak menjalankan ritual peribadatannya
terutama shalat, namun mencampurkan unsur-unsur di luar Islam.
Faktor utama yang menjadi pembeda antara Wong Putihan dan Wong
Lorek adalah ketaatannya menjalankan ajaran agama Islam yaitu berupa shalat,
puasa, zakat, dan naik haji bagi yang mampu. Seseorang yang menjalankan shalat
lima waktu dengan rajin di golongkan ke dalam kelompok Wong Putihan
meskipun praktek kehidupan keagamanaanya mencampur dengan unsur-unsur di
luar Islam. Sedangkan Wong Lorek di berikan kepada orang yang mengaku Islam
tetapi tidak mau menjalankan ritual secara Islam terutama shalat (Nursilah,
2001:51).

2.4.2 Upacara-upacara Tradisional dalam Lingkaran Suku Jawa
Suku Jawa yang terdapat di kota Medan, khusunya di Kecamatan Medan
Selayang yang mempunyai golongan ekonomi menengah ke atas, sebagian besar
masih melaksanakan berbagai upacara yang terdapat dalam adat-istiadat
kebuadayaan mereka. Upacara-upacara yang masih di laksanakan pada dasarnya
hanya besifat simbolis, artinya upacara-upacara itu hanya menggambarkan suatu

Universitas Sumatera Utara

tujuan luhur yang diharapakan oleh pelakunya. Adapaun upacara-upacara itu
adalah seperti yang disebut dibawah ini, yang mana penjelasannya dari setiap
upacara penulis dapatkan dari berbagai sumber. Sebagai orang Jawa, sebahagian
upacara ini pernah penulis saksikan.

2.4.2.1 Upacara Kehamilan dan Kelahiran
Upacara pada saat kehamilan ada 2 tahapan, yaitu pada saat kandungan
berusia tujuh bulan (upacara tingkepan). Kemudian diteruskan

pada saat

kandungan berusia sembilan bulan (slametan mumuli sedherek).
Upacara tingkeban disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang artinya
tujuh (Bratawidjaja, 1993:21). Upacara tingkeban ini di laksanakan apabila usia
kehamilan seseorang berusia tujuh bulan dan merupakan kehamilan yang pertama
kali. Upacara tingkeban mempunyai makna bahwa pendidikan bukan saja di
berikan setelah dewasa, akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim
seseorang anak perlu di beri pendidikan (Bratawidjaja, 1993:21).
Upacara tingkeban ini hanya sebagai pengharapan saja, dan belum
merupakan suatu kepastian. Tujuan dari pelaksanaan upacara tingkeban adalah
untuk merayakan kandungan yang berusia tujuh bulan, memberitahukan tentang
bakal adanya suatu peristiwa kelahiran, mencerminkan perasaan cemas dalam hal
menghadapi kelahiran, serta mengharapakan bayi yang akan lahir dapat dengan
mudah dan selamat.
Pelaksanaan upacara tingkeban yang ada di Kota Medan, khususnya di
Kecamatan Medan Selayang biasanya di lakukan oleh suku Jawa yang
mempunyai tingkatan ekonomi golongan menengah keatas karena untuk

Universitas Sumatera Utara

melaksanakan upacara tingkeban ini di perluakan biaya yang banyak. Sementara
suku Jawa yang memiliki tingkatan ekonomi golongan bawah, untuk
merayakannya hanya mengirimkan nasi yang berisi lauk-pauk dan di bungkus
dengan daun (kertas bungkus dan atau sejenisnya) sering disebut dengan berkat.
Tujuannya adalah sama seperti yang telah disebutkan di atas.
Upacara melahirkan di lakukan setelah jabang bayi sudah lahir, ari-ari
(plasenta) bayi di bersihkan oleh ayahnya. Menurut kepercayaan suku Jawa, ariari di anggap sebagai saudara kembar dari bayi yang menemani bayi selama
dalam kandungan ibunya, sejak janin terbentuk hingga saat dilahirkan (Wardoyo,
n.d.:6).
Koentjaraningrat (1984:353) menyebutkan bahwa setelah tali pusat lepas,
maka bagi masyarakat suku Jawa mengadakan upacara pupur puser. Upacara
pupur puser ini di laksanakan pada malam hari setelah tali pusat lepas. Suku
Jawa yang ada di kota Medan tidak pernah melaksanakan upacara pupur puser,
Hal ini disebabkan mungkin bahwa suku Jawa di Kota Medan sudah mempunyai
pandangan yang tidak ingin terlalu terikat oleh adat-istiadatnya. Yang masih di
laksanakan adalah apabila tali pusat telah lepas, selanjutnya di bersihkan dan di
jemur hingga kering. Setelah itu di simpan oleh ibu bayi. Sebagian masyarakat
suku Jawa yang berada di lingkungan orang Jawa masih melaksanakan adat dalam
melakukan upacara kelahiran tersebut yang prosesinya di lakukan dengan cara
menggendong tali pusat oleh ayah sang bayi yang telah di letakkan di dalam
wadah mangkuk atau piring yang telah di tutup yang kemudian di kubur di sekitar
depan pintu atau samping pintu rumah bagian depan, yang kemudian setelah di

Universitas Sumatera Utara

kubur di beri pagar dari bambu-bambu. Pada setiap malam, kuburan tali pusat
tersebut di pasangi lampu teplok selama lebih kurang 30 hari.

2.4.2.2 Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan merupakan tahapan penting dan sakral dalam
kehidupan seseorang. Dalam tradisi budaya Jawa, perkawinan selalu di warnai
dengan

serangkaian

upacara

yang

mengandung

nilai-nilai

luhur,

yang

mengajarkan perlunya keseimbangan, keselarasan serta interaksi dengan alam,
sosial dan sang Pencipta alam semesta. Iringan gamelan baik secara langsung
maupun tidak langsung yang sangat dramatis dan magis mewarnai suasana hingga
terasa lebih istimewa.
Sebelum pernihakan dimulai, banyak ritual dan upacara yang harus
dilakukan. Mulai dari sebelum di laksanakan akad nikah hingga resepsi
pernikahan usai. Begitu banyak hal-hal yang harus di lengkapi, tata cara yang
harus di ikuti sesuai urutannya, pakaian yang harus di persiapkan, dan lain
sebagainya.
Untuk mencapai itu semua, penggambaran secara singkat upacara
perkawinan pada suku Jawa maka di perlukan serangkaian upacara adat, yang di
mulai dengan: (1) lamaran yaitu mengajukan permohonan memperistri seorang
anak perempuan untuk seorang anak laki-laki, (2) srah-srahan yaitu menyerahkan
barang-barang kepada pihak perempuan sebagai tanda ikatan resmi (peningset),
(3) pasang tratak yaitu mendirikan tenda untuk kepentingan upacara perkawinan.
(4) siraman yaitu memandikan kedua calon pengantin dengan air bunga setaman 7
7

Bunga setaman atau kembang setaman adalah ramuan wewangian yang biasanya terdiri
dari tujuh macam bunga dan dedaunan, seperti bunga mawar, melati, pandan, jeruk nipis, dan lain-

Universitas Sumatera Utara

agar suci lahir dan bathin, (5) ngerik dan dodolan dawet yaitu menghilangkan
bulu-bulu halus yang ada di kening pengantin perempuan untuk memudahkan
merias wajah dan menjual es cendol (dawet) khas Suku Jawa yang di lakukan
oleh kedua orang tua mempelai calon pengantin perempuan dengan maksud agar
pesta perkawinan yang akan di laksanakan dapat di hadiri oleh orang banyak, (6)
midodareni yaitu secara simbolis malam menunggu kedatangan Dewi Nawang
Wulan untuk merestui

perkawinan tersebut, (7) langkahan yaitu pengantin

perempuan meminta izin kepada kakak/abang yang belum menikah karena
pengantin perempuan akan menikah terlebih dahulu, (8) ijab Kabul yaitu suatu
acara yang mensahkan seorang pria dengan seorang perempuan sebagai suamiistri. (9) panggih yaitu suatu upacara pertemuan pengantin perempuan dengan
pengantin pria melalui serangkaian ritual ataupun prosesi yang di saksikan oleh
seluruh keluarga dan para undangan, (10) kirab pengantin yaitu membawa kedua
pengantin atau arak-arakan menuju ruang ganti pakaian, (11) ngunduh mantu
yaitu membawa pengantin perempuan ketempat kediaman pengantin pria
(Harpi,1988:138). Dalam skripsi ini akan penulis uraikan secara lengkap tentang
tahapan upacara perkawinan.

2.4.2.3 Upacara Selametan
Selamatan atau selametan adalah sebuah tradisi ritual yang di lakukan oleh
masyarakat Jawa dengan tujuan untuk memperoleh keselamatan bagi orang yang
bersangkutan. Clifford Geertz (1969: 126) antara lain menulis tentang selamatan
sebagai upacara kecil di dalam sistem religius Jawa. Acara ini biasanya di hadiri

lain. Ketujuh bunga ini dalam kebudayaan masyarakat Jawa biasanya berkaitan dengan dunia
supernatural yang memang dipercayai masyarakatnya.

Universitas Sumatera Utara

oleh para tetua desa, tetangga dekat, sanak saudara, dan keluarga inti. Setelah
selametan selesai, tetamu biasanya akan di bawakan aneka penganan basah (nasi,
lauk pauk, dan tambahan snack atau kue-kue) atau makanan kering (mi instan,
kecap,

minyak

goreng,

saus

tomat,

saus

sambal)

yang

di

nama-

kan besekan atau berkat.
Upacara selamatan merupakan salah satu tradisi yang di anggap dapat
menjauhkan diri dari mala petaka. Selametan adalah konsep universal, di mana di
setiap tempat pasti ada dengan nama yang berbeda. Hal ini karena kesadaran akan
diri yang lemah di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia.

Secara

tradisional acara selamatan di mulai dengan doa bersama, dengan duduk bersila di
atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk dan sesaji ( kalau ada).
Sesaji yang di adakan untuk mengiringi upacara selamatan tersebut, maksud dan
tujuannya adalah seperti doa. Intinya adalah bersyukur kepada Allah S(Tuhan)
dan semoga dengan berkah-Nya, segala tugas akan di laksanakan dengan selamat,
baik, benar, dan membawa kesejahteraan dan kemajuan yang lebih baik. Nasi
tumpeng komplit sebenarnya mempunyai makna sebagai doa dan sesaji.
Praktik upacara selametan sebagaimana yang di ungkapkan oleh Hildred
Geertz pada umumnya di anut oleh kaum Islam Abangan, sedangkan bagi kaum
Islam Putihan (santri), praktik selametan tersebut tidak sepenuhnya dapat di
terima, kecuali dengan membuang unsur-unsur syirik yang menyolok seperti
sebutan dewa-dewa dan roh-roh. Karena itu, bagi kaum santri, selametan adalah
upacara doa bersama dengan seorang pemimpin atau modin (pemimpin agama)
yang kemudian di teruskan dengan makan-makan bersama sekadarnya dengan

Universitas Sumatera Utara

tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Allah Yang Maha
Kuasa.
a. Jenis-Jenis Upacara Selametan
Upacara selametan di lakukan untuk merayakan hampir semua kejadian,
termasuk kelahiran, kematian, pernikahan, pindah rumah, dan sebagainya. Geertz
mengkategorikan mereka ke dalam empat jenis utama:
(1) Yang berkaitan dengan kehidupan: kelahiran, khitanan, pernikahan,
dan kematian.
(2) Yang terkait dengan peristiwa perayaan Islam, misalnya Maulid Nabi.
(3) Bersih desa (“pembersihan desa”), berkaitan dengan integrasi sosial
desa.
(4) Kejadian yang tidak biasa misalnya berangkat untuk perjalanan
panjang, pindah rumah, mengubah nama, kesembuhan penyakit,
kesembuhan akan pengaruh sihir, dan sebagainya.
Perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan pengaruh
luar/asing

selalu

membawa

perubahan

termasuk

dalam

upacara

tradisional/selametan. Adapun selametan yang masih dilakukan yaitu:
a. Upacara tingkeban atau mitoni. Pada acara tingkeban atau mitoni biasanya
di

adakan

selamatan

untuk

usia

kandungan

tujuh

bulan.

Tujuan mitoni atau tingkeban agar ibu dan janin selalu dijaga dalam
kesejahteraan dan keselamatan (wilujeng, santosa, jatmika, rahayu)
b. Babaran, dekat menjelang kelahiran, beberapa orang mengadakan
slamatan kecil dengan anggota keluarga saja, yang hidangannya terdiri

Universitas Sumatera Utara

dari sepiring jenang (dodol pulut) dengan sebuah pisang yang telah
dikupas di tengahnya untuk melambangkan kelahiran yang lancar.
c.

Sepasaran,

lima

hari

sesudah

selamatan

pertama

untuk

bayi

diselenggarakan, sebuah selamatan yang agak lebih besar, pasaran dan
pemberian nama si bayi.
d. Selapan, saat bayi berumur 35 hari, di adakan upacara selapanan. Acara
ini biasanya juga diadakan acara selamatan. Pada upacara ini, untuk
pertama kali bayi di potong rambutnya. Biasanya yang memotong adalah
nenek si bayi.
e. Tedhak siten, selametan pada acara tedhak siten ini di lakukan saat bayi
berumur 6 bulan atau pitung weton. Sarana pada slametan ini adalah beras
kuning yang dicampur dengan uang anggris (ringgit), wukon (uang
setengan rupiah, sekarang Rp 500), talen salaka (uang 25 sen yang terbuat
dari logam berwarna putih, sekarang uang logam berapa saja, padi satu
genggam, dan kapas satu dhompol (untai).
f. Sunat, upacara selamatan pada acara sunatan biasanya di lakukan saat
anak laki-laki berusia 16 tahun atau sesudah tamat sekolah dasar
(SD). Sunat merupakan kewajiban bagi para pemeluk agama Islam.
g. Weton atau wetonan adalah peringatan hari lahir setiap 35-tiga puluh lima
hari

sekali.

Pada

waktu-waktu

tertentu,

orang

melakukan

peringatan weton dengan cara mengadakan selamatan dengan mengundang
beberapa kerabat atau kenalan baiknya. Pada saat seperti itu, biasanya
sesaji lebih komplit, termasuk nasi tumpeng dan lauk pauknya dan lain

Universitas Sumatera Utara

sebagainya. Sesudah di adakan doa bersama, di lanjutkan dengan
menyantap hidangan.
h. Perkawinan, di dalam Islam, selamatan perkawinan disebut juga
midadareni, di selenggarakan pada malam hari menjelang upacara yang
sebenarnaya.
i. Kematian, selametan ini untuk menyelamatkan jiwa orang yang sudah
meninggal. Perjalanan selamatan ini mendapat pengaruh ajaran Hindu dan
Budha. Akan tetapi, yang di ganti itu hanyalah mantranya atau doanya.
Prinsip dari selamatan itu sendiri masih tetap. Setelah agama Islam masuk,
berbagai tata cara dan mantranya diubah disesuaikan dengan prinsipprinsip ajaran Islam.
Di samping upacara yang telah di uraikan di atas, keluarga Jawa juga
mengenal pula berbagai upacara selamatan lain yang di sebabkan oleh kasus
tertentu. Misalnya selametan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, selametan
yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian dan setelah
panen, dan selametan pada saat-saat tidak tertentu atau yang berkenaan dengan
kejadian-kejadian seperti mengadakan perjalanan jauh, menempati rumah
kediaman baru, menolak bahaya (ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit (kaul),
dan lain-lain. Tujuannya tidak lain untuk memperoleh keselamatan bagi orang
yang bersangkutan khususnya dan bagi keluarga pada umumnya. Tujuan pokok
dari upacara ini tidak lain adalah untuk mencari keselamatan. Kegiatan selametan
menjadi tradisi hampir seluruh kehidupan di padusunan Jawa. Ada bahkan yang
meyakini bahwa selametan adalah syarat spiritual yang wajib dan jika di langgar
akan mendapatkan ketidakberkahan atau kecelakaan.

Universitas Sumatera Utara

Selametan adalah konsep universal yang di setiap tempat pasti ada dengan
nama yang berbeda-beda. Nama-nama yang berbeda-beda tersebut anara lain
adalah:
(1) Bancaan adalah upacara sedekah makanan karena suatu hajat leluhur,
yaitu yang berkaitan dengan problem dum-duman (pembagian) terhadap
kenikmatan, kekuasaan, dan kekayaan. Maksudnya agar terhindar dari
konflik yang disebabkan oleh pembagian yang tidak adil.
(2) Kenduren/Kenduri adalah upacara sedekah makanan karena seseorang
telah memperoleh anugrah atau kesuksesan sesuai dengan apa yag dicitacitakan. Dalam hal ini kenduren mirip dengan acara tasyakuran. Acara
kenduren bersifat porsonal. Undangan biasanya terdiri dari kerabat, kawan
sejawat, dan tetangga.

b. Perkembangan Upacara Selametan Pada Masa Sekarang
Upacara-upacara selametan sebagai salah satu wujud budaya, selalu
mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan. Hal ini di
sebabkan adanya perubahan pola pikir dari masyarakat pemangku budaya,
teknologi dan agama. Perubahan pola pikir, teknologi, dan agama ini akan
berpengaruh secara langsung terhadap sarana dan prosesi dalam upacara
selametan. Meskipun demikian namun ternyata masih ada sebagian masyarakat
Jawa yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisional. Hal tersebut terlihat
dengan adanya pelaksanaan berbagai macam upacara, misalnya kematian,
pendirian rumah, dan lain-lain, termasuk upacara panggih. Sebagian masyarakat
tradisional ini, takut meninggalkan kebiasaan yang telah mengakar dalam segi-

Universitas Sumatera Utara

segi kehidupan mereka, dan masih setia mempertahankan tradisi peninggalan
leluhurnya.
Pada awalnya upacara selametan di pengaruhi unsur AnimismeDinamisme yang paling menonjol pada pelaksanaan selamatan, terutama
selamatan yang di laksanakan oleh orang Islam Kejawen. Dalam pola umum
selametan yang mereka lakukan, yang terdiri dari peserta selamatan, doa dan
hidangan atau sajian, di dalamnya nampak unsur-unsur Animisme-Dinamisme
yang

cukup

menonjol.

Upacara

selamatan

yang

berasal

dari

kepercayaan Indonesia asli (Animisme-Dinamisme), setelah mendapat pengaruh
dari Hindu-Budha, pada perkembangan berikutnya juga mendapat pengaruh dari
Islam. Unsur Islam memang tidak begitu menonjol, akan tetapi dalam beberapa
hal, Islam cukup besar peranannya dalam memodifikasi selametan.

Dalam

beberapa jenis selamatan ada yang mengesankan bahwa selametan itu seolah-olah
dari budaya Islam semata. Lebih-lebih jika yang menyelenggarakan selametan itu
dari kalangan Islam santri.

Biasanya dari kalangan santri, praktik selamatan

tersebut tidak sepenuhnya dapat di terima, kecuali dengan membuang unsur-unsur
syirik yang menyolok seperti sebutan dewa-dewa, roh-roh, dan sesaji. Namun
pada masa sekarang, hal tersebut tidak hanya di lakukan oleh para santri saja
namun juga hampir seluruh masyarakat Jawa tidak mengadakan sesaji pada
upacara selamatan.

2.5 Sistem Kekerabatan
Sebelum

penulis

menguraikan

tentang

sistem

kekerabatan

pada

masyarakat Jawa secara umum, terlebih dahulu akan penulis kemukakan defenisi

Universitas Sumatera Utara

masyarakat menurut Koentjaraningrat (1977:103) yang mengatakan bahwa
masayarakat adalah kesatuan hidup manusia yang terikat oleh suatu sistem adatistiadat tertentu.
Orang-orang Jawa memiliki sistem kekerabatan, yang disebut bebrayat.
Menurut Bapak Subanindyo Hadiluwih, seorang tokoh masyarakat Jawa di
Sumatera Utara, bebrayat berasal dari kata brayat berarti sistem berkeluarga
dalam arti luas, yaitu keluarga inti, batih, atau keluarga budaya. Sistem
kekerabatan ini di landasi oleh sikap gotong royong, dengan konsep sepi ing
pamrih, rame ing gawe, artinya tidak mengharapkan balasan pamrih, dan
mengutamakan kerja bersama-sama. Dengan menggunakan sistem ini, mereka
meyakini bahwa semua manusia adalah keluarga, namun dalam penjabaran
tanggung jawab selalu di konsepkan dengan paseduluran: sedulur tunggal
kringkel merupakan saudara lahir daripada ibu dan ayah yang sama; sedulur
kuwalon yaitu saudara lain ayah tetapi ibunya sama, atau sebaliknya saudara lain
ibu namun ayahnya sama, dan saudara tiri; sedulur misanan merupakan saudara
satu nenek atau satu kakek, yang mencakup kandung atau tiri; sedulur mindoan
adalah saudara satu buyut (orang atau kakek atau nenek) berlaku baik untuk
saudara kandung atau tiri; sedulur mentelu yaitu saudara canggah (buyutnya ayah
dan ibu) baik saudara kandung atau tiri; bala yaitu menurut anggapan mereka
masih saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak kedudukannya, dan di
sebabkan oleh interaksi mereka, karena kebutuhan yang erat, misalnya pekerjaan
yang sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; tangga yang konsepnya tidak
terbatas pada letak rumah yang berdekatan saja, tetapi dalam kepentingan tertentu
mereka saling membutuhkan.

Universitas Sumatera Utara

Orang-orang Jawa yang ada di Sumatera Utara sekarang, secara umum
mengalami transformasi-transformasi budaya. Di satu sisi mereka ingin
mempertahankan budaya leluhurnya yang berasal daripada pulau Jawa, di sisi lain
mereka juga harus berinteraksi dengan berbagai etnik setempat dan pendatang
lainnya di Sumatera Utara yang pesat perkembangan ekonominya. Orang-orang
Jawa ini mata pencaharian utamanya adalah bertani dengan menggarap lahan
untuk perkebunan kelapa sawit, getah karet, dan kopra.
Sistem kekerabatan masyarakat Jawa berdasarkan prinsip keturunan
bilateral. Semua kakak laki-laki serta kakak perempuan ayah dan ibu, beserta istri
dan suami mereka masing-masing di klarifikasikan menjadi satu, yaitu dengan
istilah siwa atau uwa. Sedangkan adik-adik dari ayah atau ibu diklarifikasikan
kedala dua golongan yang berbeda menurut jenis kelamin, yaitu paman bagi adik
laki-laki dan bibi bagi adik perempuan.
Pada masyarakat berlaku adat-adat yang menentukan bahwa dua orang
tidak boleh saling menikah apabila: saudara kandung, yaitu anak dari dua orang
saudara sekandung laki-laki, pancer lanang, yaitu: pihak laki-laki lebih muda
menurut ibunya dari pihak perempuan. Adapun perkawinan yang di perbolehkan
adalah perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan-hubungan
kekerabatan seperti tersebut di atas. Dalam perkawinan masyarakat Jawa dikenal
beberapa istilah sebagai berikut: ngarang wulu, yaitu perkawinan seorang duda
dengan seorang wanita salah satu adik almarhum istrinya, wayuh, yaitu
perkawinan lebih dari seorang istri (poligami), kumpul kebo, yaitu laki-laki dan
perempuan yang tinggal dalam satu rumah, sudah atau belum mempunyai anak
dalam kurun waktu tertentu tetapi belum menikah secara agama dan sosial. Hal

Universitas Sumatera Utara

ini merupakan suatu bentuk perkawinan menyimpang dari tradisi dan ajaran
agama, pisah kebo, yaitu berpisahnya suami-istri tetapi tidak diikuti oleh
perceraian secara resmi.
Sistem istilah panggilan kekerabatan suku Jawa biasanya dibatasi oleh
kedudukan seorang sebagai anggota kelompok kerabatnya, yang dapat di mengerti
dari sebutan atau istilah-istilah yang di gunakan dalam kelompok kerabatnya. Hal
ini dapat di lihat dalam kehidupan sehari-hari untuk menyapa seseorang. Untuk
istilah panggilan kekerabatan pada suku Jawa, penulis melihat tulisan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (1977:16-20) seperti berikut:
1. Mbah canggah/eyang canggah: orang tua laki-laki atau perempuan yang berada
tiga tingkat di atas ayah atau ibu.
2. Mbah buyut : orang tua laki-laki atau perempuan yang berada dua tingkat di
atas ayah atau ibu.
3. Mbah eyang: orang tua kandung ayah atau ibu.
4. Bapak/rama: ayah kandung, mertua laki-laki, besan (orang tua laki-laki
menantu).
5. Ibu/si mbok : ibu kandung, mertua perempuan, besan (orang tua permpuan
menantu).
6. Pakde: saudara laki-laki kandung/sepupu ayah atau ibu yang umur lebih tua,
suami bude.
7. Bude: saudara perempuan kandung/ sepupu ayah atau ibu yang umurnya lebih
tua, istri pakde.
8. Paman/paklik: saudara laki-lai kandung/sepupu ayah atau ibu yang umurnya
lebih muda, suami buklik.

Universitas Sumatera Utara

9. Bibi/buklik: saudara perempuan kandung/sepupu ayah atau ibu yang umurnya
lebih muda, istri paklik.
10. Mas/kakang mas: abang kandung, abang ipar, anak laki-laki pakde/bukde
(walaupun umurnya lebih muda).
11. Mbak/mbakyu: kakak kandung, kakak ipar, anak perempuan pakde/bude
(walaupun umurnya masih muda).
12. Adhi/dhimas: adik kandung laki-laki, adik ipar laki-laki, anak laki-laki
paklik/buklik (walaupun umurnya lebih tua).
13. Adhi/dhiajeng: adik kandung perempuan, adik ipar perempuan, anak
perempuan paklik/buklik (walaupun umurnya lebih tua).

2.6 Kesenian
2.6.1 Musik Campur Sari
Musik campur sari adalah perpaduan antara alat musik gamelan dengan
alat musik di luar kebudayaan Jawa. Alat musik ini antara lain adalah keyboard,
drum, bass, gitar, gendang. Perpaduan ini membuat musik yang berbeda, karena
kedua jenis musik antara gamelan dengan campur sari mempunyai gaya, teknik
permainan, karakteristik nada yang berbeda. Dalam permainannya kedua musik
ini saling mengisi antara satu dengan yang lainnya. Perpaduan antara alat musik
tradisi gamelan dengan alat musik modern menghasilkan nada-nada yang baru
dan indah. Inilah yang dimaksud dengan campur sari.
Dalam perkembangannnya musik campur sari ini menyebar keberbagai
daerah yang ada di Indonesia di lingkungan masyarakat Jawa pada khususnya.
Terutama daerah yang ada masyarakat Jawa termasuk kota Medan. Di mana

Universitas Sumatera Utara

daerah kota Medan banyak terdapat masyarakat Jawa. Baik yang datang secara
merantau dari pulau Jawa ataupun yang lahir di Medan.
Musik campur sari berkembang di Kota Medan berawal pada tahun 2000.
Ketika seorang pegawai Dinas Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
sekaligus pemusik yang bernama Bapak Sunardi berkunjung ke pulau Jawa,
Sepulang dari Jawa, muncul ide ingin membuat musik campur sari di kota
Medan.

Keinginan ini di wujudkan dengan membentuk group musik yang

bernama Krido Laras. Pada awalnya, kegiatan musik Krido Laras hanya untuk
tempat berkumpulnya pemusik dan sebagai sarana latihan antara Bapak Sunardi
dengan teman-temannya yang aktif di paguyuban warga Yogyakarta. Seiring
berjalannya waktu, group Krido Laras mulai tampil di acara paguyuban Yogya
yang ada di Kota Medan. Musik yang di tampilkan hanya untuk di konsumsi oleh
sesama mereka yang tergabung dalam paguyuban (lebih jauh lihat skripsi
Manrihot M. Sinaga, Deskripsi Musik Campur sari Krido Laras dalam Konteks
Hiburan Pada Masyarakat Jawa dikota Medan, 2010).

2.6.2 Kuda Lumping
Berbicara mengenai kesenian tradisonal masyarkat Jawa, kesenian Kuda
Lumping merupakan salah satu warisan budaya peninggalan nenek moyang
masyakarat Jawa dalam bentuk kesenian tradisional. Kesenian Kuda lumping
juga terdapat di berbagai daerah di Indonesia, dengan versi yang berbeda-beda
terutama yang ada di Kota Medan, Khususnya Medan Selayang sering
menyebutnya sebagai kuda kepang.

Kesenian Kuda Lumping menampilkan

sekelompok prajurit tengah menunggah kuda yang terbuat dari bambu yang di

Universitas Sumatera Utara

anyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan
cat dan kain beraneka warna. Tarian kuda lumping biasanya hanya menampilkan
adegan prajuroit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga
menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis. Seperti aktraksi
memakan beling kaca dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut (Purwadi,
2005:33).
Alat musik yang di pakai lebih sederhana dari seni karawitan, hanya
terdiri dari kendang, gong, gamelan pelog, dan kenong yang bahan materialnya
berasal dari sisa drum yang telah di olah melalui sistematika pembuatannya, dan
selompret (terompet khas kuda lumping). Kesenian tari kuda lumping ini yang di
ketahui berasal dari Jawa Timur sangat popular di kota Medan khususnya di
Kecamatan Medan Selayang. Biasanya kuda lumping ini di tampilkan dalam
acara-acara tertentu misalnya menyambut tamu kehormatan, pesta sunatan, acara
khusus misalnya pada hari kemerdekaan, sebagai acara syukuran atas doa yang
di kabulkan Yang Maha Kuasa.
Dengan demikian masyarakat Jawa yang ada di Sumatera Utara, termasuk
yang ada di Kecamatan Medan Selayang Kota Medan, dalam proses strategi
budayanya adalah tetap mempertahankan budaya Jawa, sebagai budaya leluhurnya
di satu sisi. Namun di sisi lainnya, mereka juga berusaha untuk beradaptasi
dengan situasi sosial dan budaya yang terdapat di Sumatera Utara. Konteks yang
sedemikian rupa ini adalah sebagai sebuah upaya mempertahankan identitas etnik
dan juga sekaligus sebagai bagian dari masyarakat Sumatera Utara yang heterogen
secara etnik tersebut. Termasuk juga dalam penyelenggaraan upacara perkawinan
adat jawa yang penulis teliti ini.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Studi Deskriptif Upacara Dan Musik Pada Perkawinan Adat Jawa Di Medan Selayang

2 79 215

Eufemisme Dalam Upacara Perkawinan Adat Jawa Nemokke di Medan

2 64 1

Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba Di Kota Medan. Kajian Fungsi, Kontinuitas, Dan Perubahan

7 131 114

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN DI KOTA MEDAN 2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau - Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Per

0 1 13

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DI KELURAHAN JATI MAKMUR KECAMATAN BINJAI UTARA KOTA BINJAI 2.1 Identifikasi Masyarakat Jawa - Studi Deskriptif Ketoprak Dor oleh Sanggar Langen Setio Budi Lestari pada Upacara Adat Perkawinan Jawa di Kelurahan Jati Ma

0 0 18

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN - Deskripsi Pertunjukan Tari Merak dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Adat Sunda di Kota Medan

0 0 22

BAB II PT.SPBU SELAYANG UTAMA MEDAN A. Sejarah Ringkas - Sistem Pengawasan Internal Penggajian Dan Pengupahan Pada Pt.Spbu Selayang Utama Medan

0 0 12

BAB II - Studi Deskriptif Teknik Permainan Musik Komunitas Beatbox Gendang Mulut Di Medan

0 0 19

BAB II SUKU PESISIR DI KOTA SIBOLGA 2.1 Gambaran Umum Suku Pesisir - Analisis Musikal Dan Tekstual Dampeng Pada Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir Di Kota Sibolga

0 1 16

BAB I PENDAHULUAN 1.1 - Analisis Musikal Dan Tekstual Dampeng Pada Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir Di Kota Sibolga

1 0 28