BAB II SUKU PESISIR DI KOTA SIBOLGA 2.1 Gambaran Umum Suku Pesisir - Analisis Musikal Dan Tekstual Dampeng Pada Upacara Adat Perkawinan Suku Pesisir Di Kota Sibolga

BAB II SUKU PESISIR DI KOTA SIBOLGA

  2.1 Gambaran Umum Suku Pesisir

  Bab ini akan mengenalkan Suku Pesisir melalui lokasi penelitian. Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasar Belakang, Kecamatan Sibolga Kota, Kota Sibolga, Provinsi Sumatera Utara. Di wilayah ini, dampeng masih didapati dalam suatu upacara adat perkawinan Suku Pesisir.

2.1.1 Topografi

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, topografi merupakan kajian atau atau penguraian yang terperinci tentang keadaan muka bumi pada suatu daerah (2008:1482). Kota Sibolga merupakan daerah yang terletak di wilayah Pesisir Pantai Barat Sumatera Utara. Menurut Sogiarto dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, pesisir itu adalah wilayah pertemuan antara darat dan laut dimana ekosistem darat dan laut saling berinteraksi; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

  Kota Sibolga berjarak lebih kurang 340 km dari Kota Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara. Posisinya berada pada sisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap ke arah Samudera Hindia. Seluruh wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah di sebelah Timur, Selatan, dan Utara. Sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

  Secara geografis, wilayah Kota Sibolga terletak terletak antara 1º 42'-1º 46' Lintang Utara dan 98º 44' - 98º 48' Bujur Timur. Wilayah Kota Sibolga berdiri di atas daratan pantai, lereng, dan pegunungan di mana sebagian besar penduduknya bermukim di dataran pantai yang rendah. Bentuk Kota Sibolga memanjang dari Utara ke Selatan mengikuti garis pantai. Sebelah Timurnya terdiri dari gunung.

  Sedangkan sebelah Barat terdiri dari lautan. Lebar kota ini berjarak lebih kurang 500 meter dari garis pantai ke pegunungan sedangkan panjangnya adalah 8.520 km.

  Keadaan alamnya relatif kurang beraturan. Kemiringan (lereng) lahan bervariasi antara 0-2 % sampai dengan 40%. Sebagian besar (69%) wilayah kota madya ini merupakan perairan dan pulau-pulau yang tersebar di Teluk Tapian Nauli. Sedangkan sisanya merupakan dataran bekas rawa di dataran pantai Sumatera yang ditimbun membujur dari Barat Laut ke Tenggara dengan ukuran 5,6 kali 0,5 km. Dataran ini merupakan tempat pemukiman penduduk.

  Beberapa pulau yang tersebar di sekitar teluk Tapian Nauli yang termasuk ke dalam wilayah administratif Kota Sibolga adalah pulau Poncan Gadang, Pulau Poncan Ketek, Pulau Sarudik, dan pulau Panjang. Kota Sibolga dipengaruhi oleh letaknya yang berada pada daratan pantai, lereng, dan pegunungan terletak pada ketinggian di atas permukaan laut berkisar antara 0 - 150 meter.

  Wilayah ini memiliki iklim yang cukup panas sekitar 21,6°C-32°C. Sementara curah hujannya cenderung tidak teratur di sepanjang tahunnya. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November dengan jumlah sekitar 798 mm.

  4 Sedangkan hujan terbanyak terjadi pada bulan Desember selama 26 hari.

2.1.2 Luas Wilayah

  Kota Sibolga merupakan wilayah yang cukup sempit dengan cakupan wilayah daratan seluas 1077 ha. Cakupan wilayah ini terdiri dari 889,16 ha (82,5%) daratan, 187,84 ha (17,44%) daratan kepulauan. Sedangkan wilayah lautannya memiliki luas sekitar 2.171,6 ha.

  Secara administratif daerah ini terdiri dari empat kecamatan. Berdasarkan data wilayah BPS Kota Sibolga tahun 2012, Kota Sibolga terdiri dari empat kecamatan dengan 17 kelurahan dan 68 lingkungan.

  17 kelurahan dalam wilayah kecamatan Kota Sibolga, yakni:

  1. Kecamatan Sibolga Utara, meliputi Kelurahan Sibolga Ilir, Kelurahan Angin Nauli, Kelurahan Hutabarangan, Kelurahan Hutatonga-tonga, dan Kelurahan Simaremare;

  2. Kecamatan Sibolga Kota, meliputi Kelurahan Pasar Baru, Kelurahan Pasar Belakang, Kelurahan Pancuran Gerobak dan Kelurahan Kota Beringin;

  3. Kecamatan Sibolga Sambas, meliputi Kelurahan Pancuran Kerambil, Kelurahan Pancuran Pinang, Kelurahan Pancuran Bambu, dan Kelurahan Pancuran Dewa;

  4. Kecamatan Sibolga Selatan, meliputi Kelurahan Aek Muara Pinang, Kelurahan Aek Habil, Kelurahan Aek Parombunan, dan Kelurahan Aek Manis.

4 Dikutip dari situs: www.sibolgakota.go.id

  Tabel 2.1 Luas Wilayah Kota Sibolga berdasarkan Kecamatan

  No. Kecamatan Luas Wilayah (km

  2 )

  1 Sibolga Utara 3,33

  2 Sibolga Kota 2,73

  3 Sibolga Selatan 3,14

  4 Sibolga Sambas 1,57 Total 10,77

  Sumber BPS Kota Sibolga Tahun 2010

2.1.3 Demografi

  Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin

  No. Kecamatan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan

  1 Sibolga Utara 10.107 10.239 20.346

  2 Sibolga Kota 7.194 7.417 14.611

  3 Sibolga Selatan 15.419 15.140 30.559

  4 Sibolga Sambas 10.380 10.085 20.465 Total 43.100 42.881 85.981

  Sumber BPS Kota Sibolga Tahun 2010 Kota Sibolga dikenal dengan semboyan “Negeri berbilang kaum”. Hal ini dapat dibuktikan dengan keanekaragaman suku di dalam daerah ini. Keempat

  Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kota Sibolga adalah sebanyak 85.981 jiwa. Jumlah tersebut terdiri dari 43.100 jiwa laki-laki dan 42.881 jiwa perempuan. kecamatan ini dihuni oleh berbagai suku, antara lain Suku Melayu 2.382 jiwa, Karo 425 jiwa, Simalungun 295 jiwa, Toba 45.695 jiwa, Mandailing 4.612 jiwa, Pakpak 164 jiwa, Nias 6.293 jiwa, Jawa 5.283 jiwa, Minang 8.793 jiwa, Cina 3.496 jiwa, Aceh 2.613 jiwa, dan suku lainnya 1.690 jiwa. Total keseluruhan berjumlah 81.699 jiwa (Hasil Sensus Dinas Kependudukan Kota Sibolga Tahun 2000). Berikut ini digambarkan secara grafis jumlah penduduk di Kota Sibolga menurut Suku.

  Diagram 2.1 Jumlah Penduduk Menurut Suku

  Unsur Kebudayaan Suku Pesisir di Kota Sibolga meliputi, (1) adat-istiadat Pesisir dikenal dengan adat sumando; (2) kesenian Pesisir terdiri dari kesenian sikambang, yaitu tari-tarian, alat musik, lagu dan tata rias pengantin, pelaminan, dan pernak-pernik pelaminan; (3) masakan khas pesisir seperti kue dan gulei (Pasaribu 2008:54, 81, 273). Berikut ini disajikan beberapa unsur kebudayaan Suku Pesisir Kota Sibolga.

  Melayu Karo Simalungun Toba Mandailing Pakpak Nias Jawa Minang Cina Suku Lainnya

2.2 Unsur Kebudayaan Suku Pesisir

2.2.1. Adat-istiadat

  Menurut Soedarsono (dalam Pasaribu 2008:54), adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia, baik pikiran-pikiran dan ide- ide, maupun tindakan dan karya manusia dalam menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Dengan demikian, adat istiadat merupakan hasil ide dan tindakan manusia yang diarahkan menjadi kebiasaan dari masyarakat penghasil ide tersebut. Adat-istiadat Suku Pesisir dikenal dengan adat sumando. Adat

  sumando secara umum berdasar kepada ajaran-ajaran Agama Islam. Konsepnya

  tercermin dalam adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Ini berarti bahwa adat sumando mendasarkan ide, pelaksanaan, dan penghayatannya pada ajaran-ajaran Islam (Sitompul 2013:3).

  Menurut Panggabean (1995:193), adat sumando berasal dari Pulau Poncan yang diawali dengan perpindahan penduduk dari Poncan ke Sibolga dan kemudian berkembang ke seluruh daerah Tapanuli Tengah. Istilah Sumando berasal dari kata suman dalam bahasa Batak berarti serupa, atau terjemahan bebasnya

  dipasuman-suman. Selanjutnya, kata suman berubah menjadi sumando artinya

  hampir serupa tetapi tidak sama dengan adat yang ada pada Suku Minangkabau di Sumatera Barat. Pada mulanya, adat yang tertinggi berada pada Raja atau Kuria.

  Seterusnya, tingkat pelaksanaan adat berada pada empat lapisan, yaitu fakir miskin (dada), orang miskin (lamukku), orang kaya (ata), dan keturunan raja (bare).

  Adat sumando adalah ”campuran”dari hukum Islam, adat Minangkabau, dan adat Batak. Ini berarti bahwa semua hal-hal yang baik diterima dan yang tidak sesuai dengan tata krama dan sikap hidup sehari-hari masyarakat Suku Pesisir diabaikan. Hal tersebut sesuai dengan konsep sumando yakni adat bersandi sarak dan sarak bersandi kitabullah, artinya adat berdampingan dengan kebiasaan atau perilaku dan perilaku berlandaskan kepada kitab Allah (Sitompul 2013:9).

  Orang sumando merupakan sebutan yang sering dipanggil untuk Suku Pesisir. Mereka mempunyai motto, yaitu bulek ai dek dipambulu, bulek kato dek

  mufakat, dek saiyo mangko sakato, dek sakato mangko sapakat (Sitompul

  2013:9). Bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: semua permasalahan pada akhirnya diputuskan lewat musyawarah dan dalam musyawarah itu akan disatukan pendapat dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang terbaik.

2.2.2. Sistem Kekerabatan Sistem kekerabatan pada Suku Pesisir Kota Sibolga bersifat patrilineal.

  Patrilineal artinya garis keturunan diwariskan dari pihak ayah. Garis keturunan tersebut dapat dilihat dari marga yang dibawa oleh keturunannya, misalnya seorang laki-laki bermarga Bandar menikahi seorang perempuan bermarga Sitompul, maka anaknya laki-laki atau perempuan memiliki marga ayahnya yaitu Bandar. Skema di bawah ini menjelaskan tentang sistem patrilineal Suku pesisir.

  Bagan 2.1: Sistem Kekerabatan Patrilineal Suku Pesisir Kota Sibolga

  ♂ ♀ (R. Bandar) (S. Sitompul)

   ♂ ♂

  (T. Bandar) (U. Bandar) (V. Bandar) Dalam adat Pesisir, marga yang diterima dari pihak laki-laki atau ayah tidak dipermasalahkan. Namun, marga tetap dipakai oleh seorang anak sebagai pemberian dari orang tua. Sistem patrilineal dalam adat Suku Pesisir merupakan sistem yang berbeda dari patrilineal lainnnya. Hal ini tercermin dari pembagian harta warisan. Menurut adat sumando, semua anak yang dilahirkan baik anak laki- laki maupun anak perempuan dalam keluarga pesisir mendapatkan hak warisan yang sama rata.

  Dalam adat Pesisir juga terdapat adat untuk memanggil atau menyebut orang-orang yang terdekat dan menjadi bagian keluarga. Sistem tersebut dikenal dan disebut Suku Pesisir dengan baso. Berikut ini, baso Suku Pesisir digambarkan oleh penulis dengan diagram sederhana.

  Bagan 2.2 Sistem Baso Suku Pesisir Kota Sibolga

  ♂ ♀

  1. R. Bandar

  2. S. Sitompul

   + ♀♀ ♀ 3. T. Bandar 4. A.Gorat 5. B.Siregar + 6. U. Bandar 7. W.Ritonga + 8. V.

  Bandar ♂

  ♀ +

  9. K. Bandar 10. L. Hutagalung

  11. M. Bandar 12. N. Bandar Keterangan:  Kakek dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 1 dengan angku.

   Nenek dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 2 dengan uci.  Ayah dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 3 dengan aya.  Ibu dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 4 dengan umak.  Abang dipanggil 11 dan 12 terhadap 9 dengan ogek.  Kakak dipanggil 12 terhadap 11 dengan uning.  Abang ipar dipanggil 5 terhadap 3 dengan ta’ajo.  Kakak Ipar dipanggil 6 terhadap 4 dengan ta’uti.  Tante dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 6 dengan oncu.  Paman dipanggil 9, 10, 11, dan 12 terhadap 5 dengan pa’oncu.  3 dipanggil 9, 10, 11, dan 12 dengan pak tuo.  4 dipanggil 9, 10, 11, dan 12 dengan mak tuo.

2.2.3. Sistem Religi Secara keseluruhan, masyarakat Suku Pesisir menganut Agama Islam.

  Seluruh aktivitas kehidupan mereka disesuaikan dengan adat yang didasarkan kepada ajaran Islam. Hal ini dapat dilihat dalam adat sumando yang berdasar pada ajaran-ajaran Agama Islam. Konsep tersebut tercermin dalam adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Hal itu diartikan dengan Suku Pesisir mendasarkan ide, pelaksanaan, dan penghayatan ajaran-ajaran Agama Islam dalam adat sumando.

  Tingkah laku dan perbuatan Suku Pesisir sehari-hari merupakan suatu kesatuan dalam masyarakat menurut kebiasaan yang telah di atur oleh norma- norma Agama Islam. Seluruh tingkah laku dan perbuatan Suku Pesisir tersebut disebut sebagai adat Pesisir. Selain itu, adat Pesisir yang bersendikan Hukum Islam juga berhubungan dengan pembagian harta warisan. Pada dasarnya, pembagian warisan kepada anak laki-laki dan anak perempuan dalam Suku Pesisir mendapat bagian yang sama. Namun, jika anak laki-laki tidak menyetujui pembagian tersebut maka akan dikembalikan kepada Hukum Islam (faraid). Di mana, anak laki-laki mendapat dua bagian dari harta warisan. Sedangkan anak perempuan mendapat sebagian dari harta warisan, tetapi emas dan rumah diserahkan kepada perempuan. Hal ini dimaksudkan bahwa apabila saudara laki- laki mengunjungi kampung halaman, maka mereka akan mendatangi saudara perempuannya.

2.2.4. Bahasa

  Bahasa adalah alat komunikasi untuk Bahasa yang dipakai oleh Suku Pesisir di Kota Sibolga adalah bahasa Pesisir. Bahasa Pesisir merupakan bahasa yang hidup dalam masyarakat Pesisir Kota Sibolga dan dipakai untuk berkomunikasi. Selain diterapkan dalam percakapan sehari-hari, peranan bahasa Pesisir memiliki cakupan yang luas terhadap budaya Pesisir, di antaranya untuk sambutan (tamu, perkawinan, nasihat), sentilan atau ajaran moral (pribahasa), seni (sikambang, pantun, sair), cerita rakyat (legenda), dan silsilah atau jenjang tutur

  5 dalam keluarga (baso).

  Bahasa Pesisir digunakan secara lisan maupun tulisan untuk menyampaikan maksud dan tujuan sehingga tercapai rasa saling pengertian saat berkomunikasi. Menurut Radjoki Nainggolan, bahasa Pesisir merupakan perwujudan hubungan persaudaraan yang penuh keakraban dalam penyampaian 5 Lembaga Budaya Pantai Barat Sumatera Utara, 24 Juni 2014 pesan dan kesan. Hal ini dapat tercapai melalui ucapan yang indah dan mengandung petatah-petitih sehingga menyentuh perasaan.

2.2.5. Kesenian Kesenian Suku Pesisir lazim disebut dengan kesenian pesisir sikambang.

  Kesenian sikambang secara umum mewakili seluruh kesenian yang berlaku bagi masyarakat Pesisir Pantai Barat Sumatera, mulai dari Meulaboh di Banda Aceh, sampai ke Tapanuli, Minangkabau, dan Bengkulu. Selain di Pantai Barat, sikambang juga berlaku di Pantai Timur Kepulauan Nias dan Pulau Telo.

  Kesenian Pesisir memiliki bagian pokok yang terdiri dari tarian dan nyanyian dan mengemban unsur kebudayaan bernafaskan seni budaya. Kesenian ini juga mengemban falsafah-falsafah kontemporer yang sarat makna, bercorak petuah, berirama lagu, dan berwujud tari. Kesenian sikambang biasanya digelar dalam berbagai upacara baik yang bersifat adat maupun hiburan, seperti upacara perkawinan, upacara sunat Rasul (khitanan), penyambutan tamu, penobatan atau pemberian gelar, turun karai (turun tanah), menabalkan dan mengayun anak, memasuki rumah baru, peresmian, dan pertunjukan kesenian atau pagelaran

  Seni budaya zaman dahulu seperti tari, lagu, pantun, dan talibun hadir bak gayung bersambut dengan menunjukkan kepribadian masyarakat Pesisir yang memiliki perasaan halus dan tenggang rasa yang tinggi sesuai dengan alamnya, seperti malam disinari bulan, alunan ombak dan riak gelombang ombak gulung- menggulung saling ikut satu sama lain (Radjoki 2012:47).

  Sikambang berasal dari 2 kata, yakni “si” dan “kambang”. Kata “si”

  merupakan kata sandang yang diletakkan di depan sebuah nama. Sedangkan

  “kambang” merupakan sebuah nama. Menurut Suku Pesisir, sikambang mempunyai beberapa pengertian, yaitu:

  1. Nama salah satu jenis ansambel pada masyarakat Pesisir

  2. Nama repertoar yaitu sikambang dan sikambang botan

  3. Nama salah satu jenis pertunjukan pada masyarakat Pesisir 4. Sebutan untuk nyanyian atau lagu yang akrab.

  Penyajian kesenian tersebut dibagi dalam empat, yakni alat musik, lagu, tari, dan pantun. Kesenian ini dikenal dengan sebutan sikambang yang memiliki ciri khas tersendiri baik dalam bentuk alat musik, lagu, tari, maupun pantun.

2.2.5.1 Alat Musik

  Menurut Radjoki Nainggolan, kesenian Pesisir terasa lengkap apabila diiringi dengan alat musik, antara lain:

  1. Gandang sikambang terbuat dari kayu bulat dengan satu bagian sisi dilapisi kulit kambing sedangkan bagian sisi satu lagi dibiarkan kosong.

  Bagian yang kosong diganjal dengan kayu tipis diikat dengan rotan. Gendang ini berfungsi sebagai pembawa ritme yang konstan dalam ansambel.

  2. Singkadu terbuat dari bambu dengan panjang 25 cm. Alat musik ini memiliki tujuh lobang nada pada bagian atas dan berjarak 1 cm pada masing-masing lobang. Sebelah bawah terdapat satu lobang. Lobang ini berfungsi untuk keserasian suara. Singkadu berperan sebagi pembawa melodi lagu.

  3. Biola berperan sebagai pembawa melodi dalam satu ansambel.

  4. Akordion juga berperan sebagai pembawa melodi dalam memainkan sebuah lagu dalam kesenian sikambang.

  Alat musik biola dan akordion merupakan alat musik yang dibawa oleh Bangsa Eropa pada Abad ke-16 yang berdagang dan mencari rempah-rempah di Pelabuhan Barus. Selanjutnya, alat musik ini dipakai dalam ansambel sikambang (Radjoki 2012:58). Alat musik dipakai untuk mengiringi vokal atau lagu dalam setiap kesenian Pesisir.

2.2.5.2 Lagu

  Lagu dalam kesenian sikambang memiliki hubungan yang erat dengan berbalas pantun. Dengan kata lain, teks lagu kesenian ini berupa pantun yang diambil dari kehidupan masyarakat Suku Pesisir. Pantun terdiri atas 2 bagian, yaitu (1) sampiran pantun diambil dari ungkapan-ungkapan tentang alam, tempat tinggal, dan perihal kehidupan; (2) isi pantun disesuaikan dengan pesan yang ingin disampaikan, misalnya ekspresi perasaan berupa ungkapan kesedihan dan kasih sayang, nasihat, pujian, dan sindiran.

  Pantun yang dibawakan dengan bernyanyi bersifat bersahut-sahutan. Teks lagu dalam pantun digarap dan disesuaikan oleh pembawanya dengan melakukan berbagai cara, misalnya pengulangan baris, penambahan beberapa kata, penambahan kalimat yang berfungsi sebagai penjelasan atau keterangan, pengurangan kata, dan penggantian kata.

  Ada 5 jenis lagu dalam kesenian sikambang yang dinyanyikan dalam upacara-upacara adat Suku Pesisir, yaitu:

  1. Lagu kapri merupakan lagu pembukaan dalam setiap upacara adat atau perayaan.

  2. Lagu kapulo pinang merupakan lagu inti dalam suatu upacara adat atau perayaan.

  3. Lagu duo juga merupakan lagu inti dalam suatu upacara adat atau perayaan.

  4. Lagu dampeng merupakan lagu inti dalam suatu upacara adat.

  5. Lagu sikambang merupakan lagu penutup dalam setiap upacara atau perayaan.

  Dalam suatu upacara adat, kelima lagu di atas merupakan bagian yang terikat dan tidak terpisahkan satu sama lain. Lagu-lagu tersebut harus dinyanyikan secara lengkap mulai dari lagu kapri sampai lagu sikambang. Menurut Khairil Hasni, lagu dalam kesenian sikambang berisi tentang siklus hidup seorang manusia. Lagu-lagunya menggambarkan proses kehidupan sepasang remaja dalam masa perkenalan yang tercermin dalam lagu kapri. Selanjutnya, hubungan perkenalan tersebut bertambah dalam dengan jalinan kasih dan keseriusan di antara keduanya yang tercermin dalam lagu kapulo pinang dan lagu duo. Di mana saat menyanyikan lagu kapulo pinang, tari payung mengiringinya dengan memakai properti payung dan dibawakan seorang laki-laki untuk melindungi kekasihnya. Sedangkan, saat menyanyikan lagu duo, tari selendang mengiringinya dengan memakai selendang yang digunakan seorang perempuan. Lagu mempunyai satu kesatuan yang utuh dengan tarian untuk saling mendukung.

2.2.5.3 Tari Tari dalam kesenian sikambang berhubungan erat dengan lagu-lagunya.

  Berdasarkan 5 jenis lagu di atas, ada 5 jenis tari pula dalam kesenian sikambang yang ditarikan dalam upacara-upacara adat Suku Pesisir, yaitu:

  1. Tari saputangan diiringi oleh lagu kapri. Tari ini merupakan tari pembuka untuk memulai setiap tarian yang dilaksanakan pada setiap upacara adat perkawinan. Tari ini menggunakan saputangan atau menari dengan memakai saputangan. Menurut Siti Zubaidah, tari ini melambangkan curahan hati dan perasaan seorang pemuda terhadap seorang pemudi di saat terang bulan. Karena di saat terang bulan, para pemuda tidak turun ke laut. Dengan demikian, itulah kesempatan bagi mereka untuk bersenda gurau dalam mempererat silahturahmi.

  2. Tari payung diiringi oleh lagu kapulo pinang. Jenis tari ini merupakan tari yang dapat ditarikan pada upacara adat perkawinan yang berfungsi sebagai hiburan. Tari ini merupakan tarian sepasang pemuda-pemudi, di mana pemuda menggunakan payung dan pemudi menggunakan selendang. Siti Zubaidah menyatakan bahwa tari ini melambangkan pergaulan pemuda-pemudi yang telah diikat oleh suatu acara pertunangan. Di mana, si pemuda telah mengganggap si pemudi telah menjadi pilihannya. Sebaliknya, si pemudi pun telah beranggapan bahwa si pemuda itulah yang menjadi tambatan hatinya.

  3. Tari selendang diiringi oleh lagu duo. Tarian ini merupakan tarian kepahlawanan dengan menggunakan gerakan-gerakan silat yang diperhalus.

  Tari ini adalah tarian berpasangan dengan menggunakan selendang, baik pemuda maupun pemudi dan menarikan gerakan yang sama.

  4. Tari rande diiringi oleh lagu dampeng. Tari ini merupakan tarian yang disajikan oleh sekolompok laki-laki. Pada umumnya, tari ini merupakan tari yang bersifat hiburan. Gerakan yang paling dikenali dalam tari ini adalah gerakan berputar yang dilakukan berkali-kali sampai lagu pengiring selesai.

  5. Tari anak diiringi oleh lagu sikambang. Tari berpasangan ini juga menggunakan selendang saat menari. Siti Zubaidah menyatakan, bahwa selendang menggambarkan perlindungan untuk seorang anak dari gangguan yang menimbulkan penyakit. Secara khusus, tarian ini melambangkan curahan kasih sayang seorang suami terhadap istrinya dan seorang ayah terhadap anaknya.