Studi Deskriptif Upacara Dan Musik Pada Perkawinan Adat Jawa Di Medan Selayang

(1)

STUDI DESKRIPTIF UPACARA DAN MUSIK PADA

PERKAWINAN ADAT JAWA DI MEDAN SELAYANG

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

SUGIARDI NIM: 090707005

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

STUDI DESKRIPTIF UPACARA DAN MUSIK PADA PERKAWINAN ADAT JAWA DI MEDAN SELAYANG

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

SUGIARDI NIM: 090707005

Pembimbing I,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001

Pembimbing II,

Dra. Heristina Dewi, M.Pd. NIP 196605271994032010

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam

bidang ilmu Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

PENGESAHAN Diterima Oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada Tanggal :

Hari :

FAKULTAS ILMU BUDAYA USU DEKAN

Dr. Syahron Lubis, M.Si.,Ph.D. NIP. 195110131976031001

Panitia Ujian:

No Nama Tanda Tangan

1. ………. ( )

2. ………. ( )

3. ………. ( )

4. ………. ( )


(4)

KATA PENGANTAR

Atas izin dan syukur serta anugrah penulis panjatkan kepada Allah SWT karena rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik penulisan skripsi ini yang berjudul Studi Deskriptif Upacara dan Musik pada Perkawinan adat Suku Jawa di Medan Selayang.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang S1 dan memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn) pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berisikan hasil penelitian mengenai upacara adat perkawinan suku Jawa yang ada di Kota Medan.

Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak dapat pungkiri, bahwa penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak yang luar biasa banyak dan baik. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ketua Jurusan Etnomusikologi Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. yang juga selaku Dosen Pembimbing I yang sangat banyak memberikan berbagai motivasi serta bimbingan kepada penulis serta memberikan berbagai kemudahan dalam mnyelesaikan berbagai segala urusan perkuliahan yang berdampak positif bagi penulis selama beliau menjabat sebagai ketua jurusan Etnomusikologi, dan Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing II yang juga sebagai Sekretaris Jurusan Etnomusikologi yang sangat komunkatif terhadap mahasiswanya sehingga memberikan energi yang baik bagi setiap mahasiswanya agar tersu bersemangat dalam menyelesaikan studi di Etnomusikologi, Ucapan terima kasih yang teristimewa untuk beliau atas kebaikan beliau dalam membantu


(5)

penulis untuk pada akhirnya penulis mendapatkan beasiswa pertama kali nya dalam hidup penulis, yang pada akhirnya penulis alokasikan materi beasiswa tersebut sebagai modal awal penulis menggeluti dunia fotografi, terkesan sangat konyol memang, namun inilah cara satu-satunya penulis untuk mendapatkan dana, semata-mata agar tidak membebankan biaya dari orang tua. Sehingga pada akhirnya dapat mengobati kebimbangan akan jati diri penulis yang selama ini merisaukan skill yang belum ada pada diri penulis selama ini. Kedua Dosen Pembimbing ini yang telah bersedia dan sangat membantu penulis dalam membimbing, mengarahkan, serta menyempurnakan didalam penyusunan skripsi ini. Saran dan arahan mereka membuat penulis semakin termotivasi dan semakin semangat untuk menyelesaikan skripsi ini, semoga amal baik dan ibadahnya mendapatkan berkah dari Allah SWT.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, serta seluruh Dosen-dosen dan pegawai di lingkungan Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, yang telah memberikan peluang, kesempatan dan kemudahan secara moril kepada penulis sejak awal duduk di bangku perkuliahan hingga sampai kepada tahap penyelesaian skripsi ini.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Fadlin, M.A. atas sebuah ajaran mata kuliah Metode Penelitian Lapangan dalam Etnomusikologi I, yang beliau ajarkan kepada penulis serta obrolan-obrolan singkat yang beliau tuturkan, sehingga dapat membuat penulis semakin ingin mengenal dunia Fotografi.


(6)

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Abangda Suryadi Darma Desky yang telah bersedia menjadikan penulis sebagai assisten jasa

Fotografi weddingnnya di Mamipapi Photowork sehingga pada akhirnya penulis menemukan bahan untuk penulisan skripsi ini. Terima kasih juga kepada Bapak Agus Wayan dkk, yang telah bersedia menjadi informan Kunci disaat penelitian.

Ucapan terima kasih juga kepada keluarga Bapak H. Djumali, SH., yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadikan pesta pernikahan putri semata wayangnya menjadi bahan penelitian penulis.

Ucapan terima kasih yang sangat istimewa kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Sugono dan Ibunda Jumariatik. Yang telah membesarkan, mendidik, membimbing, dan yang telah memberikan dorongan, kesabaran serta iringan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kakak Sugiani beserta suami, Kakak Sugiarsih beserta suami, Adik-adik penulis yang Penulis sayangi Sugiarlis dan Harmika atas doa yang telah diberikan.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman seperjuangan selama proses perkuliahan yaitu stambuk 2019: Nesya Vania S.Sn., Reny Yulyati Lt Toruan S.Sn., Martin Tambunan S.Sn., Tetti Elena Siburian S.Sn., Maruli Purba S.Sn., Syarifah Aini Nasution S.Sn., Fitri Suci Hati Saragih S.Sn., Wahyu Boangmanalu S.Sn., Krisrendi Siregar S.Sn., Giat Sihotang, Dicky Silalahi, Herman Simanjuntak S.Sn., Ranto Samuel Manik, Septianta Bangun, Verawati Simbolon, Anita R.P Purba. Berbagai kenangan bersama selama lima tahun semoga terus menjadi motivasi penulis dalam menjalani dunia kerja.


(7)

Tidak lupa juga penulis ucapkan kepada seluruh rekan Fotografren (yang penting kita teman motret) group fotografer Koko Supri Yanto, Bang Rinaldie Eka Putra Tarigan, Bang Vay Sianipar, serta ucapan trimakasih kepada Talent foto model penulis: Astri Novita Sari, Moraulina, Claudia Yoranda Tan, Amaliyah Utami, Kelana Syahputra, Ayu Lestari, Riza S Rizki, Desy Vita Sari Ritonga, Lusi Candani, dan kawan-kawan, serta banyak lagi yang tidak dapat penulis sebut namanya satu persatu yang telah banyak memberikan ilmu dalam berfotografi serta kesempatan waktunya meluangkan ide dan kemampuan, berbagi cerita dan pengalaman lainnya serta memberikan semangat untuk menyelesaikan tugas akhir yang penulis jalani.

Tidak Lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada Alumni Etnomusikologi Kakanda Ananda Mora Ichsan Pulungan S.Sn., dan kepada Kakanda Kiki Alpiansyah S.Sn., yang turut serta memberikan dukungan, semangat serta juga nasehat yang sangat bermanfaat bagi diri penulis.

Selanjutnya ucapan terimakasih kepada D’Eternity (Team Majalah Honda Region Medan), Boesa Management, Daddy Evelyn, Putri Manda Make Up and Collection, yang senantiasa selalu mendukung penulis dalam berbagai kesempatan dan selalu bekerja sama kepada penulis.

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis telah berusaha menyusun dengan sebaik-baiknya. Namun demikian penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu penulis mengucapkan beribu-ribu maaf dan mengharapkan kritik serta saran dari segenap pembaca untuk kesempurnaan selanjutnya.


(8)

Akhir kata, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan fikiran dan pengetahuan yang bermanfaat bagi pembaca, khususnya dalam budaya masyarakat Jawa dan dalam bidang ilmu Etnomusikologi.

Medan, 2014

Penulis

Sugiardi


(9)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Studi Deskriptif Upacara dan Musik pada Perkawinan Adat Suku Jawa di Medan Selayang. Penelitian ini membahas masalah mengenai bagaimana prosesi upacara perkawinan adat suku Jawa yang diselenggarakan oleh keluarga mempelai dalam hal ini ialah Yusrita Arini dengan Boy Budiansyah. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan bagaimana prosesi upacara perkawinan adat jawa tersebut yang di adakan di Kecamatan Medan Selayang, yang tiap-tiap prosesinya sangat berbeda dengan upacara perkawinan adat Jawa yang lainnya yang pernah penulis lihat sebelum-sebelumnya. Selain itu, penelitian ini juga mendeskripsikan bentuk dari tiap-tiap symbol-simbol yang terdapat dalam setiap prosesi upacara perkawinan adat jawa yang ada di Kecamatan Medan Selayang.

Teori yang digunakan dalam melakukan pendekatan terhadap teori semiotika penulis menggunakan teori yang di kemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:234) yang menyatakan bahwa komponen upacara ada 4, yaitu: (1) tempat upacara, (2) saat upacara, (3) alat-alat perlengkapan upacara, dan (4) pendukung dan pemimpin upacara. Untuk mengkaji struktur musik gendhing gamelan Jawa

gendhing monggang, gendhing ladrang wilujeng, gendhing kodok ngorek, dan

gendhing ketawang larasmaya (khususnya melodi saron demung) yang digunakan pada ritual temu temanten (panggih) menggunakan teori wighted scale dari Malm (1977:8) yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada delapan unsurnya, yakni: (1) scale, (2) nada dasar, (3) range (wilayah nada), (4) frequency of notes (jumlah nada-nada), (5) prevalent intervals (interval yang dipakai), (6) cadence patterns (pola-pola cadens), (7) melodic formulas (formula-formula medlodi), (8) contour (kontur).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang dideskripsikan berupa tulisan, rekaman secara lisan, gambar, angka, pertunjukan kesenian dan berbagai bentuk data lain yang bersumber dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dalam menganalisis data digunakan metode padan dan di lanjutkan dengan teknik pilah unsur penentu. Untuk mendukung data-data yang diperoleh di lapangan, penulis melakukan studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari buku-buku dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan topik penelitian. Proses pentranskripsian musiknya dilakukan dengan program sibelius yang hasilnya akan dituliskan kedalam notasi balok serta pentranskripsian juga dilakukan dengan cara sistem notasi kepatihan. Skripsi ini menjelaskan deskripsi upacara adat perkawinan suku jawa dan dituliskan dengan sistematis.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAKSI ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Batasan Masalah ... 19

1.3Pokok Permasalahan ... 19

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 20

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 20

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 20

1.5Konsep dan Teori ... 21

1.5.1 Konsep ... 21

1.5.2 Teori ... 23

1.6Metode Penelitian ... 24

1.6.1 Studi Kepustakaan ... 25

1.6.2 Penelitian Lapangan ... 25

1.6.3 Kerja Laboratorium ... 27

1.7Pemilihan Lokasi Penelitian ... 27

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DI KECAMATAN MEDAN SELAYANG ... 29

2.1 Identifikasi ... 29

2.2 Letak Geografis ... 31

2.3 Mata Pencaharian ... 34

2.4 Sistem Religi dan Kepercayaan ... 35

2.4.1 Agama ... 35

2.4.2 Upacara-upacara Tradisional Suku Jawa ... 37

2.4.2.1 Upacara Kehamilan dan Kelahiran ... 38

2.4.2.2 Upacara Perkawinan ... 40

2.4.2.3 Upacara Selametan ... 41

2.5 Sistem Kekerabatan ... 47

2.6 Kesenian ... 51

BAB III DESKRIPSI JALANNYA UPACARA PERKAWINAN ADAT SUKU JAWA DI KECAMATAN MEDAN SELAYANG ... 54

3.1Latar Belakang Pelaksanaan Upacara Perkawinan ... 54

3.2Tujuan Pelaksanaan Upacara Panggih ... 56


(11)

3.3.1 Tempat Upacara ... 57

3.3.2 Saat Upacara ... 58

3.3.3 Benda-benda dan Alat Upacara ... 60

3.3.4 Pemimpin dan Pendukung Upacara ... 76

3.4Rangkaian Upacara Secara Kronologis ... 76

3.4.1 Proses Upacara Sebelum Perkawinan ... 76

3.4.1.1 Nontoni ... 77

3.4.1.2 Lamaran ... 78

3.4.1.3 Srah-Srahan dan Paningsetan ... 81

3.4.1.4 Pasang Tratag dan Tarub ... 84

3.4.2 Persiapan Upacara Menuju Hari Perkawinan .... 86

3.4.2.1 Siraman ... 86

3.4.2.2 Adol Dawet ... 94

3.4.2.3 Midodareni ... 96

3.4.3 Upacara Perkawinan ... 100

3.4.3.1 Ijab Kabul ... 101

3.4.3.2 Tepung Tawar ... 103

3.4.3.3 Selametan (Kenduri) ... 106

3.4.3.4 Paes ... 107

3.4.3.5 Panggih Temanten ... 111

3.5Fungsi dan Penggunaan Gendhing Jawa pada Upacara Perkawinan Adat Suku Jawa yang diputar Secara Rekaman ... 136

BAB IV ANALISIS DAN TRANSKRIPSI ... 140

4.1 Ensembel Gamelan Jawa ... 140

4.2 Analisis Musik ... 142

4.3 Proses Transkripsi ... 146

4.4 Analisis ... 148

4.4.1 Analisis Notasi Kepatihan ... 148

4.4.1.1 Sistem Pelarasan ... 148

4.4.1.2 Pathet ... 151

4.4.1.3 Gatra ... 153

4.4.1.4 Gongan ... 154

4.4.2 Analisi Notasi Barat ... 167

4.4.2.1 Tangga Nada ... 167

4.4.2.2 Nada Dasar ... 168

4.4.2.3 Wilayah Nada ... 169

4.4.2.4 Frekuensi Pemakaian Nada ... 170

4.4.2.5 Jumlah Interval ... 172

4.4.2.6 Formula Melody (Bentuk Melody) ... 175

4.4.2.7 Pola Kadensa ... 179

4.4.2.8 Kontur ... 181

BAB V PENUTUP ... 184

5.1Kesimpulan ... 184


(12)

GLOSARIUM ... 190

DAFTAR PUSTAKA ... 192

DAFTAR INFORMAN ... 194


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 3.1 Busana Pengantin Gaya Solo ... 72

Gambar 3.2 Busana Kepangeranan pada Upacara Kirab dengan Corak Warna Biru Muda ... 73

Gambar 3.3 Busana Pagar Ayu dan Pagar Bagus dengan Motif Kebaya Modern pada Pagar Ayu dan Gaya Jas Beskap dan kain batik pada Pagar Bagus ... 73

Gambar 3.4 Busana Kepangeranan pada Upacara Kirab ... 74

Gambar 3.5 Foto Bersama dengan Mengenakan Busana Kepangeranan Khas Adat Jawa ... 74

Gambar 3.6 Prosesi Lamaran dengan Gaya Adat Melayu ... 79

Gambar 3.7 Berbagai Bentuk Barang-barang Sebagai Srah-srahan ... 81

Gambar 3.8 Busana Siraman Khas Adat Jawa ... 88

Gambar 3.9 Prosesi Sungkeman sebelum Siraman ... 89

Gambar 3.10 Sarana dan Prasarana Siraman ... 90

Gambar 3.11 Perlengkapan Siraman ... 90

Gambar 3.12 Kembang Setaman dan Cengkir yang Sudah di Masukkan ke Dalam Bokor ... 91

Gambar 3.13 Prosesi Siraman pada Calon Pengantin Perempuan Oleh Kedua Orang Tua ... 92

Gambar 3.14 Prosesi Pecah Kendi ... 93

Gambar 3.15 Prosesi Adol Dawet oleh Orang Tua Mempelai Perempuan ... 95

Gambar 3.16 Pemasangan Inai pada Jari Calon Pengantin ... 97

Gambar 3.17 Prosesi Ijab Kabul ... 102

Gambar 3.18 Suasana Marhaban Saat Prosesi Tepung Tawar ... 103

Gambar 3.19 Perlengkapan Tepung Tawar ... 104

Gambar 3.20 Prosesi Tepung Tawar yang di Lakukan Oleh Ayah Mempelai Pengantin Perempuan ... 105


(14)

Gambar 3.22Cengkorongan Paes Ageng ... 109

Gambar 3.23 Dua Orang Putri Domas ... 112

Gambar 3.24 Seorang Manggolo yang Membawa Kembar Mayang ... 113

Gambar 3.25Cucuking Lampa pembawa Jalan pengantin ... 113

Gambar 3.26 Rombongan Pagar Bagus dan Pagar Ayu ... 114

Gambar 3.27 Kata Sambutan dari Rombongan Pengantin Pria ... 115

Gambar 3.28 Bapak Cipto, Pemimpin rombongan pengantin Pria ... 117

Gambar 3.29 Bapak Sumardji, Pimpinan Rombongan Pengantin Perempuan ... 118

Gambar 3.30 Penyerahan Kembar Mayang Kepada Remaja Putra ... 119

Gambar 3.31 Persiapan untuk prosesi Gantal (Balangan Sirih) ... 120

Gambar 3.32 Perlengkapan Prosesi Ngidak Endhok (Wiji Dadi) ... 121

Gambar 3.33Bokor Berisi Air Untuk Mencuci Kaki Pengantin Pria ... 122

Gambar 3.34Ngidak Endhok (Wiji Dadi) ... 122

Gambar 3.35 Prosesi Sindur Binayang Menuju Pelaminan ... 123

Gambar 3.36 Prosesi Timbangan ... 125

Gambar 3.37 Prosesi Tanem Jero Oleh Ayah Pengantin Perempuan ... 126

Gambar 3.38 Prosesi Kacar Kucur Oleh Pengantin Pria ... 128

Gambar 3.39 Prosesi Dahar Klimah ... 129

Gambar 3.40 Prosesi Mapag Besan ... 130

Gambar 3.41Sungkeman Setelah Mapag Besan di Lakukan ... 131

Gambar 3.42 Kirab Pengantin dengan busana Kepangeranan ... 132

Gambar 3.43 Tari Golek Sirih ... 133


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Daftar Nama Camat yang pernah Memimpin

di Kecamatan Medan Selayang ... 32

Tabel 2.2 Komposisi Mata Pencaharian Penduduk menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Selayang ... 34

Tabel 2.3 Komposisi Penduduk di Kecamata Medan Selayang Berdasarkan Agama Tahun 2013 ... 35

Tabel 4.1 Interval Melodi Gendhing Monggang ... 174

Tabel 4.2 Interval Melodi GendhingLadrang Wilujeng ... 174

Tabel 4.3 Interval Melodi Gendhing Kodok Ngorek ... 175


(16)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Studi Deskriptif Upacara dan Musik pada Perkawinan Adat Suku Jawa di Medan Selayang. Penelitian ini membahas masalah mengenai bagaimana prosesi upacara perkawinan adat suku Jawa yang diselenggarakan oleh keluarga mempelai dalam hal ini ialah Yusrita Arini dengan Boy Budiansyah. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan bagaimana prosesi upacara perkawinan adat jawa tersebut yang di adakan di Kecamatan Medan Selayang, yang tiap-tiap prosesinya sangat berbeda dengan upacara perkawinan adat Jawa yang lainnya yang pernah penulis lihat sebelum-sebelumnya. Selain itu, penelitian ini juga mendeskripsikan bentuk dari tiap-tiap symbol-simbol yang terdapat dalam setiap prosesi upacara perkawinan adat jawa yang ada di Kecamatan Medan Selayang.

Teori yang digunakan dalam melakukan pendekatan terhadap teori semiotika penulis menggunakan teori yang di kemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:234) yang menyatakan bahwa komponen upacara ada 4, yaitu: (1) tempat upacara, (2) saat upacara, (3) alat-alat perlengkapan upacara, dan (4) pendukung dan pemimpin upacara. Untuk mengkaji struktur musik gendhing gamelan Jawa

gendhing monggang, gendhing ladrang wilujeng, gendhing kodok ngorek, dan

gendhing ketawang larasmaya (khususnya melodi saron demung) yang digunakan pada ritual temu temanten (panggih) menggunakan teori wighted scale dari Malm (1977:8) yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada delapan unsurnya, yakni: (1) scale, (2) nada dasar, (3) range (wilayah nada), (4) frequency of notes (jumlah nada-nada), (5) prevalent intervals (interval yang dipakai), (6) cadence patterns (pola-pola cadens), (7) melodic formulas (formula-formula medlodi), (8) contour (kontur).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang dideskripsikan berupa tulisan, rekaman secara lisan, gambar, angka, pertunjukan kesenian dan berbagai bentuk data lain yang bersumber dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dalam menganalisis data digunakan metode padan dan di lanjutkan dengan teknik pilah unsur penentu. Untuk mendukung data-data yang diperoleh di lapangan, penulis melakukan studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari buku-buku dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan topik penelitian. Proses pentranskripsian musiknya dilakukan dengan program sibelius yang hasilnya akan dituliskan kedalam notasi balok serta pentranskripsian juga dilakukan dengan cara sistem notasi kepatihan. Skripsi ini menjelaskan deskripsi upacara adat perkawinan suku jawa dan dituliskan dengan sistematis.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar belakang Masalah

Di Indonesia berbagai bentuk penyajian upacara perkawinan sangat beragam, yang pastinya secara kuantitatif berdasarkan kepada keberadaan suku-suku di Indonesia saat ini. Suku Jawa misalnya, memiliki upacara perkawinan yang sangat khas, di antara berbagai suku-suku yang ada di Indonesia. Ritualisasi upacara perkawinan dikemas dengan berbagai simbol, tata rias, tuturan, pesan, dan nasehat yang sangat istimewa. Sehingga upacara yang dilakukan menjadi sebuah upacara tradisional. Upacara tradisional merupakan upacara yang dilakukan dan mengikuti aturan atau tata cara serta tradisi yang berlaku secara turun temurun pada suatu lingkungan budaya tersebut.

Dalam tradisi budaya Jawa, perkawinan selalu diwarnai dengan serangkai-an upacara yserangkai-ang mengserangkai-andung nilai-nilai luhur, yserangkai-ang mengajarkserangkai-an perlunya keseimbangan, keselarasan serta interaksi dengan alam semesta. Iringan gamelan

yang dramatis dan magis mewarnai suasana hingga terasa lebih istimewa. Upacar itu dilakukan baik oleh masyarakat jawa yang ada di pusat peradabannya yaitu pulau Jawa, maupun diasporanya di seluruh Nusantara (termasuk di Sumatera Utara).

Masyarakat Jawa yang ada di Sumatera Utara, sebahagian besar masih melaksanakan upacara perkawinan menurut adat Jawa. Namun yang menarik dalam konteks adaptasi dengan kebudayaan-kebudayaan etnik yang ada di Sumarera Utara, beberapa unsur kebudayaan di sekitar orang Jawa di Sumatera


(18)

juga di adopsi dalam ritual perkawinan adat Jawa ini. Misalnya penggunaan

tepung tawar yang berasal dari kebudayaan Melayu. Demikian pula ketika acara hiburan, tidak mutlak semua lagu-lagu Jawa yang di sajikan, bisa saja lagu Mandailing, Toba, Karo, Melayu, dan lainnya.1

Pada masa-masa akhir ini, Provinsi Sumatera Utara dihuni oleh mayoritas orang Jawa, bahkan ada catatan yang menyebutkan lebih dari 50%. Rinciannya adalah suku Melayu 7.63%, Batak (Toba) tercatat 19.44%, Karo 6.64%, Mandailing 6.32%, Simalungun 2.72%, Nias, 0.40%, Pakpak 0.16. Sementara kelompok pendatang selain Jawa adalah Cina 3.63% (kelompok ini pernah mencapai jumlah lebih dari 20% untuk Kota Medan dan sekitarnya), Minangkabau 3.30%, dan Aceh 1.26%. Dengan demikian, berarti Suku Jawa secara keseluruhan meliputi jumlah lebih dari 36% (Siyo, 2008:88).

Namun pada umumnya upacara dan musik ritual dalam mengiringi upacara perkawinan adat Jawa ini masih menggunakan tradisi upacara dan tradisi musik (karawitan) Jawa.

Perpindahan orang Jawa ke Sumatera pada abad ke-19 dengan tujuan sebagai pekerja kontrak yang menggantikan kuli kontrak asal Cina yang memiliki upah yang relatif mahal. Oleh sebab itu pemerintah kolonial Belanda pada masa

1

Orang-orang Jawa yang ada di Sumatera Timur (Sumatera Utara sekarang), secara umum mengalami transformasi-transformasi budaya. Di satu sisi mereka ingin mempertahankan budaya leluhurnya yang berasal daripada pulauJawa, di sisi lain mereka juga harus berinteraksi dengan berbagai etnik setempat dan pendatang lainnya di Sumatera Timur yang pesat perkembangan ekonominya. Orang-orang Jawa ini mata pencaharian utamanya secara umum adalah petani dengan menggarap lahan untuk perkebunan kelapa sawit, karet, coklat, atau juga kelapa. Di antara tokoh-tokoh masyarakat Jawa yang terkenal di Sumatera Utara di antaranya adalah Drs. Kasim Siyo, M.Si., sebagai presiden Pujakesuma Sumatera Utara, kemudian Wagirin Arman seorang tokoh politik dan ahli parlemen di Kabupaten Deli Serang, Djati Oetomo, manejer radio Pasopati Medan yang menyiarkan khas budaya Jawa, Prof. Dr. Subanindyo Hadiluwih, S.H., seniman, dosen, dan penulis terkemuka mengenai kebudayaan Jawa di Sumatera Utara, dan banyak lagi yang lainnya. Di bidang kesenian, umumnya kebudayaan Melayu di kawasan ini paling banyak didukung oleh seniman beretnik Jawa ini, di samping seniman Melayu itu sendiri. Di antara seniman-seniman seni Melayu yang berasal daripaa etnik Jawa adalah: Sirtoyono yang bergabung dengan kumpulan kesenian Patria, ia seniman serba bisa, pemusik, penari, koreografer, pemain teater, dan penulis drama sekaligus. Seterusnya adalah Sumardi, sebagai pemain akordion Melayu yang handal. Di sisi lain ada pula Retno Ayumi, seorang penulis tari dan penari Melayu terkemuka


(19)

itu lebih senang memilih kuli asal India dan juga Jawa yang upahnya relatif lebih murah (Breman, 1997:53). Perpindahan orang Jawa sendiri di perkirakan mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan 20, hal ini karena faktor dorongan kemaun sendiri yang didasarkan untuk tujuan pencarian lahan baru untuk pertanian, atau paksaan yang di lakukan oleh kolonialisme Belanda. Orang Jawa berpindah dalam jumlah besar di Semenanjung Malaysia, khususnya di Johor dan Selangor, kemudian sebagai kuli kontrak di kawasan Deli, Sumatera Utara, sehingga lahirlah istilah Pujakesuma yaitu akronim dari Putra Jawa Kelahiran Sumatera [bukan sebatas Sumatera Utara] (Siyo, 2008:74).

Sebelumnya Orang Jawa pendatang ini dikenal deangan Sebutan Jakon2

(Jawa Kontrak) ataupun Jadel (Jawa Deli).3

2

Jawa Kontrak dalam istilah ini adalah merujuk kepada pengertiannya sebagai kelompok buruh yang didatangkan dari Jawa oleh Belanda (terutama di masa awal pembukaan perkebunan-perkebunan oleh Nienhuys dan kawan-kawan di paruh akhir abad kesembilan belas). Sistem yang digunakan oleh para maskapai perusahaan Belanda ini adalah sistem kontrak, dan apabila telah habis masa kontraknya, mereka para buruh Jawa ini bisa kembali ke Jawa atau meneruskan kontraknya. Namun dalam catatan sejarah sebahagian besar buruh tersebut terus melanjutkan kontraknya, dan sebahagian yang telah bisa mandiri mendirikan kampung-kampung yang bersifat pertanian (agrikultural) di sleuruh wilayah Sumatera Timur (kini Sumatera Utara). Pengertian historis inilah yang ingin dimaknakan oleh penyebutan Jawa Kontrak.

Sebutan-sebutan itu adalah yang dahulu identik dengan orang Jawa sebagai pekerja perkebunan di Tanah Deli. Karena pada awal kedatangan orang Jawa ke Sumatera Utara, adalah sebagai kuli kontrak perkebunan. Jakon atau Jadel adalah sebutan yang mungkin sebuah streotip etnik yang diberikan oleh orang yang bukan Jawa. Sekarang untuk lebih halusnya, orang sering menyebut orang Jawa dengan Pujakesuma (Putra Jawa

3

Pengertian Jawa Deli yang diakronimkan menjadi Jadel adalah istilah yang merujuk kepada masyarakat Jawa yang awalnya dating ke wilayah Sumatera Timur atau Deli sebagai buruh di perkebunan-perkebunan Belanda. Deli itu sendiri memiliki pengertian sebagai sebuah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur, namun adakalanya pengertian Deli ini meluas, yaitu mewakili keseluruhan wilayah Sumatera Timur, yang terbentang dari daerah Tamiang, Kesultanan Langkat, Kesultanan Deli, Kesultanan Serdang, Kedatykan Batubara, Kesultanan Asahan, Kesultanan Bilah, Kesultanan Panai, Kesultanan Kualuh, Kesultanan Kotapinang, dan berbagai wilayah Sumatera Timur lainnya.Dengan demikian, istilah Jawa Deli merujuk kepada orang Jawa yang hidup dan beradaptasi sosiokultural di wilayah Sumatera Timur.


(20)

Kelahiran Sumatera). Sebagian orang yang bukan orang Jawa, atau bahkan mereka sendiri yang masih keturunan Jawa, atau karena lahir di Sumatera, beranggapan bahwa Pujakesuma adalah sebutan yang lebih terhormat sebagai pengganti istilah Jakon ataupun Jadel yang mengandung konotasi status sosial yang rendah.

Jakon atau Jawa Kontrak adalah sebutan bagi mereka yang memiliki ikatan kerja dengan para panguasa pada zaman kolonialisme, mereka di tempatkan di kawasan-kawasan terdalam atau daerah daerah terpencil yang memiliki potensi perkebunan seperti perkebunan karet, sawit dan juga kopi. Ketika masa kontrak mereka habis, sebagian dari orang-orang Jawa tersebut tidak kembali ke Pulau Jawa, mereka memilih tetap bertahan di perkebunan yang mereka tinggali. Sedangakan istilah Jadel atau Jawa Deli, adalah sebutan bagi mereka yang datang dan bekerja sebagai kuli di perkebunan di Tanah Deli (dengan pusatnya di Medan). Mereka bakerja sebagai kuli (koeli) pada perkebunan tembakau di Sumatera Timur atau pada saat itu lebih dikenal dengan sebutan Perkebunan Tembakau Deli. Biasanya, ketika masa kontrak mereka juga habis, mereka mamilih untuk tinggal di pedalaman atau mencari tempat baru yang lebih tenang (Siyo, 2008:83),

Dalam perkembangannya, orang Jawa yang ada di Sumatera Utara membentuk kelompok-kelompok yang mencirikan keetnikitasan mereka. Tujuan pembentukan ini didasari dari rasa senasib dan sepenangunggan. Pada dasarnya mereka adalah keturunan atau generasi dari para Jakon atau Jadel yang bekerja di perkebunan-perkebunan yang terdapat di tanah Deli. Perkumpulan-perkumpulan etnik yang muncul yang di dasari oleh berbagai macam latar belakang membuat


(21)

orang Jawa yang ada di perantauan seakan semakin dekat dengan tanah kelahiran mereka.

Pada tahun 1980-an munculah perkumpulan etnik Jawa yang di kenal dengan Pujakesuma. Istilah ini memiliki pengertian sebagai budaya Jawa yang masih melekat pada masyarakat Jawa yang ada di Sumatera. Munculnya paguyuban juga dapat di katakan sebagai rasa etnikitas agar tetap eksis di tengah-tengah persaingan hidup antar etnik.

Keberadaan perkumpulan atau paguyuban4

4

Paguyuban adalah kata bentukan dari kata dasar guyub. Istilah guyub dalam bahasa Jawa yang telah diserap menjadi bahasa Indonesia, dapat dimaknai sebagai persatuan yang biasanya dilatarbelakangi oleh persamaan-persamaan etnik, kelompok profesi, kelompok agama, dan lain-lainnya dalam masyarakat. Paguyuban memiliki makna luhur dalam filsafat Jawa, sebagai sebuah persatuan yang memiliki cita-cita bersama, dan menekankan kepada kerja secara bersama-sama atau gotong royong, yang di dalamnya juga mengandung pengertian akan kewajiban dan hak setiap individu, serta pengertiannya sebagai ekspresi dari solidaritas dan integritas sosial. Dalam masyarakat Sumatera Utara, selain istilah paguyuban ini, terdapat juga istilah-istilah yang berakar dari kearifan lokal seperti parsadaan pada masyarakat Toba dan Mandailing-Angkola. Demikian pula dalam masyarakat Nias dikenal sebagai persatuan ori (yaitu masyarakat yang disatukan wilayah teritorial dengan berbasis pada satu ori yang terdiri dari beberapa desa adat).

berdasarkan etnik atau kedaerahan di berbagai daerah telah menyebabkan masyarakat di suatu tempat juga berupaya untuk menunjukkan identitasnya. Dengan kata lain, perkumpulan etnik atau marga menjadi simbol akan keberadaan mereka di tengah masyarakat lain, misalnya saja pada etnik Batak, Minangkabau, dan Melayu. Paguyuban secara khusus mencirikan suku ataupun kedaerahannya. Sehingga fungsi paguyuban memiliki fungsi sosial dan juga budaya, bahkan sebagai tempat berlindung untuk mencari ketenangan dan menjauhkan diri dari rasa kegelisahan serta rasa takut di tempat yang bukan daerah tanah leluhurnya. Bahkan orang Jawa sendiri merasa bahwa tanah Sumetara juga merupakan tanah kelahiran mereka yang patut mereka bangun.


(22)

Selain Pujakesuma, dalam kebudayaan masyarakat Jawa di Sumatera Utara ini, seterusnya bermunculan pula berbagai perkumpuan yang belatar belakang budaya etnik Jawa juga, seperti:

(a) Pajar (Paguyuban Jawa Rembug), paguyuban ini sama seperti Pujakesuma, hanya saja dalam penyaluran aspirasi politiknya, lebih di arahkan pada PBR (Partai Bintang Reformasi);

(b) PJB (Paguyuban Jawa Bersatu), persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota paguyban ini adalah Orang Jawa dan beragama Islam; (c) FKPPWJ (Forum Komunikasi Putra-Putri Warga Jawi), organisasi ini

didirikan sebagai wadah forum komunikasi menyatukan pendapat dan aspirasi warga Jawa, baik yang lahir di Jawa maupun di luar Jawa bahkan di luar negeri. Sedangkan organisasi untuk kaum mudanya adalah Generasi Muda Jawa (Gema Jawa);

(d) Ikatan Keluarga Solo, dan lain-lain.

Pada saat ini adanya sebuah faktor yang di latar belakangi oleh nilai politik, maka paguyuban masyarakat Jawa pada saat sekarang yang ada di Sumatera Utara, khususnya di kota Medan telah mengalami peleburan paguyuban menjadi beberapa paguyuban yang di landaskan oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Akan tetapi adat dan budaya Jawa tetap di jalankan dan di wariskan kepada anak-anaknya. Orang Jawa pada hakikatnya memiliki watak untuk dapat menyesuaikan diri dengan orang dan lingkungannya. Orang Jawa yang datang ke Sumatera Utara bukanlah golongan priyayi yang harus merasa di hormati dan harus memerintah. Ini juga didukung oleh kebudayaan Jawa, untuk menjaga harmoni sosial dimana pun mereka berada. Mereka sebahagian besar adalah


(23)

golongan abangan, dan sesampainya di Sumatera Utara, mereka tidak lagi menerapkan tiga strata sosial seperti di Pulau Jawa, yang terdiri dari golongan

santri (golongan alim ulama), priyayi (bangsawan), dan abangan ( rakyat biasa). Orang Jawa hampir sebagian menempati daerah Kota Medan, di antaranya adalah Medan Johor, Medan Tembung, Medan Timur, Helvetia, Tanjung Sari, Medan Tuntungan, Medan Marelan, dan sebagian kecamatan lain. Sebagian besar masyarakat Jawa tinggal di kawasan padat, kompleks perumahan dan kumuh di pinggiran kota, serta banyak memilih usaha sebagai buruh, pertukangan, pedagang kecil, pembantu rumah tangga, dan pegawai rendahan. Namun ada sebagian orang Jawa berstatus perantauan yang sementara tinggal di Medan untuk menyelesaikan tugas dinas, sebagai mahasiswa, dan pebisnis.

Di Sumatera Utara, orang Jawa menikahkan anaknya dengan tradisi Jawa yang di wujudkan dalam upacara perkawinan adat Jawa. Dan juga menghitung penanggalan pernikahan berdasarkan penanggalan pasaran suku Jawa sesuai dengan tanggal lahir anak yang akan menikah tersebut. Ini sangat berguna untuk keberlangsungan hidup seseorang yang mengadakan acara ataupun bagi sanak-saudara agar terhindar dari marabahaya, dan penanggalan ini telah di pakai selama bertahun-tahun dalam melangsungkan setiap acara-acara maupun dalam hajatan lainnya sehingga cara penanggalan ini menjadi suatu kepercayaan tersendiri di dalam masyarakat suku Jawa di manapun berada.

Di dalam serangkaian upacara-upacara perkawinan tersebut terdapat ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa yang bermakna nasihat untuk kedua mempelai. Ungkapan tersebut di pakai sebagai media penyampai pesan yang berwujud tutur lisan dan memiliki bentuk ungkapan berupa kata, frasa, klausa,


(24)

atau kalimat. Ungkapan tersebut memiliki fungsi untuk menyampaikan informasi berupa nasihat, tuturan, petuah, dan saran yang di harapakan bisa bermanfaat bagi semua pihak, terutama bagi kedua pengantin.

Pada suku Jawa, prinsipnya perkawinan terjadi karena keputusan dua insan yang saling mencintai, meski ada juga perkawinan yang terjadi karena perjodohan oleh kedua orang tua. Hubungan cinta kasih antara pria dan wanita setelah melalui proses pertimbangan, biasanya dimantapkan dalam sebuah tali ikatan perkawinan, hubungan dan hidup bersama secara resmi dan halal selaku suami istri dari segi hukum, agama, dan adat.

Dalam masyarakat Jawa kehidupan kekeluargaan masih kuat, sehingga akan mempertemukan dua buah keluarga besar. Oleh karena itu, sesuai kebiasaan yang berlaku, kedua insan yang berkasih-kasihan akan memberi tahu kepada keluarga atau sanak saudara masing-masing bahwa mereka telah menemukan pasangan yang cocok dan ideal untuk di jadikan suami atau istri, dalam membina rumah tangga yang di ridhoi Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dengan demikian, setelah kedua belah pihak orang tua atau keluarga menyetujui perkawinan, maka di lakukan langkah-langkah selanjutnya, yang terbagi atas 5 (lima) babak yang dapat dipaparkan. Babak yang pertama, yaitu intinya mencakup tahap pembicaraan pertama sampai tingkat melamar, disebut sebagai pembicaraan, yang didalamnya terdapat beberapa prosesi yang penting dilakukan, di antaranya ialah: nontoni, ngelamar.

Babak kedua terdapat pula beberapa prosesi. Di antaranya prosesi yang pertama dalam babak yang kedua (tahap yang kedua disebut sebagai tahap kesaksian), yaitu adalah: srah-srahan, paningsetan, asok tukon, dan gethok dina.


(25)

Babak ketiga disebut sebagai tahap siaga, prosesi yang terdapat pada babak ketiga yaitu pembentukan panitia dan pelaksana kegiatan yang melibatkan para sesepuh atau sanak saudara, prosesinya adalah: sedhahan, kumbakarnan, dan

jenggolan atau jonggolan.

Kemudian di lanjutkan dengan babak keempat, yaitu tahapan rangkaian upacara yang biasanya sehari sebelum pesta pernikahan, pintu gerbang dari rumah orang tua mempelai perempuan di hias dengan tarub (dekorasi tumbuhan), yang biasanya terdiri dari pohon pisang, buah pisang, tebu, buah kelapa, dan daun beringin yang memiliki arti agar pasangan pengantin akan hidup baik dan bahagia di mana saja. Pasangan pengantin saling cinta satu sama lain dan akan merawat keluarga mereka. Namun pada kenyataannya pada saat sekarang ini tarub tidak lagi menggunakan bahan-bahan tersebut melainkan menggunakan kain gorden yang memiliki berbagai warna sesuai selera serta rangkaian bunga-bungan tiruan yang di rangkai menjadi satu menggambarkan atau membentuk pintu gerbang. Dekorasi yang lain yang di siapkan adalah kembar mayang, yaitu suatu karangan bunga yang terdiri dari sebatang pohong pisang raja dan dauh pohon kelapa yang masih muda (masih kuncup), yang biasa disebut janur kuning. Prosesi yang terdapat pada babak keempat ialah mencakup: Pasang tratag lan tarub, kembar mayang, siraman, adol dhawet (jual dawet/cendol), paes, midodareni, selametan, dan nyantri atau nyatrik.

Masuk pada babak terkahir upacara perkawinan yaitu babak kelima, yaitu prosesi upacara pertama pada puncak acara. Prosesi yang dilakukan adalah ijab

yang melibatkan pihak tuan kadi dari KUA (Kantor Urusan Agama), setelah acara ini berjalan dengan lancar dan dianggap sah maka kedua mempelai resmi menjadi


(26)

sepasang suami istri. Di lanjutkan dengan prosesi kedua yaitu upacara panggih

yang meliputi liron kembang mayang, gantal (balangan), ngidak endhok (wiji dadi), masuk ke pasangan, dan sindur binayang. Setelah upacara panggih, kedua mempelai kemudian di arak dengan menggunakan sehelai kain berwarna merah bermotif putih (sindur) oleh ayah mempelai perempuan yang di lingkarkan di belakang ayah mempelai perempuan, pengantin pria dan pengantin perempuan berada dalam lingkaran kain sindur tersebut dan kemudian ibu mempelai perempuan memegang pundak kedua pengantin dari belakang untuk di antar duduk di sasana riengga (pelaminan).

Masuk prosesi yang ketiga adalah: timbangan, tanem, kacar-kucur, dan

dhahar kembul (dulangan). Prosesi keempat mapag besan (menerima besan). Prosesi kelima disebut sungkeman, dan yang terkahir adalah prosesi kirab. Dari penjabaran singkat upacara adat perkawinan suku Jawa (termasuk di Sumatera Utara) di atas akan dijelaskan lebih rinci mengenai simbol, bahasa, dan musik pada skripsi ini dalam bab tiga.

Musik yang di gunakan untuk mengiringi upacara perkawinan di atas yaitu pada prosesi ketiga yakni pada saat upacara panggih. Sejauh pengamatan penulis di Kota Medan umumnya menggunakan musik rekaman, yang di putar dengan

tape recorder atau VCD/MP3 player, atau lainnya. Biasaya di perkuat dengan

loudspeaker. Ini merupakan fenomena yang menarik dalam kebudayaan suku Jawa di Sumatera Utara. Kalau di Jawa menurut pendapat para informan, musik yang di sajikan cenderung live (langsung) dan menggunakan perangkat gamelan

(baik slendro atau pelog) secara lengkap, apalagi yang mengadakan adalah keluarga dengan kemampuan ekonomi yang baik. Sementara di Sumatera Utara,


(27)

termasuk Medan dan sekitarnya, orang Jawa yang melakukan upacara perkawinan biasanya cukup menggunakan musik rekaman saja, walau ada sedikit orang yang menggunakan gamelan secara live. Menurut keterangan para informan, keadaan ini di sebabkan oleh karena faktor efektivitas, dan tidak menjadi sanksi sosial jika tidak melaksanakan upacara memakai iringan gamelan secara live. Selain itu adalah mereka merasa sebagai orang Jawa kelahiran Sumatera yang lebih tepat mengadakan musik hiburan yang dapat mengakomodasi berbagai jenis budaya (lagu) di kawasan ini. Oleh karena itu mereka cenderung menampilkan musik

keyboard atau yang sejenis.

Gendhing rekaman yang berjudul Monggang, Ladrang Wilujeng, Kodok Ngorek, dan Ketawang Larasmaya ini di beli dari Solo melalui rekan dari Bapak Agus Wayan (informan kunci sekaligus pembawa acara panggih) yang kebetulan bepergian ke daerah Solo. Ini jugalah fenomena yang menarik musik dalam upacara perkawinan adat Jawa di Kota Medan dan Sumatera Utara secara umum yang telah berubah dalam penyajian musik dalam mengiringi upacara perkawinan adat suku Jawa.

Perlengkapan busana dalam upacara perkawinan adat suku Jawa juga menjadi bagian penting. Sebagian besar kalangan masyarakat Jawa, umum diluar lingkungan kraton menggunakan busana pengantin Solo putri dan ada juga yang mengenakan busana dodot, sesuai selera masing-masing pihak. Pengantin perempuan mengenakan kebaya panjang, yang panjangnya bisa di bawah lutut, sesuai selera, perhiasan berupa bros tiga susun dipasang di dada, giwang, serta kalung. Kain batik untuk pengantin perempuan maupun pria menggunakan motif khusus yang bermakna mulia, yakni sidomukti, sido mulyo, atau sidoasih yang di


(28)

prada keemasan ataupun tanpa prada. Kain batik di wiru, yakni dilipat-lipat bagian ujung lebarnya, sebanyak tujuh atau sembilan lipatan selebar masing-masing dua jari. Busana pengantin Solo putri menggunakan sanggul bangun tulak. Pada bagian atas kanan sanggul di sematkan ronce melati yang menjuntai hingga dada.

Perlengkapan lain yang di perlukan adalah selop (sandal) warna yang di anggap serasi dengan kebayanya. Pada busana mempelai pria Solo putri berupa jas beskap Jawa lengkap yang disebut baju sikepan warna hitam, merah maron,

biru, atau hijau daun sesuai selera yang terbuat dari kain beludru dengan bordir benang atau mote warna kuning keemasan, serasi dengan mempelai perempuan. Bagian dalam di lapis dengan rompi berwarna putih. Perhiasan mempelai pria berupa kalung ulur atau kalung karset yang ditahan dengan bros. Pada kepala memakai blangkon warna hitam atau senada dengan warna busana. Sebagai penyempurna, mempelai pria menggunakan keris berhias bunga kolong keris.

Yang menjadi objek penelitian penulis dalam rangka penulisan skripsi ini, adalah upacara perkawinan adat Jawa di Jalan Sei Batu Gingging, Kelurahan Padang Bulan Selayang I, Kecamatan Medan Selayang, Medan. Segala deskripsi dan analisis baik itu musikal, upacara, hiburan, dan lainnya adalah berdasarkan observasi penulis pada tanggal 4 sampai 5 Mei 2013, dimana penulis melakukan penelitian dalam status penulis sebagai asisten penyedia jasa foto wedding yang tergabung dalam Mamipapi Photowork.

Ketertarikan penulis akan upacara perkawinan adat Jawa tersebut adalah dimana dalam setiap prosesi ritual yang dilakukan di kediaman Bapak Djumali, S.H., orang tua mempelai wanita Yurista Arini, S.H. oleh para informan adalah


(29)

dipandang lengkap (untuk ukuran orang Jawa di Sumatera Utara), mulai dari perlengkapan, prosesi sesuai adat perkawinan Jawa yang semestinya telah dijalankan turun-temurun dari generasi ke generasi dan berbeda dari apa yang pernah penulis lihat pada upacara perkawinan adat suku Jawa sebelum-sebelumnya yang hanya terkesan singkat dan dalam melaksanakan beberapa prosesi banyak yang telah ditingggalkan. Artinya pada setiap prosesi upacara perkawinan Jawa yang ada di Jalan Sei Gingging pada tanggal 4 sampai5 Mei 2013 yang dilakukan mulai dari tahap upacara sebelum pernikahan sampai upacara setelah pernikahan mulai dari simbol, keperluan upacara, perlengkapan upacara ritual, dan lain sebagainya sangat memenuhi syarat dari sebuah upacara perkawinan adat Jawa seperti yang telah dijelaskan babak demi babak secara ringkas di atas. Hal ini salah satu faktornya adalah disebabkan oleh adanya faktor maupun tingkatan ekonomi yang dimiliki oleh setiap keluarga dalam masyarakat Jawa.

Pada konteks penggunaan upacara perkawinan adat suku Jawa yang ada di Sumatera Utara, sejauh penelitian penulis memiliki dua bentuk, yakni upacara perkawinan adat Yogyakarta dan upacara perkawinan adat Solo (Surakarta).5

5

Masyarakat Jawa pada masa kini, orientasi kebudayaannya adalah pada dua keraton besar di Jawa Tengah. Yang pertama adalah Kasunanan Surakarta yang pusatnya ada di kota Solo atau Surakarta, dengan sebutan rajanya Paku Buwana. Yang kedua adalah Kasultanan Yogyakarta yang berpusat di Kota Yogyakarta, dengan sebutan rajanya Hamengku Buwana. Kedua kesultanan Jawa Islam ini adalah peninggalan dan kontinuitas dari Kesultanan Mataram (Islam) Jawa Tengah. Keduanya berpisah dalam proses politik kekuasaan di Tanah Jawa di abad ke-17, terutama kartena politik adu domba (divide et impera) yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda, dengan tujuan menguasai Nusantara ini. Kedua kerajaan ini sepakat membagi wilayah mereka dalam Perjanjian Giyanti. Ketika terjadi penandatangan Perjanjian Giyanti pada tahun 1775 yang mengesahkan pembagian kerajaan Mataram Surakarta menjadi dua, yaitu yang tetap menjadi wewenang Sunan Paku Buwana III yang merupakan setengah dari kerajaan Mataram Surakarta, dan setengahnya yang menjadi hak Sultan Hamengku Buwana I yang menggunakan nama kerajaan barunya, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Hasil wawancara penulis dengan salah seorang informan yakni Bapak Agus


(30)

Wayan, yaitu beliau sebagai pembawa acara panggih temanten (pembawa upacara pada perkawinan adat Jawa yang mempertemukan kedua mempelai pengantin) serta pemilik Sanggar Cipto Budoyo di Jalan Istiqomah, Helvetia, Medan, pada acara resepsi pernikahan Yusrita Arini, S.H. dengan Boy Budiansyah, S.H., menjelaskan bahwa upacara perkawinan adat Jawa yang di selenggarakan pada tanggal 5 Mei 2013 tersebut dimana acara resepsinya sendiri di adakan di Hotel Danau Toba Internasional Medan adalah menggunakan tata upacara perkawinan adat Solo. Hal yang membedakan antara tata upacara perkawinan adat Yogyakarta dengan tata upacara perkawinan adat Solo yang terdapat pada ritual pecah telur dan busana yang di kenakan oleh kedua mempelai pengantin.

Telur yang di maksud adalah telur ayam kampung yang putih dan bersih yang melambangkan kesucian dalam membangun rumah tangga baru. Hal ini dapat di lihat pada adat Jogja yang ritual pecah telurnya di lakukan oleh mempelai wanita yang kemudian telur tersebut di usapkan ke kening mempelai pria kemudian di pecahkan di lantai. Sedangkan perkawinan adat Solo di kenal dengan istilah ngidhak endhok (wiji dadi) dimana ritual pecah telur tersebut di pecahkan dengan cara diinjak dengan kaki kanan oleh mempelai pria tanpa menggunakan alas kaki dan kemudian kaki mempelai pria di basuh dengan air yang telah di campur dengan bunga setaman oleh mempelai perempuan (hasil wawancara dengan Pak Agus Wayan 15 Mei 2013).

Berbagai hal baru bagi diri pribadi penulis lihat dalam upacara perkawinan adat Jawa pada pernikahan tersebut di antaranya adalah menampilkan dua bentuk tarian sebagai hiburan setelah terselenggaranya upacara adat perkawinan dalam


(31)

acara resepsi pernikahan tersebut. Tarian tersebut berupa Tari Gatot Kaca dan

Tari Golek Sirih.

Musik gendhing gamelan yang di gunakan dalam prosesi temu temanten

merupakan bagian yang cukup penting dari upacara perkawinan adat Jawa yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat ditinggalkan meski penggunaannya pada saat ini sangat praktis hanya dengan menggunakan rekaman maupun format mp3 yang telah menjadi data digital yang bisa di perbanyak secara praktis pula melalui komputer. Hal ini di sebabkan yang paling utama karena dari segi biaya yang sangat bisa di jangkau oleh masyarakat Jawa yang ada di Sumatera pada umumnya, apabila secara langsung menyediakan musik gamelan maka akan membutuhkan biaya yang besar. Musik gamelan tidak dapat di tinggalkan dalam upacara prosesi temu temanten maupun dalam acara upacara secara keseluruhan,

karena apabila musik tersebut tidak di sertakan, dalam jiwa Jawa merasa adanya kekurangan, yang membuat suasana terasa kurang sakral dan kurang semarak (hasil wawancara dengan Pak Agus Wayan). Gendhing-gendhing yang mengiringi selama upacara sudah di atur secara kronologis sesuai dengan makna bagian-bagian upacara tersebut.

Adapun gendhing-gendhing tersebut akan di jelaskan pada bab selanjutnya, namun gending yang menjadi kajian penulis disini adalah:

1. Gendhing Monggang, yaitu gendhing yang dimainkan pada saat datangnya pengantin pria beserta rombongan untuk melaksanakan upacara panggih.

2. Ladrang Wilujeng, yaitu gendhing untuk mengiringi pengantin putra masuk kerumah pengantin putri untuk dipertemukan dengan pengantin putri.


(32)

3. Gendhing Kodok Ngorek, yaitu gendhing yang dimainkan pada saat prosesi upacara panggih berlangsung, kemudiandilanjutkan dengan gendhing,

4. Ketawang Laramaya, dimana gendhing ini dipergunakan pada saat pengantin sindur binayang sampai didudukkan di pelamin oleh ayah pengantin perempuan.

Gending-gendhing tersebut di hasilkan oleh beberapa instrumen di antaranya ialah Kendang (membranofon), Kendang (membranofon), Gong, dan Saron (idiofon) dan lain-lainnya. Namun penulis mengalami kendala dalam mendengarkan gending-gendhng tersebut pada saat upacara berlangsung, dimana ada beberapa suara yang bersumber pada pengeras suara yang lebih dari suara musik yang terdengar, yaitu suara pembawa acara yang intensitasnya melebihi suara musik gendhing-gendhing yang diputar pada saat upacara panggih. Pada Akhirnya penulis tertarik untuk memutuskan lebih mendengarkan suara melodi musik gendhing yang dominan terdengar yang dihasilkan oleh dua atau tiga instruments musik seperti kendang, gong dan saron. Musik berfungsi sebagai pelengkap dalam pelaksanaan upacara, pada saat prosesi upacara temu temanten

musik di percaya sebagai penambah khidmatnya upacara adat tersebut.

Di sini yang menjadi objek penelitian penulis adalah proses jalannya upacara perkawinan adat suku Jawa serta musik iringan upacara dimaksud yang paling dominan terdengar pada saat prosesi temu temanten yang mendukung suasana upacara menjadi sangat khidmat. Sehingga pada akhirnya penulis ingin mengetahui dan meneliti berbagai aspek yang terkandung dalam upacara adat perkawinan suku Jawa di Medan khususnya, dengan pendekatan-pendekatan etnomusikologis.


(33)

Etnomusikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang merupakan fusi dari musikologi dan antropologi (etnologi). Secara eksplisit apa itu etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan manusia, didefinisikan oleh Merriam, sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies have been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).6

Apa yang di kemukakan oleh Merriam seperti kutipan di atas, bahwa para pakar atau ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, yaitu musikologi dan antropologi. Selanjutnya dalam memfungsikan kedua disiplin ini, akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan

6

Dalam aplikasi disiplin etnomusikologi di Indonesia dan dunia, terdapat sebuah buku yang terus populer sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang berciri khas etnomusikologis.


(34)

munculnya masalah besar dalam rangka menggabungkan kedua disiplin itu. Oleh karena itu setiap etnomusikolog akan berada dalam fokus keahlian ilmu pada salah satu bidangnya saja, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.

Etnomusikologi seperti yang di uraikan oleh Merriam tersebut menekankan perhatian pada dua aspek. Yang pertama adalah fungsi musik dalam kebudayaan manusia yang mendukungnya. Ini berkaitan dengan konteks musik tersebut digunakan dalam masyarakat, dan bagaimana kontribusi tersebut dalam masyarakat pendukungnya. Yang kedua adalah struktur musik itu sendiri, yang memiliki hukum-hukum internalnya, yang bisa saja berbeda antara satu musik dengan musik lain, antara budaya musik etnik yang satu dengan yang lainnya.

Sesuai dengan penjelasan Merrtiam tentang etnomusikologi tersebut di atas, maka sangatlah relevan mengkaji upacara perkawinan adat Jawa dan musik yang digunakan serta berfungsi dalam upacara tersebut di Sumatera Utara. Bagaimanapun masyarakat Jawa di Sumatera Utara ini memiliki kebijakan adaptasi tersendiri dalam rangka melakukan kontinuitas dan perubahan kebudayaannya di lokasi baru, bukan lokasi induknya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal yang menarik lainnya adalah bagaimana terjadinya reduksi seni musik untuk iringan upacara perkawinan yang hanya menggunakan rekaman dan alat rekaman saja, tidak pertunjukan langsung (live). Ini juga sejauh perhatian penulis adalah fenomena yang umum di dalam kebudayaan masyarakat Jawa di Sumatera Utara. Hal yang menarik lainnya, masyarakat Jawa di Sumatera Utara umumnya dan Medan khususnya selalu menggunakan musik keyboard (bukan perangkat

gamelan) dalam mengiringi upacara perkawinan adat Jawa. Musik keyboard juga menjadi sebuah fenomena budaya yang menarik di Sumatera Utara, dan menjadi


(35)

trend (kecenderungan) gaya seni dalam berbagai budaya etnik yang ada di Sumatera Utara.

Hal-hal di atas tersebut yang menjadi dasar penulis sehingga memilihnya menjadi tugas akhir dalam menyelesaikan studi di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Dengan demikian penulis memberi judul Studi Deskriptif Upacara dan Musik pada Perkawinan Adat Jawa di Medan Selayang.

1.2 Batasan Masalah

Untuk menghindari kajian lebih luas, maka penulis membatasi penelitian ini pada upacara Perkawinan adat Jawa yang ada di Jalan Sei Batugingging, Kecamatan Medan Selayang, Medan. Lokasi acara perkawinan tersebut terbagi dua, yaitu pada acara lamaran, siraman, serta akad nikah diselenggarakan di Jalan Sei Batu Gingging, tepatnya berada di kediaman mempelai perempuan dan upacara panggih serta acara resepsinya sendiri diselenggarakan di Hotel Danau Toba Medan.

1.3 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang seperti di atas, untuk memfokuskan kajian dan penelitian penulis dan penulisan skripsi maka penulis menentukan pokok permasalahan atau pertanyaan penelitian, adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses upacara perkawinan adat suku Jawa di Kecamatan Medan Selayang, Medan.


(36)

2. Bagaimana struktur musik, yang mencakup melodi pada gendhing Monggang, gendhing Ladrang Wilujeng, gendhing Kodok Ngorek, dan

gendhing Ketawang Larasmaya pada alat musik saron demung, yang di putar secara rekaman pada ritual temu temanten dalam upacara perkawinan adat suku Jawa di Kecamatan Medan Selayang, Medan.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1TujuanPenelitian

Sejalan dengan dua pokok permasalahan diatas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan Prosesi upacara perkawinan adat suku Jawa di Kecamatan Medan Selayang, Medan.

2. Untuk Mengetahui struktur musik melodi yang dominan terdengar pada rekaman gendhing gamelan dalam upacara perkawinan adat suku Jawa di Kecamatan Medan Selayang, Medan.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari tujuan penulisan dalam penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan refrensi penulis atau pihak-pihak tertentu atau

masyarakat yang ingin mengetahui Upacara Perkawinan adat Suku Jawa.


(37)

2. Menambah pengetahuan penulis dan peneliti lainnya tentang kekayaan budaya Suku Jawa yang ada di Sumatera Utara, khususnya Kota Medan.

3. Penulisan ini bermanfaat sebagai pengembangan teori dan metode dalam disiplin Etnomusikologi.

1.5 Konsep dan Teori 1.5.1 Konsep

Kata deskriptif merupakan kata sifat dari deskripsi. Pengertian studi deskriptif ialah tindakan atau kegiatan menguraikan gambaran situasi atau kejadian-kejadian yang terdapat dalam studi objek ilmiah. Menurut Echols Shadly (1990:179), deskripsi mempunyai pengertian gambaran atau lukisan. Dalam hal ini penulis akan mencoba menguraikan atau menggambarkan tentang upacara perkawinan adat suku Jawa sebagai bahan informasi untuk para pembaca yang membutuhkan.

Upacara perkawinan adat merupakan unsur budaya yang di hayati dari masa ke masa yang mengandung nila-nilai dan norma-norma yang sangat luas dan kuat, mengatur dan mengarahkan tingkah laku setiap individu dalam masyarakat (Suwondo, 1978:2), upacara perkawinan adat memiliki sebuah karya seni yang sangat universal yang di jaga dan di pertahankan karena memiliki proses panjang dari masa ke masa. Dalam proses tersebut terdapat banyak hal terhadap orang-orang yang bersangkutan. Apa saja yang mereka lakukan serta sikap tertentu sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Setiap tindakan dalam bentuk gerak gerik tubuh memiliki makna, bukan hanya kata-kata yang di ucapkan. Upacara


(38)

perkawinan adat Jawa meliputi beberapa tahapan prosesi, prosesi itu di antaranya proses sebelum perkawinan, persiapan menuju hari perkawinan, dan pelaksanaan upacara perkawinan yang di dalamnya terdapat beberapa ritual yang akan di bahas dalam skripsi nantinya.

Suku adalah kelompok etnik yang memiliki suatu kesatuan orang-orang yang secara bersama-sama menjalani pola-pola tingkah laku normatif, atau kebudayaan, dan yang membentuk suatu bagian dari populasi yang lebih besar, saling berinteraksi dalam kerangka suatu sistem sosial bersama, seperti Negara Menurut Abner Cohen yang di kutip oleh Zulyani Hidayah (1999). Menurut Koentjaraningrat (1989), suku bangsa merupakan kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta memiliki system kepemimpinan sendiri. Suku yang penulis maksud adalah suku Jawa.

Adapaun konsep musik dalam konteks upacara perkawinan adat suku Jawa yang dimaksud adalah musik melodi Monggang, Ladrang Wilujeng, kodok ngorek dan Ketawang Larasmaya yang dominan terdengar pada rekaman musik Gamelan Jawa di upacara perkawinan adat suku Jawa di Kecamatan Medan Selayang, Medan. Yang akan berpedoman pada pengertian musik, yakni kejadian bunyi atau suara dapat di pandang dan di pelajari jika mempunyai kombinasi nada, ritem, dan dinamika sebagai komunikasi secara emosi estetika atau fungsional dalam suatu kebiasaan atau tidak berhubungan dengan bahasa (Malm dalam terjemahan Takari 1993:85).


(39)

1.5.2 Teori

Teori merupakan hal pokok dan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10).

Untuk mengkaji upacara perkawinan adat Jawa, dimulai dari persiapan hingga terselenggaranya prosesi upacara penulis menggunakan teori semiotika. Dalam melakukan pendekatan terhadap teori semiotika penulis menggunakan teori yang sesuai dengan penelitian ini, yaitu teori yang di kemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:234) yang menyatakan bahwa komponen upacara ada 4, yaitu: (1) tempat upacara, (2) saat upacara, (3) alat-alat perlengkapan upacara, dan (4) pendukung dan pemimpin upacara.

Untuk mengkaji struktur musik rekaman gamelan Jawa gendhing Monggang, gendhing Ladrang Wilujeng, gendhing Kodok Ngorek, dan gendhing Ketawang Larasmaya yang digunakan dalam mengiringi upacara pada ritual temu temanten menggunakan teori wighted scale (bobot tangga nada). Teori weighted scale adalah sebuah teori yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada delapan unsurnya, teori weighted scale dari Malm (1977:8) mengatakan bahwa ada beberapa karakteristik yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yakni: (1) scale (tangga nada), (2) Nada dasar, (3) range (wilayah nada), (4) frequency of notes (jumlah nada-nada), (5) prevalent intervals (interval yang dipakai), (6) cadence patterns (pola-pola kadensa), (7) melodic formulas

(formula-formula melodi), dan (8) contour (kontur). Dalam hal menganalisis rekaman melodi musik yang digunakan dalam upacara perkawinan adat suku Jawa


(40)

dalam prosesi ritual temu temanten penulis mendengarkan berulang kali terhadap rekaman musik gamelan tersebut untuk di transkripsikan nantinya.

1.6 Metode Penelitian

Metode yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif.

Menurut Bogdan dan Taylor (1975:5) metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata (bisa lisan untuk penelitian agama, social, budaya, filsafat), catatan-catatan yang berhubungan dengan makna, nilai serta pengertian. Penulis juga mengacu pada disiplin etnomusikologi seperti yang di sarankan Curt Sachs dan Nettl (1964:62) yaitu penelitian etnomusikologi di bagi dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (deks work).

Pada tahap pekerjaan lapangan seorang peneliti untuk mengumpulkan data semaksimal mungkin, pada waktu yang menguntungkan penulis sekaligus menjadi assisten dari penyedia jasa foto pernikahan yakni Mamipapi Photowork yang bertempat di Jalan Ismaliyah Nomor 134 Medan, dalam hal ini penulis menggunakan alat bantu berupa kamera Nikon D7000, kamera Canon 7D, kamera Canon 60D, video shooting. Pengamatan dan pemotretan secara langsung pada upacara perkawinan adat suku Jawa pada bulan Mei 2013.

Wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dalam kegiatan tanya jawabnya berlangsung seperti percakapan sehari-hari. Informan biasanya terdiri dari mereka yang terpilih saja. Wawancara ini biasanya berlangsung relatif lama.


(41)

Untuk mengetahui segala permasalahan penelitian dan penulisan serta mengaplikasikan metode penelitian kualitatif, penulis melakukan pengumpulan data melalui pemahaman kepustakaan, penulisan juga di lakukan dalam beberapa tahapan disamping pengumpulan data, yaitu pemilihan sampel, kerja laboratorium, dan bimbingan, diskusi serta konseling. Sebagai hasil akhir dari menganalisis data adalah membuat laporan yang dalam hal ini adalah penulisan skripsi.

1.6.1 Studi Kepustakaan

Untuk mendukung penulisan mengenai upacara perkawinan adat suku jawa penulis juga mencari, memahami serta menggunakan literatur-literatur yang berhubungan sehingga akan dapat membantu memecahkan permasalahan. Di antara berbagai buku yang telah penulis dapat yang berkaitan dengan judul yang telah di sebutkan bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori, serta informasi yang dapat di gunakan sebagai acuan demi pembahasan dan penelitian, dan menambah wawasan penulis mengenai upacara perkawinan adat suku Jawa.

1.6.2 Penelitian Lapangan 1.6.2.1 Observasi

Satori (2009: 105) mengemukakan bahwa observasi adalah pengamatan langsung terhadapa objek untuk mengetahui keberadaan objek , situasi, kondisi, konteks, ruang beserta maknanya dalam upaya pengumpulan data penelitian.

Observasi yang penulis lakukan dalam upacara perkawinan adat suku Jawa dimana dalam hal ini penulis sebagai asisten penyedia jasa foto pernikahan


(42)

sehingga dapat sekaligus mengumpulkan dengan cara memotret setiap ritual demi ritual prosesi upacara perkawinan, mulai dari jalannya upacara, sarana yang dipergunakan, pelaku upacara, dan masalah-masalah lain yang relevan dengan pokok permasalahan.

1.6.2.2 Wawancara

Wawancara yang penulis lakukan dalam penelitian terdiri dari dua kategori, yaitu wawancara terencana dan wawancara tak terencana. Wawancara terencana telah memiliki format pertanyaan yang di susun dengan sistematis sebelum melakukan wawancara, sedangkan wawancara tak terncana merupakan wawancara yang tidak memiliki format atau daftar pertanyaan yang telah di susun sebelumnya. Terkadang wawancara tak terencana bisa muncul dalam wawancara yang telah terencanakan, hal tersebut di sebabkan karena pengetahuan penulis maupun daya ingat penulis yang terganggu oleh situasi dan kondisi. Dalam kegiatan wawancara penulis menggunakan media rekam berupa handphone Blackberry 9300 untuk kemudian data yang didapat dalam wawancara disaring dalam proses kerja laboratorium.

1.6.2.3 Perekaman

Dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan dua cara:

1. Perekaman audio-visual menggunakan kamera Sony video shooting yang kemudian data gambar dan suara diburning ke dalam dvd. Perekaman ini sebagai bahan analisis tekstual dan mendengarkan musik gamelan rekaman


(43)

yang di putar dalam ritual temu temanten pada upacara perkawinan adat suku Jawa.

2. Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar di gunakan kamera digital merk Nikon dan Canon serta aplikasi Snipping Tools untuk mendapatkan gambar yang di tangkap dari video.

1.6.3 Kerja Laboratorium

Kerja laboratorium merupakan proses penganalisaan data-data yang telah didapat di lapangan. Setelah semua data yang di peroleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul penulis melakukan proses penyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data yang kurang. Semua data yang di peroleh di lapangan di olah dalam kerja laboratorium dengan pendekatan etnomusikologi.

1.7 Pemilihan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah Jln. Sei Batu Gingging Kecamatan Medan Selayang, Medan, di kediaman keluarga Bapak Djumali. S.H, selaku pihak keluarga mempelai perempuan. Alasan penulis memilih lokasi ini karena dalam sejarah hidup penulis baru pertama kali nya melihat pesta atau upacara perkawinan adat suku Jawa yang begitu lengkap dan istimewa di banding dengan apa yang pernah penulis lihat sebelum-sebelumnya meskipun dalam penyajian musik pengiring upacara perkawinannya hanya sebatas rekaman saja, Selain penulis sebagai orang Jawa juga di lain itu Medan merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah suku Jawa yang


(44)

berkisar lebih dari 30% dari sekitar 13 juta jiwa. Di Medan juga banyak terdapat pemuka-pemuka adat Jawa yang secara langsung berasal dari pulau Jawa maupun Putra jawa kelahiran Sumatera yang bisa banyak ditemui di Kota Medan ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Di samping itu juga penulis bertepatan tinggal di kota Medan, sehingga nantinya agar dapat memudahkan proses penulisan, kerja lapangan, dan pengumpulan data.


(45)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DI KECAMATAN MEDAN SELAYANG

2.1 Identifikasi

Daerah asal suku Jawa adalah pulau Jawa (terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur). Pulau Jawa terletak di bagian selatan dari Kepulauan Indonesia. Suku Jawa hanya mendiami bagian tengah dan bagian timur dari pulau Jawa, sementara bagian baratnya didiami oleh suku Sunda. Pulau Jawa yang luasnya 7% dari seluruh wilayah Indonesia dan dihuni oleh hampir 60% dari seluruh penduduk Indonesia adalah daerah asal kebudayaan Jawa (Koentjaraningrat, 1984:3-5). Namun pada masa sekarang ini, orang-orang Jawa menetap diberbagai kawasan di seluruh pulau di Indonesia, bahkan sampai ke Malaysia. Begitu juga penyebarannya sampai ke Afrika Selatan, Suriname, dan Madagaskar.

Kepadatan penduduk yang tinggi dipulau Jawa menyebabkan banyaknya penduduk pulau ini dibawa dan dipaksa bekerja sebagai budak ke daerah jajahan Belanda di Suriname pada sekitar abad ke-18. Kemudian pada abad ke-19, banyak suku Jawa di kirim dan di paksa bekerja pada perkebunan-perkebunan di Kaledonia Baru (Perancis) dan pada perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara (Koentjaraningrat, 1985: 5-10). Di Indonesia sendiri selain di Pulau Jawa, suku Jawa ini tersebar ke berbagai kawasan, dengan tujuan meningkatkan taraf hidup melalui transmigrasi yang dilakukan sejak zaman Belanda sampai sekarang. Di antara kawasan-kawasan yang menjadi tempat tinggal baru suku Jawa adalah Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan


(46)

Selatan, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Papua Barat, Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Utara, dan diberbagai daerah lainnya. Di antara provinsi, jumlah yang paling menonjol suku Jawa nya adalah provinsi Sumatera Utara.

Kebudayaan Jawa semula berpusat di Surakarta, tetapi dengan adanya perjanjian Giyanti 1755, antara raja Surakarta dan Yogyakarta, pusat kebudayaan Jawa juga terdapat di Yogyakarta. Di berbagai daerah tempat kediaman orang Jawa terdapat variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur kebudayaan, seperti perbedaan mengenai berbagai istilah teknis, dialek, bahasa, dan lain sebagainya. Namun jika di teliti lebih jauh hal-hal itu masih merupakan suatu pola atau sistem dalam kebudayaan Jawa.

Agama yang di anut mayoritas suku Jawa pada umunya adalah agama Islam, kemudian agam Kristen Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Orang Santri adalah mereka yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran Islam. Sedangkan orang Islam Kejawen biasanya tidak menjalankan shalat, puasa, dan tidak bercita-cita naik Haji, tetapi mereka mengakui ajaran-ajaran agama Islam pada umumnya.

Kedatangan suku Jawa di Sumatera Utara seperti yang sudah di jelaskan di atas bermula dari pengiriman suku Jawa yang dipaksa bekerja sebagai budak pada perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara di sebabkan karena pada waktu itu perkebunan-perkebunan yang di kelola oleh bangsa asing kekurangan tenaga kerja (Said, 1990:49). Berdasarkan pengiriman inilah awal kedatangan suku Jawa di tanah Sumatera Utara.


(47)

2.2 Letak Geografis dan Wilayah Kecamatan Medan Selayang

Kondisi fisik Kecamatan Medan Selayang secara geografis berada diwilayah Barat Daya Kota Medan yang merupakan dataran kemiringan 0-5%. Wilayah-wilayah yang berdekatan yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Medan Selayang adalah :

Sebelah Utara : Kecamatan Medan Baru dan Medan Sunggal Sebelah Selatan : Kecamatan Medan Tuntungan dan Medan Johor Sebelah Timur : Kecamatan Medan Polonia

Sebelah Barat : Kecamatan Medan Sunggal Kabupaten Deli Serdang

Kecamatan Medan Selayang terbagi menjadi 6 (enam) kelurahan dan 63 (enam puluh tiga) lingkungan. Adapun luas Kecamatan Medan Selayang adalah +/- 2.379 ha, disusul Kelurahan Tanjung Sari dengan luas +/- 510 ha, Kelurahan Sempakata dengan Luas +/- 510 ha, dan yang terkecil adalah Kelurahan Beringin dengan luas +/- 78 ha.


(48)

Peta 2.1

Peta Kota Medan dan Kecamatan Medan Selayang

Sumber :

Kecamatan Medan Selayang adalah salah satu dari 21 kecamatan yang berada di bagian Barat Daya Wilayah Kota Medan. Sebelum menjadi Kecamatan Defenitif, terlebih dahulu melalui proses Kecamatan Perwakilan. Sesuai dengan keputusan Kepala Daerah Tingkat 1 Sumatera Utara Nomor: 138/402/K/1991 tentang Penetapan dan Perubahan 10 (sepuluh) Perwakilan Kecamatan yang merupakan pemekaran Wilayah Kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, dan Medan Tuntungan dengan nama “Perwakilan Kecamatan Medan Selayang” dengan 5 Kelurahan. Kantor masih menyewa bangunan rumah berukuran 6 x 12 m di jalan Bunga Cempaka Kelurahan Padang Bulan Selayang II.


(49)

Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1991 tentang Pembentukan beberapa Kecamatan di Sumatera Utara, termasuk 8 (delapan) Kecamatan Pemekaran di Kota Medan secara resmi Perwakilan Kecamatan Medan Selayang menjadi Kecamatan defenitif yaitu Kecamatan Medan Selayang. Adapaun kantornya telah menempati bangunan permanen dengan luas tanah +/- 2000 m2 dan luas bangunan 396 m2 dan dibangun diatas bantuan partisipasi pihak ketiga/masyarakat.

Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Gubenur Sumatera Utara Nomor: 146.1/1101/K/1994 tentang Pembentukan 7 (tujuh) Kelurahan Persiapan di Kota Medan. Berdasarkan itulah Kecamatan Medan Selayang berkembang dari 5 kelurahan menjadi 6 kelurahan, yaitu Kelurahan Sempakata.

Sejak terbentuknya Perwakilan Kecamatan Medan Selayang dari tahun 1991 sampai dengan sekarang, wilayah ini telah di pimpin oleh beberapa camat. Daftar nama camat yang pernah memimpin di Kecamatan Medan Selayang dapat dilihat pada Tabel 2.1 sebagai berikut.

Table 2.1

Daftar Nama Camat yang Pernah Memimpin di Kecamatan Medan Selayang

No Nama Pejabat Masa Bakti

1 OK Lailan Zaitun 1991 - 1993

2 Drs.Farid Wajedi, Msi 1993 - 1998

3 Drs. Parluhutan Hasibuan 1998 – 2000

4 H. Syarifuddin, SH 2000 – 2006


(50)

6 Drs. Halim Hasibuan 2009 – 2012

7 Zulfakhri Ahmadi S.Sos 2012 - Sekarang

Sumber: Kantor Kecamatan Medan Selayang

2.3 Mata Pencaharian

Orang Jawa meskipun pada umumnya di ketahui sebagai penghuni daerah agraris, mereka sejak zaman dahulu melakukan perpindahan dalam berbagai bentuk seperti perdagangan, migrasi secara spontan, dan sebagainya. Sebagai pedagang, umpamanya, mereka terkenal bergerak antar pulau-pulau di Nusantara, terutama membawa beras dan tekstil (Sartono Kartodirjo, 1988:10). Seiring perkembangan zaman, kehidupan ekonomi masayarkat Jawa yang ada di Sumatera Utara mengalami perkembangan pesat. Kini orang Jawa di Kota Medan, khususnya di Kecamatan Medan Selayang banyak yang telah menggeluti berbagai bidang-bidang pekerjaan lainnya seperti pegawai negeri sipil (PNS), tenaga pendidik (guru dan dosen), wiraswasta, mekanik, buruh, seniman, tentara dan polisi, wartawan, dan lain-lain sebagainya.

Kampung Jawa di sana-sini di bangun sejak zaman dahulu, seperti di daerah Deli terdapat permukiman orang Jawa kira-kira 500 orang yang disebut kota Jawa (Luckman Sinar, 1985:6), dan daerah Asahan sekitar Pasir Putih di katakan sebagai pemukiman orang Jawa beberapa abad sebleum kunjungan John Anderson (John Anderson, 1971:136). Di Semanjung Malaya juga terdapat sejumlah migrant orang Jawa yang kini sudah turun temurun dan menetap di situ.


(51)

Table 2.2

Komposisi Mata Pencaharian Penduduk menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Selayang Tahun 2011

No Kelurahan Pegawai Negeri

Pegawai Swasta

ABRI Petani

1 Sempakata 421 1730 41 402

2 Beringin 396 2322 42 283

3 PB Selayang II 1886 721 574 198

4 PB Selayang I 336 1376 47 196

5 Tanjung Sari 651 2026 79 277

6 Asam Kumbang 437 484 819 301

JUMLAH 4127 8659 1602 1657

Sumber: Kantor Lurah se-Kecamatan Medan Selayang

Berdasarkan data Kantor Lurah se Kecamatan Medan Selayang tahun 2011 di atas dapat disimpulkan bahwa mata pencaharian penduduk Kecamatan Medan Selayang kebanyakan adalah pegawai swasta atau buruh.

2.4 Sistem Religi dan Kepercayaan 2.4.1 Agama

Mayoritas penduduk Kecamatan Medan Selayang memeluk agama Islam, yaitu sebanyak 76.292 orang dari jumlah keseluruhan dari se-kecamatan. Sisanya sebanyak 40.553 orang memeluk agama Kristen, pemeluk agama Khatolik


(52)

sebanyak 7.368 orang dan pemeluk agama Hindu sebanyak 1.234 orang, dan sisanya memeluk agama Budha sebanyak 1.423 orang. Dari uraian di atas dapat di ketahui bahwa keberadaan agama Islam sangatlah besar, sehingga potensi masyarakat suku Jawa dapat di ketahui 50% keberadaannya di Kecamatan Medan Selayang.

Tabel 2.3

Komposisi Penduduk di Kecamata Medan Selayang Berdasarkan Agama Tahun 2013

No WIL

Nama Kecamatan ISLAM KRISTEN KHATOLIK HINDU BUDHA

21 Medan Selayang

1001 Asam Kumbang 17.670 2.947 478 292 1.111

1002 Tanjung Sari 27.654 10.406 1.879 276 152

1003 PB Selayang II 15.520 10.236 1.710 445 101

1004 Beringin 3.338 5.311 1.155 8 1

1005 PB Selayang I 7.819 4.509 631 212 40

1006 Sempakata 4.291 7.144 1.515 1 8

Jumlah/Kecamatan 76.292 40.553 7.368 1.234 1.423

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Medan, 2014

Umumnya masyarakat Jawa yang akan melakukan hajatan, sebelumnya mereka harus menentukan kapan hajatan itu akan dilaksanakan. Untuk melakukan hajat terlebih dahulu mereka harus menentukan hari baik, hal ini dilakukan untuk menghindari naas yaitu hari yang di anggap tidak baik atau pantang. Jika hajat di lakukan bertepatan dengan geblak yaitu saat meniggalnya salah seorang


(53)

keluarganya, maka hari tersebut harus segera di hindari agar tidak ada kejadian buruk yang akan menimpa mereka.

Berdasarkan tingkat kemurnian dan ketaatan pelaksanaanya ajarannya, masyarakat Jawa membedakan pemeluk agama menjadi dua kelompok, yaitu: (1)

Wong Putihan, yaitu orang putih yang dimaksud adalah orang-orang Jawa yang Taat menjalankan ibadah dengan ajaran Islam; (2) Wong Lorek, yaitu orang yang badannya belang-belang hitam dan putih, maksudnya adalah orang yang meyakini terhadap ajaran agama Islam tetapi tidak menjalankan ritual peribadatannya terutama shalat, namun mencampurkan unsur-unsur di luar Islam.

Faktor utama yang menjadi pembeda antara Wong Putihan dan Wong Lorek adalah ketaatannya menjalankan ajaran agama Islam yaitu berupa shalat, puasa, zakat, dan naik haji bagi yang mampu. Seseorang yang menjalankan shalat lima waktu dengan rajin di golongkan ke dalam kelompok Wong Putihan

meskipun praktek kehidupan keagamanaanya mencampur dengan unsur-unsur di luar Islam. Sedangkan Wong Lorek di berikan kepada orang yang mengaku Islam tetapi tidak mau menjalankan ritual secara Islam terutama shalat (Nursilah, 2001:51).

2.4.2 Upacara-upacara Tradisional dalam Lingkaran Suku Jawa

Suku Jawa yang terdapat di kota Medan, khusunya di Kecamatan Medan Selayang yang mempunyai golongan ekonomi menengah ke atas, sebagian besar masih melaksanakan berbagai upacara yang terdapat dalam adat-istiadat kebuadayaan mereka. Upacara-upacara yang masih di laksanakan pada dasarnya hanya besifat simbolis, artinya upacara-upacara itu hanya menggambarkan suatu


(54)

tujuan luhur yang diharapakan oleh pelakunya. Adapaun upacara-upacara itu adalah seperti yang disebut dibawah ini, yang mana penjelasannya dari setiap upacara penulis dapatkan dari berbagai sumber. Sebagai orang Jawa, sebahagian upacara ini pernah penulis saksikan.

2.4.2.1 Upacara Kehamilan dan Kelahiran

Upacara pada saat kehamilan ada 2 tahapan, yaitu pada saat kandungan berusia tujuh bulan (upacara tingkepan). Kemudian diteruskan pada saat kandungan berusia sembilan bulan (slametan mumuli sedherek).

Upacara tingkeban disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh (Bratawidjaja, 1993:21). Upacara tingkeban ini di laksanakan apabila usia kehamilan seseorang berusia tujuh bulan dan merupakan kehamilan yang pertama kali. Upacara tingkeban mempunyai makna bahwa pendidikan bukan saja di berikan setelah dewasa, akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim seseorang anak perlu di beri pendidikan (Bratawidjaja, 1993:21).

Upacara tingkeban ini hanya sebagai pengharapan saja, dan belum merupakan suatu kepastian. Tujuan dari pelaksanaan upacara tingkeban adalah untuk merayakan kandungan yang berusia tujuh bulan, memberitahukan tentang bakal adanya suatu peristiwa kelahiran, mencerminkan perasaan cemas dalam hal menghadapi kelahiran, serta mengharapakan bayi yang akan lahir dapat dengan mudah dan selamat.

Pelaksanaan upacara tingkeban yang ada di Kota Medan, khususnya di Kecamatan Medan Selayang biasanya di lakukan oleh suku Jawa yang mempunyai tingkatan ekonomi golongan menengah keatas karena untuk


(55)

melaksanakan upacara tingkeban ini di perluakan biaya yang banyak. Sementara suku Jawa yang memiliki tingkatan ekonomi golongan bawah, untuk merayakannya hanya mengirimkan nasi yang berisi lauk-pauk dan di bungkus dengan daun (kertas bungkus dan atau sejenisnya) sering disebut dengan berkat. Tujuannya adalah sama seperti yang telah disebutkan di atas.

Upacara melahirkan di lakukan setelah jabang bayi sudah lahir, ari-ari

(plasenta) bayi di bersihkan oleh ayahnya. Menurut kepercayaan suku Jawa, ari-ari di anggap sebagai saudara kembar dari bayi yang menemani bayi selama dalam kandungan ibunya, sejak janin terbentuk hingga saat dilahirkan (Wardoyo, n.d.:6).

Koentjaraningrat (1984:353) menyebutkan bahwa setelah tali pusat lepas, maka bagi masyarakat suku Jawa mengadakan upacara pupur puser. Upacara

pupur puser ini di laksanakan pada malam hari setelah tali pusat lepas. Suku Jawa yang ada di kota Medan tidak pernah melaksanakan upacara pupur puser, Hal ini disebabkan mungkin bahwa suku Jawa di Kota Medan sudah mempunyai pandangan yang tidak ingin terlalu terikat oleh adat-istiadatnya. Yang masih di laksanakan adalah apabila tali pusat telah lepas, selanjutnya di bersihkan dan di jemur hingga kering. Setelah itu di simpan oleh ibu bayi. Sebagian masyarakat suku Jawa yang berada di lingkungan orang Jawa masih melaksanakan adat dalam melakukan upacara kelahiran tersebut yang prosesinya di lakukan dengan cara menggendong tali pusat oleh ayah sang bayi yang telah di letakkan di dalam wadah mangkuk atau piring yang telah di tutup yang kemudian di kubur di sekitar depan pintu atau samping pintu rumah bagian depan, yang kemudian setelah di


(1)

Digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED


(2)

DAFTAR INFORMAN

a. Informan Kunci

1. Nama: Agus Wayan Umur: 51 tahun

Pekerjaan: penarik beca

Status dalam penelitian ini: (pemilik sanggar Cipto Budoyo Jln. Istiqomah, Helvetia, Medan), yaitu pembawa acara serta budayawan Jawa.

2. Nama: Sumaji Umur: 48 tahun

Status dalam penelitian ini selaku pimpinan rombongan pihak mempelai pengantin perempuan.

Arini, S.H. dan Boy Budiansyah, S.H.

Alamat: Sanggar Cipto Budoyo Jalan Istiqomah Helvetia, Medan. 3. Nama: Cipto

Umur: 45 tahun

Status dalam penelitian ini yaitu sebagai pimpinan rombongan pihak pengantin pria dalam panggih temanten yang turut membantu pada upacara tersebut.

Alamat: Sanggar Cipto Budoyo Jalan Istiqomah Helvetia Medan 4. Nama: Kusen

Umur: 48 tahun

Status dalam penelitian ini yaitu sebagai wali manten pria. Alamat: Helvetia Medan


(3)

Umur: 49 tahun

Status dalam penelitian ini yaitu sebagai pelatih tari di Sanggar Cipto Budoyo. Alamat: Sanggar Cipto Budoyo Jalan Istiqomah Helvetia, Medan.

b. Informan “Pendukung” 6. Nama: Sigit

Umur: 19 tahun

Status dalam penelitian ini yaitu sebagai Cucuking Lampa (pembawa jalan manten menuju pelaminan)

Alamat: Helvetia 7. Nama: Saritomo

Umur: 20 tahun

Status dalam penelitian ini yaitu sebagai seksi kelengkapan ritual upacara. Alamat: Helvetia

c. Informan Pangkal

8. Nama: Surya Darma Desky Umur: 29 tahun

Status dalam penelitian ini yaitu selaku pemilik jasa penyedia foto pernikahan Mamipapi Photowork yang telah memberikan informasi tentang adanya acara pernikahan di Jln Sei Gingging Kecamatan Medan Selayang, Medan.

8. Nama: Yusrita Arini, S.H. Umur: 25 tahun

Mempelai wanita

Alamat: Jalan Sei Gingging Medan Selayang Pekerjaan: Karyawati Bank Mandiri


(4)

Umur: 28 tahun Mempelai Laki-laki Alamat: Medan Selayang Pekerjaan: Pengacara

10.Kedua Orang Tua Mempelai Wanita a. Nama: Djumali, S.H

Umur: 60 tahun

Pekerjaan: Pegawai Negeri Alamat: Jln Sei Gingging No. 80 b. Nama: Yeni Indrawati

Umur: 55 tahun

Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga Alamat: Jln Sei Gingging No 80


(5)

LAMPIRAN I

1. Gendhing Monggang (gendhing pengiring untuk menyambut pengantin pria dalam

melaksanakan upacara panggih) Laras pelog Barang, Melodi Saron Demung dengan nada dasar C.

Buka: . . . . 5 6 . 6 5 6 . 6 5 6 . 6 5 6 . 6 5 6 . 6 5 6 . 6 5 6 . 6 5 6 . 6 5 6 .(6) 6 5 6 . 6 5 6 . . 6 . . 6

2. Gendhing Ladrang Wilujeng (gendhing pengiring calon mempelai pria memasuki ruangan pelaminan) Laras pelog barang, melodi saron demung dengan nada dasar Eb (E Mol).

Buka: 1 3 2 3 . 1 3 2 3

1 3 3 3 1 5 3 . 3 5 1 5 . 3 3 2 3 . 1 3 2 3 3 2 3 3 . 1 3 2 3 . 3 3 2 3 . 1 3 3 . 3 1 5 3 3 5 1 5 . 3 3 2 3 . 1 3 2 3

3. Gendhing Kodok Ngorek (gendhing pengiring upacara temu temanten atau panggih yang diputar pada saat prosesi ngidak endhok atau wiji dadi) Laras pelog barang, melodi saron demung dengan nada dasar Cb (C mol).

Buka: 5 6 1 6 5 6 1 6(3)

5 6 1 6 5 6 1 6(3) 5 . 6 1 . 2 1 6 1 5 . 6 1 . 2 1 6 1(5)

5 . 6 1 . 2 1 6 1(3)

Dilanjutkan gendhing Ketawang Laras Maya

4. Gendhing Ketawang Laras Maya (gendhing yang diputar pada saat kedua mempelai

pengantin berada pada prosesi timbangan sampai pada dhahar klimah). Laras Pelog barang, melodi saron demung dengan nada dasar Bb (B mol).

Buka : 5 . 6 1 . 2 1 6 1(5) 5 . 6 1 . 2 1 6 1(3)


(6)

LAMPIRAN II

Gambar Sampul Depan dan Belakang gendhing Pengantin Jawa Yang di pakai pada saat Upacara Perkawinan Adat Jawa di Medan Selayang