BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Film Layak Makan Protein Whey Dengan Ekstrak Herba Meniran (Phyllanthus niruri L.)Sebagai Antibakteri

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Smart Food Coating

  

Smart packaging didefinisikan oleh Wagner (1989) dalam Rooney (1995) sebagai

  lebih dari sekedar menawarkan perlindungan. Kemasan berinteraksi dengan produk, dan dalam beberapa kasus terbukti memberi perubahan. Active packaging sering disebut sebagai interaktif atau smart packaging yang dimaksudkan untuk merasakan perubahan lingkungan internal maupun eksternal dan perubahan sifat bagian dalam dari kemasan.

  Ruang lingkup bidang pengemasan saat ini juga sudah semakin luas, dari mulai bahan yang sangat bervariasi hingga model atau bentuk dan teknologi pengemasan yang semakin canggih dan menarik. Bahan kemasan yang digunakan bervariasi dari bahan kertas, plastik, gelas, logam, fiber hingga bahan-bahan yang dilaminasi. Namun demikian pemakaian bahan-bahan seperti papan kayu, karung goni, kain, kulit kayu, daun-daunan, dan pelepah dan bahkan sampai barang-barang bekas seperti koran dan plastik bekas yang tidak etis dan hiegenis juga digunakan sebagai bahan pengemas produk pangan. Bentuk dan teknologi kemasan juga bervariasi dari kemasan botol, kaleng, tetrapak, corrugated box, kemasan vakum, kemasan aseptik, kaleng bertekanan, kemasan tabung hingga kemasan aktif dan pintar (active and intelligent packaging) yang dapat menyesuaikan kondisi lingkungan di dalam kemasan dengan kebutuhan produk yang dikemas (Julianti, 2007).

  Kemasan antimikroba dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis: (1) kemasan yang mengandung agen antibakteri yang bermigrasi dari permukaan kemasan ke makanan secara langsung; (2) kemasan yang efektif terhadap pertumbuhan mikrobiologi pada permukaan makanan tanpa migrasi zat aktif kemakanan.

  Wieddyanto, et al (2006) melaporkan pemanfaatan protein whey sebagai film layak makan untuk bahan kemasan dalam upaya menghambat pertumbuhan mikroba pada produk daging. Hasil yang diperoleh film layak makan ini dapat diaplikasikan sebagai bahan pelapis daging yang dapat mempertahankan penurunan berat dan penurunan jumlah mikroorganisme yang mengkontaminasi permukaan daging. Senyawa antimikroba alami berasal dari alam telah diisolasi dari sumber tanaman dan hewan. Senyawa dari asal tanaman termasuk ekstrak rempah-rempah; kayu manis,

  

allspice, cengkeh, thyme, rosemary, dan oregano adalah beberapa bahan yang telah

menunjukkan aktivitas antimikroba (Seydim dan Sarikus, 2006).

2.2. Film Layak Makan

  Kemasan edible adalah kemasan yang layak untuk dimakan karena terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan seperti pati, protein atau lemak. Sifat-sifat kemasan masa depan diharapkan mempunyai bentuk yang fleksibel namun kuat, transparan, tidak berbau, tidak mengkontaminasi bahan yang dikemas dan tidak beracun, tahan panas, biodegradable dan berasal dari bahan-bahan yang terbarukan. Bahan-bahan ini berupa bahan-bahan hasil pertanian seperti karbohidrat, protein dan lemak (Julianti, 2007). Bahan-bahan ini juga dapat bertindak sebagai pembawa bahan aktif, seperti antioksidan, rasa, kaya nutrisi, pewarna, agen antimikroba, atau rempah-rempah (Cha, 2004).

  Film layak makan yang sudah banyak beredar umumnya berasal dari bahan protein, misalnya film dari kolagen gelatin, protein jagung (corn zein), protein gandum (wheat gluten), protein kedelai (soy protein), kasein, dan film dari protein whey. Film dengan bahan dasar protein biasanya diperoleh dari pencetakan dan pengeringan (Khotibul et al, 2010). Selain itu kondisi pH juga harus diperhatikan. Menurut Perez-Gago (1999) yang menyatakan bahwa pembentukan film layak makan dari protein whey tidak bias secara sempurna pada pH 3, kemungkinan disebabkan oleh tingginya gaya elektrostatik yang mengadakan penolakan antarprotein. Ketika film layak makan ini dikondisikan pada pH 4 dan 5, viskositas larutan meningkat dengan cepat sehingga menghasilkan gel yang lunak.

  Salah satu bahan pembuatan film layak makan yang berasal dari protein yaitu protein whey. Protein whey berasal dari hasil samping industri keju, yang mengandung laktoglobulin (57%) dan laktalbumin (19%). Film layak makan protein whey mempunyai sifat transparan, lunak, fleksibel dan penahan aroma dan oksigenyang baik pada kelembaban rendah yang didapatkan dengan cara protein

  o

  didenaturasi pada suhu 90 C selama 30 menit, penambahan asam dan basa untuk membentuk ikatan disulfida intermolekuler sehingga menghasilkan gel yang lunak (Manab, 2008).

  Protein whey merupakan protein globular dimana kebanyakan gugus hidrofobik dan sulfidrilnya berada di dalam struktur protein sehingga diperlukan denaturasi panas untuk memunculkannya dan memacu ikatan disulfida intermolekuler yang merupakan struktur penyusun film protein whey (Perez-Gago et al, 1999). Adanya ikatan kovalen disulfide meningkatkan kestabilan film dan menyebabkan film dari protein ini tidak larut dalam air (Galietta et al, 1998).

  Pembentukan film dari protein whey juga dipengaruhi oleh adanya bahan pemlastis. Komponen ini diperlukan untuk membantu meningkatkan pengikatan antara molekul-molekul protein di dalam film, tetapi jumlahnya tidak boleh terlalu sedikit ataupun terlalu banyak. Apabila terlalu sedikit film yang dihasilkan rapuh dan apabila terlalu banyak akan meningkatkan nilai water vapour permeability (WVP) film yang tidak diinginkan dalam pembentukan film ini. Bahan pemlastis yang digunakan adalah gliserol karena mampu meningkatkan pengikatan molekul-molekul protein dan tidak mengganggu ikatan hidrogen (Galietta et al, 1998). Penambahan komponen pemlastis kedalam formulasi film mempengaruhi keregangan, fleksibelitas dan elastisitas film yang dihasilkan. Senyawa CaCl juga digunakan dalam pembuatan

  2 film layak makan dengan tujuan untuk meningkatkan ikatan silang ionik di dalam film (Cagri, 2003). Ikatan ini penting untuk membantu meningkatkan gaya kohesi, sifat barier, kekuatan, dan mencegah film agar tidak mudah larut (Galietta et al, 1998).

2.3. Protein Whey Isolat

  Whey protein berasal dari susu sapi dan biasanya tersedia dalam bentuk suplemen bubuk protein sehingga lebih cepat diserap tubuh. . Whey protein memiliki kandungan

  

Branch Chain Amino Acids (BCAA/asam amino rantai bercabang) terbesar yang

  sangat baik untuk pembentukan dan pemeliharaan massa otot tubuh, sudah lama populer di industri keolahragaan sebagai suplemen pembangun otot. Namun, penelitian menunjukkan hal ini memungkinkan memiliki aplikasi yang jauh lebih luas sebagai makanan fungsional dalam mencegah penyakit seperti kanker, hepatitis B, HIV, penyakit jantung, osteoporosis dan bahkan stres kronis.

  Ada 2 (dua) jenis protein whey yaitu (1) Whey Protein Concentrate, yaitu whey protein berkualitas tinggi yang masih mengandung karbohidrat dan lemak. Kadar konsentrasi protein mencapai 70%, (2) Whey Protein Isolate, adalah jenis whey protein yang berkualitas tinggi dan lebih murni karena diterapkan pemrosesan tambahan. Kadar konsentrasi proteinnya mencapai 93% atau lebih tinggi.

  Whey protein diekstrak dari whey, bahan cair dibuat dari produksi keju. Protein susu terbagi dalam dua bentuk fraksi protein, ditemukan sebagai protein kasein dan protein whey (Hidayat et al, 2006). Protein whey mewakili sekitar 20% dari protein susu dan protein lainnya mewakili 80% dari total. Protein whey berkualitas tinggi, karena memiliki semua asam amino esensial, dan nilai biologis tinggi dari pada protein telur atau kasein.

  • Whey adalah cairan kuning hijau yang terpisah dari kasein saat pembuatan keju. Beberapa waktu yang lalu oleh produsen keju komersial diperlakukan sebagai
limbah whey atau dikembalikan kepeternakan untuk makanan ternak. Namun penelitian tentang protein whey berkembang, biaya keuangan dalam penjualan whey sangat menguntungkan. Selanjutnya, terutama protein dan laktosa digunakan untuk bahan makanan. Protein whey telah digunakan dalam kembang gula, roti, dan eskrim produk, susu formula dan makanan kesehatan. Penelitian baru-baru ini menemukan penggunaan dari protein whey yaitu dengan memanfaatkan kemampuan protein whey olahan (80- 90%) untuk membentuk film dan coating pada permukaan produk (Regalado et al, 2006). Komposisi protein whey dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi Protein Whey Susu Sapi

  Protein Whey Konsentrasi Mr Td Fungsi Biologi

  o

  (g/L) (kDa) (

  C)

  7

  • Total 3 18,6 71,9 Transfer provitamin A β-LG

  0,7 14,2

  35 Sintesis laktosa α-LA

  b

  64,3 Ig 1 150-900 Imunitas pasif - BSA 0,4 66,4 72-74 Transfer asam lemak

  c

  • LF 0,02-0,35 78,5 Agen bakteriostatik

  d

  0,01-0,03 - LPOD

  77 Agen antibakteri

  14 Agen antibakteri - Lysozim < 0,001

  • Enzymes (>50) 0,03 Indikator kesehatan - Proteose peptones <12 Aktivitas Opioid ≥ 1
  • >eGMP 0-1,5 8-32 Regulasi pertumbuhan sel

  a b c d

  Td = Termal denaturasi, laktoferrin, LPOD = Td = Ca berikatan α-LA,

  e

  laktoperoksidase, GMP = glikomakropeptida. (Regalado et al, 2006)

Tabel 2.1 meninjukan bahwa Protein whey mengandung

  : β-lactoglobulin (β- LG), α-lactalbumin (α-LA), bovine serum albumin (BSA) and immunoglobulins (Ig) (Regalado et al, 2006). Whey terdiri dari sejumlah protein termasuk beta

  • -

    lactoglobulin , alpha-lactalbumin , bovineserum albumin (BSA) dan

    glycomacropeptide (GMP). Secara kolektif, whey mengandung beberapa asam amino

  termasuk BCAA leusin, isoleusin, dan valin. BCAA diperlukan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan dan leusin khususnya memainkan peran penting dalam inisiasi terjemahan sintesis protein. Protein whey juga mengandung agen bakteriostatik

  • yaitu laktoferrin, laktoperoksidase, dan lisozim. Jeremi, et al (2013) menyatakan bahwa laktoferrin, laktoperoksidase, dan lisozim memiliki sifat antimikroba.

  Protein whey merupakan protein globular dimana kebanyakan gugus hidrofobik dan sulfidrilnya berada di dalam struktur protein sehingga diperlukan denaturasi panas untuk memunculkannya dan memacu ikatan disulfida intermolekuler yang merupakan struktur penyusun film protein whey (Perez-Gago et al, 1999). Hasil

  o

  penelitian Khotibul, et al (2010) film protein whey pada pemanasan 90 C mudah mengalami keretakan pada saat penyimpanan, sehingga perlu ditambahkan pemlastis . Tujuan penambahan bahan pemlastis dalam larutan film adalah untuk mengurangi kerapuhan dan meningkatkan fleksibilitas film. Peningkatan fleksibilitas film dikarenakan terjadi pengurangan kekuatan tarik intermolekuler diantara rantai polimer.

2.4. Agen Antibakteri

2.4.1. Meniran (Phyllanthus niruri L.)

  Herba meniran merupakan herba semusim, tumbuh tegak, tinggi 30-50 cm, bercabang–cabang. batang berwarna hijau pucat. Tumbuhan ini berdaun tunggal dengan letak berseling, helaian daun bundar memanjang, ujung tumpul, pangkal membulat, permukaan bawah berbintik kelenjar, tepi rata, panjang sekitar 1,5 cm, lebar sekitar 7 mm, dan berwarna hijau. Dalam satu tanaman ada bunga betina dan bunga jantan. Bunga jantan keluar di bawah ketiak daun, sedangkan bunga betina keluar di atas ketiak daun. Buahnya kotak, bulat pipih, licin, bergaris tengah 2-2,5 mm. Bijinya kecil, keras, berbentuk ginjal, berwarna coklat (Syamsyuhidayat dan Hutapea, 1991).

  Tumbuhan meniran tumbuh liar di dataran dan daerah pegunungan dari ketinggian 1 mm sampai 1000 m dari permukaan laut. Tumbuhan ini tumbuh liar di tempat terbuka pada tanah gembur, berpasir di ladang, di tepi sungai dan di pantai, bahkan tumbuh liar di sekitar pekarangan rumah (Dalimarta, 2000). Pemanenan dilakukan setelah tanaman berumur 2-3 bulan. Ciri tumbuhan meniran yang siap dipanen adalah daun tampak hijau tua hampir menguning dan buah agak keras jika dipijit.

  Herba meniran merupakan tanaman yang mempunyai banyak khasiat dan telah digunakan sebagai obat tradisional. Khasiat tanaman tersebut diduga berasal dari kandungan berbagai senyawa kimia. Khasiat tersebut diduga berasal dari kandungan berbagai senyawa kimia, di antaranya alkaloid (sekurinin), flavonoid (kuersetin, kuersitrin, isokuersitrin, astragalin, nirurin, niruside, rutin, leukodelfinidin, dan galokatekin), dan lignan (filantin dan hipofilantin). Senyawa lainnya, steroid dan triterpenoid, berasal dari biosintesis skualena, kebanyakan berupa alkohol, aldehid atau asam karbohidrat (Wibowo, 2009). Tumbuhan meniran (Gambar 2.1) memiliki sistematika sebagai berikut:

  Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Euphorbiales Suku : Euphorbiaceae Marga : Phyllanthus Jenis : P. niruri Linn.

  (Van Steenis, 2003).

Gambar 2.1. Herba meniran (Phyllanthus niruri L)

  Nama lain dari Phyllanthus niruri L. adalah Phyllanthus urinaria L.,

  

Phyllanthus alatas BI, Phyllanthus cantonensis Hornen, Phyllanthus echinatus Wall,

Phyllanthus leptocarpus Wight. Nama daerah Jawa: meniran, meniran merah,

  meniran hijau. Sunda: memeniran. Maluku: gosau cau, hsieh hsia chu (Dalimarta, 2000).

  Potensi herba meniran di Indonesia untuk dijadikan obat alternatif terhadap berbagai penyakit berbahaya seperti demam panas, diabetes, hepaptitis, dan jenis penyakit lainnya. Hal ini disebabkan karena herba meniran mudah ditemukan di Indonesia. Herba meniran telah digunakan masyarakat untuk pengobatan diabetes. Pada dosis 10 mg per 200 g BB ekstrak metanol herba meniran efektif menurunkan kadar glukosa darah tikus putih (Rattus norvegitus L.) diabetik (Fahri et al, 2005).

  Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa herba meniran memiliki efek imunostimulator dan aktivitas antiviral terhadap virus Hepatitis B dan virus Herpes Simpleks. Selain itu pada hewan uji mencit, ketika diberikan infusa herba meniran menunjukkan efek yang relatif tidak berbeda dengan kotrimoksazol dalam pengobatan infeksi kulit yang disebabkan oleh S. aureus. Masa penyembuhan hewan uji yang diinfeksi kulitnya dengan S. aureus adalah 22,10 hari dengan menggunakan ekstrak herba meniran dan 20,77 hari dengan kotrimoksazol (Praseno et al. 2001). Penelitian lain menyebutkan herba meniran mengandung senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas sebagai antimalaria. Pada dosis 800.128 mg/kg BB hewan uji optimal dalam menghambat pertumbuhan 6182 parasitemia tiap 10000 eritrosit dalam tubuh hewan uji (Latra, 2004).

  Gunawan (2008) yaitu mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa terpenoid dari herba meniran dengan menggunakan pelarut n-heksana terhadap bakteri dan Staphylococcus aureus. Hasil penelitian membuktikan bahwa

  Escerichia coli

  hasil ekstrak herba meniran mengandung dua senyawa terpenoid yaitu Phytadiene dan 1,2-seco-cladiellan yang aktif terhadap dua bakteri tersebut. Struktur

  Phytadiene dan 1,2-seco-cladiellan dapat dilihat dalam Gambar 2.2. OH (a) OCH 3 O O

  (b)

Gambar 2.2. Struktur senyawa herba meniran (a) Struktur senyawa Phytadiene;

  (b) Struktur senyawa 1,2-seco-cladiellan Senyawa tersebut terbentuk dari karvon, dimana karvon merupakan senyawa golongan monoterpenoid yang mengandung gugus keton (Gunawan et al, 2008). Senyawa tersebut yang diduga aktif terhadap beberapa bakteri patogen.

2.4.2. Kandungan Kimia

  Tumbuhan meniran mengandung lignin, alkaloid, dan bioflavonoid. Konstituens utama tumbuhan ini berupa lignan filantin (0.5%) dan hipifilantin (hingga 0.2%) (Daniel, 2006). Adapun struktur filantin dan hipofilantin dapat dilhat pada Gambar

  2.3 Selain senyawa filantin dan hipofilantin ada pula beberapa senyawa lainnya yang terkandung dalam herba meniran seperti farnesil farnesol, isolintetralin, niranthin, 5-demethoxy-niranthin dan dimethylenodioxy-niranthin (Maciel et al, 2007). Masing-masing struktur senyawa tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.4. CH O O 3 CH 3 H C H C O 3 3 O O

O CH

3 CH 3

  (a)

  (b)

Gambar 2.3 Struktur kimia (a) filantin dan (b) hipofilantin

  OH

  (a)

  OCOMe OCOMe OMe OMe O O

  (b) H H 3 C 3 C O O O O CH 3 CH O 3 O O O MeO OMe OMe O O OMe OMe OMe OMe OMe OMe

  (c) (d) HO OMe HO MeO OMe OMe OMe (e)

Gambar 2.4 Struktur kimia (a) farnesil farnesol; (b) isolintetralin; (c) niranthin;

  (d) 5-demethoxy-niranthin; (e) dimethylenodioxy-niranthin Penapisan fitokimia merupakan pemeriksaan kandungan kimia secara kualitatif untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam tumbuhan.

  Pemeriksaan diarahkan pada senyawa metabolit sekunder yang memiliki kasiat aktivitas antibakteri seperti alkaloid, flavonoid, terpen, tanin, saponin, glikosida dan antrakuinon.

2.4.2.1. Alkaloid

  Alkaloid adalah golongan senyawa yang bersifat basa, mengandung satu atau lebih atom nitrogen biasanya dalam gabungan berbentuk siklik, serta dapat dideteksi dengan cara pengendapatan menggunakan pereaksi Meyer, Dragendorff dan Bouchardat. Alkaloid sebagian besar berbentuk kristal padat dan sebagian kecil berupa cairan pada suhu kamar, memutar bidang polarisasi dan berasa pahit (Aprilya, 2012). Kebasaan pada alkaloid menyebabkan senyawa tersebut mudah mengalami dekomposisi terutama oleh panas dan sinar dengan adanya oksigen. Hasil dekomposisi seringkali berupa N-oksida (Lenny, 2006)

  Mekanisme kerja alkaloid sebagai antibakteri diprediksi melalui penghambatan sintesis dinding sel yang akan menyebabkan lisis pada sel sehingga sel akan mati (Lamothe et al, 2009). Adanya komponen asing dalam membran juga dapat menyebabkan pembentukan dinding sel akan terhalangi atau membentuk dinding sel yang rapuh, yang selanjutnya akan menyebabkan lisis dan kematian sel.

  2.4.2.2. Flavonoid

  Flavonoid merupakan senyawa yang umumnya terdapat pada tumbuhan berpembuluh. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Biasanya dalam menganalisis flavonoid, yang diperiksa adalah aglikon dalam ekstrak tumbuhan yang sudah dihidrolisis. Proses ekstraksi flavonoid dilakukan dengan etanol mendidih untuk menghindari oksidasi enzim. Pendekatan adanya senyawa ini dapat dilakukan dengan menambahkan besi (III) klorida 1% dalam air atau etanol yang menimbulkan warna hijau atau hitam kuat (Aprilya, 2012).

  2.4.2.3. Terpenoid

  Terpen adalah salah satu senyawa yang tersusun dari isopren CH =C(CH )-CH=CH

  2

  3

  2

  dan memiliki kerangka karbon yang dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan unit isoprene ini. Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa seperti monoterpen, dan seskuiterpen yang mudah menguap, triterpen dan sterol. Secara umum terpen larut dalam lemak dan terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya terpen diekstraksi dengan menggunakan eter dan kloroform. Senyawa ini biasanya diidentifikasi dengan reaksi Lieberman-Bouchardat (anhidrat asetat – H SO ) yang memberikan warna kehitaman (Aprilya, 2012).

  2

  4

  2.4.2.4. Tanin

  Tanin merupakan senyawa yang pada umumnya terdapat dalam tumbuhan berpembuluh, memiliki gugus fenol, rasa sepat dan mampu menyamak kulit karena kemampuannya menyambung silang protein. Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer yang tidak larut dalam air. Secara kimia tanin dikelompokan menjadi dua golongan yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis.

  Tanin terkondensasi secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa dimer dan kemudian oligomer yang lebih tinggi. Tanin terhidrolisis mengandung ikatan ester yang terhidrolisis jika dididihkan dalam asam klorida encer (Harborne, 1987). Tanin diidentifikasi dengan cara pengendapan menggunakan larutan gelatin 10%, campuran natrium klorida- gelatin, Besi (III) klorida 3%, dan timbal (II) asetat 25%.

  2.4.3.5. Saponin

  Saponin adalah glikosida triterpen yang merupakan senyawa aktif permukaan dan dapat menimbulkan busa jika dikocok dengan air. Pada konsentrasi yang rendah dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah pada tikus (Harborne, 1987). Identifikasi saponin dapat dilakukan dengan mengocok ekstrak bersama air hangat di dalam tabung reaksi dan akan timbul busa yang dapat bertahan lama, setelah penambahan HCl 2N busa tidak hilang.

2.5. Bakteri Patogen

2.5.1. Bakteri S. aureus

  

Staphylococcus adalah nama yang berasal dari istilah Yunani staphile (sekelompok

  anggur) dan kokkus (strawberry). S. aureus merupakan bakteri berbentuk bulat (coccus), yang bila diamati di bawah mikroskop tampak berpasangan, membentuk rantai pendek, atau membentuk kelompok yang tampak seperti tandan buah anggur.

  Beberapa strain dapat menghasilkan racun protein yang sangat tahan panas, yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Hampir semua orang pernah mengalami beberapa tipe infeksi S. aureus sepanjang hidupnya, bervariasi dalam beratnya mulai

  

dari keracunan makanan atau infeksi kulit ringan sampai infeksi berat yang

mengancam jiwa. Bakteri ini bersifat Gram-positif dan hampir setiap orang pernah

  mengalami infeksi yang disebabkan oleh spesies ini (Jawetz et al, 1996). S. aureus merupakan bakteri yang dapat menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan penyakit keracunan makanan (Ajizah et al, 2007).

  S. aureus (Gambar 2.5) adalah bakteri yang bersifat anaerobik fakultatif, termasuk dalam kelompok bakteri gram positif dan menghasilkan asam laktat. Sel S. aureus

  berbentuk bulat memiliki diameter sekitar 1 μm, berwarna kuning terang dan cenderung muncul bergerombol menyerupai seikat anggur atau tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur, tidak berspora, dan dapat menghemolisis sel darah.

Gambar 2.5. Bakteri S. aureus (Nancy, 2013)

  S. aureus mudah tumbuh dalam banyak pembenihan bakteriologik dalam o

  keadaan aerobik atau mikroaerobik, tumbuh optimum pada suhu 30-37

  C, pH optimum 7,0 -7,5 dan tumbuh baik dalam larutan NaCl 15%. S. aureus mengandung polisakarida dan protein yang bersifat antigen yang merupakan substansi penting di dalam struktur dinding sel. Peptodoglikan, suatu polimer polisakarida yang mengandung subunit-subunit yang terangkai, merupakan eksoskeleton yang kaku pada dinding sel. Peptodoglikan dihancurkan oleh asam kuat atau lisozim. Hal ini penting dalam patogenesis infeksi.Bakteri ini diisolasi dari lukabernanah, terutama dalam selaput hidung, folikel rambut, kulit dan perineum. Komponen utama dinding sel terdiri dari peptidoglikan, asam terikoat, dan protein (Jawetz et al, 1996).

  Kerusakan makanan oleh bakteri S. aureus saat ini dapat diamati pada berbagai produk makanan. Selain itu bakteri S. aureus adalah patogen manusia yang menyebabkan kerusakan makanan yang memnyebabkan penyakit di seluruh dunia (Elizaquı'vel dan Aznar, 2008). S. aureus adalah salah satu dari mikroba pada kulit manusia (Fujimoto et al, 2006). Pada kadar 89% dari wabah yang disebabkan oleh kontaminasi makanan oleh pekerja dibidang makanan, patogen dipindahkan ke makanan oleh tangan pekerja. Oleh karena itu, S. aureus adalah patogen penting yang harus dikontrol dalam industri makanan (Shen et al, 2010).

2.5.2. Bakteri Salmonella sp

  (Gambar 2.6) adalah bakteri pendek (1-

  Salmonella

  2 μm), Gram negatif, berbentuk batang yang tidak membentuk spora, biasanya motil dengan flagella peritrisous.

  

Salmonella adalah anaerob fakultatif yang secara biokimia dikarakterisasi dengan

  kemampuannya memfermentasi glukosa yang memproduksi asam dan gas, dan ketidakmampuannya menyerang laktosa dan sukrosa. Temperatur pertumbuhan

  o

  optimumnya 38 C (Forsythe and Hayes, 1998). Salmonella dapat tumbuh pada aktivitas air yang rendah (a w ≤ 0,93) yang responnya tergantung strain dan jenis pangan. Salmonella aktif tumbuh pada kisaran pH 3,6 – 9,5 dan optimal pada nilai pH mendekati normal (D’aoust, 2001).

Gambar 2.6. Bakteri Salmonella sp (James G, 2012)

  Salmonella sp terdapat pada bahan pangan mentah, seperti telur dan daging

  ayam mentah serta akan bereproduksi bila proses pamasakan tidak sempurna. Sakit yang diakibatkan oleh bakteri Salmonella sp dinamakan salmonellosis. Salmonella sp adalah penyebab utama dari penyakit yang disebarkan melalui makanan (foodborne

  

diseases ). Pada umumnya, serotipe Salmonella sp menyebabkan penyakit pada organ

  pencernaan. Orang yang mengalami salmonellosis dapat menunjukkan beberapa gejala seperti diare, keram perut, dan demam dalam waktu 8-72 jam setelah memakan makanan yang terkontaminasi oleh Salmonella sp. Gejala lainnya adalah demam, sakit kepala, mual dan muntah-muntah (Sorrels et al, 1970).

  Tiga serotipe utama dari jenis S. enterica adalah S. typhi, S. typhimurium, dan S.

  

enteritidis . S. typhi menyebabkan penyakit demam tifoid (Typhoid fever), karena

  invasi bakteri ke dalam pembuluh darah dan gastroenteritis, yang disebabkan oleh keracunan makanan/intoksikasi. Gejala demam tifus meliputi demam, mual-mual, muntah dan kematian. S. typhi memiliki keunikan hanya menyerang manusia, dan tidak ada inang lain. Infeksi Salmonella dapat berakibat fatal kepada bayi, balita, ibu hamil dan kandungannya serta orang lanjut usia. Hal ini disebabkan karena kekebalan tubuh mereka yang menurun. Kontaminasi Salmonella dapat dicegah dengan mencuci tangan dan menjaga kebersihan makanan yang dikonsumsi (Beuchat and Heaton, 1975).

  Cara penularan yang utama adalah dengan menelan bakteri dalam pangan yang

  melalui kontaminasi

  berasal dari pangan hewani yang terinfeksi. Pangan juga dapat

  

silang akibat higiene yang buruk. Penularan dari satu orang ke orang lain juga dapat

terjadi selama infeksi. Gejala keracunan: Pada kebanyakan orang yang terinfeksi

Salmonella sp , gejala yang terjadi adalah diare, kram perut, dan demam yang timbul 8-72

jam setelah mengkonsumsi pangan yang tercemar. Gejala lainnya adalah menggigil, sakit

kepala, mual, dan muntah. Gejala dapat berlangsung selama lebih dari 7 hari. Banyak

orang dapat pulih tanpa pengobatan, tetapi infeksi Salmonella ini juga dapat

membahayakan jiwa terutama pada anak-anak, orang lanjut usia, serta orang yang

mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh. Penanganan: Untuk pertolongan dapat

diberikan cairan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang. Lalu segera bawa korban

ke puskesmas atau rumah sakit terdekat (POM RI, 2009).

2.5.3. Bakteri E.coli

  

Escherichia coli umumnya merupakan flora normal saluran pencernaan manusia dan

  hewan. Sejak 1940 di Amerika Serikat telah ditemukan strain-strain E. coli yang tidak merupakan flora normal saluran pencernaan. Strain tersebut dapat menyebabkan diare pada bayi (Supardi dan Sukamto, 1999).

  E. coli (Gambar 2.7) mempunyai ukuran panjang 2-6 µm dan lebar 1,1-1,5

  µ m, tersusun tunggal, tidak membentuk spora, yang dapat meragikan laktosa dengan

  o o

  pembentukan asam dan gas pada suhu 37 C dan 44 C dalam waktu kurang dari 48 jam. E. coli merupakan bakteri Gram negatif, tidak berkapsul, umumnya mempunyai fibria dan bersifat motil (Supardi dan Sukamto, 1999).

Gambar 2.7 Bakteri E. coli (Drew F, 2010)

  Bakteri yang dapat menjadi penyebab infeksi salah satunya adalah bakteri ini mudah menyebar dengan cara mencemari air dan mengkontaminasi bahan-bahan yang bersentuhan dengannya. Suatu proses pengolahan biasanya E. coli mengkontaminasi alat-alat yang digunakan dalam industri pengolahan. Kontaminasi bakteri ini pada makanan atau alat-alat pengolahan merupakan suatu indikasi bahwa praktek sanitasi dalam suatu industri kurang baik menjadi penyebab E. coli juga pernah ditemukan pada bahan makanan asal hewan seperti daging sapi dan daging ayam segar (Faridz et al, 2007).

2.6. Mekanisme Kerja Antibakteri

  Kemampuan herba dalam menghambat pertumbuhan bakteri merupakan salah satu kriteria pemilihan senyawa antibakteri. Semakin kuat efek penghambatannya semakin efektif digunakan.

  Pengaruh komponen antibakteri terhadap sel bakteri dapat menyebabkan kerusakan sel yang yang berlanjut pada kematian. Kerusakan sel yang ditimbulkan komponen anti bakteri dapat bersifat mikrosidal (kerusakan bersifat tetap) atau mikro statik (kerusakan yang dapat pulih kembali). Suatu komponen akan bersifat mikrosidal atau mikrostaik tergantung pada konsentrasi komponen dan kultur yang digunakan (Adolf, 2006)

  Menurut Suprianto dalam Thorpe (1995), cara kerja senyawa antibakteri dipengaruhi oleh sifat-sifat zatnya antara lain polaritas dan keadaan molekul. Sifat hidrofilik sangat penting untuk menjamin bahwa antibakteri larut dalam air ketika pertumbuhan bakteri terjadi, sedangkan pada saat yang sama antibakteri bekerja pada membran sel yang hidrofobik sehingga membutuhkan sifat hidrofobik (Gambar 2.7).

Gambar 2.8 Perbandingan struktur dinding sel bakteri gram negatif dan positif

  (Suprianto, 2008) Bakteri gram positif dapat dihambat dengan menyerang polimer dinding sel bakteri yang sangat tebal, sedangkan pada bakteri gram negatif antibakteri cenderung melumpuhkan membran sel bakteri dan dan peptidoglikan yang tipis.

2.7. Penggabungan Matriks dengan Agen Antibakteri

  Penelitian mengenai film layak makan protein whey telah dilakukan sebelumnya oleh Seacheol et al, (2005) dengan menggabungkan sistem laktoperoksidase dengan film layak makan protein whey dengan mengikuti metode McHugh dan Krochta (1994).

  WPI dilarutkan ke dalam akuades dan ditambahkan gliserol dengan perbandingan tertentu, divakum untuk menghilangkan udara terlarut. Proses denaturasi dilakukan

  o

  dengan pemanasan campuran pada suhu 90 C selama 30 menit, dan dilanjutkan dengan pendinginan di atas es. Proses terakhir dilakukan dengan penambahan laktoperoksidase sebanyak 0,5% hingga 5,0% w/v. Selain itu penelitian juga dilakukan oleh Khotibul (2010) dengan mengikuti metode Galietta et al (1998).

  o

  Larutan film dipanaskan pada suhu 90 C dengan di atas hot plate pH diatur hingga

  o

  5,2. Selanjutnya pengeringan dilakukan pada oven vakum pada suhu 34 C selama 38 jam. Monir et al, (2011) mengikuti yang metode yang dilakukan oleh Kim dan Ustunol (2001) dengan sedikit modifikasi menjelaskan bahwa setelah pencampuran larutan film, diatur pH 8 dengan menggunakan NaOH kemudian dilakukan

  o

  pemanasan 90 C selama 30 menit sambil diaduk terus menerus, pada 5 menit terakhir ditambahkan agen antimikroba.