BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia (Trafficking) (Analisis Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Nomor 03/Pid.B/2012/Pn.Sbg Dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/Pn.Sbg)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah telah mengundangkan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai salah satu cara untuk memberikan perlindungan

  kepada anak-anak bangsa dari tindakan-tindakan pengekangan dan eksploitasi hak-hak anak. Konsideran Undang-undang Perlindungan Anak ini mempertimbangkan perlindungan terhadap anak adalah penting sebab anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan

  1 eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

  Perlindungan anak merupakan suatu upaya untuk mengadakan kondisi

  2

  setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Perlindungan anak menurut Pasal 3 Undang-undang Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

  Pentingnya diberikan perlindungan terhadap anak sesungguhnya menurut Undang-undang Perlindungan Anak agar setiap anak kelak mampu memikul 1 Diktum pada Konsideran hruf c UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (disingkat UUPA). 2 tanggung jawab, mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, maka melalui upaya perlindungan anak dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

  Kendatipun banyaknya ketentuan perundang-undangan yang menjadi landasan berpijak memberikan perlindungan terhadap anak, namun pada faktanya anak selalu cenderung dijadikan sebagai objek bagi oknum-oknum tertentu untuk dieksploitasi hak-haknya. Kondisi saat ini masih tetap menjadikan anak-anak sebagai objek perdagangan manusia (trafficking) oleh oknum-oknum tertentu.

  Ekspolitasi hak-hak anak tidak hanya dalam bentuk memperdagangkan anak, di sisi lain masalah anak tidak tersentuh perlindungannya antara lain anak jalanan (street children), anak yang bekerja (working children), pekerja anak (child labour), kekerasan terhadap anak, dan lain-lain. Anak sebagai korban tindak pidana sesungguhnya sebagai bentuk pelanggaran terhadap ketentuan

  3 perundang-undangan yang berlaku.

  Perdagangan manusia (trafficking) khususnya anak telah menjadi sebuah fenomena yang tiada habis-habisnya dicegah maupun diberantas di dunia ini.

  Banyak faktor yang kondusif menyebabkan oknum-oknum tertentu memperdagangkan anak demi kepentingannya semata, antara lain: karena kemiskinan, kebutuhan kerja, kurangnya pendidikan, migrasi, kondisi keluarga, pengaruh sosial budaya, kebutuhan para majikan, kemajuan bisnis pariwisata, dan 3 lain-lain. Semua faktor tersebut berpotensi membuka peluang terjadinya

  4 perdagangan manusia.

  Komposisi anak dalam konsep pembangunan bangsa sesungguhnya adalah sebagai generasi penerus, pelopor, dan pencetus ide-ide cemerlang bagi pembangunan dan keutuhan bangsa. Kondisi anak-anak bangsa hari ini penentu kondisi pembangunan bangsa di masa yang akan datang. Jika anak-anak tidak dididik, dibina, dibekali akhlak dan budi pekerti yang baik, maka kelangsungan bangsa di masa akan datang dapat dipastikan terancam oleh sumber daya manusia yang tidak berkualitas dan tidak bermoral.

  Tanggung jawab terhadap anak tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua, melainkan tanggung jawab bersama, baik orang tua, masyarakat, dan Pemerintah/Negara sama-sama memiliki komposisi tanggung jawab terhadap anak-anak bangsa agar tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang berpotensi dan berkualitas baik untuk dirinya maupun untuk keluarga, masyarakat, dan Negara.

  UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (disingkat UUPTPPO) diundangkan juga sebagai upaya untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak bangsa dari tindakan oknum-oknum tertentu yang memperdagangkan anak-anak untuk dieksploitasi hak-haknya. Perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak azasi manusia. 4

  Perdagangan manusia telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Sebenarnya menurut Rahmat Syafaat, perdagangan manusia telah berlangsung sejak dahulu kala dan hingga kini masih terus berlangsung bahkan semakin

  5 marak khususnya di Indonesia.

  Perdagangan manusia bertentangan dengan harkat dan martabat manusia serta melanggar HAM dalam norma dasar UUD 1945. Perdagangan manusia merupakan penghianatan terhadap penghormatan HAM sebagaimana yang dianut dalam norma dasar pada Bab X UUD 1945 dan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (disingkat UUHAM). Perdagangan manusia bukan merupakan pribadi bangsa, oleh karena itu, tindakan ini harus dicegah dan diberantas serta korban perdagangan manusia wajib mendapat perlindungan dari Pemerintah.

  Bentuk kejahatan ini sulit diberantas, oleh masyarakat internasional

  6

  menyebutnya sebagai bentuk perbudakan modern dan pelanggaran terhadap HAM. Kejahatan ini terus-menerus berkembang baik dalam kapasitas nasional

  7

  maupun transnasional. Sasaran kejahatan perdagangan orang memiliki kecenderungan (dominan) korbannya adalah perempuan dan anak-anak (laki-laki dan/atau perempuan).

  5 Rachmat Syafaat, Dagang Manusi, Kajian Trafiking Terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur, Yogjakarta, Lappera Pustaka Utama, 2003, hal. 32. 6 7 Ibid., hal. 1.

  Modus pelaku umumnya diawali dengan penipuan terhadap korban kemudian korban tanpa sepengetahuannya khusus untuk anak perempuan dijual atau dieksploitasi baik untuk eksploitasi seksual maupun bentuk eksploitasi lainnya misalnya untuk pekerja anak (child labour), dalam bentuk perbudakan, penjualan organ tubuh, bahkan penjualan bayi. Tujuan pelaku tidak lain hanya

  8 untuk kepentingan komersil.

  Korban perdagangan bisa pula terjadi pada anak laki-laki selain tujuan untuk pekerja anak (child labour), anak laki-laki dijual pada laki-laki dewasa yang biasanya untuk memperkuat ilmu tertentu karena tidak diperbolehkan melakukan perkawinan atau hubungan seksual dengan perempuan yang dalam istilah bahasa

  9 jawa disebut warok.

  Modus pelaku perdagangan orang dapat berupa penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri dengan iming-iming untuk mempekerjakan seseorang dengan layak, sesuai prosedur seolah-olah resmi, dan memperoleh penghasilan yang besar. Namun pada kenyataan para pencari kerja harus menjalani proses hukum di negara lain oleh karena tidak memenuhi syarat-syarat prosedural yang resmi. Tindakan ini mengarah pada perbuatan eksploitasi seksual dan perdagangan orang.

  Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mengatakan manisnya tawaran kerja ke luar negeri dengan pola perekrutan dengan bujuk rayu oleh beberapa orang merupakan bagian dari 8 Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2010,

  10

  pola tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Menurut hukum pidana tindakan

  11 demikian disebut sebagai perbuatan penyertaan (deelneming).

  Seperti pada kasus-kasus yang sedang ditangani Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Poldasu) saat ini berjumlah 12 (dua belas) kasus perdagangan orang, dilakukan oknum adalah orang perseorangan yang pada umumnya modus

  12

  operandinya adalah: 1. Menjual korban dan menjadi pelayan seks komersil di Malaysia.

  2. Melakukan tindak pidana perdagangan orang.

  3. Membawa WNI atau perseorangan ke luar negeri.

  4. Perseorangan menempatkan TKI ke luar negeri tanpa izin atau tidak memiliki dokumen resmi dari pihak yang berwajib.

  Salah satu kasus tersebut dengan nomor LP/90/III/2010/Dit Reskrim tanggal 15 Maret 2010 atas nama tersangka Greas Diana Panggabean dan korban Jusraini Tarihoran baru-baru ini masih dalam proses penyidikan Poldasu. Selain itu di Pengadilan Negeri Sibolga melalui Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG diputuskan menyangkut tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan secara bersama-sama (penyertaan) dengan modus untuk mempekerjakan seseorang yang bernama Merlina Hasugian (saksi korban) ke Malaysia namun ternyata bertujuan untuk eksploitasi seksual.

  10 http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/7579-kepala-bnp2tki-dukung- penghentian-penempatan-tki-ke-malaysia.html, diakses tanggal 20 Maret 2013. Ditulis dalam kolom berita BNP2TKI. 11 EY. Kanter dan SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta, Storia Grafika, 2002, hal. 336. 12

  Kasus ini tindak pidana perdagangan orang dalam Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG menarik untuk diteliti berkenaan dengan korbannya sama tetapi pelakunya berbeda yang menurut Pasal 55 sampai dengan Pasal 60 KUH Pidana disebut delik penyertaan yaitu turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum.

  Kemudian dalam Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG dikatakan menarik karena tindak pidana perdagangan orang dilakukan sebagai delik percobaan. Ketentuan delik percobaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (2) KUH Pidana, maksimum pidana

  13 pokok yang dijatuhkan kepada pelaku dikurangi dengan sepertiga.

  Tindak pidana percobaan perdagangan orang ditentukan dalam Pasal 10 UUPTPPO diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Tetapi jika diperhatikan isi kedua putusan tersebut di atas, sama-sama diputuskan pidana penjara kepada kedua terdakwa yakni 3 (tiga) tahun dikurangi masa tahanan dan denda sebesar Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) ditambah 3 (tiga) bulan

  14 kurungan.

  Menurut pengakuan saksi di persidangan, korban masih berumur 18 (delapan belas) tahun. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Perlindungan Anak yang dimaksud anak dalam undang-undang ini adalah “Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang 13 14 EY. Kanter dan SR. Sianturi, Op. cit., hal. 316.

  Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG atas nama terpidana Adanin Marbun dan masih dalam kandungan”. Berarti dalam kasus di atas, korban masih tergolong usia anak-anak.

  Berdasarkan pengakuan saksi di persidangan, diketahui bahwa korban dibawa oleh pelaku dari atau sepulang sekolah di Sipea-Pea menuju Kota Sibolga untuk kemudian berangkat ke daerah Tanjung Balai yang akan transit ke Malaysia. Sementara kedua orang tua korban sama sekali tidak mengetahui keberadaan anaknya sejak sepulang sekolah.

  Terbongkarnya kasus perdagangan anak ini terungkap ketika supir yang membawa korban dan beberapa orang pelaku (Adanin Marbun dan Tamba Tua Pasaribu alias Janggual) meminta ongkos bus yang ditumpangi. Tetapi kedua pelaku yang sudah terpidana ini tidak memiliki uang melainkan uang atau ongkos bus tersebut nantinya akan dibayar oleh yang bernama Indah (masih dalam DPO Polisi) dan Indah tidak mau membayar ongkos bus tersebut setelah tiba di Tanjung Balai. Terjadilah pertengkaran mulut hingga supir bus tersebut menghubungi Polsek Datuk Banjar di Tanjung Balai. Tersangka yang bernama Indah melarikan diri seketika supir bus menghubungi pihak Polsek Datuk Banjar di Tanjung Balai hingga kini masih dalam DPO Polisi.

  Tindak pidana perdagangan manusia dalam kasus ini merupakan delik percobaan. Syarat dikatakan delik percobaan dalam Pasal 53 ayat (1) KUH Pidana adalah: dilakukan dengan niat (means rea), adanya permulaan pelaksanaan tindakan, tindakannya belum selesai, terhalanginya tindakan tersebut karena di luar kehendak para pelaku artinya bukan karena diurungkan oleh pelaku melainkan tertangkap tangan atau karena pihak lain mengetahui kejadian tersebut lalu dilakukan pencegahan.

  Dalam kasus perdagangan anak tersebut di atas, ketentuan sanksi yang ditentukan dalam kedua Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG merupakan bentuk pemberian perlindungan terhadap anak melalui proses peradilan pidana. Pada prinsipnya perlindungan anak tidak hanya mesti dilakukan melalui upaya proses hukum sebab proses hukum pidana merupakan langkah refresif atau sebagai upaya pemberantasan.

  Tetapi yang lebih penting dari itu adalah upaya yang dilakukan melalui pencegahan baik pencegahan melalui preemtif maupun preventif.

  Tanggung jawab perlindungan anak bukan hanya menjadi kewajiban negara tetapi menjadi tanggung jawab bersama baik diri sendiri (individual), keluarga, masyarakat, maupaun Pemerintah/Negara. Perlindungan anak dalam pelaksanaannya diperlukan dukungan positif dan partisipasi aktif dari semua pihak dalam segala aspek kehidupan, termasuk dari budaya dan agama. Betapapun canggihnya aturan dan perundangan dan mantapnya aktivitas penegak hukum, jika tidak ditopang dengan nilai-nilai budaya dan agama, tujuan pembinaan dan

  15 perlindungan terhadap anak akan sulit dicapai.

  Berdasarkan uraian-uraian peristiwa-peristiwa penting dalam hubungannya dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan tindak pidana perdagangan manusia khususnya perdagangan anak sebagaimana diuraikan di atas, menarik untuk dilakukan penelitian tentang, “Perlindungan Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia (Trafficking) (Analisis Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Nomor 03/Pid.B/2012/PN.Sbg dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.Sbg)” sebagai judul dalam skripsi ini.

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini adalah:

  1. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap perlindungan anak sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia?

  2. Bagaimanakah penerapan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia dalam Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG?

  3. Apa upaya yang dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia dalam Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG?

  C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dilakukan penelitian ini adalah:

  1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan hukum terhadap perlindungan anak sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia.

  2. Untuk mengetahui penerapan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia dalam Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG.

  3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia dalam Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG.

  Sedangkan manfaat dari penelitian ini secara teoritis dan praktis sebagai berikut:

  1. Secara teoritis bermanfaat bagi akademisi sebagai bahan kajian penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan bermanfaat bagi masyarakat umum khususnya dalam memahami perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia.

  2. Secara praktis bermanfaat bagi aparatur penegak hukum antara lain: pihak Kepolisian, pihak Kejaksaan, pihak Kehakiman, para Advokat/Pengacara, Lembaga Pemasyarakatan, serta pihak Keimigrasian, dan lain-lain.

D. Keaslian Penelitian

  Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap judul dan masalah yang sama dalam skripsi ini, maka peneliti melakukan pemeriksaan judul skripsi yang sama dengan, ”Analisis Perlindungan Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia (Trafficking)”.

  Ternyata berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tidak ditemukan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Sebab penelitian dalam skripsi ini memfokuskan kajiannya berdasarkan Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan

  Terhadap kedua putusan tersebut belum belum pernah dilakukan penelitian oleh peneliti lain dalam topik dan permasalahan yang sama. Dengan demikian, maka penelitian ini dapat dikatakan memiliki keaslian dan jauh dari unsur plagiat serta sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yakni kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta sesuai dengan prosedur menemukan kebenaran ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Perlindungan Anak

  Pengertian perlindungan anak, menurut Eugen Ehrlich, merupakan perlindungan dalam bentuk hukum tertulis maupun tidak tertulis yang menjamin hak-hak terhadap anak benar-benar dapat diberikan hak dan kewajibannya sebagai

  16

  anak. Menurut Bismar Siregar, perlindungan anak lebih dipusatkan pada pemberian hak-hak anak yang diatur oleh hukum dan bukan kewajiban, mengingat

  17 secara hukum bahwa anak belum bisa dibebani kewajiban.

  Perlindungan anak dapat diartikan secara luas dan sempit. Secara luas diartikan segala aturan hidup yang memberi perlindungan kepada anak atau yang belum dewasa untuk berkembang. Sedangkan dalam pengertian sempit diartikan sebagai perlindungan yang dimaksud dalam ketentuan yuridis saja.

  Pengertian perlindungan anak dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Perlindungan Anak sesungguhnya dapat diartikan secara sempit dan secara luas, 16 17 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta, Akademika, 1985, hal. 53.

  sebab Undang-undang Perlindungan Anak di samping menentukan perlindungan secara yuridis juga menentukan upaya lain di luar ketentuan yuridis. Perlindungan anak diartikan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Perlindungan Anak menentukan: “Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

  Negara atau Pemerintah dan masyarakat berkewajiban untuk bertanggung jawab memberikan dukungan, sarana, dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Tujuannya adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari

  18 kekerasan dan diskriminasi.

  Hal ini berarti setiap anak selama dalam pengasuhan orang tuanya, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab hak keperdataan anak di bidang pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan dari bentuk: diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman,

  19 kekerasan, dan penganiayaan, dan ketidakadilan serta perlakuan salah lainnya.

  Termasuk hak dalam memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, dan lain-lain.

  Konsep perlindungan terhadap hak-hak anak suatu bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia khususnya hak-hak setiap anak tanpa membedakan 18 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Tawaran Gagasan Radikal Anak Tanpa suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status anak, urutan kelahiran anak, serta kondisi fisik atau mental, memberikan dukungan

  20 sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

  Undang-undang Perlindungan Anak menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain secara hukum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. Menjamin anak untuk memepergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.

2. Pengertian Batasan Usia Anak

  Secara umum pengertian anak adalah anak yang masih belum mencapai usia dewasa. Ketentuan mengenai usia dewasa alam berbagai peraturan perundang-undangan berbeda-beda batasannya. Menurut Pasal 330 KUH Perdata, orang yang dikategorikan belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin.

  Pengertian anak dalam Pasal 47 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menegaskan pengertian anak yakni belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, dan ada di

  21 bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

  Dalam Convention on the rights of the child tahun 1989 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres No.39 Tahun 1990 ditegaskan usia anak adalah orang yang berusia 18 (delapan belas) tahun ke 20 Muladi, Demokrasi HAM dan Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo, bawah. Sama seperti batasan yang diberikan oleh United Nation Childern’s Fund (UNICEF) yang membatasai usia sebagai penduduk yang berusia antara 0 (nol)

  22 sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.

  Batasan usia disebut sebagai anak pada Pasal 47 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sama dengan batasan usia yang disebut dalam Pasal 1 angka 5 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, ditegaskan usia anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kemudian dalam Pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga disebutkan batasan yang sama yakni seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

  Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang dikemukakan di atas, ternyata batas umur anak yang belum dewasa itu ada dua batasan yaitu 18 (delapan belas) tahun dan 21 (dua puluh satu) tahun. Hal itu tergantung kepada tindakan/perbuatan hukum yang terjadi pada diri anak. Batas usia anak pada hakekatnya mempunyai berbagai macam bentuk dan spesifikasi tertentu dengan melakukan pengelompokan batas usia seorang anak tergantung dari sudut kepentingan seorang anak.

  Usia yang dikategorikan sebagai anak sehubungan dengan pemberian perlindungan terhadap anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

  23

  tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ruth Rosenberg mendefenisikan usia anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan 22

  24

  belas) tahun. Dengan demikian, anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

  Batasan usia anak yang terpenting dalam Undang-undang Perlindungan Anak adalah seseorang dalam usia anak dalam batas usia seorang anak, yaitu 0 (nol) tahun sampai dengan batas atas 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Hak-hak anak adalah untuk dilindungi mulai sejak berada dalam kandungan, sampai dewasa. Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang

  25 mengadakan kondisi setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.

  Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah dideklarasikan melalui Sidang Umum PBB pada tanggal 26 Januari 1990 dan Pemerintah Indonesia telah mengesahkannya melalui Keppres No.36 Tahun 1990 menetapkan bagi semua anak tanpa pengecualian apapun memiliki hak yang tercantum dalam deklarasi, tanpa perbedaan atau diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bangsa, agama, paham politik lainnya, asal kebangsaan atau asal sosial, kekayaan, kelahiran dan status dari dirinya sendiri atau dari keluarganya.

  Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) tersebut juga diberikan batasan usia anak adalah semua orang yang di bawah umur 18 (delapan belas) tahun keduali

  26

  undang-undang menetapkan kedewasaan ditetapkan lebih awal. Dari pengertian basatan anak seperti ini dapat dipahami bahwa usia anak tidak hanya berfokus

24 Ruth Rosenberg, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, Jakarta, USAID, 2003, hal. 14-15.

  25 pada satu undang-undang saja tetapi tergantung pada undang-undang apa yang memberi batasan usia anak sesuai dengan tingkat kasus yang dihadapi anak.

  Perlindungan anak melingkupi segenap hak yang secara tradisional melekat dan dimiliki anak sebagai manusia di mana hak-hak anak sebagai hak anak memerlukan perlakuan dan perlindungan khusus. Hak-hak tersebut antara lain: mendapatkan perlindungan khusus jika anak mengalami konflik dengan hukum; hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika anak mengalami eksploitasi sebagai pekerja anak; hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika anak mengalami eksploitasi dalam penyalahgunaan obat-obatan; hak untuk mendapatkan perlindungan hukum jika anak mengalami eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual; hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dari

  

27

penculikan, penjualan, dan perdagangan anak-anak.

3. Pengertian Anak Sebagai Korban

  Pengertian anak sebagai korban adalah anak-anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang dari tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia serta melanggar HAM, sesuai dengan berlakunya UUPTPPO. Merupakan suatu kewajiban negara untuk memberikan perlindungan hukum

  28 terhadap anak sebagai korban tindak pidana khususnya perdagangan orang.

  Anak sebagai korban dalam kasus tindak pidana berkenaan dengan tindak pidana perdagangan manusia, dapat dipastikan bahwa kondisi anak sebagai 27 Irwanto, Fentiny Nugroho, dan Johanna Debora Imelda, Perdagangan Anak di

  Indonesia, Jakarta, Kantor Perburuhan Internasional bekerja sama dengan Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-UI, 2001, hal. 29-40. 28 Suradji, Masalah Perdagangan Anak dan Wanita Berdasarkan Protokol Konvensi

  korban tersebut dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

  Anak harus dilindungi juga karena sudah fitrahnya anak-anak memperoleh perlindungan khusus dalam posisinya sebagai korban tindak pidana. Korban anak perlu mendapatkan perhatian dan perlindungan khusus terutama penderitaan dan kedukaan yang harus dialami korban karena kerentanannya anak jadi korban baik fisik, maupun psikis.

  Dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Anak menentukan kepada setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Kemudian Pasal 18 Undang- undang Perlindungan Anak menentukan setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

  Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Anak sebagai korban dalam hal ini menurut ketentuan Pasal 59 Undang-undang Perlindungan Anak wajib diberikan perlindungan khusus.

  Khusus anak sebagai korban tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam

  Pasal 64 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Anak wajib diberikan perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak tersebut yang dilaksanakan melalui:

  a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;

  b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

  Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. Dengan demikian korban juga termasuk semua orang

  29

  khususnya anak-anak. Anak sebagai korban diberikan hak dalam hal penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi dan/atau korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak

  30 dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas.

  Hak bagi anak sebagai korban dalam sidang tindak pidana perdagangan orang untuk memeriksa saksi dan/atau korban anak dilakukan dalam sidang tertutup. Saksi dan/atau korban anak wajib didampingi orang tua, wali, orang tua 29

  31

  asuh, advokat, atau pendamping lainnya. Pemeriksaaan terhadap saksi dan/atau korban anak dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.

4. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Manusia

  Pengertian dalam Pasal 1 angka 1 UUPTPPO didefenisikan tentang perdagangan orang yaitu: Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan ekspolitasi

  32 atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

  Tindak pidana perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam

33 UUPTPPO. Menjual atau menculik untuk diri sendiri atau untuk dijual kepada

  34 orang lain masuk dalam pengertian perdagangan manusia.

  Unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang yang ditentukan dalam UUPTPPO antara lain:

  a. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPTPPO adalah setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, 31 penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi 32 Pasal 39 UUPTPPO.

  Bandingkan dengan Farhana, Op. cit., hal. 20. Farhana mendasarkan pengertian tindak pidana perdagangan manusia pada pengertian menurut Protokol PBB. 33 rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetuujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia.

  b. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 3 UUPTPPO adalah setiap orang yang memasukan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilyah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain.

  c. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 4 UUPTPPO adalah setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia.

  d. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 5 UUPTPPO adalah setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi.

  e. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 6 UUPTPPO adalah setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi.

  f. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 8 UUPTPPO adalah setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, pasal 4, pasal 5, dan Pasal 6 UUPTPPO.

  g. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 9 UUPTPPO adalah setiap orang yang berusaha menggerakan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu telah tidak terjadi.

  h. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 10 UUPTPPO adalah setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang. i. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 11

  UUPTPPO adalah setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang. j. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 12

  UUPTPPO adalah setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang, dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang. k. Tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam Pasal 13

  UUPTPPO adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang- orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

  Korban tindak pidana perdagangan orang adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. Chairul Bariah Mozasa mengatakan tindak pidan perdagangan manusia mengandung unsur-unsur: rekrutmen dan atau transportasi manusia, diperuntukkan bekerja jasmani dan atau

  35 rohani, dan untuk keuntungan bagi pihak yang memperdagangkan.

  Tindak pidana perdagangan orang dilakukan dengan tujuan eksploitasi yaitu tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun

  36 immateriil.

  Termasuk untuk ekspolitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. Rangkaian tindak pidana perdagangan orang dilakukan melalui perekrutan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan

  35 seseorang dari keluarga atau komunitasnya. Pengiriman melalui tindakan

  37 memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat lain.

F. Metode Penelitian

  1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

  Sifat penelitian adalah deskriptif analitis yaitu dengan menggambarkan pelaksanaan berdasarkan putusan pengadilan secara analisis terhadap norma- norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan UU No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

  Diuraikan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara pasal-pasal terkait yang menyangkut masalah perlindungan anak sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia.

  2. Sumber Data Data pokok yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari: a. Bahan hukum primer, yaitu: UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

  Manusia, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

  Saksi dan Korban, serta Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Pencegahan Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak Sumatera Utara, serta Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG.

  b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah-makalah seminar, artikel, jurnal, surat kabar, makalah lepas di internet maupun karya-karya tulisan yang relevan dengan permasalahan.

  c. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder misalnya Kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Inggris.

  2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (library research) dan studi terhadap dokumen terhadap putusan di Kantor Pengadilan Negeri Sibolga dan melakukan identifikasi terhadap data. Sehingga data yang dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan masalah perlindungan anak sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia. Kemudian dilakukan sistematisasi sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan tersebut.

  3. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yakni memilih norma- norma dan kaidah-kaidah hukum serta pasal-pasal terpenting dalam perundang- undangan dimaksud di atas, kemudian menjelaskannya, menguraikannya, memaparkannya dalam bentuk uraian yang sistematis dari data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Masing-masing data dijelaskan hubungannya antara satu sama lainnya, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan.

G. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan dalam penelitian ini, dibagi dalam 5 (lima) bab yaitu: Bab pertama tentang Pendahuluan, di mana bahwa dalam bab ini yang dibahas adalah mengenai hal-hal berkaitan dengan latar belakang, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

  Bab kedua mengenai Pengaturan Tentang Perlindungan Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Manusia. Dalam bab ini dibahas sehubungan dengan: pengaturan perlindungan anak menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pengaturan perlindungan anak menurut UU Nomor

  23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pengaturan perlindungan anak menurut UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan pengaturan menurut Perda Nomor 6 Tahun 2004 tentang Pencegahan Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak Sumatera Utara.

  Bab ketiga tentang penerapan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia dalam Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG. Dalam bab ini dibahas sehubungan dengan: prinsip-prinsip yang melandasi perlindungan terhadap korban, penerapan perlindungan anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang menurut Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG dengan menggambarkan: kasus posisi, kronologis kasus, dan sanksinya, serta dilakukan analisis terhadap kasus berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

  Bab keempat tentang upaya yang dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia dalam Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG. Dalam bab ini dibahas sehubungan dengan: faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang dan upaya yang dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia dalam Putusan Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG.

  Bab kelima kesimpulan dan saran sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan sedangkan saran sebagai masukan terhadap permasalahan.

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi di Pengadilan Negeri Medan)

1 78 149

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 167/Pid.B/2003/Pn.Dps)

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai

0 1 34

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Perdagangan Orang Menurut Konvensi Hak Anak 1989

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

0 1 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

0 0 46

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hukum Tidak Tertulis Sebagai Sumber Hukum untuk Putusan Pengadilan Perkara Pidana

0 0 109