ANALISIS PEMASARAN BOKAR di kecamatan

ANALISIS PEMASARAN BOKAR

Suatu Kajian Terhadap Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani

Karet Melalui Pembenahan Tataniaga Bokar di Provinsi Jambi.

ANALISIS PEMASARAN BOKAR Suatu Kajian Terhadap

Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani karet Melalui Pembenahan Tataniaga Bokar di Provinsi Jambi

Oleh

Zulkifli Alamsyah 1 , D. Napitupulu 1 , Elwamendri 1 dan Suprayitno 2

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perekonomian Provinsi Jambi hingga saat ini masih didominasi oleh sektor pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDRB Provinsi Jambi masih terbesar dibandingkan sektor-sektor ekonomi lainnya. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Provinsi Jambi tidak mengalami perubahan yang signifikan, yaitu 28.59% pada tahun 1994 menjadi 27,28% pada tahun 2004.

Sub sektor yang berperan dan memberikan kontribusi terbesar pada sektor pertanian adalah sub sektor perkebunan yang pada tahun 2004 tercatat memberikan kontribusi sebesar 44.63% atau 12.64% terhadap PDRB provinsi Jambi. Berdasarkan identifikasi produk unggulan propinsi Jambi, dua komoditi unggulan pada sub sektor perkebunan adalah karet dan kelapa sawit. Kedua komoditi ini terus menjadi perhatian pemerintah untuk dikembangkan dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Tanaman karet sudah diusahakan oleh masyarakat (petani) Jambi secara turun temurun jauh sebelum pembangunan jangka panjang tahap pertama dilaksanakan. Oleh karena itu, usahatani karet sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Jambi. Hingga tahun 2004, perkebunan karet masih menyerap 425.282 orang tenaga kerja dengan jumlah rumah tangga petani sebanyak 216.724 keluarga. Selain iitu, komoditi karet berperan sebagai penyumbang yang cukup berarti terhadap perekonomian Provinsi Jambi. Selama tiga tahun terakhir, terdapat adanya kecendrungan peningkatan ekspor komoditi ini, baik dalam volume maupun nilainya. Pada tahun 2002, volume ekspor tercatat sebesar 82.259 ton dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 125.974 ton. Demikian pula, nilai ekspor meningkat dari US$.56.924.000 pada tahun 2002 menjadi US$.141.304.352 pada tahun 2004.

Meskipun peran komoditi karet cukup berarti dalam perekonomi Provinsi Jambi, akan tetapi perannya terhadap peningkatan kesejahteraan petani belum signifikan. Secara internal, ditemukan berbagai permasalahan dalam pengembangan perkebunan karet rakyat, salah satu diantaranya adalah masalah pemasaran bokar (bahan olah karet) yang dihasilkan petani.

Pada dasarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya guna melindungi petani karet agar berada pada posisi yang menguntungkan dalam pemasaran bokar yang dihasilkan. Pembentukan pasar lelang karet pada beberapa sentra produksi karet rakyat merupakan contoh nyata dari campur tangan pemerintah untuk memberikan kesempatan

1 Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Jambi 2 Staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jambi 1 Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Jambi 2 Staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jambi

Pada sisi lain, perkembangan tatanan perdagangan karet alam dunia yang bergerak dengan cepat khususnya sejak ditanda-tanganinya kesepakatan tripartite antara Indonesia, Thailand dan Malaysia di Bali pada Tahun 2002 membuka peluang baru bagi petani karet untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik dari usahatani karet alam. Kesepakatan tripartite yang pada hakekatnya adalah mengurangi kuantitas penawaran karet alam dipasar dunia telah berhasil menginisiasi kenaikan harga karet alam dari US $ 0,65 pada tahun 2002 hingga berada pada kisaran US $. 2.2 per kilo gram pada akhir bulan Mei tahun 2006 di pasar komoditi Singapura. Kenaikan harga karet dipasar luar negeri yang sangat signifikan tersebut secara nyata juga berimbas pada kenaikan harga karet yang diterima petani produsen di pasar dalam negeri.

Sinyal peluang perbaikan harga karet alam ditingkat petani juga diberikan oleh PT Jambi Waras yang menguasai setidaknya 50% dari total pangsa pasar bokar di Provinsi Jambi. Hasil pra-survei menunjukkan bahwa industri karet remah PT Jambi Waras telah membuka peluang baru untuk memperpendek saluran pemasaran bokar dengan mengikat kerjasama pemasaran dengan kelompok tani di Provinsi Jambi. Hasil temuan sementara menunjukkan bahwa dengan pola kemitraan tersebut ternyata mampu memberikan harga yang lebih baik kepada petani anggota koperasi dengan harga rata- rata yang lebih tinggi sekitar 14.2 sampai dengan 17.6 persen dibandingkan harga lainnya ditingkat petani.

Peluang pasar bokar yang dihasilkan petani juga semakin besar dengan sistem future market yang dianut oleh eksportir karet, yaitu dengan melakukan kontrak perdagangan dengan konsumen di pasar luar negeri dalam jangka waktu 3 sampai 6 bulan. Akibat langsung dari sistem perdagangan tersebut adalah timbulnya suatu keharusan bagi eksportir untuk menyediakan stok minimal guna menjamin kelancaran pasokan sesuai dengan kontrak yang telah disepakati. Pemahaman implisit dari fenomena ini adalah munculnya perilaku persaingan diantara eksportir untuk memperoleh bahan baku yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan harga karet ditingkat petani.

Peluang lain yang dapat memperbaiki penerimaan petani karet di Provinsi Jambi adalah perilaku industri yang selalu berupaya meningkatkan efisiensi proses produksi yang dilakukan oleh industri karet remah serta penghargaan terhadap mutu yang semakin meningkat. Industri karet remah pada dasarnya lebih menghendaki bahan baku bokar yang berkualitas baik sebab dengan demikian perusahaan akan dapat mengurangi biaya produksi yang pada gilirannya juga diharapkan dapat berdampak pada kenaikan harga karet di tingkat petani.

1.2. Permasalahan

Peluang-peluang pasar seperti diuraikan diatas sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan oleh sebagian besar petani. Panjangnya rantai pemasaran, terutama ditemukan pada petani atau buruh tani yang memiliki produksi bokar yang relatif kecil. Dalam hal ini, sebagian besar petani menjual produksinya kepada pedagang pengumpul desa yang selanjutnya bergerak melalui beberapa lembaga pedagang perantara untuk sampai kepada industri karet remah. Dengan panjangnya rantai pemasaran ini maka margin pemasaran akan makin besar dan bagian harga yang diterima petani (farmer’s share) menjadi makin kecil.

Fenomena lain yang cukup unik ditemukan dalam pemasaran bokar adalah adanya keterikatan yang kuat antara petani dengan pedagang pengumpul tingkat desa yang sering bertindak sebagai pengijon (tengkulak). Namun demikian, keberadaan pengijon bagi petani kecil (buruh tani) merupakan “dewa penyelamat” yang sewaktu- Fenomena lain yang cukup unik ditemukan dalam pemasaran bokar adalah adanya keterikatan yang kuat antara petani dengan pedagang pengumpul tingkat desa yang sering bertindak sebagai pengijon (tengkulak). Namun demikian, keberadaan pengijon bagi petani kecil (buruh tani) merupakan “dewa penyelamat” yang sewaktu-

Disamping fenomena diatas, permasalahan lain yang ditemukan dalam pemasaran karet rakyat adalah tidak transparannya penetapan harga bokar ditingkat petani. Hal ini disebabkan oleh lemahnya posisi tawar petani akibat ketidakmampuan petani memahami cara penghitungan harga bokar berdasarkan KKK (kadar karet kering) dan kadar kotoran. Akibatnya harga bokar cenderung ditetapkan sepihak oleh pembeli tanpa menjelaskan dasar penetapan harga. Hal ini tidak terlepas dari rendahnya kualitas bokar yang dihasilkan petani.

Permasalahan lain yang juga perlu mendapat perhatian serius dalam pemasaran karet rakyat adalah belum mampunya pasar lelang karet meningkatkan posisi tawar petani dalam pemasaran karet yang hingga saat ini berada pada posisi price taker. Hal ini disebabkan oleh adanya praktek olygopsoni akibat kecilnya volume karet yang masuk pada pasar lelang karet yaitu berkisar antara 100-120 ton sehingga tidak menarik pabrikan untuk ikut dan bersaing di pasar lelang. Hal tersebut pada akhirnya menyebabkan perilaku persaingan yang diharapkan menjadi warna khas pada pasar lelang karet menjadi tidak muncul.

Kondisi ini tentunya tidak dapat dibiarkan apabila pemerintah daerah ingin mengembalikan kejayaan karet di Provinsi Jambi karena kejayaan tersebut hanya akan dapat diwujudkan apabila petani sebagai produsen karet sejahtera atau sekurang- kurangnya memperoleh pendapatan yang layak untuk kehidupan keluarganya.

1.3. Tujuan

Sesuai dengan latar belakang dan permasalahan yang disajikan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

a. Mempelajari sistem pemasaran karet rakyat di Provinsi Jambi.

b. Menganalisis Margin pemasaran dan bagian harga yang diterima petani pada berbagai saluran pemasaran bokar yang ada di Provinsi Jambi.

c. Mengkaji peluang peningkatan pendapatan petani karet rakyat melalui perbaikan sistem pemasaran karet rakyat di Provinsi Jambi.

d. Mengkaji peluang peningkatan pendapatan petani karet rakyat melalui perbaikan kualitas karet rakyat di Provinsi Jambi.

1.4. Output

Output (luaran) yang dihasilkan dari penelitian ini adalah:

a. Diperolehnya informasi dan pemahaman tentang perilaku penanganan pasca panen, sistem pemasaran bokar dan berbagai variabel yang berkaitan dengan efisiensi pemasaran bokar di Provinsi Jambi,

b. Rekomendasi tentang upaya peningkatan efisiensi pemasaran bokar di Provinsi Jambi.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah Provinsi Jambi dalam merumuskan kebijakan pemasaran bokar dalam upaya meningkatkan pendapatan petani karet rakyat di Provinsi Jambi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kualitas Bokar dan Pendapatan Petani Karet

Bahan olah karet rakyat (bokar) merupakan bahan baku industri karet remah. Teknologi yang dirancang untuk industri karet remah memang ditujukan untuk mengolah bokar berkualitas rendah. Dalam rangkaian mesin yang digunakan terdapat satu alat yang disebut hammer mill yang berfungsi untuk menghancurkan, mencincang dan memilah kotoran pada bokar. Dalam kondisi demikian, permintaan bokar untuk industri bukan berupa sit (baik angin atau asap) dan slab giling, tetapi slab tebal yang digumpalkan dengan asam semut.

Untuk menghadapi era perdagangan bebas pemerintah berupaya menghilangkan jenis SIR berkualitas rendah sesuai dengan pennintaan konsumen. Hal ini perlu ditempuh di tengah makin tingginya persaingan antarnegara produsen karet alam, serta tingginya tuntutan konsumen akan kualitas produk yang konsisten dan bebas kontaminasi (Nancy, 1997).

Pada sebagian besar sentra produksi karet rakyat, bokar yang dihasilkan petani masih didominasi oleh jenis slab tebal dan ojol. Bokar dalam bentuk slab tebal merupakan hasil penggumpalan lateks yang dipanen dan dibekukan setiap hari. Kadar karet kering jenis slab tabal umumnya berkisar antara 45-52 persen. Sedangkan bokar dalam bentuk ojol merupakan penggumpalan lump mangkok yaitu bekuan lateks yang dibiarkan 3-4 hari di setiap mangkok pada setiap batang. Kadar karet kering pada jenis ojol dapat mencapai 50-55 persen (Malian dan Jauhari, 1999).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan petani karet rakyat adalah meningkatkan kualitas bokar yang dihasilkannnya melalui perbaikan teknologi pengolahan bokar. Memperhatikan perkembangan teknologi pengolahan bokar dari tahun ke tahun terlihat bahwa upaya peningkatan kualitas bokar telah dilaksanakan oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkebunan. Sebelum tahun 1969, Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor sit asap dan beberapa produk karet lainnya seperti blanket dan crepe. Kedua jenis produk tersebut banyak dihasilkan langsung oleh para petani walaupun dengan tingkat kualitas yang rendah.

Untuk memperbaiki kualitas sit angin yang dihasilkan, pada tahun 1970-an pemerintah juga pernah melaksanakan suatu proyek yang dikenal dengan sebutan Group Coagulating Centre (GCC) pada berbagai daerah sentra produksi karet rakyat, terutama di Sumatera Selatan, Jambi dan Kalimantan Barat. Proyek ini juga mengintroduksikan program pengolahan bersama dengan penggunaan alat gilingan tangan (hand mangel). Namun demikian, sejak dikembangkannya teknologi karet remah secara nasional, berangsur-angsur bahan olah di tingkat petani beralih dari jenis sit menjadi slab dan ojol. Pada tahun 1993, pemerintah melalui Proyek Pengembangan

Karet Rakyat (PUPKR) kembali mengintrodusikan unit pengolahan hasil (UPH) kepada petani. Teknologi yang di introduksikan pada dasarnya tidak berbeda dengan proyek perbaikan kualitas bokar yang pernah dilaksanakan sebelumnya.

Unit Pengolahan

Upaya perbaikan kualitas bokar diatas, selain didasarkan atas pertimbangan daya saing produk di pasar internasional, juga ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani. Swardin (1995), dalam penelitiannya tentang kualitas bokar dan pendapatan petani, mengatakan bahwa terbatasnya teknologi menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas bokar yang dihasilkan oleh petani karet di Indonesia. Kualitas karet yang rendah pada gilirannya menyebabkan pendapatan yang diperoleh petani produsen menjadi rendah. Konsep pemikiran ini menyebabkan Swardin menghipotesiskan bahwa introduksi teknologi pengolahan bokar kepada petani dapat meningkatkan pendapatan petani.

Hasil penelitian Swardin menunjukkan bahwa petani yang menggunakan teknologi creper mini secara berkelompok ternyata dapat menikmati pendapatan 10 persen lebih besar dibandingkan petani yang mengolah bokar dengan cara tradisional. Penggunaan teknologi creper mini juga dapat miningkatkan pendapatan pedagang melalui penghematan biaya transportasi dari lokasi petani produsen ke industri karet remah, serta pendapatan industri karet remah masing-masing 45 hingga 50 persen dan 30 persen.

Hal senada juga dikemukakan oleh Marpaung (1998) dalam penelitiannya tentang upaya peningkatan pendapatan petani karet rakyat di Kalimantan Tengah. Hasil temuan Marpaung menunjukkan bahwa upaya perbaikan kualitas bokar dapat meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan harga sekitar 6,47 persen, dan efisiensi biaya pemasaran/pengolahan sebesar 34,50 persen. Selain peningkatan pendapatan yang dapat dinikmati oleh petani produsen, pedagang juga dapat memperoleh peningkatan pendapatan sebesar 28,03 persen melalui efisiensi biaya transportasi.

Hasil temuan Sunaryo (2000) meski senada dengan dua temuan terdahulu ternyata menunjukkan bahwa pengenalan hand milling tidak cukup mampu untuk memacu motivasi petani produsen menghasilkan kualitas bokar yang lebih baik. Sunaryo menemukan bahwa perbaikan kualitas bokar lebih banyak dinikmati oleh industri karet remah. Lebih jauh hasil temuan Sunaryo menunjukkan bahwa tidak termotivasinya petani untuk menghasilkan kualitas baik disebabkan peningkatan harga yang diperoleh oleh petani akibat menghasilkan kualitas karet yang lebih baik ternyata tidak sepadan dengan penurunan bobot bokar yang dihasilkan. Pendapatan petani ternyata lebih besar jika mereka menghasilkan slab tebal dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan sit angin dengan kualitas dan harga yang lebih tinggi. Hadi (1996) dalam Sunaryo (2000) juga telah terlebih dahulu menemukan perilaku respon petani dalam menghasilkan bokar kualitas baik. Hasil temuan Hadi menunjukkan bahwa pendapatan petani yang menghasilkan kualitas rendah ternyata lebih besar dibandingkan dengan pendapatan petani yang menghasilkan kualitas lebih tinggi. Jumlah bahan baku lateks yang dibutuhkan untuk menghasilkan sit angin ternyata hampir dua kali lebih besar dari kebutuhan lateks untuk sleb tebal.

Beberapa penelitian terdahulu ternyata menunjukkan bahwa upaya memotivasi petani produsen untuk menghasilkan kualitas bokar yang lebih tinggi telah dilakukan diantaranya melalui pengenalan teknologi pengolahan bokar. Namun rendahnya penghargaan yang diberikan pedagang pada bokar dengan kualitas yang lebih tinggi menyebabkan petani lebih termotivasi untuk melakukan produksi secara konvensional dengan hasil bokar kualitas rendah. Perilaku pasar yang belum memberikan penghargaan yang setimpal kepada petani produsen menyebabkan hilangnya bokar kualitas tinggi dari pasar.

Meski belum terdapat penelitian terdahulu yang mengkaji faktor penyebab rendahnya penghargaan konsumen terhadap bokar yang dihasilkan petani, dapat diduga hal ini merupakan salah satu dampak dari kurangnya informasi yang memadai atas kualitas bokar yang dihasilkan oleh petani produsen. Hasil penelitian Sunaryo (2000) menunjukkan bahwa penentuan kualitas bokar yang diperdagangkan di tingkat petani produsen masih dilakukan secara visual.

2.2. Keterikatan Petani dengan Pedagang Perantara.

Modal yang diperlukan untuk usahatani dapat berasal dari milik sendiri maupun dari luar usahatani. Penyaluran modal dari luar usahatani dapat berasal dari lembaga formal maupun non formal. Hasil kerja lembaga kredit formal di daerah perdesaan dengan berbagai jenis pinjaman yang ditawarkan belum mencapai sasaran yang diharapkan. Sementara pinjaman dari lembaga non formal seperti pedagang, tuan tanah atau petani Modal yang diperlukan untuk usahatani dapat berasal dari milik sendiri maupun dari luar usahatani. Penyaluran modal dari luar usahatani dapat berasal dari lembaga formal maupun non formal. Hasil kerja lembaga kredit formal di daerah perdesaan dengan berbagai jenis pinjaman yang ditawarkan belum mencapai sasaran yang diharapkan. Sementara pinjaman dari lembaga non formal seperti pedagang, tuan tanah atau petani

Keberadaan pedagang perantara dalam pemasaran bokar sangat diperlukan baik oleh petani karet maupun oleh industri karet remah. Bagi petani, pedagang perantara sangat diperlukan karena, dengan produksi yang dihasilkan dalam jumlah kecil dan jauhnya jarak antara petani dengan industri yang umumnya berada di ibukota provinsi, akan sangat tidak efisien bagi petani untuk langsung membawanya ke Industri. Sebaliknya bagi industri, keberadaan pedagang perantara sangat diperlukan untuk menghindari keterlambatan dan kekurangan pasokan bahan baku yang dapat menimbulkan kerugian bagi industri karet remah. Oleh karena itu, sangatlah sulit untuk menggeser posisi pedagang karena pemilik industri sangat berkepentingan dengan keberadaannya (Malian dan jauhari, 1999).

Antara pedagang perantara, khususnya pedagang pengumpul tingkat desa, dan petani karet juga telah terbina hubungan yang sangat kuat. Para pedagang perantara umumnya merupakan orang kaya di desanya. Petani menganggap bahwa pedagang perantara adalah figur penolong, dan bukan sebagai orang yang merugikan mereka. Para pedagang selalu menjadi tumpuan harapan apabila petani mengalami kesulitan keuangan, karena tidak ada satupun lembaga keuangan pedesaan yang mampu menandingi efektivitas pedagang perantara dalam menanggulangi kesulitan petani. Sebagai imbalannya petani akan selalu setia memasok kebutuhan karet pedagang walaupun seringkali terdapat pilihan harga yang lebih baik.

Hubungan antara petani dan pedagang perantara akan berlangsung lebih erat, bila terjalin hubungan kekeluargaan antara petani dan pedagang. Ketergantungan petani yang begitu besar kepada pedagang menyebabkan petani tidak mempunyai posisi tawar yang memadai. Pinjaman uang atau kebutuhan lainnya yang sering dilakukan petani akan mendorong petani untuk masuk ke dalam hubungan partron dan klien. Scott (1989) menyatakan bahwa seorang patron adalah orang yang berada dalam posisi membantu kliennya, sedangkan seorang klien akan mengandalkan perlindungan dari seorang patron yang berpengaruh sekaligus berkewajiban menjadi anak buah yang setia dan selalu siap mengerjakan pekerjaan apa saja yang diberikan.

Di dalam lingkungan petani terdapat hubungan yang erat dengan kaum kerabatnya, karena petani saling mengenal secara pribadi. Wolf (1985) menyatakan bahwa setiap petani dengan petani lainnya mempunyai ikatan kekerabatan yang langgeng yang berlangsung selama hidup individu. Ditambahkan oleh Gode (1985) bahwa kaum kerabat tersebut besar kemungkinannya adalah keluarga sedarah yang merupakan satu kesatuan.

Dalam pemasaran karet rakyat, kelembagaan non formal yang sering ditemukan adalah tengkulak atau pengijon sebagai patron. Dalam prakteknya, pengijon cenderung bertindak dengan pertimbangan-pertimbangan yang dapat menarik empati dari klien sehingga secara perlahan akan terjadi ikatan emosional dan kekarabatan yang sangat kuat antara patron dan klien. Akan tetapi, keterikatan yang terbentuk cenderung menguntungkan patron dan melemahkan posisi klien terutama dalam transaksi pemasaran.

2.3. Pemasaran dan Efisiensi Pemasaran

Pemasaran secara umum diartikan sebagai runtutan kegiatan atau jasa yang dilakukan untuk memindahkan suatu produk dari titik produsen sampai ke titik konsumen. (Azzaino, 1992; dan Anindita, 2004). Jasa dalam pengertian ini merupakan pelaksanaan fungsi pemasaran yang bertujuan untuk meningkatkan nilai guna bentuk, waktu, tempat dan/atau pemeilikan (possession) agar dapat memenuhi preferensi konsumen.

Bentuk kegiatan dalam pelaksanaan fungsi pemasaran tersebut dapat berupa transportasi, pengolahan, penyimpanan, sortasi dan pengepakan yang semuanya akan dapat meningkatkan nilai tambah dari produk. Nilai tambah, dalam istilah pemasaran disebut dengan margin pemasaran, dibentuk oleh biaya pemasaran akibat pelaksanaan fungsi pemasaran dan keuntungan yang diambil oleh lembaga yang melaksana fungsi pemasaran tersebut. Besaran margin pemasaran seringkali dikaitkan dengan efisiensi pemasaran. Margin pemasaran yang besar pada umumnya disebabkan oleh saluran pemasaran yang panjang dan oleh karena itu cenderung mengindikasikan pemasaran tidak efisien.

Mubyarto dan Dewantara (1991) mengemukakan bahwa pemasaran pertanian di Indonesia merupakan bagian yang paling lemah dalam mata rantai perekonomian. Oleh karena lemahnya pemasaran pertanian tersebut, maka ada kecenderungan bahwa pemasaran produk-produk pertanian relatif kurang efisien. Azzaino (1982) menyatakan bahwa untuk melihat apakah sistem pemasaran telah berjalan dengan efisien dapat digunakan pendekatan analisis margin pemasaran dan analisis bagian harga yang diterima petani produsen.

Produktivitas dan kualitas karet yang dihasilkan petani karet, tidak terlepas dari sistem pemasaran karet yang dihadapi petani. Hasil penelitan Napitupulu (2004) menunjukkan bahwa sistem pemasaran karet yang didalammnya terdapat sejumlah lembaga pemasaran baik yang berperan sebagai pembeli dan penjual maupun agen komisi (kaw puik) di wilayah Provinsi Jambi menyebabkan bagian harga yang diterima petani produsen adalah sebesar 38% dari harga f.o.b. Rendahnya bagian harga yang diterima petani produsen tersebut menyebabkan petani produsen menjadi kurang termotivasi untuk menghasilkan produksi karet dengan kualitas yang lebih baik.

Sistem pemasaran bokar dapat dikatakan berperilaku sama hampir di seluruh sentra produksi karet dan telah terbangun semenjak budidaya karet dikembangkan di Indonesia. Sunaryo (2002) menemukan bahwa terdapat tiga hingga empat tingkatan pedagang yang berpartisipasi dalam transaksi bokar di Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah yakni toke (pemilik kebun), pedagang pengumpul desa, pedagang besar kabupaten dan industri karet remah. Saluran pemasaran bokar yang panjang tersebut semakin tidak mampu memberikan sistem pemasaran yang efisien dengan hadirnya para agen komisi yang menjadi perantara dalam setiap mata rantai pemasaran yang ada (Marpaung, 1998; Nancy, 1988; Saleh, 1991; Sunaryo, 2002; Hendratno dan Gunawan, 1996).

2.4. Model Pemberdayaan Sistem Pemasaran Karet Rakyat

Secara hakiki, petani karet rakyat berkeinginan untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar. Sebagaimana yang dibahas terlebih dahulu, harga bokar yang dihasilkan oleh petani karet rakyat ditentukan berdasarkan kadar karet kering bokar (mutu) yang dihasilkan oleh petani. Dengan demikian salah satu hal konkrit yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani karet adalah dengan memperbaiki mutu karet yang dihasilkan. Harga Rp. 8000/Kg yang diberikan oleh industri karet remah kepada koperasi pada dasarnya masih dapat ditingkatkan hingga mendekati harga indikasi Rp 15000/Kg yakni harga bokar dengan mutu kadar karet kering = 100 %. Harga karet rakyat senilai Rp 8000 /Kg secara implisit menunjukkan bahwa kadar karet kering bokar yang dihasilkan petani adalah sekitar 53 – 54 %.

Memperhatikan temuan para peneliti terdahulu, dapat dikatakan bahwa keengganan petani karet rakyat untuk menghasilkan mutu bokar yang lebih baik disebabkan oleh tidak sepadannya tambahan pendapatan yang diterima sebagai akibat dari tambahan biaya yang harus dikeluarkan untuk meningkatkan mutu bokar yang Memperhatikan temuan para peneliti terdahulu, dapat dikatakan bahwa keengganan petani karet rakyat untuk menghasilkan mutu bokar yang lebih baik disebabkan oleh tidak sepadannya tambahan pendapatan yang diterima sebagai akibat dari tambahan biaya yang harus dikeluarkan untuk meningkatkan mutu bokar yang

Kesesuaian harga dengan mutu salah satunya dapat dilakukan dengan hadirnya lembaga independen pengukur mutu karet yang dihasilkan oleh petani pada tingkat administrasi pemerintahan yang serendah rendahnya. Petani yang merasa tidak yakin dengan mutu karet yang dihasilkan dapat secara cepat memperoleh layanan dari lembaga pengukur mutu tersebut atas biaya pemerintah.

III. METODE PENELITIAN

3.1. Metode dan Lingkup Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode survei. Dari enam kabupaten sebagai sentra produksi karet di Provinsi Jambi, ditetapkan empat kebupaten sebagai daerah sampel. Dari setiap kabupaten, dipilih secara purpossive dua kecamatan sebagai sentra produksi kabupaten dan setiap kecamatan dipilih secara purpossive dua desa sebagai sampel.

Penelitian ini difokuskan pada dua aspek yaitu aspek perilaku petani dan aspek pemasaran karet. Aspek perilaku petani yang dikaji mencakup perilaku petani dalam panen dan penanganan pasca panen. Sedangkan kajian aspek pemasaran mencakup saluran pemasaran dan lembaga yang terlibat dalam pemasaran bokar, margin pemasaran dan bagian harga yang diterima petani (farmer share).

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah semua informasi yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian. Informasi dapat berupa data sekunder maupun data primer. Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini dihimpun dari publikasi atau laporan lembaga/instansi yang teridentifikasi sebagai sumber informasi. Sedangkan, data primer dihimpun dari petani produsen, pedagang perantara dalam pemasaran bokar serta manajemen industri karet remah. Disamping itu, data penunjang juga dikumpulkan dari berbagai responden yang berada diluar sistem pemasaran bokar, khususnya informasi yang berhubungan dengan pendapat responden tentang upaya-upaya perbaikan sistem pemasaran bokar.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian dikumpulkan melalui metode wawancara, observasi dan telaah pustaka. Wawancara semi terstruktur dilakukan untuk memperoleh informasi aktual dari sumber primer yang meliputi petani karet rakyat sebagai produsen bokar, pedagang perantara sebagai lembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran dan manajemen industri karet remah sebagai konsumen akhir di Provinsi Jambi. Selain itu, wawancara juga akan dilakukan dengan berbagai tokoh masyarakat, baik formal maupun non formal dalam upaya mendapatkan masukan-masukan tentang upaya perbaikan sistem pemasaran karet rakyat di provinsi Jambi.

Observasi dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap objek kajian yang mencakup pelaksanaan panen dan penanganan pasca panen di tingkat petani dan pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran pada setiap lembaga pemasaran. Sedangkan telaah pustaka dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang valid untuk mendukung data primer, terutama berupa laporan-laporan penelitian dan publikasi lain yang relevan dengan objek kajian.

3.4. Metode Pengambilan Sampel dan Jumlah Responden

Pengambilan daerah sebagai sampel dilakukan secara bertingkat dan ditetapkan berdasarkan kriteria keterwakilan populasi yang mencakup potensi perkebunan karet rakyat dan kondisi infrastruktur pemasaran karet seperti keberadaan pasar lelang dan keberadaan industri karet remah. Berdasarkan kriteria tersebut, maka dipilih Kabupaten Batanghari, Kabupaten Bungo, Kabupaten Merangin, dan Kabupaten Sarolangun sebagai sampel kabupaten.

Penentuan kecamatan sebagai sampel pada masing-masing kabupaten dan penentuan desa sebagai sampel pada masing-masing kecamatan dilakukan secara purposisve dengan pertimbangan kecamatan dan desa tersebut merupakan sentra produksi karet pada wilayah yang bersangkutan.

Responden pada masing-masing desa ditelusuri (snowballing) berdasarkan saluran pemasaran bokar yang ada dengan jumlah maksimum 15 responden per saluran. Sedangkan pedagang perantara sebagai sampel ditelusuri berdasarkan aliran bokar dari petani produsen hingga industri karet remah. Jumlah responden pedagang perantara pada setiap tingkatan ditetapkan maksimum 3 responden, tergantung ketersediaannya di lapangan.

Secara keseluruhan, jumlah responden petani dan pedagang perantara masing- masing berjumlah 654 dan 83.

3.5. Metode Analisis Data

Data yang dihimpun dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk tabulasi. Analisis secara deskriptif dilakukan untuk mendapatkan gambaran perilaku petani dalam panen, penanganan pasca panen, saluran pemasaran dan pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran pada setiap lembaga pemasaran.

Analisis efisiensi pemasaran dilakukan dengan alat analisis margin pemasaran, bagian harga yang diterima petani (farmer share) dan share keuntungan (rasio keuntungan terhadap biaya) lembaga perantara.

Untuk menghitung marjin pemasaran pada setiap rantai pemasaran digunakan formula sebagai berikut:

Marjin total dari pemasaran bokar (MP) dihitung dengan penjumlahan keseluruhan margin yang terjadi pada setiap lembaga pemasaran, MP = Σ MPi.

Dimana: MPi

= Margin pemasaran pada rantai pemasaran ke-i PJt

= Harga jual bokar oleh lembaga pemasaran ke-t PBt

= Harga beli bokar oleh lembaga pemasaran ke-t BLi

= Biaya pemasaran yang dikeluarkan lembaga pemasaran ke-i ULi

= Keuntungan yang diambil oleh lembaga pemasaran ke-i. Formula yang digunakan untuk menentukan bagian harga yang diterima petani

(farmer’s share) adalah:

FS = [1- (MP/PK)] x 100 %

Dimana: FS

= Farmer’s share

MK = Harga pada tingkat konsumen akhir (industri karet remah). Selanjutnya, analisis dilakukan terhadap share keuntungan pada setiap lembaga (SLt) dengan membandingkan keuntungan yang diambil (ULi) dengan biaya yang

dikeluarkan (BLi) oleh lembaga pemasaran:

SLt = ULi/BLi.

Dimana: SLt

= share keuntungan ULi

= keuntungan yang diambil lembaga BLi

= biaya yang dikeluarkan (BLi) oleh lembaga Pada dasarnya, keuntungan per satuan unit bokar yang diambil lembaga

pemasaran tidak tergantung dari biaya yang dikeluarkan akan tetapi cenderung ditetapkan lebih dahulu oleh lembaga. Dengan demikian, harga beli lembaga akan ditentukan oleh harga jual dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang ditetapkan per satuan bokar. Sedangkan yang dimaksud dengan biaya pada lembaga pemasaran adalah semua biaya yang dikeluarkan akibat pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran, termasuk penyusutan bokar, baik kuantitas maupun kualitas, yang terjadi selama proses penyaluran bokar pada lembaga tersebut.

Analisis ini dimaksudkan untuk menentukan lembaga mana yang efektif atau tidak efektif sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk melakukan perbaikan terhadap saluran pemasaran bokar. Konsepnya adalah bahwa efektifitas lembaga pamasaran ditentukan oleh proporsionalitas antara keuntungan yang diambil lembaga dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.

Untuk menguji apakah terdapat perbedaan farmer share yang signifikan pada masing-masing saluran pemasaran dilakukan uji beda dua rata-rata dengan langkah pengujian sebagai berikut:

Hipotesis statistik:

Ho: µ 1 - µ 2 = 0 atau

Ha: µ 1 - µ 2 > 0 atau

Alat uji t-statistik:

hit

n  n  2         1 2   n 1 n 2    dimana :

x 1 = rata-rata farmer share sampel pada saluran 1 x 2 = rata-rata farmer share sampel pada saluran 2 n 1 = jumlah sampel pada saluran 1 n 2 = jumlah sampel pada saluran 2

1 = varian sampel pada saluran 1 S 2

2 = varian sampel pada saluran 2 Kaedah keputusan yang digunakan adalah:

Bila t hit lebih besar dari t tabel pada =0.05 dengan derajat bebas ( n 1 + n 2 -2) maka Ho ditolak, artinya terdapat perbedaan farmer share yang signifikan pada dua saluran

yang berbeda.

IV. ANALISIS MARJIN PEMASARAN DAN BAGIAN HARGA YANG DITERIMA PETANI

Keberhasilan lembaga pemasaran pertanian dalam mendistribusikan komoditas dari petani produsen ke konsumen akhir salah satunya dapat ditunjukkan oleh marjin pemasaran yang serendah rendahnya. Dalam penelitian ini, alur tataniaga karet dibatasi hingga pabrik crumb rubber di Provinsi Jambi. Pabrik crumb rubber dengan demikian dianggap sebagai konsumen terakhir dalam analisis tataniaga karet yang dilakukan.

Sebagaimana telah disajikan terlebih dahulu, terdapat 5 (lima) lembaga pemasaran di tambah satu agen komisi berdasarkan tingkatan/lokasi asal pedagang yang berperan menyalurkan bahan olahan karet kering (bokar) yang dihasilkan petani hingga pabrik crumb rubber. Kombinasi sejumlah lembaga pemasaran tersebut membentuk 12 saluran pemasaran yang terdiri dari satu hingga empat lembaga pemasaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 7 (tujuh) diantara 12 saluran yang ada di Provinsi Jambi dapat ditemui di wilayah Kabupaten Bungo, 6 (enam) di wilayah Kabupaten Batang Hari dan masing masing 4 (empat) dengan kombinasi yang berbeda dapat ditemui di wilayah Kabupaten Merangi dan Sarolangun.

4.1. Harga Pembelian Bokar

Satu hal menarik untuk dicermati dari hasil temuan penelitian adalah adanya variasi harga yang cukup nyata yang dibayarkan oleh sejumlah lembaga tataniaga level yang sama pada saluran tataniaga yang berbeda dalam transaksi tataniaga bokar yang dihasilkan oleh petani produsen. Lebih spesifik dapat ditemui pada sejumlah kasus bahwa harga beli bahan olahan karet kering (bokar) oleh Pedagang Desa pada saluran tataniaga tertentu berbeda dengan harga yang dibayarkan oleh lembaga tataniaga pada tingkat yang sama pada saluran yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga transaksi bokar yang terendah adalah Rp 3.032,00/Kg yakni harga yang dibayarkan oleh Pedagang Kecamatan kepada petani produsen pada Saluran pemasaran 07 di Kabupaten Merangin, dan harga tertinggi adalah Rp 10.125,00/Kg yakni harga jual bokar oleh pedagang Desa di pasar karet Payoselincah (Saluran 05, Kabupaten Bungo). Biaya pelaksanaan fungsi tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran ditengarai menjadi salah satu faktor dominan yang mempengaruhi pedagang menentukan harga yang dibayarkan kepada petani.

4.2. Biaya Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Pemasaran

Hasil temuan menunjukkan bahwa fungsi pemasaran yang dilakukan oleh pedagang perantara umumnya hanya terbatas pada fungsi perubahan tempat dan jarang diantaranya yang sampai melakukan perubahan waktu terlebih perubahan bentuk dan atau kualitas. Dengan demikian biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang perantara umumnya hanya berupa biaya transportasi, biaya bongkar muat dan biaya retribusi selama perjalanan dari suatu lokasi lembaga pemasaran ke lokasi pemasaran berikutnya. Dominasi biaya pengangkutan dalam struktur biaya pemasaran bokar dapat mengindikasikan bahwa jarak antara lokasi produsen dengan pabrik crumb rubber sebagai konsumen terakhir akan sangat menentukan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh petani dan atau pedagang dalam memasarkan bokar. Dengan demikian maka upaya mengkaji kinerja lembaga pemasaran berdasarkan biaya pemasaran yang dikeluarkan didekati berdasarkan klaster lokasi asal bokar yang diperdagangkan.

Rata-rata biaya pemasaran yang dikeluarkan petani di Kabupaten Batang Hari apabila menjual bokar yang dihasilkan ke pasar lelang karet (Saluran 01) adalah sebesar Rp 125,50 per kilogram yang terdiri dari biaya pengangkutan, bongkar muat dan retribusi masing masing sebesar Rp 95,50; Rp 15,00 dan Rp 15,00 per kilogram. Selain menjual ke pasar lelang karet yang tersedia di wilayah Kabupaten, juga terdapat sejumlah petani yang memilih memasarkan bokar yang dihasilkan ke pasar karet Payoselicah di Kota Jambi. Jarak tempuh yang lebih jauh menyebabkan biaya pemasaran karet yang harus dibayar oleh petani produsen menjadi lebih besar. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata rata biaya yang dibayarkan oleh petani yang memasarkan bokar ke pasar Payoselincah Jambi adalah sebesar Rp 172, 50 per kilo gram. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa biaya pemasaran bokar tertinggi yang dibayarkan oleh petani dan atau pedagang dalam memasarkan bokar dari gerbang petani ke pabrik crumb rubber adalah pada Saluran 02 serta biaya termurah dibayarkan jika melalui Saluran 04.

Salah satu temuan menarik dari kinerja lembaga pemasaran yang ditemukan di wilayah penelitian Kabupaten Batang Hari adalah masih belum terlihatnya upaya pedagang untuk meningkatkan nilai rata rata bokar yang diperdagangkan melalui fungsi sortasi. Belum dilakukannya fungsi sortasi pada komoditas yang diperdagangkan berarti pedagang perantara tersebut masih menganut sistem penjualan satu kualitas untuk semua komoditas yang dijual. Hal ini ditengarai menjadi salah satu penyebab pedagang perantara cenderung untuk menghindari membeli karet bermutu lebih baik khususnya jika dalam jumlah yang relatif sedikit.

Sebagaimana yang dijumpai di wilayah Kabupaten Batang Hari, sejumlah petani di wilayah Kabupaten Bungo juga memasarkan secara langsung bokar yang dihasilkan melalui pasar lelang karet. Rata-rata biaya pemasaran yang dikeluarkan petani apabila menjual bokar yang dihasilkan ke pasar lelang karet (Saluran 01) adalah sebesar Rp 126,58 per kilogram sedikit lebih mahal jika dibandingkan dengan rata rata biaya yang dikeluarkan oleh petani (Rp 125,50 /Kg) di Kabupaten Batang Hari. Perbedaan nilai nominal rata rata biaya pemasaran pada dua daerah penelitian tersebut terlihat disebabkan oleh lebih besarnya rata rata biaya pengangkutan per kilogram bokar dari desa ke lokasi pasar lelang yang dibayarkan oleh petani di Kabupaten Bungo.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya pengangkutan pada sejumlah saluran pemasaran bokar di wilayah Kabupaten Bungo ternyata tidak menjadi faktor dominan. Hilangnya dominasi biaya pengangkutan dari struktur pembiayaan pemasaran bokar sebagaimana yang terlihat pada saluran 04 hingga 07 disebabkan besarnya klaim pengeluaran lembaga pemasaran untuk menutupi biaya penyusutan bokar yang diperdagangkan khususnya oleh pedagang perantara pada Saluran Pemasaran 05 dan

07. Sama halnya denga pelaksanaan fungsi pemasaran oleh pedagang perantara di

Kabupaten Batang Hari, analisis pembiayaan pemasaran bokar di wilayah Kabupaten Bungo menunjukkan masih minimnya upaya pedagang perantara dalam meningkatkan nilai penjualan bokar melalui kegiatan sortasi. Minimnya upaya perlakuan sortasi dari pedagang pada dasarnya dapat mengindikasikan bahwa mutu bokar yang dihasilkan oleh masing masing petani produsen tidak terlalu berbeda.

Berbeda dengan sistem pemasaran karet di Kabupaten Bungo, karet rakyat yang dihasilkan di Kabupaten Merangin di jual ke kota Jambi dan atau ke Sumatera Barat. Hal ini menyebabkan struktur biaya pemasaran bokar yang berbeda dijumpai di wilayah Kabupaten Merangin. Komponen biaya utama yang menyusun biaya pemasaran bokar di Kabupaten Merangin adalah biaya pengangkutan dan penyusutan. Tingginya biaya penyusutan bokar selama proses pemasaran disebabkan oleh tingginya kandungan air bokar yang dihasilkan oleh petani. Proses penanganan pasca sadap getah karet oleh petani di wilayah Kabupaten Merangin diduga menjadi penyebab utama tingginya kadar Berbeda dengan sistem pemasaran karet di Kabupaten Bungo, karet rakyat yang dihasilkan di Kabupaten Merangin di jual ke kota Jambi dan atau ke Sumatera Barat. Hal ini menyebabkan struktur biaya pemasaran bokar yang berbeda dijumpai di wilayah Kabupaten Merangin. Komponen biaya utama yang menyusun biaya pemasaran bokar di Kabupaten Merangin adalah biaya pengangkutan dan penyusutan. Tingginya biaya penyusutan bokar selama proses pemasaran disebabkan oleh tingginya kandungan air bokar yang dihasilkan oleh petani. Proses penanganan pasca sadap getah karet oleh petani di wilayah Kabupaten Merangin diduga menjadi penyebab utama tingginya kadar

Berbeda dengan pola umum pemasaran bokar di tiga kabupaten terdahulu, seluruh saluran pemasaran bokar yang ada di wilayah Kabupaten Sarolangun bermuara pada pasar karet Payoselincah atau pabrik crumb rubber di Kota Jambi. Belum adanya pasar lelang karet di wilayah penelitian ini menyebabkan kecilnya peluang petani untuk dapat memasarkan bokar yang dihasilkan melalui pasar lelang karet sebagaimana yang dapat dilakukan oleh petani produsen di dua Kabupaten terdahulu.

Sama dengan hasil temuan di Kabupaten Bungo dan Merangin, biaya pemasaran bokar yang ditandai dengan komponen biaya penyusutan yang cukup besar juga dapat dijumpai pada seluruh saluran pemasaran bokar di wilayah Kabupaten Sarolangun. Biaya penyusutan yang cukup besar tersebut disamping disebabkan oleh jarak tempuh lokasi pemasaran akhir juga disebabkan oleh tingginya kadar air bokar yang dihasilkan oleh petani. Tingginya kandungan air dalam bongkahan bokar diduga dapat disebabkan oleh jenis koagulum yang digunakan petani disamping cara penyimpanan bokar yang memang disengaja sedemikian rupa sehingga kandungan air dalam bongkahan bokar bokar dapat bertahan lebih lama. Sebagaimana yang dilakukan oleh petani di Kabupaten lainnya, petani di Kabupaten Sarolangun pada umumnya terlebih dahulu menimbun bokar yang dihasilkan di areal kebun hingga waktu penimbangan yang telah ditentukan tiba. Penempatan bongkahan bokar yang umumnya memiliki ketebalan berkisar antara 40 – 50 cm di bak perendaman menyebabkan kadar air bokar tetap tinggi hingga siap di pasarkan.

Satu hal yang menunjukkan perbedaan struktur pembiayaan pemasaran bokar dari wilayah Kabupaten Sarolangun adalah telah ditemukannya sejumlah pedagang perantara yang berupaya memasarkan bokar berdasarkan mutu. Pedagang perantara pada Saluran 11 dan 12 terlihat telah melakukan sortasi yang ditunjukkan oleh komponen biaya sortasi yang cukup besar dikeluarkan oleh pedagang perantara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecuali pedagang desa (toke) yang terdapat pada Saluran Pemasaran 11, seluruh pedagang yang terdapat pada Saluran Pemasaran 11 dan 12 telah terlebih dahulu mengelompokkan bokar yang hendak dijual kembali berdasarkan mutu bokar yang berhasil dihimpunnya.

4.3. Marjin Pemasaran

Komponen sistem pemasaran komoditas pertanian yang acap kali menjadi perhatian penentu kebijakan adalah besaran bagian harga yang diterima petani yang dikaitkan dengan pembagian keuntungan masing masing pelaku tataniaga komoditas pertanian yang dikaji.

Margin pemasaran bokar yang dipasarkan melalui empat saluran pemasaran yang melibatkan pedagang perantara di Kabupaten Batang Hari bervariasi dari Rp 4210,00 per kilogram pada saluran pemasaran 03 hingga Rp 5316,00 perkilogram pada saluran pemasaran 04. Apabila dibandingkan dengan harga ditingkat petani produsen dan harga beli pabrik crumb rubber maka nilai margin pemasaran tersebut dapat dikatakan cukup besar. Dapat dilihat bahwa margin pemasaran bokar di Kabupaten Batang Hari berkisar antara 49,77 % dari harga konsumen pada saluran pemasaran 03 dan 61,10 % dari harga konsumen pada saluran pemasaran 04.

Margin pemasaran tersebut akan terlihat semakin besar jika dibandingkan dengan biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang perantara. Total biaya pemasaran bokar yang dikeluarkan oleh pedagang perantara berkisar antara Rp 42,50 pada saluran

04 hingga Rp 126,46 per kilogram pada saluran 06 atau 0,80 persen hingga 2,52 persen 04 hingga Rp 126,46 per kilogram pada saluran 06 atau 0,80 persen hingga 2,52 persen

Sama halnya dengan di Kabupaten Batang Hari, sejumlah petani telah memasarkan bokar melalui pasar lelang karet. Rata rata harga jual bokar di pasar lelang karet di wilayah Kabupaten Bungo adalah senilai Rp 9300,00 per kilogram. Jika dibandingkan dengan harga bokar di Kabupaten Batang Hari, harga bokar yang dihasilkan oleh petani karet rakyat di Kabupaten Bungo di pasar konsumen terlihat relatif lebih baik yakni berkisar antara Rp 8500 hingga Rp 10125 per kilogram. Namun demikian, meskipun memperoleh harga yang lebih baik ditingkat konsumen, harga yang ditransmisikan ke petani produsen ternyata tidak lebih baik yakni berkisar antara Rp 3084 hingga Rp 4335 per kilogram.

Penghargaan terhadap petani produsen yang relatif rendah jika dibandingkan dengan yang dapat diraih oleh pedagang perantara dalam sistem tataniaga bokar juga dapat diamati di Kabupaten Merangin. Harga bokar tertinggi yang dibayarkan kepada petani produsen adalah Rp 3516,00 per kilogram atau 37 % bagian dari total harga bokar yang di bayarkan konsumen akhir pada saluran 08. Sama seperti temuan pada sistem pemasaran bokar di Kabupaten lainnya, belum efisiennya sistem pemasaran bokar di Kabupaten Merangin juga dapat dilihat dari margin harga yang rata rata melebihi setengah dari harga konsumen. Margin harga terendah dari empat saluran pemasaran yang umum dijumpai di Kabupaten Merangin adalah Rp 4876,00 masih lebih besar dari harga yang dibayarkan kepada petani produsen yakni Rp 3449,00 pada saluran 09. Lebih lanjut dapat diamati bahwa hanya sebahagian kecil (Rp 200,00 /Kg) dari margin pemasaran tersebut yang dibayarkan sebagai biaya pengangkutan bokar (fungsi fisik) dari lokasi petani produsen ke pasar konsumen akhir.

Gambaran kinerja sistem pemasaran bokar di tiga wilayah Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Bungo, dan Kabupaten Merangin juga ditemui di Kabupaten Sarolangun. Sebagaimana hasil temuan pada Kabupaten terdahulu, indikasi bahwa sistem saluran pemasaran bokar di Kabupaten Sarolangun tidak efisien dapat ditunjukkan oleh margin pemasaran bokar yang masih sangat besar. Besarnya margin pemasaran tersebut menyebabkan bagian harga yang diterima petani menjadi relatif kecil sebagaimana yang diberikan oleh setiap saluran pemasaran bokar di empat Kabupaten lokasi penelitian.