HAKIM ANTARA PROFESIONALISME DAN KESEJAH

HAKIM: ANTARA PROFESIONALISME DAN KESEJAHTERAAN
(Menaggapi Tulisan Azhari Akmal Tarigan)
Budi Juliandi, MA
Dosen STAIN Langsa
Gaji Hakim dalam Tinjauan Hukum Islam, demikianlah judul tulisan Azhari Akmal
Tarigan di kolom Mimbar Jum’at Waspada 13 April 2012. Ada dua hal yang perlu penulis
komentari dari tulisan tersebut. Pertama, tentang kesejahteraan para hakim. Kedua,
profesionalisme mereka.
Gaji Hakim Masa Khulafaurrasyidin
Terdapar perbedaan gaji hakim pada masa Umar dan Ali. Umar mengangkat Syuraih
sebagai hakim (qadhi) dengan gaji 100 dirham. Saat Ali menjabat sebagai Khalifah, beliau
menambah kualitas peradilan Islam yang pernah dirintis oleh terdahulunya dengan menambah
gaji hakim. Qadhi Syuraih yang sebelumnya mendapat gaji 100 dirham pada masa Khalifah
Umar bin Khattab, memperoleh gaji 500 dirham pada masa Khalifah Ali bin Abi Talib. (AlMawardi, Adab al-Qadhi: 295). Bertambahnya gaji hakim pada masa Ali tersebut merupakan
kompensasi dari kebijakan baru beliau untuk melakukan fit and proper test bagi calon hakim.
Dalam uji kepatutan dan kelayakan itu Ali memilih hakim dari orang-orang yang dipandang
utama oleh penguasa sendiri, hakim terpilih bukan berasal dari orang-orang yang
berpenghidupan sempit. Hakim harus memiliki kewibawaan sebagai seorang hakim, tidak loba
kepada harta dunia, selain itu hakim yang terpilih mempunyai ilmu yang luas, otak yang cerdas,
daya kerja yang sempurna.
Gaji Hakim Masa Bani Umayah

Gaji hakim bertambah pada masa Bani Umayah. Hakim tidak lagi dibayar dengan
dirham, namun dengan dinar dimana nilai mata uang tersebut lebih tinggi dari dirham. Artinya

terdapat perbaikan ekonomi umat saat itu sehingga negara mampu menggaji hakim dengan dinar.
10 dinar adalah jumlah yang diterima oleh seorang hakim perbulan saat itu.
Gaji Hakim Masa Abbasiyah
Pada masa Abbasiyah, perkembangan ekonomi umat Islam semakin baik sehingga hakim
yang pada masa Abbasiyah menerima 10 dinar kini memperoleh 30 dinar. Puncaknya, pada masa
keemasan Dinasti Abbasiyah saat Al-Makmun menajadi Khalifah. Gaji Isa bin Munkadir sebagai
hakim di Mesir mencapai 1000 dinar perbulan. Jika benar apa yang dikatakan oleh Muhaimin
Iqbal dalam Dinar The Real Money: 29, bahwa 1 dinar = 4,25 gr emas 22 karat. Jika harga pergramnya = Rp. 425.000; (sesuai harga emas 22 karat per-satu gramnya) maka 4,25 gr emas 22
karat = Rp. 1. 806. 250; Jadi, 1000 dinar = 4,25kg emas. Bayangkan, berupa rupiah yang
diterima hakim masa itu jika nilainya dikonversikan ke bentuk rupiah!? = Rp. 1. 806. 250. 000;
(satu milyar delapan ratus enam juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Suatu penghargaan
kepada hakim dengan jumlah uang yang cukup fantastis!
Tingginya gaji hakim masa Abbasiyah karena kedudukan peradilan saat itu bukan hanya
menyelesaikan

perkara-perkara


sengketa

(al-mukhashamat/al-munaza’at),

namun

juga

memelihara hak-hak umum, memperhatikan keadaan anak-anak yang dibawah umur, orang yang
tak cakap bertindak secara hukum seperti anak yatim, orang gila, orang pailit dan sebagainya
(guardianship over orphans and others in need of protection), mengurus harta-harta wasiat,
wakaf, menjadi wali bagi wanita yang tidak berwali dan memperhatikan kemaslahatankemaslahatan lalu lintas, pembangunan-pembangunan dan memeriksa keadaan-keadaan saksi,
agar dapat diketahui mana saksi yang adil dan mana saksi yang tidak adil (the accreditation of
witnesses), melegitimasi naik atau lengsernya seorang penguasa dari tahtanya (the legitimization
of the accession or deposition of a ruler) serta memantau penegakan syariat Islam (supervision
of the enforcement of public morals).

Namun menurut Ibn Umus dalam Tarikh al-Qadha’ fi al-Islam, gaji tinggi yang diperoleh
hakim masa itu ternyata bukan saja karena beban kerja mereka yang cukup berat, namun juga
ternyata lantaran putusan hakim harus disesuaikan dengan keinginan pemerintah. Putusan yang

sesungguhnya ada pada pemerintah, sedangkan hakim hanya melegitimasi saja dengan mengetok
palu sidang. Atas dasar itulah maka para ulama banyak yang menolak menjadi hakim sebagai
contoh adalah Imam Abu Hanifah menolak jabatan hakim tersebut pada masa Abu Ja’far alManshur.
‘Uang Kertas’ dan Kesederhanaan Hakim
Sejarah peradilan Islam tidak selalu mempesona karena tingginya gaji yang diterima oleh
hakim. Diantara mereka ada yang sekedar menerima ‘uang kertas’ (syai’ li al-qarathis). Kalau
kita di sini menyebutnya ‘uang rokok’. Jumlahnya tentu tidak banyak. Gaji mereka sekedar
mencukupi kebutuhan pokok. Mereka hidup apa adanya. Menurut Azhari Akmal Tarigan, gaji
hakim ditentukan sesuai dengan kebutuhan tanpa lebih atau tanpa kurang. Kalimat ini adalah
terjemahan dari kitab aslinya Adab al-Qadhi: 292 yaitu; muqaddarun bi al-kifayati min ghairi
sarafin wa la taqshirin. Menurut penulis, kata sarafin itu lebih tepat diartikan “boros”, bukan
“lebih”. Jadi, gaji bertambah it’s ok, namun jangan membuat pengeluaran negara menjadi boros.
Terkait dengan tuntutan hakim terhadap kenaikan gaji, maka kebijakan negara diharapkan untuk
menyesuaikannya dengan kemampuan keuangan negara.
Profesionalisme Hakim
Gaji besar yang diterima hakim di masa Dinasti Abbasiyah karena mereka tidak lagi
melakukan kerja sampingan lain (li inqitha’ihim bi al-qadha’i ‘ani al-makasib) karena memiliki
setumpuk tanggungjawab yang harus dilaksanakan. Mereka melakukan itu secara profesional.
Menurut AS Hornby: 1986, profesionalisme adalah melakukan sesuatu sebagai pekerjaan fulltime karena terdapat bayaran dari pekerjaan tersebut (doing or practicing something as a full-


time occupation or for payment. Tidak ada waktu untuk nyambi di luar pengadilan. Waktu,
pikiran, tenaga, tercurah sepenuhnya hanya untuk penyelesaikan kasus di pengadilan, bukan
kasus lain yang tidak ada hubungan sama sekali dengan perkara pengadilan. Gaji yang tidak
cukup membuat hakim ngamen di luar pengadilan, bukan mustahil pula mereka akan melakukan
kecurangan dalam memutuskan perkara karena butuh uang.
Mengulang pernyataan Azhari Akmal Tarigan bahwa gaji yang layak bagi hakim adalah
keniscayaan. Namun, gaji yang layak yang diterima hakim sejatinya diimbangi dengan kerja
yang professional, berani keluar dari pengaruh intimidasi kekuasaan pemerintah seperti yang
dilakonkan Imam Abu Hanifah yang menolak menjadi hakim karena baginya apalah artinya
menjadi hakim bergaji tinggi kalau independensinya ‘terpenjara’. Hakim hanya bertugas
mengetok palu sidang saja, tidak lebih dari itu. Jebakan gaji tinggi terjadi saat itu agar negara
dapat mengintervensi putusan hakim. Akibatnya putusan hakim disesuaikan dengan keinginan
dan selera penguasa. Selain itu, belum ada jaminan keadilan hukum bagi masyarakat dengan gaji
tinggi yang diperoleh hakim mereka akan adil dalam memutuskan perkara.
Ketulusan dan Kemudahan Hidup
Berlaku adil dan ikhlas niat dalam bekerja adalah bagian dari ketakwaan. Dengan gaji
yang tidak setinggi dengan gaji hakim masa Bani Umayah, hakim-hakim di Indonesia perlu
kembali melihat pesan-pesan moral bahwa sering sekali rezeki itu tidak berasal dari gaji yang
diterima. Banyak sekali pintu-pintu rezeki yang dibukakan Allah kepada siapa saja yang berniat
ikhlas untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan manusia terutama kepada hakim yang

bersih, punya niat yang tulus dalam penegakan hukum. Allah Swt berfirman: “…Barangsiapa
yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan

membukakan jalan keluar baginya, dan

memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal
kepada Allah, niscaya Dia akan mencukupkan (keperluan)nya…” (QS At-Talaq [65]: 2-3. Umar

bin Khattab dalam Risalah Qadha’ (pesan-pesan moral kepada hakim) berkata; “Barangsiapa
yang ikhlas niatnya (yashluh niyyatuhu) untuk menegakkan yang hak, maka Allah Swt akan
memberinya rezeki yang cukup.” Semoga!