Perhiasan Sebagai Penanda Statifikasi Ma

PERHIASAN SEBAGAI PENANDA STRATIFIKASI MASYARAKAT PADA RELIEF LALITAVISTARA CANDI BOROBUDUR OLEH CHITRA PARAMAESTI

07/254911/SA/14100

JURUSAN ARKEOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2014

PERHIASAN SEBAGAI PENANDA STRATIFIKASI MASYARAKAT PADA RELIEF LALITAVISTARA CANDI BOROBUDUR OLEH CHITRA PARAMAESTI

07/254911/SA/14100

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana dalam ilmu Arkeologi

JEWELRY AS SOCIETY STRATIFICATION EVIDENCE ON LALITAVISTARA RELIEF OF BOROBUDUR TEMPLE BY CHITRA PARAMAESTI

07/254911/SA/14100

A Graduating Paper Submitted to The Board of Examiners in Partial Fulfillment of The Requirement for The Graduate Program in the Faculty Art and Humanities Gadjah Mada University Yogyakarta 2014

I would like to present this paper to my father, Suryono Utomo Diran, who couldn’t see me growing as a lady.

Dear Bapak, thanks for everything that you gave, I realized

I could never give all the love and sacrificing like you and Ibu did, but one thing that I can do, is try being a good child as you and Ibu wish.

I wish you read this and feel my happiness,

I miss you and always love you Bapak, where ever you are.

Sincerely, Your daughter

Fall in love with the process and the result will come, because everything is possible if you want it badly enough!

-anymous-

KATA PENGANTAR

Segala pujian dan rasa syukur penulis persembahkan kepada Dzat tertinggi, pencipta alam semesta, atas berkat yang diberikan sehingga skripsi

yang berjudul “Perhiasan Sebagai Penanda Stratifikasi Masyarakat Pada

Relief Lalitavistara Candi Borobudur ” dapat diselesaikan dengan baik, sehingga dapat diajukan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Jurusan Arkeologi UGM.

Penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik bantuan dalam bentuk dukungan moril maupun materil. Oleh karena itu penulis banyak terima kasih kepada:

1. Dra. DS Nugrahani, selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat sabar dan berbaik hati seperti Sungai Naira ňjanā yang memberikan kehidupan kepada S ākyāmunī dalam proses menuju pencerahan. Beliau tiada hentinya memberikan motifasi, dukungan dan dorongan dalam setiap langkah dalam penulisan skripsi.

2. Dwi Pradnyawan S.S, selaku pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang selama ini banyak memberikan dorongan dan membantuk penulis selama proses perkuliahan dan penulisan skripsi.

3. Dr. Mahirta M.A, selaku ketua Jurusan Arkeologi UGM, atas segala bantuan dalam pengurusan izin penelitian dan ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti perkuliahan.

4. Seluruh staff pengajar Jurusan Arkeologi UGM, Drs. J. Susetyo Edi Yunowo M.Si, Jujun Kurniawan S.S M.A, Andi Putanto S.S, Drs

Tjahjono Prsasodjo M.A, Dr. Daud Aris Tanudirjo M.A, Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro, Prof. Dr. Inajati Adrisjanti, Dr. Riboet Dharmosoetopo, Dra. Niken Wirasanti M.Si dan Drs. Slamet Pinardi M.Hum atas ilmu, wawasan, dan bantuan yang diberikan hingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan jenjang strata satu.

5. Seluruh staff Balai Konservasi Borobudur, terima kasih atas segala fasilitas dan bantuannya kepada penulis dalam pengumpulan data untuk skripsi ini.

6. Ir Nitra Narulita dan Ir Wentaria, kedua orang tua penulis yang tiada hentinya memberikan dukungan terbaik untuk terselesaikannya skripsi ini.

7. Cakra Karim Narendra, calon dokter pribadi di masa depan, seorang adik yang seperti Jataka kepada Lalitavistara yang selalu bersama memberikan kehidupan bagi lorong tingkatan pertama Candi Borobudur. Ia selalu memberikan dukungan, keceriaan, dan kasih sayang kepada penulis.

8. Arkeologi angkatan 2007, Andhika Arief S.S, Hane Idrus, Galih Sekar Nagari S.S, Langith Mega Puspita S.S, Dian Nisa Anna S.S, Adyanti Putri S.S, Rohmat Ali S.S, Danar Prasetyo S.S, Bagas Sukmana S.S, Fariz Rizki S.S, Tyas Adi Putra S.S, Khofif Duhari S.S, Cerry Surya S.S, Amukti Palapa Aji, Ari Hendra S.S, Willy Oktafian S.S dan teman lainnya. Para kakak yang baik hati, penyabar dan penyayang, terima kasih atas bantuan dan dukungan selama ini. Kalian semua teman baik yang memberikan banyak pelajaran dalam berkehidupan di tanah Mataram.

9. Para kakak angkatan dan adik angkatan di Arkeologi UGM, Ahmad Surya Ramadhan S.S, Daru Prakoso S.S, Ayu Dipta Kirana S.S, Damai Tegar S.S, Helmi Yanuar S.S, Yoses Tanzak S.S, Anglir Bawono, Mayang Lokahita S.S, Upiek Listiarini S.S, Ebel Bryan Paat, Fika Nuriavi dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

10. Cahya Mahendrani S.S atas segala bantuannya dalam pengerjaan dan motivasi untuk terselesaikannya skripsi ini.

11. Seluruh Anggota Perpustakaan Jurusan Arkeologi, Dian Purnamasari Lea Elvida, Luhana Martha, dan kawan-kawan, terima kasih atas segalanya. Senang sekali menjadi bagian dari petugas sirkulasi perpustakaan.

12. Seluruh anggota KAPALASASTRA, Hapsoro, Ade Fitrahul, Yeni Prameswari, Nanda Ummul, Sekar Langit, Sonia Fatmarani, Topik, Novi, Uus, dan lainnya, terimakasih sudah menjadi bagian keluarga kecil penulis di Yogyakarta.

13. Natalie Ong, teman baru yang sangat baik, atas masukan dan bantuannya selama ini.

14. Teman – teman kos Prima Wahyu, Rasti Nugrahani S.Ant, Dhina Pahlawanti S.Si, Wikan Diaswara S.Psi, Riska Rahmananda, dan Ima Rahmawati yang selalu memberikan keceriaan selama tinggal di kos.

15. Sahabat-sahabat penulis, Andien Edardono, Aulia Rakhmah S.H, Yuhana Setianingrum S.S, Lana paka, Difa Adelia S.H, Khairul Anwar A.md , Hesti Aryani S.S, Renny Resabty, Titis Intan Permana, 15. Sahabat-sahabat penulis, Andien Edardono, Aulia Rakhmah S.H, Yuhana Setianingrum S.S, Lana paka, Difa Adelia S.H, Khairul Anwar A.md , Hesti Aryani S.S, Renny Resabty, Titis Intan Permana,

16. Susanto Syambas Efendi dan Budi Prakosa S.T atas segala bantuan, dukungan dan dorongan dalam pertemanan yang sangat menyenangkan selama ini.

Sangat penulis sadari bahwa tidak ada yang sempurna, namun penulis berusaha sebaik mungkin untuk menghasilkan skripsi yang baik. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar menjadi pembelajaran untuk penulis. Semoga skripsi ini dapat berguna di masa depan.

Yogyakarta, Juli 2014

Penulis

DAFTAR TABEL

41

Tabel 3.1 perhiasan dalam relief episode I

55

Tabel 3.2 perhiasan dalam relief episode II

65

Tabel 3.3 perhiasan dalam relief episode III

76

Tabel 3.4 perhiasan dalam relief episode IV

85

Tabel 3.5 perhiasan dalam relief episode V

96

Tabel 3.6 hubungan perhiasan dengan stratifikasi sosial

DAFTAR SINGKATAN

Ç : Çaka. Ditjen : Direktoral Jendral. Dkk.

: dan kawan-kawan. EFEO

: École Fran aise d’Extrême-orient. HK

: Hong Kong. Inc : Incorporation. Ing : Inggris.

JK : Jawa Kuna. KPG

: Kepustakaan Populer Gramedia. LIPI

: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. LP3ES

: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Ltd : Limited.

M : Masehi. No. : Nomor. PT : Perseroan terbatas. Sans : Sansekerta. Th : Tahun. TU : Tarikh Umum.

U.S.A : United State of America. Vol : Volume.

ABSTRAK

Perhiasan Sebagai Penanda Stratifikasi Masyarakat Pada Relief Lalitavistara Candi Borobudur

Penulis : Chitra Paramaesti Tahun Lulus : 2014 Pembimbing : 1. Dra Djaliati Sri Nugrahani

2. Dwi Pradnyawan S.S

Topik:

Studi ikonografi yang berkaitan dengan stratifikasi masyarakat yang digambarkan pada cerita relief Lalitavistara Candi Borobudur.

Permasalahan:

Apakah perhiasan dapat menjadi tolok ukur stratifikasi masyarakat dalam cerita Relief Lalitavistara?

Tujuan:

Mengetahui ragam perhiasan yang dikenakan oleh para tokoh dalam cerita Relief Lalitavistara dan kaitannya dengan stratifikasi masyarakat.

Metode:

Penelitian ini melakukan pendeskripsian cerita dalam relief dan tipologi perhiasan digunakan untuk mengetahui kaitan perhiasan dengan stratifikasi masyarakat.

Kesimpulan:

Sistem pelapisan masyarakat dalam Relief Lalitavistara, yang bersifat tertutup memiliki keistimewaan dalam hal penggunaan perhiasan. Sehubungan dengan masalah tersebut, dapat dikatakan bahwa pelapisan masyarakat yang digambarkan dalam Relief Lalitavistara, ditunjukkan pula oleh kemegahan perhiasan yang dikenakan. Selain itu, Relief Lalitavistara juga menggambarkan sistem stratifikasi terbuka, maka stratifikasi masyarakat selain mengacu pada kekuasaan dan materi, juga pada keahlian dalam menghasilkan sesuatu.

Kata Kunci:

Perhiasan, Ikonografi, Stratifikasi, Masyarakat, Relief, Lalitavistara, Candi, Borobudur.

ABSTRACT

Jewelry As Society Stratification Evidence On Lalitavistara Relief Of Borobudur Temple

Author : Chitra Paramaesti Year

: 2014 Supervisor

: 1. Dra. Djaliati Sri Nugrahani

2. Dwi Pradnyawan S.S

Topic:

Iconography study associated with the stratification of society depicted in the story of Lalitavistara on Borobudur reliefs.

Issue:

Is jewelry can be measured in a society stratified on Lalitavistara story?

Objectives:

To find out the variety of jewelry worn by the characters in Lalitavistara story and it’s relation to the society stratification.

Methods:

This research was conducted in description of the reliefs story and jewelry typology to determine the association between jewelry and society stratification.

Conclusion:

Society stratification system in Lalitiviatara story is closed stratification system which is the society has privilege in term of wearing jewelry. Related to the issue, Jewelry could be the indicator of stratification in society. Moreover, Lalitavistara reliefs also depicted the open stratification system, therefore the stratification of society beside refers to power and materials it also refers to human expertise to generated something.

Key words:

Jewelry, Iconography, Stratification, Society, Relief, Lalitavistara, Temple, Borobudur.

BAB I PENDAHULUAN

Banyak hal yang diungkapkan melalui relief. Ada yang berhubungan langsung dengan keadaan yang kini dapat ditemukan di Jawa atau di tempat lain, tetapi sebagian lainnya hanya dapat ditelusuri melalui dokumentasi foto. Hal ini menyebabkan penelitian terkait relief menjadi menarik, karena tidak hanya berhubungan dengan masa lampau, tetapi juga dengan perkembangannya hingga masa sekarang (Kempers, dalam Atmadi, 1979:13).

Salah satu relief yang menarik untuk diteliti ialah relief di Candi Borobudur. JG de Casparis dalam Haryono (2011), menyatakan bahwa secara etimologis Borobudur berasal dari kamulan i Bhumi Sambh āra yang tertulis dalam prasarti Çri Kaluhunan 842 M yang bermakna sebuah bangunan permujaan untuk Kamulan (asal-usul dinasti ailendra) bernama

Bh ūmisambhāra. Candi Borobudur menggambarkan makrokosmos yang berkaitan dengan Buddha, yang juga dapat dihubungkan dengan konsep Tridhatu, yaitu kamadhatu, tingkat pertama, merupakan tingkat dunia manusia biasa yang masih terkait dengan nafsu. Rupadhatu, tingkat kedua, yaitu dunia manusia yang masih terkait dengan rupa namun telah mampu mencapai kesempurnaan. Tingkat ketiga yaitu Arupadhatu, merupakan tingkat dunia kedewaan yang mengandung makna tidak berbentuk (Haryono, 2011:12-13). Pada masing-masing tingkatan tersebut dihiasi sejumlah relief yang terkait dengan ajaran dan cerita tokoh-tokoh suci (Kempers, 1976:88-121), terdiri atas:

1. Karmawibhangga Bagian ini ditemukan di kaki candi asli yang saat ini ditutup kaki tambahan sehingga tidak dapat dilihat. Relief pada tingkatan ini menceritakan tentang hukum sebab akibat atau hukum karma manusia. Semua relief yang terdapat pada tingkatan paling bawah melambangkan kehidupan dengan dunia materi yang mementingkan aspek duniawi (lihat gambar I.I).

2. Lalitavistara Arti dari Lalitavistara ialah kisah sandiwara, yang menceritakan kehidupan Buddha di dunia yang dianggap sebagai sandiwara. Dikisahkan, kehidupan sang Buddha sejak dilahirkan kembali menjadi Pangeran Sidharth ā hingga mengalami pencerahan dan menyebarkan Dharma untuk pertama kalinya. Dunia yang digambarkan dalam tingkatan ini ialah gambaran dunia yang tenang dan damai, walaupun masih terkait dengan kehidupan duniawi. Relief digambarkan di teras pertama pada dinding bagian atas (lihat gambar I.I).

3. Jataka Dalam kisah ini diceritakan peristiwa yang dialami Buddha dan kehidupan Buddha yang telah lalu. Jataka mengisahkan Buddha ketika beringkarnasi menjadi hewan. Relief terletak pada bagian atas dan bawah pagar langkan tingkat ke-1 dan tingkat ke-2 (lihat gambar I.I).

4. Avadana Kisah ini merupakan bagian dari kisah Jataka, yang menggambarkan pengorbanan orang-orang suci dalam agama Buddha. Salah satunya 4. Avadana Kisah ini merupakan bagian dari kisah Jataka, yang menggambarkan pengorbanan orang-orang suci dalam agama Buddha. Salah satunya

5. Gandavyuha Kisah ini menceritakan Bhodhisatva dalam pengembaraannya untuk melakukan kebajikan Buddha yang dilakukan tanpa mengenal lelah agar mencapai kesempurnaan. Relief terletak pada dinding dan pagar langkan tingkat ke-3 dan pagar langkan tingkat ke-4 (lihat gambar I.I).

6. Bhadracari Kisah ini merupakan penutup kisah sang Bhodhisatva. Dikisahkan Pangeran Sudhana yang bertekat menaati ajaran Samantabadra, sebagai tokoh Buddha akhir zaman. Relief terletak pada dinding tingkat ke-4 (lihat gambar I.I). Cerita dalam relief-relief yang terdapat pada bagian candi merupakan

mahakarya yang mereprentasikan kehidupan masyarakat Jawa Kuna melalui pahatan. Meskipun tema cerita pada relief bukan kisah asli dari Jawa Kuna, namun cara penggambaran sosok tubuh manusia, jenis binatang dan pepohonan serta bentuk-bentuk bangunan yang tampil dalam relief memiliki ciri Jawa yang Khas (Kusen, 1985:28).

Sehubungan dengan hal keterangan di atas, relief merupakan data yang dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui keadaan masyarakat pada masa relief tersebut dibuat. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya beberapa kemiripan antara gambar yang digambarkan dengan sumber-sumber tertulis (Astuti, 1987:133).

Cara membaca relief yang terdapat di Candi Borobudur, dimulai dari gapura candi pada bagian sebelah timur, dengan cara pradaksina, yaitu Cara membaca relief yang terdapat di Candi Borobudur, dimulai dari gapura candi pada bagian sebelah timur, dengan cara pradaksina, yaitu

Relief yang ada di Borobudur berjumlah 1.460 buah panil, menghiasi 1900 m² area bangunan, mulai dari bagian kaki yang tertutup di bagian Kamadhatu hingga teras dua di Rupadhatu, sedangkan di bagian Arupadhatu tidak terdapat relief. Hal tersebut dikarenakan tingkatan Arupadhatu memvisualisasikan nirwana sehingga tidak ada lagi hal-hal yang menyangkut rupa, sebagai perwujudan keduniawian (Miksic, 1991:39-42).

Gambar 1.1 Peletakan relief pada Candi Borobudur

(Sumber: Miksic, 1991:43)

Dalam relief Borobudur, setiap tokoh yang di pahatkan mengenakan perhiasan. Ragam perhiasan yang dikenakan cukup bervariasi, mulai dari perhiasan yang sederhana hingga perhiasan yang sangat raya. Oleh karena itu, di antara sejumlah relief yang ada di Candi Borobudur, penulis tertarik untuk Dalam relief Borobudur, setiap tokoh yang di pahatkan mengenakan perhiasan. Ragam perhiasan yang dikenakan cukup bervariasi, mulai dari perhiasan yang sederhana hingga perhiasan yang sangat raya. Oleh karena itu, di antara sejumlah relief yang ada di Candi Borobudur, penulis tertarik untuk

Relief Lalitavistara menggambarkan perjalanan Boddhisatva yang diturunkan dari Swarga Tushita menjadi manusia, yang kemudian dikenal dengan sebutan Buddha Sakyamuni. Dalam kehidupannya, Ia bertugas menyebarkan kebajikan serta melepaskan samsara pada umatnya.

Dikisahkan bahwa Boddhisatva dilahirkan kembali menjadi manusia, menitis pada seorang pangeran dari Kerajaan Kapilawastu, India. Ia terlahir sebagai putra Raja Śuddhodana dan Permaisuri Māyādevi dengan nama Sidharth ā. Pangeran Sidharthā tumbuh menjadi manusia yang paling menonjol dalam bidang ilmu pengetahuan dan pertarungan di antara manusia lainnya. Hingga pada akhirnya, Ia memutuskan untuk melakukan sebuah perjalan mencapai pencerahan, mencari kebahagiaan dan ketenangan menuju nirvana (Joesoef, 2004:102-112).

Cerita Lalitavistara berlatar istana, tetapi juga menggambarkan kehidupan sosial di luar istana. Hal tersebut dapat dilihat dari setting penggambaran kisahnya. Konteks adegan dalam relief menunjukkan perbedaan latar kehidupan di dalam dan di luar istana. Oleh karena itu, relief ini dipilih sebagai objek penelitian.

Terkait dengan stratifikasi masyarakat, masyarakat Jawa Kuna sudah mengenalnya, sebagaimana dikutip dari De Casparis, dalam Darmosoetopo (2003), bahwa di dalam masyarakat Jawa Kuna terdapat tiga lapisan sosial, yaitu kelompok agama, bangsawan, dan penduduk biasa. Lebih lanjut Darmosoetopo (2003) menyebutkan bahwa dalam kelompok agama, terdapat para marhyang, bih āraswami, dan pamgat. Mereka adalah orang-orang yang bertugas dalam Terkait dengan stratifikasi masyarakat, masyarakat Jawa Kuna sudah mengenalnya, sebagaimana dikutip dari De Casparis, dalam Darmosoetopo (2003), bahwa di dalam masyarakat Jawa Kuna terdapat tiga lapisan sosial, yaitu kelompok agama, bangsawan, dan penduduk biasa. Lebih lanjut Darmosoetopo (2003) menyebutkan bahwa dalam kelompok agama, terdapat para marhyang, bih āraswami, dan pamgat. Mereka adalah orang-orang yang bertugas dalam

Stratifikasi masyarakat Jawa Kuna tersebut divisualisasikan dengan jelas dalam relief Lalitavistara. Visualisasinya dapat dilihat dari rangkaian cerita dan peristiwa yang diwujudkan dalam adegan-adegan pada relief. Perhiasan yang dikenakan para tokoh dalam relief ditengarai menjadi penanda yang membedakan tokoh satu dengan lainnya.

Stratifikasi masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: kualitas serta keahlian, senioritas, keaslian, hubungan kekerabatan, pengaruh dan kekuasaan, pangkat, serta kekayaan (Koentjaraningrat, 2005:161). Selain itu terdapat prestige (gengsi) yang merupakan pandangan status atau kehormatan dari berbagai kelompok yang merupakan suatu dimensi penting dalam stratifikasi sosial. Gengsi tersebut ditentukan oleh sistem nilai yang berlaku pada suatu masyarakat dan keutamaan fungsional yang terlihat dari berbagai macam kedudukan dalam masyarakat tersebut (Warner, 1949:438). Untuk kepentingan tersebut, diperlukan penanda berupa benda.

Benda yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat ialah perhiasan. Fungsi perhiasan selain untuk pelengkap fashion juga sebagai penunjuk status sosial dan identitas. Tidak hanya itu, perhiasan merupakan bagian dari kebudayaan, juga untuk mengekpresikan media estetika seorang seniman (Drutt dalam Lufiani, 2009:261).

Keberadaan perhiasan sebagai penunjuk stratifikasi masyarakat Jawa Kuna dapat ditelusuri melalui pas ĕk-pasĕk yang diberikan sebagai hadiah. Dalam upacara penetapan sima, para pejabat desa yang menghadiri upacara penetapan sima mendapatkan pas ĕk-pasĕk, baik berupa pakaian, perhiasan, ataupun uang. Jumlah pas ĕk yang diterima berbeda-beda antara pejabat satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut dilatari oleh status sosial para pejabat yang menerimanya (Darmosoetopo, 2003:154-155).

RUMUSAN MASALAH

Melalui uraian di atas diketahui bahwa perhiasan memiliki peran sebagai penanda status sosial. Dalam Relief Lalitavistara di Candi Borobudur, ditemukan gambaran akan stratifikasi masyarakat. Salah satu penanda stratifikasi masyarakat tersebut adalah perhiasan yang dikenakan tokoh dalam relief. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji ragam perhiasan dan bagaimana keterkaitannya dengan stratifikasi masyarakat. Adapun permasalahan yang dikaji, yaitu:

1 Apa saja ragam perhiasan yang dikenakan para tokoh dalam cerita Lalitavistara?

2 Apakah perhiasan dapat menjadi tolok ukur stratifikasi masyarakat dalam cerita Lalitavistara?

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi ragam perhiasan yang dikenakan para tokoh dalam cerita Lalitavistara.

2. Mengelompokkan perhiasan berdasarkan kedudukan tokoh yang mengenakan.

3. Mengidentifikasi perhiasan yang dapat menjadi penanda status dalam stratifikasi sosial masyarakat.

RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini memfokuskan pada perhiasan yang dikenakan oleh para tokoh dalam relief Lalitavistara. Selain menceritakan kisah lahirnya ajaran Budhis, dalam visualnya Lalitavistara menyuguhkan keragaman kehidupan sosial, yang ditunjukkan antara lain melalui banyak tokoh dan perhiasan yang dikenakan. Dalam kajian ikonografi perhiasan yang dikenakan tokoh disebut abharana, yaitu pakaian dan perhiasan yang dikenakan ikon.

Lingkup kajian dalam penelitian ini ialah kajian ikonografis. Dalam cakupan besar, rangkaian pigura-pigura yang menggambarkan cerita dapat dipandang sebagai ikon dari karya sastra, baik yang disampaikan secara lisan ataupun tertulis. Dalam cakupan yang lebih kecil, cakupannya mengacu pada situasi kehidupan manusia yang mewakili kondisi pada saat pembuatan candi (Sedyawati, 1994:65).

Implikasi dari penelitian ini adalah menentukan tipologi atribut perhiasan yang dikenakan oleh para tokoh dengan mengklasifikasikannya berdasarkan Implikasi dari penelitian ini adalah menentukan tipologi atribut perhiasan yang dikenakan oleh para tokoh dengan mengklasifikasikannya berdasarkan

KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian tentang stratifikasi dan perhiasan dengan objek relief sebenarnya sudah dilakukan. Akan tetapi, penelitian tentang perhiasan sebagai penanda stratifikasi sosial pada masyarakat berdasarkan Relief Lalitavistara, belum dilakukan. Artinya penelitian-penelitian terdahulu, baik tentang perhiasan maupun tentang stratifikasi sosial tidak saling dikaitan.

Penelitian yang dilakukan Edi Sedyawati dengan judul Saiwa dan Bauddha di Masa Jawa Kuna (2009), menjelaskan perkembangan Agama Hindu dan Buddha. Di dalamnya juga memaparkan pengarcaan beserta ragam hias pada arca secara umum dan tidak spesifik. Penelitian tersebut mendeskripsikan banyak relief dan arca dari berbagai candi di Jawa, tidak terfokus pada satu cerita relief dan candi. Hasilnya tidak membuat tipologi perhiasan dalam kaitannya dengan golongan masyarakat yang tergambar pada relief.

Penelitian Hendrika Tri Sumarni (2000) yang berjudul Variasi Pakaian dan Perhiasan Arca Batu Durga Mahisasuramardhini Koleksi Museum Nasional Jakarta, menghasilkan tipologi perhiasan yang dikenakan Durga dan gambaran sosial budaya pada masa tersebut. Penelitian tersebut menunjukkan variasi perhiasan, akan tetapi tidak digunakan untuk melihat stratifikasi masyarakat.

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Astuti (1987), dengan judul Pakaian Bangsawan Pada Masyarakat Jawa Kuna Abad XII–XV Masehi Tinjauan Berdasarkan Beberapa Relief Candi di Jawa Timur, menjelaskan tipologi pakaian bangsawan pada masa Jawa Kuna. Selain pakaian, dalam penelitian tersebut Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Astuti (1987), dengan judul Pakaian Bangsawan Pada Masyarakat Jawa Kuna Abad XII–XV Masehi Tinjauan Berdasarkan Beberapa Relief Candi di Jawa Timur, menjelaskan tipologi pakaian bangsawan pada masa Jawa Kuna. Selain pakaian, dalam penelitian tersebut

Penelitian yang dilakukan oleh Inda Citraninda Noerhadi (2012), dengan judul Busana Jawa Kuna, menghasilkan beberapa tipologi pakaian yang dikenakan masyarakat Jawa Kuna melalui Relief Karmawibhangga Candi Borobudur. Meskipun dalam penelitian tersebut disebutkan perhiasan yang menjadi salah satu tolok ukur statifikasi masyarakat, akan tetapi identifikasi perhiasan dalam penelitian tersebut bersifat permukaan dan tidak mendalam.

METODE PENELITIAN

Untuk menjawab permasalah yang dikemukakan dalam penelitian ini, kajian yang digunakan ialah studi Ikonografi. Ikonografi adalah kajian tentang identifikasi, deskripsi dan interpretasi ikon berdasarkan atribut yang menjadi penandanya. Salah satu bagian dari penanda ikon adalah abharana, yang terdiri atas pakaian dan perhiasan. Kemudian hasil identifikasi perhiasan dikaitkan dengan stratifikasi masyarakat yang ada dalam relief.

Jenis penelitian ini adalah kualitatif, yaitu jenis penelitian yang temuan- temuannya diperoleh melalui prosedur analisis non-matematis (Strauss, 2003:4- 5). Dalam penelitian ini penalaran yang digunakan adalah induktif, yang didasarkan pada kajian fakta-fakta atau gejala khusus untuk disimpulkan sebagai gejala yang bersifat generalisasi empiris (Tanudirjo, 1988:34). Penalaran ini menjadi dasar penelitian yang mengutamakan pengkajian data sebagai pangkal Jenis penelitian ini adalah kualitatif, yaitu jenis penelitian yang temuan- temuannya diperoleh melalui prosedur analisis non-matematis (Strauss, 2003:4- 5). Dalam penelitian ini penalaran yang digunakan adalah induktif, yang didasarkan pada kajian fakta-fakta atau gejala khusus untuk disimpulkan sebagai gejala yang bersifat generalisasi empiris (Tanudirjo, 1988:34). Penalaran ini menjadi dasar penelitian yang mengutamakan pengkajian data sebagai pangkal

Dengan demikian, sifat penelitian ini ialah deskriptif. Pada hakekatnya, bertujuan untuk memberikan gambaran suatu fakta atau gejala tertentu yang diperoleh dalam penelitian. Dengan demikian penelitian ini mengutamakan kajian data, yang dikaitkan dengan kerangka ruang, waktu, dan bentuk (Tanudirjo, 1988:34).

Terdapat 120 panil dalam Relief Lalitavistara yang digunakan sebagai data. Akan tetapi tidak seluruh panil dalam Lalitavistara digunakan sebagai data. Data dipilih dengan menggunakan teknik Purposive Sampling (Mantra, 1989:155). Penggunaan purposive sampling dikarenakan ditemukan beberapa relief dalam kondisi yang sudah tidak baik dan juga terdapat tokoh yang sama dalam beberapa relief, maka data relief yang diambil merupakan relief dengan kondisi baik dan terdapat tokoh yang dapat mewakili keseluruhan cerita Lalitavistara. Kriteria yang digunakan untuk memilih sample adalah tokoh, yang mewakili stratifikasi masyarakat yang digambarkan dalam relief. Cerita Lalitavistara sudah teridentifikasikan sampai dengan tokoh yang digambarkan. Acuan identifikasi cerita menggunakan publikasi yang ditulis oleh Pleyte (1901) dan Leber (2011).

Tokoh yang dipilih adalah yang mewakili strata masyarakat dalam cerita dan perhiasannya dapat diamati dengan jelas penggambarannya, tidak rusak atau aus. Berdasarkan metode yang digunakan, maka tahapan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Tahap Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan terhadap data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan cara pengamatan, pengenalan dan pendokumentasian tokoh dan perhiasan yang dikenakan. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, berupa semua informasi baik tentang perhiasan dan stratifikasi masyarakat Jawa Kuna sebagai data pendukung.

2. Tahap Pengolahan Data Dalam pengolahan data dilakukan pemilihan relief terbaik yang mewakili keseluruhan tokoh dalam cerita. Kemudian dilakukan pendeskripsian, berupa penjelasan secara naratif (Riyanto, 2000:10) terhadap panil-panil relief terpilih. Dalam prosesnya tersebut dilakukan deskripsi cerita, dengan fokus perhiasan yang dikenakan para tokoh.

3. Tahap Analisis Data Analisis data dilakukan untuk menjawab permasalahan yang ada. Analisis yang pertama ialah pembuatan tipologi perhiasan, untuk memperoleh ragam perhiasan yang dikenakan tokoh.

Tipologi dikembangan dengan tujuan spesifik, salah satunya ialah melakukan penggolongan ke dalam sistem penelitian. Dalam ilmu arkeologi, tipologi dapat digunakan untuk berbagai tujuan, hal tersebut dipengaruhi oleh perumusan dan penggunaan tipologi itu sendiri. Pembuatan dan penggunaan tipologi melibatkan proses yang terpisah dari klasifikasi (menciptakan kategori) dan pemilahan (menempatkan sesuatu ke dalam kelompok tertentu) (Adams, 2008:240).

Pembuatan tipologi perhiasan yang dikenakan tokoh dalam Relief Lalitavistara dibuat berdasarkan kenampakkan morfologisnya. Melalui pengelompokan perhiasan yang digunakan oleh para tokoh, dapat diketahui variasi dan jumlah perhiasan yang dikenakan.

Dengan mengetahui variasi dan jumlah perhiasan yang dikenakan setiap tokoh dalam Relief Lalitavistara, maka dapat dilihat status sosial pengguna perhiasan. Kemudian, dapat digolongkan dari strata manakah tokoh-tokoh tersebut.

4. Tahap Interpretasi Setelah mengetahui hasil dari analisis tipologi perhiasan maka dapat dilakukan pemilahan golongan dalam stratifikasi masyarakat yang tergambar dalam relief Lalitavistara, hasil dari analisis tersebut diinterpretasi untuk mencari makna dan implikasi dari hasil penelitian (Effendi, 1989:263). Oleh sebab itu, analisis tipologi menjadi interpretasi yang menghasilkan kesimpulan yang dapat menjawab seluruh permasalahan yang diajukan sebelumnya.

5. Tahap Kesimpulan Tahan interpretasi diakhiri dengan melakukan generalisasi empiris diperoleh dari hasil interpretasi, yang kemudian menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan dapat menjawab seluruh permasalahan yang diajukan.

BAB II STRATIFIKASI MASYARAKAT JAWA KUNA DAN ATRIBUTNYA

A. Stratifikasi Sosial

Perbedaan sosial pada masyarakat yang diurutkan secara bertingkat merupakan definisi stratifikasi masyarakat. Sistem stratifikasi dapat ditemukan dalam berbagai kualifikasi sosial, sebagai contoh kelas sosial, ras, gender yang dapat dikaitkan dengan status dan pestige. Pada masyarakat modern stratifikasi menekankan pada kualitas ekonomi, sedangkan pada masyarakat tradisional, kuna dan feodal stratifikasi ditekankan pada prinsip status (Abercombie, 2010:155).

Menurut Weber, dalam the religion of India (1958), status ialah sebuah unsur dalam stratifikasi sosial yang berbeda dari kelas sosial untuk menjelaskan kolektivitas tertentu yang membedakannya dari kelompok sosial lainnya di dalam sebuah masyarakat. Setiap masyarakat memiliki penilaian yang berbeda terhadap kedudukan yang ada dalam lingkungannya, baik yang sangat serderhana ataupun yang sangat kompleks. Dalam masyarakat kecil dan sederhana, pembedaan tersebut biasanya bersifat terbatas. Hal ini dikarenakan, selain jumlah masyarakat yang sedikit, orang-orang dengan kedudukan tinggi tidak banyak pula jumlahnya. Sebaliknya, dalam masyarakat kompleks, perbedaan akan kedudukan dan status sosialnya rumit. Hal tersebut dikarenakan jumlah warganya yang banyak dan orang-orang dengan berbagai kedudukan tinggi banyak pula ragamnya. Pembedaan dalam hal kedudukan dan status tersebutlah yang pada akhirnya menjadi dasar dari munculnya stratifikasi sosial (Koentjaraningrat, 1972:158).

Hal-hal yang dapat dilihat dari ketidaksamaan tersebut ialah sebagian anggota masyarakat memiliki kekuasaan dan sebagian lainnya dikuasai. Masyarakat pun dibeda-bedakan berdasarkan golongan yang terbentuk sendirinya. Golongan yang tercipta dalam masyarakat biasanya berdasarkan garis keturunan, kekayaan atau penghasilan, dan prestige. Pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status sosial yang dimilikinya dinamakan stratifikasi sosial (Sunarto, 1993:83).

Stratifikasi sosial dalam masyarakat terbagi menjadi dua sifat, yaitu yang bersifat tertutup (closed social stratification) dan yang terbuka (open social stratification). Stratifikasi sosial yang bersifat tertutup membatasi seseorang dalam kelompoknya untuk berpindah dari lapisan yang satu ke lapisan lainnya. Dalam sistem ini, satu-satunya cara untuk masuk menjadi anggota lapisan masyarakat ialah karena keturunan. Sementara dalam sistem yang bersifat terbuka, setiap anggota masyarakat berkesempatan untuk berpindah ke lapisan lainnya, atas usahanya sendiri. Namun ada kalanya jika tidak berusaha dapat jatuh kelapisan yang lebih bawah (Arimbawa, 1999:4). Sebagai contoh dari stratifikasi yang bersifat tertutup (closed social stratification) ialah seorang anak laki-laki pertama dari seorang raja, walaupun tidak memiliki kecakapan dalam memimpin sebuah kerajaan, kelak Ia akan memimpin kerajaan untuk menggantikan posisi ayahnya. Sebaliknya, contoh dari stratifikasi yang bersifat terbuka (open social stratification) ialah seorang anak dari keluarga strata bawah mampu berpindah posisi sosial ke strata yang lebih tinggi dikarenakan kecapakannya, misalnya dalam ilmu dagang atau ilmu pengetahuan.

Dalam banyak prasasti yang ditemukan di Jawa, disebutkan adanya stratifikasi sosial masyarakat berdasarkan kasta, yang terdiri dari kasta

Brahmana, Ksatrya, Waisya, dan Sudra. Akan tetapi, stratifikasi masyarakat Jawa Kuna tidak semata-mata sama dengan stratifikasi berdasarkan catur warna seperti yang dikemukakan di India. Nastiti (2009, 56-58) mengemukakan bahwa stratifikasi sosial masyarakat Jawa Kuna berdasarkan profesi, meskipun menggunakan sebutan seperti catur warna yang ada di India.

Menurut Sumadio, dalam Nastiti (2009, 58) seorang kasta Brahmana, merupakan kasta tertinggi dalam masyarakat, dapat menduduki jabatan dalam struktur birokrasi di tingkat desa, tingkat watak, hingga tingkat pusat. Akan tetapi, sang pamagat tiruan yang berasal dari kasta Ksatrya menduduki jabatan keagamaan di tingkat pusat atau menjadi petapa yang tinggal di biara. Hal tersebut menunjukan ketimpangan antara fungsi dari kasta dengan aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, penggolongan masyarakat pada tiap zamannya memiliki perbedaan. Lebih lanjut dalam bab ini akan di paparkan gambaran stratifikasi masyarakat berdasarkan prasasti yang ditemukan pada kerajaan di wilayah Jawa.

1. Masyarakat Mataram Kuna

Berdasarkan prasati-prasasti yang ditemukan, terdapat setidaknya lima golongan masyarakat yang ditengarai berdasarkan kekuasaan, sebagaimana disebutkan oleh beberapa ahli inskripsi, sebagai berikut:

1.1 Rakryan Rakryan yang secara harfiah artinya saudara tertua, merupakan gelar untuk raja, sebagaimana pada kutipan Prasasti Waharu (873M) disebutkan: “… tatkala sang hadyan kuluptiru kapw ānakan rakryan tolobong

(?) manusuk s īma lmah waharu...” Artinya:

“… ketika sang hadyan Kuluptiru keponakan Rakryan Tolobong (?) menetapkan daerah perdikan tanah di Desa Waharu…”

Dari kutipan prasasti di atas, Jones (1984) menjelaskan, Rakryan merupakan gelar raja yang digunakan dalam beberapa inskripsi di Jawa Tengah pada abad VIII – X, akan tetapi, dalam beberapa insripsi yang ditemukannya Rakyan juga digunakan untuk menyebutkan istri raja.

1.2 Hino Hino merupakan gelar putra mahkota, sebagaimana Jones (1984)

menjelaskan bahwa Hino ialah gelar orang kedua dalam kerajaan. Kelak seseorang yang bergelar Hino akan menjadi raja, sebagaimana disebutan antara lain dalam prasari Sri manggala II dan Panggumulan I.

1.3 Halu Halu merupakan golongan keturunan raja yang statusnya di bawah keluarga raja, dapat diartikan sebagai sepupu atau saudara jauh keluarga kerajaan. Jones (1984) menjelaskan dalam beberapa inskripsi di Jawa tengah Halu selalu disebutkan setelah Hino.

1.4 Sang Aden, Para Handyan dan Sang Nganden Istilah tersebut merupakan kelompok masyarakat terhormat, termasuk bangsawan namun kedudukannya di bawah keturunan raja dan samanak yang hubungan kekerabatannya lebih dekat dengan raja, hal tersebut antara lain ditunjukkan melalui Prasasti Waharu (873M):

“… tatkala sang hadyan kuluptiru kapw ānakan rakryan tolobong (?) manusuk s īma lmah waharu...”

Artinya: “… ketika sang hadyan Kuluptiru keponakan Rakryan Tolobong (?)

menetapkan daerah perdikan tanah di Desa Waharu…”

Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa Sang Aden kemudian berubah menjadi Sang Raden, Rahardyan, atau Raden. Gelar tersebutpun masih dikenal dalam masyarakat Jawa masa kini. Dalam surat sarasilah kraton Yogyakarta, gelar raden digunakan oleh keturunan kelima dan seterusnya dalam silsilah keturunan keluarga kerajaan (Atmodjo, 1979:29).

1.5 Si Si, merupakan nama depan yang digunakan untuk menyebutkan orang kebanyakan atau orang dari golongan rendah. Dalam prasasti Tlang (903 M) dan prasasti Poh, ditemukan lebih sedikit nama-nama orang yang menggunakan Bahasa Sansekerta dan ditemukan banyak nama lokal yang berawalan Si. Dari temuan tersebut dapat dilihat bahwa orang-orang yang menggunakan nama Sansekerta ialah orang-orang yang berasal dari golongan yang lebih tinggi, sedangkan sebutan Si diperuntukkan bagi orang-orang yang golongannya lebih rendah (Atmodjo, 1979:33).

B. Atribut Dalam Stratifikasi Sosial

Hampir dalam semua masyarakat terdapat gejala bahwa orang yang memiliki kedudukan tertentu cenderung bergaul dengan orang-orang dengan kedudukan yang sama, sehingga terbentuk lapisan sosial. Setiap golongan sosial tersebut kemudian memiliki cara dan gaya hidup tertentu pula untuk menunjukan identiasnya. Salah satunya dengan gelar yang dimiliki serta hak-haknya dan atribut yang dikenakan dalam berkehidupan sosial (Koentjaraningrat, 2005:161- 170).

Ketentuan golongan tertentu dalam mengenakan atribut, diterangkan dalam sejumlah prasasti yang menyebutkan bahwa, orang yang dapat Ketentuan golongan tertentu dalam mengenakan atribut, diterangkan dalam sejumlah prasasti yang menyebutkan bahwa, orang yang dapat

1. Karena jasa-jasa kepada raja atau kerajaan, maka rakyat pada suatu daerah diizinkan atas barang-barang yang ditetapkan oleh raja untuk dimiliki ataupun dikenakan.

2. Karena daerah mereka telah dijadikan daerah perdikan (Boechari, 1977: 38-40). Beberapa bait dari prasasti Humading 797 menyebutkan pembagian hak upeti dari sebidang sawah yang dijadikan s īma bangunan prāsādā di Gununghyang, sebagai berikut:

“(3) h ārāja rakai kayuwaňi anun inaňsĕan pasak pasak wyawastha nin manusuk s īma//samgat wadihatu pu mananggih sisim pasada (4) woh 1 wrat mā

8 wdihan a ňsit yu 1 tuhan 2 mirah mirah si guwar. Span si wadag sisim pasada who 2 wrat m ā 8 wdihan (5) aňsit yu anun kinon milua manusuk sīma. Kuwu si agama sisim pasada woh 1 wrat m ā 4 wdihan aňsit yu 1” Artinya:

“(3) haraja Rakai Kayuwangi. Yang diberi pisung (demi) tegaknya penetapan s īma (mereka adalah) Samngat Wadihati pu Managih (diberi) cincin pasada (4) sebuah berat 8 m ā bĕbĕd angsit 1 yu. Tuhan dua (dari) mirah-mirah si Guwar (dan) si Wadag (medapat) cincin pasada 2 buat berat 8 m ā bĕbĕd (5) Angsit 2 yu. Yang disuruh mengikuti menetapkan s īma kuwu si agama (mendapat) cincin pasada sebuah seberat 4 m ā bĕbĕd angsit 1 yu” (Darmosoetopo, 2009:285).

Dari beberapa bait pada prasasti Humading 797 , dapat dilihat bahwa hanya orang-orang tertentu yang medapat cincin pasada dengan berat yang berbeda sesuai dengan kedudukan mereka di watak. Hal tersebut menunjukan cincin yang merupakan bagian dari perhiasan ialah benda mewah dan termasuk dalam atribut golongan tertentu (Darmosoetopo, 2009:285).

Perhiasan adalah salah satu hasil budaya yang memiliki peran dalam kehidupan manusia. Selain sebagai sarana menghiasi tubuh, perhiasan juga Perhiasan adalah salah satu hasil budaya yang memiliki peran dalam kehidupan manusia. Selain sebagai sarana menghiasi tubuh, perhiasan juga

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa di samping fungsinya sebagai sarana berhias, perhiasan juga memiliki nilai-nilai simbolik atau maksud-maksud tertentu yang berhubungan dengan pandangan hidup dari pemakainya ataupun penciptanya. Dengan demikian, perhiasan memiliki fungsi praktis, sosial, dan sekaligus simbolis (Marwoto, 1992:25-26).

Bentuk perhiasan tidak selalu kaku, misalnya gelang yang hanya berbentuk lingkaran dan dikenakan di tangan. Namun, gelang dapat mempunyai ornamen atau motif hias tertentu. Motif hias adalah pangkal atau dasar dari sebuah kesenian dan apabila telah disusun dengan teknik tertentu akan menjadi sebuah ornamen yang bertujuan menambah nilai keindahan objek yang diberi ornamen. Seringkali ornamen juga dibuat untuk menyampaikan pesan tertentu, misalnya untuk menunjukkan status seseorang (Marwoto, 1992:24).

Menurut kitab Shilpa Shastra yang di kutip dari Liebert (1976), Rao (1992), dan Sthapati (2002) perhiasan terdiri dari atas beberapa komponen, sebagaimana diidentifikasikan melalui gambar 2.1 dan gambar 2.2.

Kiritamakuta Karna Pushpa

Kundala

Hara

Skandhamālā

Cannavira Keyura

Katisūtra

Kankana

Muktadāma

Anguliya

Padavalaya Padasaras

Gambar 2.1 Perhiasan Pada Tokoh Wanita Sumber: Stapati (2002) dan Rao (1992) Gambar 2.1 Perhiasan Pada Tokoh Wanita Sumber: Stapati (2002) dan Rao (1992)

Karna Pushpa

Hara Graiveyaka Bhujangavalaya

Upavita Udara Bandha

Keyura

Katisūtra

Kankana

Muktadāma

Padavalaya Padasaras

Gambar 2.2 Perhiasan Pada Tokoh Pria

Sumber: Stapati (2002) dan Rao (1992)

Dari gambar 2.1 dan gambar 2.1 diketahui perhiasan yang dikenakan tokoh atau ikon wanita dan pria terdiri atas:

1. Kiritamakuta Kirita makuta adalah tata rambut yang menyerupai mahkota. Rambut disusun sedemikian rupa hingga bagian bawah berbentuk bundaran makin naik ke atas bundaran tersebut berukuran semakin kecil dan juga diberi hiasan untaian manik-manik ataupun bunga (lihat gambar 2.1).

2. Karandamakuta Karanda makuta adalah mahkota yang berbentuk seperti keranjang yang mengerucut pada bagian atasnya. Berhiaskan ukiran-ukiran floral untuk memperindah mahkota (lihat gambar 2.2).

3. Karna pushpa Karna Pushpa adalah untaian bunga yang disisipkan di atas telinga sebagai pelengkap, untuk menghiasi area kepala (lihat gambar 2.1 dan gambar 2.2).

4. Kundala Kundala ialah hiasan telinga berbentuk bulat dan bagian tengahnya dihiasi mutiara bentuk lain kundala berbentuk segitiga atau lingkaran yang masuk ke dalam lubang telinga (lihat gambar 2.1 dan gambar 2.2).

5. Hara Hara adalah kalung yang melekat ketat pada leher, dihiasi permata yang besar pada bagian tengahnya (lihat gambar 2.1 dan gambar 2.2).

6. Skandham ālā Skandham ālā adalah kelat bahu yang menghiasi bahu kanan dan kiri yang terkait dengan hara, biasanya dikenakan oleh tokoh wanita (lihat gambar 2.1).

7. Bhujangavalaya Bhujangavalaya adalah kelat bahu yang menghiasi bahu kanan dan kiri yang terkait dengan hara biasanya dikenakan oleh tokoh pria (lihat gambar 2.2).

8. Cannavira Cannavira ialah hiasan berbentuk rantai yang melingkari leher dan menyilang dada dari bagian depan hingga belakang (lihat gambar 2.1).

9. Upavita Upavita ialah selempang dada yang dikenakan dari bagian bahu kiri melingkar ke dada hingga bagian pinggang kanan. Upavita dapat berupa untaian manik-manik, pita, atau tali (lihat gambar 2.2).

10. Udara bandha Udara bandha ialah ikat pinggang, berbentuknya dapat sederhana atau dengan hiasan mutiara atau permata (lihat gambar 2.2).

11. Keyura Keyura adalah hiasan pada lengan, bentuknya bervariasi ada yang polos dan ada juga yang diberi hiasan, misalnya bunga atau mutiara yang membentuk huruf ‘V’ (lihat gambar 2.1 dan gambar 2.2).

12. Kankana Gelang yang dikenakan pada pergelangan tangan dinamakan kankana. Biasanya gelang tersebut digunakan dalam jumlah ganjil, yaitu

1,3,5,7,9 atau 11 buah gelang. Bentuknya bervariasi ada yang polos ada yang diberi hiasan (lihat gamabar 2.1 dan gamabr 2.2).

13. Anguliya Anguliya adalah cicin yang berhiaskan bunga dan batu permata yang dikenakan pada seluruh jari, kecuali pada jari tengah (lihat gambar 2.1).

14. Katis ūtra Katis ūtra atau mekalai digunakan pada bagian pinggul, biasanya dihiasi oleh permata dan mutiara (lihat gambar 2.1 dan gambar 2.2).

15. Muktad āma Muktad āma ialah bagian dari rangkaian Katisūtra, yang merupakan pengikat antara kain dan perhiasan (lihat gambar 2.1 dan gambar 2.2).

16. Padavalaya Padavalaya adalah gelang kaki yang berbentuk lingkaran, biasanya dikenakan lebih dari satu, biasanya tiga atau lima buah pada setiap kakinya (lihat gambar 2.1 dan 2.2).

17. Padasaras Padasaras ialah gelang kaki yang berbentuk rantai (lihat gambar 2.1 dan gambar 2.2). Selain yang sudah disebutkan, terdapat beberapa perhiasan lainnya yang terdiri atas:

18. Jatamakuta Pada intinya jatamakuta adalah mahkota yang disusun dari rambut dan dibentuk seperti bentuk piramida. Tata rambut seperti ini memiliki sejumlah variasi bentuk dan hiasan yang disebut purinam. Purinam memiliki rantai, manik-manik, dan hiasan berbentuk seperti kelopak 18. Jatamakuta Pada intinya jatamakuta adalah mahkota yang disusun dari rambut dan dibentuk seperti bentuk piramida. Tata rambut seperti ini memiliki sejumlah variasi bentuk dan hiasan yang disebut purinam. Purinam memiliki rantai, manik-manik, dan hiasan berbentuk seperti kelopak

Gambar 2.3 Jatamakuta

(sumber: Sthapati, 2002)

19. Thoyyaham Thoyyaham merupakan hiasan rambut yang berbentuk liontin di ujungnya (dalam bentuk daun atau bentuk lain) terdiri atas batu mulia, yang tepiannya dihiasi mutiara yang diikat dengan rantai. Hiasan tersebut dikenakan pada dahi, dari sepanjang garis rambut hingga telinga (lihat gambar 2.4).

Gambar 2.4 Thoyyaham

(sumber: Sthapati, 2002)

20. Jamang

Jamang merupakan hiasan kepala yang dikenakan melingkari kepala dengan motif simbar (lihat gambar 2.5).

Gambar 2.5 Jamang (sumber: Astuti, 1987)

BAB III HUBUNGAN ANTARA PERHIASAN DAN STRATIFIKASI SOSIAL DALAM CERITA RELIEF LALITAVISTARA

Bab ini berisi deskripsi dan analisis perhiasan. Dalam pendeskripsiannya, tidak hanya disebutkan jenis perhiasan akan tetapi juga tokoh yang mengenakannya. Oleh sebab itu, bab ini juga membahas konteks antara perhiasan dan tokoh dalam cerita relief Lalitavistara yang mewakili stratifikasi sosial.

A. Cerita Lalitavistara

Lalitavistara ialah teks cerita dari ajaran Buddha Mahayana yang menceritakan Boddhisatva yang beringkarnasi menjadi Pangeran Sidharth ā untuk mendapatkan pencerahan. Cerita Lalitavistara dikisahkan dalam 120 panil pada lorong pertama candi Borobudur (Miksic, 2007:209).

Candi Borobudur terletak di pusat Pulau Jawa, dengan posisinya yang menjulang dikelilingi Bukit Menoreh, yang membujur dari arah timur ke barat serta gunung-gunung berapi, Merapi dan Merbabu di sebelah timur, Sumbing dan Sindoro di sebelah barat. Borobudur terletak di wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Soetarno, 2003: 71).

Borobudur dibangun sekitar abad VIII – IX M, pada zaman keemasan Dinasti ailendra. Asumsi tersebut didasarkan pada isi Prasasti Karang Tengah (prasasti ri Kahulunan) yang berangka tahun 824 M. Prasasti tersebut menyebut bahwa pendiri Candi Borobudur adalah Samaratungga yang memerintah pada 782 – 812 M di kerajaan Mataram (Puspitasari dkk, 2011: 1).

Bangunan Borobudur pada hakikatnya adalah stupa, yang didirikan di atas punden berundak berbentuk bujur sangkar. Bentuk kesemuanya ada sepuluh tingkat. Enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa induk sebagai puncaknya (lihat gambar 3.1).

Gambar 3.1 Bentuk Bangunan Borobudur (Sumber: Puspitasari dkk, 2011:4)

Secara kosmologis, Borobudur merupakan replika alam semesta yang dibagi menjadi tiga alam. Alam tertinggi ialah Arupadhatu, diwujudkan sebagai bagian tertinggi Borobudur yang diinterpretasikan sebagai alam yang abstrak dan tidak berwujud. Alam kedua ialah Rupadhatu atau alam bentuk yang tarafnya lebih tinggi dari dunia indria atau dunia kehidupan manusia biasa, manusia yang terhitung sebagai Boddhisatva yang menempati alam tersebut. Alam ketiga ialah Kamadhatu, yang merupakan tempat kehidupan manusia biasa dan hewan yang terikat dengan nafsu (Kempers dalam Soekmono, 1974: 25).

Di Cand di Borobud dur terdapa t berbagai cerita tau ladan Budd dha, yang diwujudkan d dalam bentu uk relief. Re elief tersebu t dapat dite mukan pada a tingkatan

K Kamadhatu dan Rupadh hatu (lihat ga ambar 3.1).

Lalitavist tara mence ritakan perj alanan Pan geran Sidha arth ā Gaut tama yang dipahatkan d pada tingk atan Rupad dhatu. Riwa ayat hidup Sang Budd ha seperti dikisahkan d pada relief f Candi Bo orobudur, se ebagaimana a dikemukak kan Leber

(2011), terin ( nspirasi ole eh teks Saw w āstiwāda S Sansekerta berjudul La alitavistara. Teks terseb T but diangga ap sebagai salah satu u teks pent ting dalam kitab-kitab

b berbahasa T Tibet. Berd asarkan 12 20 panil Lal itavistara, d dapat diketa agorikan me enjadi lima

e episode (liha at gambar 3 .2) yaitu:

1. Meny yambut kela ahiran Boddh hisatva

2. Masa a kecil dan r remaja pang geran Siddh ārtha ā

3. Emp at pertemua an dan pelep pasan Siddh ārtha

4. Tahu un-tahun Ga autama seba agai pertapa dan pengem mbara

5. Penc cerahan dan n pemutaran roda dharm ma Buddha

1. Episode Menyambut kelahiran Terakhir Sang Buddha

Episode ini dimulai ketika Sang Bhoddhisatva berada di Swarga Tushita, memberitahukan kepada para dewa tentang waktu kelahirannya sebagai manusia setelah berkalpa-kalpa menyempurnakan diri. Para dewa pun menjelma menjadi Br āhmana, membantu persiapan untuk menyambut kedatangan makhluk Agung (Leber, 2011).

Setelah dikabarkan Buddha akan turun ke dunia, kemudian ditentukannya tempat, keluarga, dan bentuk kelahiran Buddha, yaitu di wilayah W ārā as (Benares India). Para Pratyeka Buddha yang menetap disana memberi tempat bagi kedatangan Buddha. Para resi tersebut segera pergi ke nirvana. Sebelum turun ke dunia, sang Boddhisatva menyerahkan mahkotanya kepada Maitreya, calon pengganti Buddha yang akan datang.

Ratu M āyādev , istri Raja Śuddhodana dari Kapilawastu, dipilih menjadi ibu untuk Buddha. Ia belum menyadari pilihan agung yang dijauhkan kepadanya. Ratu M āyādev bermimpi seekor gajah putih kecil dan bergading emas masuk ke dalam tubuhnya. Ratu M āyādev menceritakan mimpi yang dialaminya kepada Raja Śuddhodana. Ia memohon kepada suaminya untuk meminta br āhmana terpelajar menafsirkan mimpi tesebut.

Br āhmana meramalkan bahwa Ratu Māyādev dan Raja Śuddhodana akan dikaruniai seorang putra, yang kelak menjadi penguasa dunia atau seorang Buddha. Bahagia dengan penafsiran mimpi tersebut Raja Śuddhodana bermurah hati memberikan penghargaan kepada para Br āhmana.

Pada saat mengandung makhluk agung, Sang Ratu memiliki kekuatan spiritual untuk menyembuhkan. Ia mampu menyembuhan orang sakit. Pada saat Pada saat mengandung makhluk agung, Sang Ratu memiliki kekuatan spiritual untuk menyembuhkan. Ia mampu menyembuhan orang sakit. Pada saat

d dan seluruh semesta be ersiap menya ambut kedat tangan Budd dha.

Episode ini divisuali isasikan dal lam 27 pane el, yaitu pan nil no. Ia 1-I Ia 27 (lihat

g gambar 3.2 2). Dalam panil-panil tersebut terdapat s sejumlah to okoh yang

d diidentifikas ikan sebaga ai berikut:

Dokumen yang terkait

Analisis Komposisi Struktur Modal Yang Optimal Sebagai Upaya Peningkatan Kinerja Operasional Pada PT Telagamas Pertiwi Di Surabaya

1 65 76

Kajian Karakteristik Fisik, Kimia dan Mikrobiologis Edible Film dari Tiga Jenis Pati (Kimpul, Ubi Jalar Putih dan Singkong) dengan Penambahan Filtrat Kunyit (Curcuma longa Linn.) Sebagai Penghambat Bakteri Salmonella.

16 119 21

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Pengelolaan Publikasi MelaluiMedia Sosial Sebagai sarana Pengenalan Kegiatan Nandur Dulur( Studi deskriptif pada tim publikasi Nandur Dulur)

0 66 19

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Modifikasi Struktur Senyawa Etil Pmetoksisinamat Melalui Proses Nitrasi- Esterifikasi dengan 1-Butanol Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi

3 34 113

Analisis Prioritas Program Pengembangan Kawasan "Pulau Penawar Rindu" (Kecamatan Belakang Padang) Sebagai Kecamatan Terdepan di Kota Batam Dengan Menggunakan Metode AHP

10 65 6

Peranan Deposito Sebagai Sumber Dana Pada PT. Bank X,Tbk. Cabang Buah Batu Bandung

3 47 1

Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Komitmen Organisasi Melalui Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Mediasi pada Bank DKI Kantor Cabang Surabaya

0 1 21

Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 19 17