Perpustakaan Digital di SMA Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Perpustakaan

sebagaimana

yang

ada

dan

berkembang

sekarang

telah

dipergunakan sebagai salah satu pusat informasi, sumber ilmu pengetahuan, penelitian,

rekreasi, serta penyedia layanan jasa lainnya. Hal tersebut telah ada sejak dulu dan terus
berproses secara alamiah menunjuk kepada suatu kondisi dan tingkat perbaikan yang
signifikan meskipun belum memuaskan semua pihak.
Pesatnya pertumbuhan teknologi masa kini telah membawa kita ke dalam era
digital. Hampir setiap aspek dalam kehidupan sehari-hari perlahan berubah menjadi serba
digital, mulai dari internet banking, toko online sampai buku elektronik, dan lain-lain.
Perpustakaan digital adalah salah satunya. Di Indonesia sudah terdapat sekolah-sekolah
khususnya SMA yang menggunakan sistem perpustakaan digital. Kemudahan yang
ditawarkan oleh perpustakaan digital seharusnya dapat memberikan kenyamanan bagi
pengguna khususnya siswa SMA. Siswa menjadi lebih mudah dalam mencari buku yang
diinginkan, dapat saling berbagi referensi dengan teman termasuk materi pelajaran dari
guru.
Akan tetapi, sistem yang baik ini ini belum diimplementasikan secara maksimal
di setiap Sekolah Menengah Atas (SMA) yang ada di Indonesia. Makalah ini bertujuan
untuk menjelaskan seberapa jauh pemanfaatan perpustakaan digital Sekolah Menengah
Atas di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, kami merumuskan masalah sebagai berikut :
a) Berapa banyak Sekolah Menengah Atas (SMA) memiliki perpustakaan digital?
b) Sudah memuaskan kah layanan perpustakaan digital di Sekolah Menengah Atas

(SMA) di Indonesia?
c) Apa saja kendala pengembangan perpustakaan digital di SMA di Indonesia?
1.3. Tujuan
a) Mengetahui sejauh mana perpustakaan digital dimanfaatkan di Sekolah
Menengah Atas (SMA) di Indonesia.

1

b) Menjelaskan kekurangan perpustakaan digital di Sekolah Menengah Atas (SMA)
di Indonesia.
1.4. Manfaat
a) Pembaca khususnya dari kalangan pendidik di Sekolah Menengah Atas (SMA)
bisa mengetahui dan mengikuti perkembangan perpustakaan digital untuk SMA.
b) Masyarakat bisa mengetahui perkembangan perpustakaan digital di SMA di
Indonesia.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2


2.1. Perpustakaan dan Teknologi Informasi
Di era teknologi informasi yang sangat pesat seperti sekarang di mana informasi kini
bukan lagi hanya sebuah kebutuhan tetapi sudah menjelma menjadi sumber kekuatan baru,
seharusnya

menjadi

momen

bagi

perpustakaan-perpustakaan

di

Indonesia

untuk


membangkitkan the power of library networking-nya. Perpustakaan menjadi kiblat sumber
informasi, sumber segala informasi bagi semua orang.
Di banyak negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Jerman, Perancis, juga di
negara-negara Asia seperti Filipina, India, Malaysia, Singapura dan Thailand, the power of
library networking telah lama muncul dan berkembang. Ini karena kesadaran masyarakatnya
akan pentingnya informasi. Menguasai informasi berarti mempunyai kekuatan yang lebih
baik dalam menguasai dunia. Dalam konteks ini, keberadaan jaringan perpustakaan berbasis
teknologi informasi atau digital yang mampu memberikan informasi dengan sangat cepat dan
akurat menjadi sebuah kebutuhan yang tak terelakkan. Bagaimana dengan Indonesia?
Itikad untuk membangun sebuah jaringan perpustakaan digital atau yang lebih dikenal
dengan Digital Library Networking (DLN), telah dirintis sejak tahun 2000 lalu oleh sejumlah
pustakawan bersama saintis teknologi informasi dan secara resmi dimulai pada 6-7 Juni 2001.
Dengan nama IDLN atau Indonesia Digital Library Networking, jaringan ini merupakan
sebuah mother of digital library networks in Indonesia yang bertujuan untuk membangun
sebuah komunitas berbagi ilmu pengetahuan di Indonesia yang membuka keterlibatan semua
pihak secara luas dan terbuka. Menurut Ismail Fahmi dari Knowledge Management Research
Group ITB , inisiatif memunculkan jaringan perpustakaan digital dilatarbelakangi oleh
beberapa faktor, antara lain : publikasi oleh bangsa Indonesia di level internasional kurang;
information divide antar pulau di Indonesia; informasi online lebih termanfaatkan;
perpustakaan digital dapat digunakan untuk membangun jaringan pengetahuan; dan

kebutuhan untuk berbagi pengetahuan di dalam dan di antara berbagai komunitas.
Adapun tujuannya antara lain : mengembangkan perangkat lunak Open-Source (GDL,
Ganesha Digital Library) berbasis technology tepat guna; membangun jaringan dan
komunitas Knowledge Sharing di Indonesia; sosialisasi, promosi, dan support terhadap
komunitas; serta mendukung pemanfaatan pengetahuan untuk bangsa Indonesia.
Terbentuknya IDLN ini mendapat apreasiasi positif dari banyak kalangan khususnya
perguruan tinggi, instansi dan komunitas yang tengah gencar mendigitasi perpustakaannya
dan ingin tergabung dalam IDLN. Bagi mereka yang memiliki kecukupan dana dan sumber
3

daya manusia yang memadai, hal tersebut tentu tidak terlalu sulit meski tetap saja tidak dapat
dilakukan secara instant dan sembarangan hanya untuk mengikuti trend semata.
Bagaimanapun, inovasi dalam bidang perpustakaan ini merupakan sebuah terobosan yang
sangat menggembirakan. Sayangnya, perpustakaan semacam ini jumlahnya masih sangat
sedikit dan harus diakui, karena berbagai faktor, sementara hanya bisa dimiliki dan dinikmati
oleh kalangan terbatas. Sekelompok besar perpustakaan dan masyarakat yang masih awam
dan belum siap, akan semakin tertinggal jika tidak dicarikan solusi alternative yang
membantu mereka mengimbangi pesatnya laju perkembangan teknologi informasi di era
digital ini.


2.2 Analisa Masalah Perpustakaan di Indonesia dan Dampaknya
Kita semua pasti ingin berlari sama kencang dengan negara lain dalam hal
mengimbangi perkembangan perpustakaan berbasis teknologi informasi. Namun, tidak semua
elemen dan komponen perpustakaan dan masyarakat kita mampu melakukannya. Ada banyak
faktor dan kendala yang menghambat.
Secara umum, realitas perpustakaan di Indonesia masih sangat memprihatinkan.
Sebelum membahas perpustakaan digital maupun perpustakaan yang sedang bertransformasi
ke arah sana, kita analisa terlebih dahulu bagaimana realita perpustakaan secara umum di
negara kita. Secara kuantitas saja, jumlah perpustakaan di Indonesia masih amat kurang jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk yang jumlahnya kini sekitar 225 juta jiwa. Menurut
Alfons Taryadi dalam bukunya Buku dalam Indonesia Baru , hanya terdapat satu
perpustakaan nasional, 117.000 perpustakaan sekolah dengan total koleksi 106 juta buku, 798
perpustakaan khusus; sedangkan, perpustakaan yang disediakan untuk masyarakat umum
hanya 2.583 perpustakaan. Ketersediaan buku-buku di Indonesia juga sangat terbatas. Cina
dengan penduduk 1,3 miliar jiwa mampu menerbitkan 140.000 judul buku baru setiap
tahunnya. Vietnam dengan 80 juta jiwa menerbitkan 15.000 judul buku baru per tahun,
Malaysia berpenduduk 26 juta jiwa menerbitkan 10.000 judul, sedangkan Indonesia dengan
penduduk sekitar 225 juta jiwa hanya mampu menerbitkan 10.000 judul pertahun.
Kondisi di atas berdampak buruk terhadap kondisi dan budaya baca anak-anak
Indonesia yang tergolong rendah. Menurut data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS)

pada 2003, penduduk Indonesia berumur di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11
persen. Sedangkan yang membaca majalah atau tabloid hanya 29,22 persen, buku cerita 16,72
4

persen, buku pelajaran sekolah 44.28 %, dan yang membaca buku ilmu pengetahuan lainnya
hanya 21,07 persen. Data BPS lainnya juga menunjukkan bahwa penduduk Indonesia belum
menjadikan membaca sebagai informasi. Orang lebih memilih televisi dan mendengarkan
radio. Bahkan, kecenderungan cara mendapatkan informasi lewat membaca stagnan sejak
1993, hanya naik sekitar 0,2 persen. Jauh jika dibandingkan dengan menonton televisi yang
kenaikan persentasenya mencapai 211,1 persen. Sementara data tahun 2006 menunjukkan
bahwa orang Indonesia yang membaca untuk mendapatkan informasi baru 23,5 persen dari
total penduduk. Sedangkan, dengan menonton televisi sebanyak 85,9 persen dan
mendengarkan radio sebesar 40,3 persen.
Data statistic internasional juga tak kalah memprihatinkan. Pada tahun 1992,
Internasional Associations for Evaluation of Educational (IEA) melakukan studi kemampuan
membaca murid-murid sekolah dasar kelas IV di 30 negara dunia. Kesimpulan dari studi
tersebut menyebutkan bahwa indonesia menempati urutan ke-29, hanya setingkat di atas
Venezuella. Sedangkan World Bank dalam sebuah laporan pendidikan Education In
Indonesia From Crisis to Recovery menyebutkan bahwa kemampuan membaca anak-anak
kelas IV sekolah dasar di Indonesia masih di bawah negara Asia lainnya. Laporan tersebut

mengutip hasil Vincent Greannary pada 1998 yang menunjukkan Indonesia hanya mampu
meraih nilai 51,7. Sedangkan negara Asia lainnya yang juga menjadi objek nilai, seperti
Filipina memperoleh nilai 52,6, Thailand 65,1, Singapura 74,0 dan Hong Kong 75,5.
Buruknya kemampuan anak-anak Indonesia berdampak pada penguasaan bidang ilmu
pengetahuan dan matematika. Hasil tes yang dilakukan Trends in Science Study (TIMSS)
2003 terhadap para siswa kelas II SLTP 50 negara di dunia, menunjukkan prestasi siswasiswa Indonesia berada di peringkat ke-36 dengan nilai rata-rata Internasional 474.
Dari data-data statistik di atas, terlihat bahwa peran dan fungsi perpustakaan sebagai
pusat pengembangan minat baca, belum optimal. Padahal, sebagai gudang informasi,
perpustakaan adalah sarana untuk mendongkrak kualitas sumber daya manusia. Tidak
mengherankan jika kualitas sumber daya manusia Indonesia juga tertinggal dibandingkan
negara-negara lain. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menurut Human
Development Report UNDP tahun 2006 menempati peringkat ke-108. Peringkat ini sangat
jauh jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Singapura (25), Brunei
Darusallam (34), Malaysia (61), Thailand (74) dan Filipina (84). Kita hanya setingkat di atas
Vietnam (109), dan tidak jauh berpaut dengan Kamboja (129), Myanmar (130), Laos (133)
dan Timor Leste (142).
5

Realitas dan prestasi menyedihkan di atas memang disebabkan oleh banyak factor,
Dan kuantitas serta kualitas perpustakaan adalah satu di antaranya yang hingga kini belum

mendapat prioritas penanganan. Sebagian besar perpustakaan kita masih bergelut dengan
masalah klasik yang hingga kini juga belum terpecahkan. Dua yang utama di antaranya
adalah keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia. Anggaran untuk perpustakaan masih
sangat minim bahkan tak jarang terlupakan. Paling besar dan ini sangat langka, tidak lebih
dari 2,5%. Masih jauh dari ketentuan 5% menurut UU perpustakaan. Minimnya anggaran
menyebabkan perpustakaan kesulitan memenuhi kebutuhan informasi masyarakat yang
semakin komplek. Terlebih di era teknologi informasi seperti sekarang. Tidak sedikit
masyarakat yang beranggapan bahwa tanpa adanya sentuhan teknologi informasi,
perpustakaan dianggap sebagai sebuah institusi yang ketinggalan jaman, kuno dan tidak
berkembang. Teknologi informasi di perpustakaan sering menjadi tolak ukur kemajuan dan
modernisasi dari sebuah perpustakaan.
Kondisi SDM atau pustakawan baik dari segi kuantitas maupun kualitas juga tak
kalah memprihatinkan. Keterbatasan anggaran dan SDM yang berdampak pada fasilitas dan
layanan perpustakaan sedikit banyak mempengaruhi minat masyarakat untuk berkunjung ke
perpustakaan. Pun pada perpustakaan di berbagai perguruan tinggi yang notabene menjadi
tulang punggung informasi dan pengetahuan bagi civitas akademika lembaga yang
bersangkutan. Menurut Arip Muttaqien dalam Membangun Perpustakaan Berbasis Konsep
Knowledge Management : Transformasi Menuju Research College dan Perguruan Tinggi
Berkualitas Internasional, permasalahan umum yang terjadi pada perpustakaan antara lain :
terbatasnya sumber pustaka, waktu yang lama dalam melakukan pencarian, sistem palayanan

kurang memuaskan dan fasilitas yang kurang mendukung, sebagaimana dideskripsikan pada
gambar berikut :
Dengan kondisi umum seperti digambarkan dalam fish-bone di atas, tidaklah
mengherankan jika jumlah jumlah pengunjung perpustakaan relatif sedikit dibandingkan
dengan jumlah penduduk Indonesia. Jumlahnya dari tahun ke tahun tidak mengalami
perubahan yang berarti. Berikut data statistik jumlah pengunjung perpustakaan dari tahun
2005-2007 yang justru mengalami penurunan pada tahun 2007.
Berbagai kondisi di atas mengharuskan kita semua untuk bersama-sama mencari
solusi terbaik bagi dunia perpustakaan kita. Terlebih di era globalisasi dan teknologi seperti
sekarang di mana keberadaan sumber informasi yang berkualitas akan menentukan kualitas
6

dan daya saing bangsa. Adalah hak setiap warga negara, tak terbatas wilayah geografis, status
sosial, ekonomi, gender dan sebagainya, untuk memperoleh kemudahan mengakses ilmu
pengetahuan dan informasi.
2.3. Membangkitkan The Power of Library Networking
Di negara-negara maju dan berkembang yang memiliki perhatian serius terhadap
perpustakaan dengan sarana pendukung yang sangat lengkap dan modern khususnya dalam
bidang teknologi informasi, keberadaan jaringan perpustakaan digital atau DLN, telah
menempatkan perpustakaan pada eksistensi dan kontribusi sebagaimana mestinya.

Perpustakaan dalam konteks kekinian di mana dunia menjadi tanpa batas, dimaknai sebagai
sebuah 'jaringan' yang berdiri bersama-sama, tidak sendiri-sendiri.
Sesuai dengan namanya, jaringan perpustakaan digital terdiri dari kumpulan
perpustakaan-perpustakaan digital yang tergabung dalam sebuah jaringan yang di Indonesia
dinamakan IDLN. Ini artinya, perpustakaan yang tergabung dengan IDLN adalah
perpustakaan yang sudah benar-benar terdigitalisasi dalam arti sebenarnya. Pengertian
perpustakaan digital sendiri secara sederhana ditekankan pada adanya koleksi digital dan
perpustakaan tersebut dapat diakses selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu baik di dalam
perpustakaan maupun jarak jauh tanpa harus datang ke perpustakaan secara fisik.
Pengembangan sebuah perpustakaan dari bentuk konvensional ke bentuk digitalisasi
koleksi perpustakaan memerlukan biaya yang tidak sedikit karena untuk mendigitalisasi
sebuah dokumen dari bentuk cetak ke bentuk digital diperlukan beberapa tahap.
Pertama, proses pemindaian, yaitu merubah dari bentuk cetak ke dalam bentuk digital.
Kedua adalah proses perbaikan, yaitu mengedit data yang telah diubah dalam bentuk
digital untuk kemudian siap disajikan kepada para pengguna.
Di dalam proses editing ini juga diberikan keamanan sehingga tidak dapat dirubah
oleh pengguna, seperti contoh pada koleksi skripsi, thesis dan disertasi yang perlu diberikan
keamanan agar hak cipta tetap ada pada si penulis. Selanjutnya koleksi digital tersebut
memerlukan komputer yang mempunyai performa yang cukup tinggi sebagai sarana untuk
menyimpan serta melayani pengguna dalam mengakses koleksi digital.
Bagi pengguna sendiri, meski tak lagi dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu,
informasi dari perpustakaan digital hanya dapat diakses melalui seperangkat computer yang
7

memiliki jaringan internet. Efisiensi memperoleh data yang akurat dan cepat harus dibayar
dengan cost yang tidak sedikit mengingat biaya akses internet di Indonesia relatif masih
mahal sedangkan sarana akses gratis masih sangat terbatas. Di sisi lain, akses informasi
secara digital juga membutuhkan penguasaan terhadap teknologi di mana tidak semua
kelompok masyarakat atau pengguna perpustakaan mampu melakukannya. Ini merupakan
salah satu kelebihan sekaligus kekurangan dari perpustakaan digital baik dilihat dari aspek
ekonomi maupun penguasaan terhadap teknologi.
Secara umum, implementasi DLN dengan segala kelebihan dan kekurangannya bukan
hal yang mudah namun bukan tidak mungkin untuk direalisasikan di Indonesia. Keterbatasan
anggaran dan SDM masih tetap menjadi bagian dari kendala utama. Meski demikian,
Indonesia juga memiliki potensi yang cukup besar untuk mengembangkan DLN sekaligus
mencuatkan The Power of Library Networking. Salah satu potensi besar tersebut adalah
perkembangan pengguna dan ketersediaan internet yang terus berkembang pesat.
Berdasarkan survey yang dilakukan APJII sampai dengan akhir 2007, menunjukkan
angka 25.000.000 pengguna internet di Indonesia. Jumlah ini memang tidak sebanding
dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari dua ratus juta jiwa. Tetapi
setidaknya menurut APJII, pada tahun 1998 jumlah pengguna internet Indonesia hanya
512.000 dan sampai akhir 2007 sudah mencapai 25.000.000. Ini artinya, selama 9 tahun
jumlah pertumbuhannya hampir 50 kali lipat. Jika dihitung rata-rata pertumbuhan pertahun
meningkat sekitar 5,5 kali lipat. Selain itu, frekuensi akses internet setiap hari dalam
seminggu juga memiliki presentase yang cukup besar yakni sebanyak 60,26%; 5-6 kali
21,19%; 3-4 kali 5,3%; 1-2 kali 2,65% dan tak tentu 10,6% . Sedangkan kegiatan membaca
dan menulis email serta mengikuti mailing list merupakan kegiatan yang paling sering
dilakukan oleh pengguna internet yakni sebanyak 49,01%; mengobrol 16,56%; berpartisipasi
dalam forum tertentu 13,91%; browsing situs penyedia informasi 06,62%; searching dengan
mesin pencari 05,03%; aktifitas blog 06,62% dan mengelola server/jaringan 01,99% .
Dari berbagai data statistik pengguna internet di atas, nampaknya aspek kultur atau
budaya juga perlu mendapat perhatian. Persentase pengguna internet yang melakukan
aktivitas browsing situs penyedia informasi relatif kecil. Hampir bertaut 10% lebih sedikit
dari aktivitas chatting. Ini bisa menjadi indikasi bahwa kesadaran dan persepsi masyarakat
Indonesia akan pentingnya informasi masih rendah sebagaimana juga budaya membaca dan
mengunjungi

perpustakaan

sebagai

sebagai

salah

satu

sentra

informasi.

Untuk
8

membangkitkan the power of library networking, jelas ini merupakan tantangan yang tak
kalah berat dengan masalah anggaran dan SDM.
Peningkatan jumlah pengguna internet yang cukup drastis (hampir 50 kali lipat dalam
9 tahun), juga bisa menjadi indikasi bahwa proses penguasaan teknologi informasi di
Indonesia khususnya internet, relatif berlangsung mudah dan cepat. Teknologi informasi (TI)
sendiri sebenarnya bukan barang baru bagi kalangan perpustakaan di Indonesia. Sejak paruh
akhir 1980-an, kalangan perpustakaan di Indonesia sudah mengimplementasikan TI.
Awalnya, pemanfaatan

TI lebih banyak digunakan untuk kebutuhan otomasi sistem

perpustakaan (library automation system). Biasanya unit di perpustakaan yang pertama kali
menggunakan TI adalah unit pengolahan atau pengatalogan. Ada yang kemudian membuat
online public access catalogue (OPAC). Jika perpustakaan yang bersangkutan memiliki cukup
dana dan SDM, mereka juga mengimplementasikan TI di unit sirkulasi (peminjaman dan
pengembalian koleksi). Saat ini rata-rata perpustakaan baik yang kecil maupun besar, sudah
mengimplementasikan TI untuk kebutuhan otomasi perpustakaan. Minimal untuk
pengatalogan, sirkulasi, dan manajemen pemakai. Ada juga yang sudah memanfaatkan
sampai unit pengadaan, inventarisasi dan penyiangan koleksi.
Peluang bagi terwujudnya jaringan perpustakaan digital semakin jelas dan terbuka
lebar. Selanjutnya bergantung pada bagaimana perpustakaan dan pihak-pihak terkait dapat
mengoptimalkan potensi sekaligus mengatasi kendala yang ada melalui berbagai langkah
strategis guna membangkitkan the power of library networking di Indonesia.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Manfaat Perpustakaan Digital
Banyak manfaat hadirnya perpustakaan bagi pengguna perpustakaan dan pustakawan
(pelajar) jika dikembangkan secara optimal. Manfaatnya yakni sebagai berikut :
9

Bagi Pengguna Perpustakaan :


Mengatasi keterbatasan waktu



Mengatasi keterbatasan tempat



Memperoleh informasi yang paling baru dengan cepat



Mempermudah akses informasi dari berbagai sumber



Mempermudah untuk memindah dan merubah bentuk untuk kepentingan presentasi
dsb.

Bagi Pustakawan :


Memperingan pekerjaan



Meningkatkan layanan



Tidak memerlukan gedung dan ruang yang besar



Menumbuhkan rasa bangga

3.2. Minimnya Sarana Perpustakaan Digital di SMA
Perpustakaan digital jika dibandingkan dengan perpustakaan konvensional masih
sangat sedikit jumlahnya. Di tingkat SMA, dari 11.535 sekolah, baru 8.144 sekolah yang
memiliki perpustakaan konvensional. Adapun 3.391 sekolah belum dilengkapi perpustakaan.
Padahal, pelajar SMA sangat membutuhkan layanan buku penunjang pelajaran dan sumber
informasi lain seperti majalah pendidikan, koran harian, dan internet. Kondisi ketiadaan
perpustakaan berdampak pada kualitas pelajar di sekolah yang bersangkutan karena
rendahnya daya baca dan pengetahuan yang diserap oleh pelajar.
Selain kuantitas, kualitas pelayanan perpustakaan juga berpengaruh terhadap kualitas
pelajar. Perpustakaan idealnya bisa diakses kapan saja selama 24 jam. Pelajar bisa saja
membutuhkan referensi dari perpustakaan ketika belajar pada waktu yang tidak bisa
ditentukan seperti sore atau malam hari. Sedangkan perpustakaan konvensional pada
umumnya hanya beroperasi dari pagi hingga siang sebelum atau saat jam mengajar berakhir.
Hal ini tentu kurang optimal bagi proses belajar pelajar yang bersangkutan.
Hal ini bisa diatasi dengan layanan perpustakaan digital yang bisa diakses 24 jam
tujuh hari seminggu tanpa batas. Layanan ini bisa diakses dengan sambungan internet dan
10

browser yang mengaktifkan situs perpustakaan digital yang bersangkutan. Layanan digital
seperti ini gratis, pengunjung hanya perlu membayar sambungan internet. Dalam sebuah
perpustakaan digital idealnya pengunjung dapat mengunduh buku elektronik atau jurnal.
Akan tetapi, karena beberapa keterbatasan, sebuah situs yang hanya berisi katalog dari
perpustakaan konvensional bisa juga disebut sebagai perpustakaan digital.
Pengadaan perpustakaan digital relatif mahal dan membutuhkan teknisi yang ahli di
bidang pemrograman web. Untuk membangun sebuah sistem perpustakaan digital yang
sesuai, baik untuk pustakawan maupun pengakses di kalangan Siswa Menengah Atas (SMA)
terkadang membutuhkan waktu yang lama. Terlebih lagi, sinkronisasi antara perpustakaan
sesungguhnya (konvensional) dengan perpustakaan digital membutuhkan ekstra waktu dan
tenaga bagi para pustakawan.
Masih sedikitnya layanan perpustakaan digital ini bisa dilihat dari kuosioner yang
dibagikan kepada 35 SMA dan SMK yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari 35 SMA dan
SMK, hanya satu sekolah (2,28%) yang memiliki perpustakaan digital. Jumlah ini masih
sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah perpustakaan konvensional yang hampir selalu
ada di setiap SMA dan SMK. Padahal, akses internet dikalangan pelajar Indonesia semakin
cepat dan mudah. Perkembangan teknologi seperti ini seharusnya diimbangi dengan
perpustakaan yang serba digital pula.
Sekolah yang memiliki perpustakaan digital dari kuosioner yang didapat yakni SMA
Negeri 2 Pare, Kediri (www.sip.smadapare.com). Meskipun sudah terdapat perpustakaan
digital, fasilitas yang disediakan masih sangat minim. Sebagian tautan yang terdapat dalam
situs tidak berfungsi (broken) dan belum tersedia layanan pengunduhan e-book maupun
jurnal. Bahkan tautan pencarian koleksi buku belum memuat daftar koleksi buku
perpustakaan konvensional secara lengkap.

11

Gambar 3.1. Perpustakaan Digital SMA Negeri 2 Pare
Penyebab minimnya fasilitas perpustakaan digital SMA Negeri 2 Pare bisa dilihat dari
struktur kepengurusan perpustakaan yang terdapat di situs. Di situs hanya terdapat seorang
pustakawan

yang

merangkap

sebagai

kepala

perpustakaan,

berndahara,

sirkulasi,

administrasi, petugas pencatat peminjaman dan pengembalian buku, sekaligus pengurus
gudang. Hal ini mengindikasikan bahwa masih sedikit sekali pustakawan yang mampu
bekerja untuk mengurus berbagai hal termasuk digitalisasi dari perpustakaan konvensional.
Hasil penelusuran di Google terdapat perpustakaan digital SMA di Indonesia yang
lebih baik, yakni SMA Sutomo I Medan (http://perpusdigital.sutomo-mdn.sch.id/).
Perpustakaan digital ini memiliki kelebihan karena memuat buku tahunan angkatan 20112012 dengan tampilan yang cukup menarik. Akan tetapi, baik katalog maupun tautan untuk
mengunduh buku tidak berfungsi. Sehingga secara keseluruhan fungsi sarana belajar
mengajar dari perpustakaan digital belum terpenuhi.

12

Gambar 3.2. Perpustakaan Digital SMA Sutomo I Medan
Hal yang sangat berbeda bisa kita lihat di perpustakaan digital Sekolah Menengah
Atas di negara maju seperti Italia dan Amerika. Sebuah sekolah di Italia yang benama
Augusto Righi terletak di kota Cesena, Italia.

Sekolah Menengah Atas Augusto Righi

memiliki sebuah perpustakaan digital (http://ospitiweb.indire.it/biblioliceorighi/scuole)
dengan katalog pencarian koleksi perpustakaan yang lengkap. Terdapat jam buka
perpustakaan konvensional yang lengkap pula. Selain beberapa pengumuman yang bisa
diunduh, siswa juga bisa memesan buku yang akan dipinjam melalui email atau telepon.
Buku yang akan dipinjam tersebut dicek kesediannya. Jika buku tersedia, siswa bisa
mengambil buku tersebut keesokan harinya. Layanan perpustakaan digital seperti ini sudah
termasuk optimal dan terintegrasi dengan teknologi informasi yang cukup baik.

13

Gambar 3.3. Perpustakaan Digital di SMA Augusto Righi di Italia
Begitu pula perpustakaan digital di Amerika Serikat. Negara paling maju di dunia ini
bahkan menginvestasikan banyak dana untuk pengembangan perpustakaan digital di tingkat
sekolah menengah untuk mendukung kelancaran proses belajar mengajar. Situs perpustakaan
digital http://library.castilleja.org/ dimiliki oleh Castilleja High School. Situs ini sangat
lengkap, termasuk berita terbaru serta artikel-artikel yang ditulis oleh siswa-siswi Sekolah
Menengah Atas tersebut. Perpustakaan digital tersebut juga menghubungkan tautan-tautan
perpustakaan eksternal dan mesin pencarian yang lain seperti Wikipedia, Google, dan lainlain. Hal tersebut menambah kelebihan perpustakaan digital Sekolah Menengah Atas di
Amerika dibanding Indonesia.

14

Gambar 3.4. Perpustakaan Digital Castilleja High School di Amerika
Kenyataan bahwa perpustakaan digital belum dikembangkan di Indonesia tentu sangat
memprihatinkan. Di era teknologi informasi yang berkembang serba cepat tentu para pelajar
membutuhkan sarana pendukung belajar yang serba cepat pula. Dalam hal ini, Indonesia
masih sangat jauh tertinggal di bidang pengadaan perpustakaan digital. Padahal, untuk
mendukung kemajuan suatu pendidikan, akses sepanjang waktu merupakan hal penting di era
teknologi informasi.
3.3. Tingkat Kepuasan Pelajar Terhadap Perpustakaan Digital
Pelajar di kalangan Sekolah Menengah Atas umumnya membutuhkan sarana belajar
dari berbagai media yang mudah diakses. Secara umum, layanan perpustakaan digital
Sekolah Menengah Atas di Indonesia masih sangat rendah. Sebagian besar Sekolah
Menengah Atas belum memiliki perpustakaan digital. Sekalipun terdapat perpustakaan
digital, kualitas perpustakaan tersebut masih sangat rendah dan sarana yang disediakan masih
sangat minim.
Menurut fakta bahwa masih sedikit sekali perpustakaan digital di tingkat Sekolah
Menengah Atas di Indonesia, kepuasan pelajar terhadap perpustakaan digital tentu sangat
rendah. Sekalipun terdapat perpustakaan digital di sekolah, tingkat kepuasan masih rendah
karena kualitas tautan yang rusak atau situs yang sering melakukan perbaikan sehingga sulit
diakses.
15

3.4. Hambatan Pengembangan Perpustakaan Digital di Indonesia
Kemajuan

perpustakaan

di

Indonesia

memang

tergolong

cukup

tertinggal

dibandingkan negara berkembang lainnya, terlebih lagi negara maju, akan tetapi kemajuan
teknologi yang terus berkembang mendorong Indonesia untuk tetap harus mengikuti
perkembangan zaman termasuk dalam membangun perpustakaan digital. Namun membangun
sebuah sistem perpustakaan digital yang terstruktrur di Indonesia tidaklah mudah, mulai dari
infrastruktur, jaringan, biaya, hingga membuat ketertarikan kepada masyarakat akan hadirnya
perpustakaan digital menjadi masalah yang sulit untuk di atasi.
Penyebab perpustakaan digital tidak berkembang di Indonesia antara lain sebagai berikut :
a.) Dari segi infrastruktur tentunya spesifikasi komputer dan bandwith yang digunakan
dalam proses komunikasi merupakan hal yang utama. Namun sayangnya untuk
membangun sebuah situs perpustakaan online dengan tatap muka yang bersahabat
membutuhkan teknisi di bidang pemrograman web yang terampil. Saat ini di
Indonesia jumlah programmer web belum cukup untuk menutupi semua kebutuhan
teknisi perpustakaan digital SMA. Para programmer cenderung bekerja untuk dunia
bisnis atau ilmu pengetahuan murni dan belum banyak bergerak di bidang fasilitas
perpustakaan digital.
b.) Jumlah pustakawan di Indonesia masih sangat sedikit. Untuk memberikan pelayanan
perpustakaan konvensional saja seringkali pustakawan bekerja merangkap berbagai
jabatan fungsional perpustakaan. Menambah layanan perpustakaan digital bagi
sebagian besar pustakawan masih dirasa berat sehingga pada akhirnya situs-situs
perpustakaan digital tersebut tidak dikembangkan secara maksimal.
c.) Biaya operasional yang dibutuhkan agar perpustakaan digital tetap berjalan tidak
murah, sekolah harus membayar biaya ekstra seperti hosting, teknisi ahli serta
perawatan situs perpustakaan digital. Bahkan, untuk memberikan layanan yang
optimal perpustakaan harus memiliki mesin untuk memindai berkas-berkas penting
seperti jurnal, soal-soal ulangan dan pembahasannya, poster pengunguman dan lainlain. Besarnya biaya untuk membangun sebuah perpustakaan digital tidak didukung
dana yang tersedia. Saat ini pemerintah Indonesia hanya menganggarkan kurang dari
lima persen dari anggaran. Padahal setidaknya pemerintah harus menganggarkan dana
minimal lima persen untuk perpustakaan digital.

16

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
a) Banyak manfaat dari perpustakaan digital untuk pelajar Sekolah Menengah Atas
(SMA) di Indonesia.
b) Masih sedikit sekali Sekolah Menengah Atas (SMA) di Indonesia yang
mengembangkan perpustakaan digital sebagai sarana belajar mengajar.
c) Perpustakaan yang dikembangkan oleh SMA di Indonesia masih rendah kualitasnya
dibandingkan luar negeri.
4.2. Saran
a) Sekolah Menengah Atas (SMA) di Indonesia sebaiknya mulai mengembangkan
perpustakaan digital dengan optimal karena manfaatnya sangat banyak bagi pelajar.
b) Pemerintah sebaiknya menyediakan anggaran yang cukup untuk pengembangan
perpustakaan digital di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
17

Mariana.

2011.

Meningkatkan

The

Power

of

Library

Networking.

http://www.pnri.go.id/MajalahOnlineAdd.aspx?id=95. Diakses pada tanggal 22 Maret 2013
Selvya,

Harum

2012.

76000

Sekolah

Belum

Memiliki

Perpustakaan.

http://cintaperpustakaan.wordpress.com/2012/10/08/76-000-sekolah-belum-memilikiperpustakaan/. Diakses pada tanggal 22 Maret 2013
Harmawan. 2008. Membangun Perpustakaan Digital : Suatu Tinjauan Aspek Manajemen
http://pustaka.uns.ac.id/?menu=news&option=detail&nid=37. Diakses pada tanggal 22 Maret
2013

LAMPIRAN
18

Lampiran 1 Kuesioner Perpustakaan Digital (Offline)

Perpustakaan Digital di SMA Anda
Perkenalkan,kami mahasiswa dari jurusan Teknik Informatika, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Nama kami Kaspul Asror, Yusro Tsaqova, dan Radhea
Permata Dewi. Terimakasih sudah mau mengisi kuosioner mengenai Perpustakaan Digital
yang ada di sekolah adik-adik. Silakan adik-adik isi pertanyaan di bawah ini sebaik mungkin.
Data yang di dapat dari kuosioner yang adik-adik isi akan kami gunakan untuk mengerjakan
tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Surabaya. Jika tidak ada perpustakaan digital di SMA adik-adik, silakan pilih opsi "Tidak ada
perpustakaan digital di SMA saya" untuk setiap pertanyaan. Jika ada pertanyaan, bias
menghubungi Dhea (085828959020, radhea.dewi@gmail.com). Terimakasih.
Apakah SMA adik-adik memiliki perpustakaan digital?
Ya
Tidak ada
Tidak Tahu
Dulu ada perpustakaan digital di SMA saya, tapi sekarang tidak ada
Jika ada, apa alamat perpustakaan digital di SMA adik-adik? Jika tidak ada atau tidak
tahu, isi "Tidak Ada" atau "TidakTahu"
…………………………………………….
Berapa kali seminggu adik-adik mengunjungi perpustakaan digital SMA adik-adik?
Lebih dari lima kali per minggu
Tiga sampai lima kali per minggu
Kurang dari tiga kali
Tidak pernah
Tidak ada perpustakaan digital di SMA saya
Apakah adik-adik pernah mengerjakan tugas yang bahan materinya didapat dari
Perpustakaan Digital SMA adik-adik?
Pernah
Tidak Pernah
Tidak ada perpustakaan digital di SMA saya
Adakah versi E-Book dari buku sesungguhnya yang bias dilihat atau diunduh (download)
di situs Perpustakaan Digital SMA adik-adik?
Ada dan lengkap
Ada, tapi hanya sebagian
19

Tidak ada
Tidak ada perpustakaan digital di SMA saya
Adakah materi pelajaran dari guru yang bisa diunduh (download) di situs Perpustakaan
Digital adik-adik?
Ada untuk seluruh pelajaran
Ada, tapi hanya sebagian pelajaran
Tidak ada materi pelajaran
Tidak ada perpustakaan digital di SMA saya
Apakah adik-adik merasa puas dengan layanan Perpustakaan Digital di SMA adik-adik?
Sangat puas
Puas
Kurang puas
Tidakpuas
Tidak ada perpustakaan digital di SMA saya

Adakah layanan yang menarik dari Perpustakaan Digital di SMA adik-adik? Misalnya
seperti chat room, jejaring social khusus SMA adik-adik, pencarian buku, dll. Silakan
ceritakan dengan berkomentar di bawah ini.
…………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
Adakah kritik dan saran yang adik-adik berikan untuk perpustakaan digital di SMA adikadik?
…………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………

Lampiran 2 Kuesioner Perpustakaan Digital (Online, Screenshoot)

20

ss

21