CINTA DAN PENGKHIANATAN DI TANAH LELUHUR

CINTA DAN PENGKHIANATAN DI TANAH LELUHUR:
Catatan atas Puisi-puisi Lamaholot Bruno Dasion 1
Oleh Yoseph Yapi Taum

1. Pengantar
Saya benar-benar terhenyak ketika pertama kali dikabari oleh Bona Beding bahwa
sahabat SMA Seminari saya, Yoseph Arakie Ulanaga Bruno Dasion, menerbitkan kumpulan
puisinya, Pukeng Moe, Lamalera. Keterhenyakan saya lantaran mengetahui bahwa Bruno Dasion
–yang sudah meninggalkan kampung halamannya dan menjadi misionaris lebih dari dua puluh
tahun di negeri Sakura, Jepang, menulis puisi dalam bahasa daerah Lamalera, salah satu dialek
bahasa Lamaholot yang digunakan di Flores Timur dan Lembata.
Pertama, setahu saya, belum pernah ada karya sastra yang ditulis dalam bahasa daerah
Lamaholot. Bahasa Lamaholot memang menyimpan kekayaan konvensi sastra lisan arkhais
dengan sistem dan pola komposisi yang indah dan teratur. Konvensi bahasa sastra itu disebut
koda knalan atau koda klaken atau sering kali juga disebut koda Lamaholot.2 Koda Lamaholot
masih digunakan dalam kepentingan-kepentingan ritual formal oleh tua-tua adat tertentu, yang
jumlahnya sangat terbatas dan semakin hari semakin berkurang. Kadang-kadang bahasa
Lamaholot digunakan dalam syair-syair lagu daerah yang mempesona dalam konteks dan tujuan
kelisanan. Akan tetapi bahasa itu tidak pernah digunakan sebagai media ekspresi sastra tulisan.
Justru ketika bahasa Lamaholot mulai ditinggalkan oleh penuturnya sendiri, khususnya kaum
mudanya, kehadiran kumpulan puisi berbahasa daerah ini menjadi sebuah kejutan yang sangat

menggembirakan. Bruno Dasion merintis penggunaan bahasa Lamaholot sebagai media ekspresi
sastra tulis.
Kedua, kumpulan puisi yang diterbitkan dalam dua bahasa ini lahir dari sebuah
keyakinan atau kredo kepenyairan yang lugas: sebagai sebuah ritus sakral atau bahkan titian doa
memasuki akar spiritualitas kebudayaan Lamalera. Hal itu memang dibuktikannya. Di dalam
Pukeng Moe, Lamalera, penyair bermadah memuji kearifan leluhur, mendendangkan keriangan
anak nelayan, menghirup aroma cinta dan perjuangan, meratapi keterpurukan nasib, tetapi juga
mendobrak dan melabrak pengkhianatan yang mengusik tanah leluhur.
Tulisan ini akan mengungkap dua hal. Pertama, kajian sepintas tentang jejak sastra koda
Lamaholot dalam puisi-puisi Bruno Dasion, dan kedua, kajian tematik terhadap kumpulan puisi
Pukeng Moe, Lamalera.
2. Jejak Sastra Koda Lamaholot dalam Puisi-Puisi Bruno Dasion
1 Tulisan ini merupakan Epilog yang dimuat dalam kumpulan puisi Bruno Dasion Pukeng Moe Lamalera
(Penerbit Lamalera, Yogyakarta, 2011).
2 Dalam masyarakat Lamaholot, dikenal tiga istilah untuk menyebut genre bahasa sastra yang seringkali
digunakan dalam pertemuan-pertemuan ritual formal. Ketiga istilah itu adalah koda knalan, koda klaken, dan koda
Lamaholot. Dalam tulisan ini, digunakan istilah koda Lamaholot.

Aspek pertama yang menarik perhatian pengamat sastra daerah Lamaholot adalah jejak
warisan sastra Lamaholot dalam puisi-puisi Bruno Dasion. Sebagai orang yang dibesarkan dalam

tradisi dan budaya Lamaholot, jejak koda Lamaholot banyak ditemukan dalam puisi-puisi Bruno
Dasion. Struktur komposisi koda Lamaholot memiliki konvensi berupa sebuah pasangan paralel
yang merupakan struktur diad. Dalam pandangan sastra dan budaya Lamaholot, segala sesuatu di
atas muka bumi ini senantiasa berpasangan. Prinsip penyepasangan itu disebut “prinsip uwe –
matan” atau prinsip “alas – penutup”.3 Tidak bisa orang menyebutkan sesuatu (uwe) tanpa
pasangannya (matan). Karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa setiap kata atau istilah apapun
dalam bahsa arkhais Lamaholot, selalu memiliki pasangannya. Stuktur komposisi seperti ini
biasanya diikuti secara ketat dan teratur.4
Struktur komposisi koda Lamaholot terlihat dalam puisi-puisi Bruno Dasion. Beberapa
kutipan diberikan berikut ini sebagai ilustrasi.

No
(1)

Teks Lamaholot
Na mattê kperêk, lébo
Benêk tai blébuk//Sama kellê kofa tnakéng.
(Emmak Matté -1)

(2)


Kpala Akéonga pé tité toir kaé
Onê saré-saré, hama na ata faki tapo arri.
Tité dépé neppê haka pé urrê brefa tité,
Knéka kilap//kofa leggur.
(Urré)

(3)

Raé faka lettang, maraf, lengngat......
Ara héku pūsifé//Ara héku prōfé
Ara héku dengêf koda-kirri rêé.
(Kajo Lolo)

Teks Terjemahan
Dengan tatapan matanya yang teduh dan bening.
Teduh bagai laut tak bergelombang//Bening bagai
langit tak berawan.
(Mata Ibuku -1)
Itulah Kepala Akeonga, sebagaimana yang sudah

kita tahu baik
Hatinya lembut dan penuh kasih sayang.
Ketika kita tiba di padang sebelah timur Idalolong
Hujan turun mengguyur
Kilat menyambar//guntur bergemuruh.
(Hujan)
Namun, siapa yang mempedulii mereka?
Siapa yang berbelarasa dengan mereka//
Siapa yang mendengarkan pesan kehidupan
(Dedaunan)

Dalam kutipan (1), Benêk tai blébuk//Sama kellê kofa tnakéng, pasangan diad “Teduh
bagai laut tak bergelombang//Bening bagai langit tak berawan” merupakan pasangan yang
disiapkan konvensi dan dapat digunakan dalam mengekspresikan sebuah situasi yang dipandang
tepat. Dalam puisi “Emmak Matt é -1 “Mata Ibuku -1”, penyair mengibaratkan teduh dan
beningnya tatapan mata sang bunda dengan prinsip uwe-matan. Hasilnya, sebuah allegori yang
indah mengenai mata yang penuh kasih dan makna dari sang ibu.
Dalam kutipan (2), knéka kilap//kofa leggur atau kilat menyambar//guntur bergemuruh
merupakan pasangan diad yang selalu digunakan dalam tradisi Lamaholot untuk
menggambarkan kondisi yang menakutkan pada musim penghujan. Kilat dan Guntur dipandang

3 Lihat Yoseph Yapi Taum (1987) Kisah Wato Wele-Lia Nurat dalam Tradisi Puisi Lisan Flores Timur.
Jakarta: Obor Indonesia dan Asosiasi Tradisi Lisan. (ISBN Nomor : 979 - 461 - 256 - 1)
4 Uraian yang lebih lengkap tentang hal ini lihat Yoseph yapi Taum (1999), “Sastra dan Bahasa Ritual
dalam Tradisi Lisan Masyarakat Flores Timur” dalam Sastra Lisan: Pemahaman dan Interpretasi, B. Rahmanto dan
Bambang Kaswanti Purwo ( Editor.). Jakarta: Mega Media Abadi Press. (ISBN : 979-8069-59-5).

sebagai sebuah pasangan. Dalam kutipan (3), ara héku pūsifé//Ara héku prōfé (siapa yang
berbelarasa dengan mereka//siapa yang mendengarkan pesan kehidupan) merupakan pasangan
diad yang berupa kata ‘berbelarasa’ yang dipandang berpasangan dengan kata “mendengarkan”.
Kedua kata ini berkaitan dengan sifat afektif.
Sastra koda Lamaholot memiliki beberapa kaidah lainnya berkaitan dengan stilistika dan
retorika, yang tidak pada tempatnya dibicarakan di sini. Beberapa contoh di atas dikemukakan
untuk menegaskan bahwa puisi-puisi Bruno Dasion, yang ditulis dalam bahasa Lamaholot,
mengandung ciri sebagai sastra Lamaholot.
3. Kajian Tematik Puisi-puisi Bruno Dasion.
Tinjauan ini membatasi diri pada lima tema utama, yang bagi saya paling menonjol
dalam kumpulan puisi Pukeng Moe, Lamalera: (1) Dari Cinta Sang Ibu Menuju Cinta Sang
Khalik; (2) Keriangan Anak-anak Nelayan Lamalera; (3) Tragedi dan Komedi Manusia Kota
Besar; (4) Kearifan Leluhur; dan (5) Kemunduran dan Pengkhianatan di Tanah Leluhur.
3.1 Dari Cinta Sang Ibu Menuju Cinta Sang Khalik

Peter Altenberg (1859-1919),5 seorang penyair impresionis terkemuka dari Austria
mengungkapkan bahwa citraan (imagery) merupakan salah satu alat kepuitisan yang utama.
Menurut dia, ada hubungan yang erat antara diksi, daya bayang, dan kata-kata konkret.
Maksudnya, diksi yang dipilih hendaknya menghasilkan daya bayang (imagery), dan karena itu
kata-kata tersebut menghasilkan gambaran-gambaran angan yang dihayati secara lebih konkret,
seolah-olah pembaca dapat menghayatinya melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa.
Pembaca seperti merasakan, mengalami, melihat sendiri, menyentuh sendiri dalam angannya apa
yang dilukiskan penyairnya.
Kemampuan penyair membangkitkan gambaran angan sekaligus meyakinkan pembaca
akan sebuah realitas yang dialami penyair tampak terutama dalam puisi-puisi Bruno Dasion yang
bertemakan cinta, khususnya cinta sang Ibu.
Puisi-puisi seperti “Usia Bapak Ibu-ku,” “Mata Ibuku 1”, “Mata Ibuku 2”, “Mata Ibuku
3”, dan “Hujan” menggabungkan imaji penglihatan (visual imagery), imaji pendengaran
(auditory imagery), dan imaji perabaan (tactile imagery) dengan kata-kata konkret. Puisi-puisi
itu mengungkapkan rasa cinta dan kebanggaan penyair terhadap ibu dan ayahnya.
Dalam puisi “Usia Bapak Ibu-ku,” penyair --melalui dialog dan deksipsi situasi dalam
kata-kata kokret-- menggambarkan betapa kedua orang tuanya benar-benar mencintainya. Bagi
saya, puisi ini paling menarik dan paling sukses. Karena itu puisi ini dikutip kembali secara utuh.
(Untuk memudahkan pemahaman, kutipan-kutipan selanjutnya hanya diambil dari terjemahan
Bahasa Indonesia).


5 Lihat “Peter Alterberg: The Fabricated Self “ dalam Oxford Art Journal, Volume 26, Issue 1, 2003. pp.
161-168.

Pada suatu hari
Saya bertanya kepada bapaku
“No, berapa usiamu?”
Sambil memotong ikan, ia menjawab “sama dengan usiamu.”
Saya berbalik dan bertanya kepada ibuku yang sedang menanak nasi.
“Mamma, bagaimana denganmu. Berapa usiamu?”
Ia menjawab“sama dengan usiamu.”
Pada waktu itu saya heran kebingungan
Tetapi ada kegembiraan yang meluap dari lubuk hatiku.

Mengapa kegembiraan aku lirik meluap mendapatkan jawaban yang ‘membingungkan’
dari kedua orang tuanya? Karena ia justru menemukan sebuah kenyataan menakjubkan, bahwa
usia bapak dan ibu sama dengan usianya. Mereka merasa hidup, bahkan ada ketika anak mereka
lahir ke dunia ini. Anak itu, yaitu si penyair, begitu berarti bagi mereka. Perasaan diterima dan
dicintai merupakan sebuah kenyataan yang sangat menggembirakan. Pada gilirannya, ia akan
membagikan cinta itu kepada sesamanya.

Puisi “Mata Ibuku 1”, “Mata Ibuku 2”, dan “Mata Ibuku 3” melukiskan inter-komunikasi
cinta antara sang ibu dengan anaknya. Komunikasi itu dilakukan seringkali tanpa kata-kata,
namun penuh makna yang mendalam, sebuah komunikasi batin yang akrab dan intens. Dalam
“Mata Ibuku 1”, digambarkan bahwa tatapan mata yang teduh bening dari sang ibu sudah
mengandung pesan-pesan kehidupan bagi aku lirik. Dalam “Mata Ibuku 2”, penyair
mengibaratkan mata sang ibu dengan cermin “tempat aku meneliti diri/melihat kebaikan dan
keburukannku/dosa dan salahku/”. Mata bening dan teduh itu begitu berarti bagiku. “Dengan
menatapanya/Aku lahir kembali/Seperti seorang bayi/”. Puisi “Mata Ibuku 3” menggambarkan
ketenangan batin penyair, sekalipun “taufan berhembus, arus menjadi liar, gelombang buas
meninggi, hujan deras, Guntur bergemuruh, halilintar menyambar” karena ia begitu yakin,
“ibuku selalu duduk dan berdoa/Dan tak pernah berhenti menatap perahu kehidupanku/”.
Satu-satunya pengajaran verbal yang disampaikan oleh sang ibu kepada aku lirik terdapat
dalam puisi berjudul “Hujan”. Ketika itu, penyair menemani sang ibu ke sebuah kampung yang
cukup jauh letaknya, di Penikene. Ketika pulang dari kampung itu, “hujan turun
mengguyur/Kilat menyambar dan guntur bergemuruh/”. Di saat yang menggentarkan itulah
penyair menggerutu atau lebih tepat mengumpat. “Hujan setan. Tidak tahukah dia bahwa kita
sedang memikul beban berat?” Jawaban arif dan teguran bijak sang ibu tetap dikenang sang anak
selamanya, “Kalau hujan tidak turun/Padi dan jagung akan mati.”
Lingkungan yang penuh dengan kehangatan dan kasih sayang dirasakan dan diterima
penyair tidak hanya dari orang tuanya, tetapi juga dari hewan dan tumbuh-tumbuhan di

sekitarnya. Hal itu kadang-kadang membawa penyair ke dalam suasana reflektif yang subtil.
Puisi “Rommel” berkisah tentang seekor anjing keluarga bernama Rommel. Anjing ini suatu
ketika diserahkan kepada kenalan keluarga mereka di desa Penikene, yang jaraknya cukup jauh
dari desa Lamalera. Suatu ketika sang anjing ini kembali ke rumah. Keluarga pun merawatnya

dengan penuh kasih dan tidak mau menyerahkannya lagi ke keluarga yang lain. Mereka
memeliharanya sampai suatu ketika anjing ini mati dan dibuang ke laut. Puisi berjudul
“Dedaunan” mengungkap pesan yang disampaikan aneka daun yang berada di lingkungan sekitar
penyair. Daundaun itu “tumbuh dalam diam/mengejrjakan tugasnya dalam diam/layu dalam
diam/jatuh berguguran dalam diam/. Apa pesan yang disampaikan kepada manusia?
Wahai manusia!!!
Jadikanlah diri kita seperti dedaunan.
Hidup dan melakukan kerja kita seperti dedaunan.
Jangan mengomel, jangan berkoar-koar.

Lingkungan hidup yang penuh cinta, yang dialami penyair, memiliki andil dalam
membentuk dia sebagai seorang rohaniwan. Ketika ia menyaksikan fenomena seorang
perempuan gila bernama Teresia Dalle (lihat puisi “Dalle”), ia pun merefleksikan ‘kewarasan”
sang gila dan mengeritik kegilaan orang waras yang tidak menaruh hormat yang selayaknya
dalam memuji Tuhan sebagai sang pencipta. Kewarasan Dalle digambarkannya, antara lain:

“menaruh hormat pada orang/dia melihat dan memilah orang, mana yang baik dan tidak
baik/dia hormat imam, dia hormat orang tua-tua/Lebih daripada itu/Dia sembah sujud di
hadapan Allah/Di dalam Gereja dia duduk penuh hikmat/menghadiri misa suci/Berdoa dan
memuji Allah/. Melihat fenomena paradoksal seperti ini, penyair pun bertanya kesal, “Siapa
sebenarnya yang gila?/Dalle? Atau kita sendiri/Manusia yang tak beradat/yang tidak tahu
menghormati Allah/Dan manusia?” Cintanya pada sang Khalik, seperti cinta perempuan gila
itu, membuatnya geram pada perilaku orang-orang waras yang tidak lagi menaruh hormat pada
sesama, pada orang-tua, pada Tuhan.
Tingkah laku dan kepolosan anak-anak kecil, sebagaimana tingkah laku dan kepolosan
Teresia Dalle, mengajarkan orang dewasa untuk selalu bergembira. Mereka seolah-olah tak
mengenal susah. Dalam puisi “Anak Kecil”, tingkah laku anak kecil itu merefleksikan ayah
Kitab Suci yang bernada penghiburan bagi orang dewasa.
Mereka menasihati kita orang dewasa:
“Kesusahan sehari cukuplah untuk seharu.
Jangan disimpan sampai esok atau lusa.” (Matius 6: 34).

Ketika menyaksikan fenomena alam, penyair pun tak lupa melakukan refleksi
kerohanian. Dalam puisi “Buah Klengngi,” penyair terkesima menyaksikan pemandangan yang
mengharukan: buah klengngi itu “berubah merah/lalu terbelah/membuka diri/membiarkan
burung-burung menikmati daging buahmu/yang hitam legam bergizi/mereka menikmati

pemberian dirimu/dan menjadi hidup/. Bagi penyair, buah klengngi itu mengingatkannya pada
Yesus Kristus. Refleksinya demikian mendalam sebagai berikut.
Engkau sama dengan Anak Ilahi
Yang tergatung di salib
Tubuhnya merah bermandikan darah penebusan.
LambungNya ditombaki hingga menebusi Hati Mahasuci

Dan....,
Mengalirlah
Air dan darah
Mencuci bersih dosa-dosaku,
Memberi aku Kehidupan Kekal.

Lingkungan hidup yang membesarkan seseorang biasanya akan muncul secara tidak
terduga dan seringkali tanpa disadari, ketika orang terantuk. Dalam puisi “Terantuk”, selain
“mengumpat dengan kata-kata makian”, ia pun mendaraskan nama orang-orang yang
dikasihinya, yaitu keluarga kudus Nazaret: Yesus, Maria, dan Yoseph, selain keluarga dekatnya:
“No, Mamma, Aki, Dami, Oa, Juli, Josse!”
Terlihat dalam puisi-puisi di atas milleu cinta kasih yang berpusat di dalam kehidupan
keluarga kecilnya yang kemudian berkembang ke lingkungannya, sampai ke radius penyebaran
yang menjangkau alam dan bahkan Sang Khalik. Inilah percikan-percikan pengalaman cinta dan
kerohanian sang penyair.
3.2 Keriangan Anak-anak Nelayan Lamalera
Lamalera adalah perkampungan nelayan satu-satunya di Pulau Lembata. Berabad-abad
lamanya masyarakat Lamalera hidup dari hasil laut. Mereka dikenal sebagai nelayan pemburu
dan penangkap ikan paus. Sebagai anak kandung Lamalera, penyair menggambarkan kisah-kisah
keriangan anak nelayan Lamalera dalam puisi-puisinya yang berjudul : “Baofutung”, “Bisikan
Ombak”, “Ombak”, “Futung”,
“Kursi dan Meja Batu”, dan
“Penyu”. Kesemuanya
digambarkannya secara reflektif, sebagai mimpi kanak-kanak.
Mimpi menjadi Lamafa , orang yang menombak ikan paus, adalah mimpi setiap anak
laki-laki Lamalera. Sejak kecil mereka menyaksikan ksatria Lamafa yang begitu gagah dan
perkasa, mempertaruhkan hidup dan nyawanya dengan melemparkan tombak ke tubuh ikan paus.
Keahlian sebagai Lamafa adalah keahlian khusus yang tidak dimiliki semua orang. Bahkan
jumlah Lamafa dapat dihitung dengan jari. Dalam puisi “Baofutung”, penyair mengungkapkan
kerinduan dan mimpi masa kanak-kanaknya. Baofutung adalah sebuah tanjung di pantai
Lamalera. Sekalipun semua kebiasaan dan tradisi kehidupan anak-anak nelayan telah berubah,
tanjung itu masih tetap kokoh berada di sana, sebagai saksi setiap jamannya. Tanjung kenangan
itu masih tetap berada di sana, “menyimpan serpihan mimpi jadi Lamafa”.
Satu demi Satu
Semua kebiasaan lenyap
Dari ingatan dan kehidupan kampungku.
Hanya tanjung Baofutung
yang masih menghibur kedukaanku.
Ia masih tetap seperti dulu,
Membiarkan punggungnya jadi tumpuan kaki anak-anak Lamalera
Yang masih menyimpan serpihan mimpi jadi Lamafa.

Dalam puisi “Bisikan Ombak,” kehidupan nelayan dengan laut dan ombaknya membawa
penyair pada refleksi-refleksi yang dalam. Kali ini ombak ‘besar dan kecil/yang/bergulung
datang dan pecah di bibir pantai/ ternyata membisikkan sesuatu. Apa bisikan sang ombak?
Ternyata ombak itu tidak lagi mempunyai teman bermain ‘anak-anak Lamalera’, seperti jaman
dahulu kala.
Barangkali ia sedang mencari
Di manakah anak-anak Lamalera?
Mereka tidak lagi seperti anak-anak Lamalera tempo dulu
Yang senang mencebur diri ke laut, berenang
Dan bermain ombak.

Ombak senantiasa memiliki makna yang mendalam bagi anak-anak Lamalera, terutama
anak-anak Lamalera ‘tempo dulu.’ Dalam puisi berjudul “Ombak”, ombak itu dipertanyakan
asal-usul dan tujuannya berkelana ke bibir-bibir pantai. Ombak seakan-akan ‘pengelana abadi’
yang datang dan pergi ke pantai dan pelabuhan-pelabuhan hati. Sebagai anak nelayan, penyair
selalu merindukan ombak.
Anak-anak Lamalera, khususnya yang tinggal di Kampung Atas, memiliki sebuah tempat
bermain favorit yang bernama Futung. Tentang tempat ini, disyairkan keindahannya dalam puisi
‘Futung’. Tempat ini memiliki dua sisi, kolam kecil “tempat anak-anak kecil belajar berenang”
dan sisi terjal “tempat hempasan ombak/mencipratkan titik air/melahirkan pelangi”… adalah
tempat anak-anak nelayan bersenda gurau. Tempat ini memiliki banyak kisah masa kecil,
termasuk arus yang hampir menghanyutkan seorang anak perempuan. Futung pun memberikan
refleksi yang indah bagi penyairnya untuk menyerahkan dirinya dalam diam untuk kebaikan dan
kebahagiaan semua orang.
Futung,
Limpah terimakasih.
Saya ingat budi baikmu
Saya tak lupa pengorbananmu untuk kami semua.
Ingin kujadikan hidupku seperti dirimu,
Menyerahkan seluruh hidupku
Bagi kebaikan dan kebahagiaan semua orang
Tidak untuk dilihat
Tetapi dalam diam.

Di Lamalera ada batu di bibir pantai yang berbentuk kursi dan meja. Ada pula batu besar
dan panjang yang menyerupai perahu, yang disebut “fatu tena”. Di mata anak-anak nelayan,
kursi dan meja batu itu sering kali menimbulkan pertanyaan. Dalam puisi “Kursi dan Meja
Batu”, penyair mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan masa kecilnya yang sampai saat ini tetap
tak terjawab. Pada suatu ketika, ia membayangkan meja itu sebagai Altar, tempat Pastor Dupont
mempersembahkan misa kudus, didampingi dua orang misdinar. Di kesempatan lain, batu meja

itu dipandang sebagai Meja Adat tempat orang-orang berkumpul membicarakan adat, tentang
“kerja dan hidup kami di laut”.
Puisi terakhir bertemakan keceriaan anak-anak nelayan Lamalera terdapat dalam puisi
“Anak Penyu”. Puisi ini mengisahkan rasa cinta penyair terhadap seekor anak penyu pemberiaan
sang ayah. Bagi imaginasi kanak-kanaknya, anak penyu itu pasti sedang dicari oleh ibunya.
Maka ia pun meminta ayah dan ibunya melepas anak penyu itu kembali ke Laut. “Bersama bapa
dan ibu/kami membawanya ke Futung dan melepaskannya ke laut/Sambil berenang/sepertinya ia
menoleh dan melihat kami/Adakah ia mengucapkan ‘limpah terimakasih?/Dan ia menyelam ke
dalam laut”/.
3.3 Tragedi dan Komedi Manusia Kota Besar
Dari lingkungan desa nelayan yang jujur serta masa kanak-kanak yang polos, penyair
terkesima ketika ia memasuki kehidupan ‘terpelajar’ di kota-kota besar. Keriangan masa kanakkanak, tulusnya persahabatan dengan alam dan sesama, dan hangatnya cinta kasih persaudaraan
yang dialaminya semakin menjauh. Apa yang dialaminya di kota-kota besar membuatnya merasa
sangat terasing. Bagi penyair, manusia kota besar adalah manusia-manusia tragis yang patut
ditertawakan atau dikasihani.
Puisi pertama yang bertutur tentang kehidupan kota besar berjudul sangat provokatif,
“Bau Busuk”. Pengalaman pertamanya dengan kota besar itu tentu bukan sebuah pengalaman
yang menyenangkan, sebagaimana impian dan bayangannya ketika masih berada di desanya.
Ternyata kota besar itu amat mengecewakannya. Dengan kondisi busuk semacam itu, ia pun
mengkhawatirkan bahwa orang-orang “kita” yang tinggal di kota-kota besar pun hatinya
“hancur-rusak dan membusuk”. Maka ia pun meminta ayah-ibunya mendoakan orang-orang
“kita” yang hidup di kota besar.
No dan Mama,
Kalau kita dengar tentang kota besar
Kita hanya berkayal tentang bau harumnya.
Tetapi tunggu dulu...
Air pembuangan yang kotor tergenang di mana-mana.
Orang-orang membuang sampah sembarangan
Lalat pun besar-besar seperti belalang
Di mana-mana bau busuk tak tertahankan.
No dan Mamma
berdoalah bagi orang-orang kita yang tinggal di kota besar
Agar hati mereka tidak hancur-rusak dan membusuk.

Kondisi lingkungan kota besar yang ‘berbau busuk’ itu ternyata memang telah membuat
orang-orang “kita” yang tinggal di dalamnya pun berhati busuk. Hal ini jelas terungkap dalam

puisi berjudul “Manusia Kota Besar”. Ternyata ‘orang kita’ itu benar-benar menjadi pembual
ketika pulang ke kampung.
Masihkah kalian ingat
Ketika mereka pulang kampung dan bercerita tentang Kota Besar?
Mabuk dengan tuak putih, kenyang dengan jagung titi yang kita suguhkan
Mereka tak habis menuturkan kisah-kisah khayalan
Tentang Kota Besar, dari siang hingga malam, dari malam hingga pagi.
Kisah berganti kisah terus mengalir dari mulut. Ibarat mata air bersumber tujuh, mengalir tak
kenal henti seperti sungai Atafai.

Apa yang mereka bualkan dengan panjang lebar, cerewet dan gatal mulut ternyata “bagaikan
tong kosong nyaring bunyinya”.
Manusia model ini, cumalah manusia bebal, pembohong kawakan,
Tinggi hati, sombong, dan congkak.

Pengalaman buruknya dengan manusia kota besar semakin tidak menyenangkan ketika
paket kiriman dari saudarinya di kampung tidak disampaikan ke tangannya. Paket itu berisi
jagung titi dan dendeng ikan pari bakar (makanan khas orang Flores Timur). Alasan paket itu
tidak dibawa dan diserahkan ke tangan penyair , adalah “karena mereka tidak mau membawanya
di dalam pesawat terbang”. Hal ini menunjukkan satu bukti lagi betapa tinggi hatinya “orang
kita” yang hidup di kota besar. Kenyataan itu benar-benar menusuk perasaan penyair, karena
untuk dapat mengirimkan paket itu, saudarinya berjuang keras menahan malu berkeliling
kampung menjajakan sepiring jagung untuk membeli ikan.
Hatiku pilu karena mengingat dirimu sebagai orang tak berpunya
Yang harus bersusah-payah berjual-beli mendapatkan jagung,
Betapa engkau yang miskin harus menahan malu
membawa sepiring jagung keliling kampung
Untuk membeli ikan.
Saudariku,
Itulah nasib kita orang miskin dan tak berpunya.
Nasi kita nasi jagung,
Air minum kita hanyalah air putih.
Kita tidak mengenal, kopi dan teh bergula.
Kita juga tak mengenal daging,
Lauk kita ikan kering dan bromé, appur, atte dan mudu.

Penyair pun menasihati saudarinya agar “kali berikut kalau mau kirim sesuatu/harap pilih orang.
Dan..perhatikan baik-baik wajah mereka”.
Perilaku menyebalkan dari orang-orang kota besar tampak pula dalam puisi “Keringat”
dan “Perantau”. “Orang-orang kota besar/merasa takut kalau berkeringat/dan selalu mengeluh
panas//. Mereka pun mengutuk keringat sambil berkata, /Uh, keringat bau”. Bagi penyair, bau

keringat itu adalah bau tubuh orang yang berkeringat itu sendiri. Cerminan bau busuk dari orang
kota besar itu sendiri.
Dalam puisi “Perantau”, penyair mengamati perilaku ‘pamer’ dari orang-orang yang baru
pulang dari rantau. Mereka cenderung memamerkan apa saja yang dipunyai: celana dan jaket
jeans, topi, handuk putih, kaca mata rayben, cicin emas, jam tangan, dan gigi emasnya. Perilaku
kampungan –yang memang seringkali disaksikan hampir di seluruh Lembata dan Flores—adalah
“ketika hari mulai senja//sambil menjinjing tape dengan musik bervolume tinggi/mereka pergi
mengunjungi tempat-tempat minum tuak/. Yang terjadi kemudian adalah harta milik yang
melekat di badan mereka mulai dijual satu demi satu. “Paling akhir, mereka menggade arloji,
cincin, tape/Bahkan gigi emasnya pun dicungkil dan dijual/Dan kembalilah mereka ke tanah
rantau/. Dengan pedih penyair pun bertanya, “Oh perantau yang kurang bijaksana/Mengapa
merantau hanya untuk menjadi miskin-merana?”
3.4 Kearifan Leluhur
Kekecewaan pada perilaku dan mentalitas manusia kota besar membuat penyair kembali
menggali, merefleksikan, dan merevitalisasikan berbagai kearifan leluhur di tanah para nelayan
itu. Sekalipun ada memori kanak-kanak namun tidak ada canda dalam tema ini. Sebagian besar
puisi-puisi dalam kumpulan ini mengungkap persoalan kearifan leluhur.
Kearifan leluhur pertama yang mempesona penyair tampak dalam puisi “Lamalera”.
Penyair mengagumi kepandaian para pendahulu ratusan tahun yang lalu dalam memberi nama
“Lamalera” kepada tanah kelahirannya. Ada tiga alternatif makna kata Lamalera: (1) kampung
yang penuh dengan pohon Lerra (merah-menyala rumpun bunganya); (2) piring matahari
(cahaya abadi, pemberi harapan kehidupan bagi siapa saja); (3) guru matahari (pintu masuknya
agama dan pendidikan modern ke Pulau Lembata). Identitas dan tugas yang diletakkan oleh para
pendahulu atas Lamalera begitu mulia. Di akhir puisinya, penyair mempertanyakan kepada
generasi Lamalera yang sekarang, masihkah mengemban identitas dan tugas mulia itu?
Puisi “Tempat-tempat Suci” mengandung sejumlah kearifan leluhur dalam mengajarkan
anak-anaknya menghormati Tuhan dan tidak merusak lingkungan sekitarnya. Di masa kecilnya,
penyair mengenal empat tempat suci atau tempat haram: (1) Hutan Suci Lelaone: melewatinya,
orang harus membuat tanda salib, tidak boleh mematahkan ranting pepohonan sekecil apapun.
(2) Hutan Suci Tufaone: tempat berdiam roh kampung halaman. Melewatinya, orang harus
membuat tanda salib, tidak boleh mematahkan ranting pepohonan sekecil apapun. (3) Tempat
Suci Gereja Lama: orang harus diam, sopan, dan berdoa khusuk. (4) Tempat Suci Pantai
Lamalera: jika mandi harus memakai celana dan membuat tanda salib, pada musim lefa anakanak tidak boleh berteriak dan membuat keributan. Tempat-tempat suci itu begitu penuh makna:
ada kesadaran akan hadirnya Tuhan, penjaga hutan, dan roh-roh leluhur yang senantiasa
menyertai penduduk nelayan Lamalera. Orang pun menaruh hormat pada Tuhan, menghargai
lingkungan dan hutan, dan mengingat jasa para leluhur. Di akhir puisinya, penyair kembali
mempertanyakan, mengapa kearifan leluhur itu kini musnah?

Tapi sayang,
Dewasa ini siapa yang menaruh rasa hormat dan segan
Denganmu semua?
Orang-orang kami
Mulai melupakan dirimu
Dan petuah-petuah sucimu.

Puisi “Gufer” mengisahkan salah satu kearifan lokal masyarakat tradisonal Lamalera.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka mengenal seekor burung yang mereka sebut Gufer, yang
dipercaya dapat membuka rahasia tentang hamilnya seorang wanita sebelum perkawinan resmi.
Penyair merasa heran, “burung apakah dirimu?/Engkau ibarat malekat Allah, Gabriel/Ataukah
dirimu adalah Roh Kudus?” Kemisteriusan burung ini disebabkan karena selalu tepat ia
mengabarkan sexual affair yang terjadi dalam masyarakat. Ia senantiasa memberikan tanda-tanda
zaman.
Puisi “Guru Kehidupan” mendaraskan sembilan fungsi dan jabatan dari sejumlah besar
leluhur yang dipandang telah berjasa bagi Lamalera: para tuan tanah (2 orang), para pemimpin
kampung (10 orang), para imam perintis (10 orang), para pemilik perahu (tidak dirinci), para
pembuat perahu (10 orang), para juru tikam atau lamafa (24 orang), para dukun kampung (10
orang), para guru sekolah (50 orang), para tukang bangunan (12 orang). Masing-masing bidang
‘guru kehidupan’ itu disebutkan keutamaan dan nilai pendidikan yang diwariskannya. Pada awal
dan akhir sajak ini, penyair mempertanyakan, “mengapa kalian tak datang menyelamatkan
kampung?” Tampaknya penyair merasa gusar, keutamaan-keutamaan yang diwariskan para
leluhur itu sudah sangat memudar. Para imam perintis, misalnya, diharapkan untuk segera
kembali untuk menyapa para imam dan suster zaman sekarang karena “kami semua sama
saja/kami rakus dengan uang/Rosario kami buang dan ganti dengan HP/doa tak lagi kami
hiraukan/. Betapa penyair ingin merevitalisasikan nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan yang
pernah diwariskan para leluhur, yang sekarang ini telah jauh memudar.
Secara khusus dalam puisi “Guru Bura (Sebuah Eulogi)”, penyair mengisahkan
keutamaan seorang guru yang luar biasa bernama Guru Bura (yang disapanya sebagai Opa Guru)
dan istrinya Oa Somi. Guru ini selalu membuat muridnya yang masih kecil-kecil itu betah di
sekolah. Apa yang dilakukan oleh Guru Bura ini jarang (untuk tidak mengatakan tidak)
dilakukan oleh guru-guru jaman sekarang. (1) Setiap hari membawa makanan: kue bintang, kue
putu, bolu goreng, jagung goreng rebus, jagung titi dan kacang rebus (buatan tangan istrinya Oa
Somi); (2) Tidak pernah marah dan menghargai martabat dan menyapa anak-anak kecil itu
dengan “bapa/mama/ama/ina”. (3) Ramah dan hormat pada murid yang tidak pandai dan
kerjanya cuma tiduran sepanjang kelas. (4) Mencari anak-anak yang tidak mau datang ke sekolah
dan bersembunyi di hutan, bagai Yesus mencari anak yang hilang. (5) Sangat menyayangi
istrinya Oa Somi serupa Santo Yosef dan Santa Maria.
Salah satu kearifan leluhur Lamalera adalah membangun rumah yang selalu memiliki
emperan. Hal ini tertuang dalam puisinya berjudul “Emperan Rumah”. Konon pada jaman
dahulu, rumah-rumah di Lamalera, sekalipun terbuat dari rumput alang-alang atau daun lontar,
“menyerupai gubuk sederhana”, tetapi hampir semua rumah mempunyai emperan.

Siapa saja yang lewat di depan rumah
Kita panggil untuk duduk di emperan rumah.

Menyapa orang yang lewat dan mengajak mereka singgah sebentar di emperan rumah
merupakan adat kebiasaan leluhur. Bahkan orang asing dari kampung yang lain pun diajak untuk
mampir sejenak, disajikan makan jagung titi dan diberi minum air sebelum melanjutkan
perjalanannya. Sebuah adat-kebiasaan yang sangat luhur. Di akhir puisinya, sekali lagi, penyair
mengungkapkan kekecewaannya yang amat dalam.
Sekarang ini,
Rumah kita besar dan luas
Tapi tak punya emperan yang selalu terbuka bagi siapa saja.
Rumah kita besar
Hanya untuk diri sendiri.
Rumah kita...
Rumah kekikiran
Rumah ingat diri
Rumah kesombongan.

Pada zaman dahulu, orang-orang Lamalera menggunakan berok (besar dan berat),
sedangkan pada zaman sekarang orang menggantinya dengan sampan (ringan karena
pendayungnya bisa tarik sendiri). Dalam puisi “Berok”, penyair mengungkapkan “sampan
mengajar kita menjadi kikir/berok mengajar kita untuk saling membantu/. Ini juga merupakan
satu bukti lagi hilangnya kearifan leluhur.

3.5 Kemunduran dan Pengkhianatan di Tanah Leluhur
Tema terakhir, kemunduran dan pengkhianatan di tanah leluhur, patut dibicarakan
tersendiri, meskipun hal ini sebenarnya sudah disinggung dalam sub-uraian 3.4 tentang kearifan
leluhur. Dalam setiap puisi yang menyangkut tema kearifan leluhur yang dirasakan telah
memudar, penyair serta-merta mengajukan pertanyaan dan kritik yang tajam, atau bahkan doa
yang tulus agar kondisi ideal itu kembali terwujud.
Kekecewaan penyair terhadap berbagai degradasi, kemunduran, dan pengkhianatan yang
terjadi di tanah leluhurnya terasa sangat menonjol. Ia pun tidak segan-segan muncul dengan
fungsi profetiknya: mengemukakan kritikan yang keras, tajam, dan blak-blakan. Dalam puisi
“Lamalera - 2”, pertanyaan tentang identitas dan tugas Lamalera itu terasa menohok.
Lamalera,
Masihkah identitas dan tugas seperti itu
Kau emban?
Masih adakah keindahanmu dan aroma jiwamu?
Masih adakah sinar mataharimu?
Masih adakah diri gurumu?
Masih adakah imanmu akan Matahari Sejati?

Dalam puisi “Dalle”, penyair pun mengeritik dan mempertanyakan kewarasan orang
tidak mengaku tidak gila seperti Teresia Dalle.
Dalam hati saya bertanya,
Siapa sebenarnya yang gila?
Dalle? Ataukah kita sendiri,
Manusia yang tak beradat
yang tidak tahu menghormati Allah
Dan manusia?

Puisi “Tempat Suci” yang merefleksikan kearifan lokal leluhur Lamalera tentang hutan,
roh-roh leluhur, dan Tuhan yang pada zaman dahulu dihormati, kenapa kini tidak lagi dihormati?
Tapi sayang,
Dewasa ini siapa yang menaruh rasa hormat dan segan
Denganmu semua?
Orang-orang kami
Mulai melupakan dirimu
Dan petuah-petuah sucimu.

Tema kemunduran dan pengkhianatan di tanah leluhur tampak dikemukakan secara lugas
dalam puisi “Keterasingan”. Ketika pulang ke kampung halamannya, penyair mendapati
kampung halamannya “wajahnya mulai bopeng/Dicorat-coret lekak-lekuk garis-garis
kemajuan/tak beraturan”. Kekecewaan penyair pada penampilan fisik kampung halamannya
semakin diperparah dengan hadirnya anak-anak yang tak lagi ia kenal dan mereka pun tak
mengenal siapa dirinya. Dia benar-benar merasa terasing di tanah kelahirannya sendiri. “Aku
seorang asing/Di kampungku sendiri”.
Banyak anak datang mengerumuniku
Tetapi aku tak mengenali nama mereka,
Mereka tak mengenal aku.
Hatiku terluka,
Jiwaku melayang,
Aku seorang asing
Di kampungku sendiri.
Dalam pusi “Baofutung”, penyair mengemukakan kekecewaannya yang sangat mendalam akan
kehidupan laut para nelayan yang mulai punah. Semua kebiasaan yang begitu akrab dijalaninya semasa
kanak-kanak kini sudah tiada.
Berok, Sampan Besar telah punah.
Pancing Ikan terbang tak lagi digemari,
Peledang berkurang,

Plae Angngi entah kemana.
Pantai tak lagi sakral
Oooo! Gulat tradisional dan bakar jagung di pantai,
Ambil dan masak darah paus dan beli bolu,
Di manakah kamu!

Dalam puisi “Angin dan Arus”, penyair memaparkan peran historis angin dan arus dalam
kehidupan para nelayan tradisional. Para nelayan itu hidup dari bantuan angin dan arus. Mereka
hidup dari alam. Akan tetapi kini angin dan arus sudah tidak dibutuhkan lagi oleh para nelayan.
“Orang-orang kami tak lagi mengenal dayung/mereka tak butuh bantuanmu, Arus/Mereka sudah
punya mesin ‘johnson’ dan lainnya/. Penyair masih mengharapklan agar angin dan arus tetap
mengalir tiada henti “untuk peledang-peledang kami/hari ini!”
Puisi “Bukit Tébulélé, Ilé Goppol, Tobbi” menggambarkan tiga bukit di Lamalera yang
senantiasa abadi dengan bentuk sayap rajawalinya yang menjadi ‘kebenaran’ Lamalera. Kepada
ketiga bukit itu, penyair mengharapkan agar mereka, sebagai saksi sejarah kampung halaman,
“menuturkan sejarah kami/sebenar-benarnya/. Mengapa demikian? Karena “orang-orang
kampung kami semakin pintar/tetapi banyak dari mereka menuturkan sejarah kampung/sesuka
hati dan demi kepentingannya/. Ini berarti ada pengkhianatan yang terjadi di tanah leluhur.
Dalam puisi “Tanjung Naga”, penyair mengungkapkan tentang kemajuan hidup yang
“semakin baik dan menyenangkan/tetapi yang baik dan menyenangkan itu/meracuni jiwa
kami/membutakan mata kami/dan melesukan harapan kami/untuk menengadah ke
langit/memandang Allah dan berdoa kepadaNya/.
Ratapan penyair akan semakin punahnya kehidupan laut para nelayan Lamalera
terungkap dalam puisi “Atadei atau Somi Boladerre”. Atadei adalah sebuah legenda yang
terkenal di Lembata, tentang seorang wanita cantik bernama Somi Boladerre yang berubah
menjadi batu karena ketika berlari keluar dari tanah asalnya Lepan Batan, /karena hatimu tak rela
melupakan kampung halamanmu/Engkau berpaling memandangnya dan menjadi kaku/. Kepada
Somi Boladerre yang setia pada kampung halamannya ini, penyair menyampaikan keluhkesahnya.
Ibu, SOMI BOLADERRE! Ibu yang setia berdiri!
Hidup kami susah, sarat derita
Salib kami teramat berat.
Perahu dan pekerjaan di laut
Warisan saudara-saudaramu
Perlahan punah.
Tetaplah berdiri dan jagailah kami,
Sayangilah dan cintailah kami.

Puisi “Guru Kehidupan”, seperti yang sudah disinggung di atas, mengungkapkan
berbagai kemunduran dan pengkhianatan yang terjadi di tanah leluhur, Lamalera. Ajaran tuan
tanah: darat dan laut adalah satu, bagai pinang belah dua. Seekor paus kita makan
bersama/Seekor ikan kecil kita bagi dua. Ajaran para juru tikam atau lamafa: bahwa perahu dan

melaut/adalah warisan leluhur/yang harus dijaga dan diteruskan/. Oleh karena ajaran-ajaran itu
kini sudah tidak lagi dijalankan, kebiasaan melaut mulai luntur, penyair “membangunkan” para
leluhur itu dan meminta mereka “Tidur dan beristirahatlah di surga/Tetapi jangan tidur
lelap/Jangan lupa kampung/Kembalilah ke tengah-tengah kami/Lewat mimpi/Atau datanglah
menjenguk kami dengan rohmu/.
Kebiasaan berkata bohong yang mulai dilakukan para nelayan di kampung halamannya
diamati penyair dan dituangkannya dalam puisi “Kosong”. Ketika pulang dari laut, mereka tidak
lagi membagi-bagikan tangkapannya seperti adat-kebiasaan nenek-moyang, sekalipun kantong
pancingannya mengembung dan terasa berat. Demikian pula, ketika ditanya minum tuaknya
banyak, mereka menjawab “kosong…kami hanya minum satu gelas”. Sifat-sifat semacam ini,
yang menyimpang dari kebiasaan leluhur, sangat mengecewakan penyair.
4. Penutup
Dua puisi terakhir Bruno Dasion berjudul “Mari Kita ke Laut” dan “Kembalikan
Lamaleraku” menjadi gong pamungkas bagi kumpulan puisinya, dan merupakan titik kulminasi
semua refleksi dan titian doanya. Inilah yang dia sebut sebagai ritus sakral memasuki akar
spiritualitas kebudayaan Lamalera. Penelusurannya terhadap mimpi-mimpi masa kecilnya di
tanah kelahirannya, berbagai kearifan leluhur, dan ekspresi kekecewaan atas degradasi dan
pengkhianatan di tanah leluhur pada akhirnya disatukannya menjadi sebuah energi dan tekat
untuk membangun kembali Lamalera. Lamalera harus tetap hidup dan menjaga identitasnya yang
sudah terbentuk berabad-abad lamanya sebagai sebuah kampung nelayan, lengkap dengan
keutamaan-keutamaan yang diwariskan leluhur. Dalam kedua puisi ini, tidak ada letupan-letupan
kekecewaan dan sinis tajam. Bagai Musa di puncak Tursina, ia tampil memimpin kaumnya untuk
kembali berlayar.
Wahai orang Lamalera!
Janganlah kita lupa akan perahu dan kerja kita di laut.
Biar zaman berganti zaman
Mari jaga dan piara laut, taman kehidupan.
Angin timur berhembus, arus mengalir, matahari perlahan terbit
Dengan cahaya bagai kobaran api.
Sahabat, dorong perahu, dirikan tiang dan angkat layar
Kayuhlah perahu kita dalam irama
Hilibe, hilibe, hilibe...Mari kita ke laut.
Sebab, inilah tugas hidup warisan leluhur,
Kita harus pergi.

Dalam puisi “Kembalikan Lamalera-ku”, seruan yang bernada lebih keras diarahkannya
kepada “kalian semua yang datang dari seberang lautan” untuk mengembalikan Lamalera
kepada kesejatian dirinya. Orang-orang dari seberang lautan itu dianggap memiliki andil besar

dalam merusak tatanan hidup masyarakat Lamalera melalui berbagai propaganda dan janji
kosong. Mereka bahkan disebutnya sebagai “pencuri”, penipu, dan orang yang “tak tahu adat.”
Bruno Dasion adalah seorang rohaniwan Katolik. Ia lahir dan dibesarkan dalam sebuah
keluarga nelayan Lamalera yang penuh kasih dan kehangatan. Cinta dan kekagumannya akan
sosok dan figur sang bunda membawanya pada pencaharian makna Cinta Sejati. Ia anak
kebanggaan kedua orang tuanya. Ia dididik oleh guru-guru yang sangat berbakti dan menghargai
harkat dan martabatnya sebagai manusia. Ia menghirup alam dan lingkungan laut Lamalera
sebagai sebuah ruang yang sakral dan agung. Ada dua perubahan radikal yang menghentak
kesadaran jiwanya. Pertama, perubahan sosial yang dihadapinya dalam hidup di kota-kota besar
dan bergaul dengan orang-orang dari kota-kota besar yang ternyata busuk dan kerdil jiwanya.
Kedua, perubahan sosial yang nyata-nyata dilihatnya telah melanda kampung halamannya dan
memporak-porandakan nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan yang amat dibanggakannya sejak
masa kanak-kanak. Perubahan sosial di kampungnya dipengaruhi pula oleh faktor-faktor
eksternal. Kedua fase kehidupan itu: masa kanak-kanak dan remaja yang indah, penuh cinta, dan
terkadang sentimental, masa dewasa yang penuh perubahan sosial: di kota besar maupun di
kampung halamannya sendiri mempengaruhi proses kreatif Bruno Dasion. Ia kadang tidak
mampu menyembunyikan rasa kecewa dan amarahnya atas degradasi dan pengkhianatan yang
terjadi di tanah kelahirannya. Hal itu terungkap dalam puisi-puisinya dalam kumpulan Pukeng
Moe, Lamalera.
Kumpulan puisi ini tentu saja menjadi sarana memasuki alam spiritualitas dan
transformasi budaya masyarakat Lamalera. Akan tetapi, lebih dari itu kumpulan ini menambah
kekayaan tematik khazanah sastra Indonesia, sastra daerah NTT, dan teristimewa sastra daerah
Lamaholot.