OTORITAS DAN EKSISTENSI KEAGAMAAM WANITA

OTORITAS DAN EKSISTENSI KEAGAMAAM WANITA
DALAM ISLAM DAN BUDDISME
(Studi Analisis Perbandingan & Sosiologis)
oleh
Roro Sri Rejeki Waluyojati,MA
Dosen Jurusan Perbandingan Agama
Fakultas Ushulludin UIN SGD Bandung

Abstraksi
On the historical stage, discourses struggle about the gender movement, feminism,
and equality between men and women are part of emancipation, democratization and
cultural humanism. Day after day, indictment and claims are discriminated, suppression of,
and violence to, women are more and more increasing. Speaking about gender, we usually
find more discrimination in social context.
The social context is actually influenced by religious view point dominating in the
area. Therefore, gender problems cannot be separated from both factors–religion and social
context. The Problem of equality between men and women has been much discussed in this
field, but study about women's authority and existence in religious ritual practice as a
leader, is still rare.
For that reason, this paper will discuss women’s access to religious authority, by
comparing two religious traditions in Islam and Buddhism. In order to be systematic of

discussion, at first, we would like to describe of how religious tradition gives an access to
women in ritual practices such to be Imam of Shalat in Islam (Prayer) or Nuns in
Buddhism.

Keywords: authority; existence; equality; opportunity

MEMBICARAKAN PERSOALAN GENDER, biasanya akan banyak melibatkan berbagai
aspek kehidupan, tuntutan antara kesetaraan laki-laki dan perempuan secara umum hanya
menyentuh pada tataran social budaya, tetapi belakangan ini diskursus kesetaraan pada
wilayah keagamaanpun mulai digugat.

1

Tetapi sebelum melangkah lebih jauh pada

pembahasan ini, terlebih dahulu dapat penulis kemukaan bahwa paling tidak ada dua alur
pemikiran masyarakat yang berkaitan dengan masalah gender itu sendiri, pertama, adanya
golongan yang berkeyakinan bahwa masalah relasi antara laki-laki dan perempuan selama
ini diyakini telah seimbang, jadi tidak perlu lagi adanya penggugatan baik secara akademis
maupun konstruk social, kelompok pertama ini cenderung memihak pada status Quo.

Kedua, golongan yang meyakini bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan masih
dianggap timpang dan belum seimbang, masih ditemukan pola-pola hubungan gender yang
diskriminatif. Golongan ini berupaya mengatasi fenomena keseimbangan yang dimaksud
dengan mengadakan reinterpensi terhadap teks-teks keagamaan dan struktur budaya
masyarakat.
Pada peper kali inipun penulis ingin mencoba membahas tentang interpretasiinterpretasi kitab suci yang ada dalam memandang persoalan gender dan diskriminasinya.
Karena bagaimanapun tidak bisa dipungkiri wacana yang berkembang dimasyarakat masih
sangat di dominasi oleh interpretasi-interperetasi kitab suci yang masih baku dan
konvensional. Hal ini cukup jelas terlihat dari interpretasi doktrin-doktrin kitab suci baik
dalam agama Islam maupun Buddha, yang masih cenderung dipengaruhi kuat oleh sistim
sosial partiarki. Hingga pada akhirnya berimbas kuat pada penafsiran dalam doktrindoktrin keagamaan, walaupun itu menyangkut pada wilayah ritual praktis dan social
sekalipun.

1

Muhammad Azhar, Analisis Gender dalam Islam,Makalah dalam seminar Gender KMFH UGM,
20 Mei 200

Otoritas dan eksistesi wanita dalam bidang ritual praktis
1. Menjadi Imam dalam Sholat

Dalam agama Islam, pembicaraan tentang kepemimpinan wanita dalam ibadah
keagamaan bukan saja merupakan hal yang baru tetapi juga merupakan langkah awal yang
berani dalam wacana agama Islam klasik ataupun modern, seperti yang katakan oleh oleh
Andrew Feereland, ketika memberikan prakata dalam buku Fiqih Perempuan yang ditulis
oleh K.H. Husein Muhammad. Ia menyatakan bahwa sejak jaman dahulu dalam tradisi
Islam, akses wanita dalam kepemimpinan ibadah seperti menjadi Imam dalam sholat
khususnya untuk sholat berjamaan sulit ditemukan. Karena wanita hanya dibolehkan
menjadi imam sholat bila jamaahnya wanita, orang tua dan budak belia.2
Beberapa buku klasik yang sering dijadikan acuan dasar hukum bagi masyarakat
Islam, memberikan syarat-syarat yang membatasi akses wanita dalam ketentuan praktek
ibadah wajib seperti: Menjadi pemimpin sholat, Wali dalam pernikahan dsb, hal itu terjadi
karena untuk menjalankan semuan itu, seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut: beragama Islam, berakal, dewasa dan laki-laki. Ironisnya, syarat-syarat tersebut
diperkuat oleh hadits Rasul yang mempengaruhi pandangan para ulama klasik hingga
menjadi aturan baku dan tradisi dalam Islam.
Semua mazhab dan semua pemuka agama (ahli fiqh) berpendapat bahwa
kepemimpinan wanita dalam sholat untuk jamaah pria dilarang.3 Ada dua pendapat fiqh
yang menjadi dasar pandangan tentang kepemimpinan wanita dalam sholat.
Pertama: ”Wanita dilarang menjadi imam dalam sholat untuk jamaah pria”.
Ini dijelaskan dalam sebuah hadits dari Jabbir r.a, salah seorang sahabat Rasul

bahwa menurutnya Nabi s.a.w telah bersabda:

2

K.H.Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
(LKIS:2000),hlm.xvii
3

Syarafu Syarifuddin An-Nawawi, Al-Majmu’syarh al-Muhadzab, ( Maktabah Al-Irsyad:Juz IV,
hlm.125-126

"Bagaimanapun juga wanita dilarang menjadi imam dalam sholat, termasuk orang
Arab Badui bagi laki-laki Muhajirin dan orang zalim bagi orang-orang yang
beriman.4
Kedua: “Wanita diijinkan menjadi pemimpin dalam sholat bagi laki-laki yang sudah tua,
orang-orang muda yang menjadi budak dan untuk kaum wanita lainnya, tetapi tidak
diijinkan menjadi pemimpin bagi jamaah laki-laki merdeka.” Seperti dijelaskan dalam
sebuah hadits riwayat Abdurachman bin Khallad:
"Rasulullah s.a.w pernah mendatangi rumahnya dan menyuruh adzan dan
meminta-nya (ummu Waraqqah) untuk menjadi pemimpin (imam) bagi anggota

keluarganya. Abdurachman berkata: "Saya melihat saat itu bahwa muadzinnya
adalah seorang laki-laki tua".5
Kedua hadits itu menjadi dasar bagi orang Islam dalam melihat keberadaan dan
kedudukan wanita sebagai pemimpin dalam sholat berjamaah. Pendapat kedua
menjelaskan bahwa keabsahan wanita sebagai imam dalam sholat bagi kaum pria terbatas
untuk laki-laki usia lanjut atau pemuda yang memiliki status sebagai budak, bukan lakilaki merdeka. Lalu, apa substansi dari pernyataan di atas?
Dalam peribadatan serta bidang-bidang sosial, masalah-masalah yang menyangkut
hubungan antara pria dan wanita, baik secara kelompok atau individu bisa terjadi saling
tarik menarik perhatian diantara keduanya, dan hal itulah yang menjadi alasan yang
digunakan oleh para ulama yang biasa disebut alasan Kaufah al fitnah, yaitu pengendalian
agar tidak menyebabkan fitnah (suatu keadaan yang mengganggu atau menggoda pikiran
laki-laki). Misalnya urutan barisan dalam sholat berjamaah mengharuskan posisi wanita
dan pria untuk dipisah, wanita selalu dibelakang pria. Wanita dilarang memberikan
khotbah kecuali jika jamaahnya semuanya wanita. Ia juga dilarang
mengumandangkanadzan dengan keras yang bisa didengar oleh pria. Wanita tidak wajib

4

5


Muhammad bin Yazid Ibn Majah, Sunah Ibnu Majah, (Dar al Fikr:Juz I),hlm. 342
Syarafu Syarifuddin An-Nawawi, Op.Cit, hlm. 135.

mengikuti sholat Jum'at dan mengikuti ibadah wajib di masjid adalah sesuatu yang kurang
baik.
Jadi, jelaslah bahwa alasan paling substansial dari pelarangan ini adalah karena
kekuatiran akan mengundang fitnah. 6 Tetapi Di sisi lain, jelas pula bahwa argumen diatas
menunjukkan adanya bias gender. Fitnah yang dimaksudkan sebagai godaan atau gangguan
yang dipahami dalam Islam seolah-olah hanya berasal dari pihak wanita kepada pria,
seolah-olah dalam diri wanita ada unsur-unsur melekat yang bisa menggoda pria, sehingga
untuk menghindari hal itu wanita dilarang melaksanakan aktivitas sholat bersama pria
karena dikhawatirkan mereka akan mengganggu konsentrasi pria dalam sholatnya.
2. Menjadi Seorang Bikhuni
Agama Buddha mengajarkan bahwa puncak kesempurnaan yang bisa dicapai oleh
manusia adalah jika ia bisa mencapai nibanna. Dalam awal kemunculannya, orang-orang
menentang hal itu karena dianggap menghancurkan konsep-konsep budaya yang ada dan
menyebabkan keluarga tercerai berai, dimana wanita menjadi janda dan anak-anak terpisah
dari ibu mereka.7 Ajaran-ajaran agama Buddha telah menyebabkan orang menjadi bikhu
dan bikhuni. Karena puncak dari tingkat kesempurnaan hidup dan proses dalam mencapai
nibbana akan menjadi lebih mudah jika manusia dapat lepas dari kesenangan duniawi,

yakni menjadi bikhu atau bikhuni.
Sang Buddha akhirnya menghargai kemampuan yang dimiliki wanita, dengan
memberi mereka kesempatan untuk mencapai kesucian dan kemajuan spiritual seperti
kaum laki-laki dengan memasuki kehidupan sebagai seorang bikhuni.
Memang pada awalnya untuk membuat ketentuan tentang wanita yang akan
menjadi bikhuni tidaklah mudah. Karena pada awalnya Buddha (sidharta gautama)
menentang eksistensi dan otoritas bikhuni. namun hal ini berubah ketika Buddha
menyadari kesalahannya, setelah berkonsultasi dengan sepupunya, Ananda, mengenai

6

7

K.H.Husein Muhammad, Op.Cit. hlm. 36.

I.B Horner., Seri Wanita Dan Ajaran Budha:Wanita dalam Literatur Budha awal, Terj Sui-Ling,
(Forum partisipasio Masyarakat Sekolah Tri , ratna:1995), hlm.15

masalah Ratu Mahajapati Gautami (ibu tiri dan bibi Sidharta Gautama yang ingin menjadi
bikhuni bersama dengan 500 Utri Sakya yang suaminya telah menjadi bikhu8

Dengan demikian, Buddha mulai mengakui eksistensi bikhuni dengan membuat
persyaratan, ada 8 persyaratan yang harus diterima dan dipatuhi oleh kaum perempuan bila
mereka ingin menjadi Seorang Bikhuni. Delapan aturan tersebut dikenal dengan istilah
garudhamma.9 (R.M. Rasyid: 32).
1. Seorang bikhuni, meskipun ia telah dilantik selama 100 tahun, harus menyambut
dengan sopan seorang bikhu yang baru dilantik
2. Seorang bikhuni tidak boleh menjalankan vissa di tempat yang tidak diketahui oleh
bikhu
3. Setiap dua minggu sekali, seorang bikhuni harus memohon sangga dari bikhu
untuk mengadakan pertemuan sebagai media latihan untuk mendapatkan saran dan
peringatan
4. Setelah menjalani masa vissa, seorang bikhuni harus meminta bikhu untuk
memberikan teguran, saran dan peringatan tentang apa yang telah ia lihat, dengar
dan kecurigaan mengenai kesalahan-kesalahan bikhuni
5. Seorang bikhuni yang telah melakukan pelanggaran yang serius harus menjalani
hukuman selama setengah bulan di depan sangha bikhu dan bikhuni
6. Seorang pelamar wanita yang telah dilatih selama 2 tahun harus mendapatkan
pelantikan yang lebih tinggi dari sangha bikhu dan bikhuni
7. Seorang bikhuni tidak boleh menegur atau menghina bikhu dalam hal apapun
8. Seorang bikhuni dilarang memberikan peringatan kepada bikhu, tapi seorang bikhu

tidak dilarang memberikan peringatan kepada seorang bikhuni.
Tetapi selain delapan garudhamma yang harus diterima oleh seorang calon bikuni
ternyata masih banyak permasalahan wanita yang menjadi seorang bikhuni dan
eksistensinya masih menghadapi cobaan-cobaan berat lainnya bahkan ketika persyaratan
garudhamma sudah terpenuhi, seperti dijelaskan diatas.
8

Adi Suhardi, Status Wanita Dalam Agama Buadha: Suatu Uraian Singkat, (Yayasan Dharmmaduta
Carika:1986), hlm.8
9

R.M, Rasyid. Sila dan Vinaya,(Budhis Bodhi:1997), hlm. 32

Timbul Satu masalah lain yang tak terpecahkan hingga sekarang, yaitu masalah
eksistensi bikhuni, contoh kasus di Thailand yang nota bene menganut agama budha
sebagai agama resmi Negara dan memiliki banyak bikku dan bikkuni, ternyata untuk
eksistensi seorang bikkuninyapun masih belum bisa diakui keberadaannya karena seorang
wanita hanya disetujui sebagai seorang bikhuni setelah ia dilantik oleh sangha bikhu dan
sangha bikhuni.
Masalahnya sekarang adalah bahwa selama lebih dari 1000 tahun tidak ada sangha

bikhuni yang diakui secara syah keberadaannya, sebaba sejak sangha bikhuni yang terakhir
keberadaannya hilang di Srilangka pada abad 10. Sejak saat itu tidak ada lagi sangha
bikhuni yang diakui eksistensi dan orisinalitasnya.
Karena umat budha di Thailand belum mengakui eksistensi dan orisinalitas sangha
bikhuni yang lain sejak putusnya silsilah sangha bikhuni di Srilangka, yang diyakini
sebagai sangha bikhuni asli dengan aturan-aturan utama berdasarkan ajaran Buddha
(garudjama). Karena itu mereka tidak mengakui eksistensi sangha bikhuni lain, hal ini
terjadi khususnya untuk golongan Buddha Theravada yang sangat orthodoks dan keras
dalam menjaga ajaran & silsilah Buddha. Kebetulan di Thailan kebanyakan golongan
Theravada yang eksis.
Jadi untuk memecahkan masalah di atas, wanita dalam golongan Theravada yang
ingin menjadi bikhuni dapat dilantik terlebih dahulu sebagai Anagarini; viharavati dengan
melakukan latihan sumaneri, yaitu melaksanakan dasa sikhapada atau dasa sila (10 asas)
sebagai berikut:
1. Menjauhi mencuri,
2. Dilarang membunuh.
3. Dilarang melakukan hubungan seks.
4. Dilarang berkata bohong.
5. Dilarang Minum minuman beralkohol.
6. Dilarang makan pada waktu yang salah.

7. Dilarang menggunakan bunga-bunga.
8. Dilarang menggunakan wangi-wangian
9. Dilarang menggunakan kosmetik untuk mempercantik diri
10. Menjauhi menggunakan tempat tidur dan kursi yang mewah

Dengan melihat sayarat-syarat dan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh seorang
wanita yang ingin menjadi bikhuni, jelas ada bias gender di dalamnya, dimana superioritas
pria masih dapat diidentifikasi meskipun dalam upacara keagamaan. Dan untuk mencapai
eksistensi mereka sebagai bikhuni, wanita masih menghadapi banyak kesulitan.
Berdasarkan dua penjelasan di atas, kita bisa menganalisa sebagai berikut: Memang
sulit untuk menarik garis kesamaan jika kita melihat dan mencoba membandingkan
otoritas keagamaan dan eksistensi wanita dalam konteks agama Islam dan Buddha. Di satu
sisi, Islam tidak mendorong atau mengijinkan wanita menjadi bikhuni dan meninggalkan
kehidupan alamiahnya seperti menikah, menjadi ibu dan istri, karena dalam ajaran islam
justru dengan cara demikianlah wanita sebenarnya dapat mencapai kesempurnaan dan
kesalehan dalam ibadah. Hal itupun berlaku bagi kaum pria, seperti dijelaskan dalam
hadith yang mengatakan bahwa :
“Nabi tidak menyukai orang yang menghabiskan masa hidupnya di masjid dan
hanya melaksanakan ibadah secara terus-menerus hingga mereka meninggalkan
kehidupan dunia ini “.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa pria dan wanita dalam agama Islam
dianjurkan untuk menjalani kehidupan normal sebagai manusia, baik secara pribadi atau
sosial. Sementara itu, dalam konteks agama Buddha, dimana tingkat kesalehan spiritual
dari seseorang dianggap berhasil jika ia dapat menghindari dan meninggalkan kehidupan
duniawi. Karena kehidupan duniawi adalah sumber penderitaan dan tidak kekal, sehingga
untuk mempermudah mencapai proses Nibbana, mereka dianjurkan untuk menjadi bikhu
atau bikhuni.
Kedua prinsip tersebut memang berlawanan, tetapi bila kita lihat dari perspektif
yang berbeda, seperti dalam kasus bias gender dalam konteks otoritas dan eksistensi
wanita dalam hal praktek beribadah. Hal ini tidaklah sulit untuk menemukan kesamaan
dari pendiskreditan, diskriminasi antara wanita dan pria, bahkan dalam praktek keagamaan
sekalipun. Kita bisa melihat bagaimana wanita masih dianggap sebagai makhluk yang
lemah, yang harus dilindungi dan dikendalikan, bahkan diawasi eksistensinya karena
wanita dianggap sebagai makhluk sekunder dan dapat mengganggu atau mengancam kaum
pria.
Ajaran-ajaran agama Islam nampak mengasumsikan bahwa wanita masih memikul
sumber-sumber fitnah, karena daya tarik biologis yang mereka miliki bisa mengganggu

konsentrasi dan kekhusyukan pria dalam proses ibadahnya, urutan posisi pria dan wanita
dalam sholat membuktikan hal itu, dimana wanita tidak bisa menjadi imam bagi laki-laki
merdeka, meskipun diijinkan untuk laki-laki tua dan budak. (Namun, perlu diingat bahwa
saat ini tidak ada lagi perbudakan dan orang-orang yang pergi kemasjidpun beragam umur
dan usianya).
pelarangan bagi wanita untuk memberikan khotbah dan mengumandangkan adzan
karena pendapat yang mengatakan bahwa suara mereka bisa mengganggu pria. Selain itu
larangan bagi wanita untuk menjadi imam dalam solat berlandaskan logika bahwa: ”jika
wanita menjadi imam dan melakukan gerakan-gerakan sholat di depan pria, maka hanya
akan mengganggu konsentrasi dan kekhusyukan pria saja” (karena imam harus berdiri di
depan jemaah dan membaca Al-qur'an dengan suara keras dalam tiap rakaat sholat).
Alasan tersebut sulit diterima secara logika, tetapi menurut ahli fikih untuk
masalah-masalah yang menyangkut ibadah wajib (ubudiyah) termasuk sholat harus
diterima seperti apa adanya menurut pedoman agama (Al-quran dan al-hadith) dan tidak
perlu menggunakan logika atau memikirkannya, berbeda dengan persoalan yang
menyangkut konteks sosial seperti bidang fiqh muamalah.10
Dalam konteks agama Buddha, otoritas dan eksistensi wanita tidak berbeda dengan
Islam. Wanita dengan kecantikannya mampu menjadi sumber dosa. Bahwa seorang wanita
yang ingin menjadi bikhuni harus mencukur rambutnya dan tidak memakai kosmetik atau
wangi-wangian, dan banyak aturan lain yang mendiskreditkan posisi dan tidak mengakui
hak-hak dasar wanita yang diciptakan Tuhan dengan kelebihan dan kekurangan mereka
sendiri seperti halnya kaum lelaki. Oleh karena itu, tempat tinggal bikhuni tidak boleh jauh
dari sangha bikhu. Dengan asumsi bahwa agar mereka terlindungi serta gerak-geriknya
sekaligus dapat diawasi.
Ini membuktikan bahwa, meskipun wanita dianggap sebagai sumber dosa dan
bencana tetapi laki-laki masih menginginkan eksistensinya berdekatan dengan wanita,
meskipun posisi mereka harus selalu lebih tinggi daripada wanita, seperti halnya barisan
dalam sholat dimana wanita harus dibelakang barisan pria. Ini merupakan simbol yang
kuat dari konsep pria tentang wanita sebagai makhluk yang harus menurut dan dapat
dikendalikan oleh pria.
10

K.H.Husein Muhammad, Op.Cit. hlm. 37.

Delapan aturan yang ditetapkan oleh Buddha bagi wanita yang ingin menjadi
bikhuni mengindikasikan pria mengendalikan wanita, dan wanita harus mengakuinya dan
membiarkan dirinya dikendalikan, dinasehati dan diberi peringatan oleh pria ketika mereka
membuat kesalahan. Sementara bikhuni tidak boleh memberikan peringatan atau menegur
seorang bikhu.
Ini sungguh merupakan kedudukan yang tak adil. Dalam agama Islam, di satu sisi,
wanita selalu dikebawahkan karena alasan biologis. Di sisi lain, dalam agama Buddha
wanita selalu diposisikan sebagai makhluk lemah yang menerima dikendalikan oleh pria
bahkan dalam dunia ritual sekalipun. padahal Sebenarnya wilayah ritual seharusnya
menjadi wilayah yang sangat privasi bagi seorang manusia karena ini lebih menyangkut
hubungan antara manusia dan Tuhan. “Jika dalam wilayah ibadah ritual saja wanita
masih disiskriminasikan dan diskreditkan, lalu jenis wilayah apakah yang benar-benar
bisa bebas dari bias gender? Ini merupakan pertanyaan yang benar-benar sulit untuk
dijawab.

Reference

1. Auerfalk Nancy, Unspoken Worlds Women’s Religious Lives,Third
Edition,Wadsworth Thomson Learning, 2001
2. Charles Amjad A-Ali: 1330, Women Leadership in Islam, Al Mushir Vol 31(1989)/4
3. C. Raines Jhon, The Justice Manusia Own Women:Positive Resourcse from World
Religions, Fortress Press, Minneapolis,2001
4. De Beauvoir Simone, The Second Sex: Book One Facts And Myths,Vintage, New
York,1989.
5. E. Gudolf Christine, Body, Sex and Pleasure: Reconstructing Christian Sexcial
Ethics, The Pilgrim Press,Cleveland, Ohio,1994.
6. Horner.I.B, Seri Wanita Dan Ajaran Budha:Wanita dalam Literatur Budha awal,
Terj Sui-Ling, Forum partisipasio Masyarakat Sekolah Tri ratna, Jakarta, 1995.
7. Lucinda Joy Peach, Women and World Religion, American University, Prentice
Hall, New Jersey 2002
8. Nasif Umar Fatimah, Women Indonesia Islam:A discourse In Right and Obligation,
Sterling Publishers Private Limited, First Edition, 1999.
9. Muhammad Husein, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender, LKIS, Yogjakarta, 2000.
10. Muhammad bin Yazid Ibn Majah, Sunah Ibnu Majah, Beirut, Dar al Fikr
11. Peter Harvey, an Introduction to Buddhism, Teaching History and Practice,
Cambridge University Press, 1990
12. Rasyid. R.M, Sila dan Vinaya, Budhis Bodhi, Jakarta, 1997.
13. Syarifuddin An-Nawawi, Al-Majmu’syarh al-Muhadzab, Jedah, Maktabah AlIrsyad.
14. Suhardi Adi, Status Wanita Dalam Agama Buadha: Suatu Uraian Singkat, Yayasan
Dharmmaduta Carika,Jakarta, 1986