TASAWUF DAN KESEHATAN DALAM PRIBADI MANU

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

99

TASAWUF DAN KESEHATAN DALAM
PRIBADI MANUSIA
Oleh : Ainur Rofiq1
Abstrak
Kesehatan mental sering disebut juga dengan istilah mental health dan atau
mental hygiene historis, ilmu ini di akui berasal dari kajian psikologi. Usaha
psikologi yang kemudian menelurkan ilmu baru ini berawal dari keluhankeluhan masyarakat sebagai akibat dari munculnya gejala-gejala yang
menggelisahkan. Fenomena psikologis ini tampaknya tidak hanya dirasakan
oleh induvidu, perseorangan, dalam sebuah keluarga, tetapi dirasakan pula
oleh masyarakat luas. Ketika kegelisahan itu masih berada pada taraf ringan,
induvidu yang mengalaminya masih mampu mengatasinya. Akan tetapi,
ketika kegelisahan tersebut sudah bertaraf besar, biasanya si penderita tidak
mampu mengatasinya. Apabila kondisi itu dibiarkan, yang terganggu tidak
hanya induvidu si penderita saja, melainkan mengganggu orang lain di
sekitarnya. Latar belakang munculnya ilmu kesehatan mental ini sekaligus
melahirkan pengertian awal ilmu tersebut.
Kata Kunci : Tasawuf, Kesehatan, Pribadi Manusia


A. PENDAHULUAN
Dikalangan ahli sufi, istilah tasawuf mempunyai makna berbeda dan
pengertihan yang berbeda dari pengertian yang diberikan oleh para sufi
‫ ثصوف‬-‫ يتصوف‬menjadi ‫ تصوفا‬tasawuf yang mempunyai arti : mensucikan jiwa.
menjernihkan akhlaq, membangun dlohir dan batin, lima istilah yang
berkenaan dengan tasawuf, al suhfah : orang yang tinggal di masjid, shaf :
barisan, sufi : suci, Shopos( yunani : hikmah, suf : kain wall, menjadi berbulu
yang banyak. Dengan arti sebenarnya menjadi sufi, yang ciri khas pakaianya
selalu terbuat dari bulu domba.
Dalam ajaran tasawuf, pelaksanaan ibadah hanya dengan melakukan
gerakan gerakan dan bacaan bacaan tanpa memahami makna yang ada
didalam ibadah tersebut, tidak ubahnya seperti anak kecil yang membawa
kitab tanpa mengerti apa yang dibacanya. Kehidupan keberagaman dengan
ibadah yang hanya terkonsentrasi pada amal lahiriah ( syariat ) ini akan
hampa karena hati kosong dari khakekat ibadah yang sedang dilakukan,
Makna yang terkandung di dalam ibadah inilah yang dikalangan tasawuf di
kenal dengan istilah kahakikat.
Hakikat dalam pandangan tasawuf merupakan inti atau rahasia yang
paling dalam dari syariat dan akhir dari perjalanan yang di tempuh oleh

1

Penulis adalah dosen tetap Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) pada
Institut Pesantren Sunan Drajat (INSUD) Lamongan.

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

100

seorang sufi, sebelum memasuki pada makam makrifat. Jika gerak gerik dan
bacaan bacaan sholat adalah syariat, dialog spiritual (bertemu) antara
seorang abid (hamba) dengan makbud ( yang di sembah) adalah khakikatnya,
jika gerak gerik dalam bacaan bacaan yang ada dalam ibadah haji adalah
syariat, berjumpa dengan Allah adalah hakikatnya. Dalam pandangan para
sufi, syariat dan hakikat adalah dua hal yang tidak dapat di pisahkan. Hal ini
karena setiap syariat yang tidak didukung dengan hakikat, urusanya tidak
diterima. Setiap hakikat tanpa di dasari dengan syrait, urusanya tidak
berhasil.
Dalam pandangan kaum sufi seperti Al Qusyairi dan Al Ghazali,
pelaksanaan seluruh ibadah tidak dapat hanya berkosentrasi pada khakikat

dengan mengabaikan syariat, Demikian pula sebaliknya. Pandangan
pandangan yang mengabaikan syariat tidak dapat mereka terima, dan
dianggap sebagai ajaran yang telah keluar dari hakikat Islam.
Oleh karena itu, pandangan mereka tentang tasawuf lebih
menekankan pada jiwa (nafes), yaitu pada ketentuan yang teramat dalam,
kontek ini akan kami bahas pada halaman berikutnya:
B. RUH DAN POTENSI MANUSIA
Allah menciptakan ruh sebelum benda materi. Ruh berada di dalam
diri manusia yang paling dalam dan manusia tidak mampu memahami
tentang ruh, karena ruh adalah rahasia Allah, firman Allah : Qulirruuhu min
amri rabbi, ruh berada di dunia yang lebih halus, sebuah dunia yang lebih
dekat dengan Allah, Di sini tidak ada tabir antara ruh dan Allah, Manusia
telah terwujud selama seribu tahun lebih di dunia yang halus, berada di
dekat Allah, bermandikan pancaran Allah, dan Allah bertanya ruh, Apakah
aku Tuhan kalian? Suara Tuhan menjadi dari semua musik yang
mennyentuh hati, yang menggerakan ruh yang berada di dalam diri
manusia, menyemangati dan membahagiakan ruh, Ruh mengetahui Tuhan
telah menciptakan mereka, mereka selaras dengan kehendak Tuhan
bersemangat di dalam hadlirat Nya.
Kemudian Allah mengirim ruh ke dunia. Ia pun terbenam didalam

masing masing dari empat elemen ciptaan. ia menciptakan air dan dan
menjadi basah, lalu bercampur tanah menjadi lumpur dan kena udara
menjadi tanah liat, kemudian bercampur api sehingga menjadi tanah yang
keras, dengan demikian jiwa non materi bercampur seluruh elemen dasar
yang menghasilkan dunia dan cahaya menjadi tersimpan didalam wadah
tanah liat, yakni tubuh manusia.
Selanjutnya, ruh tidak hanya mengikut sertakan tubuh material, tetapi
emosi, pikiran, dan tenaga. Tingkat perwujudan yang beragam ini
dirangkum oleh ke empat elemen dasar, ruh tersebut masih bersifat
sempurna, suci dan dekat dengan Tuhanya tetapi kini telah terhijabi dan

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

101

tersembunyi, Sayangnya begitu terwujud dalam bentuk materi, kita menjadi
buta terhadap rahasia di dalam diri kita. Sebagai mahluk materi, secara
umum kita tidak dapat mewujudkan sifat sifat ketuhanan, kita tertarik pada
benda duniawi. Akan tetapi Tuhan yang memberi berbagai alat untuk
memberi pada tingkat kesadaran azali kita , untuk keluar dari wadah tanah

liat, Alat alat tersebut adalah akal dan kehendak yang merupakan potensi
potensi yang dimiliki oleh ruh manusia, sebenernya dengan akal manusia
akan bisa menjadi orang terbaik, bahkan lebih baik dari pada malaikat, hal
ini tentunya manusia harus bisa menggunakan akalnya, karena akal manusia
di setir oleh malaikat mulhim, sebaliknya jika dalam diri manusia yang di
tempati nafsu yang di setir oleh syetan maka manusia akan hina bahkan
lebih hina dari pada hewan.
C. MENGENAL NAFAS DAN KARAKTERISTIKNYA.
Kalimat nafas menurut bahasa arab berarti jiwa atau ruh, dalam Al
Quran kalimat nafas bisa berarti bermaca macam :
1.
2.
3.
4.

Nafas sebagai totalitas manusia surat Al Maidah 32,
Nafas sebagai sisi manusia surat , Al Ra’d, ayat 11,
Nafas sebagai ruh seperti dalam surat Al Anam : 93
Nafas sebagai jiwa, seperti dalam surat Al Syam : 7


1) nafas sebagai totalitas manusia
Kata nafas untuk menyebut totalitas manusia, artinya manusia
sebagai mahluk hidup di dunia maupun di akherat,. Sebagaimana yang
sudah menjadi pemahaman bersama bahwa manusia adalah mahluk
yang memilki dua dimensi, yaitu jiwa dan raga. Tanpa jiwa dengan
fungsi fungsinya, manusia di pandang tidak sempurna tanpa jasad atau
raga, jiwa tidak menjalankan fungsi fungsinya.
Jadi hubungan
keduanya adalah saling membutuhkan
keberadaanya, dalam terma totalitas manusia berarti manusia sebagai
mahluk dunia harus mempertanggung jawabkan perbuatanya nanti di
akherat. Dan kehidupan yang khakiki sebenarnya adalah kehidupan di
akhirat kelak karena ada yang berpendapat bahawa kehidupan di dunia
adalah kehidupan yang semu.
Seperti yang di terangkan dalam Al Quran S, At Takwir 7. di akherat
nanti, nafas akan dipertemukan dengan badanya, hal ini yang
diterangkan dalam tafsir al Maragi manarsirkan kalimat zuwwijat
dengan arti di pertemukan dengan badanya” penafsiran ini
menunjukkan pada ayat lain yang mengisarahkan bahwa di akherat
nanti, manusia juga memiliki anggaota badan, Seperti yang di terangkan

dalam suarat Yasin ayat 65 bahwa semua anggota badan manusia tangan

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

102

mata kaki dan seluruh anggota badan manusia di mintahi pertanggung
jawaban atas apa yang telah di perbuatkanya pada saat di alam dunia.
Jika nafas di akherat nanti akan dipertemukan dengan badanya,
pertanyaan yang muncul, apakah badan yang sudah hancur manjadi
tanah liat akan di desain untuk hidup di alam rohani?
Di tinjau dari kekuasaan Allah tidak ada sesuatu yang tidak
mungkin karena Allah maha kuasa, dengan sifat qudrat Nya
mempertemukanya keduanya tidaklah bernamasalah, seperti yang telah
di firmankan dalam surat Yasin ayat 79: Allah berkuasa membangkitkan
jasad jasad yang sudah mati sebagaimana Allah mampu menghidupkan
mahluk Allah pada waktu pertama kalinya, tentunya hal ini di
kembalikan pada keimanan masing masing, bagi manusia yang beriman
tentulah kita memperyai itu, karena sebenarnya kita juga di buat dari
benda mati. Yang menurut rasio kita tidak mungkin, tapi kekuasaan

Allah maka hal itu tidak ada yang tidak mungkin dan tidak sulit bagi
Nya.
2) Nafas sebagai sisi Manusia
Surat Al Ra’d mengisarahkan bahwa manusia memiliki sisi dalam
dan sisi luar , jika manusia di lihat dari sisi luarnya atau lahiriyahnya
maka manusia akan bisa di lihat dari perbuatanya, jika di lihat dari sisi
dalamnya manusia sebagai penggerak nafasnya, artinya bahwa nafas
adalah sebagai wadah bagi suatu potensi, dan sangat besar peranya bagi
perbuatan manusia, Ia merupakan ruang dalam rohani manusia yang
sangat luas yang menampung berbagai macam fasilitas.
Dengan memunculkan yang tersembunyi dalam nafas, manusia
akan bisa mendekatkan diri kepada Allah, karena dengan
mengoptimalkan nafas kepada sang pencipta sehingga manusia dapat
menjalankan tugasnya sebagai manusia seperti yang di kehendaki oleh
sang pencipta,
3) Nafas sebagai ruh seperti dalam surat Al An’am : 93
Nafas sebagai ruh pada surat tersebut dalam firma Nya:
keluarkanlah nyawa kamu, di pahami bukan dalam arti ucapan, karena
kematian dan kehidupan bukanlah suaatu yang berada dalam wilayah
kemampuan manusia untuk meraih atau menampiknya.2 Atas dasar itu,

perintah diatas dapat di pahami sebagai gambaran dari keengganan
seseorang untuk meninggal dunia. Ini menggambarkan betapa kasar
dan kejam malaikat menghadapi mereka seakan akan mereka berkata”
keluarkan nyawamu dari sisksa yang akan kamu hadapi” .Memang semua
orang enggan mati, tetapi seorang mukmin pada saat malaikat maut
datang memanggil nyawanya akan melihat tempatnya kelak di surga.
Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran (Jakarta:
Lenteran Hati 2002), 202.

2

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

103

Nah ketika itu jiwanya merasa tenang dan senang bertemu dengan
Allah. Allah pun senang bertemu denganya, Sedang seorang durhaka,
diperlihatkan kepadanya saat sekarat tempat yang di huninya adalah
neraka, sehingga hatinya gusar, tidak ingin mati, nyawanya bagaikan
enggan keluar karena melihat dan menyadari apa yang akan

dialaminya.
4) Nafas sebagai jiwa, seperti dalam surat Al Syam : 7
Seperti yang di terangkan dalam surat Al Syam, ayat 7. Dan demi
jiwa serta penyempurnaanya, Allah melanjutkan sumpah Nya dengan
mengingatkan tentang jiwa manusia – dan inilah yang dituju – agar
menyadari dirinya dan memperhatikan mahluk yang di sebut oleh ayat
ayat yang lalu. Allah berfirman Dan Aku juga bersumpah demi jiwa
manusia serta penyempurnaan ciptaan Nya sehingga mampu
menampung yang baik dan yang buruk lalu Allah mengihaminya yakni
memberi potensi dan kemampuan bagi jiwa itu untuk menelusuri jalan
kedurhakaan dan ketakwaanya, terserah kepadanya, yang mana di
antara keduanya yang di pilih serta di asah dan di asuhnya.
Pada ayat berikutnya Allah berfirman fa alhamahaa lalu Allah
mengihaminya kedurhakaan dan ketaqwaanya. Memang ilham atau
intuisi datang secara tiba tiba tanpa disertahi analisis sebelumnya,
bahkan kadang kadang tidak terpikirkan sebelumnya. Kedatangan
bagaikan kilat dalam sinar dan kecepatanya, sehingga manusia tidak
dapat menolaknya, sebagaimana tak dapat pula mengundang
kehadliranya, potensi ini ada pada setiap insan, walaupun peringkat
dan kekuatanya berbeda antara seseorang dengan yang lain.

Kata ilham dipahami dalam arti pengetahuan yang di peroleh
seseorang dalam dirinya, tanpa diketahui secara pasti dari mana
sumbernya. Ia serupa dengan rasa lapar, Ilham berbeda dengan wahyu,
karena wahyu walaupun termasuk pengetahuan yang di peroleh namun
ia diyakini bersumber dari Allah swt.
D. TASAWUF DAN KESEHATAN MENTAL
Kesehatan mental sering disebut juga dengan istilah mental health dan
atau mental hygiene historis, ilmu ini di akui berasal dari kajian psikologi.
Usaha psikologi yang kemudian menelurkan ilmu baru ini berawal dari
keluhan-keluhan masyarakat sebagai akibat dari munculnya gejala-gejala
yang menggelisahkan. Fenomena psikologis ini tampaknya tidak hanya
dirasakan oleh induvidu, perseorangan, dalam sebuah keluarga, tetapi
dirasakan pula oleh masyarakat luas. Ketika kegelisahan itu masih berada
pada taraf ringan, induvidu yang mengalaminya masih mampu
mengatasinya. Akan tetapi, ketika kegelisahan tersebut sudah bertaraf besar,
biasanya si penderita tidak mampu mengatasinya. Apabila kondisi itu

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

104

dibiarkan, yang terganggu tidak hanya induvidu si penderita saja, melainkan
mengganggu orang lain di sekitarnya. Latar belakang munculnya ilmu
kesehatan mental ini sekaligus melahirkan pengertian awal ilmu tersebut.
Ilmu kesehatan mental berkait erat dengan terhindarnya seseorang dari
gangguan penyakit kejiwaan. Penyakit ruhani. Pengertian klasik ini sangat
sempit karena kajian imu kesehatan mental hanya diperuntukkan bagi orang
yang mengalami gangguan dan penyakit jiwa saja. Padahal, ilmu ini juga
sangat di butuhkan oleh setiap orang yang merindukan ketentraman dan
kebahagiaan hidup.
Fenomena ini semakin mendorong para ahli merumuskan pengertian
ilmu kesehatan yang mencakup wilayah kajian lebih luas. Marie jahodah,
seperti dikutip yahya jaya, memberikan batasan lebih luas dari pengertian
pertam. Menurutnya, kesehatan mental mencakup :
1. Sikap keperibadian yang baik terhadap diri sendiri, kemampuan
mengenali diri dengan baik
2. Pertumbuhan dan perkembangan serta mewujudkan diri yang baik;
3. Keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan ketahanan terhadap
segala tekanan:
4. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari
dalam atau kelakuan-kelakuan bebas:
5. Persepsi mengenai realitas, terbatas dari penyimpangan kebutuhan
secara memiliki empati dan kepekaan sosial, dan
6. Kemampuan menguasai dan berintegrasi dengan lingkungan
Sementara Goble, mengutip dari Assagioli, mendefinisikan kesehatan
mental sebagai terwujudnya integritas keperibadian, keselarasan dengan jati
diri, pertumbuhan kearah realisasi diri, dan kearah hubungan yang sehat
dengan orang lain. Sepintas lalu, kedua pengertian diatas terkesan
komprehensif dan utuh, tetapi setelah pengertian diatas di teliti, kedua
definisi tersebut masih mengandung kekurang sempurnaan, terutama
apabila dilihat dari wawasan yang berorientasi Islam. Apabila dicermati,
kedua definsi tersebut bertopang pada paham psikologi murni. Psikologi
sangat mengandalkan data data empiris dan metodologi rasional. Sebagai
salah satu bentuk sains kontemporer, tidak banyak mengkaji dan
mendiskusikan data-data meta-empiris dan metodologi rasional, dan
biasanya ciri-ciri utama telah lebih bersifat sensori, materialistik, objektif,
dan kuantitatif,
Oleh karena itu, dua rumusan pengertian kesehatan mental tersebut
tidak bisa lepas dari bingkai paradigma sains kontemporer Kesehatan
mental diukur dengan sejauh mana persepsi seseorang terhadap realitas
empiris semata. Kesehatan mental dianggap identik dengan seberapa
mampu seseorang dalam memersepsi lingkungan realitas dengan baik.
Realitas empiris yang dimaksud mencakup lingkungan yang terbatas pada

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

105

diri dan masyarakat di sekitarnya. Realitas meta empiris yang meliputi:
makhluk sepiritual, alam roh, Allah, dan sebagainya, tidak dibicarakan.
Upaya penyempurnaan pengertian kesehatan mental tersebut terus
dilakukan oleh para pakar. Arah penyempurnaanya diarahkan pada “
ketercakupan seluruh potensi manusia yang meliputi dimensi”. Sebagai
pionernya, di antaranya adalah zakiah daradjat, yang mencoba merumuskan
pengertian kesehatan mental yang mencakup seluruh potensi manusia
menurutnya, kesehatan mental adalah bentuk personifikasi iman dan takwa
seseorang. Ini di pahami bahwa semua kriteria kesehatan mental yang
dirumuskan harus mengacu pada nilai-nilai iman dan taqwa. Karena dengan
iman dan taqwa inilah manusia akan mengalami hidup dengan bahgia.
Banyak orang yang sakit karena mereka tidak faham bahwa sakit itu
merupakan ujian dari Allah, tetapi karena dengan iman dan taqwa sebagai
dasar mereka, akhirnya sadar akan nikmat yang telah diberikan kepada
manusia.
Apabila kesehatan mental berbicara tentang integritas kepribadian,
realitas diri, aktualisasi diri, penyesuaian diri, dan pengendalian diri,
parameternya harus merujuk pada iman dan taqwa, akidah, dan syarat.
Dilibatkanya unsur iman dan taqwa dalam teori kesehatan mental itu
bertopeng pada suatu kenyataan bahwa tidak sedikit ditemukan orang yang
tampaknya hidup sejahtera dan bahagia, keperibadian menarik, sosialitasnya
sangat baik, tetapi sebenarnya jiwanya gersang stres, karena dia tidak
beragama, atau tidak nya kurang taat dalam beragama. Inilah bentuk
kesehatan mental semu.
Secara nyata, orang tesebut dapat disebut sehat mental. Prilaku dan
perbuatanya dinilai sangat baik oleh lingkungan. Dan sukses berhubungan
dengan dirinya dan orang lain. Akan tetapi, arti pengertian Zakiah darajat,
orang tersebut tidak sehat mental karena dia gagal dalam berhubungan
dengan tuhanya.
Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa hakikat kesehatan mental
adalah terwujudnya keserasian, keharmonisan, dan integritas kepribadian
yang mencakup seluruh potensi manusia secara optimal dan wajar. Istilah
optimal dan wajar mengisyaratkan betapa sulitnya menemukan sosok
manusia yang mencapai tingkat kesehatan mental yang sempurna. Bisa juga
dikatakan, manusia berusaha mencapai kesehatan mental menuju
kesempurnaan, bahkan yang lazim ditemukan, orang-orang yang mencapai
tingkat kesehatan mental yang wajar.
Untuk mengetahui “ seberapa tingkat kesehatan mental sesorang?”,
Zakiah daradjat memberikan empat indikator, yaitu:
1. Ketika seseorang mampu menghindarkan diri dari gangguan mental
(neurose) dan penyakit (psikose);

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

106

2. Ketika sesorang mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat, alam,
lingkungan dan Tuhanya;
3. Ketika sesorang mampu mengendalikan diri terhadap semua problem
dan keadaan hidup sehari-hari ;
4. Ketika dalam diri seseorang terwujud keserasian, dan keharmonisan
antara fungsi-fungsi kejiwaan.
Dengan empat indikator kesehatan mental ini, kita menjadi lebih mudah
menilai dan atau mengukur tingkat kesehatan mental seseorang. Dengan
asumsi, semakin terpenuhinya keempat indikator tersebut, semakin tinggi
kesehatan mental sesorang demikian sebaliknya, semakin kurang
terpenuhinya salah satu atau beberapa indikator itu sedemikian itulah
persentase tingkat kesehatan mentalnya, berarti menurun. Oleh karena
itulah, Zakiah drajat menyebut bahasan kesehatan mental dengan empat
indikator ini dengan istilah “ kesehatan mental sebagai kondisi kejiwaan
seseorang“.
Di samping itu, terdapat dua istilah, yakni kesehatan mental sebagai
ilmu pengetahuan, dan kesehatan mental sebagai terapi kejiwaan, atau
bentuk psikotrapi, sejak awal kelahiranya, kesehatan mental muncul sebagai
kajian lanjut dari pesikologi. Bukti yang tak terbantahkan adalah hampir
semua buku pesikologi membahas mental hygiene, sehingga tidak keliru bila
disimpulkan, kesehatan mental hygiene, sebagai ilmu pengetahuan yang
lahir dari rahim pesikologi. Selanjutnya, seiring dengan pesatnya
perkembangan sains modern, sosok ilmu baru, yaitu kesehatan mental, ini
dengan cepat memisahkan diri dari induknya.
Perkembangan kajian kesehatan mental pun demikian pesat, bahkan
ketenaranya hampir mengiringi ketenaran induknya. Sekalipun demikian,
corak khas objek kajian ilmu kesehatan mental tetap mengikuti apa yang
dikaji induknya, yaitu psikologi.
Sebagai disiplin ilmu, kesehatan mental bertujuan menggabungkan
seluruh potensi manusia seoptimal mungkin dan memanfaatkanya sebaik
mungkin agar terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan, menurut
Langgulung, kesehatan mental sebagai ilmu pengetahuan mempunyai tugas
mengembangkan semua potensi manusia agar mampu mewujudkan sifatsifat khasnya agar berbeda dengan mahluk lain di muka bumi ini. Apabila
pendapat Langgulung itu dilihat secara mendalam, sebab, perwujudan sifatsifat khas kemanusiaan tersebut bisa mengarah pada terciptanya” sosok
manusia bermoral mulia:. Moral mulia disini mencakup moral terhadap diri,
dan sesama tuhan.
Kesehatan mental mengkaji “ masalah teknik-teknik konseling dan
terapi kejiwaan”. Pada tahap berikutnya, dua teknik terapi kejiwaan itu di
pahami memiliki sasaran berbeda, sekalipun tujuannya tidak jauh berbeda.
Teknik-teknik konseling diarahkan untuk orang bermasalah dalam tingkat

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

107

ringan. Biasanya, masalah yang menimpanya masih dalam taraf “ gangguan
kejiwaan”, yang sering diistilahkan dengan psycho neurose. Adapun terapi
kejiwaan diperuntukkan bagi orang yang terkena masalah psikis yang
masuk taraf akut, yang sering disebut istilah psychosis. Apabila di
kembalikan pada bahasan sebelumnya, semakin jelas bahwa dilibatkan nilainilai Islam dalam perumusan pengertian kesehatan mental bisa diposisikan
sebagai mengoreksi dan penyempurnaan teori-teori kesehatan mental yang
dirumuskan para psikolog kontemporer
Secara formal sebagai disiplin ilmu, psikologi agama dan kesehatan
mental belum banyak ditemukan dalam khazanah keilmuan muslim,
terutama pada zaman keemasan kebudayaan muslim. Jadi, hanya ilmu
tasawuf yang sudah dikenal dan berkembang sejak dahulu karena psikologi
agama dan kesehatan mental baru muncul pada abad modern, tepatnya abad
ke 19. meskipun demikian, secara substansial, harus diakui bahwa embbrio
kedua ilmu itu sudah ditemukan jauh sebelum tahun kelahiranya, dan ini
sudah terjadi pada abad 12, yang saat itu muncul seorang filosof, ilmuwan,
dan juga dokter kelahiran persia, sekaranng sudah menjadi bagian
Uzbagistan, beliau adalah Ibnu Sina dan sekaligus bapak pengobatan
modern, dan benang merah persinggungan antara ketiga ilmu itu
memungkinkan untuk dilacak dalam gudang sejarah keilmuan muslim.
Diskusi mengenai gudang keilmuan muslim dalam sejarah biasanya
dikaitkan dengan dua kerajaan muslim di barat dan di timur. Dibarat
diwakili daulah amawiyah yang berpusat di cordova (spanyol), sedangkan
di timur diwakili daulah abbasiyah yang berpusat di baghdad. Kedua
kerajaan muslim itulah yang mengibarkan panji kemajuan ilmu-ilmu Islam
dan sekaligus lahirnya para pemikir muslim di setiap bidang keahliannya
masing-masing. Pada masa itu, kajian filsafat dan seluruh cabang keilmuan
Islam berkembang sangat pesat. Selanjutnya, bagaimana posisi tasawuf,
pesikologi agama, dan kesehatan mental ?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Oesman bakar memberikan suatu
isyarat bahwa dalam khazanah intelektual muslim, pengkajian psikologi
sudah mencakup proses hierarkis perkembangan berbagai daya jiwa, sifat,
fungsi-fungsi psikis, dan arah tujuan akhir aktivitas daya jiwa. Sifat, fungsifungsi psikis, dan arah tujuan akhir aktivitas daya jiwa. Pengkajian ini
dipelopori al-farabi, ibnu sina, dan Al-Ghozali. Sekalipun pekajiannya masih
bersifat filosufis, setidaknya usaha mereka telah menorehkan dan
menelurkan benih bagi studi-studi psikologis masa mendatang.
Selain itu, penelitian A.E. afifi menghsilkan suatu temuan bahwa ternyata
filsafat mistis ibnu arabi telah banyak menguraikan butir kajian penting
tentang kejiwaan yang kelak menjadi embrio bagi lahirnya studi-studi
psikologi modern. Pada masa itu, ibnu arabi sudah membahas psikologi

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

108

empiris, sifat-sifat dan fungsi-fungsi jiwa dan teori mimpi yang di kemudian
hari banyak diungkapkan Sigmund freud.
Pengkajian Ibnu arabi mengenal butir-butir psikologis yang tidak
terpisahkan dengan penghayatan sufistiknya memberikan arti penting bagi
pencarian titik persinggungan antara kajian sufistik, psikologi agama, dan
kesehatan mental. Dilihat dari segi pengertian psikologi agama, kajian-kajian
psikologi ibnu arabi dan Al-Farabi memberikan sumbangan cukup strategis
bagi pengkajian pesikologi agama pada masa berikutnya. Pesikologi agama
yang berarti “ ilmu pengaruh” atau “ penerapan prinsip-prinsip psikologis
dalam memahami sebagai aspek keagamaan” mengisyaratkan bahawa usaha
para pemikir muslim tersebut sudah meletakan dasar-dasar strategis
pengkajian dan risetnya.
Penyemai benih psikologi agama yang lahir pada abad modern
sebenarnya adalah para pemikir muslim. Psikologi agama ini tidak mungkin
lahir begitu saja, tetapi melalui proses panjang dan berkesinambungan.
Psikologi agama yang mencoba menjelaskan perasaan, motivasi,
perkembangan, dan kognisi keagamaan tampakanya sulit dilakukan bila
teori tentang daya, sifat, dan fungsi kejiwaan tidak didudukkan terlebih
dahulu. Disamping itu, psikologi agama yang diartikan sebagai “ ilmu
pengaruh” secara subtansional sudah banyak di kaji oleh Imam Al-Ghazali
Pembahasan seputar “ pengaruh ajaran agama terhadap kehidupan
keagamaan” banyak ditemukan dalam magnum opus-nya, yakni Ihya’ ulum
al-din dan mungids min al-Dhalal. Kedua buku ini tidak hanya menguraikan
‘pengaruh’ ajaran agama terhadap kehidupan keberagamaan, tetapi juga
tentang ‘penghayatan’ al-Ghozali terhadap adanya pengaruh ajaran Islam.
Satu hal penting masyhur dalam kedua buku tersebut adalah “ konversi AlGhozali” yang kemudian hari menjadi bagian penting pengkajian pesikologi
agama. Konversi Al-Ghozali tidak dipahami sebagai proses perpindahan
dari satu agama ke agama lain, tetapi merupakan proses kematangan
keberagamaan. Model konversi Al-Ghozali ternyata cukup menarik bagi
William james, seorang tokoh perintis ilmu pesikologi agama
William james mendiskripsikan proses konversi Al-Ghozali dalam ruang
khusus di buku menumentalnya yang berjudul the vartieties of religious
experiences. Penjelasan ini setidaknya memberikan sesuatu isyarat bahwa
kedua karya Al-Ghozali tersebut dapat diposisikan sebagai “ karya pemberi
inspirasi kelahiran pesikologj agama” .
Ilmu kesehatan mental juga tidak jauh berbeda dengan pesikologi
agama. Hasan langgulung mengatakan, “ sekalipun kesehatan mental
merupakan istilah dan ilmu baru, hakikatnya sama dengan konsep
kebahagiaan, keselamatan, kejayaan, dan kemakmuran.” Sementara menurut
Salomon, istilah kebahagiaan merupakan’ sebutan kebaikan hakiki’ yang ada
dalam kehidupan ini, merupakan tujuan paling tinggi, yang disebut sebagai

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

109

“summum bonum”. Kebahagiaan merupakan arah dan tujuan semua tindakan
dan harapan setia manusia
Apabila kesehatan mental diartikan kebahagiaan, keselamatan, dan
sebagainya, sebenarnya para filusuf muslim terdahulu sudah banyak
membicarakannya. Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ar-Razi
menguraikan hal demikian dalam tulisan-tulisanya. Penganalongan konsep
kesehatan mental dengan konsep kebahagiaan itu menunjukkan bahwa
kesehatan mental merupakan suatu kondisi jiwa yang sehat secara wajar dan
optimal.
Adapun jalal syaraf megistilahkan dengan al-Mustawa al-Shahi al-Aqly’
ammatan. Suatu kondisi jiwa yang sehat biasa dibahas ketika berbicara
tentang “ terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan,
kemampuan ber-adjustment, pengendalian diri, dan terwujudnya integritas
antara berbagai fungsi kejiwaan”. Ibnu Sina, dalam karya monumentalnya,
Ash-Shifa (The Book of Healing) sudah membahas teori-teori sehat mental. Ia
mengatakan, diskusi mengenai kabahagiaan tidak bisa lepas dari
pembahasan teori akhlak.3
Kebahagiaan tanpa akhlaq mulia tidaklah mungkin. Ini kadang sering
tidak difahami ooleh setiapinsan, Kebahagiaan akan diperoleh apabila
seseorang memilih mana yang lebih baik dan menyingkirkan yang tidak
baik. Kebersihan dan kesucian kalbu menjadi kunci utama perolehan
kebahagiaan. Kalbu atau jiwa yang suci, suci berarti diawali dengan suci
dzahir, artinya bersuci dari hadath, kemudian dengan sendirinya akan
muncul jiwa yang bersih dan membuat seseorang jauh dari gangguan dan
penyakit kejiwaan. Dengan kata lain, orang berakhlak baik menjadikannya
mencapai kebahagiaan, ketentraman, kejayaan, dan keselamatan hidup.
Allah berfirman dalam surat surat Al Syams ‫فا الهمها فجو رها وتقواها قد افلح من زكاها‬
‫ وقد خاب من دسها‬9.8 Allah mengilhamkan kepada yang salah dan yang benar,
sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan jiwanya, dan
sesungguhnya rugi besar bagi orang yang mengotorinya. Rasullulah
perbuatan yang baik adalah yang membuat hatimu tentram, perbuatan
buruk yang membuat hatimu gelisah.
Sementara itu, Ar-Razi4 - dalam Al-Thib al-Ruhany melekatkan carra
perawatan dan penyembuhan penyakit-penyakit kejiwaan dengan
melakukan pola hidup sufistik. Melalui konsep zuhudnya, Ar-Razi
menguraikan, secara teori dan praktis, perawatan dan pengobatan gangguan
dan penyakit kejiwaan. Pengendalian diri, kesederhanaan hidup, jauh dari
akhlak buruk, serta menjadikan akal sebagai esensi diri merupakan kunci
Ibnu Shina, Al-Shifa’ al-llahi, t.tp., (Cairo : 1966 ). 445. dilihat: Ibnu al-Qayyum AlJauziyah, Al-Da’ wa al-Dawa’, ( Kairo: Dar al-Hadist, 1992),94 dan 140.
4 Ar-Razi, Pengobatan Ruhani, terj. M.S. Nasrullah dan Hilman, (Bandung: Mizan,
1994), 21.

3

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

110

pemerolehan kebahagiaan hidup. Demikianlah bahwa ilmu kesehatan jiwa
dan psikologi, jauh sebelum kelahirannya, telah diprakarsai ‘persemaian
benihnya’ oleh Ibnu Shina dan Ar-Razi.
Sementara itu, Al-Ghazali menguraikan “teori kebahagiaan” sebagai
cerminan kesehatan mental dalam balutan akhlak sufitik. Ia
mendeskripsikan “teori kebahagiaan” dalam karya khusus yang disebutnya
Al-Kimia al-Sya’adat (Kimia kebahagiaan) di samping dalam Ihya Ulum al-Din,
khususnya dalam satu bab yang diberi judul “rubu’ al-Munjiat”. Dalam
tulisan tersebut, Al-Ghazali menempatkan terma-terma “al-fauz, an-najat, dan
al-Sya’adat” untuk menjelaskan tujuan dan akhir kehidupan manusia. Aspek
penting lain dari pemikiran Al-Ghazali berkaitan dengan pengembangan
ilmu kesehatan mental, yakni bab keajaiban hati dan penyingkapan jiwa.
Kedua bab itu secara jelas mengungkap hakikat jiwa, watak, fungsi-fungsi
kejiwaan dan peranannya dalam kehidupan manusia. Al-Ghazali
mengatakan kebahagiaan manusia sangat bergantung pada pembahasan
terhadap jiwanya. Sukses dan tidaknya manusia karena kebersihan jiwanya.
Sebaliknya,
kegagalan
memahami
jiwanya
menyebabkan
ketidakmampuannya dalam memperoleh kebahagiaan hidup. Dalam
konteks kajian ini, deskripsi akhlak sufistik Al-Ghazali tesebut dapat
dijadikan dasar-dasar penting bagi pengkajian dan pengembangan ilmu
kesehatan mental.
Dari uraian diatas, dapat diambil pemahaman bahwa para ilmuan
muslim masa klasik sudah banyak membahas “psikologi agama, kesehatan
mental, dan tasawuf” secara terpadu. Dikatakan demikian, karena para
pemikir muslim yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar ilmu-ilmu
kontemporer tersebut merupakan para ahli sufi. Menurut data sejarah, baik
Ibnu Shina, Ar-Razi, Al-Ghazali, dan lainnya merupakan ahli sufi, ahli jiwa,
dan sekaligus ahli kesehatan mental.
Sebenarnya, tasawuf dan psikologi agama secara langsung tidak
berhubungan. Tasawuf berkaitan dengan penghayatan keagamaan (Islam)
esoterik. Oleh karena itu, tasawuf banyak menggunakan qalb dari pada aql.
Tasawuf lebih bersifat religius karena tasawuf berasal dari ajaran agama
Islam. Pembenaran terhadap ajaran Islam menjadi syarat kajian tasawuf.
Pengkajian tasawuf tanpa keyakinan tidak akan menemukan kebenaran
yang hendak dicapai.
Sementara psikologi agama membatasi kajian pada prinsip-prinsip studi
psikologis belaka. Psikologi agama tida membicarakan soal benar atau salah
ajaran agama (Islam). Oleh karena itu, kebenaran yang dicari psikologi
agama bukan kebenaran teologis ataupun kebenaran fiqh (syar’i), melainkan
kebenaran psikologis semata. Pembicaraan mengenai “bagaimana manusia
beriman misalnya?”, kajiannya hanya ditekankan pada tindakan “gejalagejala keberimanan secara psikologis saja”. Begitu pula, dalam hal “mengapa

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

111

manusia melakukan agamis, psikologi agama tidak membahas motif-motif
bersifat teologis metafisis, tetapi hanya berbicara motif-motif yang mampu di
sentuh dan observeable secara psikologis.5
Dengan mencermati uraian di atas, tampak jelas perbedaan dan
sekaligus adanya isyarat bahwa persinggungan antara tasawuf dan psikologi
agama tidak ditemukan secara langsung. Sekalipun demikian, jika ditelaah
lebih teliti, ternyata ditemukan adanya keterkaitan antara kedua ilmu
tersebut. Berkaitan dengan pencarian titik singgung antara keduanya dapat
diungkapkan beberapa temuan berikut.
Pertama, tasawuf dan psikologi agama sama-sama berpijak pada kajian
kejiwaan manusia. Perbedaannya hanya terletak pada metode pengkajianya.
Tasawuf lebih banyak menggunakan metode intuitif, metode nubuwah,
metode ilahiah, dan metode-metode yang berkaitan dengan “qalb” lainnya.
Sementara itu, psikologi agama menggunakan metode pengkajian psikologis
empiris. Tasawuf membahas cara mensucikan jiwa spiritualitas manusia
beragama, sedangkan psikologi agama membahas pengaruh ajaran agama
terhadap seluruh aspek kahidupan manusia yang observeable.
Kedua, tasawuf dan psikologi agama berbicara tentang kondisi
keberagamaan seseorang. Tasawuf menggunakan pendekatan “rasa”,
sementara psikologi agama, menggunakan pendekatan “positivisme”, cara
berfikir positif, dan rasional empiris.
Ketiga, kedekatan hubungan tasawuf dan psikologi agama ditemukan
ketika salah satu kaitan psikologi agama adalah perilaku para sufi. Hanya,
psikologi agama melihat ketasawufan para sufi melalui fenomena yang
dapat diteliti dan diobservasi. Psikologi agama tidak mengkaji tasawuf dari
segi ajaran dan ritus-ritusnya, tetapi hanya mengkaji bukti-bukti empiris
ketasawufan seorang sufi. Psikologi agama tidak melibatkan diri dalam
pembelaan atau penyangkalan terhadap hasil penghayatan para sufi.
Psikologi agama hanya mengungkap pengaruh ajaran tasawuf terhadap
perilaku dan kepribadian seseorang. Berkaitan dengan ungkapan tersebut,
Bernard Spilka secara jelas menyatakan, “amalan mistik (tasawuf)
berpengaruh terhadap proses kejiwaan seseorang.”6 Kesimpulan hasil
risetnya dilakukan dengan menggunakan data-data temuan secara empiris
dan keterangan-keterangan dari pengalaman para sufi.
Keempat, persinggugan tasawuf dan psikologi agama dapat ditemukan
dalam objek kajian. Psikogi agama bersinggungan dengan tasawuf
dikarekanakan ada kepentingan objek kajian atau objek penelitian.
Sebagaimana dalam uraian tersebut, salah satu objek kajian psikologi agama
Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama,( Yogyakarta: Kanisius,
1994), 15.
6 Bernard Spilka, The Psychologi of Religion, An Empirical Approach (Prentice Hlml:
New Jersey, 1985), 175.

5

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

112

adalah kesadaran dan pengalaman keberagamaan seseorang. Kedua hal
tersebut banyak ditemukan dalam ajaran dan perilaku kehidupan para sufi.
Berkaitan dengan itu, Nicholson menyatakan “Sufism is the type of religious
experiences”7 (Sufisme, tasawuf, merupakan suatu bentuk berbagai
pengalaman keberagamaan).
Dengan demikian, titik persinggungan antara tasawuf dan psikologi
agama dapat ditemukan dalam beberapa aspek, sebagaimana diungkap di
atas, sekalipun persinggunganya tidak bersifat esensial. Secara hakiki, kedua
bidang tersebut memiliki titik kajian, metode, tujuan, dan pendekatan yang
berbeda. Bahkan, dapat dikatakan tasawuf lebih bersifat pasif, sedangkan
psikologi lebih bersifat agresif. Penghayatan tasawuf para sufi sama sekali
tidak pernah berorientasi pada kepentingan keilmuan. Mereka hanya
memiliki satu orientasi, yaitu bagaimana memperoleh kebahagiaan dan
kedekatan dengan Allah, Sang Khaliq, sementara psikologi agama
cenderung terus mencari dan meneliti semua perilaku dan perikehidupan
para sufi. Kapan pun psikologi agama berdiskusi, aspek kehidupan osoterik
sufistik umat beragama tidak bisa ditinggalkan. Bahkan, aspek tasawuf
menjadi bagian kajian yang menyita ruang buku-buku dan riset-riset
psikologi agama. Kalau menurut pendapat lain justru tasawuf lebih bersifat
agresif, karena untuk mencapai maqam tasawuf, ada beberapa tahapan yang
harus di lalui di antaranya adalah mulai tingkatan, Syariat, tariqat, hakikat
dan makrifat, karena tasawuf juga melalui proses ( mencari, meneliti,
mempraktekan, bahkan munajat kepada sang pencipta). Dengan melihat
alam yang terjadi disekitar kita.
Sekalipun bersifat pasif-aktif, dapat dikatakan bahwa persinggungan
tersebut bersifat mutualisme. Persinggungan antara keduanya saling
memberi keuntungan dan saling memberi manfaat, terutama, bagi upaya
pengembangan dan pemahaman masing-masing ilmu tersebut. Studi
terhadap pengalaman para sufi dapat memberikan kesempurnaan
pengkajian psikologi agama, sedangkan pengalaman para sufi yang
diungkap melalui kajian psikologi agama dapat memberikan pemahaman
dan sekaligus manfaat bagi orang yang hendak mengkaji dan atau
mendalaminya.
Adapun titik singgung psikologi agama dengan kesehatan mental bisa
dilihat dari beberapa aspek berikut.
Pertama, induk ilmu psikologi agama dan kesehatan mental adalah
sama, yaitu psikologi. Hanya, terapan perbedaan antara keduanya, terutama
dalam tujuan pengkajiannya. Psikologi agama mengkaji dan menemukan
pengaruh keyakinan agama terhadap orang-orang yang memeluknya, proses
pertumbuhan dan perkembangan jiwa keagamaan, serta berubahnya
R.A. Nicholson, The Idea of Personaliy in Sufism, (Delhi: Idarat-I Adabiyat-I Delli tt),
1.

7

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

113

keyakinan seseorang pemeluk agama, sedangkan kesehatan mental
bertujuan mengembangkan semua potensi yang ada pada diri manusia
seoptimal mungkin, serta memanfaatkan dengan sebaik-baiknya agar
terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan.
Kedua, kedua ilmu ini memiliki kajian objek yang sama, yakni aspek
kejiwaan manusia. Apabila diperbandingkan dengan persinggungan antara
tasawuf dan psikologi agama, agaknya persinggungan psikologi agama dan
kesehatan mental lebih bersifat kokoh dan langsung. Hal itu karena
pengembangan ilmu kesehatan mental tidak bisa dilepaskan dari kajian yang
ada dalam psikologi agama.
Psikologi agama membicarakan pengaruh ajaran agama dan proses kejiwaan
orang beragama, sedangkan kesehatan mental melanjutkan dan
memperdalam apa yang dikaji psikologi agama tersebut. Dapat juga
dikatakan, ketika kajian psikologi agama ditindaklanjuti ke arah
implementasi dan pemanfaatannya dalam kehidupan manusia, disitulah
kesehatan mental dikaji dan dikembangkan. Kesehatan mental
membicarakan bagaimana ajaran agama dapat diimplementasikan sebagai
terapi kewajiban, bagaimana ajaran agama dapat menumbuh kembangkan
seluruh potensi personalitas manusia secara optimal dan seimbang, dan
bagaimana
memanfaatkannya
dengan
sebaik
mungkin
dalam
kehidupannya, sehingga pemeluk agama tersebut terhindar dari gangguan
dan penyakit mental.
Ketiga, kajian kesehatan mental berusaha melanjutkan studi dan kajian
yang dilakukan pskologi agama. Apabila psikologi agama hanya berbicara
mengenai bagaimana pengaruh ajaran agama terhadap kejiwaan para
pemeluknya, kesehatan mental membicarakan bagaimana ajaran agama
mampu membentuk kepribadian para pemeluknya secara integral sebagai
perwujudan tingkat kesehatan mentalnya. Persinggungan pesikologi agama
dan kesehatan mental makin tampak jelas ketika membicarakan mengenai
kesehatan mental sebagai terapi kejiwaan. Tanpa bantuan psikologi. Terapi
kejiwaan, terutama ketika menyentuh soal pengaplikasian dan
pengembangan metode dan teknik-teknik terapi klinis tidak mungkin dapat
dilakukan karena hal-hal tersebut memang sudah banyak dikembangkan
jauh lebih awal oleh kajian psikologi. Penghayatan tasawuf pada dasarnya
berkaitan erat dengan persoalan kesehatan mental. Akan tetapi, tidak berarti
bahwa penghayatan tasawuf itu semata-mata bertujuan untuk memperoleh
kesehatan mental.
Alasanya, pertama, tasawuf sudah muncul jauh sebelum kelahiran ilmu
kesehatan mental, kedua, para sufi sudah berbicara tentang shihhah al nafs
(kesehatan mental). Sekalipun secara esensial, isi dan maksud kesehatan
mental para sufi tersebut tidak persis sama dengan isi dan maksud
kesehatan mental sebagai suatu kajian ilmu saat ini. Secara hakiki, para sufi

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

114

dalam menghayati hidup sufistiknya tidak pernah memedulikan, apalagi
membicarakan perolehan kesehatan mental atau tidak. Mereka hanya ingin
memperoleh kedekatan dan kerelaan dari Allah sedekat-dekatnya dan
serela-relanya. Deman demikian, dalam Islam, persinggungan kesehatan
mental dan tasawuf sudah dapat dilihat pada makna kesehatan mental itu
sendiri. Ajaran kesehatan mental menurut pendangan Islam sebenarnya
merupakan ajaran tasawuf itu sendiri. Kesehatan mental yang bisa diartikan
sebagai bentuknya induvidu yang terhindar dari gangguan dan penyakit
kejiwaan dapat ditemukan dalam kehidupan kaum sufi. Ketika ajaran
tasawuf dimaknai sebagai proses penyucian jiwa, itu dapat di identikan
dengan usaha pembentukan induvidu yang sehat mental. Kondisi sehat
mental rasanya sulit diwujudkan apabila jiwa terkotori. Seseorang yang
ingin memperoleh kesehatan mental, sementara dirinya banyak berlumuran
dosa, jalan satu-satunya untuk itu hanyalah dengan menyucikan jiwa.
Melatih sabar, menerima putusan yang diberikan Allah dengan ikhlas,
mengampuni orang yang berbuat salah,
mendoakan orang yang
menganingaya kita, dari sinilah Pembersihan jiwa seluruh dosa dan
perbuatan buruk merupakan jalan untuk memperoleh” sehat mental .
Persinggungan selanjutnya antara mental dan tasawuf dapat dilihat
pada” tujuan yang hendak dicapai keduanya.” Tasawuf ingin memperoleh
kebahagiaan dan ketentraman jiwa di dunia dan di akirat. Semetara itu,
kesehatan mental berusaha mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman
hidup di dunia. Erich from mengatakan, persoalan sehat mental terkait erat
dengan problem moral. Pembicaraan soal moral tentu terkait erat soal
kejiwaan. Moral yang baik (baca: akhlak) mencerminkan jiwa yang
tersucikan. Jika jiwa suci menjadi syarat terbentuknya sehat mental, orang
bermoral baik adalah orang yang bermental sehat. Yusuf musa mengatakan,
kebijakan membuat jiwa menjadi tenang (thuma’ninah), sedangkan kejahatan
menyebabkan jiwa menderita. Ungkap ini semakin mempererat
persinggungan antara tasawuf dan kesehatan mental.
Persinggungan tasawuf dan kesehatan mental juga dapat dilihat dari
suatu ungkapan bahwa kesehatan mental merupakan efek diterapkanya
sikap keberagamaan, sedangkan tasawuf merupakan bagian integral dari
ajaran agama. Tasawuf merupakan ajaran penyempurnaan efek syariat.
Muhammad aqil menegaskan, setiap sesuatu memiliki hakikat, dan hakikat
syariat adalah tasawuf. kesempurnaan amalan syariat sangat di tentukan
amalan tasawuf. Kesimpulan tersebut di pertegas Husein Nasr yang
mengatakan, “ sebenarnya tasawuf merupakan perwujudan ihsan, sebagain
ketiga setelah Islam dan iman.” Dilihat dari segi ini, persinggungan tasawuf
dan kesehatan mental terlihat begitu kokoh. Keeratan persinggungan kedua
kajian tersebut juga dapat ditemukan dalam karya-karya Ar-Razi, syekh
Hakim, dan Al-ghazali. Ketiga pemikir muslim itu secara umum sepakat

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

115

bahwa ajaran sufistik dapat dijadikan sarana terapi penyakit-penyakit
mental. Mereka menyatakan, ajaran sufistik Islam sebenarnya berisikan
tuntunan dan pedoman pembinasaan, parawitan, dan pengobatan jiwa atau
mental agar tetap sehat.
Ar-Razi menyebutnya dengan istilah thib Al-Ruhani (pengobatan
rohaniyah), syekh Hakim menyebutnya dengan istilah the sufi healhing
(pengobatan sufistik), dan Al-Ghazali dengan istlah shihhat an-Nafs
(kesehatan jiwa). Tiga istilah tersebut semakin memperkokoh persinggungan
antara tasawuf dan kesehatan mental, tepatnya ketika Amir An-najjar
mengistilahkannya dengan sebutan At-tasawufan Nafs (yang diterjemahkan
dengan “ psikotrapi sufisti”). Ajaran sufistik (Islam ) tidak hanya milik para
sufi di menara gading semata, tetapi ajaran sufistik dapat dikejawantahkan
oleh siapapun dalam usahanya memperoleh ketenangan dan kebahagiaan
hidup sesuai dengan derajat ilmu dan pemahamannya
Dengan demikian, persinggungan tasawuf dan kesehatan mental
tampak lebih kuat dibandingkan persinggungan kedua bidang sebelumnya.
Kesimpulan ini diambil mengingat, persinggungan antara tasawuf dan
kesehatan mental dapat ditemukan pada berbagai aspek kajian kedua bidang
ilmu tersebut. Persinggunganya merentang dari objek kajian hingga tujuan
yang hendak dicapai keduanya.
E. KESIMPULAN
1. Dalam pandangan tasawuf merupakan inti atau rahasia yang paling
dalam dari syariat dan akhir dari perjalanan yang di tempuh oleh seorang
sufi, sehingga manusia harus benar benar mendekatkan diri pada Allah.
Jika gerak gerik dan bacaan bacaan sholat adalah syariat, dialog spiritual
(bertemu) antara seorang abid (hamba) dengan makbud ( yang di sembah)
adalah khakikatnya, jika gerak gerik dalam bacaan bacaan yang ada
dalam ibadah haji adalah syariat, berjumpa dengan Allah adalah
hakikatnya. Dalam pandangan para sufi, syariat dan hakikat adalah dua
hal yang tidak dapat di pisahkan. Hal ini karena setiap syariat yang tidak
didukung dengan hakikat, urusanya tidak diterima. Setiap hakikat tanpa
di dasari dengan syrait, urusanya tidak berhasil. Dalam pandangan kaum
sufi seperti Al Qusyairi dan Al Ghazali, pelaksanaan seluruh ibadah tidak
dapat hanya berkosentrasi pada khakikat dengan mengabaikan syariat,
Demikian pula sebaliknya. Pandangan pandangan yang mengabaikan
syariat tidak dapat mereka terima, dan dianggap sebagai ajaran yang
telah keluar dari hakikat Islam. Oleh karena itu, pandangan mereka
tentang tasawuf lebih menekankan pada jiwa (nafes),
2. Ruh berada di dalam diri manusia yang paling dalam dan manusia tidak
mampu memahami tentang ruh, karena ruh adalah rahasia Allah, firman
Allah : Qulirruuhu min amri rabbi, Katakanlah Muhammad bahwa ruh itu

Jurnal Ummul Qura Vol VII, No.1 Maret 2016

116

hak preogratif saya, dan tidak ada yang mampu tentang hakikat ruh, ruh
berada di dunia yang lebih halus, sebuah dunia yang lebih dekat dengan
Allah, Di sini tidak ada tabir antara ruh dan Allah, Manusia telah
terwujud selama seribu tahun lebih di dunia yang halus, berada di dekat
Allah, bermandikan pancaran Allah,
3. Kesehatan mental sering disebut juga dengan istilah mental health dan
atau mental hygiene historis, ilmu ini di akui berasal dari kajian psikologi.
Usaha psikologi yang kemudian menelurkan ilmu baru ini berawal dari
keluhan-keluhan masyarakat sebagai akibat dari munculnya gejala-gejala
yang menggelisahkan. Fenomena psikologis ini tampaknya tidak hanya
dirasakan oleh induvidu, tetapi dirasakan pula oleh masyarakat luas.
Ketika kegelisahan itu masih berada pada taraf ringan, induvidu yang
mengalaminya masih mampu mengatasinya. Akan tetapi, ketika
kegelisahan tersebut sudah bertaraf besar, biasanya si penderita tidak
mampu mengatasinya. Apabila kondisi itu dibiarkan, yang terganggu
tidak hanya induvidu si penderita saja, melainkan mengganggu orang
lain di sekitarnya. Inilah pentingnya kesehatan mental dan mempelajari
akhlak tasawuf bagi manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Ar-Razi, Pengobatan Ruhani, terj. M.S. Nasrullah dan Hilman, Bandung:
Mizan, 1994.
Bernard Spilka, The Psychologi of Religion, An Empirical Approach, Prentice
Hlml: New Jersey, 1985.
Ibnu Shina, Al-Shifa’ al-llahi, t.tp., Cairo : 1966.
Ibnu al-Qayyum Al-Jauziyah, Al-Da’ wa al-Dawa’, Kairo: Dar al-Hadist, 1992.
Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius,
1994.
Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran,
Jakarta: Lenteran hati 2002.
R.A. Nicholson, The Idea of Personaliy in Sufism, Delhi: Idarat-I Adabiyat-I
Delli tt