LAPORAN DAN MINGGUAN DAN PRAKTIKUM

LAPORAN MINGGUAN PRAKTIKUM
MIKROBIOLOGI PANGAN
ACARA III
MAKANAN DAN MINUMAN FERMENTASI

DISUSUN OLEH :
DENA RAZIBA VIDYASARI
G1A014008

PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MATARAM
2017

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mikroorganisme merupakan makluk hidup yang sangat kecil tetapi sangat penting
dalam kelangsungan daur hidup dari biota lain dalam biosfer. Mikroorganisme mampu
melaksanakan semua kegiatan atau reaksi ‐ reaksi biokimia yang sangat kompleks untuk
melangsungkan pengembangan generatif


dengan kecepatan relatif cepat. Dunia

mikroorganisme tidak dapat digolongkan ke dalam dunia hewan atau tumbuhan tetapi
masuk ke dalam suatu golongan tersendiri yaitu protista. Mikroorganisme yang termasuk
golongan protista adalah bakteri, fungi, protozoa, dan algae (Judoamidjojo, 1989).
Mikroorganisme/prostista juga mampu membantu dalam proses fermentasi makanan
maupun minuman.
Proses fermentasi dapat meningkatkan nilai gizi bahan pangan yang berkualitas rendah
selain itu, fermentasi juga merupakan salah satu cara untuk menghilangkan zat anti nutrisi
atau racun yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Fermentasi terjadi karena adanya
proses pemecahan karbohidrat dan asam amino secara anaerobik atau tanpa memerlukan
oksigen. Pemecahan karbohidrat sendiri dapat terjadi hanya dengan adanya proses
fermentasi anaerobik. Namun untuk proses pemecahan asam amino diperlukan adanya
bantuan dari beberapa jenis mikroorganisme. Sehingga fermentasi menghasilkan
komponen-komponen kimia akibata adanya pertumbuhan maupun metabolism mikroba
sehingga fermentasi dapat terjadi secara aerob dan anaerob. Dalam hal ini akan lebih
banyak dibahas tentang fermentasi aerob pada bahan pangan tempe gemb us.
1.2 Tujuan
Mengetahui bahan pembuatan tempe gembus dan jenis proses fermentasinya.

1.3 Manfaat
Mendapatkan informasi tentang bahan pembuatan tempe gembus. Serta mengetahui
mekanisme fermentasi dari tempe gembus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai merupakan alternatif sumber protein yang berasal dari golongan kacangkacangan dan berperan penting dalam penyediaan protein serta asam amino essensial bagi
keseimbangan gizi pangan di desa maupun kota. Kedelai banyak diolah menjadi produk pangan
melalui proses fermentasi dengan bantuan beberapa kapang, antara lain Rhizopus oligosporus, R.
oryzae, R. stolonifer, R. arrhizus, Aspergilus oryzae, dan Mucor. Produk-produk hasil fermentasi
ini dikenal terutama di kawasan Asia seperti Jepang, Cina, dan Indonesia. Di Indonesia, sebagian
besar kedelai yang masuk diolah menjadi tempe (Astawan, 2013).
Protein merupakan komponen makronutrien yang diunggulkan pada produk berbasis
kedelai. Kandungan protein dalam kedelai menunjukkan kualitas kedelai tersebut. Selain kadar
protein yang tinggi, kedelai mengandung asam amino essensial meliputi sistin, isoleusin, leusin,
lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan dan valin. Di samping itu, kandungan asam amino
dalam kedelai juga ditunjang dengan adanya asam amino non essensial seperti alanin, glisin,
arginin, histidin, prolin, tirosin, asam aspartat dan asam glutamat (Cahyadi, 2006).
Penurunan kadar pH yang terjadi selama proses fermentasi terjadi karena adanya
pemecahan laktosa oleh β-galaktosidase menjadi asam laktat sehingga meningkatkan kadar asam

seiring dengan semakin lamanya waktu fermentasi. Lama fermentasi berpengaruh terhadap
penurunan pH. Semakin lama fermentasi menyebabkan nilai pH semakin menurun. Dimana pada
saat proses fermentasi glukosa akan diubah sampai pada akhirnya menjadi asam laktat, sehingga
meningkatkan kadar asam laktat dan menyebabkan nilai pH menurun. Bakteri asam laktat jenis
homofermentatif dalam hal ini Lactobacillus plantarum menghasilkan sejumlah besar asam
laktat sebagai hasil akhir fermentasi dan akan menurunkan pH lingkungan pertumbuhannya.
Meningkatnya asam laktat akan diikuti dengan peningkatan konsentrasi H+ yang berarti
penurunan Ph (Candra, 2006).
Bau atau aroma dapat didefinisikan sebagai sifat-sifat bahan makanan yang memberikan
kesan pada sistem pernafasan atau dengan kata lain aroma merupakan sifat-sifat produk yang
dirasakan oleh penciuman. Aroma juga merupakan salah satu indikator untuk menentukan
tingkat penerimaan suatu produk oleh konsumen. Pengujian aroma dalam suatu produk baru
dianggap penting karena cepat memberikan hasil penilaian terhadap produk terkait diterima atau
tidaknya suatu produk (Nisa, 2016).

Varietas kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat tempe yang
dihasilkan (p>0,05). Kadar karbohidrat tempe dari kelima jenis kedelai berkisar 6,57 - 7,12
persen. Apabila dibandingkan dengan kedelai, terjadi penurunan kadar karbohidrat pada tempe.
Penurunan ini terjadi karena adanya aktivitas enzimatis dari kapang selama fermentasi. Kapang
mencerna kabohidrat menghasilkan penurunan heksosa secara drastis dan hidrolisis lambat

stakiosa (Rahayu, 2004). Penurunan kadar karbohidrat ini diiringi oleh kenaikan kadar total solid
(Nuraida, 2005). Serat pangan dalam tempe dari kelima jenis kedelai berkisar 6,21 - 6,77 persen.

BAB III
METODE

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.2 Pembahasan
Praktikum mikrobiologi pangan kali ini membahas tentang fermentasi makanan dan
minuman. Pada acara ini akan lebih membahas mengenai pembuatan tempe yang sedikit
berbeda yaitu tempe gembus. Tempe yang dikenal masyarakat luas umumnya hanya tempe
yang berbahan dasar biji kedelai. Namun pembahasan kali ini sedikit berbeda dengan
tempe pada umumnya. Tempe gembus merupakan olahan bahan pangan yang dibuat
melalui proses fermentasi. Bahan dasar dari tempe gembus sendiri yakni limbah ampas
tahu. Pengrajin tempe gembus memanfaatkan ampas tahu sebagai bahan dasar pembuatan
tempe gembus. Hal ini sebagai salah satu upaya dalam menjaga lingkungan untuk
mengurangi limbah. Serta untuk memanfaatkan bahan pangan yang masih bisa dikonsumsi
dengan kandungan gizi yang masih cukup tinggi.

Rasa tempe gembus relatif hamper sama dengan tempe pada umumnya. Cita rasa
sendiri didefinisikan sebagai rangsangan yang ditimbulkan oleh bahan yang dimakan,
terutama dirasakan oleh indera pengecap dan pembau, juga rangsangan lain seperti
perabaan dan penerimaan derajat panas dimulut. Hal ini dikarenakan senyawa-senyawa
tersebut antara lain asam amino, gula, dan asam-asam organik yang merupakan senyawa
non volatil yang dapat dirasakan bila komponen tersebut sampai ke dalam mulut khususnya
lidah, karena senyawa ini secara fisik di bawa oleh air liur dan memberikan respon pada
reseptor di lidah. Akibat proses fermentasi, terjadi degradasi beberapa senyawa seperti
protein menjadi asam amino dan peptide oleh bakteri proteolitik. Asam amino merupakan

prekursor senyawa-senyawa flavor karena asam amino dapat terkonversi menjadi senyawa
yang lebih kecil dan menimbulkan flavor spesifik. Semakin lama fermentasi akan
menyebabkan semakin turun nilai pH dan akan menyebabkan total asam semakin
meningkat, sehingga dapat disimpulkan kalau rasanya juga semakin asam.
Menurut Reeves didalam Sulchan, dibandingkan dengan tempe kedele yang dibuat
dengan menggunakan inokulum tempe yang sama, terdapat berbagai perbedaan kandungan
nutrisi. Tempe gembus mempunyai kandungan energi yang besarnya kurang lebih 50%
energy tempe kedele, demikian juga kadar protein dan lemaknya lebih rendah, sedangkan
kadar serat 3 kali lebih besar dari tempe. Kondisi ini dapat dipahami mengingat tempe
gembus terbuat dari ampas kedele sisa pembuatan tahu, sehingga kandungan gizinya sudah

berkurang. Bila dibandingkan dengan tempe kedele komposisi asam amino pada tempe
gembus sangat mirip, hanya pada tempe gembus tidak terdeteksi adanya prolin, cystein dan
tryptophan. Meskipun jenis asam amino pada tempe gembus sama dengan tempe kedele,
namun kadarnya jauh lebih kecil. Tempe gembus ternyata mengandung asam lemak
esensial yaitu asam linoleat (21,51%), asam lemak tak jenuh oleat (16.72%) dan linolenat
(1.82%). Jenis-jenis asam lemak ini sama dengan yang ditemukan pada tempe kedele
namun secara kuantitatif tidak dapat dibandingkan karena data tidak tersedia (Sulchan,
2007).
Komposisi nutrisi tempe gembus mirip dengan tempe kedele meskipun kadarnya lebih
kecil, maka diharapkan tempe gembus juga mempunyai sifat hipokolesterolemik. Dari
berbagai zat nutrisi yang terkandung dalam tempe gembus, ada komponen yang menurut
penelitian diduga dapat mempengaruhi profil lipid darah, antara lain: protein, asam lemak
tak jenuh (PUFA), serat, dan kalsium. Protein tempe diduga dapat menurunkan umpan
balik negatif perubahan kolesterol menjadi empedu di dalam hati, di samping juga
meningkatkan aktivitas reseptor LDL. Asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) menurunkan
kadar kolesterol dengan merangsang ekskresi kolesterol menjadi asam empedu. Serat akan
meningkatkan ekskresi asam empedu ke dalam feses, sehingga mengurangi kadar
kolesterol dalam darah. Kalsium menurunkan kolesterol dengan mengikat asam empedu
dalam usus, sehingga ekskresi garam empedu meningkat (Sulchan, 2007).


Mikroorganisme (jamur/kapang) yang digunakan untuk membuat tempe gembus sama
dengan jamur tempe biasa yaitu Rhizopus oligosporus. Pembungkusan tempe dilakukan
dengan memberi lubang pada plastik dan dibiarkan di tempat normal (baik suhu maupun
kelembaban). Hal ini karena proses pembuatan tempe terjadi dengan cara fermentasi aerob.
Sedangkan untuk distribusi tempe gembus di kota Mataram khususnya di pulau Lombok
belum begitu dikenal. Saat ini, satu-satunya pengrajin tempe gembus ini hanya ada di
daerah Labuapi, Lombok Barat yang masih dalam skala rumahan.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum lapangan yang telah dilakukan, tempe gembus merupakan
salah satu contoh olahan bahan pangan yang terbuat melalui proses fermentasi
(fermentasi aerob). Tempe gembus dibuat dengan bahan utama yaitu dari ampas tahu.
Mikroorganisme (jamur/kapang) yang digunakan untuk membuat tempe gembus sama
dengan jamur tempe biasa yaitu Rhizopus oligosporus.
5.2 Saran
Praktikum lapangan lebih diperbanyak lagi agar pengetahuan tentang berbagai
disiplin ilmu mikrobiologi lebih banyak dan lebih terlihat manfaat serta peranannya bagi
manusia.


DAFTAR PUSTAKA
Astawan, Made, Tutik Wresdiyatib, Sri Widowatic, Siti Harnina Bintarid, Nadya Ichsani. 2013.
Karakteristik Fisikokimia dan Sifat Fungsional Tempe yang Dihasilkan dari Berbagai
Varietas Kedelai. Pangan.. 22(3) : 241-252.
Cahyadi, W. 2006. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Jakarta: PT. Bumi aksara.
Candra, Joddi I. 2006. Isolasi dan Karakteristik Bakteri Asam Laktat dari Produk
Bekasam Ikan Bandeng (Chanos channos). Bogor : IPB.
Nisa, Asma’ Khoyrun dan Agustin Krisna Wardani. 2016. Pengaruh Lama
Pengasapan dan Lama Fermentasi Terhadap Sosis Fermentasi Ikan Lele
(Clarias Gariepinus). Pangan dan Agroindustri. 4(1) : 367-376.
Nuraida, L, Suliantari, N. Andarwulan, D.R. Adawiyah, R. Noviar dan A. Denny. 2005.
Evaluation of Soybean Varieties on Production and Quality of Tempe. Bogor : Southeast
Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center.
Rahayu, K. 2004. Industrialization of Tempe Fermentation. In K.H. Steinkraus (ed).
Industrialization of Indigenous Fermented Foods. 2ndEdition. New York: Marcel
Dekker, Inc.
Reeves PG, Nielsen FH, Fahey GC. AIN-93 Purifed diets for laboratory rodents: final report of
the American Institute of Nutrition Ad Hoc Writing Committee on the Reformulation
ofthe AIN-76A Rodent Diet. J Nutr 1993;123:1939-51.

Sulchan, Mohammad dan Endang Nur. W. 2007. Nilai Gizi dan Komposisi Asam Amino Tempe
Gembus serta Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Tikus. Majalah Kedokteran Indonesia.
57(3) : 80-85