EVALUASI KASUS KASUS PELANGGARAN HAM DAN
EVALUASI KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM
DAN PROBLEMATIKA HAM MASA KONTEMPORER
Oleh : Wildan Luthfi Nur’aripin, S.AP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang secara kodratnya melekat pada diri
manusia sejak manusia dalam kadungan yang membuat manusia sadar akan jati dirinya dan
membuat manusia hidup bahagia. Hak Asasi Manusia juga merupakan hak yang bersifat asasi
( Koentjoro, 1976 ). Berbicara mengenai HAM tidak terlepas dari dua hal yaitu hak dan
kewajiban.
Hak dan kewajiban tersebut untuk menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia harus
dijalankan secara seimbang. Konsekuensinya apabila dijalankan tidak seimbang maka yang
terjadi tidak lain pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia baik yang bersifat berat
maupun ringan.
Di Indonesia secara substansi mengenai HAM sangat berbeda dengan negara lain
yang sifatnya sekulerisme, Indonesia merupakan negara konstitusional dan berketuhanan
untuk itu setiap menangangi sebuah permasalahan tentu harus melihat dari beberapa aspek
seperti halnya Agama, Budaya, Hukum dll.
Hak asasi manusia di Indonesia dibatasi oleh aturan perundangan-undangan sehingga
benuk HAM di Indonesia bersifat spesifik. Penegakan HAM di Indonesia mengalami
perkembangan secar pesat, hal ini tercermin dengan terus terciptanya regulasi yang mengatur
HAM baik mulai dari lahoirnya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan
UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Yuridis HAM diatas tentu bertujuan sebagai salah satu peran pemerintah dalam
melaksanakan kewajibannya untuk melindungi hak-hak setiap warganya.Secara esensial
yuridis HAM tersebuttidak menghendaki terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM. Namun
dilapangan berkata lain yakni masih banyaknya pelanggaran-pelangaran HAM ynag terjadi
baik yang bersifat Berat maupun Ringan. Hal inilah yang memmbuat penulis tergelitik untuk
1
mengatahui penyebab terjadinya pelanggaran tersebut padahal aturan main sudah berlaku,
melalui karya ilmiah ini dengan judul “Evaluasi Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Dan
Problematika HAM Masa Kontemporer”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep dasar evaluasi ?
2. Bagaimana bentuk evaluasi kasus-kasus pelanggaran HAM dan problematika HAM
masa kontemporer ?
3. Apa yang menjadi solusi dari problematika HAM masa kontemporer ?
C. Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep dasar evaluasi.
2. Untuk mengetahui bentuk evaluasi kasus-kasus pelanggaran HAM dan problematika
HAM masa kontemporer.
3. Untuk mengetahui solusi dari problematika HAM masa kontemporer.
D. Kegunaan
Kegunaan dalam penyajian makalah ini secara teoritis diharapkan mampu menambah
perbendaharaan ilmu pengetahuan khususnya dalam konteks Hak Asasi Manusia teristimewa
dalam mengevaluasi kasus-kasus pelanggaran HAM dan problematika HAM masa
kontemporer.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Evaluasi
1. Definisi Evaluasi
Kata evaluasi berasal dari Bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau
penaksiran, sedangkan menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang
terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan
hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.
Evaluasi mengandung pengertian, suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan
nilai dari sesuatu. Sebelum membahas tentang evaluasi secara lebih luas dan mendalam,
terlebih dahulu perlu dipahami bahwa dalam praktek seringkali terjadi kekeliruan dalam
penggunaan istilah “evaluasi”, “penilaian” dan “pengukuran”. Kenyataan seperti itu
memang dapat dipahami, mengingat bahwa diantara ketiga istilah tersebut saling
berkaitan sehingga sulit untuk dibedakan. Namun dengan uraian berikut ini akan dapat
memperjelas perbedaan dan sekaligus hubungan antara pengukuran, penilaian dan
evaluasi.
Nitko & Brookhart (2007) mendefinisikan evaluasi sebagai suatu proses penetapan
nilai yang berkaitan dengan kinerja dan hasil karya siswa. Evaluasi menurut Griffin dan
Nix (1991) adalah judgment terhadap nilai atau implikasi dari hasil pengukuran. Menurut
definisi ini kegiatan evaluasi selalu didahului dengan kegiatan pengukuran dan penilaian.
Menurut Tyler (1950) evaluasi adalah proses penentuan sejauh mana tujuan pendidikan
telah tercapai.
Evaluasi adalah proses menentukan perubahan tingkah laku dan membuat
keputusan..Aktivitas evaluasi bertumpu pada cirri-ciri manusia yang dapat diubah.
Perdalam pertimbangan bagi peserta didik dapat diperoleh berdasarkan interprestasi hasil
pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan teknik non tes. Dalam evaluasi bukan
hanya meliputi pencapaian dan kemajuan dalam elajaran
tetapi
juga termasuk
3
penafsiran semua aspek perkembangan mental dan fisik, minat, sikap, bakat, dan emosi.
Dalam pembelajaran, evaluasi merupakan suatu proses yang sistematis untuk menetukan
harus sejauh mana tujuan pengajaran dapat dicapai oleh peserta didik.
2. Tujuan Evaluasi
a. Memberi informasi yang valid tentang sesuatu yang dievaluasi
b. Menilai kepastian tujuan/target dengan masalah yang dihadapi
c. Memberi sumbangan bagi informasi lain terutama dari segi metodologi
d. Menilai ketercapaian tujuan
e. Menyidiakan impormasi untuk tujuan bimbingan dan konseling
f. Menjadiakan hasil evaluasi sebagai dasar perubahaan menuju arah perbaikan
3. Fungsi Evaluasi
a. Memberikan Laporan
Dalam melakukan evaluasi, akan dapat disusun dan disajikan laporan
mengenai kemajuan dan perkembangan mengenai informasi yang tentang sesuatu
yang dievaluasi.
b. Memberikan Bahan-bahan Keterangan (Data)
Setiap keputusan harus didasarkan kepada data yang lengkap dan akurat, serta
merupakan sumbangan bahan-bahan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilainilai yang mendasari pemilihan tujuan.
c. Memberikan Gambaran
Gambaran
mengenai
hasil-hasil
yang
telah
dicapai
dalam
proses
perkembangan tujuan, serta memberi sumbangan pada aplikasi dalam bidang
metodologi.
4. Pendekatan Evaluasi
a. Evaluasi Semu
Evaluasi semu merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif
untuk mengahsilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya.
b. Evaluasi Formal
4
Evaluasi Formal merupakan pendekatan untuk mendapatkan informasi yang
valid dan cepat dipercaya yang didasarkan pada tujuan formal.
c. Evaluasi Keputusan Teori
Evaluasi keputusan teori merupakan pendekatan evaluasi yang menggunakan
metode-metode
deskriptif
untuk
menghasilkan
informasi
yuang
dapat
dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasil-hasil yang secara eksplisit
dinilai oleh berbagai pendekatan teori lainnya.
5. Evaluasi dalam perspektif agama
Evaluasi berasal dari kata “to evaluate” yang berarti menilai. Disamping kata
evaluasi terdapat pula istilah measurement yang berarti mengukur. Pengukuran dalam
pendidikan adalah usaha untuk memahami kondisi-kondisi objektif tenang sesuatu
yang akan dinilai. Penilaian dalam pendidikan islam akan objektif apabila disandarkan
pada nilai-nilai Al-Quran dan Al-Hadits.
Suharsimi Arikunto mengajukan tiga istilah dalam pembahasan evaluasi yaitu,
pengukuran,
penilaian
dan
evaluasi.
Pengukuran
(measurement)
adalah
membandingkan sesuatu dengan suatu ukuran. Pengukuran ini bersifat kuantitatif.
Penilaian adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik
dan buruk penilaian ini bersifat kualitatif, sedangkan evaluasi mencakup pengukuran
dan penilaian.
Berdasarkan pengertian di atas menunujukan bahwa pengukuran dalam
pendidikan bersifat kongkrit, objektif serta didasarkan pada ukuran-ukuran umum
yang dapat dipahami. Misalnya pelaksanaan shalat. Shalat seseorang itu bisa diukur
dan juga dinilai. Pengukuran shalat didasrkan pada pelaksanaan syarat dan rukunrukunnya maka shalatnya dianggap sah apabila telah terpenuhi syarat dan rukunnya
yang menjadi patokan dan dasar dalam pengukuran tersebut.
Sedangkan penilaian shalat berkaitan dengan adab-adab dalam pelaksanaan
shalat seperti keikhlasan, kekhusuan, dan sebagainya. Penilaian biasanya lebih sulit
daripada pengukuran apabila dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan, dimana yang
berhak menilai sesuatu yang batiniah adalah wewenang Allah. Dalam Al-Quran dan
Al-Hadits banyak kita temui tolak ukur dalam pendidikan islam. Misalnya tolak ukur
shalat yang sempurna adalah dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan
mungkar.
Terdapat makna evaluasi dalam Al-Quran, diantaranya:
5
Al-Hisab
Memiliki makna mengira, menafsirkan menghitung, dan menganggap,
misalnya dalam Al-Quran :
“Dan
jika
kamu
melahirkan
apa
yang
ada
dihatimu
atau
kamu
menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatan itu. Maka Allah akan mengampuni bagi siapa yang dikehendaki” (Q.S AlBaqarah : 284)
Al-Bala
Memiliki makna cobaan ujian. Misalnya dalam al-quran:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”,
Al-hukm
Memiliki makna putusan atau vonis misalnya dalam al-quran surat an-naml ayat 78
“Sesungguhnya Tuhanmu akan menyelesaikan perkara antara mereka dengan
keputusan-Nya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
Al- qodo
Memiliki arti putusan misalnya dalam al-quran surat toha ayat 72, mereka
berkata: “Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang
nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah
menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.
Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja.
An-Nazhar
Memilki makna melihat misalnya dalam Al-Quran surat An-Namal ayat 27,
berkata Sulaiman: “Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orangorang yang berdusta.
Muhasabah
Muhasabah berasal dari kata hasibah yang artinya menghisab atau
menghitung. Dalam penggunaan katanya, muhasabah diidentikan dengan menilai diri
sendiri atau mengevaluasi, atau introspeksi diri. Sebagaimana firman Allah: “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
[Q.S.Al-Hasyr
(59):18].
Adapun
hadist
lainnya:
Umar
r.a.
6
mengemukakan:“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah
(bersiaplah) kalian untuk akhirat (yaumul hisab).
B. Evaluasi Kasus-Kasus Pelanggaran HAM dan Problematika HAM Masa
Kontemporer
1. KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM DALAM PERSFEKTIF THEORY
a. Pelanggaran Genosida
Kata genosida pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia,
Raphael Lemkin, pada tahun1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe
yang diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani genos (ras,
bangsa atau rakyat) dan bahasa Latin caedere (pembunuhan). Genosida adalah
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan ataumemusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa,ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan
cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental
yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok
yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atauseluruhnya; melakukan
tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkansecara paksa anak-anak
dalam kelompok ke kelompok lain.
Penyelidikan tentang Pelanggaran HAM Yang Berat
Penyelidikan terhadap Pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh:
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dalam UU No. 26 tahun 2000,
pelanggaran HAM yang berat juga dapat diselesaikanmelalui Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR). Tahun 2004 diundangkan UU No.27 Tahun 2004 tentang KKR
yang mempunyai tugas menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu dan
menciptakan rekonsiliasi. Namun UU ini bertentangandengan norma-norma hukum
internasional dan merugikan kepentingan korban,sehingga dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi.
Di berbagai negara, KKR merupakan komisi yang mempunyai mandat
khususdiantaranya untuk menyelidiki berbagai kasus-kasus HAM yang terjadi,
7
memberikan rekomendasi untuk adanya penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi
termasuk
penuntutan pelaku, refomasi institusi yang mendukung terjadinya
pelangaran HAM dan pemulihan kepada korban.Mahkamah Pidana Internasional
Mahkamah Pidana Internasional merupakan lembaga permanen dan mempunyai
kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksinya atas orang-orang (pelaku) untuk
kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional. Dibentuk dengan dasar
bahwasampai saat ini masih berlangsung kekejaman yang mengguncangkan nurani
umatmanusia sehingga mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia.
Selain itu juga upaya untuk memutuskan rantai kekebalan hukum (impunity)
bagi para pelakukejahatan.Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional :Kejahatankejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah adalah: 1) genosida; 2)
kejahatan terhadap kemanusiaan; 3) kejahatan perang; dan; 4) kejahatan
agresi.Hubungan Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan (HAM)
Nasional :Mahkamah Pidana Internasional adalah peradilan yang bersifat sebagai
komplementer dari yurisdiksi domestik (pengadilan nasional), artinya mahkamah
pidana internasionalhanya berwenang untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang
menjadi yuridiksinya apabila suatu negara tidak mampu (unable) atau mau (unwilling)
mengadili kejahatan-kejahatan tersebut. Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional
terkait dengan hak-hak korban : Mahkamah pidana internasional mempunyai
kewenangan untuk menetapkan prinsip - prinsip yang berkenaan dengan ganti rugi
kepada, atau berkenaan dengan, korban,termasuk restitusi, kompensasi dan
rehabilitasi.
b. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Perbudakan ”
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, definisi perbudakan dapat
kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang, di dalam penjelasan umum dijelaskan definisi dari perbudakan
sebagai berikut “Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang
lain. Praktik serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam
kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan
yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun
orang tersebut tidak menghendakinya.”
Di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang, perbudakan merupakan salah satu bentuk ekploitasi manusia
8
yang menjadi salah satu tujuan perdagangan orang (lihat Pasal 1 angka 1, dan angka
7). Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Tindak Pidana Perdagangan Orang juga disebutkan bahwa perdagangan orang adalah
bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah
satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.
Pelaku perbudakan dapat dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yang berbunyi: (1)
Setiap
orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan,
penculikan,
penyekapan,
pemalsuan,
penipuan,
penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat
walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang
lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik
Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00
(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah). (2)
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selain itu, jika melibatkan anak sebagai korban perbudakan, maka pelaku
perbudakan dapat dijerat dengan Pasal 74 ayat (2) huruf a jo Pasal 183 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”):
Pasal 74 (2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1)
meliputi:
segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
Pasal 183(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak
pidana kejahatan.
9
Dalam aspek perlindungan pekerja anak dari perbudakan, sebagai anggota
Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau Internasional Labour Organization
(ILO), Indonesia juga meratifikasi Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 yang disetujui
pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ke-87 tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa
melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention
No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the
Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan
Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak).
Negara anggota ILO yang mengesahkan konvensi ini wajib mengambil tindakan
segera dan efektifuntuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak, yakni salah satunya adalah segala bentuk perbudakan
atau praktek sejenis perbudakan.
Di samping peraturan perundang-undangan yang telah kami sebutkan, larangan
perbudakan manusia juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Mengatur sebagai berikut: “Hak. untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun.” Kemudian, di dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. dinyatakan:
a) Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.
b) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan
segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.”\
c. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Aborsi ”
Menurut Encyclopedia Britania “ The American College Of Obstericians and
Gyneologist “ ada dua jenis aborsi:
1. Accident abortion, yaitu penghentian kehamilan sebelum kematangan yang
terjadi selama alami, tanpa perlakuan medis.
10
2. Therapeutic abortion, artinya bahwa penghentian kehamilan melakukan
perlakuan tenaga medis, melalui operasi atau penggunaan RU486 atau beberapa
terapi lainnya.
Sedangkan beberapa kelompok masyarakat yang pro kehidupan mendifinisikan
aborsi sebagai sebuah tujuan untuk menghalangi proses perkembangan yang dari
waktu ke waktu konsepsi hingga melahirkan. Adapun Aborsi menurut beberapa
pandangan aspek, diantaranya:
Aspek perspektif HAM
Ditinjau dari perspektif HAM, seorang wanita mempunyai hak untuk
memperoleh pelayanan aborsi karena merupakan bagian dari hak kesehatan
reproduksi yang sangat mendasar. Aborsi merupakan suatu kebutuhan yang tidak
dapat dihindari bagi wanita yang tidak menginginkan kehamilannya karena adanya
beberapa alasan seperti kegagalan akibat penggunaan kontrasepsi, atau memang
sengaja tidak menggunakan kontrasepsi,. kehamilan yang diakibatkan karena
kekerasan seksual seperti pemerkosaan.
Program Aksi ICPD Cairo secara specifik menyatakan bahwa abortsi tidak harus
digunakan sebagai metode KB. Bagaimanapun juga ketika wanita tidak mempunyai
akses untuk mendapatkan metode KB yang sesuai dan tersedia dan tidak mampu
membayar, maka banyak orang yang menggunakan aborsi sebagai metode untuk
mengatur kelahiran.5
Aspek Hukum Indonesia
Hukum yang ada di Indonesia seharusnya mampu menyelamatkan ibu dari
kematian akibat tindak aborsi tak aman oleh tenaga tak terlatih (dukun). Ada lebih
dari 3 aturan aborsi di Indonesia yang berlaku hingga saat ini yaitu:
1. Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan
melanggar hukum. Sampai saat ini masih diterapkan.
2. Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
11
3. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang menuliskan dalam
kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi).
4. PP No 61 Tahun 2014 tentang pelegalan aborsi bagi korban perkosaan
5. Pasal 299 KUHP (1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau
menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa
karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh
lima ribu rupiah..
Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia
seorang tabib, bidan atau juruobat, pidananya dapat ditambah sepertiga (3) Jika
yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya,
dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu.
6. Pasal 346 KUHP. Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
7. Pasal 348 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan
pidana penjara paling lama tujuh tahun..
Aspek Agama
Dari sudut pandang agama Islam, pertama : Al-Qur’an dan Aborsi: Manusia berapapun kecilnya - adalah ciptaan Allah yang mulia. Agama Islam sangat
menjunjung tinggi kesucian kehidupan. Banyak sekali ayat-ayat dalam Al Qur’an
yang menerangkan tentang larangan aborsi. Salah satunya, Allah berfirman: “Dan
sesungguhnya Kami telah memuliakan umat manusia.”(QS 17:70). Didalam agama
Islam, setiap tingkah laku kita terhadap nyawa orang lain, memiliki dampak yang
sangat besar. Firman Allah: “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan
karena sebab-sebab yang mewajibkan hukum qishash, atau bukan karena kerusuhan di
12
muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang
siapa yang memelihara keselamatan nyawa seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara keselamatan nyawa manusia semuanya.” (QS 5:32)
Aspek Sosial Budaya
Aborsi dipandang sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan norma dan etika
budaya ketimuran, karena budaya timur masih memegang kuat agamanya.
Pada saat yang sama, aborsi dapat menyebabkan masalah dalam keluarga yang
merupakan bagian dari masyarakat. Faktanya adalah bahwa sangat penting bagi
seorang wanita untuk memiliki suasana yang mendukung dari bagian dari kerabat
terdekat, yakni suami dan orangtua. Spesialis sangat merekomendasikan mengambil
keputusan aborsi oleh kedua pasangan yang dapat membuat keluarga kuat sedangkan
perselisihan dapat mengakibatkan perceraian.Jadi peran keluarga dalam mengambil
keputusan tidak kurang penting dibandingkan pengaruh masyarakat atau keyakinan
pribadi.
Dengan mempertimbangkan semua ,perlu untuk mengatakan bahwa aborsi,
menjadi fenomena sosial, memiliki banyak lawan serta pendukung tetapi hanya
sebagian kecil yang cukup radikal dan siap untuk menyangkal titik pandang yang
berlawanan. Sebagian besar siap untuk menerima aborsi walaupun dalam kondisi
tertentu. Ini berarti bahwa aborsi harus disahkan tetapi pada saat yang sama harus
diatur secara ketat agar tidak membahayakan kesehatan wanita atau anak-anak mereka
Aborsi dalam pandangan masyarakat Indonesia merupakan negara memiliki
nilai dan norma yang sangat tinggi. Masyarakat Indonesia masih memegang tinggi
nilai dan norma dalam kehidupan. Sebenarnya salah satu penyebab tingginya aborsi di
masyarakat kita adalah kebiasaan di masyarakat juga. Tekanan masyarakat terhadap
kehamilan diluar nikah juga menjadi salah satu pemicu orang nekad untuk aborsi.
Masyarakat sendiri tidak melihat kehamilan itu sebagai anugerah, tapi justru mencela
dan mengejek sebagai aib. Seandainya masyarakat atau paling tidak orang tua
13
bertindak bijak dengan memberikan support, maka bisa jadi si calon ibu tidak sampai
berpikir pendek dan nekad.
Adanya pengaruh globalisasi yang terjadi di Indonesia, menjadikan remaja
mulai menjadikan kultur negara - negara maju sebagai acuan hidupnya. Terkadang
remaja tidak memfilter apa yang mereka dapat, baik dan buruk nya kultur tersebut
sekedar ditiru saja. Adanya anggapan bahwa budaya barat adalah sesuatu yang hebat
dan lebih modern. Sehingga para remaja beranggapan bahwa, bila tidak menirukan
budaya barat tersebut maka akan dianggap ketinggalan jaman. Misalnya dampak dari
ada nya globalisasi dalah terjadinya pergaulan yang bebas dan terkesan tanpa adanya
kontrol.
Pada awalnya pergaulan bebas belum meluas, sehingga masih terlihat sebagai sesuatu
yang tabu. Namun dengan berjalannya waktu, dan kurang ada nya kontrol terhadap
penetrasi budaya barat tersebut, free sex pun semakin meluas. Sehingga free sex mulai
dianggap sebagai hal yang biasa pada sebagian orang, misalnya pada kota besar atau
metropolitan, free sex mulai menjamur, sehingga akibat dari free sex seperti aborsi
mulai banyak terjadi.
d. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Pembunuhan ”
Pembunuhan dalam bahasa arab disebut dengan istilah al-qatl, yaitu upaya
menghilangkan nyawa seseorang sehingga menyebabkan kematian, baik dilakukan
dengan sengaja maupun tidak, baik memakai alat ataupun tidak. Dibawah ini ada
beberapa Theori terkait pembunuhan:
Aspek hukum
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa
ketentuan yang mengatur tentang pembunuhan, yaitu yang tercantum dalam
pasal-pasal: 338 (pembunuhan biasa) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya
15 tahun penjara, 339 (pembunuhan dengan pemberatan/yang dikualifisir) dengan
ancaman pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara, 340 (pembunuhan berencana)
dengan ancaman pidana setinggi-tingginya pidana mati atau seumur hidup atau 20
tahun penjara, 341 (pembunuhan bayi/anak biasa) dengan ancaman pidana
setinggi-tingginya 7 tahun penjara, 342 (pembunuhan bayi berencana) dengan
ancaman pidana setinggi-tingginya 9 tahun penjara, 343 (untuk mengancam orang
lain/selain ibu yang terlibat pembunuhan bayi) dengan ancaman pidana setinggitingginya sama dengan 338 atau 340, 344 (euthanasia) dengan ancaman pidana
setinggi-tingginya 12 tahun penjara, 345 (mendorong orang lain bunuh diri)
14
dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 4 tahun penjara, 346-349 (aborsi)
dengan ancaman pidana setinggi-tingginya (antara 4 - 12 tahun) penjara, 351 ayat
3 (penganiayaan biasa yang mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman
pidana setinggi-tingginya 7 tahun penjara, 353 ayat 3 (penganiayaan berencana
yang mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 9
tahun penjara, 354 ayat 2 (penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya
orang dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 10 tahun penjara, 355 ayat 2
(penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan matinya orang) dengan
ancaman pidana setinggi-tingginya 15 tahun penjara, 359 (karena kelalaiannya
mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 5
tahun penjara atau satu tahun kurungan.
Dalam kasus pembunuhan sebagaimana terjadi di Patar Selamat, terdapat
beberapa pasal yang mungkin diterapkan, kemungkinan itu adalah pada pasalpasal: 338, 340. Bedanya 340 daripada 338 adalah, 340 didahului dengan adanya
rencana terlebih dahulu, artinya ada kesempatan untuk berpikir dengan tenang,
atau dalam bahasa gampangnya barangkali bisa disebut sebagai bukan
spontanitas.
Kemungkinan lainnya adalah pasal-pasal: 351 ayat (3), 353 ayat (3), 354 ayat (2),
dan 355 ayat (2).Selintas yang penulis baca di Media Bawean, Penyidik
menyangkakan dengan pasal 338. Perlu dipahaami bahwa itu boleh-boleh saja, akan
tetapi nantinya Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan mempelajari lebih lanjut Berita
Acara Pemeriksaan (BAP) dari Penyidik dan JPU akan menentukan dakwaan atas
dasar BAP daripada Penyidik tersebut. Sudah barang tentu JPU tidaak akan hanya
menggunakan satu pasal saja, sebab bila hanya dengan satu pasal, dihawatirkan
dalam pemeriksaan di Pengadilan nanti tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan,
jika itu terjadi, maka terdakwa bisa bebas (vrijspraak), dan dalam kasus tertentu –
tapi bukan dalam kasus di Patar Selamat ini--, bisa jadi terbukti dengan sah dan
meyakinkan tapi bukanlah merupakan tindak pidana, yang ini istilah hukumnya
adalah lepas dari segala tuntutan hukum.
Oleh sebab itu JPU akan menggunakan pasal berlapis sebagai alternatif. Dengan
menggunakan pasal berlapis itu , maka bila satu pasal tidak terbukti dengan sah dan
meyakinkan, masih ada pasal lain yang bisa memback up, misalnya bila
pembunuhan berencana tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan, maka masih
mungkin pembunuhan biasa, dan bila tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan
15
pula, maka masih mungkin penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan
matinya orang, dan seterusnya. Jadi JPU akan menggunakan pasal berlapis dengan
kriteria primer, subsider, lebih subsider, dan seterusnya.
Di dalam memutus perkara hakim akan mempertimbangkan tentang alasan-alasan
yang meringnkan dan memberatkan, misalnya faktor yang meringankan adalah si
pelaku masih muda, menyesali akan perbuatannya, dan sebagainya, sedang alasan
yang memberatkan misalnya karena dilakukan di bulan suci ramadhan,
menggunakan senjata tajam dan sebagainya.
Di samping itu hakim terlebih dahulu akan mempelajari tentang adakah alasan
penghapus pidana? Alasan penghapus pidana tersebut ada yang terdapat dalam
Undang-undang, ada pula yang terdapat di luar Undang-undang (dhi KUHP).
Alasan-alasan penghapus pidana dalam KUHP dapat kita lihat dalam pasal-pasal:44
(kemampuan bertanggung jawab), 45 (belum cukup umur bisa dijatuhi tindakan), 48
(overmacht/daya paksa), 49 (noodwer/pembelaan terpaksa), 50 (melaksanakan
perintah undang-undang), 51 (melaksanakan perintah jabatan). Dalam kasus di Patar
Selamat dalam ketentuan tersebut hanya satu pasal saja yang mungkin terdapat, yaitu
pasal 44, itupun nantinya harus dibuktikan dengan alat bukti yang disebut dengan
keterangan ahli. Hanya saja sepenjang yang penulis baca di media tidak nampak
gejala itu. Perihal gangguan jiwa, dalam KUHP diistilahkan ‘jiwanya cacat dalam
pertumbuhan’ dan ‘sakit berubah akal’ (pasal 44). Jiwanya cacat dalam
pertumbuhan, memang sedari kecil sudah menderita kelainan (kata orang bawean, la
deri paloatan) misalnya idiot, dan sebagainya, sedang sakit berubah akal adalah sakit
jiwa.
Kemungkinan lain yang bisa terjadi, si terdakwa akan berdalih, bahwa ia tidak
bermaksud membunuh, tapi hanya ingin menganiaya saja. Untuk alasan itu maka
hakim perlu mempelajari teori tentang kesengajaan, yang dalam hal itu ada tiga teori
tentang kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai maksud, sebagai sadar kepastian dan
sebagai sadar kemungkinan.
1. Kesengajaan sebagai maksud, adalah memang terdapat hubungan langsung
antara kehendak jiwa dan fakta kejadian, misalnya terdakwa menyatakan,
‘ya…, saya memang bermaksud membunuh oleh sebab.
2. Kesengajaan sebagai sadar kepastian, adalah memang jiwa tidak menghendaki
akibat itu terjadi, tetapi dengan berlaku begitu pasti suatu yang tidak
dikehendaki itu akan terjadi, misalnya si terdakwa mengatakan tidak
16
berkehendak untuk membunuh, tapi, siapapun kalau dipancung pasti hal yang
tidak dikehendakinya itu akan terjadi. (Hal ini tidak terjadi pada kasus di Patar
Selamat).
3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan, adalah memang jiwa tidak
menghendaki akibat itu terjadi, tapi semestinya ia menyadari bahwa jika itu
dilakukan, kemungkinan besar akibat yang tidak dikehendakinya itu akan
terjadi, misalnya terdakwa mengatakan, bahwa ia tidak bermaksud
membunuh, tapi mestinya ia menyadari bila pedang setajam itu ditebaskan
pada bagian badan manusia akan menyebabkan pendarahan yang hebat, dan
dengan demikian kemungkinan besar si korban akan kehabisan daran, yang
tentu akan mengakibatkan kematiannya. Apalagi bila pedang itu mengandung
racun.
Dari situlah hakim akan mengambil kesimpulan dengan apa yang disebut
‘mengobyektifkan’. Jadi walaupun terdakwa mengatakan tidak bermaksud, maka
hakim bisa mengkategorikan sebagai sengaja..
e. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “Penyiksaan/Eksploitasi“
Perspektif HAM Terhadap Anak Jalanan
Negara menempatkan posisi anak dalam kebijakan pembangunan sejajar
dengan isu politik juga ekonomi. Pemerintah tak sepantasnya menempatkan anak
sebagai persoalan domestik. Berdasarkan Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak
Anak, negara berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak anak
tanpa diskriminasi.
Bagaimana kenyataannya? Lihatlah anak jalanan. Berdasarkan catatan
Departemen Sosial (Depsos), jumlah anak jalanan mencapai 39.861 orang dengan
sekitar 48% di antaranya anak yang baru turun ke jalan. Catatan itu diperoleh dari
hasil survei sejak tahun 1998 di 12 kota besar di Indonesia. Secara nasional
diperkirakan terdapat sebanyak 60.000 sampai 75.000 anak jalanan. Depsos juga
mencatat bahwa 60% anak jalanan putus sekolah, 80% masih berhubungan
dengan keluarganya, dan 18% perempuan.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengaku menerima
berbagai pengaduan dengan jumlah anak korban kekerasan yang terus meningkat.
Dari 481 kasus pada 2004 menjadi 736 kasus pada tahun 2005, dan meningkat
17
lagi menjadi 1.124 kasus pada 2006. Jumlah kekerasan terhadap anak-anak ini
hanyalah jumlah yang dilaporkan wilayah sekitar Jabodetabek. Sementara jumlah
kekerasan terhadap anak secara nasional diperkirakan mencapai 72.000 kasus.
Dari berbagai analisis, pemicu terjadinya kekerasan terhadap anak, di
antaranya diakibatkan oleh kekerasan dalam rumah tangga, disfungsi keluarga,
ekonomi, dan pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Penyebab
lainnya, terinspirasi tayangan televisi maupun media-media lain yang tersebar di
lingkungan masyarakat. Yang mengejutkan, 62% tayangan televisi maupun media
lainnya ternyata telah membangun dan menciptakan perilaku kekerasan terhadap
anak.
Pasal 1 ayat 1 UU No 23 tahun 2002 menyebutkan, Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Pasal 1 KHA/Keppres No. 36/1990 menyatakan, Anak adalah setiap
orang yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan UU yang berlaku bagi
yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Senada dengan itu, Pasal
1 ayat 5 UU No. 39/1999 tentang HAM mengatakan, Anak adalah setiap manusia
yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian penuh terhadap
perlindungan anak karena dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28b
ayat 2 disebutkan, Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sedangkan Pasal 34 (1) berbunyi, Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh
negara. Di sisi lain, perlindungan terhadap keberadaan anak ditegaskan secara
eksplisit dalam 15 pasal yang mengatur hak-hak anak dan pasal 52 – 66 UU No.
39/1999 tentang HAM.
Secara umum dapat dikatakan, secara kuantitatif UU sudah memberikan
perlindungan kepada anak-anak. Akan tetapi, implementasi peraturan perundangundangan tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan
antara lain oleh pertama, upaya penegakan hukum masih mengalami kesulitan.
Kedua, harmonisasi berbagai UU yang memberikan perlindungan kepada anak
dihadapkan pada berbagai hambatan. Ketiga, sosialisasi peraturan perundangundangan kepada masyarakat belum sepenuhnya dapat dilakukan dengan baik.
Terakhir, keempat, kebijakan pemerintah lebih banyak berorientasi kepada
18
pemenuhan dan perlindungan hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sayangnya, banyaknya peraturan itu tidak didukung dengan implementasinya.
Harus diakui, keberadaan anak-anak merupakan mayoritas di negeri ini.
Karenanya diperlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan
mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi anak
belum sepenuhnya terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi
bagi kehidupan diri dan keluarganya. Berbagai bukti empiris menunjukkan bahwa
masih dijumpai anak-anak yang mendapat perlakuan yang belum sesuai dengan
harapan. Kendalanya antara lain, kurangnya koordinasi antarinstansi pemerintah,
belum terlaksananya sosialisasi dengan baik, dan kemiskinan yang masih dialami
masyarakat.
Aspek Perspektif Pancasila terhadap kasus eksploitasi anak
Menurut Undang-Undang RI No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Anak memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut : Bab III tentang Hak Anak, Pasal
4: “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi
secara wajar sesuai harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”.
Mungkin agak ketinggalan jika saya membahas hal ini, namun permasalahan ini
masih tetap abadi di tanah air kita. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan
Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat,
martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar
1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi
kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi
penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak hidup, tumbuh, dan
berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan
diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Seharusnya penghormatan terhadap Hak
Asasi Manusia dalam hal ini Hak – Hak Anak, merupakan suatu keharusan dan tidak
perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Namun, sungguh
disayangkan kenyataannya justru sebaliknya.
19
Di era serba semrawut ini, eksploitasi anak marak terjadi. Eksploitasi anak dan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan masalah yang kompleks,
berdimensi sosial, ekonomi dan budaya. Dari data statistik, sekira 6 % anak Indonesia
usia 10-14 tahun, atau tak kurang dari 1,6 juta anak jadi bagian dari angkatan kerja.
Data Organisasi Buruh Internasional (ILO) lebih heboh lagi. Di Indonesia
diperkirakan lebih dari 4,2 juta anak terlibat dalam pekerjaan berbahaya atau berisiko
tinggi. Sekira 1,5 juta diantaranya adalah anak perempuan. Sedangkan data hasil
survei Universitas Indonesia dan Program Penghapusan Buruh Anak ILO,
mengungkap, dari sekira 2,6 juta Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Indonesia saat
ini, 34,83 % diantaranya anak-anak, dan 93 % diantaranya adalah anak perempuan.
Pancasila tidak memberikan ruang untuk eksploitasi anak-anak. Pancasila, pada
sila kedua berbunyi: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kemanusiaan berasal dari
kata manusia, yakni makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa,yang memiliki potensi,
pikir, rasa, karsa dan cipta. Karena potensi ini manusia mempunyai dan menempati
kedudukan dan martabat yang tinggi. Kata adil mengandung makna bahwa suatu
keputusan dan tindakan didasarkan atas ukuran/norma-norma yang obyektif, dan tidak
subyektif sehingga tidak sewenang-wenang. Kata beradab berasal dari kata adab,
artinya budaya. Jadi adab mengandung arti berbudaya, yaitu sikap hidup, keputusan
dan tindakan yang selalu dilandasi oleh nilai-nilai budaya, terutama norma sosial dan
kesusilaan/moral. Jadi, kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung pengertian
adanya kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan kepada potensi budi
nurani manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya.
Salah satunya butir Pancasila sila 2 mengatakan bahwa kita harus mengakui dan
memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa. Ini mengindikasikan bahwa Pancasila sangat menentang
eksploitasi anak (child exploitation). Sebab perbuatan tersebut merupakan sikap yang
tidak adil dan tidak beradab terhadap anak yang juga memiliki hak untuk hidup
sejahtera seperti rakyat Indonesia pada umumnya. Disamping itu, konsitusi Pancasila
melarang keras melibatkan dan keterlibatan anak dalam dunia yang penuh dengan
kekerasan, baik itu kekerasan mental maupun kekerasan fisik.
Makna adil yang telah disebutkan di atas cukup membuat saya berpikir. Suatu
keputusan diambil dengan ukuran objektivitas sehingga tidak menimbulkan
20
kesewenang-wenangan. Keputusan untuk “mempekerjakan” anak pasti merupakan
keputusan yang sulit bagi orang tua manapun. Namun sungguh benar-benar tidak adil
apabila orang tua merenggut dunia anak-anak mereka, hanya demi alasan ekonomi.
Seharusnya asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa semua tindakan
yang menyangkut anak yang dilakukan orang tua berorientasi pada kepentingan yang
terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang utama. Selain itu orang tua juga
harus menghargai asas penghargaan terhadap pendapat anak, yaitu penghormatan atas
hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan
keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.
Namun, karena sekarang eksploitasi anak semakin merajalela, sudah sewajarnya
apabila upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari
janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bagaimana
peran pemerintah, masyarakat dan orang tua dalam mengatasi eksploitasi pada anak.
Sebagai regulator pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam
menetapkan kebijakan yang menguntungkan dan berpihak pada penegakan hak asasi
manusia terutama hak anak. Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pihak
yang mengeksploitasi anak dapat dikenakan pidana yang sesuai dan adil.
Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan
komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan
kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
a) Nondiskriminasi
b) Kepentingan yang Terbaik Bagi Anak;
c) Hak untuk hidup,kelangsungan hidup,dan perkembangan;dan
d) Penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran
masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha,
media massa, atau lembaga pendidikan. Tujuan dari perlindungan anak ini adalah
untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
21
Jadi, pada dasarnya proses mencapai kesejahteraan haruslah dengan cara-cara
yang berperikemanusiaan. Apapun yang terkandung di dalam proses-proses tersebut
harus etis dan tidak boleh merugikan manusia individual manapun, jangan sampai kita
mengeksploitasi anak hanya demi kepentingan diri kita masing-masing, karena
eksploitasi anak merupakan tindakan yang sangat tidak berkemanusiaan.
Aspek Psikologis
Dalam aspek psikologi masa kanak-kanak merupakan periode perkembangan
yang terjadi mulai akhir masa bayi hingga sekitar usia 5 atau 6 tahun; kadang periode
ini disebut tahun-tahun prasekolah. Selama waktu tersebut, anak kecil belajar menjadi
mandiri dan merawat diri sendiri, mereka mengembangkan keterampilan kesiapan
sekolah (mengikuti perintah, mengenali huruf) dan mereka menghabiskan waktu
berjam-jam untuk bermain dengan teman sebaya. Kelas satu Sekolah Dasar biasanya
menandai berakhirnya periode ini. Masa Kanak-kanak tengah dan akhir (middle and
late childhood) merupakan periode perkembangan yang dimulai dari sekitar usia 6
hingga usia 11 tahun; kadang periode ini disebut periode sekolah dasar. Anak
menguasai keterampilan membaca, menulis, aritmatik, dan mereka secara formal
dihadapkan pada dunia yang lebih besar dan budayanya. Prestasi menjadi tema sentral
yang lebih dari dunia anak, dan kontrol diri meningkat.
Papalia (1995), seorang ahli perkembangan manusia dalam bukunya Human
Development, mengatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dunia
anak-anak adalah dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot
tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya, mengeksplorasi dunia sekitarnya,
menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti apa diri
mereka sendiri. Dengan bermain, anak-anak menemukan dan mempelajari hal-hal
atau keahlian baru dan belajar (learn) kapan harus menggunakan keahlian tersebut,
serta memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya (need). Lewat bermain, fisik anak
akan terlatih, kemampuan kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain
akan berkembang. Selain itu bermain juga didefinisikan sebagai semua kegiatan anak
yang dirasakan olehnya menyenangkan dan dinikmati (pleasurable and enjoyable).
Telah disebutkan di atas bahwa dunia anak adalah dunia bermain, namun
sayang sekali dewasa ini banyak anak yang kehilangan dunia bermainnya karena
22
dieksploitasi. Eksploitasi dalam kamus ilmiah berarti pemerasan atau penarikan
keuntungan secara tidak wajar. Eksploitasi terhadap anak adalah mempekerjakan
seorang anak dengan tujuan ingin meraih keuntungan. Eksploitasi anak dapat berupa:
Eksploitasi ekonomi, penyalahgunaan narkoba, eksploitasi & kekerasan seksual,
penjualan, perdagangan & penculikan anak,eksploitasi dalam bentuk lain. Faktorfaktor adanya eksploitasi anak antara lain :
1. Tekanan ekonomi. Karena tekanan ekonomi ini orangtua memaksa anaknya untuk
menghidupi sendiri dan memenuhi kebutuhan sekolah sendiri.
2. Tekanan psikologis. Beberapa mengalami stres karena kurang kasih sayang,
diacuhkan orang tua dan merasa orang tua mereka terlalu banyak aturan yang
menekan perasaan mereka sama sekali tidak ada kebebasan.
Sedangkan tekanan dari luar yang mendukung mereka ketika mendapatkan
tekanan dari rumah:
1. Pengaruh teman-teman sekolah yang mulai mengenalkannya dengan diskotik.
2. Pengaruh teman-teman kerja (pabrik, pub, billyard) yang mengenalkan pada kerja
tambahan untuk mendapatkan uang lebih dengan menemani para tamu untuk
minum atau ngedrug.
3. Dijebak baik oleh teman sendiri, dengan menawarkan pekerjaan. Eksploitasi anak
mempunyai dampak yang sangat buruk dikemudian hari.
Eksploitasi anak-anak dapat berakibat buruk terhadap perkembangan jiwa
meraka, karena meraka bekerja pada lingkungan orang dewasa. Hal ini seharusnya
menjadi pelajaran bagi kita semua khususnya pemerintah jangan cuma memperingati
hari anak nasional yang jatuh pada 22 juli dengan seremonial yang mungkin memakan
biaya yang cukup banyak tapi mari kita merenung dan menatap kebelakang
bagaimana kondisi generasi penerus bangsa. Semua orang pasti menggiginkan yang
terbaik untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, berikanlah yang terbaik untuk mereka.
Jangan biarkan mereka kepanasan ditengah teriknya sang mentari yang dihiasi dengan
gumbalan asap kendaraan, tetapi biarkanlah mereka dengan dunianya sendiri, dunia
yang penuh dengan keceriaan dan beraneka macam permainan. Biarkan mereka
dengan sejuta mimpinya untuk menatap hari esok yang lebih baik.
f. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Pencemaran Nama Baik “.
23
Aspek Hukum
Dalam
KUHP
pencemaran
nama
baik
diistilahkan
sebagai
penghinaan/penistaan terhadap seseorang, terdapat dalam Bab XVI, Buku I
KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318
KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang, secara
umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1),Pasal 315, Pasal 317 ayat (1)
dan Pasal 318 ayat (1) KUHP yang menyebutkan :Pasal 310 ayat satu (1)
Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan
menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan
tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-. (2)
Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,dipertunjukan
pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista
dengan
tulisan
dengan
Binbangkum 3 selama-lamanya
hukuman
satu
penjara Sie
tahun
empat
Infokum
bulan
atau
Ditama
denda
sebanyakbanyaknya Rp 4.500,-. (3) Tidak termasuk menista atau menista dengan
tulisan, jika ternyata bahwa sipembuat melakukan hal itu untuk kepentingan
umum atau lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri.
Adapun rincian pendukungnya dibawah ini:
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang dalam Pasal 27 ayat [3] UU ITE menyatakan: “Setiap Orang
dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik.”
Pasal 45 ayat (1) UU ITE ditentukan bahwa: “Setiap Orang yang memenuhi
unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Pasal 311 ayat (1) UU ITE: Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau
menista dengan tulisan,dalam ha
DAN PROBLEMATIKA HAM MASA KONTEMPORER
Oleh : Wildan Luthfi Nur’aripin, S.AP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang secara kodratnya melekat pada diri
manusia sejak manusia dalam kadungan yang membuat manusia sadar akan jati dirinya dan
membuat manusia hidup bahagia. Hak Asasi Manusia juga merupakan hak yang bersifat asasi
( Koentjoro, 1976 ). Berbicara mengenai HAM tidak terlepas dari dua hal yaitu hak dan
kewajiban.
Hak dan kewajiban tersebut untuk menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia harus
dijalankan secara seimbang. Konsekuensinya apabila dijalankan tidak seimbang maka yang
terjadi tidak lain pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia baik yang bersifat berat
maupun ringan.
Di Indonesia secara substansi mengenai HAM sangat berbeda dengan negara lain
yang sifatnya sekulerisme, Indonesia merupakan negara konstitusional dan berketuhanan
untuk itu setiap menangangi sebuah permasalahan tentu harus melihat dari beberapa aspek
seperti halnya Agama, Budaya, Hukum dll.
Hak asasi manusia di Indonesia dibatasi oleh aturan perundangan-undangan sehingga
benuk HAM di Indonesia bersifat spesifik. Penegakan HAM di Indonesia mengalami
perkembangan secar pesat, hal ini tercermin dengan terus terciptanya regulasi yang mengatur
HAM baik mulai dari lahoirnya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan
UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Yuridis HAM diatas tentu bertujuan sebagai salah satu peran pemerintah dalam
melaksanakan kewajibannya untuk melindungi hak-hak setiap warganya.Secara esensial
yuridis HAM tersebuttidak menghendaki terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM. Namun
dilapangan berkata lain yakni masih banyaknya pelanggaran-pelangaran HAM ynag terjadi
baik yang bersifat Berat maupun Ringan. Hal inilah yang memmbuat penulis tergelitik untuk
1
mengatahui penyebab terjadinya pelanggaran tersebut padahal aturan main sudah berlaku,
melalui karya ilmiah ini dengan judul “Evaluasi Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Dan
Problematika HAM Masa Kontemporer”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep dasar evaluasi ?
2. Bagaimana bentuk evaluasi kasus-kasus pelanggaran HAM dan problematika HAM
masa kontemporer ?
3. Apa yang menjadi solusi dari problematika HAM masa kontemporer ?
C. Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep dasar evaluasi.
2. Untuk mengetahui bentuk evaluasi kasus-kasus pelanggaran HAM dan problematika
HAM masa kontemporer.
3. Untuk mengetahui solusi dari problematika HAM masa kontemporer.
D. Kegunaan
Kegunaan dalam penyajian makalah ini secara teoritis diharapkan mampu menambah
perbendaharaan ilmu pengetahuan khususnya dalam konteks Hak Asasi Manusia teristimewa
dalam mengevaluasi kasus-kasus pelanggaran HAM dan problematika HAM masa
kontemporer.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Evaluasi
1. Definisi Evaluasi
Kata evaluasi berasal dari Bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau
penaksiran, sedangkan menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang
terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan
hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.
Evaluasi mengandung pengertian, suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan
nilai dari sesuatu. Sebelum membahas tentang evaluasi secara lebih luas dan mendalam,
terlebih dahulu perlu dipahami bahwa dalam praktek seringkali terjadi kekeliruan dalam
penggunaan istilah “evaluasi”, “penilaian” dan “pengukuran”. Kenyataan seperti itu
memang dapat dipahami, mengingat bahwa diantara ketiga istilah tersebut saling
berkaitan sehingga sulit untuk dibedakan. Namun dengan uraian berikut ini akan dapat
memperjelas perbedaan dan sekaligus hubungan antara pengukuran, penilaian dan
evaluasi.
Nitko & Brookhart (2007) mendefinisikan evaluasi sebagai suatu proses penetapan
nilai yang berkaitan dengan kinerja dan hasil karya siswa. Evaluasi menurut Griffin dan
Nix (1991) adalah judgment terhadap nilai atau implikasi dari hasil pengukuran. Menurut
definisi ini kegiatan evaluasi selalu didahului dengan kegiatan pengukuran dan penilaian.
Menurut Tyler (1950) evaluasi adalah proses penentuan sejauh mana tujuan pendidikan
telah tercapai.
Evaluasi adalah proses menentukan perubahan tingkah laku dan membuat
keputusan..Aktivitas evaluasi bertumpu pada cirri-ciri manusia yang dapat diubah.
Perdalam pertimbangan bagi peserta didik dapat diperoleh berdasarkan interprestasi hasil
pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan teknik non tes. Dalam evaluasi bukan
hanya meliputi pencapaian dan kemajuan dalam elajaran
tetapi
juga termasuk
3
penafsiran semua aspek perkembangan mental dan fisik, minat, sikap, bakat, dan emosi.
Dalam pembelajaran, evaluasi merupakan suatu proses yang sistematis untuk menetukan
harus sejauh mana tujuan pengajaran dapat dicapai oleh peserta didik.
2. Tujuan Evaluasi
a. Memberi informasi yang valid tentang sesuatu yang dievaluasi
b. Menilai kepastian tujuan/target dengan masalah yang dihadapi
c. Memberi sumbangan bagi informasi lain terutama dari segi metodologi
d. Menilai ketercapaian tujuan
e. Menyidiakan impormasi untuk tujuan bimbingan dan konseling
f. Menjadiakan hasil evaluasi sebagai dasar perubahaan menuju arah perbaikan
3. Fungsi Evaluasi
a. Memberikan Laporan
Dalam melakukan evaluasi, akan dapat disusun dan disajikan laporan
mengenai kemajuan dan perkembangan mengenai informasi yang tentang sesuatu
yang dievaluasi.
b. Memberikan Bahan-bahan Keterangan (Data)
Setiap keputusan harus didasarkan kepada data yang lengkap dan akurat, serta
merupakan sumbangan bahan-bahan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilainilai yang mendasari pemilihan tujuan.
c. Memberikan Gambaran
Gambaran
mengenai
hasil-hasil
yang
telah
dicapai
dalam
proses
perkembangan tujuan, serta memberi sumbangan pada aplikasi dalam bidang
metodologi.
4. Pendekatan Evaluasi
a. Evaluasi Semu
Evaluasi semu merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif
untuk mengahsilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya.
b. Evaluasi Formal
4
Evaluasi Formal merupakan pendekatan untuk mendapatkan informasi yang
valid dan cepat dipercaya yang didasarkan pada tujuan formal.
c. Evaluasi Keputusan Teori
Evaluasi keputusan teori merupakan pendekatan evaluasi yang menggunakan
metode-metode
deskriptif
untuk
menghasilkan
informasi
yuang
dapat
dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasil-hasil yang secara eksplisit
dinilai oleh berbagai pendekatan teori lainnya.
5. Evaluasi dalam perspektif agama
Evaluasi berasal dari kata “to evaluate” yang berarti menilai. Disamping kata
evaluasi terdapat pula istilah measurement yang berarti mengukur. Pengukuran dalam
pendidikan adalah usaha untuk memahami kondisi-kondisi objektif tenang sesuatu
yang akan dinilai. Penilaian dalam pendidikan islam akan objektif apabila disandarkan
pada nilai-nilai Al-Quran dan Al-Hadits.
Suharsimi Arikunto mengajukan tiga istilah dalam pembahasan evaluasi yaitu,
pengukuran,
penilaian
dan
evaluasi.
Pengukuran
(measurement)
adalah
membandingkan sesuatu dengan suatu ukuran. Pengukuran ini bersifat kuantitatif.
Penilaian adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik
dan buruk penilaian ini bersifat kualitatif, sedangkan evaluasi mencakup pengukuran
dan penilaian.
Berdasarkan pengertian di atas menunujukan bahwa pengukuran dalam
pendidikan bersifat kongkrit, objektif serta didasarkan pada ukuran-ukuran umum
yang dapat dipahami. Misalnya pelaksanaan shalat. Shalat seseorang itu bisa diukur
dan juga dinilai. Pengukuran shalat didasrkan pada pelaksanaan syarat dan rukunrukunnya maka shalatnya dianggap sah apabila telah terpenuhi syarat dan rukunnya
yang menjadi patokan dan dasar dalam pengukuran tersebut.
Sedangkan penilaian shalat berkaitan dengan adab-adab dalam pelaksanaan
shalat seperti keikhlasan, kekhusuan, dan sebagainya. Penilaian biasanya lebih sulit
daripada pengukuran apabila dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan, dimana yang
berhak menilai sesuatu yang batiniah adalah wewenang Allah. Dalam Al-Quran dan
Al-Hadits banyak kita temui tolak ukur dalam pendidikan islam. Misalnya tolak ukur
shalat yang sempurna adalah dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan
mungkar.
Terdapat makna evaluasi dalam Al-Quran, diantaranya:
5
Al-Hisab
Memiliki makna mengira, menafsirkan menghitung, dan menganggap,
misalnya dalam Al-Quran :
“Dan
jika
kamu
melahirkan
apa
yang
ada
dihatimu
atau
kamu
menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatan itu. Maka Allah akan mengampuni bagi siapa yang dikehendaki” (Q.S AlBaqarah : 284)
Al-Bala
Memiliki makna cobaan ujian. Misalnya dalam al-quran:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”,
Al-hukm
Memiliki makna putusan atau vonis misalnya dalam al-quran surat an-naml ayat 78
“Sesungguhnya Tuhanmu akan menyelesaikan perkara antara mereka dengan
keputusan-Nya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
Al- qodo
Memiliki arti putusan misalnya dalam al-quran surat toha ayat 72, mereka
berkata: “Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang
nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah
menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.
Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja.
An-Nazhar
Memilki makna melihat misalnya dalam Al-Quran surat An-Namal ayat 27,
berkata Sulaiman: “Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orangorang yang berdusta.
Muhasabah
Muhasabah berasal dari kata hasibah yang artinya menghisab atau
menghitung. Dalam penggunaan katanya, muhasabah diidentikan dengan menilai diri
sendiri atau mengevaluasi, atau introspeksi diri. Sebagaimana firman Allah: “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
[Q.S.Al-Hasyr
(59):18].
Adapun
hadist
lainnya:
Umar
r.a.
6
mengemukakan:“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah
(bersiaplah) kalian untuk akhirat (yaumul hisab).
B. Evaluasi Kasus-Kasus Pelanggaran HAM dan Problematika HAM Masa
Kontemporer
1. KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM DALAM PERSFEKTIF THEORY
a. Pelanggaran Genosida
Kata genosida pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia,
Raphael Lemkin, pada tahun1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe
yang diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani genos (ras,
bangsa atau rakyat) dan bahasa Latin caedere (pembunuhan). Genosida adalah
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan ataumemusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa,ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan
cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental
yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok
yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atauseluruhnya; melakukan
tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkansecara paksa anak-anak
dalam kelompok ke kelompok lain.
Penyelidikan tentang Pelanggaran HAM Yang Berat
Penyelidikan terhadap Pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh:
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dalam UU No. 26 tahun 2000,
pelanggaran HAM yang berat juga dapat diselesaikanmelalui Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR). Tahun 2004 diundangkan UU No.27 Tahun 2004 tentang KKR
yang mempunyai tugas menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu dan
menciptakan rekonsiliasi. Namun UU ini bertentangandengan norma-norma hukum
internasional dan merugikan kepentingan korban,sehingga dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi.
Di berbagai negara, KKR merupakan komisi yang mempunyai mandat
khususdiantaranya untuk menyelidiki berbagai kasus-kasus HAM yang terjadi,
7
memberikan rekomendasi untuk adanya penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi
termasuk
penuntutan pelaku, refomasi institusi yang mendukung terjadinya
pelangaran HAM dan pemulihan kepada korban.Mahkamah Pidana Internasional
Mahkamah Pidana Internasional merupakan lembaga permanen dan mempunyai
kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksinya atas orang-orang (pelaku) untuk
kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional. Dibentuk dengan dasar
bahwasampai saat ini masih berlangsung kekejaman yang mengguncangkan nurani
umatmanusia sehingga mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia.
Selain itu juga upaya untuk memutuskan rantai kekebalan hukum (impunity)
bagi para pelakukejahatan.Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional :Kejahatankejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah adalah: 1) genosida; 2)
kejahatan terhadap kemanusiaan; 3) kejahatan perang; dan; 4) kejahatan
agresi.Hubungan Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan (HAM)
Nasional :Mahkamah Pidana Internasional adalah peradilan yang bersifat sebagai
komplementer dari yurisdiksi domestik (pengadilan nasional), artinya mahkamah
pidana internasionalhanya berwenang untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang
menjadi yuridiksinya apabila suatu negara tidak mampu (unable) atau mau (unwilling)
mengadili kejahatan-kejahatan tersebut. Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional
terkait dengan hak-hak korban : Mahkamah pidana internasional mempunyai
kewenangan untuk menetapkan prinsip - prinsip yang berkenaan dengan ganti rugi
kepada, atau berkenaan dengan, korban,termasuk restitusi, kompensasi dan
rehabilitasi.
b. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Perbudakan ”
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, definisi perbudakan dapat
kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang, di dalam penjelasan umum dijelaskan definisi dari perbudakan
sebagai berikut “Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang
lain. Praktik serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam
kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan
yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun
orang tersebut tidak menghendakinya.”
Di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang, perbudakan merupakan salah satu bentuk ekploitasi manusia
8
yang menjadi salah satu tujuan perdagangan orang (lihat Pasal 1 angka 1, dan angka
7). Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Tindak Pidana Perdagangan Orang juga disebutkan bahwa perdagangan orang adalah
bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah
satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.
Pelaku perbudakan dapat dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yang berbunyi: (1)
Setiap
orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan,
penculikan,
penyekapan,
pemalsuan,
penipuan,
penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat
walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang
lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik
Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00
(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah). (2)
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selain itu, jika melibatkan anak sebagai korban perbudakan, maka pelaku
perbudakan dapat dijerat dengan Pasal 74 ayat (2) huruf a jo Pasal 183 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”):
Pasal 74 (2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1)
meliputi:
segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
Pasal 183(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak
pidana kejahatan.
9
Dalam aspek perlindungan pekerja anak dari perbudakan, sebagai anggota
Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau Internasional Labour Organization
(ILO), Indonesia juga meratifikasi Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 yang disetujui
pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ke-87 tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa
melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention
No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the
Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan
Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak).
Negara anggota ILO yang mengesahkan konvensi ini wajib mengambil tindakan
segera dan efektifuntuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak, yakni salah satunya adalah segala bentuk perbudakan
atau praktek sejenis perbudakan.
Di samping peraturan perundang-undangan yang telah kami sebutkan, larangan
perbudakan manusia juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Mengatur sebagai berikut: “Hak. untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun.” Kemudian, di dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. dinyatakan:
a) Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.
b) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan
segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.”\
c. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Aborsi ”
Menurut Encyclopedia Britania “ The American College Of Obstericians and
Gyneologist “ ada dua jenis aborsi:
1. Accident abortion, yaitu penghentian kehamilan sebelum kematangan yang
terjadi selama alami, tanpa perlakuan medis.
10
2. Therapeutic abortion, artinya bahwa penghentian kehamilan melakukan
perlakuan tenaga medis, melalui operasi atau penggunaan RU486 atau beberapa
terapi lainnya.
Sedangkan beberapa kelompok masyarakat yang pro kehidupan mendifinisikan
aborsi sebagai sebuah tujuan untuk menghalangi proses perkembangan yang dari
waktu ke waktu konsepsi hingga melahirkan. Adapun Aborsi menurut beberapa
pandangan aspek, diantaranya:
Aspek perspektif HAM
Ditinjau dari perspektif HAM, seorang wanita mempunyai hak untuk
memperoleh pelayanan aborsi karena merupakan bagian dari hak kesehatan
reproduksi yang sangat mendasar. Aborsi merupakan suatu kebutuhan yang tidak
dapat dihindari bagi wanita yang tidak menginginkan kehamilannya karena adanya
beberapa alasan seperti kegagalan akibat penggunaan kontrasepsi, atau memang
sengaja tidak menggunakan kontrasepsi,. kehamilan yang diakibatkan karena
kekerasan seksual seperti pemerkosaan.
Program Aksi ICPD Cairo secara specifik menyatakan bahwa abortsi tidak harus
digunakan sebagai metode KB. Bagaimanapun juga ketika wanita tidak mempunyai
akses untuk mendapatkan metode KB yang sesuai dan tersedia dan tidak mampu
membayar, maka banyak orang yang menggunakan aborsi sebagai metode untuk
mengatur kelahiran.5
Aspek Hukum Indonesia
Hukum yang ada di Indonesia seharusnya mampu menyelamatkan ibu dari
kematian akibat tindak aborsi tak aman oleh tenaga tak terlatih (dukun). Ada lebih
dari 3 aturan aborsi di Indonesia yang berlaku hingga saat ini yaitu:
1. Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan
melanggar hukum. Sampai saat ini masih diterapkan.
2. Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
11
3. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang menuliskan dalam
kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi).
4. PP No 61 Tahun 2014 tentang pelegalan aborsi bagi korban perkosaan
5. Pasal 299 KUHP (1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau
menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa
karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh
lima ribu rupiah..
Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia
seorang tabib, bidan atau juruobat, pidananya dapat ditambah sepertiga (3) Jika
yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya,
dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu.
6. Pasal 346 KUHP. Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
7. Pasal 348 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan
pidana penjara paling lama tujuh tahun..
Aspek Agama
Dari sudut pandang agama Islam, pertama : Al-Qur’an dan Aborsi: Manusia berapapun kecilnya - adalah ciptaan Allah yang mulia. Agama Islam sangat
menjunjung tinggi kesucian kehidupan. Banyak sekali ayat-ayat dalam Al Qur’an
yang menerangkan tentang larangan aborsi. Salah satunya, Allah berfirman: “Dan
sesungguhnya Kami telah memuliakan umat manusia.”(QS 17:70). Didalam agama
Islam, setiap tingkah laku kita terhadap nyawa orang lain, memiliki dampak yang
sangat besar. Firman Allah: “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan
karena sebab-sebab yang mewajibkan hukum qishash, atau bukan karena kerusuhan di
12
muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang
siapa yang memelihara keselamatan nyawa seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara keselamatan nyawa manusia semuanya.” (QS 5:32)
Aspek Sosial Budaya
Aborsi dipandang sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan norma dan etika
budaya ketimuran, karena budaya timur masih memegang kuat agamanya.
Pada saat yang sama, aborsi dapat menyebabkan masalah dalam keluarga yang
merupakan bagian dari masyarakat. Faktanya adalah bahwa sangat penting bagi
seorang wanita untuk memiliki suasana yang mendukung dari bagian dari kerabat
terdekat, yakni suami dan orangtua. Spesialis sangat merekomendasikan mengambil
keputusan aborsi oleh kedua pasangan yang dapat membuat keluarga kuat sedangkan
perselisihan dapat mengakibatkan perceraian.Jadi peran keluarga dalam mengambil
keputusan tidak kurang penting dibandingkan pengaruh masyarakat atau keyakinan
pribadi.
Dengan mempertimbangkan semua ,perlu untuk mengatakan bahwa aborsi,
menjadi fenomena sosial, memiliki banyak lawan serta pendukung tetapi hanya
sebagian kecil yang cukup radikal dan siap untuk menyangkal titik pandang yang
berlawanan. Sebagian besar siap untuk menerima aborsi walaupun dalam kondisi
tertentu. Ini berarti bahwa aborsi harus disahkan tetapi pada saat yang sama harus
diatur secara ketat agar tidak membahayakan kesehatan wanita atau anak-anak mereka
Aborsi dalam pandangan masyarakat Indonesia merupakan negara memiliki
nilai dan norma yang sangat tinggi. Masyarakat Indonesia masih memegang tinggi
nilai dan norma dalam kehidupan. Sebenarnya salah satu penyebab tingginya aborsi di
masyarakat kita adalah kebiasaan di masyarakat juga. Tekanan masyarakat terhadap
kehamilan diluar nikah juga menjadi salah satu pemicu orang nekad untuk aborsi.
Masyarakat sendiri tidak melihat kehamilan itu sebagai anugerah, tapi justru mencela
dan mengejek sebagai aib. Seandainya masyarakat atau paling tidak orang tua
13
bertindak bijak dengan memberikan support, maka bisa jadi si calon ibu tidak sampai
berpikir pendek dan nekad.
Adanya pengaruh globalisasi yang terjadi di Indonesia, menjadikan remaja
mulai menjadikan kultur negara - negara maju sebagai acuan hidupnya. Terkadang
remaja tidak memfilter apa yang mereka dapat, baik dan buruk nya kultur tersebut
sekedar ditiru saja. Adanya anggapan bahwa budaya barat adalah sesuatu yang hebat
dan lebih modern. Sehingga para remaja beranggapan bahwa, bila tidak menirukan
budaya barat tersebut maka akan dianggap ketinggalan jaman. Misalnya dampak dari
ada nya globalisasi dalah terjadinya pergaulan yang bebas dan terkesan tanpa adanya
kontrol.
Pada awalnya pergaulan bebas belum meluas, sehingga masih terlihat sebagai sesuatu
yang tabu. Namun dengan berjalannya waktu, dan kurang ada nya kontrol terhadap
penetrasi budaya barat tersebut, free sex pun semakin meluas. Sehingga free sex mulai
dianggap sebagai hal yang biasa pada sebagian orang, misalnya pada kota besar atau
metropolitan, free sex mulai menjamur, sehingga akibat dari free sex seperti aborsi
mulai banyak terjadi.
d. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Pembunuhan ”
Pembunuhan dalam bahasa arab disebut dengan istilah al-qatl, yaitu upaya
menghilangkan nyawa seseorang sehingga menyebabkan kematian, baik dilakukan
dengan sengaja maupun tidak, baik memakai alat ataupun tidak. Dibawah ini ada
beberapa Theori terkait pembunuhan:
Aspek hukum
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa
ketentuan yang mengatur tentang pembunuhan, yaitu yang tercantum dalam
pasal-pasal: 338 (pembunuhan biasa) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya
15 tahun penjara, 339 (pembunuhan dengan pemberatan/yang dikualifisir) dengan
ancaman pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara, 340 (pembunuhan berencana)
dengan ancaman pidana setinggi-tingginya pidana mati atau seumur hidup atau 20
tahun penjara, 341 (pembunuhan bayi/anak biasa) dengan ancaman pidana
setinggi-tingginya 7 tahun penjara, 342 (pembunuhan bayi berencana) dengan
ancaman pidana setinggi-tingginya 9 tahun penjara, 343 (untuk mengancam orang
lain/selain ibu yang terlibat pembunuhan bayi) dengan ancaman pidana setinggitingginya sama dengan 338 atau 340, 344 (euthanasia) dengan ancaman pidana
setinggi-tingginya 12 tahun penjara, 345 (mendorong orang lain bunuh diri)
14
dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 4 tahun penjara, 346-349 (aborsi)
dengan ancaman pidana setinggi-tingginya (antara 4 - 12 tahun) penjara, 351 ayat
3 (penganiayaan biasa yang mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman
pidana setinggi-tingginya 7 tahun penjara, 353 ayat 3 (penganiayaan berencana
yang mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 9
tahun penjara, 354 ayat 2 (penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya
orang dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 10 tahun penjara, 355 ayat 2
(penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan matinya orang) dengan
ancaman pidana setinggi-tingginya 15 tahun penjara, 359 (karena kelalaiannya
mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 5
tahun penjara atau satu tahun kurungan.
Dalam kasus pembunuhan sebagaimana terjadi di Patar Selamat, terdapat
beberapa pasal yang mungkin diterapkan, kemungkinan itu adalah pada pasalpasal: 338, 340. Bedanya 340 daripada 338 adalah, 340 didahului dengan adanya
rencana terlebih dahulu, artinya ada kesempatan untuk berpikir dengan tenang,
atau dalam bahasa gampangnya barangkali bisa disebut sebagai bukan
spontanitas.
Kemungkinan lainnya adalah pasal-pasal: 351 ayat (3), 353 ayat (3), 354 ayat (2),
dan 355 ayat (2).Selintas yang penulis baca di Media Bawean, Penyidik
menyangkakan dengan pasal 338. Perlu dipahaami bahwa itu boleh-boleh saja, akan
tetapi nantinya Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan mempelajari lebih lanjut Berita
Acara Pemeriksaan (BAP) dari Penyidik dan JPU akan menentukan dakwaan atas
dasar BAP daripada Penyidik tersebut. Sudah barang tentu JPU tidaak akan hanya
menggunakan satu pasal saja, sebab bila hanya dengan satu pasal, dihawatirkan
dalam pemeriksaan di Pengadilan nanti tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan,
jika itu terjadi, maka terdakwa bisa bebas (vrijspraak), dan dalam kasus tertentu –
tapi bukan dalam kasus di Patar Selamat ini--, bisa jadi terbukti dengan sah dan
meyakinkan tapi bukanlah merupakan tindak pidana, yang ini istilah hukumnya
adalah lepas dari segala tuntutan hukum.
Oleh sebab itu JPU akan menggunakan pasal berlapis sebagai alternatif. Dengan
menggunakan pasal berlapis itu , maka bila satu pasal tidak terbukti dengan sah dan
meyakinkan, masih ada pasal lain yang bisa memback up, misalnya bila
pembunuhan berencana tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan, maka masih
mungkin pembunuhan biasa, dan bila tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan
15
pula, maka masih mungkin penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan
matinya orang, dan seterusnya. Jadi JPU akan menggunakan pasal berlapis dengan
kriteria primer, subsider, lebih subsider, dan seterusnya.
Di dalam memutus perkara hakim akan mempertimbangkan tentang alasan-alasan
yang meringnkan dan memberatkan, misalnya faktor yang meringankan adalah si
pelaku masih muda, menyesali akan perbuatannya, dan sebagainya, sedang alasan
yang memberatkan misalnya karena dilakukan di bulan suci ramadhan,
menggunakan senjata tajam dan sebagainya.
Di samping itu hakim terlebih dahulu akan mempelajari tentang adakah alasan
penghapus pidana? Alasan penghapus pidana tersebut ada yang terdapat dalam
Undang-undang, ada pula yang terdapat di luar Undang-undang (dhi KUHP).
Alasan-alasan penghapus pidana dalam KUHP dapat kita lihat dalam pasal-pasal:44
(kemampuan bertanggung jawab), 45 (belum cukup umur bisa dijatuhi tindakan), 48
(overmacht/daya paksa), 49 (noodwer/pembelaan terpaksa), 50 (melaksanakan
perintah undang-undang), 51 (melaksanakan perintah jabatan). Dalam kasus di Patar
Selamat dalam ketentuan tersebut hanya satu pasal saja yang mungkin terdapat, yaitu
pasal 44, itupun nantinya harus dibuktikan dengan alat bukti yang disebut dengan
keterangan ahli. Hanya saja sepenjang yang penulis baca di media tidak nampak
gejala itu. Perihal gangguan jiwa, dalam KUHP diistilahkan ‘jiwanya cacat dalam
pertumbuhan’ dan ‘sakit berubah akal’ (pasal 44). Jiwanya cacat dalam
pertumbuhan, memang sedari kecil sudah menderita kelainan (kata orang bawean, la
deri paloatan) misalnya idiot, dan sebagainya, sedang sakit berubah akal adalah sakit
jiwa.
Kemungkinan lain yang bisa terjadi, si terdakwa akan berdalih, bahwa ia tidak
bermaksud membunuh, tapi hanya ingin menganiaya saja. Untuk alasan itu maka
hakim perlu mempelajari teori tentang kesengajaan, yang dalam hal itu ada tiga teori
tentang kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai maksud, sebagai sadar kepastian dan
sebagai sadar kemungkinan.
1. Kesengajaan sebagai maksud, adalah memang terdapat hubungan langsung
antara kehendak jiwa dan fakta kejadian, misalnya terdakwa menyatakan,
‘ya…, saya memang bermaksud membunuh oleh sebab.
2. Kesengajaan sebagai sadar kepastian, adalah memang jiwa tidak menghendaki
akibat itu terjadi, tetapi dengan berlaku begitu pasti suatu yang tidak
dikehendaki itu akan terjadi, misalnya si terdakwa mengatakan tidak
16
berkehendak untuk membunuh, tapi, siapapun kalau dipancung pasti hal yang
tidak dikehendakinya itu akan terjadi. (Hal ini tidak terjadi pada kasus di Patar
Selamat).
3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan, adalah memang jiwa tidak
menghendaki akibat itu terjadi, tapi semestinya ia menyadari bahwa jika itu
dilakukan, kemungkinan besar akibat yang tidak dikehendakinya itu akan
terjadi, misalnya terdakwa mengatakan, bahwa ia tidak bermaksud
membunuh, tapi mestinya ia menyadari bila pedang setajam itu ditebaskan
pada bagian badan manusia akan menyebabkan pendarahan yang hebat, dan
dengan demikian kemungkinan besar si korban akan kehabisan daran, yang
tentu akan mengakibatkan kematiannya. Apalagi bila pedang itu mengandung
racun.
Dari situlah hakim akan mengambil kesimpulan dengan apa yang disebut
‘mengobyektifkan’. Jadi walaupun terdakwa mengatakan tidak bermaksud, maka
hakim bisa mengkategorikan sebagai sengaja..
e. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “Penyiksaan/Eksploitasi“
Perspektif HAM Terhadap Anak Jalanan
Negara menempatkan posisi anak dalam kebijakan pembangunan sejajar
dengan isu politik juga ekonomi. Pemerintah tak sepantasnya menempatkan anak
sebagai persoalan domestik. Berdasarkan Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak
Anak, negara berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak anak
tanpa diskriminasi.
Bagaimana kenyataannya? Lihatlah anak jalanan. Berdasarkan catatan
Departemen Sosial (Depsos), jumlah anak jalanan mencapai 39.861 orang dengan
sekitar 48% di antaranya anak yang baru turun ke jalan. Catatan itu diperoleh dari
hasil survei sejak tahun 1998 di 12 kota besar di Indonesia. Secara nasional
diperkirakan terdapat sebanyak 60.000 sampai 75.000 anak jalanan. Depsos juga
mencatat bahwa 60% anak jalanan putus sekolah, 80% masih berhubungan
dengan keluarganya, dan 18% perempuan.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengaku menerima
berbagai pengaduan dengan jumlah anak korban kekerasan yang terus meningkat.
Dari 481 kasus pada 2004 menjadi 736 kasus pada tahun 2005, dan meningkat
17
lagi menjadi 1.124 kasus pada 2006. Jumlah kekerasan terhadap anak-anak ini
hanyalah jumlah yang dilaporkan wilayah sekitar Jabodetabek. Sementara jumlah
kekerasan terhadap anak secara nasional diperkirakan mencapai 72.000 kasus.
Dari berbagai analisis, pemicu terjadinya kekerasan terhadap anak, di
antaranya diakibatkan oleh kekerasan dalam rumah tangga, disfungsi keluarga,
ekonomi, dan pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Penyebab
lainnya, terinspirasi tayangan televisi maupun media-media lain yang tersebar di
lingkungan masyarakat. Yang mengejutkan, 62% tayangan televisi maupun media
lainnya ternyata telah membangun dan menciptakan perilaku kekerasan terhadap
anak.
Pasal 1 ayat 1 UU No 23 tahun 2002 menyebutkan, Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Pasal 1 KHA/Keppres No. 36/1990 menyatakan, Anak adalah setiap
orang yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan UU yang berlaku bagi
yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Senada dengan itu, Pasal
1 ayat 5 UU No. 39/1999 tentang HAM mengatakan, Anak adalah setiap manusia
yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian penuh terhadap
perlindungan anak karena dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28b
ayat 2 disebutkan, Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sedangkan Pasal 34 (1) berbunyi, Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh
negara. Di sisi lain, perlindungan terhadap keberadaan anak ditegaskan secara
eksplisit dalam 15 pasal yang mengatur hak-hak anak dan pasal 52 – 66 UU No.
39/1999 tentang HAM.
Secara umum dapat dikatakan, secara kuantitatif UU sudah memberikan
perlindungan kepada anak-anak. Akan tetapi, implementasi peraturan perundangundangan tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan
antara lain oleh pertama, upaya penegakan hukum masih mengalami kesulitan.
Kedua, harmonisasi berbagai UU yang memberikan perlindungan kepada anak
dihadapkan pada berbagai hambatan. Ketiga, sosialisasi peraturan perundangundangan kepada masyarakat belum sepenuhnya dapat dilakukan dengan baik.
Terakhir, keempat, kebijakan pemerintah lebih banyak berorientasi kepada
18
pemenuhan dan perlindungan hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sayangnya, banyaknya peraturan itu tidak didukung dengan implementasinya.
Harus diakui, keberadaan anak-anak merupakan mayoritas di negeri ini.
Karenanya diperlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan
mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi anak
belum sepenuhnya terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi
bagi kehidupan diri dan keluarganya. Berbagai bukti empiris menunjukkan bahwa
masih dijumpai anak-anak yang mendapat perlakuan yang belum sesuai dengan
harapan. Kendalanya antara lain, kurangnya koordinasi antarinstansi pemerintah,
belum terlaksananya sosialisasi dengan baik, dan kemiskinan yang masih dialami
masyarakat.
Aspek Perspektif Pancasila terhadap kasus eksploitasi anak
Menurut Undang-Undang RI No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Anak memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut : Bab III tentang Hak Anak, Pasal
4: “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi
secara wajar sesuai harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”.
Mungkin agak ketinggalan jika saya membahas hal ini, namun permasalahan ini
masih tetap abadi di tanah air kita. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan
Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat,
martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar
1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi
kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi
penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak hidup, tumbuh, dan
berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan
diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Seharusnya penghormatan terhadap Hak
Asasi Manusia dalam hal ini Hak – Hak Anak, merupakan suatu keharusan dan tidak
perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Namun, sungguh
disayangkan kenyataannya justru sebaliknya.
19
Di era serba semrawut ini, eksploitasi anak marak terjadi. Eksploitasi anak dan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan masalah yang kompleks,
berdimensi sosial, ekonomi dan budaya. Dari data statistik, sekira 6 % anak Indonesia
usia 10-14 tahun, atau tak kurang dari 1,6 juta anak jadi bagian dari angkatan kerja.
Data Organisasi Buruh Internasional (ILO) lebih heboh lagi. Di Indonesia
diperkirakan lebih dari 4,2 juta anak terlibat dalam pekerjaan berbahaya atau berisiko
tinggi. Sekira 1,5 juta diantaranya adalah anak perempuan. Sedangkan data hasil
survei Universitas Indonesia dan Program Penghapusan Buruh Anak ILO,
mengungkap, dari sekira 2,6 juta Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Indonesia saat
ini, 34,83 % diantaranya anak-anak, dan 93 % diantaranya adalah anak perempuan.
Pancasila tidak memberikan ruang untuk eksploitasi anak-anak. Pancasila, pada
sila kedua berbunyi: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kemanusiaan berasal dari
kata manusia, yakni makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa,yang memiliki potensi,
pikir, rasa, karsa dan cipta. Karena potensi ini manusia mempunyai dan menempati
kedudukan dan martabat yang tinggi. Kata adil mengandung makna bahwa suatu
keputusan dan tindakan didasarkan atas ukuran/norma-norma yang obyektif, dan tidak
subyektif sehingga tidak sewenang-wenang. Kata beradab berasal dari kata adab,
artinya budaya. Jadi adab mengandung arti berbudaya, yaitu sikap hidup, keputusan
dan tindakan yang selalu dilandasi oleh nilai-nilai budaya, terutama norma sosial dan
kesusilaan/moral. Jadi, kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung pengertian
adanya kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan kepada potensi budi
nurani manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya.
Salah satunya butir Pancasila sila 2 mengatakan bahwa kita harus mengakui dan
memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa. Ini mengindikasikan bahwa Pancasila sangat menentang
eksploitasi anak (child exploitation). Sebab perbuatan tersebut merupakan sikap yang
tidak adil dan tidak beradab terhadap anak yang juga memiliki hak untuk hidup
sejahtera seperti rakyat Indonesia pada umumnya. Disamping itu, konsitusi Pancasila
melarang keras melibatkan dan keterlibatan anak dalam dunia yang penuh dengan
kekerasan, baik itu kekerasan mental maupun kekerasan fisik.
Makna adil yang telah disebutkan di atas cukup membuat saya berpikir. Suatu
keputusan diambil dengan ukuran objektivitas sehingga tidak menimbulkan
20
kesewenang-wenangan. Keputusan untuk “mempekerjakan” anak pasti merupakan
keputusan yang sulit bagi orang tua manapun. Namun sungguh benar-benar tidak adil
apabila orang tua merenggut dunia anak-anak mereka, hanya demi alasan ekonomi.
Seharusnya asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa semua tindakan
yang menyangkut anak yang dilakukan orang tua berorientasi pada kepentingan yang
terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang utama. Selain itu orang tua juga
harus menghargai asas penghargaan terhadap pendapat anak, yaitu penghormatan atas
hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan
keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.
Namun, karena sekarang eksploitasi anak semakin merajalela, sudah sewajarnya
apabila upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari
janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bagaimana
peran pemerintah, masyarakat dan orang tua dalam mengatasi eksploitasi pada anak.
Sebagai regulator pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam
menetapkan kebijakan yang menguntungkan dan berpihak pada penegakan hak asasi
manusia terutama hak anak. Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pihak
yang mengeksploitasi anak dapat dikenakan pidana yang sesuai dan adil.
Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan
komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan
kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
a) Nondiskriminasi
b) Kepentingan yang Terbaik Bagi Anak;
c) Hak untuk hidup,kelangsungan hidup,dan perkembangan;dan
d) Penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran
masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha,
media massa, atau lembaga pendidikan. Tujuan dari perlindungan anak ini adalah
untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
21
Jadi, pada dasarnya proses mencapai kesejahteraan haruslah dengan cara-cara
yang berperikemanusiaan. Apapun yang terkandung di dalam proses-proses tersebut
harus etis dan tidak boleh merugikan manusia individual manapun, jangan sampai kita
mengeksploitasi anak hanya demi kepentingan diri kita masing-masing, karena
eksploitasi anak merupakan tindakan yang sangat tidak berkemanusiaan.
Aspek Psikologis
Dalam aspek psikologi masa kanak-kanak merupakan periode perkembangan
yang terjadi mulai akhir masa bayi hingga sekitar usia 5 atau 6 tahun; kadang periode
ini disebut tahun-tahun prasekolah. Selama waktu tersebut, anak kecil belajar menjadi
mandiri dan merawat diri sendiri, mereka mengembangkan keterampilan kesiapan
sekolah (mengikuti perintah, mengenali huruf) dan mereka menghabiskan waktu
berjam-jam untuk bermain dengan teman sebaya. Kelas satu Sekolah Dasar biasanya
menandai berakhirnya periode ini. Masa Kanak-kanak tengah dan akhir (middle and
late childhood) merupakan periode perkembangan yang dimulai dari sekitar usia 6
hingga usia 11 tahun; kadang periode ini disebut periode sekolah dasar. Anak
menguasai keterampilan membaca, menulis, aritmatik, dan mereka secara formal
dihadapkan pada dunia yang lebih besar dan budayanya. Prestasi menjadi tema sentral
yang lebih dari dunia anak, dan kontrol diri meningkat.
Papalia (1995), seorang ahli perkembangan manusia dalam bukunya Human
Development, mengatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dunia
anak-anak adalah dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot
tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya, mengeksplorasi dunia sekitarnya,
menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti apa diri
mereka sendiri. Dengan bermain, anak-anak menemukan dan mempelajari hal-hal
atau keahlian baru dan belajar (learn) kapan harus menggunakan keahlian tersebut,
serta memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya (need). Lewat bermain, fisik anak
akan terlatih, kemampuan kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain
akan berkembang. Selain itu bermain juga didefinisikan sebagai semua kegiatan anak
yang dirasakan olehnya menyenangkan dan dinikmati (pleasurable and enjoyable).
Telah disebutkan di atas bahwa dunia anak adalah dunia bermain, namun
sayang sekali dewasa ini banyak anak yang kehilangan dunia bermainnya karena
22
dieksploitasi. Eksploitasi dalam kamus ilmiah berarti pemerasan atau penarikan
keuntungan secara tidak wajar. Eksploitasi terhadap anak adalah mempekerjakan
seorang anak dengan tujuan ingin meraih keuntungan. Eksploitasi anak dapat berupa:
Eksploitasi ekonomi, penyalahgunaan narkoba, eksploitasi & kekerasan seksual,
penjualan, perdagangan & penculikan anak,eksploitasi dalam bentuk lain. Faktorfaktor adanya eksploitasi anak antara lain :
1. Tekanan ekonomi. Karena tekanan ekonomi ini orangtua memaksa anaknya untuk
menghidupi sendiri dan memenuhi kebutuhan sekolah sendiri.
2. Tekanan psikologis. Beberapa mengalami stres karena kurang kasih sayang,
diacuhkan orang tua dan merasa orang tua mereka terlalu banyak aturan yang
menekan perasaan mereka sama sekali tidak ada kebebasan.
Sedangkan tekanan dari luar yang mendukung mereka ketika mendapatkan
tekanan dari rumah:
1. Pengaruh teman-teman sekolah yang mulai mengenalkannya dengan diskotik.
2. Pengaruh teman-teman kerja (pabrik, pub, billyard) yang mengenalkan pada kerja
tambahan untuk mendapatkan uang lebih dengan menemani para tamu untuk
minum atau ngedrug.
3. Dijebak baik oleh teman sendiri, dengan menawarkan pekerjaan. Eksploitasi anak
mempunyai dampak yang sangat buruk dikemudian hari.
Eksploitasi anak-anak dapat berakibat buruk terhadap perkembangan jiwa
meraka, karena meraka bekerja pada lingkungan orang dewasa. Hal ini seharusnya
menjadi pelajaran bagi kita semua khususnya pemerintah jangan cuma memperingati
hari anak nasional yang jatuh pada 22 juli dengan seremonial yang mungkin memakan
biaya yang cukup banyak tapi mari kita merenung dan menatap kebelakang
bagaimana kondisi generasi penerus bangsa. Semua orang pasti menggiginkan yang
terbaik untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, berikanlah yang terbaik untuk mereka.
Jangan biarkan mereka kepanasan ditengah teriknya sang mentari yang dihiasi dengan
gumbalan asap kendaraan, tetapi biarkanlah mereka dengan dunianya sendiri, dunia
yang penuh dengan keceriaan dan beraneka macam permainan. Biarkan mereka
dengan sejuta mimpinya untuk menatap hari esok yang lebih baik.
f. Pelanggaran Kejahatan terhadap Kemanusiaan “ Pencemaran Nama Baik “.
23
Aspek Hukum
Dalam
KUHP
pencemaran
nama
baik
diistilahkan
sebagai
penghinaan/penistaan terhadap seseorang, terdapat dalam Bab XVI, Buku I
KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318
KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang, secara
umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1),Pasal 315, Pasal 317 ayat (1)
dan Pasal 318 ayat (1) KUHP yang menyebutkan :Pasal 310 ayat satu (1)
Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan
menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan
tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-. (2)
Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,dipertunjukan
pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista
dengan
tulisan
dengan
Binbangkum 3 selama-lamanya
hukuman
satu
penjara Sie
tahun
empat
Infokum
bulan
atau
Ditama
denda
sebanyakbanyaknya Rp 4.500,-. (3) Tidak termasuk menista atau menista dengan
tulisan, jika ternyata bahwa sipembuat melakukan hal itu untuk kepentingan
umum atau lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri.
Adapun rincian pendukungnya dibawah ini:
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang dalam Pasal 27 ayat [3] UU ITE menyatakan: “Setiap Orang
dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik.”
Pasal 45 ayat (1) UU ITE ditentukan bahwa: “Setiap Orang yang memenuhi
unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Pasal 311 ayat (1) UU ITE: Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau
menista dengan tulisan,dalam ha