BAB II PENYALAHGUNAAN DANA HIBAH BANTUAN SOSIAL DITINJAU DARI UU NO. 31 TAHUN 1999 Jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia - Analisis Yuridis Terhadap Putusan Bebas

A. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

Kompleksitas tindak pidana korupsi, tidak saja menuntut pembaharuan metode pembuktiannya, tetapi telah menuntut dibentuknya suatu lembaga baru di dalam upaya pemberantasannya. Di Indonesia korupsi sudah menjadi suatu masalah yang serius dan sangat memprihatinkan. Dapat dikatakan demikian karena korupsi sudah menggerogoti dan masuk hampir disetiap lapisan masyarakat, bahkan institusi negara yang seharusnya mengabdi dan bekerja melayani masyarakat tidak kalah hebatnya dalam melakukan perbuatan tersebut.

Mulai dari nominal yang kecil hingga nominal yang sangat besar, dengan cara yang terorganisir maupun secara individu. Peningkatan kasus korupsi yang semakin tinggi ini bukan hanya memberikan dampak yang buruk pada sektor perekonomian saja, karena secara luas juga dapat memberikan dampak sosial yang buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak dari masyarakat Indonesia yang masih berada dibawah garis kemiskinan, infrastruktur yang masih sangat tertinggal, dan pendidikan yang masih jauh dari harapan, namun banyak dari pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi yang sehingga menghambat pertumbuhan bangsa dan negara.

Hal ini dapat memicu adanya kesenjangan ekonomi yang sangat kentara dan mengakibatkan angka kriminalitas meningkat. Hal ini jelas merupakan gambaran nyata akan korupsi yang dapat mengancam kelangsungan kehidupan Hal ini dapat memicu adanya kesenjangan ekonomi yang sangat kentara dan mengakibatkan angka kriminalitas meningkat. Hal ini jelas merupakan gambaran nyata akan korupsi yang dapat mengancam kelangsungan kehidupan

Berbagai upaya telah dilakukan dalam usaha memberantas tindak pidana korupsi, baik yang bersifat preventif maupun represif 56 . Bahkan peraturan

perundang-udangan korupsi sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan, sejak diberlakukannya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957 tentang Pemberantasan Korupsi kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya diubah oleh Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001. 57

Tujuan pemerintah dan pembuat undang-undang melakukan revisi atau mengganti produk legislasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai

56 Ridwan, Huk um Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press 2003) hlm 14. Preventif , merupakan suatu pengendalian sosial yang dilakukan untuk mencegah kejadian yang

belum terjadi. Atau merupakan suatu usaha yang dilakukan sebelum terjadinya suatu pelanggaran . Represif , merupakan suatu pengendalian sosial yang dilakukan setelah terjadinya suatu pelanggaran. Atau, merupakan usaha-usaha yang dilakukan setelah pelanggaran terjadi

. Chaerudin, Strategi Pencegahan dan Penegak an Huk um Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hlm 17 . Chaerudin, Strategi Pencegahan dan Penegak an Huk um Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hlm 17

1. Peraturan Tindak Pidana Korupsi sebelum lahirnya Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999

a) Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tanggal 6 April 1957

Atas dasar perlunya keleluasaan bagi penguasa untuk bertindak terhadap para pelaku korupsi, pada tanggal 9 April 1957 Kepala Staf Angkatan Darat, selaku penguasa militer pada waktu itu, mengeluarkan peraturan Nomor Prt/PM-

06/1957. 58 Pada bagian konsideran Peraturan Penguasa Militer itu tergambar adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan pemberantasan tindak pidana

korupsi yang mengalami kemacetan. 59 Peraturan Penguasa milter ini merupakan cikal bakal peraturan perundang-undangan pidana khusus tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi di Indonesia.

Rumusan Korupsi menurut peraturan perundangan-undangan ini dikelompokkan menjadi dua, yakni: 60

1) Tiap Perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk

58 Elwi Danil, Op Cit, hlm 29. 59 Konsideran Peraturan Penguasa Militer itu pada bagian menimbang, menegaskan

bahwa dengan tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantasa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dianamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobs kemacetan dalam usaha memberantas korupsi.. dan seterusnya.

60 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuk tian Terbalik dalam Delik Korupsi (Bnadung: CV. Mandar Maju, 2009), hlm 12 60 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuk tian Terbalik dalam Delik Korupsi (Bnadung: CV. Mandar Maju, 2009), hlm 12

2) Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan memperguanakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau material baginya.

Peraturan penguasa militer ini ternyata kemudian dirasakan belum cukup efektif, sehingga perlu dilengkapi dengan peraturan lain tentang penilikan harta benda.

b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Rumusan tindak pidana korupsi menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 “Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangkan oleh bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Rumusan sebagaimana tersebut diatas mensyaratkan bentuk kesalahan pro parte culpa, artinya bentuk kesalahan disini tidak hanya disyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan berupa patut disangka dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, sudah dapat menjerat Rumusan sebagaimana tersebut diatas mensyaratkan bentuk kesalahan pro parte culpa, artinya bentuk kesalahan disini tidak hanya disyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan berupa patut disangka dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, sudah dapat menjerat

perbuatan yang dapat dohukum, yaitu “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan”. 62

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 memformulasikan tindak pidana korupsi hanya dalam satu pasal, yaitu pasal 1 yang terdiri dari 2 ayat dan 5 sub

ayat. 63

Pasal 1 ayat (1) tersebut merumuskan tindak pidan korupsi ialah:

a. Barang siapa melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang laun, atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan negara atau perekonomian negara;

c. Barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209,210,387,388,415,416,417,418,419,420,423,425, dan 435 KUHP;

d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau

61 Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Bandung: CV Mandar Maju, 2010), hlm 38-39

62 63 Ibid Elwi Danil, Op Cit, hlm 37 62 63 Ibid Elwi Danil, Op Cit, hlm 37

e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat- singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418,419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

Sedangkan didalam Pasal 1 ayat (2) dirumuskan, barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a,b,c,d,e pasal ini.

Pada Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 terlihat adanya rumusan secara tegas mengenai unsur melawan hukum, yang secara tekstual berlainan dengan unsur yang ada dalam undang-undang korupsi sebelumnya. Unsur melawan hukum dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 itu memuat pengertian yang luas, yang mengandung pengertian melawan hukum formal dan materiil.

Pengaturan mengenai sanksi pidana perbutan tindak pidana korupsi pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, diatur didalam BAB V pada Pasal 28,29,30,31,32,33,34, dan 35.

28 : “Barangsiapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud Pasal 1 ayat (1) sub a, b, c, d, e dan ayat (2)Undang-undang ini, dihukum dengan

Pasal

hukuman penjara seumur hidup atau penjaraselama-lamanya 20 tahun dan/ atau denda setinggi-tingginya 30 (tiga puluh) juta rupiah. Selain dari pada itu dapat hukuman penjara seumur hidup atau penjaraselama-lamanya 20 tahun dan/ atau denda setinggi-tingginya 30 (tiga puluh) juta rupiah. Selain dari pada itu dapat

Pasal 29 : “Barang siapa dengan sengaja menghalangi, mempersulit, secara langsung tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka Pengadilan terhadap terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun dan/atau denda setinggi- tingginya 5 (lima)juta rupiah. ”

Pasal 30 :”Barang siapa yang menurut Pasal 6, 7, 8, 9, 18, 20, 21, dan 22 Undang-undang ini wajib memberi keterangan dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun dan/atau denda setinggitingginya 5 (lima) juta rupiah.”

Pasal 31 : ”Saksi yang tidak memenuhi ketentuan termaksud Pasal 10 dan

19 Undang-undang ini diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 3 tahun dan/atau denda setinggi- tingginya 2 (dua) juta rupiah.”

Pasal 32 : “Pelanggaran Pasal 220, 231, 421,422, 429 dan Pasal 430 K.U.H.P. dalamperkara korupsi diancam dengan hukuman penjara selama- lamanya 6 (enam) tahundan/atau denda setinggi- tingginya 4 (empat)juta rupiah.”

Pasal 33 : “Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman yang tersebut dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 32 Undang-undang ini adalah

kejahatan.”

Pasal 34 : “Selain ketentuan-ketentuan Pidana yang dimaksud dalam K.U.H.P. maka sebagai hukuman tambahan adalah:

a. perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan yang tak berujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan tindak pidana korupsi itu, begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan;

b. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan tak berujud yangtermaksud perusahaan si terhukum, dimana tindak pidana korupsi itu dilakukan begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan,akan tetapi tindak pidananya bersangkutan dengan barang- barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub a pasal ini.

c. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi.

Pasal 35 :

1) Perampasan barang-barang bukan kepunyaan si terhukum tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga dengan iktikad baik akan terganggu.

2) Jika didalam putusan perampasan barang-barang itu termasuk juga barang-barang pihakketiga yang mempunyai iktikad baik, maka mereka ini dapat mengajukan suratkeberatan terhadap perampasan barangbarangnya kepada Pengadilan yangbersangkutan, dalam waktu tiga bulan setelah pengumuman Hakim

Konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menegaskan latar belakang pemikiran pembuat undang-undang untuk memposisikan undang- undang tersebut sebagai instrumen hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi. Pembuat undang-undang memberikan penegasan bahwa perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/perekonmian negara dan menghambat pembangunan nasional, sementar udang-undang yang ada kurang mencukupi

sebagai sarana untuk memberantas tindak pdana korupsi. 64

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 itu sendiri dianggap oleh penegak hukum memiliki beberapa kelemahan, sehingga perlu diganti. Disamping tidak adanya ketegasan mengenai sifat rumusan tindak pidana korupsi sebagai delik formal, tidak adanya ketentuan yang daapt diterapkan terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi (coruptie criminal liability) tercatat sebagai kelemahan yang dimiliki oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.

Kelemahan lain yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah mengenai sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (dua puluh tahun) dan minimum umum (satu hari), sehingga Jaksa

64 Ibid, hlm 39

Penuntut Umum dan Hakim dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum umum dan maksimum umum itu. Kewenagan diskresi dalam menentukan sanksi pidana ini dapat menyinggung rasa keadilan masyarakat, karena ternyata dalam praktik terdapat kasus korupsi yang hanya dijatuhi pidana dibawah satu tahun, padahal tindak pidana korupsi itu sendiri memiliki dampak yang luas terhadap kesejahteraan masyarakat.

Secara praktis kehadiran undang-undang baru itu dapat dilihat sebagai suatu upaya untuk meningkatkan efek pencegahan (deterrent effect) yang lebih besar bagi pelaku potensial. Dari segi kebutuhan secara praktis dalam proses penegakan hukum pidana, oleh karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dianggap sudah tidak lagi efektif, maka ia sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan. Atas dasar pertimbangan demikian, dibentuklah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Pembentukan undang- undang baru tersebut untuk menutupi kelemahan yang terdapat didalam Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971.

2. Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

a. Perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana korupsi

Keberadaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sebagai instrumen hukum pidana untuk memberantas Keberadaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sebagai instrumen hukum pidana untuk memberantas

Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu: 65

a. Aspek hukum yang membedakan antara Undang-Undnag Nomor 31 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah dirumuskannya secara eksplisit tindak pidana korupsi sebagai delik formal, sehingga dengan demikian

keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan pidana terhadap terdakwa;

b. Diterapkannya konsep ajaran melawan hukum materiil (materiele

wederrechttelijkheid) dalam fungsinya secara positif;

c. Adanya pengaturan korporasi sebagai subjek hukum disamping perseorangan;

d. Adanya pengaturan tentang wilayah berlakunya atau yurisdiksi kriminal yang

dapat diberlakukan keluar batas teritorial Indonesia;

e. Adanya pengaturan tentang sistem pembalikan beban pembuktian terbatas atau berimbang atau “balanced burden of prof” dalam Pasal 37 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999;

f. Adanya pengaturan tentang ancaman pidana dengan sistem minimum khusus disamping ancaman maksimum;

g. Diintroduksikannya ancaman pidana mati sebagai unsur pemberatan;

65 Elwi Danil, Op Cit, hlm 47 65 Elwi Danil, Op Cit, hlm 47

i. Adanya pengaturan tentang penyidikan kedalam rahasia bank yang lebih luas

yang diawali dengan pembekuan rekening tersangka/terdakwa, yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan;

j. Adanya pengaturan tentang peran serta masyarakat sebagai saran kontrol

sosial yang di pertegas dan di perluas, sehingga perlindungan hukum terhadap saksi pelopor lebih optimal dan efektif;

k. Adanya pengaturan yang mengamanatkan kepada undang-undang untuk

membentuk sebuah Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat independen.

l. Adanya pengakuan secara eksplisit menyebutkan korupsi sebagai “extra

ordinary crime” yakni kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa;

m. Dirumuskannya gratifikasi sebagai salah satu bentuk tindak pidanan korupsi; n. Penganutan sistem pembalikan beban pembuktian (omkering van de

bewijslast) secara terbatas; o. Perluasan sumber alat bukti petunjuk yang dapat diperoleh dari informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak saja telah menyatakan dengan tegas bahwa tindak pidana korupsi sebagai delik formil, tetapi telah bewijslast) secara terbatas; o. Perluasan sumber alat bukti petunjuk yang dapat diperoleh dari informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak saja telah menyatakan dengan tegas bahwa tindak pidana korupsi sebagai delik formil, tetapi telah

Dikatakan sebagai delik formil bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana, jika perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang tanpa harus menimbulkan akibat yang merugikan. Jadi meskipun perbuatan itu belum sampai menimbulkan akibat yang merugikan

keuangan negara, maka pelakunya sudah dapat dihukum 67 . Demikian pula meskipun hasil dari perbuatan korupsi telah dikembalikan kepada negara, akan

tetapi menghapus sifat melawan hukum perbuatan tersebut dan pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan di pidana.

Sedangkan pengertian sifat melawan hukum formil dan materiil, adalah perbuatan tersebut tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku, tetapi juga merupakan perbuatan tercela dan bertentangan dengan perasaan keadilan masyarakat. Hal ini dirumuskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 sebagai berikut: 68 “Bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan hukum, dalam pengertian

formil dan materiil, bilamana tindak pidana korupsi tersebut mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat

harus dituntut dan dipidana”.

66 Chaerudin, Strategi Pencegahan & Penegak an Huk um Tindak Pidana Korupsi, (Bandung; PT Refika Aditama 2008), hlm. 6.

67 Muchtar Lubis dan James C. Scott, Bungan Rampai Korupsi, (Jakarta: LP3ES, 1995), hlm. 122

68 Ibid hlm 6

Beberapa pertimbangan pembuat undang-undang mencantumkan unsur melawan hukum dalam perngertian formil maupun materil didalam Undang- undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah: Pertama, Korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai extraordinary crime, maka pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa. Kedua, dampak dari tindak pidana korupsi selama ini, selain merugikan keuangan dan perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efesiensi tinggi; dan Ketiga, dalam upaya merespon perkembangan kebutuhan hukum didalam masyarakat, agar dapat lebih memudahkan di dalam pembuktian, sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih (sophisticated) dan rumit.

Marwan Mas mengklasifikasikan setidaknya ada 7 (tujuh) bentuk dan 30 jenis perbuatan korupsi (diatur dalam 13 Pasal UU Korupsi), mulai dari Pasal 2

sampai Pasal 12B UU Korupsi, kecuali Pasal 4 dan Pasal 12A sebagai berikut: 69

1. Kerugian Keuangan / Perekonomian Negara

Melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara.

69 Marwan Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bogor: Ghalia Indonesia 2014), hlm 50

2. Suap – Menyuap (sogokan atau pelicin)

a. Menyuap pegawai negeri (memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya, pegawai negeri menrima suap, atau pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya),

b. Menyuap hakim,

c. Menyuap advokat,

d. Hakim dan advokat menerima suap.

3. Penggelapan dalam Jabatan

a. Pegawai negeri menggelapkan uang negara, atau membiarkan penggelapan,

b. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi,

c. Pegawai negeri merusak bukti (korupsi),

d. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak barang bukti,

e. Pegawai negeri membantu orang lain merusak barang bukti.

4. Pemerasan

5. Perbuatan Curang

a. Pemborong berbuat curang,

b. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang,

c. Rekanan TNI/Polri berbuat curang,

d. Pengawas Rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang,

e. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang,

f. Pegawai negeri menyerobot tanah negara yang merugikan orang lain.

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan

7. Gratifikasi (pemberian hadiah).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi merumuskan tindak pidana korupsi ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindak pidana Korupsi. Ketiga puluh bentuk/jenis tindak

pidana korupsi tersebut perinciannya adalah sebagai berikut: 70

1. Pasal 2 : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perkonomian negara;

2. Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

3. Pasal 5 Ayat (1) huruf a : Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

4. Pasal 5 Ayat (1) huruf b : Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam

jabatannya ;

70 Ermansjah Djaja, Op.Cit, hlm 53.

5. Pasal 5 Ayat (2) : Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b;

6. Pasal 6 Ayat (1) huruf a : Setiap Orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

7. Pasal 6 Ayat (1) huruf b : Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

8. Pasal 6 Ayat (2) : bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b;

9. Pasal 7 Ayat (1) huruf a : pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaaan perang;

10. Pasal 7 Ayat (1) huruf b : setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang;

11. Pasal 7 Ayat (1) huruf c : setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;

12. Pasal 7 Ayat (1) huruf d : setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang;

13. Pasal 7 Ayat (2) : bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c;

14. Pasal 8 : pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut;

15. Pasal 9: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

16. Pasal 10 huruf a : menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan 16. Pasal 10 huruf a : menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan

17. Pasal 10 huruf b : membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut;

18. Pasal 10 huruf c : membantu oranglain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

19. Pasal 11 : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

20. Pasal 12 huruf a : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

21. Pasal 12 huruf b : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

22. Pasal 12 huruf c : hakim yang menrima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

23. Pasal 12 huruf d : seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

24. Pasal 12 huruf e : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau

dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

25. Pasal 12 huruf f : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menajalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

26. Pasal 12 huruf g : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menajalankan tugas, meminta atau menrima pekerjaan, ataupenyerahan 26. Pasal 12 huruf g : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menajalankan tugas, meminta atau menrima pekerjaan, ataupenyerahan

27. Pasal 12 huruf h : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menajalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

28. Pasal 12 huruf i : pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

29. Pasal 12 B : setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubugan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,

30. Pasal 13 : setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.

Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Kerugian keuangan negara;

a. Pasal 2

b. Pasal 3

2. Suap – Menyuap;

a. Pasal 5 ayat (1) huruf a

b. Pasal 5 ayat (1) huruf b

c. Pasal 5 ayat (2)

d. Pasal 6 ayat (1) huruf a

e. Pasal 6 ayat (1) huruf b

f. Pasal 6 ayat (2)

g. Pasal 11

h. Pasal 12 huruf a

i. Pasal 12 huruf b j. Pasal 12 huruf c k. Pasal 12 huruf d l. Pasal 13

3. Penggelapan dalam jabatan;

a. Pasal 8

b. Pasal 9

c. Pasal 10 huruf a

d. Pasal 10 huruf b

e. Pasal 10 huruf c

4. Pemerasan;

a. Pasal 12 huruf e

b. Pasal 12 huruf f

c. Pasal 12 huruf g

5. Perbuatan curang;

a. Pasal 7 ayat (1) huruf a

b. Pasal 7 ayat (1) huruf b

c. Pasal 7 ayat (1) huruf c

d. Pasal 7 ayat (1) huruf d

e. Pasal 7 ayat (2)

f. Pasal 12 huruf h

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan;

a. Pasal 12 huruf i

7. Gratifikasi;

a. Pasal 12B Jo. Pasal 12C

Selain bentuk-bentuk perbuatan yang digolongkan dalam perbuatan tindak pidana korupsi yang telah dijelaskan diatas, terdapat tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang pada Pasal 21, 22, 23 dan

24 Bab III Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri atas :

1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21),

2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (Pasal

22 jo. Pasal 28),

3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (Pasal 22 jo.

Pasal 29),

4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan

palsu (Pasal 22 jo. Pasal 35),

5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau

memberikan keterangan palsu (Pasal 22 jo. Pasal 36),

6. Saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal 24 jo. Pasal 31).

Pengaturan mengenai bentuk-bentuk perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bersifat lebih rinci dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya, berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

b. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.

Secara leksikal, kata “pertanggungjawaban” berasal dari bentuk kata majemuk “tanggungjawab” yang berarti keadaan wajib menanggung segala Secara leksikal, kata “pertanggungjawaban” berasal dari bentuk kata majemuk “tanggungjawab” yang berarti keadaan wajib menanggung segala

dasar, kata “tanggungjawab” mendapat imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi “pertanggungjwaban” yang berarti perbuatan bertanggungjawab atau

suatu yang dipertanggungjawabkan. 71 Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana (crimina

lliability) diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk memberikan pembalasan yang akan diterima pelaku terkait karena orang lain yang dirugikan. Sedangkan pertanggungjawaban pidana menurut Roeslan Saleh, menyangkut pengenaan pidana karena sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana.

Pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan perbuatan pidana, karena perbuatan pidana menentukan sejauh mana seseorang dapat dimintai pertanggungjawabanya. Menurut Moeljatno bahwa seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhkan pidana) apabila kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian bahwa, pertanggungjawaban pidana tergantung pada dilakukanya tindak pidana, dalam artian bahwa adanya unsur kesalahan seperti melakukan perbuatan pidana terlebih dahulu, baru seseorang itu dapat dimintai pertanggungjawaban pidana 72 .

71 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka), hlm.1139.

72 Chairul Huda, Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana , (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2006) , hlm.26.

pidana dengan pertanggungjawaban pidana walaupun berkaitan erat haruslah dipisahkan karena ajaran dualistis beranggapan bahwa unsur pembentuk pidana hanyalah perbuatan. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan demikian, dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana, sedangkan sifat- sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. 73 Oleh karena itu berdasarkan ajaran

Menurut ajaran

dualistis tersebut maka antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana adalah berbeda namun berkaitan erat.

Pemisahan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana membawa konsekuensi bahwa belum tentu jika seseorang telah terbukti melakukan perbuatan pidana, dapat dimintai pertanggungjawabannya karena bisa saja orang yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya misalnya karena orang tersebut gila, atau mungkin orang tersebut dipaksa untuk melakukan perbuatan itu.

Seseorang dinyatakan bersalah dan kepadanya dapat dimintai pertanggung jawabnya apabila orang tersebut telah memenuhi 3 elemen, antara lain: 74

1. Kemampuan untuk bertanggungjawab;

2. Adanya sikap batin antara pelaku dan perbuatan pidana yang dilakukan, dimana sikap batin ini melahirkan 2 bentuk kesalahan yaitu kesengajaan dan kealpaan. Dimana syarat kesengajaan adalah weten en wilen

73 Ibid, hlm.26. 74 Ismu Gunadi & Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Huk um Pidana , (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2014), hlm.88-89.

(mengetahui dan menghendaki), sedangkan syarat kealpaan adalah kurang adanya kehati-hatian;

3. Tidak adanya alasan penghapus pertanggungjawaban pidana yang secara garis besar dibagi menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf. Pada tindak pidana korupsi sendiri, subjek yang dapat dimintai

pertanggung jawaban pidana sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, yaitu sebagai berikut: 75

1. Korporasi;

2. Pegawai Negeri, yang meliputi;

a. Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Kepegawaian;

b. Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana;

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau Daerah;

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau Daerah;

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

3. Setiap orang adalah perseorangan atau termasuk korporasi.

75 Hasbullah F. Sjawie, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi ,( Jakarta: Pranada Media Group, 2015), hlm.148.

Oleh karena itu, berdasarkan pasal tersebut maka dapat dilihat bahwa pertanggungjawaban dalam tindak pidana korupsi itu dapat dibebankan kepada seseorang dan korporasi. Dimana jika seseorang yang melakukan tindak pidana Korupsi maka pertanggungjawaban pidana dapat langsung dibebankan kepada orang tersebut, asal saja orang tersebut telah memenuhi 3 elemen untuk menyatakan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggung jawabanya. Namun jika Korporasi yang melakukan tindak pidana Korupsi maka berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pengurusnya saja, ataupun korporasinya saja, atau dapat juga dibebankan kepada kedua-duanya, karena ketentuan Pasal 20 tersebutmemberikan peluang alternatif pilihan kepada penuntut umum untuk memberikan Dakwaan

dan Tuntutan. 76

c. Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi

Samksi pidana terhadap tindak pidana korupsi dijatuhkan apabila perbuatan yang didakwakan terhadap terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum (vide Pasal 193 ayat (1) KUHAP) berdasarkan alat-

alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. 77 Macam-macam sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada terdakwa terdiri

atas :

1. Pidana Pokok yang dapat berupa; 78

a. Pidana Mati

76 Ibid, hlm.148. 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1995/1996 (Bahan Pokok Penyuluhan

Hukum), Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta, hlm 77 dan 80 78 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 355-356.

Pidana mati dapat diberikan kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomiannegara sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat 1 Undnag-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dilakukan dalam keadaan tertentu seperti, pada saat terjadi bencana alam, peperangan, kericuhan, dan lain sebagainya;

b. Pidana Penjara

1) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) Tahun dan paling lama 20 (dua puluh) Tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2).

2) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan dan 2) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan dan

3) Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) Tahun dan paling lama 12 (dua belas) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000.00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan langsung atau secara tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi (Pasal 21).

4) Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) Tahun atau paling lama 12 (dua belas) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36.

c. Pidana tambahan ; 79

1) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

79 R.WiyoNo, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm.127-129.

2) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

3) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama

1 (satu) Tahun;

4) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana;

5) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) Bulan sesudah putusan pengadilanyang telah berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut;

6) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan lamanya pidana tersebut sudah diputuskan dalam pengadilan

B. Perbuatan Penyalahgunaan Dana Hibah Bantuan Sosial

1. Prosedural Penggunaan Dana Hibah Bantuan Sosial Menurut Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan

Perbuatan yang menyalahgunakan dana hibah dan bantuan sosial tentunya sangat tercela. Idealnya negara hukum dan menjunjung nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, Hibah dan bantuan sosial selayaknya digunakan sesuai peruntukan yang diatur dalam peraturan di Indonesia.

Hibah adalah pemberian uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukkannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah.

Bantuan Sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk

melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. 80 Pemberian Dana Hibah Bantuan Sosial tentunya memiliki prosedur yang

diatur secara hukum sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dana Hibah Bantuan Negara juga dapat di berikan kepada yayasan yang memiliki program kerja dan melaksanakan kegiatan yang menunjang program Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.

80 Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber dari Anggaran Pendapata n dan Belanja

Daerah.

Beberapa Tahapan yang harus dilalui yayasan untuk penggunaan Dana Hibah Bantuan Sosial yaitu melalui proses permohonan, pemberian, dan penerimaan dan penggunaan. Berikut akan diuraikan tahapan-tahapan pemberian dana hibah bantuan sosial:

a. Proses Permohonan

Pengajuan permohonan untuk menerima dana hibah bantuan sosial secara tertulis dilakukan oleh Yayasan kepada:

1) Menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya berkaitan dengan kegiatan yayasan; atau

2) Gubernur, Bupati, atau Walikota di tempat Yayasan melakukan kegiatannya. Adapun syarat permohonan bantuan sosial yang diajukan harus dengan melampirkan dan melengkapi dokumen seperti:

Dokumen yang terkait

ANALISIS ISI LIRIK LAGU-LAGU BIP DALAM ALBUM TURUN DARI LANGIT

22 212 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25