BERGERAK DI DALAM MISTERI SEPERCIK INSPI

1

BERGERAK DI DALAM MISTERI: SEPERCIK INSPIRASI DARI PERIODE PATRISTIK
TENTANG SPIRITUALITAS KRISTEN1
Hendri Mulyana Sendjaja2

Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada,
seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu:
Sebab kita ini dari keturunan Allah juga Kis. 17:28)

I. Pengantar
Menurut Penulis Kisah Para Rasul (selanjutnya disebut Lukas), ketika menunggu Silas dan
Timotius di Atena, Paulus melihat patung-patung berhala (eidōla) yang mewarnai kota Yunani itu.
Paulus menjadi resah dan segera mengajak orang-orang Yahudi dan orang-orang beriman di sinagoge,
dan orang-orang lainnya di agora, termasuk beberapa pemikir dari golongan Epikuros dan Stoa, untuk
berdiskusi tentang Allah. Paulus menyatakan kepada mereka bahwa Allah yang disembahnya dan
diberitakannya adalah Allah yang berbeda sama sekali dari semua yang ada di bumi dan di langit.
Inilah kesaksian Paulus tentang Allah:
Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam
kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa,
karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang. Dari satu orang saja Ia

telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan
musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka, supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan
menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing (Kis. 17:24-27).

Tampak dari tulisan Lukas ini Paulus memperkenalkan Allah yang tak terbatas kepada orangorang Atena pada waktu itu. Dia adalah Pencipta dan Pemelihara semesta alam, termasuk bumi dan
segala isinya. Umat manusia mendiami bumi supaya mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah
dan menemukan Dia . Pernyataan terakhir ini pada dasarnya mengungkapkan pandangan Paulus
tentang Allah yang tak kelihatan, yang (seharusnya) dicari oleh manusia, yang pada kenyataannya
tidak jauh dari manusia. Demikianlah Paulus memandang Allah sebagai yang transenden dan sekaligus
yang imanen, yang jauh (karena berbeda sama sekali dari segala yang ada di bumi dan langit) dan
sekaligus yang dekat (kepada seluruh ciptaan-Nya). Allah adalah Sang Misteri yang di dalam-Nya kita
hidup, kita bergerak, kita ada.
Tulisan ini memaparkan secara singkat kisah hidup dan pemikiran beberapa tokoh pengikut
Kristus pada periode Patristik, antara lain: Ignatius dari Antiokhia, Felisitas, Vibia Perpetua, Makrina
dari Kapadokia, dan Gregorius dari Nyssa, tentang bergerak di dalam Sang Misteri untuk
menunjukkan dua model spiritualitas Kristen pada periode Patristik, yaitu spiritualitas menjadi
seperti Kristus dan spiritualitas menjadi sahabat Allah . Tulisan ini diharapkan turut menggairahkan
studi tentang spiritualitas Patristik, dan turut memberikan sepercik inspirasi tentang spiritualitas
Kristen bagi gereja-gereja Indonesia pada masa kini.


II. Garis Besar Konteks Periode Patristik
Alister E. McGrath membatasi periode Patristik dari ±100, tahun paling akhir penulisan kitab
Perjanjian Baru, sampai dengan 451, tahun penyelenggaraan Konsili Khalsedon, konsili yang berhasil
1

Disampaikan pada Program Studi Teologi Bersertifikat VIVEKA III STFT Jakarta, 05 September 2017.

2 Dosen Biasa Fakultas Teologi UKDW Yogyakarta, mengampu beberapa mata kuliah, antara lain: Teologi Patristik,
Teologi Ibadah, Teologi dan Sains, dan Seni dan Perdamaian (bersama dengan Pdt. Paulus S. Widjaja, MAPS, Ph.D.).

2

menetapkan paham tentang keilahian penuh dan keinsanian penuh Yesus. Periode ini merupakan
salah satu kurun waktu yang paling menarik dan kreatif dalam sejarah pemikiran Kristen (McGrath
2013, 17). Pada kurun waktu ini banyak tokoh pengikut Kristus, baik itu yang disebut sebagai Bapabapa Gereja maupun Ibu-ibu Gereja, menunjukkan keteladanan dan pemikiran, yang mengembangkan
dan mematangkan kekristenan. Spiritualitas Kristen pada periode Patristik bukanlah sebuah kisah
yang tunggal dan bukan juga sebuah perkembangan yang linear tentang gagasan-gagasan dan praktikpraktik para pengikut Kristus (Stewart 2005, 73).
Kekristenan dalam konteks dunia Yunani-Romawi pada periode awal Patristik sampai dengan
dikeluarkannya Dekret Milano pada 3133 merupakan kelanjutan dari Gerakan Yesus dari Nazaret di
Palestina dan sekitarnya, sebuah gerakan keagamaan di kalangan masyarakat Yahudi yang dipelopori

oleh Yesus dari Nazaret untuk membarui hidup keagamaan kaum sebangsanya (Theissen 2005, 1).
Dalam pandangan orang-orang Romawi, seperti dikemukakan oleh para penulis Romawi, kekristenan
merupakan sebuah gerakan politik yang berjuang untuk pemulihan Kerajaan Daud (Israel).
Penyebutan khristianoi kepada para pengikut Kristus oleh orang-orang Romawi, seperti tertulis
dalam Kis. 11:26 – perhatikan akhiran anoi (jamak), anos (tunggal) – sebenarnya menunjukkan suatu
tuduhan, atau paling tidak kecurigaan, dari orang-orang Romawi, terutama dari penguasa, kepada
para pengikut Kristus yang dianggap hidup dan bergerak demi kekuasaan (politis) di dunia. Oleh
karena itu, penguasa Romawi seringkali mengadakan aksi penganiayaan, entah secara sporadis, entah
secara sistematis, terhadap pengikut-pengikut Kristus sehingga banyak pengikut Kristus mati martir.
Dalih yang sering dikemukakan penguasa untuk melakukan aksi bengis itu adalah karena orang-orang
Kristen telah menunjukkan perilaku atau aksi subversif terhadap pemerintah.
Tentu saja, pengikut-pengikut Kristus menolak dalih seperti itu. Mereka memang mengalami
perubahan laku hidup karena percaya pada Injil Yesus Kristus, tetapi itu bukanlah perilaku atau aksi
subversif terhadap pemerintah. Sejak menerima baptisan, mereka belajar mendalami pengajaran Injil
Tuhan dan bergiat mengenangkan karya kasih Allah di dalam Kristus melalui perjamuan makan
bersama. Mereka pun berjuang meneruskan Injil Kerajaan Tuhan dalam laku hidup sehari-hari. Tidak
sedikit di antara mereka berusaha membela iman secara terbuka. Yustinus Martir (100-165) misalnya
menegaskan,
Ketika engkau mendengar bahwa kami mencari kerajaan, engkau menganggap kami berbicara tentang kerajaan
manusia. Padahal yang kami maksudkan adalah kerajaan dari Tuhan. … Jika menginginkan kerajaan manusia, kami

akan menyangkal bahwa kami adalah umat Kristen sehingga kami tidak dihukum mati (1Apology 11).

Melalui proses yang mengalir dan dinamis, jemaat-jemaat Kristen yang multi-wajah pada
gilirannya terbentuk (Theissen 2005, 2). Menurut George H. van Kooten, dalam proses pembentukan
jemaat-jemaat Allah (ekklēsia tou theou) itu, sebenarnya terjadi persaingan paham (ajaran), ritual
ibadah, dan kebajikan (virtue) hidup antara kekristenan dengan agama-agama lain atau filsafat-filsafat
Yunani dan Romawi yang tumbuh subur dalam konteks dunia Yunani-Romawi abad-abad pertama
(van Kooten 2010, 3-37). Sebagai sebuah gerakan religio-filosofis, kekristenan sendiri menawarkan
laku hidup spiritual yang utuh, yakni melalui paham (ajaran) yang logis, ritual ibadah yang sambung
dengan perilaku hidup sehari-hari, dan kebajikan hidup yang penuh kasih. Ini berbeda dari agamaagama Romawi (paganisme) yang rupanya kuat dalam ritual ibadah, tetapi tidak sambung dengan
perilaku hidup sehari-hari. Itu sebabnya, tak dapat dipungkiri, kekristenan mendapat sambutan yang
semakin meningkat jumlahnya dari orang-orang Romawi dan orang-orang Yunani, selain juga dari
orang-orang Yahudi sendiri. Jemaat-jemaat Kristen pun terbentuk dan tersebar luas di kawasan Asia
Barat (Armenia, Turki, Suriah, Israel), kawasan Asia Kecil (Yunani dan sekitarnya), kawasan Laut
Tengah bagian Barat (Roma dan sekitarnya), kawasan Afrika (Mesir, Etiopia, dan sekitarnya), dan
kawasan Asia Selatan (India dan sekitarnya). Diduga, para akhir abad ketiga, gereja yang terorganisasi
sudah terbentuk dalam dunia Yunani-Romawi.

3 Dekret Milano (Edictum Mediolanense) adalah proklamasi kesepakatan Kaisar Konstantinus I dan Kaisar Lisinius
mengenai kebebasan penduduk dalam memeluk kepercayaan atau agama. Itu berarti, dengan dekret ini kekristenan pada

gilirannya mendapat status legal dari pemerintah. Pada 380 Kaisar Theodosius I menetapkan kekristenan sebagai agama
resmi kekaisaran Romawi.

3

III. Spiritualitas Menjadi Seperti Yesus
Pada abad pertama Patristik kebanyakan pengikut Kristus menunjukkan laku hidup spiritual
secara mengalir berangkat dari iman (pistis) kepada Tuhan Yesus Kristus. Di sini iman kepada Tuhan
Yesus lebih baik dipahami sebagai: (1) sikap mengamini (assensus) Injil Tuhan Yesus, (2) sikap
mempercayakan diri (fiducia) kepada Tuhan Yesus, (3) sikap taat dan setia (fidelitas) kepada Tuhan
Yesus, dan (4) sebagai cara melihat (visio) seperti Tuhan Yesus (Borg 2003, 28-37). Ekspresi iman
yang utuh ditunjukkan secara mencolok oleh para pengikut Kristus yang berani menanggung risiko
kemuridan (the risk of discipleship), yaitu mereka yang menempuh jalan kemartiran demi Injil Kristus.
Ekpresi iman yang bermuara pada laku hidup spiritual yang tampak radikal itu pada gilirannya
menunjukkan model spiritualitas menjadi seperti Yesus . Di bawah ini adalah tiga tokoh pengikut
Kristus yang menunjukkan model tersebut.
31. Ignatius dari Antiokhia
Tidak ada rincian jelas tentang asal-usul Ignatius, selain tentang jabatannya sebagai uskup
yang ketiga4 di Antiokhia, Suriah, dari 70 sampai dengan 107, tahun wafatnya sebagai martir. Memang
tradisi Gereja Timur menyebut Ignatius dengan nama Theoforus dan mempercayai bahwa Ignatius

adalah salah seorang anak kecil yang dipeluk dan diberkati oleh Yesus dalam Injil Markus 10:13-16.
Namun, hal ini tidak memiliki bukti yang kuat. Pembaca masa kini mengetahui secara jelas kisah
keteladanan dan pemikiran Ignatius dari surat-surat yang ditinggalkannya dan dari tulisan Eusebius
dari Kaesarea (±260-339), seorang Bapa Gereja penulis sejarah. Salah satu cuplikan kisah Ignatius
yang dituliskan Eusebius adalah sebagai berikut:
Menurut laporan, Ignatius dikirim dari Suriah ke Roma untuk menjadi mangsa binatang buas karena kesaksian yang
telah diberikannya tentang Kristus. Dan dalam perjalanan melalui Asia, di bawah penjagaan ketat tentara, dalam
kota-kota di mana mereka singgah, ia sempat meneguhkan umat dengan memberi homili-homili dan nasihatnasihat. Di atas semuanya mereka semua diperingatkannya supaya hati-hati secara khusus terhadap bidaah-bidaah
yang pada waktu itu mulai berkembang. Mereka dianjurkan supaya tetap berpegang pada tradisi para Rasul (Church
History 3:36, sebagaimana dituliskan oleh Benedictus XVI 2010, 20).

Dari kutipan Eusebius di atas pembaca masa kini mungkin bertanya: mengapa Ignatius yang
ditangkap di Antiokhia Suriah mesti dibawa ke Roma? Mengapa tidak dihukum di Antiokhia? Dari
pertanyaan seperti ini, beberapa orang pun memandang, seperti Robert Joly lakukan, bahwa kisah
perjalanan kemartiran Ignatius merupakan fiksi belaka (sebagaimana dinyatakan Brent 2007, 15,
109). Allen Brent mengungkapkan bahwa perjalanan seperti yang Ignatius tempuh itu bukanlah hal
yang mustahil oleh karena peristiwa semacam itu pernah terjadi pada tahun 57 SZB berdasarkan
laporan Cicero, yaitu bahwa seseorang yang harus dihukum Roma ketika ia melakukan kejahatan
terhadap negara (Brent 2007, 15). Jadi, kemungkinan besar Ignatius ditangkap dan dibawa ke Roma
karena tuduhan telah melakukan kejahatan terhadap negara.

Dari surat-surat yang ditinggalkan Ignatius, pembaca tidak mendapatkan paparan tentang
alasan penangkapan Ignatius oleh para tentara Romawi. Justru pembaca akan menjumpai dalam
kebanyakan suratnya uraian Ignatius tentang kerinduan untuk mewujudkan satu persekutuan yang
akrab dalam kehidupan para pengikut Kristus. Apakah semangat persekutuan sebagai pengikut
Kristus ini yang menjadi alasan penangkapan Ignatius karena semangat persekutuan ini dipandang
subversif terhadap Romawi? Perhatikan kata-kata Ignatius dalam suratnya kepada Jemaat di Filadelfia
berikut ini:
Aku melakukan segala sesuatu yang aku mampu, sebagai orang yang sangat mencintai persatuan. Di mana ada
skisma dan perasaan yang buruk, maka Allah tidak ada di sana. … Aku mendorong engkau semua, janganlah
melakukan sesuatu apapun di dalam kelompok-kelompok, tetapi bertindaklah sebagaimana layaknya murid-murid
Kristus. (Surat kepada Jemaat di Filadelfia 8.1-2).

Semangat persekutuan dari Ignatius dapat dipahami jika pembaca menyadari bahwa konteks
zaman yang dihadapi Ignatius pada waktu itu diwarnai oleh tumbuh suburnya paham gnostik, secara
4 Menurut Eusebius dari Kaesarea, seorang Bapa Gereja penulis sejarah, uskup pertama di Antiokhia adalah Simon
Petrus, dan kedua adalah Evodius.

4

khusus paham doketik yang menegaskan bahwa apa yang kelihatan itu (materi) pada hakikatnya maya

atau semu (dokein), yang pelan-pelan menggerogoti persekutuan umat Kristen (yang kelihatan). Untuk
meneguhkan dan memelihara satu persekutuan para pengikut Kristus (yang kelihatan), Ignatius
merasa terpanggil untuk menegaskan pengajaran tentang kesatuan dengan Gereja dan tentang
kesatuan dengan Allah.
Tentang kesatuan dengan Allah, Ignatius memilih untuk menjadi seperti Yesus. Tulis Ignatius,
Semangatku adalah suatu persembahan yang sederhana bagi salib, yaitu yang merupakan batu
sandungan bagi orang-orang yang tidak beriman, tetapi adalah keselamatan dan hidup yang kekal bagi
kita (Surat Ignatius kepada Jemaat di Efesus 8: . Bagi )gnatius, menjadi seperti Yesus berarti siap
menjalani jalan penderitaan sebagai risiko kemuridan. Ignatius mengungkapkan kesiapan itu di
sepanjang perjalanannya menuju Roma. Berikut kata-katanya:
Dari Suriah, di sepanjang jalan menuju Roma aku bertempur melawan binatang-binatang buas, di darat dan di laut,
siang dan malam, dirantai di tengah-tengah sepuluh ekor macan tutul (yaitu satu regu serdadu) yang hanya menjadi
lebih buruk ketika mereka diperlakukan dengan baik. Akan tetapi oleh karena perlakuan buruk mereka, aku lebih
menjadi seorang murid; meski demikian bukan karena itulah aku dibenarkan. Kiranya aku memiliki sukacita dari
binatang-binatang buas yang telah disiapkan bagiku; dan aku berdoa agar mereka cepat terhadapku. Aku bahkan
akan membujuk mereka untuk menelan aku dengan segera …. Sekarang setidaknya aku mulai menjadi seorang
murid. Kiranya tidak ada yang nampak maupun tak nampak menjadi iri padaku, agar aku boleh meraih Yesus
Kristus. Api, salib, dan pertarungan-pertarungan dengan hewan buas, mutilasi, penelanjangan, pelintiran terhadap
tulang, pemotongan angggota badan, peremukan terhadap seluruh tubuhku, siksaan-siksaan si Iblis, biarlah semua
itu datang padaku, hanya saja biarlah aku mencapai Yesus Kristus! (Surat Ignatius kepada Jemaat di Roma 5)


Walaupun menunjukkan kesiapan untuk martir di Roma, Ignatius pada kenyataannya juga
menunjukkan diri sebagai seorang pengikut Kristus yang rendah hati. Semangat persekutuan,
kesiapan menerima risiko kemuridan, dan kerendahan hati menjadi ciri mencolok spiritualitas
Ignatius. Ignatius menuliskan:
Aku terlalu banyak berpikir untuk segera menyatu dengan Allah, tetapi aku harus bisa mengukur diriku sendiri, jika
tidak aku pasti hancur oleh kesombongan bualan-bualanku. Sebab saat sekarang ini aku sebaiknya berhati-hati dan
tidak memandang mereka yang hanya memujiku, sebab dengan pujian-pujian semacam itu terbukti membuatku
lebih tersiksa. Sebab sementara aku dengan keras berkeinginan untuk menderita, aku tidak pernah mengetahui
apakah aku sudah cukup berharga untuk itu … Karena itu aku membutuhkan kerendahan hati, yang oleh hal itu
penguasa zaman ini telah dihancurkan (Surat Ignatius kepada Jemaat di Tralia, 4).

3.2. Felisitas dan Vibia Perpetua
Dua tokoh perempuan pengikut Kristus ini sering dikisahkan secara bersama-sama. Tidak
banyak informasi berkatian dengan Felisitas dan Vibia Perpetua. Felisitas adalah seorang budak atau
pelayan-rumah-tangga (oiketēs) di sebuah keluarga kaya di Kartago, Afrika Utara, yang bersama
dengan seorang Vibia Perpetua (lahir pada ±182), seorang ibu muda berusia 22 tahun dari keluarga
bangsawan, ditangkap dan dipenjara oleh tentara Romawi pada masa kekaisaran Septimius Severus
pada 203. Kedua perempuan ini dieksekusi mati karena mereka menunjukkan laku hidup menjadi
seperti Kristus: taat dan setia kepada Allah sampai akhir hayat.

Ketika ditangkap, Felisitas sedang hamil 8 bulan, sementara Perpetua sedang menyusui
bayinya. Dalam penantian hari eksekusi mati, Perpetua mendapat karunia penglihatan profetis yang
menguatkan iman dan pengharapan mereka yang menjalani penderitaan di penjara. Perpetua
menuliskan pengalaman-pengalaman di penjara itu dalam catatan harian yang kemudian beredar
setelah kematiannya. Salah satu kisah yang beredar adalah tentang kekhawatiran Felisitas yang tidak
diizinkan mati bersama dengan para pengikut Kristus lainnya karena sedang hamil. Untuk itu, Felisitas
berdoa kepada Allah. Dua hari sebelum hari eksekusi, doanya terpenuhi. Felisitas melahirkan anaknya
secara prematur dan selanjutnya ia siap memasuki arena binatang buas. Pada hari ulang tahun putra
kaisar, yaitu 07 Maret 203, bersama dengan Perpetua dan para pengikut Kristus lainnya, Felisitas
dipertarungkan dengan binatang-binatang buas. Felisitas dan Perpetua mati bukan karena binatangbinatang buas itu, melainkan karena dipenggal kepala (Irvin-Sunquist 2004, 132-133).
Kisah kemartiran Felisitas dan Perpetua memiliki latar belakang yang berkaitan erat dengan
konteks sosial politik Romawi dan kultur masyarakat Yunani-Romawi. Dalam dunia Yunani-Romawi
abad-abad pertama, memiliki budak atau pelayan-rumah-tangga merupakan hal yang biasa bagi
orang-orang (keluarga) kaya. Ketika gerakan kekristenan menyebar di wilayah-wilayah kekaisaran

5

Romawi, tidak diragukan, di antara para budak ada yang menjadi pengikut Kristus. Menarik, Larry
Hurtado menunjuk pada beberapa tulisan dalam Perjanjian Baru, yaitu 1Kor. 7:17-24; Ef. 6:5-8; Kol.
3:22-25; Tit. 2:9-10, dan 1Ptr. 2:18-25, sebagai bukti adanya budak-budak yang bergabung ke dalam

jemaat Kristen (Hurtado 2005, 65). Tentang bagaimana budak-budak itu menjadi pengikut Kristus,
paling tidak ada dua kemungkinan: (1) dari dalam rumah, yaitu dari pemberitaan Injil oleh sang tuan
atau puan yang lebih dulu telah menjadi pengikut Kristus; dan (2) dari luar rumah, yaitu dari
pemberitaan Injil oleh pengikut-pengikut Kristus di kota tempat mereka bekerja. Tampaknya, tulis
Hurtado, ada hari-hari libur Romawi yang resmi di mana para budak bebas dari kewajiban rutin
mereka dan boleh menggunakannya sebagai waktu luang secara bebas. Waktu luang itulah yang
memungkinkan mereka berjumpa dengan komunitas Kristen di kota (Hurtado 2005, 65).
Seorang budak murid Kristus yang hidup bersama dengan tuan dan puan yang juga pengikut
Kristus pada umumnya tidak mengalami banyak pergumulan. Namun, budak pengikut Kristus yang
dimiliki oleh tuan dan puan yang bukan pengikut Kristus, misal: penganut pagan, biasanya
menghadapi banyak tantangan dan pergumulan. Tak heran, budak-budak pengikut Kristus seperti itu
memeluk iman Kristen dan mengikuti kegiatan ibadah Kristen secara diam-diam. Mereka akan masuk
ke dalam badai pergumulan ketika sang tuan atau puan memaksa mereka untuk turut-serta dalam
ritual ibadah rumah tangga yang pagan. Badai pergumulan yang lebih hebat lagi dapat terjadi ketika
budak-budak pengikut Kristus mesti menjalani perlakuan sang majikan yang sewenang-wenang atas
tubuh mereka. Eksploitasi tubuh, termasuk kekejaman seksual demi pemuasan nafsu sang majikan,
membuat budak-budak pengikut Kristus menderita lahir dan batin. Konflik batin antara, di satu sisi,
sikap tunduk kepada sang majikan dan menerima perlakuan seksual yang bengis dari sang majikan,
dan di sisi lain sikap takut akan Allah dan sadar akan kehendak Allah tidak jarang membuat
mereka, khususnya budak-budak murid Kristus yang perempuan, menarik diri dari komunitas
pengikut Kristus sehingga pada gilirannya mereka masuk ke dalam badai pergumulannya yang
semakin hebat (Hurtado 2005, 67; gambaran rinci tentang perbudakan pada masa kekristenan awal,
Glancy, 2002.).
Menarik apa yang dinyatakan Carolyn Osiek bahwa peristiwa Felisitas menjadi suatu kesaksian
tentang batas-batas kepatuhan (limits of obedience) dari seorang budak kepada tuannya (Osiek 2003,
267). Kemungkinan Felisitas mengalami perlakuan tidak adil dari sang tuan oleh karena ia menjadi
seorang pengikut Kristus. Nihilnya informasi tentang suami Felisitas atau orang yang menghamili
Felisitas mendorong pembaca untuk berpendapat bahwa tidak mustahil kehamilan Felisitas
merupakan buah dari tindakan pemerkosaan.
Tentang Vibia Perpetua, dalam traktat The passion of Perpetua and Felicity, pembaca dapat
menemukan kisah seorang ibu muda yang teguh dalam imannya kepada Kristus. Walaupun berkalikali ayah Perpetua membujuk Perpetua agar melepaskan imannya kepada Kristus, Perpetua tetap
menyatakan dirinya sebagai seorang Kristen. Bahkan di hadapan para tentara yang menyiksanya dan
memintanya untuk meninggalkan iman Kristen, Perpetua tetap berkata, Aku adalah seorang Kristen.
Penegasan sikap iman dari seorang perempuan seperti itu merupakan salah satu bentuk aksi yang
dipandang subversif bagi pemerintah Romawi. Bagi masyarakat Romawi, aksi itu pun dianggap virus
yang merusak tatanan budaya-sosial patriarki (van Henten – Avemarie 2002, 101-102). Itulah
sebabnya Perpetua dieksekusi mati.
IV. Spiritualitas Menjadi Sahabat Allah
4.1. Makrina dari Kapadokia
Makrina lahir pada ±330 di Kaesarea, Kapadokia (sekarang wilayah Turki). Ia adalah anak
pertama dari pasangan suami istri, Basilius (Tua) dan Emmelia. Ia memiliki delapan orang adik, empat
perempuan dan empat laki-laki. Keempat adiknya yang laki-laki diketahui namanya secara pasti, yaitu:
Basilius (Muda) yang menjadi uskup Kaesarea, Gregorius yang menjadi uskup Nyssa, Petrus yang
menjadi uskup Sebaste di Armenia, dan Naukratius yang memilih kehidupan asketis di pegunungan
Pontus dan tewas ketika berburu.

6

Ayah Makrina adalah seorang guru retorika. Ketika Gregorius masih kanak-kanak, sang ayah
meninggal dunia karena martir. Ibu Makrina, yaitu Emmelia, adalah seorang Kristen yang menaruh
perhatian serius terhadap kehidupan spiritual anak-anaknya. Ketika suaminya martir, Emmelia
sempat mengalami kesusahan dalam mengurus kehidupan keluarga. Makrina membantu Emmelia
untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sang ibu dan Makrina berusaha membimbing seluruh
anggota keluarga, termasuk pelayan-pelayan rumah, untuk menghidupi the philosophical and
immaterial way of life , gaya hidup yang mengarahkan hati kepada Tuhan dan sekaligus mencintai
kebanaran sejati (Mateo-Seco 2010b, 472). Demikianlah mereka mengembangkan komunitas asketik
yang lebih berciri domestik (keluarga) daripada institusional di Annisa, 30 km sebelah barat dari
Neokaesarea. Mereka hidup sebagai the pious household Rousseau
,
; Maraval
,
.
Atas keteladanan yang telah ditunjukkan oleh Makrina, Gregorius sang adik menuliskan secara
khusus kisah hidup Makrina dalam Life of Macrina. Dalam pandangan Gregorius, Makrina sungguh
telah menunjukkan diri sebagai pribadi penuh kasih dan hikmat di tengah pergumulan keluarga.
Sebenarnya Makrina sendiri sempat bergumul dengan dirinya setelah tunangannya meninggal secara
tiba-tiba. Namun, ia berhasil memaknai dan melampaui pergumulannya itu.
Berkali-kali Gregorius menyebut kakaknya ini sebagai the great Macrina , suatu pujian yang
mengungkapkan kekaguman Gregorius atas laku hidup spiritual Makrina. Gregorius melihat dan
mengalami sendiri bahwa Makrina menolong dan membimbing seluruh anggota keluarga dalam
terang Injil Kristus. Dua gambaran tentang Makrina diungkapkan Gregorius: (1) gambaran Makrina
sebagai Thekla5, yang menunjukkan diri sebagai guru, pewarta Injil Kristus, dan pemimpin kepada
pengajaran rasuli; dan (2) gambaran Makrina sebagai Sokrates, sang filsuf, yang menjalani hidup
sebagai pecinta kebenaran yang sejati (Wilson-Kastner 1979, 105).
Pada 379 Makrina meninggal dunia karena sakit. Selama hidupnya Makrina tampil sebagai
pribadi yang menjadi sahabat Allah, yaitu dengan membaktikan hidupnya untuk pekerjaan-pekerjaan
Allah di tengah kehidupan keluarga dan masyarakat (Mateo-Seco 2010b, 472).
4.2. Gregorius dari Nyssa
Gregorius adalah adik Makrina. Ia lahir pada ±335 di Pontus, Neokaesarea. Selain dari Makrina,
ia menerima perlakuan penuh kasih dari Basilius kakaknya (Harrison 2010, 26; Meredith 1999, 2). Ia
memandang Basilius sebagai guru dan ayah . Memang sebagai seorang kakak laki-laki tertua, Basilius
memiliki panggilan untuk membimbing adik-adiknya, apalagi ia sempat menikmati pendidikan tinggi
di Atena dan di Konstantinopel ketimbang adik-adiknya. Agaknya kondisi keuangan keluarga
membuat tidak semua anak-anak Emmelia bersekolah di universitas (von Campenhausen 1959, 108).
Hanya Basilius bersekolah secara formal dan menerima bimbingan dari guru-guru yang terkenal pada
masanya. Basilius meneruskan pengetahuannya kepada Gregorius, sehingga walaupun tidak sempat
belajar secara formal di universitas, Gregorius pada gilirannya mampu memelajari filsafat-filsafat
Yunani, retorika Libanius, dan pengajaran-pengajaran teologis Philo dari Aleksandria dan Origenes
(von Campenhausen 1959, 108-109; Meredith 1999, 2-3; Maraval 2010, 104-106).
Ketika bekerja sebagai seorang pembaca Alkitab di Gereja dan sebagai guru retorika (antara
362-371), Gregorius menikah dengan perempuan cendekia yang sangat dicintainya, Theosebeia. Tidak
banyak informasi tentang Theosebeia, dan tentang kehidupan rumah tangga mereka berlangsung,
serta tentang informasi kehadiran anak. Yang cukup diketahui adalah mereka tetap menjalin relasi
sebagai suami istri bahkan juga ketika Gregorius menjadi uskup Nyssa pada 372 (von Campenhausen
1959, 109; Corrigan 1988; Maraval 2010, 106).
Pada masa awal pelayanannya sebagai Uskup Nyssa, Gregorius masih menikmati situasi yang
tenang di Nyssa. Kaisar Valens yang berkuasa sebenarnya adalah pendukung kelompok Homoian,
suatu kelompok Arian arus utama pada abad IV yang berpendirian bahwa Yesus Kristus itu hanyalah
seperti homoios) Bapa. Sebagai Uskup Nyssa, Gregorius rupanya berpartisipasi aktif dalam
perdebatan-perdebatan tentang paham Allah Trinitas. Dia mendukung hasil Konsili Nikaea yang
menegaskan Yesus sebagai sehakikat (homoousios) dengan Bapa dan memberikan pendalaman
5

Paulus.

Dalam traktat apokrif Kisah Paulus dan Thekla (prakseis paulou kai theklēs), Thekla dikenal sebagai murid Rasul

7

tentang paham Trinitas dari hasil Nikaea tersebut. Itu berarti, Uskup Nyssa ini mulai mengusik para
Homoian. Pada 376 Gregorius diekskomunikasi dari keuskupan wilayah Nyssa. Ekskomunikasi ini
berlangsung tidak lama karena setelah Kaisar Valens wafat pada 378, Gregorius kembali ke Nyssa.
Banyak warga gereja Nyssa menyambut gembira kembalinya Gregorius sebagai Uskup Nyssa (Maraval
2010, 107-108; McGuckin 2004, 152, 170).
Sejak kembali dari pembuangan nya, Gregorius Uskup Nyssa mengalami banyak peristiwa
yang makin memerkaya kehidupan spiritualitasnya. Pada September 378 kakaknya Basilius Uskup
Kaesarea, yang belum mencapai usia 50 tahun, meninggal dunia. Setelah peristiwa ini, ia bertekad
untuk meneruskan perjuangan kakaknya di banyak lingkup pelayanan dan kesaksian Gereja, termasuk
di tengah ajang pergulatan ajaran-ajaran iman Gereja (Maraval 2010, 108-112).
Gregorius menikmati tahun-tahun pada masa tuanya dengan menulis traktat-traktat, homilihomili, dan surat-surat. Melalui traktat dan homilinya, banyak warga gereja dan masyarakat mengenal
Grogorius dari Nyssa sebagai kritikus yang tajam tentang sistem sosial dan budaya perbudakan yang
hidup di wilayah sekitar Laut Tengah pada abad IV (Flint-Hamilton 2010; Harrison 2010, 26).
Salah satu traktat yang ditulis Gregorius dari Nyssa pada 390-an adalah The life of Moses (De
vita Moyses). Traktat ini merupakan buah pemikiran yang matang tentang spiritualitas Kristen, yang
bertolak dari dua hal tak terpisahkan: pertama, pengalaman hidup atau peira – sebuah istilah Yunani
yang dipakai oleh Gregorius dari Nyssa dalam tulisan-tulisannya, yang menunjuk kepada pengalaman
kekinian yang selalu baru, yang sambung dengan, bukan hanya kenangan masa lalu, tetapi juga
harapan masa depan (Samellas 2013) – dan kedua, pemahaman teks Kitab Suci secara mendalam
melalui upaya penggalian makna spiritual atas teks dengan metode allēgoria – sebuah metode
penafsiran Kitab Suci yang khas dari tradisi Aleksandria, secara khusus dari Philo dan Origenes
(Beirne 2012; Solovieva 2015).
Pada dasarnya setiap pengalaman dan ke(men)jadian dalam perziarahan hidup, bagi Gregorius
dari Nyssa, merupakan bahan-bahan yang turut membentuk dan mengembangkan spiritualitasnya.
Dengan iman (pistis) dan pengetahuan (gnosis , bahan-bahan itu diolah dan dikelola sedemikian
rupa sehingga tersingkap makna yang luhur (kebajikan, virtue) yang membentuk, meneguhkan, dan
menggairahkan diri dalam menempuh perjalanan hidup yang tidak selalu lurus dan tidak selalu mulus.
Menurut Gregorius, sebagaimana juga menurut Bapa-bapa Gereja dari Aleksandria, seperti Klemens,
Origenes, dan Athanasius, yang paling penting dalam perziarahan hidup ini adalah kontemplasi pada
Allah: jiwa (psukē) dan pikiran (nous) yang selalu mengarah kepada Allah dan dalam persekutuan
dengan Allah, atau dengan perkataan lain, yang tetap mau menjadi sahabat dengan Allah.
Gregorius menyadari bahwa Allah itu tak-diciptakan (uncreated), berbeda sama sekali dari
segala yang diciptakan. Dalam bahasa apofatik, Uskup Nyssa ini menegaskan Allah sebagai yang takterlukiskan (ineffable), yang tak-dapat-dinamakan (unnameable), dan yang tak-dapat-diketahui
(unknowable). Manusia – dengan bahasa yang pada hakikatnya bersifat terbatas – tidak mampu
menggapai Allah yang tak-terbatas (infinite). Manusia dapat mengenal dan membahasakan bukan
ousia (hakikat) Allah, melainkan energeia (hal yang berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan) Allah. Dari
energeia-Nya, manusia dapat berkata (atau berteologi) bahwa Allah itu ada dan hidup; Dia beginibegitu. Namun, segala perkataan manusia tentang Allah itu (atau teologi) tidak dapat mengungkapkan
Allah secara sempurna (Ojell 2010, 68-73).
Bagi Gregorius, Allah yang tak-terbatas itu adalah Allah yang baik. The Divine One is himself
the Good, whose very nature is goodness, demikian tulis Gregorius dari Nyssa The life of Moses I.7.).
Berdasarkan Injil Matius 5:45-48, Gregorius menegaskan bahwa Allah yang baik adalah Bapa yang
sempurna. Kata sempurna yang dirangkaikan pada Allah di sini menunjuk pada kebaikan Allah yang
tak-terbatas. Dengan demikian, kebaikan Allah pada hakikatnya tak-terlukiskan (ineffable). Bahasa
manusia tidak mampu menampung sepenuhnya kebaikan Allah. Merumuskan kesempurnaan Allah
atau kebaikan Allah yang tak-terbatas dalam bahasa manusia sebagai begini-begitu, dan menjadikan
rumusan begini-begitu itu sebagai patokan yang mutlak, itu berarti mereduksi – bahkan mungkin juga
memanipulasi – kesempurnaan Allah yang sejati.
Selanjutnya, dari Injil Matius 5, secara khusus dari ayat ke-48, Gregorius pun menggarisbawahi
perkataan Yesus agar orang seharusnya menjadi sempurna sama seperti Bapa yang di surga adalah
sempurna, Therefore be perfect, just as your heavenly father is perfect The life of Moses 1.9.). Bagi
Gregorius, karena Allah yang sempurna itu adalah tak-terbatas (infinite), tak-terlukiskan (ineffable),

8

maka menjadi sempurna sama seperti Bapa yang di surga adalah sempurna adalah menjalani proses
terus-menerus dalam hidup yang mengarahkan diri kepada Allah dan yang berpartisipasi dalam
pekerjaan-pekerjaan Allah yang baik bagi diri sendiri dan seluruh ciptaan-Nya yang lain. Menjalani
proses terus-menerus itulah yang merupakan pokok dari spiritualitas Kristen. Dalam tulisannya,
Gregorius memakai istilah epektasis (perpetual progress) – mengacu kepada tulisan Rasul Paulus
dalam surat Filipi 3:13 – untuk menunjukkan perkembangan terus-menerus spiritualitas manusia
dalam perziarahan menuju Allah (Mateo-Seco 2010a, 263). Gerak epektasis ini pada dasarnya
mengandalkan dua hal, yaitu: (1) Allah yang mau berjalan lewat di depan ciptaan-Nya dan yang rela
memberikan diri-Nya untuk diikuti ciptaan-Nya, dan (2) ciptaan Allah (seperti manusia) yang, setelah
membiarkan Allah berjalan lewat di depannya, taat dan setia mengikuti Dia dari belakang.
Gregorius menjabarkan secara jelas gerak epektasis sebagai bagian erat spiritualitas Kristen
dalam traktatnya The life of Moses. Traktat yang tetap populer sampai sekarang ini sebenarnya adalah
sebuah surat dengan uraian yang panjang, dari Gregorius untuk sahabatnya, Caesarius. Tampaknya
melalui surat panjang ini Gregorius bermaksud mengungkapkan proses menggapai kesempurnaan
hidup (the perfection of life) dalam kebajikan (virtue) bagi pengikut Kristus. Untuk maksud itu, dia
memaparkan tokoh Musa sebagai (salah satu) model yang seharusnya dipelajari, dihayati, dan diikuti
oleh pengikut Kristus. Mengapa Gregorius menampilkan tokoh Musa? Mengapa bukan Yesus?
Jawabannya adalah hal itu berkaitan dengan paham Kristus (Kristologi) dari Gregorius. Bagaimanapun
Gregorius mendukung paham Kristus sebagaimana ditetapkan Konsili Nikaea, bahwa Anak (Yesus
Kristus) adalah sehakikat (homoousios) dengan Bapa. Dengan menampilkan Musa, bukan Yesus,
sebagai tokoh yang berproses menuju kesempurnaan hidup, itu berarti Gregorius sedang menegaskan
hakikat Musa sebagai manusia yang mampu berproses menuju kesempurnaan hidup. Sebagai manusia,
Musa pada gilirannya mampu menjadi sahabat Allah; demikian juga setiap pengikut Kristus.
Pemaparan Gregorius tentang Musa itu sebenarnya bukan tanpa alasan dan tanpa latar
belakang. Memang sebelumnya Philo dari Aleksandria sudah menulis dan memaknai secara alegorik
kisah Musa dalam karyanya Life of Moses. Namun, Philo adalah seorang Yahudi yang ingin menegaskan
signifikansi dan relevansi tokoh Musa bagi umat Yahudi kepada orang-orang Yunani pada waktu itu
(abad I). Kemungkinan besar Gregorius mendapat inspirasi dari tulisan Philo ini. Paling tidak, metode
allēgoria dari Philo, khusunya dalam menafsirkan kisah Musa, dipelajari dan dikembangkan oleh
Gregorius untuk menyelisik kisah Musa dan memaknai itu bagi pembaca Kristen. Untuk tujuan itu,
Gregorius pun memakai lensa Kristologis dan eklesiologis dalam memaknai kisah Musa.
Pada bagian pertama The life of Moses, setelah menjelaskan maksud penulisan traktat dan
metode pendekatan subjek bahasan, Gregorius memaparkan riwayat hidup Musa secara padu dari
kitab-kitab Keluaran, Bilangan, dan Ulangan. Di sini kisah Musa dari kelahirannya sampai dengan akhir
hayatnya dikemukakan sedemikian rupa sehingga menjadi semacam orientasi awal bagi pembaca
(khususnya Caesarius) untuk masuk ke bagian kedua yang lebih membutuhkan banyak waktu
perenungan untuk menangkap maknanya. Pada bagian kedua, memang Gregorius mengulas secara
mendalam babak-babak tertentu kisah Musa. Di sini diungkapkan pengajaran-pengajaran tentang
kebajikan dari peristiwa-peristiwa tertentu yang dialami Musa, dalam perspektif Kristologis dan
eklesiologis (Harrison 2010, 28). Pengajaran-pengajaran tentang kebajikan ini pada kenyataannya
berperan tidak sebagai panduan moral yang beku, tetapi lebih dari itu sebagai panduan inspiratif bagi
pembentukan spiritualitas pengikut Kristus. Oleh karena itu, pada bagian kedua ini Gregorius pun
memaparkan pemaknaan tentang tiga babak perjumpaan Musa dengan Allah, perjumpaanperjumpaan yang pada gilirannya mentransformasi Musa menuju kesempurnaan hidup. Di bawah ini
tiga babak perjumpaan Musa dengan Allah yang dituliskan Gregorius.


Perjumpaan pertama: semak duri yang menyala tetapi tidak dimakan api (The life of Moses II.
19-41). Kisah perjumpaan Musa dengan Allah ini tertulis dalam kitab Keluaran 3. Dalam kisah ini,
di Gunung Horeb, Musa melihat semak duri yang menyala tetapi tidak dimakan api. Ketika
memeriksa apa yang dilihatnya itu, Musa mendengar firman Allah. Terjadilah percakapan antara
Allah dan Musa, suatu percakapan tentang misi Allah yang dianugerahkan kepada Musa untuk
turut ambil bagian dalam memerdekakan umat Israel dari penindasan bangsa Mesir. Bagi
Gregorius, perjuangan memerdekakan umat Israel dari Mesir ini menunjuk pada bukan pengertian
harfiah saja, tetapi pengertian spiritual. Tulis Gregorius, The fight of the Egyptian against the

9

Hebrew is like the fight of idolatry against true religion, of licentiousness against self-control, of
injustice against righteousness, of arrogance against humility, and of everything against what
perceived by its opposite The life of Moses II.14). Dengan demikian, perjumpaan Musa dengan
Allah di Gunung Horeb itu merupakan perjumpaan pertama yang mendorong dan meneguhkan
Musa (manusia) untuk turut dalam pekerjaan-pekerjaan (misi) Allah di dunia.


Perjumpaan kedua: asap (awan) yang menutupi puncak gunung (The life of Moses II. 152188). Kisah perjumpaan kedua antara Musa dengan Allah, menurut Gregorius, tertulis dalam
Keluaran 19:17-24. Kisah perjumpaan ini terjadi di puncak Gunung Sinai. Melalui perjumpaan ini,
Musa diingatkan oleh Allah tentang keberlainan (kekudusan) diri-Nya dari segala ciptaan-Nya.
Allah adalah sama sekali lain dari ciptaan-Nya. Dia pada hakikatnya adalah kegelapan yang
bercahaya luminous darkness) bagi segala ciptaan-Nya. Di sini Gregorius sebenarnya hendak
mengungkapkan arti penting dari teologi apofatik bagi perjalanan manusia menuju Allah yang takterlukiskan (the ineffable). Dengan sikap apofatik, manusia pada dasarnya diundang untuk selalu
waspada terhadap idola, termasuk idola berupa pengertian-pengertian tentang Allah (teologiteologi). Selain itu, dengan sikap apofatik, manusia pun diajak untuk menyadari (keterbatasan)
dirinya dan sekaligus untuk selalu menggapai kesempurnaan hidup dalam kebajikan, yakni dalam
Allah yang tak-terbatas itu. Inilah firman Allah yang didengar Musa di puncak Gunung Sinai:
Turunlah, peringatkanlah kepada bangsa itu, supaya mereka jangan menembus mendapatkan TUHAN
hendak melihat-lihat; sebab tentulah banyak dari mereka akan binasa. Juga para imam yang datang
mendekat kepada TUHAN haruslah menguduskan dirinya, supaya TUHAN jangan melanda mereka
(Keluaran 19:21).



Perjumpaan ketiga: Allah yang berjalan lewat (The life of Moses II. 219-254). Kisah perjumpaan
ketiga ini tertulis dalam kitab Keluaran 33:6-23, khususnya ayat 18-23. Kisah ini terjadi di Gunung
Horeb. Ketika itu Musa memohon agar Allah memperlihatkan kemuliaan-Nya. Allah menegaskan
bahwa Musa tidak akan tahan memandang wajah Allah yang penuh kemuliaan. Namun, Allah
memberikan diri-Nya untuk berjalan lewat. Dia akan menempatkan Musa dalam lekuk gunung dan
akan menutupi Musa sampai Dia benar-benar lewat. Musa akan melihat belakang Allah, tidak
wajah Allah. Bagi Gregorius, peristiwa ini memiliki makna yang mendalam tentang anugerah Allah
bagi manusia, yaitu kesediaan diri-Nya untuk berjalan lewat di hadapan manusia. Di samping itu,
anugerah Allah itu pun menunjuk pada kesediaan diri-Nya untuk diikuti oleh manusia dari
belakang. Allah memperlihatkan belakang-Nya, menurut Gregorius, bukan berarti Dia sedang
melakukan suatu pertunjukan atraktif, tetapi itu berarti Dia sedang mengajak manusia dan seluruh
ciptaan-Nya untuk mengikuti Dia. Ajakan untuk mengikuti Dia itu adalah ajakan untuk menempuh
perjalanan hidup dalam perkembangan terus-menerus menuju kesempurnaan hidup dalam
kebajikan-Nya. Itulah ajakan perziarahan menjadi sahabat Allah.

Penutup
Banyak pelajaran bermanfaat yang dapat dipetik dari kisah Ignatius dari Antiokhia, Felisitas,
Vibia Perpetua, Makrina, dan Gregorius dari Nyssa. Dari mereka, kita dapat menghayati dan
mempraktikkan spiritualitas Kristen yang bertolak dari iman yang hidup, yakni iman yang mencari
pemahaman (fides quaerens intellectum), iman yang mencintai Misteri (fides adorans mysterium), dan
iman yang mencari keterlibatan atau partisipasi (fides quaerens partisipionem). Iman yang hidup
seperti itu menggerakkan orang untuk menempuh perjalanan hidup yang berliku-liku dan berbatubatu, dengan menjadi seperti Yesus dan/atau menjadi sahabat Allah.

Daftar Rujukan
Beirne, Margaret. 2012. Spiritual enrichment through exegesis: St. Gregory of Nyssa and the Scriptures.
Phronema, 27 (2): 83-98.
Borg, Marcus J. 2003. The heart of Christianity: Rediscovering a life of faith. New York: HarperCollins Publishers.

10

Brent, Allen. 2007. Ignatius of Antioch: A martyr bishop and the origin of episcopacy. London: T&T Clark
International.
von Campenhausen, Hans. 1959. The fathers of the Greek church. Trans. Stanley Godman. New York: Pantheon.
Corrigan, Kevin. 1988. Saint Macrina: The hidden face behind the tradition. Vox Benedictina: A Journal of
Translations from Monastic Sources 5 (1): 13-43. Diakses pada 08 Agustus 2017.
https://monasticmatrix.osu.edu/ cartularium/life-macrina-gregory-bishop-nyssa.
Flint-Hamilton, Kimberly. 2010. Gregory of Nyssa and the culture of oppression. Racism: Christian Reflection: 2636. Diakses pada 31 Juli 2017. http://www.baylor.edu/content/ services/document.php/110994.pdf.
Glancy, Jennifer A. 2002. Slavery in early Christianity. New York: Oxford University Press.
Gregory of Nyssa. 1978. The life of Moses. Trans. Abraham J. Malherbe and Everett Ferguson. New York –
Mahwah: Paulist Press.
_______. 1988. The life of Macrina. Trans. Kevin Corrigan. Dalam Saint Macrina: The hidden face behind the
tradition. Vox Benedictina: A Journal of Translations from Monastic Sources 5 (1): 13-43. Diakses pada 08
Agustus 2017. https://monasticmatrix.osu.edu/ cartularium/life-macrina-gregory-bishop-nyssa.
Harrison, Nonna Verna. 2010. Gregory of Nyssa (c.335-c.395), the Life of Moses. Dalam Christian spirituality: The
classics, ed. Arthur Holder, 25-36. New York: Routledge.
Hefferman, Thomas J. 2012. The passion of Perpetua and Felicity. Oxford University Press.
van Henten, Jan Willem – Friedrich Avemarie. 2002. Martyrdom and noble death: Selected texts from GraecoRoman, Jewish, and Christian antiquity. London – New York: Routledge.
Hurtado, Larry W. 2005. How on earth did Jesus become a God? Historical questions about earliest devotion to
Jesus. Grand Rapids – Cambridge: Wm. B. Eerdmans Publ. Co.
Irvin, Dale T. – Scott W. Sunquist. 2004. Kekristenan: Gerakan universal – Sebuah ulasan sejarah dari kekristenan
bahari sampai tahun 1453. Maumere: Penerbit Ledalero.
Ignatius dari Antiokia. 2006. Surat-surat dan kisah kemartiran Ignatius dari Antiokia. Terj. Christian P. Sidenden,
dkk. Jakarta: Synaxis Press.
Maraval, Pierre. 2010. Biography of Gregory of Nyssa. Dalam The Brill dictionary of Gregory of Nyssa, ed. Lucas
Francisco Mateo-Seco – Giulio Maspero, 103-116. Leiden – Boston: Brill.
Mateo-Seco, Lucas Francisco. 2010a. Epektasis. Dalam The Brill dictionary of Gregory of Nyssa, ed. Lucas
Francisco Mateo-Seco – Giulio Maspero, 263-272. Leiden – Boston: Brill.
_______. 2010b. Macrina. Dalam The Brill dictionary of Gregory of Nyssa, ed. Lucas Francisco Mateo-Seco – Giulio
Maspero, 471-474. Leiden – Boston: Brill.
McGrath, Alister E. 2013. Historical theology: An introduction to the history of Christian thought, 2nd ed. West
Sussex: Wiley-Blackwell.
McGuckin, John Anthony. 2004. The Westminster handbook to Patristic theology. Louisville – London:
Westminster John Knox Press.
Meredith, Anthony. 1999. Gregory of Nyssa. London – New York: Routledge.
Ojell, Ari. 2010. Apophatic theology. Dalam The Brill dictionary of Gregory of Nyssa, ed. Lucas Francisco MateoSeco – Giulio Maspero, 68-73. Leiden – Boston: Brill.
Osiek, Carolyn. 2003. Female slaves, Porneia, and the limits of obedience. Dalam Early Christian families in
context: An interdisciplinary dialogue, 255-274. Grand Rapids – Cambridge: Wm. B. Eerdmans Pub. Co.
Rousseau, Philip.
. The pious household and the virgin chorus: Reflections on Gregory of Nyssa s Life of
Macrina. Journal of Early Christian Studies, 13 (2): 165-186.
Samellas, Antigone. 2013. Experience, freedom, and canon in the work of Gregory of Nyssa. Journal of Early
Christian Studies, 21 (4): 569-595.
Solovieva, Olga. 2015. Spiritual exegesis as an ascetic perfomance in Gregory of Nyssa. Journal of Early Christian
Studies, 23 (4): 529-558.
Stewart, Columba. 2005. Christian spirituality during the Roman empire (100-600). Dalam The Blackwell
companion to Christian spirituality, ed. Arthur Holder, 73-89. Oxford: Blackwell Publishing.
Theissen, Gerd. 2005. Gerakan Yesus: Sebuah pemahaman sosiologis tentang jemaat Kristen perdana. Terj. Robert
Mirsel. Maumere: Penerbit Ledalero.
Wilson-Kastner, Patricia. 1979. Macrina: Virgin and teacher. Andrews University Seminary Studies, 17: 105-117.