KONSEP MODEL MODEL DAN alat

KONSEP, MODEL-MODEL, DAN
PERSOALAN ETIK KERJA KELOMPOK

A. Kilas Historis Konsep Kerja Kelompok
Sejarah kelompok sama tuanya dengan sejarah manusia. Sejak awal
kehidupan manusia, antara individu satu adegan dengan yang lainnya terkait dalam
menciptakan kebersamaan. Selanjutnya, hasil dari perbuatan-perbuatan keompok
dijadikan warisan yang dialihkan dari generasi ke generasi, sehingga membentuk
pola-pola perilaku. Kelompok merupakan suatu jalan alamiah untuk berkomunikasi
dan berhubungan antara seseorang dengan orang lain. Oleh karena itu, apabila
berbicara sejarah kelompok tidak mengindikasikan tentang kapan atau dimana
pertama kali kelompok dibentuk, tetapi seluruh kebudayaan menghasilgunakan
kelompok di dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Secara khusus di dalam profesi-profesi bantuan seperti konseling, kelompok
merupakan suatu sistem yang kritis untuk setiap pribadi. Sebagai suatu arena
interaksi sosial, kelompok berpotensi menyediakan atau memenuhi suatu rentang
kebutuhan manusia untuk: (a) memiliki dan diterima; (b) disahkan melalui proses
umpan-balik; (c) bertukar pengalaman bersama dengan yang lain; dan (d)
kesempatan bekerja dengan orang lain tentang tugas-tugas umum (Anderson &
Carter, 1984: 115).
Kendati kelompok didefinisikan dengan pelbagai cara, tampaknya pendapat

Johnson dan Johnson (1991) melingkupi kualitas kebanyakan bentuk kelompok.
Menurut mereka, kelompok adalah suatu kumpulan yang terdiri dari dua atau lebih
individu, yang bertemu dalam interaksi tatap muka, dengan kesadaran satu sama
lain akan kepemilikan dan pencapaian tujuan bersama (Samuel T. Gladding, 1995:
3-4).
Sementara itu konsep kerja kelompok (group work) melingkupi seluruh tipe
aktivitas yang ditampilkan oleh kelompok-kelompok yang teroraganisasikan,
seperti kelompok tugas/kerja, bimbingan/psychoeducational, psikoterapi, dan
konseling/pemecahan masalah interpersonal. Pada tahun 1990, konsep tersebut
secara lebih khusus dikemukakan oleh The Association for Specialists in Group

Work (ASGW, 1990) sebagai berikut, bahwa kerja kelompok diartikan sebagai suatu
praktek professional yang luas, yang mengarah kepada pemberian bantuan atau
penyelesaian tugas-tugas dalam suatu adegan (setting) kelompok. Definisi ini
mencakup penerapan teori dan proses kelompok oleh praktisi professional yang
terandalkan, yang membantu suatu keterikatan keumpulan orang satu sama lain
untuk mencapai tujuan mereka, yang mungkin bersifat pribadi, antar pribadi atau
yang berkaitan dengan tugas.
Kerja kelompok telah berkembang melaui pertumbuhan sejarah yang
berbeda. Di Inggris, pertengahan tahun 1800-an muncul suatu gerakan yang disebut

terapi moral (moral therapy) yang menyembuhkan pasien gangguan mental melalui
perlakuan di dalam adegan pedesaan untuk menghirup udara segar, melukis, serta
dirawat secara manusiawi.
Selama permulaan tahun 1900-an, kelompok dibentuk dan digunakan
dengan penekanan pada fungsionalitas dan penataran pragmatis. Perkembangan
keompok selepas tahun 1800-an menunjukkan suatu gerakan yang dinamis,
dikarenakan disumbang oleh kemunculan disiplin-disiplin psikologi, sosiologi,
filsafat, dan pendidikan. Jane Addams bereksperimen yang terfokus pada para
imigran dan yang miskin di Hull House, Chicago. Dia mengorganisasikan indivisuindividu kepada budaya Amerika Baru atau diasingkan darinya, dengan maksud
dan memberdayakan kelompok melalui keikutsertaan mereka dalam membaca,
kerajinan tangan, dan aktivitas-aktivitas keompok. Focus dari Hull House terutama
pada hubungan timbal-balik yang mendorong “keterarahan-diri dan kehormatandiri individu”. Model kerja kelompok yang dirancang Addams menekankan pada
“masayarakat sosial yang luas” yang di dalamnya anggota kelompok memiliki asalusul, tujuan-tujuan, dan kebutuhan yang sama.
Masih pada tahap awal tahun 1900-an, tepatnya tahun 1905 di Rumah Sakit
Umum Massachusetts, Boston. Joseph Hersey Pratt merupkan orang pertama yang
menggunakan kelompok yang tidak berorientasi pada kerja/tugas atau tidak
mengutamakan

pendidikan-psikologis


(psychoeducational).

Dia

memulai

psikoterapi kelompok untuk pasien-pasien bekas pengidap turbeculosis (TBC) yang
berada dalam kondisi kronis dan depresi. Pratt merupakan orang pertama yang

menulis tentang dinamika yang terjadi di dalam adegan kelompok, dan karyanya
dipersiapkan sebagai suatu model pemimpin-pemimpin lain mengeksplorasi ke
dalam kelompok mereka. Dia menggunakan kelompok untuk mengajar pasien caracara merawat diri mereka sendiri, melalui penalaran-penalaran yang ekonomis dan
ramah (manusiawi).
Jesse B. Davis, kepala sekolah Grand Rapids High School di Michigan,
pada tahun 1907 mengarahkan kelas berbahasa Inggris setiap minggu yang
dicurahkan kepada “Bimbingan Moral dan Jabatan”. Dia tidak menekankan pada
dinamika dan proses kelompok, melainkan pada fungsionalitas suatu kelompok
sebagai lingkungan belajar keterampilan hidup dan nilai-nilai.
Awal kemajuan kerja terapeutik kelompok mengalami kelambatan dari
tahun 1910-1919. Pada masa tersebut Perang Dunia I terjadi, kelompok digunakan

dengan keras untuk kepentingan yang bermanfaat. Para tentara ditugaskan dalam
kelompok-kelompok perang. Selama masa itu dikembangkan tes-tes psikologis
kelompok, seperti Army Apha and Beta (tes inteligensi). Kelompok juga digunakan
dalam suatu cara yang terbatas untuk merawat para tentara yang kelelahan
bertempur. Dengan demikian, selama perang kerja tim ditekankan baik pada
personil sipil maupun militer.
Barulah pada tahun 1920-an-1930-an, hakikat kelompok-kelompok diteliti
secara lebih terbuka. Teori utama yang muncul di dalam gerakan kelompok adalah
dari J. L. Moreno. Ia menerbitkan makalah filosofis tentang metode-metode
kelompok, yang ditulis di bawah nama J. M. Levy. Seperti halnya di Eropa,
pandangan Moreno kemudian berpengaruh terhadap perkembangan teori dan
praktek kelompok di Amerika Serikat. Karya-karya tulisnya ditekankan pada
psikoanalitik dan perspektif psikologis psikodrama merumuskan “Theatre of
Spontaneity”. Ide Moreno kemudian mempengaruhi para ahli lain, seperti Fritz
Perls yang menemukan teknologi Gestalt; dan William Schutz yang membentuk
teknik-teknik pertemuan.
Bimbingan dan konseling kelompok menawali babakan bentuk baru.
Bentuk konseling kelompok merujuk kepada collective counseling dari Alfred
Adler, yang dilaporkan dan dipergunakan awal tahun 1922. Selama tahun 1920-an


banyak pula dilakukan investigasi terhadap fenomena kelompok kecil oleh para
ilmuwan sosial. Allport (1924) meneliti tipe interaksi dan norma yang berlaku
dalam adegan kelompok kecil, serta bagaimana individu dipengaruhi oleh
kelompok. Penilaian tampilan kelompok melawan individu dilakukan oleh Gordon
(1924) dan Watson (1928).
Pada tahun 1930-an sejarah kerja kelompok tercatat dalam lima peristiwa
penting. Pertama, peningkatan publikasi dan praktek pendidikan psikologis dan
bimbingan kelompok. Kedua, J. L. Moreno melanjutkan menulis dan presentasi
kreatifnya. Ia memperkenalkan istilah terapi kelompok dan psikoterapi kelompok
ke dalam perbendaharaan profesi bantuan (1930: 1932). Moreno juga membentuk
perlakuan kelompok yang disebut Psikodrama. Ketiga, studi lapangan dilakukan
oleh para sosiolog, seperti Muzafer Sherif (1936), Theodore Newcomb dan W. F.
Whyte yang masing-masing hasil karya studi selama 3,5 tahun tentang sistem sosial
yang luas melalui pergerakan ke dalam daerah kumuh di Boston. Dia menemukan
gang, klub, dan organisasi politik yang berdampak dramatis terhadap kehidupan
individu. Keempat, selama decade tersebut pertama ditemukan tentang kelompok
bantuan-diri (self-help group) di Amerika dan alkoholik tanpa nama (Alcoholics
Anonymous). Terakhir, adalah fenomena pergerakan perlakuan psikoanalitik
terhadap matra kelompok.
Perang Dunia II dan tahun 1940-an dipandang sebagai periode awal kerja

kelompok modern. Dua arahan utama di dalam perkembangan resmi dari kelompok
selama masa ini, yaitu: (1) penulisan teori dan praktek dari Kurt Lewin dan Wilfred
Bion; dan (2) pematapan organisasi-organisasi kelompok. Iklim kerja kelompok
dikembangkan selama masa ini, yang merefleksikan reaksi perlawanan masyarakat
Amerika dan Inggris terhadap keotoriteran dan kediktatoran, dalam kerangka
mempertunjukkan kepedulian dan mendorong demokrasi.
Dekade 1950-an ditandai oleh perbaikan yang meningkat dalam
keseluruhan aspek kerja kelompok. Bales (1950) mencatat peran-peran stereotip
dari banyak kelompok yang kelebihan waktu yang gawat. Pada waktu yang
sama,Karen Horney, Harry Stack Sullivan dan Carl Rogers mengembangkan

perspektif teori yang berbeda terhadap “adegan klinis yang berbeda untuk tipe
permasalahan klinis yang berbeda pula”.
Selama 1950-an prosedur kelompok mulai diterapkan pada praktek
konseling keluarga, yang antara lain dipelopori oleh Rudolph Dreikurs; yang pada
awalnya bekerja dengan kelompok orang tua. Konsep baru tentang kelompok pun
berkembang pada masa ini. Istilah kelompok perkembangan (developmental group)
awalnya digunkan oleh Richard Blake dan Jane Mouton. Buku teks pertama tentang
kerja kelompok diterbitkan tahun 1958, yang berjudul Counseling and Learning
through Discussion oleh Helen I. Driver. Terminologi kerja dengan kelompok

menjamur pada decade 1950-an. Sejumlah tipe baru kelompok yang disebut
“kelompok mutu/quality groups” diimplementasikan oleh orang Jepang di bawah
pengarahan ahli kelompok tugas/kerja W. Edwards Deming. Tipe-tipe kelompok
ini selanjutnya mempengeruhi industry Amerika pada dekade 1980-an.
Kerja kelompok, secara khusus konseling dan psikoterapi kelompok
terkenal di tahun 1960-an. Para praktisi kelompok mempopulerkannya pada The
New York Times yang merancang tahun 1968 sebagai tahun kelompok. Dua
kelompok yang poupler dengan sebutan Marathon groups (George Bach dan Fred
Stoller, 1964) dan basic encounter group atau encounter group (kelompok
pertemuan) dikembangkan oleh Carl Rogers (1967) dari teoti konseling individual.
Berbagai peristiwa penting dari periode ini patut pula dicatat, khususnya dalam
perkembangan teori dan praktek kelompok. Para pakar teori sekaligus praktisi yang
berorientasi eksistensial-humanistik, yang dikenal pada decade ini, antara lain Fritz
Perls (1967); Eric Berne (1964;1966); William C. Schutz (1967); Jack Gibb (1961);
George Bach (1967) dam Carl Rogers.
Penelitian kelompok kerja dan pertumbuhan kelompok bantuan-diri
diperhalus selama decade 1970-an dan 1980-an. Kelompok kerja/tugas menjadi
lebih penting dan berpengaruh dari tahun 1970-an hingga kini. Kelompok
pendidikan psikologis dimunculkan kembali selam periode penting 1980-an dan
1990-an. Etika dan standar professional untuk pemimpin kelompok diadopsi pada

masa

90-an,

serta

organisasi-organisasi

pertumbuhannya dengan subur.

kelompok

mulai

melanjutkan

Berkaitan dengan kilasan sejarah kelompok di atas, George M. Gazda
(1984) memetakan garis waktu historis tentang prosedur-prosedur kelompok, yang
didukung oleh fakta yang komprehensif.
Kilasan sejarah perkambangan kelompok yang terpaparkan di atas berasal

dan bersumber dari belahan dunia Barat, khususnya di Indonesia, untuk meninjau
perkembangan konsep dan praksis konseling kelompok, tampaknya tidak dapat
dipisahkan dari garis historis perkembangan pendidikan. Rochman Natawidjaja
dalam hal ini mengisyaratkan perspektif pemikiran dan praksis kependidikan yang
konsisten dalam mengembangkan bimbingan pada umumnya, dan konseling
kelompok pada khususnya.
Menurut Rochman (1987), jauh sebelum masyarakat Indonesia bersentuhan
dengan budaya Amerika Serikat, Ki Hajar Dewantara telah menciptakan sistem
pendidikan yang pada gilirannya diambil sebagai dasar pengembangan pendidikan
nasional, termasuk konsep dasar bimbingan.
Namun untuk memperoleh fakta empirik yang menggambarkan sejarah
perkembangan bimbingan dalam keseluruhan adegan pendidikan, diperlukan suatu
penelitian yang terpadu dan komprehensif dari kalangan yang mempedulikannya.
Hasil dari penelitian yang dimaksud, pada gilirannya akan memperkaya khazanah
pemikiran dan dapat dijadikan bahan masukan untuk memprediksi kecenderungan
arah bimbingan pada masa-masa mendatang.
B. Model-model Utama Kerja Kelompok
Gladding (1995) menggunakan empat model untuk memandang kelompok
yang difokuskan pada standar-standar kelompok, yakni: (1) Teori Sistem Umum
(General System Theory); (2) Teori Kelompok Terfokus-Kontak (Contact-Focused

Group Theory); (3) Model Kelompok TRAC (tasking, relating, acquiring, and
contacting); dan (4) Model Kelompok Standar/Spesial (Specialty/Standards Model
of Groups).
Model (1) dipandang sebagau suatu cara utama yang menjelaskan kelompok
dan proses-prosesnya. Dari perspektif ini, suatu kelompok dipandang sebagai
perangkat organisme tunggal yang umumnya disebut anggota, yang lebih satu
periode waktu atau periode-penyelaan ganda, bertalian tatap muka satu sama lain,

memproses materi-energi dan informasi. Dalam model sistematik ini, anggota
kelompok

yang

selalu

menentukan

antara

kebutuhan-kebutuhan


untuk

membedakan mereka sendiri dan memadukan dengan yang lain. Dalam cara ini,
mereka mirip satu keluarga. Dari perspektif sistem, pimpinan kelompok harus
mengubah upaya-upaya mereka dalam anggota bantuan dan kelompok sebagai
suatu keseluruhan yang mencapai keseimbangan dari kebutuhan-kebutuhannya.
Pimpinan, dengan demikian sebagai pengembang kelompok.
Kepercayaan utama dari model sistem umum adalah kesehatan kelompok
itu sendiri. Kelompok mungkin bekerja di dalam suatu cara yang fungsional atau
disfungsional bergantung pada banyak factor, antara lain pertalian antar pribadi,
kesehatan mental individu yang terlibat, dan keterampilan pemimpin kelompok.
Model (2) memfokuskan pada tujuan kelompok, malahan pada dinamikadinamika mereka sebagaimana dalam teori sistem umum di atas. Tiga kelompok
kontak utama yang dijelaskan dalam model ini, yaitu: bimbingan kelompok,
konseling kelompok, dan psikoterapi kelompok. Di dalam beberapa kasus, sulit
membedakan ketiga kelompok tersebut. Menurut Ohlsen (1977) letak perbedaan
antara konseling kelompok dengan psikoterapi kelompok adalah lebih pada hasil
dari keterlibatan orang, alih-alih pada proses itu sendiri. Perbedaan antara ketiga
kelompok tersebut menurut Mahler (1971) terletak pada: (1) pembatasan awal
tujuan kelompok; (2) ukuran kelompok; (3) pengelolaan isi; (4) lamanya kehidupan
kelompok; (5) tanggung jawab pemimpin; (6) kepelikan masalah; (7) kompetensi
pemimpin.
Gazda (1984: 1989) dan Rochman Natawidjaja (1987) mengukur perbedaan
dan persamaan ketiga tipe kelompok yang dimaksud dalam suatu cara yang
kontinum. Dalam hal ini tampak tujuan-tujuan yang tumpang tindih, kompetensi
professional dan kekhasan masing-masing, seperti tergambar sebagai berikut.

Pencegahan dan
kemudahan
Pertumbuhan
Bimbingan kelompok
Kelompok latihan
keterampilan hidup
(keterampilan sosial)

Pencegahan-kemudahan
dan penyembuhan

Penyembuhan

Koseling kelompok
Psikoterapi kelompok
Kelompok-latihan
Kelompok latihan
Kelompok latihan
Keterampilan hidup
kepekaan
(keterampilan sosial)
Kelompok
perkembangan
organisasional
Kelomok pertemuan
Kelompok berstruktur
(termasuk latihan
keterampilan hidup)
Gambar 1.1 hubungan antara Proses-proses Kelompok

Sumber: Diramu dari George M. Gazda (1984: 1989); Rochman Natawidjaja
(1987); dan Samuel T. Gladding (1995).
Model (3) dikenal melalui singkatan TRAC (tasking/penugasan;
relating/pertalian; acquiring/perolehan; dan contacting/hubungan kontak). Tiaptiap tulisan tersebut menampilkan suatu area di dalam gambaran total kerja
kelompok, yang dipetakan dalam gambar2.1 berikut.

Gambar 2.1. Peta Proses dan Manajemen Kelompok TRAC
Sumber: Samuel T. Gladding (1995: 18)

Gambar 2.1 menunjukkan bahwa kelompok penugasan difokuskan pada
pencapian tugas; sementara dalam kelompok pertalian tujuan dicapai untuk
meningkatkan pilihan-pilihan bagi pergerakan ke dalam kehidupan tiap pribadi;
sedangkan kelompok perolehan diarahkan kepada hasil belajar anggota yang dapat
diterapkan kepada yang lain. Akhirnya kelompok hubungan-kontak difokuskan
pada pertumbuhan individual para anggota.
Model yang terakhir (4), yaitu model kelompok standar/spesial, kelompok
dibatasi menurut tujuan, fokus, dan kompetensi yang dibutuhkan mereka. ASGW
(1990) mengembangkan standar untuk setiap kelompok ke dalam empat tipe, yaitu:
(1) bimbingan/pendidikan psikologis; (2) konseling/pemecahan masalah antar
pribadi; (3) psikoterapi/rekonstruksi kepribadian; dan (4) tugas/kerja. Keempat
kelompok standar tersebut memerlukan keterampilan-keterampilan ini yang mirip,
seperti keterampilan bekerja untuk membangun kekompakan dan memecahkan

konflik; serta keterampilan khusus untuk kepentingan yang khusus pula, seperti
pengetahuan menggemakan pengajaran, dan teknik-teknik praktis dalam kelompok
pendidikan psikologis.
D. Persoalan Etik dan Legal Kerja Kelompok
Konselor sebagai pemimpin kerja kelompok selalu dituntut untuk membuat
keputusan yang tepat dan bijaksana, yang menunjukkan kinerja profesionalnya.
Setiap keputusan yang dihasilkannya didasarkan atas pedoman etik organisasi
profesional yang telah disepakati, baik pada tingkat lokal (daerah) maupun tingkat
nasional. Para praktisi kerja kelompok terkadang dibingungkan disaat harus
mengambil keputusan; apakah berlandaskan pedoman etik, standar-standar legal,
atau keduanya. Etik dan hukum tidaklah satu dan sama. Namun para konselor di
dalam pembuatan keputusan yang terbaik dan bijaksana, seyogianya menggunakan
pelbagai informasi dan sumber yagn terandalkan
Informasi yang sekadarnya tidaklah cukup. Pengetahuan tentang etik itu
sendiri bukanlah jaminan berperilaku etik sebagaimana mestinya. Pimpinan atau
konselor dan anggota kelompok harus selalu mempraktekkan apa yang mereka
pelajari. Hanya dengan praktek, keterampilan bernalar mereka yang bekerja dalam
kelompok menjadi tajam serta melandasi perilaku dengan segala konsekuensinya.
Oleh karena itu, pengambilan keputusan etik dan legal adalah suatu aktivitas
dinamis yang membutuhkan perhatian hati-hati, bila konselor kelompok ingin tetap
bertahan dan bertindak searah dengan minat para anggota kelompok. Hal tersebut
menjadi tanggung jawab setiap pimpinan kelompok untuk berusaha berpikir secara
etik dan bertindak secara pprofesional.
Kerja kelompok merupakan merupakan suatu proses yang kompleks,
sehingga mereka yang terlibat di dalamnya harus mempertimbangkan pelbagai segi.
Oleh karena itu, pada bagian berikut dikupas tentang hakikat dan persoalan etis
serta peraturan-peraturan legal yang berpengaruh terhadap bidang kerja kelompok.
E. Hakikat dan Persoalan Etis Kerja Kelompok
Dalam kerja kelompok, etis didefinisikan sebgai aturan-aturan tingkah laku
berdasarkan atas seperangkat nilai-nilai professional. Berperilaku etis adalah
bertindak di dalam suatu cara yang diterima secara professional berdasarkan atas

nilai-nilai. Perlakuan etis, dengan demikian merupakan penarikan kesimpulan yang
benar dan tepat berdasarkan atas nilai-nilai.
Adapun persoalan pokok (issues) yang berkaitan dengan kode etik
professional dan seyogianya diperhatikan dalam penyelenggaraan kerja kelompok,
yaitu mencakup: (1) Latihan pimpinan kelompok; (2) Penyaringan anggota
kelompok; (3) Hak anggota kelompok; (4) Kerahasiaan; (5) Hubungan pribadi
antara anggota dengan pimpinan kelompok; (6) Hubungan rangkap; (7) Hubungan
pribadi antar anggota; (8) Penggunaan teknik-teknik kelompok; (9) Nilai-nilai
pimpinan; (10) Rujukan; dan (11) Pengakhiran dan tindak lanjut.

1. Latihan Pimpinan Kelompok
Ciri-ciri atau karakteristik pimpinan kelompok merupakan hal yang vital
dalam kerja kelompok. Ciri-ciri yang dimaksudkan mencakup kualitas kesadaran
diri, ketulusan, kemampuan untuk membentuk kehangatan, memelihara hubungan,
kepekaan dan pemahaman, kepercayaan-diri, rasa humor, fleksibilitas perilaku dan
kemauan untuk menilai-diri. Tanpa ciri-ciri tersebut, para pimpinan kelompok atau
konselor berpotensi untuk tidak efektif dan mengalami kesulitan dalam menjalin
hubungan antar pribadi.
Biasanya individu yang menjadi pimpinan kelompok mengikuti latihan
lanjutan, yang diselenggarakan dan merupakan tanggung jawab program
pendidikan profesional. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa para
lulusannya terintegrasi secara pribadi dan kompeten untuk terlibat dalam
memimpin kelompok.
Di samping kualitas pribadi, dalam latihan pimpinan kelompok tercakup
pula materi-materi pelatihan dan pengalaman praktek yang terpilih. Bagi individuindividu yang bermaksud untuk menjadi pimpinan kelompok, dibutuhkan materi
pelajaran tentang kepribadian, perilaku menyimpang, teori konseling, hubungan
manusiawi sistematis, dan pengukuran, sebagimana dibutuhkan pula pengajaran
tentang teori dan praktek kerja kelompok (Vander Kolk, 1985). Menurut Corey,
dkk. (1993) dan Yalom (1985), mereka juga perlu terlibat di dalam tipe-tipe

pengalaman kelompok yang berbeda, baik sebgai peserta dan pemimpin, maupun
sebagai pendamping pimpinan.
Kemampuan khusus yang menjadi standar professonal pimpinan kelompok
menurut Association for Specialitis in Group Work (ASGW, 1990) mencakup tiga
kelompok besar, yaitu kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan khusus,
kemampuan dalam bidang keterampilan khusus, dan pengalaman memimpin klinis.
Rochman Natawidjaja (1987) merinci ketiga kemampuan khusus itu sebagai
berikut. Kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan meliputi: (1) teori-teori
utama mengenai konseling kelompok, termasuk persamaan dan perbedaan di antara
teori-teori itu; (2) prinsip-prinsip pokok tentang dinamika kelompok serta gagasangagasan dasar mengenani proses kelompok; (3) kekuatan dan kelemahan diri
sendiri, nilai-nilai hidup yang dianutnya dan ciri-ciri pribadinya sendiri yang dapat
memberikan pengaruh terhadap kemampuan sebagainya pemimpin kelompok; (4)
persoalan-persoalan pokok mengenai etika dan profesi yang khusus berkaitan
dengan pekerjaan kelompok; (5) informasi mutakhir tentang penelitian dalam
bidang pekerjaan kelompok; (6) peranan dan perilaku yang bersifat memudahkan
peserta konseling kelompok yang mungkin diharapkan oleh para peserta itu; (7)
keuntungan dan kerugian dari pekerjaan keompok dan situasi-situasi saat kerja
kemlompok tepat atau tidak tepat digunakan sebagai suatu bentuk intervesensi yagn
bersifat terapeutik; dan (8) ciri-ciri interaksi kelompok dan peranan konselor yang
terlibat dalam tahap-tahap perkembangan kelompok.
Kemampuan yang berkaitan dengan keterampilan khusus yang seyogianya
dikuasai seorang konselor kelompok, mencakup: (1) mampu menyaring dan
menilai kesiapan klien untuk turut serta dalam suatu kelompok; (2) memiliki
definisi yang jelas mengenai konseling kelompok dan mampu menerangkan tujuan
serta prosedur konseling kelompok kepada para anggota kelompok; (3)
mendiagnosis perilaku yang merusak diri sendiri pada para anggota kelompok dan
mampu menangani kasusu-kasus yang memperlihatkan perilaku demikian itu
dalam kelompok yang bersangkutan dengan cara yang konstruktif; (4) membuat
model perilaku yang tepat untuk para anggota kelompok; (5) menafsirkan perilaku
non verbal secara teliti dan tepat; (6) menggunakan keterampilan yagn dimilikanya

dengan cara yang tepat pada waktunya dan efektif; (7) melakukan penangan
masalah pada saat yang kritis dalam keseluruhan proses kelompok; (8) mampu
memanfaatkan

teknik,

strategi

dan

prosedur

konseling

kelompok;

(9)

menggerakkan factor-faktor terapeutik yang dapat menimbulkan perubahanperubahan tertentu, baik dalam kelompok maupun pada diri individu anggotanya;
(10) mampu menggunakan prosedur kelompok penunjan gseperti pemberian
pekerjaan rumah; (11) mampu bekerja sama dengan pemimpin kelompok yagn lain
secara efektif; (12) mampu secara efektif mengarahkan pertemuan kelompok
menuju kepada penutupannya dan mampu mengakhirinya; (13) mampu
menggunakan prosedur tindak lanjut untuk mempertahankan dan menunjang hasil
konseling yagn telah diperoleh anggota kelompok yang bersangkutan; dan (14)
mampu menggunakan prosedur penilaian untuk mengetahui hasil kegiatan
kelompok.
Dalam hal kemampuan yang berkaitan dengan pengalaman memimpin
klinis, seorang kelompok harus mampu: (1) membuat kritis mengenai rekaman
kegiatan kelompok; (2) mengamati pelaksanaan konseling kelompok; (3) turut serta
sebagai seorang anggota dalam kelompok; (4) menjadi pendamping pemimpin
kelompok; (5) melakukan praktek konseling kelompok secara madiri; dan (6)
melaksanakan program magang (internship).
Sekaitan dengan etika kepemimpinan kelompok sangatlah penting
diperhatikan, bahwa para konselor seharusnya memahami keterbatasan dirinya
dalam kemampuan, keterampilan, ataupun dalam pengalaman praktis. Dengan
pemahaman seperti itu, para konselor tidak sembarang membantu atau memimpin
konseling kelompok yagn di luar keterbatasannya.
Bagi pemimpin konseling kelompok pemula, sangatlah dianjurkan untuk
banyak belajar mengenali dan memperkaya pengalaman kerja dengan sejumlah
persoalan pokok professional dan personal yang berpengaruh terhadap kemampuan
memandu kelompok.

2. Penyaringan Anggota Kelompok Potensial

Penyaringan anggota kelompok potensial merupakan persoalan pokok yang
kedua di dalam kerja kelompok. Proses ini lebih sulit daripada yang diduga, dan
menjadi peristiwa yang lebih kompleks manakala kelompok terdiri dari anggota
tidak sukarela (nonvolunteers).
Tugas penyaringan pada dasarnya meliputi tiga proses sebagai berikut.
Pertama, diawali ketika pemimpin kelompok memformulasikan tipe kelompok
yang disukai dan sesuai dengan kualifikasi kepemimpinannya. Kedua, proses
rekrutmen atau penerimaan. Dalam proses ini, pemimpin atau konselor sudah
menentukan bahwa dirinya tidak salah tampil pada tipe kelompok yang harus
dipadunya. Dalam proses penerimaan, anggota potensial berhak utuk mengetahui
tujuan-tujuan kelompok, prosedur dasar yang digunakan, apa yang diharapkan
sebagai anggota peserta dan dari pimpinan kelompok, serta berbagai risiko
sebagaimana keikutsertaan dalam kelompok. Penerimaan ke dalam kelompok
dipandu dalam sejumlah cara, mencakup penyebaran percobaan sebagaimana
halnya pengarahan, kontak pribadi dengan anggota kelompok dari bantuan
professional yang memungkinan diketahui kecocokan individu-individu untuk
setiap pengalaman. Ketiga, adalah tugas penyaringan para pelamar oleh pemimpin
untuk memastikan bahwa mereka sanggup memberi manfaat dan menyumbang
terhadap kelompok. Tipe penyaringan ini menyangkut kepemimpinan satu persatu
atau kelompok untuk membangun hubungan, menjelaskan norma-norma dan
harapan perilaku kelompok, serta untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang
kelompok yang mungkin dimiliki individu pelamar.
Suatu aspek penyaringan yang penting di samping menyediakan kontak
pribadi, juga untuk mengetahui apakah anggota kelompok potensial sekarang
tengah berada dalam berbagai perlakuan kesehatan mental. Jika mereka sedang
dalam perlakuan, maka yang esensial bagi pimpinan kelompok adalah mengontak
pemberi layanan kesehatan mental lain itu dan menginformasikan tentang
keinginan anggota potensial untuk berperan-serta dalam kelompok (Gazda, 1989).
Anggota kelompok potensial akhirnya haris memutuskan, apakah akan bekerja
sama atau tidak dalam kolabari dengan professional itu.

3. Hak-hak Anggota Kelompok
Anggota kelompok memiliki hak yang harus dihormati dan dilindungi , apabila
kelompok ingin berlangsung baik. Hak-hak yang dimaksud seimbang dengan hakhak pengguna layanan professional.
Pedoman khusus yang berkaitan dengan hak dalam situasi-situasi kelompok
yang terutama harus dilindungi menurut Pedoman Etik untuk Konselor Kelompok
(ASGW, 1989) adalah sebagai berikut. Anggota kelompk harus diberitahu sebelum
menajdi anggota kelompok, bahwa peran-serta mereka di dalam kelompok adalah
sukarela dan mereka dapat meninggalkan kelompok kapanpun mereka kehendaki.
Selanjutnya, anggota kelompok berhak untuk menolak mengikuti perintah-perintah
atau saran-saran dari pimpinan dan anggota yang lain. Mereka harus berharap untuk
dirawat dan dihormatisecara individual serta dilindungi dari ancaman dan intimidai
fisik dan psikologis. Meerka juga harus diberitahu sejelas mungkin tentang yang
dapat dan tidak dapat dilakukan oleh pimpinan kelompok. Pada dasarnya, anggota
kelompok berhak untuk mengetahui serealistik mungkin tentang tipe prosedur
kelompok yang dipergunakan dan risiko keterlibatan mereka.

4. Kerahasiaan
Kerahasiaan adalah hak anggota kelompok. Setiap anggota berhak untuk
menyatakan

pemikiran-pemikiran

pribadi,

perasaan-perasaan,

dan

menginformasikan kepada pimpinan dan anggota kelompok yang lain serta
mengharapkan, bahwa tiada jalan bagi yang bukan anggota kelompok untuk
mempelajari hal-hal tersebut. Apabila anggota kelompok tidak sanggup memelihara
rahasia, maka kehancuran proses kelompok yang akan terjadi. Landasan
pemeliharaan rahasia adalah materi kepercayaan. Kelompok yang berkeinginan
produktif, mensyaratkan anggotanya saling percaya satu sama lain.
Menurut Rochman Natawidjaja (1987) kerahasiaan merupakan persoalan
pokok yang paling penting dalam konseling kelompok. Ini bukan hanya berarti
bahwa konselor harus memelihara kerahasiaan tentang apa yang terjadi dalam
konseling kelompok itu, melainkan juga konselor sebagai pemimpin harus
menekankan kepada semua peserta pentingnya pemeliharaan kerahasiaan itu.

Mereka harus diingatkan, bahwa segala sesuatu yang terjadi selama konseling
kelompok berlangsung merupakan rahasia mereka bersama sebagai kelompok.
Konselor sebagai pemimpin kelompok harus menghadapi kepentingan dan
kenyataan kerahasiaan selama proses penyaringan awal kelompok. Ini harus pula
ditegaskan kepada anggota kelompok potensial, bahwa kerahasiaan diharapkan
setiap orang di dalam kelompok dalam rangka menumbuhkan kepercayaan,
kekompakkan, dan pertumbuhan.
Terkadang konselor harus mengetahui, bahwa di antara anggota kelompok tidak
dapat menjamin kerahasiaan dan mungkin hal itu berkaitan dengan kasus etis dan
atau peraturan hukum yang mendorong konselor membuka kerahasiaan. Namun,
untuk menetukan batas kerahasiaan itu sendiri, sangat bergantung kepada para
peserta konseling kelompok. Dalam hal ini, konselor perlu tanggap terhadap
kehendak kelompok untuk membatasi kerahasiaan itu.
Ada beberapa hal yang menimbulkan kekecualian di dalam memelihara
kerahasiaan. Apabila tindakan peserta dalam konseling kelompok tertentu
memungkinkan syatu kerugian atau bahaya terhadap orang lain atau kepada
kepentingan umum, maka konselor seyogiayanya mempertimbangkan peristiwa itu
untuk dapat pengusutan lebih lanjut oleh pihak lain yang lebih berwenang. Untuk
hal ini, konselor seyogiayanya memeberikan informasi terbatas kepada pihak yang
berwenang itu. Walaupun demikian, penyampaian informasi semacam itu
seyogianya dilakuakn atas sepengetahuan individu peserta yang bersangkutan.
Dengan demikian, konselor tetap menghormati hak peserta yang bersangkutan
untuk mengetahui dan mengatur perilakunya. Dalam ‘pelanggaran’ terhadap
kerahasiaan itu, konselor perlu memahami peraturan hukum yang berlaku yang
berkenaan dengan persoalan tersebut. Dalam hal kode etik profesional konselor
telah bebrbaur dengan kode etik profesional hukum dan kepengacaraan.

5. Hubungan pribadi antara anggota dengan pimpinan kelompok
Ragam dan jenis hubungan anggota kelompok dengan pimpinan akan
bervariasi dari kelompok satu ke kelompok lainnya. Dalam kelompok tugas/kerja,
kontak kebetulan antara anggota dengan pemimpin kelompok biasanya tidak dapat

dihindari dan mungkin produktif. Bagaimanapun dalam kelompok terapeutik,
setiap kontak adalah mungkin menjadi tidak pantas dan dapat destruktif untuk
keterlibatan pribadi sebagaimana keterlibatan kelompok secara keseluruhan. Hal ini
adalah lebih

mungkin, bahwa hubungan antara anggota dengan pemimmpin

kelompok akan mengganggu terhadap kelompok sebagai keseluruhan, jika mereka
tidak menangani secara hati-hati.
Setiap hubungan yang mengutamakan pilih kasih dapat merupakan suatu
hambatan untuk memfokuskan pada topik personal yang penting ke dalam konteks
kelompok itu sendiri. Biasanya, kontak pribadi di luar antara pemimpim kelompok
dengan anggota dalam konseling kelompok dilarang atau menghamabat, karena
perilaku tersebut memungkinkan untuk menimbulkan ketergantungan. Bahkan
menurut ASGW (1989) perilaku tersebut termasuk pelanggaran.
6. Hubungan rangkap
Hubungan rangkap berlangsung ketika pimpinan kelompok menemukan
dirinya sendiri dalam dua peran yang bertentangan secara potensial dengan anggota
kelompok. Di dalam adegan konseling, seorang pemimpin kelompok mungkin juga
menjadi guru para anggota. Hubungan rangkap dapat berpengaruh negatif terhadap
orang yang terlibat di dalam kerja kelompok, baik secara halus/tidak ketara maupun
nyata. Oleh karena itu, hubungan rangkap sebaikanya dihindarkan.
Jika hubungan rangkap tidak dapat dihindari, maka harus dieksplorasi
secara hati-hati oleh dan memerlukan kepedulian klien seluruhnya, serta dipantau
secara ketat oleh pihak luar yang netral. Setiap suatu perangkat adalah preventif,
tetapi solusi terbaik kedua adalah mengakhiri setiap hubungan yang dimaksud.

7. Hubungan pribadi antar anggota kelompok
Jika kontak antar anggita di luar kelompok mengahsilkan bagian kelompok
dan menjadi gangguan, maka pimpinan kelompok hendaknya menangani hal itu.
Secara keseluruhan, fokus fokus dari kelompok harus menjadi hubungan yang
terbuka ke dalam adegan kelompok. Hal ini merupakan harga dan saling
mempengaruhi yang halus antara anggota kelompok dengan lingkungan kelompok,
dan saat tiap anggota membentuk dan merespons terhadap kehidupan sosial mereka.

Interaksi yang lebih spontan, lebih bervariasi akan menjadi lingkungan dan
meningkatkan kemungkinan bahwa persoalan seluruh anggota akan menjadi
bersinggungan.
Faktor yang umumnya menentukan persoalan tersebut adalah konteks.
Terkadang, dalam konteks tertentu hubungan di antara anggota di luar kelompok
terstruktur justru menyembuhkan, terkadang untuk konteks yang lain akan menjadi
gangguan. Oleh karena itu, konselor sejak awal harus mengantisipasi serta
meningkatkan peserta akan kemungkinan terjadinya hubungan seperti itu.

8. Penggunaan teknik-teknik kelompok
Tekni-teknik atau latihan cara-cara yang terstruktur menggerakan para
anggota untuk berinteraksi satu sama lain. Mereka dapat memiliki suatu kekuatan
yang berpengaruh terhadap anggota kelompok dan terhadap perubahan serta kerja
sama mereka. Mereka juga dapat mencegah pasang-surut alamiah dari kelompok
dan mungkin diragukan secara etis.
Terdapat teknik-teknik khusus untuk situasi dan tahapan yang berbeda
dalam suatu kelompok. Corey (1990) mengakui bahwa latihan terstruktur adalah
baik ketika mereka difokuskan pada pencapaian tujuan-tujuan kelompok dan atau
anggota kelompok. Pimpinan kelompok berhadapan dengan persoalan etis ketika
dirinya kekurangan keterampilan atau kepekaan untuk menggunakan latihan
sebagaimana mestinya.
Dalam memilih suatu latihan untuk kelompok, konselor harus selalu
memiliki alasan dan harus merangkai latihan yang sesuai dengan pemenuhan
kebutuhan kelompok. Oleh karena itu, penggunaan teknik yang terpisah dari
hubungan dan bermacam teori untuk melakukan “tipu-daya” merupakan cara-cara
kerja yang tidak profesional dan tidak etis.
Terdapat 12 macam latihan yang dapat dikerjakan pemimpin kelompok,
yaitu menulis, bergerak, menyentuh, hubungan dua dan tiga arah, pergiliran, seni
dan keterampilan, membaca fantasi umum, umpan-balik, kepercayaan, dilema
moral, dan keputusan kelompok (Jacobs, dkk., 1988). Kapanpun latihan digunakan
dalam kelompok, seyogiayanya diproses melalui persetujuan kelompok dan

diinformasikan demi kebaikan mereka maupun kelompok sendiri. Adapun caracara pemerosesan mencakup pertukaran di dalam kelompok kecil, pertukaran di
dalam kelompok secara keseluruhan, atau kombinasi daro metode-metode tersebut.

9. Nilai-nilai pimpinan
Pemimpin atau konselor kelompok memiliki nilai-nilai yang baik dn buruk,
yang mempengaruhi tujuan, metode, dan puncak keberhasilan kerja dan konseling
kelompok. Pemimpin yang berusaha untuk menyembunyikan nilai-nilainya dalam
situasi tertentu mungkin secara nyata melakukan kesalahan alih-alih kebaikan.
Bagaimanapun pemimpin harus hati-hati tidak memaksakan nilai-nilainya pada
anggota kelompok.
Tanggung jawab puncak dari anggota kelompok adalah membuat keputusan
berdasarkan nilai-nilai terbaiknya. Pemimpin membantu anggota dalam
mengeksplorasi nilai-nilai yang mereka pelihara dengan baik. Jika pemimpin dan
anggota kelompok memiliki konflik nilai-nilai, maka pemimpin bertanggungjawab
untuk membuat referral (rujukan). Hal ini penting diperhatikan dan disadari oleh
pemimpin akan pengaruh nilai-nilai di dalam pelbagai bidang kelompok. Dengan
demikian, kesadaran konselor akan nilai-nilai yang mempengaruhi konseling
kelompok merupaan salah satu segi tanggung jawab profesioanl dan etis yang tidak
dapat diabaikan.

10. Rujukan
Rujukan adalah pengalihan anggota kepada kelompok lain, yang dihasilkan
ketika pimpinan kelompok secara nyata tidak dapat membantu anggota untuk
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan; atau rujukan dilaksanakan pula
ketika terjadi konflik antara pimpinan dengan anggota yang sulit untuk dipecahkan.
Proses membuat rujukan meliputi pengukuran nilai-nilai yang sewajarnya
dan keterbatasan pimpinan kelompok. Tahapan dalam proses rujukan mencaup: (1)
pengidentifikasian kebutuhan untuk merujuk; (2) penilaian sumber rujukan yang
potensial; (3) mempersiapkan klien untuk rujukan; dan (4) mengkoordinasikan
pengalihan.

11. Pengakhiran dan tindak lanjut
Pengakhiran dan tindak lanjut menjadi persoalan pokok etis dikarenakan
kesalahan kelalaian daripada kesalahan kepanitiaan. Kelompok membutuhkan
tindakan berbentuk pembukaan sebelum pengakhiran. Persoalan pokoknua
berkaitan dengan kelekatan dan pelepasan yang terutama pada saat pengakhiran.
Dalam hal ini, pimpinan kelompok hendaknya menginformasikan kepada anggota
tentang tahapan-tahapan yang bakal ditempuh di antara sesi-sesi konsultasi
bersama; kapan mulai aktivitas dan kapan berakhir suatu kelompok. Di antara
tahapan atau sesi-sesi yang dimaksud, diinformasikan pula kemajuan serta dampak
yang diperoleh dari kerja kelompok berikut kelanjutannya. Di samping itu, tindak
lanjut setelah pengakhiran juga menguntungkan konselor serta membantu menilai
keefektifan apa yang dilakukan di dalam dan mengembangkan gaya kepemimpinan
kelompok. Boleh jadi, sebagian besar materi penilaian yang lebih bermakna dapat
menguntungkan konselor selama 30 hari atau lebih setelah kelompok berakhir. Pada
waktu itu para anggota kelompok lebih mandiri dari pimpinan dan mungkin dapat
menjadi lebih jujur.
F. prinsip-prinsip etis pendorong kerja kelompok
Pelbagai persoalan pokok etis seperti yang telah dipaparkan di atas, sangatlah
penting diperhatikan oleh para pimpinan kelompok (konselor kerja kelompok)
dalam kerangka mengetahui dasar-dasar yang melandasi pengambilan keputusan
yang akan dilakukannya. Selanjunya, setiap keputusan dapat dibuat dalam
pelabagai cara, melalui proses penggunaan pendekatan yang lebih halus.
Untuk mendorong dan mengimplementasikan pedoman etis dalam kerja
kelompok dapat ditempuh melalui dua tahapan, yaitu pelatihan dan praktik. Kedua
tahapan tersebut merupakan peluang atau kesempatan yang disediakan dalam
adegan pendidikan, yang berupaya mempersiapkan para pimpinan kelompok yang
menguasai pengetahuan dan menghayati etik profesionalnya.
Pelatihan tentang persoalan-persoalan pokok etis bagi para pimpinan
kelompok merupakan suatu proses multidimensional. Dikatakan sebagai
multidimensional, karena proses pelatihan berlangsung melalui beberapa tahapan

sebagai berikut. Tahap pertama, para pimpinan kelompok harus mengenal akrab
kode etik dan peratutan-peraturan. Tahap kedua, mereka harus menjadi akrab
dengan etika dan nilai-nilai yang mereka miliki. Tahap ketiga, mereka harus
menguasai praktik kemelut-kemelut dan pembuatan keputusan etis. Tahap terakhir,
mereka seyogianya menyadari akan perkembangan pembuatan keputusan etis yang
membutuhkan jam terbang lebih banyak sebagai praktikan.
Seorang pimpinan kerja kelompok yang profesional seyogianya menempuh
tahapan pelatihan atau memadukan penguasaan atas aspek-aspek tersebut,
dikarenakan melalui penempuhan tahapan yang dimaksud mereka dipersiapkan
untuk: (1) memiliki kepekaan terhadap persoalan-persoalan pokok dan peraturanperaturan etis; (2) membantu dirinya sendiri dalam mempelajari penalaran tentang
situasi-situasi etis; (3) mengembangkan suatu rasa tanggung jawab secara moral di
dalam tindakan-tindakannya; (4) mengajarakan toleransi akan kebauran dalam
pembuatan keputuasan etis.
Dalam upaya mempersiapan dan mengembangkan para konselor kerja
kelompo yang memiliki kesadaran akan kode etik profesional, tampaknya
diperlukan kerja sama yang terpadu antara pengambil kebijakan, lembaga
pendidikan dan dengan organisasi profesi bimbingan dan konseling. Kerja sama
demikian sangat mendesak dan penting untuk diselenggarakan, mengingat
kecenderungan ke depan memperhadapkan konselor pada tantangan profesional
dalam setiap dimensi pelayanannya.

DAFTAR PUSTAKA

Gladding, S. T. (1995). Group Work: a Counseling Specialty. Englewood Cliffs,
New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Natawidjaja, R. (1987). Pendekatan-pendekatan Dalam Penyuluhan Kelompok.
Jakarta: Depdikbud, Ditjen Dikti, P2LPTK.