SINISME DAN TINDAKAN yang RADIKAL

SINISME DAN TINDAKAN RADIAL
Oleh Aprinus Salam
Telah berkembang apa yang kemudian disebut dengan sinisme, yaitu suatu sikap
yang serba ingin mengkritisi, nyindir, tidak pernah (mau) menerima keadaan, dan
nyinyir. Dari sikap sinis itu seseorang/kita mengambil dua keuntungan. Pertama,
ia merasa sudah melakukan tindakan, merasa sudah bersikap. Dari situ dia
mengharap mendapat citra peduli, citra kritis, atau ahka itra pahlawa .
Kalau kita mau melihat status di Face Book, sebagai misal, atau di statusstatus lainnya, maka catatan sinisme itu sungguh menyita banyak tempat dan
ruang. Ba yak ya g erasa tidak taha u tuk tidak e gutaraka
sikap
kritis ya , sehi gga kada g e u ulka salah paha da fit ah. Ko e
tentang kesuksesan seseorang bisa menjadi ajang yang empuk untuk sinisme.
Keuntungan kedua yang diharapkan dari sikap sinis itu adalah bahwa
sinisme dijadikan semacam komoditas. Komoditas untuk mendongkrak
popularitas seseorang atau satu lembaga tertentu dalam meningkatkan daya
jualnya. Sikap kritis, dan menjadi sinisme, terhadap nilai-nilai keadilan,
kedemokrasian, kejujuran, pembangunan, menjadi ajang yang jembar untuk
bersikap sinis.
Lawakan-lawakan, humor-humor sok kritis, dan sejumlah seniman (atau
bahkan kiyai) yang menjual sikap kritis ini sebetulnya ada dalam jalur ini. Ia
bersikap kritis terhadap keserakahan, tahu adanya ketidakadilan, tetapi dia

sendiri serakah dan berlaku tidak adil. Dia bersikap sinis dan kritis terhadap
kemewahan, tetapi dia sendiri hidup dalam kemewahan.
Kadang-kadang, sikap sinis juga menjadi satu strategi dalam mengambil
kesempatan melakukan polemik atau sensasi tertentu. Jurus ini seperti bonek,
tembak dulu, urusan belakangan. Beberapa orang melakukan tuduhan dan
prasangka tertentu agar tuduhan dan prasangka itu bisa menjadi masalah.
Kemudian, banyak orang terlibat dalam buih masalah tersebut, dan melupakan
substansi (akar) masalahnya.
Dalam sisi lain, sikap sinis juga bisa dianggap sebagai tindakan untuk
mendapatkan kepuasan atau hiburan. Sikap itu juga memperlihatkan dua sisi
sekaligus. Pertama, kita mendapatkan kepuasan secara cuma-cuma tanpa
mengeluarkan biaya. Kedua, di lain sisi, memperlihatkan bahwa kita itu hedonis,
suka berpuas diri dengan tidak peduli kondisi buruk tetap dan sedang terjadi.
Hal yang perlu dipahami adalah dunia tidak akan berubah dengan
tindakan sinis dan sok kritis. Dalam pengertian lain, sinisme terjadi ketika kita
mengetahui ada realitas yang cacat, kita hidup di dalamnya, dan secara terus
menerus melakukan atau menstabilkan sikap cacat itu. Kita tahu kita
terhegemoni, tetapi tetap hidup dalam struktur dan nilai tersebut.
Itulah sebabnya, dunia memerlukan tindakan radikal. Hal yang dimaksud
dengan tindakan radikal adalah suatu tindakan berdasarkan momen tertentu,


mungkin berdimensi spontan, segera atau tidak memberikan efek yang
signifikan, demi tujuan tertentu.
Tindakan Radikal
Paling tidak, ada dua cara menekan sikap sinisme. Pertama, mengambil
tindakan diam. Diam dalam arti yang sesungguhnya, tidak melakukan apa-apa,
tidak bersikap apa-apa, tidak mengatakan apa-apa, tidak bereaksi. Yang perlu
dilakukan adalah berpikir, dan tidak melakukan apa-apa. Tindakan diam ini
merupakan satu tindakan radikal.
Coba kita membayangkan bahwa sebagian besar dari kita bukan
mengkritisi kapitalisme, tetapi tidak menjadi pembelanja yang boros. Tidak sinis
terhadap tuntutaan gaya hidup peradaban, tetapi secara kongkret tidak terjebak
dalam konsumtivisme. Jika hal ini bisa kita lakukan seminggu saja, maka dunia
akan goncang.
Kemungkinan yang kedua adalah melakukan tindakan/aksi kongkret.
Sebagai misal, kita sering sinis atau rewel menghadapi masalah sampah atau
kemacetan lalu-lintas. Tidak perlu cerewet soal sampah. Kalau bertemu sampah
kita buang saja pada tempatnya. Soal kemacetan lalu lintas, mari kita juga tidak
perlu sinis. Yang diperlukan adalah tindakan radikal. Kalau berani mari kita
berjalan kaki saja ke mana-mana atau maksimal naik sepeda. Masalahnya, siapa

yang mau?
Masalah yang lebih besar, saya sendiri sekarang sedang terjebak dalam
sinisme. Mohon ampunnya....
Aprinus Salam, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM.