AKSI AKSI KERJASAMA TNI AD DAN KAMI JATU (1)

1.2 Aksi-aksi Kerjasama TNI-AD dan KAMI sebagai Strategi dalam Menjatuhkan
Pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1965-1968
1.2.1 Latar Belakang Mengapa TNI –AD dan KAMI Bekerjasama
Transisi kekuasaan berganti tangan setelah gagalnya Kudeta 30 September 1965. 1 Secara
bertahap Mayjend. Soeharto menggantikan Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara. Proses
ini dilaksanakan secara bertahap itu sebab mengapa beberapa pengamat dan sejarawan
mengatakan bahwa pengambil kekuasaan yang sabar itu sebagai "Creeping Coup d’etat"
(Kudeta Merangkak).
Penggulingan kekuasaan Presiden Soekarno tidak terjadi dalam waktu yang singkat,
proses ini berlangsung antara hari-hari pertama bulan Oktober 1965 hingga 12 Maret 1967, saat
secara resmi Mayjend. Soeharto menggantikan Presiden Soekarno sebagai Pejabat Presiden.
Mayjend. Soeharto memetik kemenangan-kemenangan kecil dengan memainkan pion dan
perwira sebelum mengambi langkah untuk menjatuhkan Presiden Soekarno dari kursi presiden.
Kenyataannya, Mayjend. Soeharto yang didukung Angkatan Darat, melemahkan kekuatan politik
Presiden Soekarno, mengisolasi Presiden Soekarno dari pendukungnya dan akhirnya memaksa
Presiden meletakkan jabatannya sebagai Presiden.
Lamanya proses peralihan kekuasaan itu ialah karena Jenderal Soeharto, meskipun
tampaknya memegang kekuasaan sejak Oktober 1965, harus memperhitungkan kekuatan para
pendukung Presiden Soekarno yang masih banyak terdapat dikalangan sipil dan militer, terutama
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jenderal Soeharto mendasarkan strategi kekuasaanya dengan
dukungan militer yang anti Presiden Soekarno di Jawa Barat.2

Mereka ini tidak ingin bertindak langsung dan terbuka sebab dapat mengakibatkan
timbulnya pertempuran antar pasukan yang anti dan pro Presiden Soekarno.
Kemungkinan meledaknya konflik bersenjata (sehubungan dengan suasana
pembunuhan antikomunis di akhir tahun 1965) akan dapat melahirkan suatu perang
saudara. Itu sebabnya dianggap lebih baik bila pihak ketiga dalam hal ini pemuda
dan mahasiswa sajalah yang menjalankan kampanye anti Presiden Soekarno dan
1 Gerakan 30 September 1965 adalah sebuah kudeta demikianlah dalam catatan Sulastomo Ketua Umum PB HMI 1963-1966. Dengan
argumennya bahwa keudeta tersebut diiringi dengan pengumuman dari pemimpin gerakan itu yang membentuk Dewan Revolusi dan menyatakan
Kabinet Demisioner. Dewan Revolusi di pusat akan ditindaklanjuti dengan pembentukan Dewan Revolusi Daerah.

2 Jika kita melihat dari mana asal kampus keanggotaan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) kebanyakan dari mereka merupakan dari
kampus yang ada di kota Jakarta (UI) dan Bandung (ITB), beda jika di tahun 1998, Gerakan Mahasiswa sangat heterogen dari berbagai kampus
dan daerah di Indonesia.

menyiapkan opini masyarakat tentang perlunya perubahan politik. Untuk itu
kelompok militer cukup mendorong dan mempergunakan aktivis-aktivis
mahasiswa yang juga memiliki alasan-alasan sendiri untuk memusuhi Presiden
Soekarno.3
Hal tersebutlah yang menjadi latarbelakang mengapa kerjasama TNI-AD dan KAMI
dapat terlaksana guna menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno. Kerjasama TNI-AD dan

KAMI juga untuk mengoptimalkan fokus Angkatan Darat untuk secara bertahap dan tanpa
menimbulkan kerusuhan guna melumpuhkan simpatisan Presiden Soekarno pada divisi
Diponegoro dan Brawijaya seperti halnya di Angkatan Udara dan di Angkatan Laut.4
TNI-AD menyadari mereka membutuhkan mitra untuk bekerjasama dalam mencapai
tujuaannya, karena KAMI juga punya alasan tersendiri untuk memusuhi Presiden Soekarno, dan
lebih efektif dan efisien apabila pekerjaaan tersebut dilakukan secara bersama-sama dengan
peran masing tetapi dengan tujuan yang sama. Sebab sejalan dengan pengetian kerjasama itu
sendiri bagaimana interaksi dari orang-orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Pertukaran bagaikan perdagangan: saya berikan sesuatu kepada Anda dan anda berikan pula
sesuatu yang lain kepada saya. Sedangkan kerjasama ibarat suatau kelompok kerja (teamwork):
kita bekerjasama karena kita tidak bisa melakukannya sendiri-sendiri. Atau, suatu tujuan bisa
dicapai lebih muda, selamat dan cepat dibandingkan bekerja sendiri-sendiri. Kebanyakan
hubungan yang sedang terjadi memiliki unsur kerjasama, termasuk hubungan politik.5
Kajian tentang hubungan sipil dan militer telah banyak dilakukan, dan lebih membahas
bagaimana institusi sipil (misalnya pemerintahan yang demokratis) dapat secara efektif
mengontrol militer tanpa mengurangi kemampuan militer, sedangkan saat ini para ahli
tersebut berusaha untuk menjelaskan secara spesifik pada penggunaan kekuatan militer
dalam pemerintahan demokratis yang modern. Menurut Feaver (1996:149), tantangan
sipil-militer adalah membuat kekuatan militer cukup untuk melakukan apa yang diminta
oleh sipil terhadap mereka, dengan bawahan militer melakukan apa yang diminta oleh

sipil yang diberikan otorisasi kepadanya.6

3Francois Raillon, 1989:12.
4 Baca: Bagian Peran yang diambil TNI-AD. Hal 127.
5Baca: Bagian Teori Kerjasama. Hal. 14.
6 McCoy, Katherine E dalam bukunya berjudul "Beyond Civil-Military relations: reflections on civilian control of a private, multinational
workforce", Armed force & society (SAGE), 2010, hlm. 36- 671 seperti dikutip oleh Sundoro Agung Nugroho di Jurnal Pertahanan Mei 2012,
Volume 2, Nomor 2. Hal. 151

Di Indonesia, konsep kerjasama/koordinasi sipil-militer telah dilaksanakan tetapi belum
dituangkan dalam bentuk peraturan yang mengikat (prosedur tetap atau doktrin) serta terstruktur
seperti halnya konsep CIMIC oleh NATO dan CMCoord oleh PBB. Hal ini seiring dengan
sejarah perkembangan hubungan sipil-militer di Indonesia. Sejak pertengahan tahun 1960-an,
Indonesia telah menjadi negara dengan personel militer duduk di pemerintahan, tetapi bukan
negara dengan pemerintahan militer. Hal ini menunjukkan TNI-AD berperan aktif dalam politik
dan pemerintahan, dengan kata lain ada pengaruh secara langsung militer terhadap keputusan
politik dan pemerintahan baik di tingkat kebijakan maupun operasional. Pada level operasional,
anggota militer yang melaksanakan kerja sama dengan aparat sipil lebih menunjukkan
otoriternya dari pada sifat loyal dan tunduk pada otoritas sipil.
Berdasarkan analisis penulis dengan melihat kronologis bagaimana usaha-usaha

TNI-AD dan KAMI bekerjasama dalam menjatuhkan Pemerintahan Presiden Soekarno.
Maka, bisa diambil kesimpulan bahwa pembagian kerja (jobs description) antara TNI-AD
dan KAMI sebagai berikut:
1. KAMI berfokus pada teknis di luar pemerintahan. Dengan aksi-aksi demonstrasi
anti Presiden Soekarno oleh KAMI.
2. TNI-AD berfokus pada teknis di dalam pemerintahan. Dengan cara melemahkan
kewibawaan Presiden Soekarno dan secara perlahan-lahan mengambil alih
kekuasaan Presiden Soekarno, atau yang disebut dengan Kudeta Merangkak
(Creeping Coup D’etat).

5.5.2 Peran yang diambil oleh KAMI untuk Menjatuhkan Presiden Soekarno.
Perlu penulis sampaikan bahwa penulis membedakan antara kampaye anti PKI dan anti
Presiden Soekarno. Tahun 1965, adalah tahun dimana KAMI melakukan aksi-aksi kecaman
terhadap PKI.7 Sedangkan ditahun 1966 hingga 1967, barulah kampanye anti PKI berkembang
menjadi anti terhadap Presiden Soekarno yang berujung dengan jatuhnya pemerintahan Presiden
Soekarno tahun 1967.
Peran yang diambil KAMI untuk menjatuhkan adalah tindak lanjut dari kerjasama
tersebut yakni pada tanggal 25 Oktober, Mayor Jenderal Sjarif Thayeb, Menteri Perguruan
7Baca:Bagian Sikap Mahasiswa terhadap Gerakan 30 September 1965. Hal. 83.


Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) mengumpulkan para tokoh berbagai organisasi mahasiswa
non-komunis di rumahnya. Thayeb mengusulkan untuk membentuk sebuah organisasi Kesatuan
Aksi Mahasiwa Indonesia (KAMI). Semua para tokoh mahasiswa setuju akan usul Thayeb
tersebut, dan berdirilah instrument Angkatan Darat. KAMI akan menjadi motor pengggerak dari
kegiatan-kegiatan angkatan 66 dan memainkan peranan pokok dalam erena politik selama dua
tahun berikutnya.
Mengapa penulis berani mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat dalam
proses penggulingan kekuasaan Presiden Soekarno tahun 1965-1968 adalah hubungan
kerjasama. Bukan semata-mata mahasiswa yang bekerja penuh tanpa dukungan siapapun
dengan aksi-aksi Trituranya. Dahulu penulis tidak tahu bahwa dibalik transisi kekuasaan
Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, penulis ingin mengungkapkan bahwa gerakan
mahasiswa tahun 1966 semata-mata bukan berjuang sendiri KAMI seperti tahun 1998 tetapi
mereka berkerjasama dengan ABRI saat itu.
Berikut adalah bukti-bukti yang penulis telusuri melalui berbagai macam sumber
tulisan bahwa benar Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI0 bekerjasama dengan
TNI-AD:
1. Dalam tulisan Majalah Forum Keadilan edisi khusus "Tokoh Indonesia Masa
Depan", Juni 1997 hal. 103 memuat bahwa benar saja tokoh-tokoh Angkatan 66
mengakui mereka berkerjasama dengan ABRI saat itu untuk menggulingkan Presiden

Soekarno dari kekuasaan. Berikut pengakuan Akbar Tanjung yang merupakan tokoh
mahasiswa Angkatan 66, kepada Forum:
Akbar menyatakan, dia dan rekan-rekannya (menyebut diri sebagai Eksponen 66)
setelah keuruntuhan Orde Lama tidak pernah melakukan usaha-usaha secara sadar
untuk mendapatkan posisi tertentu atas nama Eksponen 66. "Kami tidak pernah
merekayasa Eksponen 66 itu muncul sebagai pemimpin," ujarnya. Cuma, Akbar
menegaskan, pengalaman dan semangat di tahun 1966 itulah yang dijadikan modal
untuk ikut menyumbangkan pemikiran mereka untuk nusa dan bangsa. "Semangat itu
juga kami pelihara dalam bentuk organisasi seperti Ikatan Keluarga Arief Rahman
Hakim, atau yayasan-yayasan," kata Akbar. 8 Akbar juga tak menepis jika dianggap
selama ini eksponen 66 terlalu dekat dengan ABRI. Menurut Akbar, itu adalah
realitas sejarah yang tak bisa dimungkiri lantaran, pada 1966, mereka sudah
bergandeng tangan dengan ABRI sebagai kekuatan Orde Baru. Kedekatan itulah
8 Menurut penulis satu-satunya korban jiwa dalam aksi Tritura oleh KAMI tahun 1966 yang bernama Arief Rahman Hakim dijadikan KAMI dan
TNI-AD untuk menjadi "pemicu dan stimulus" untuk melakukan aksi-aksi yang besar lagi. Korban jiwa Arief Rahman Hakim menjadi strategi
marketing untuk membuat banyak mahasiswa semakin marah dan bergabung dalam aksi selanjutnya untuk menjatuhkan Presiden Soekarno.

yang sampai kini terus mereka pelihara. "Di antara petinggi ABRI yang mudamuda itu, dulu ada juga yang aktivis 66" katanya.
2. "Peneliti Indonesia asal Perancis, Francois Raillon, menyatakan bahwa Angkatan 66
anti partai politik, tapi pro Angkatan Darat. Penulis buku Mahasiswa Indonesia dan

Orde Baru itu menyatakan hubungan mereka dengan militer sifatnya seperti kakakadik. Kerjasama dengan mahasiswa itu sangat berguna sekali bagi tentara, yang tak
bisa melontarkan kritik apalagi menentang atasannya sendir:Presiden Soekarno.
Karena itu, KAMI/KAPPI yang buka mulut. "Memang mereka dipakai atau
barangkali diperalat oleh kakaknya yang militer itu,".9
3. Bukti selanjutnya, setelah Angkatan 66 (KAMI) dan ABRI (TNI-AD) berhasil
menggulingkan Presiden Soekarno tidak sedikit dari tokoh-tokoh mahasiswa Angkatan
66 dan ABRI yang menduduki jabatan-jabatan penting baik Presiden, Wakil Presiden,
Menteri, Pemimpin Perusahaan (BUMN), dan jabatan strategis lainnya, bahkan
memfasilitasi banyak perusahaan asing untuk masuk ke negara Republik Indonesia
seperti Caltex dan Freeport serta banyak lainnya yang dewasa ini dianggap telah
menggeruk kekayaan alam Indonesia tanpa memberikan manfaat bagi bangsa Indonesia.
Dan itu adalah hasil dari sebuah kerjasama yang penulis pikir walaupun tidak ada
kesepakatan untuk membagi kekuasaan tetapi itulah buah hasil kerjasama yang
sama-sama dinikmati baik oleh alumni KAMI dan TNI-AD.10
Bahwa apa yang didapatkan oleh alumni-alumni KAMI seperti Menteri, Anggota
DPR/MPR, HIPMI, dan membentuk KNPI merupakan sebuah investasi politik ketika
bersama-sama menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno.aktivis-aktivisnya muncul
sebagai orangyang sukses di bidangnya, baik politik maupun ekonomi, ungkap mantan
Ketua Presidendiuum KAMI Pusat Cosmas Batubara yang dulu juga pernah mendapat
jatah dua kursi menteri di masa Presiden Soeharto.11

Berikut ini penelusuran penulis mengenai pergerakan KAMI sebagai usaha untuk
menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno:
1. Kampanye anti Presiden Soekarno tampil secara terang-terangan pada tanggal 17 Agustus
1966. Pada hari itu Presiden Soekarno mengucapkan pidato berjudul "Jangan sekali-kali
Melupakan Sejarah", yang terkenal dengan singkatan "Jas Merah". Dalam pidato ini
Presiden Soekarno mengkritik keputusan-keputusan yang diambil MPRS dan
menganggap bahwa Surat Perintah 11 Maret tidaklah berarti pengalihan kekuasaan, tapi
9 Ungkap Peneliti Sejarah Indonesia asal Perancis, Francois Raillon dalam tulisan di Majalah Forum Keadilan edisi khusus "Tokoh Indonesia
Masa Depan", Juni 1997, berjudul "Paradoks Cita-cita sebuah Angkatan" disebutkan dalam paragraph ke-15. Hal.28-31.

10 Baca: Tabel 1.4 Pembagian Kekuasaan KAMI Dan TNI-AD. Hal. 120.
11Seperti diungkapkan di Majalah Forum Keadilan

edisi khusus "Tokoh Indonesia Masa Depan", Juni 1997 hal.28-31 berjudul "Paradoks Citacita sebuah Angkatan" disebutkan dalam paragrap ke-4 dan 5.

hanya pengalihan wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk memelihara keamanan.
Pidato yang dianggap sebagai provokasi ini melahirkan reaksi keras. Di Bandung, pidato
ini dianggap sebagai sumber keributan tanggal 19 Agustus 1966 ketika sekelompok orang
bersenjata dan berseragam hitam yang dijuluki Gerombolan Liar Gestapu ASU
menyerang Markas Besar KAMI dan KAPPI sehingga Julius Usman, Mahasiswa

Universitas Katolik Parahiyangan, meninggal dunia dan limabelasan orang lainnya
menderita luka-luka. Deklarasi KAMI diterbitkan:"Bung Karno tak dipercayai lagi,
sabotase terhadap program Kabinet Ampera".12
2. Pada bulan September 1966 serangan terhadap Presiden Soekarno diteruskan dengan
menggunakan fakta-fakta menurut KAMI yang didapat dari proses pengusutan Jusuf
Muda Dalam, bekas Menteri Bank Sentral ini dituduh telah memberikan dana negara
kepada Presiden untuk membiayai sejumlah aksi politiknya. Di awali Pada 18 Maret
1966,

sejumlah 15 orang Menteri ditangkap termasuk Waperdam I Soebandrio,

Waperdam II Chaerul Saleh dan Jusuf Muda Dalam. Manuver ini mengejutkan Presiden
Soekarno. Sebab, menteri-menteri yang ditangkap adalah orang-orang yang loyal tanpa
reserve terhadap Presiden Soekarno.
3. 30 Nopember 1966 KAPPI kembali melakukan demonstrasi ke DPR, dengan tuntutan
yang sama seperti demonstrasi sebelumnya. Selanjutnya 9-12 Desember 1966 Sekitar 200
ribu mahasiswa mendesak agar Presiden Soekarno diadili.
4. 20 Desember 1966, KAMI, KAPPI, KAWI, KASI, KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta
Laskar Ampera Arif Rahman Hakim (ARH) menyampaikan fakta politik kepada MA
mengenai keterlibatan Presiden Soekarno dalam G-30-S/PKI .

Berikut adalah dafar tokoh KAMI dan TNI-AD yang penulis telusuri mendapatkan
"Fee" dari perjuangan dalam menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno:(Tabel 1.4)

12Mahasiswa Indonesia, No.10, Agustus 1966 seperti dikutip oleh Francois Raillon, 1989:49.

Untuk dari kalangan sipil yang terlibat dalam transisi kekuasaan Presiden Soekarno ke
Presiden Soeharto ialah Sri Sultan HamengkubuWono IX dan Adam Malik yang kelak akan
menemani Presiden Soeharto sebagai Wakil Presiden secara bergantian. Sri Sultan
HamengkubuWono IX dan Adam Malik

terlibat dalam intervensi yang sangat kuat dalam

membentuk kabinet baru pada 27 Maret 1966. Ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan
Orde Lama, posisi Adam Malik yang berseberangan dengan kelompok kiri justru malah
menguntungkannya. Tahun 1966, Adam disebut-sebut dalam Trio Baru Soeharto-SultanMalik.13 Pada tahun yang sama, lewat televisi, ia menyatakan keluar dari Partai Murba karena
pendirian Partai Murba, yang menentang masuknya modal asing.
Presiden Soekarno sangat terpukul karena harus berkompromi. Ketika baru
membacakan beberapa nama anggota kabinet baru, ia berhenti dan minta Leimena (Menteri
Koordinator pada Kabinet Dwikora I) melanjutkan pembacaan tersebut.14
13 http://id.wikipedia.org/wiki/Adam_Malik, di akses pada tanggal 23 Februari 2015, pukul 15:13 Wib.

14 Tim Lembaga Analisis Informasi (LAI), Kontroversi SUPERSEMAR dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto (Edisi Revisi), 2007.hal.
15. Yogyakarta: MedPress.

Bagi birokrat senior, perwira angkatan darat dan polisi, kudeta akan merupakan
campuran bahaya dan peluang. Sebagian akan terlalu terlibat dengan rezim lama
sehingga tidak bisa diam saja menunggu krisis reda melainkan akan melarikan diri,
melawan kudeta, atau maju menjadi pendukung rezim baru supaya memperoleh imbalan
sebagai pendukung awal.15
Apa yang dikatakan oleh Edward Luttwak diatas dalam bukunya berjudul
"Kudeta, Teori dan Praktek Penggulingan Kekuasaan". Demikianlah terjadi dalam situasi
dan kondisi masa transisi kekuasaan Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto tahun 19651968.
Saat itu, Indonesia terbagi menjadi 2 kelompok kekuatan baik dibirokrat senior, perwira
ABRI, dan polisi, yakni pertama pendukung Presiden Soekarno, kedua pendukung Presiden
Soeharto.16
Setelah berhasil menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno tidak sedikit dari KAMI
yang masuk dalam lingkaran kekuasaan Order Baru, era dimasa Presiden Soeharto dan ABRI
berkuasa di hampir diseluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia.
Di masa Orde Baru, pentolan-pentolannya (Angkatan 66) menjadi anggota DPR/MPR,
tentu saja sebagai wakil Golkar. Beberapa orang lalu menjadi menteri. Mereka antara
lain Cosmas Batubara, Abdul Gafur, Akbar Tandjung, Sarwono Kusumaatmadja,
Siswono Yudohusodo, dan Mar’ie Muhammad.17
Perlu penulis tegaskan bahwa ketika tugas utama dan satu-satunya KAMI telah
diselesaikan dengan gemilang. Maka, KAMI dengan sendiri dan sadar meminta "Fee"
kepada TNI-AD yang telah mengambil puncuk kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno.
Aktivis-aktivis KAMI berpendapat bahwa karena mahasiswa telah memainkan peran
kunci pada periode Januari sampai Maret untuk mendukung aksi Tritura, maka suara
mereka berhak didengar di kedua lembaga ini. Selain itu, mereka berpandangan
bahwa pertarungan melawan Soekarno dan pendukungnya masih jauh dari usai dan
bahwa perwakilan mahasiswa dapat memainkan peran vital untuk membantu
mengalahkan unsur-unsur Orde Lama yang masih ada di MPRS.18

15 Edwin Luttwak. 1979. Kudeta, Teori dan Praktek Penggulingan Kekuasaan. Diterjemahkan oleh Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya. Hal. 35.

16 Situasi dan kondisi itu dibenarkan oleh peneliti sejarah asal Perancis Francois Raillon, (1989:12) dan Baca: Bagian Kekalahan Para
Pendukung Presiden Soekarno. Hal. 129.

17 Hal yang sama juga dipertanyakan oleh redaksi majalah Forum Keadilan edisi khusus "Tokoh Indonesia Masa Depan", Juni 1997. Hal.28.

Aktivis KAMI Pusat sangat mendukung usulan tersebut sedangkan KAMI Bandung
menganggap bahwa mahasiswa "belum diperlukan" untuk mengisi MPRS dan DPR-GR.
1.5.3 Peran yang diambil oleh TNI-AD untuk Menjatuhkan Presiden Soekarno
Militer merupakan kelompok kunci dalam dinamika politik di negara sedang berkembang
pada umumnya, khususnya di negara dunia ketiga, seperti Indonesia.
…Pertama, mengapa golongan militer Indonesia campur tangan dalam politik. Kedua,
mengapa peralihan kekuasaan dari pemerintahan sipil ke militer begitu lambat terjadi,
baru berubah setelah munculnya konflik elit antara sipil dan militer. Dan ketiga sampai
sejauh mana pemimpin-pemimpin sipil harus ikut bertanggung jawab atas campur
tangan militer dalam politik Indonesia.19
Secara umum, ada dua kelompok utama yang memandang faktor penyebab campur
tangan militer dalam politik.20
1. Kelompok pertama melihat bahwa campur tangan itu lebih disebabkan oleh faktor
internal. Dengan demikian, militer dianggap sebagai kelompok kelas kepentingan.
2. Sementara kelompok kedua melihat hal itu diakibatkan oleh struktur politik dan
institusional masyarakatnya. Penjelasan kelompok kedua ini, seperti yang pernah
ditulis oleh Huntington, menandakan bahwa keterlibatan itu sebagai akibat rapuhnya
struktur politik dan institusi masyarakat.21
Berikut penelusuran penulis mengenai rentetan peran yang diambil TNI-AD untuk
menjatukan pemerintahan Presiden Soekarno. Perlu penulis sampaikan bahwa usahausaha TNI-AD untuk mengganbil alih kekuasaan Presiden Soekarno sudah dimulai pasca
terjadinya Gerakan 30 September 1965. Berbeda dengan KAMI yang dikemudian waktu
ikut bergabung:
1. Setelah Men/Pangad Jenderal A.Yani gugur di tangan Gerakan 30 September,
Pangkostrad Mayjend Soeharto mengambil alih kepemimpinan AD dengan restu
Pangdam Jaya, Mayjend Umar Wirahadikusumah (Wakil Presiden Republik Indonesia
keempat, yakni pada masa bakti 1983—1988, hadiah dari Mayjend.Soeharto ketika
18 Seperti di jelaskan oleh John Maxwell. 2001.

Soe Hok –Gie: A Biography of A Young Indonesian Intelellectual. Diterjemahkan oleh Tri
Wibowo Budi Santoso dengan judul, Soe Hok-Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. 2001. Jakarta:Pustaka Utama Grafiti. Hal. 297.

19 Dalam kajian Saundhaussen (1986)

mengenai politik militer di Indonesia, seperti dikutip oleh Tim Peneliti LIPI, 1999:30.

20 Tim Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 1999. Tentara Mendamba Mitra.. Jakarta:Penerbit Mizan. Hal. 30.
21 Baca Bagian: Sejarah Campur Tangan ABRI (Militer) Terhadap Politik Indonesia. Hal.91.

menjadi Presiden) dan perwira tinggi lain. Setelah itu, Mayjend Soeharto menawarkan
jabatan Men/Pangad ke Jenderal A.H.Nasution tetapi ditolaknya. Dan pada akhirnya
Presiden Soekaro mengambil alih jabatan tersebut dan menunjuk Mayjend Pranoto
Reksosamudro sebagai caretaker (pengurus) Pangad. Tetapi Mayjend Soeharto tidak
mengizinkan Mayjend Pranoto pergi ketika dipanggil menghadap Presiden. Ini bukti
bahwa niat-niat untuk tidak loyalis lagi terhadap Presiden Soeharto sudah ada sehari
setelah G30S.
2. Pada 6 Oktober 1965 Setelah Mayjend Soeharto menerima jabatan Men/Pangad secara
sah, loyalis Presiden Soekarno yang sebelumnya ditunjuk menggantikan Jenderal Ahmad
Yani yakni Mayjend Pranoto diamankan di markas KOSTRAD dan kemudian ditahan.
Lagi, kewibawaan Presiden Soekarno mulai dipertanyakan.
3. Pada 16 Oktober 1965 ketika Presiden Soekarno bahwa peristiwa pembunuhan para
jenderal merupakan "Gelombang kecil dalam samudera revolusi". Pernyataan

ini

merupakan kemenangan moral TNI-AD dan blunder bagi Presiden Soekarno.
4. Setelah Presiden Soekarno memecat Jenderal A.H. Nasution sebagai Menhankam/KSAB,
mulai terjadi aksi-aksi unjuk rasa oleh KAMI dan KAPPI akibat tidak diwujudkan Tiga
Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satunya isinya ialah perombakan kabinet dari unsurunsur komunis bukan menjadi pembersihan anti komunis, diantaranya Jenderal
A.H.Nasution. Aksi-aksi demonstrasi yang tidak terkendali tersebut berujung pada
keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)1966 atas usaha negosiasi dari
perwira TNI-AD yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan
Brigadir Jendral Basuki Rahmat tas suruhan Mayjend Soeharto.
5. Pada 13-14 Maret 1966 akibat menyalahgunakan mandat Supersemar, Mayjend Soeharto
ditegur oleh Presiden Soekarno.
6. Pada 16 Maret 1966 Presiden Soekarno kembali menjelaskan Supersemar. Ia menegaskan
dirinya masih berkuasa penuh sebagai kepala eksekutif pemerintahan dan mandataris
MPRS. Ia juga menegaskan, hanya dirinya yang berkuasa mengangkat menteri-menteri.
7. 18 Maret 1966, sejumlah 15 Menteri ditangkap atas desakan KAMI yang dieksekusi oleh
TNI-AD. Menjelang akhir tahun 1966, para pememimpin TNI-AD menghantam
mental Presiden Soekarno dengan menyeret temannya ke meja hijau, yakni:22
a) Berikut nama-nama ke 15 menteri tersebut:23
22Menghancurkan mental Presiden Soekarno dari dalam pemerintahan adalah tugas dan kerja dari TNI-AD. Baca:Pembagian kerja (jobs
description) antara TNI-AD dan KAMI. Hal. 115.

23 Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia. 1986. 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1965-1973.Jakarta:Menteri/Sekretaris Negara Republik
Indonesia. Hal. 94.

1. Dr. Soebandrio, Wakil Perdana Menteri I, Menteri Kompartemen Luar
Negeri, Menteri Luar Negeri/Hubungan Ekonomi Luar Negeri.
2. Dr. Chaerul Saleh, Wakil Perdana Menteri III, Ketua MPRS.
3. Ir. Setiadi Reksoprodjo, Menteri Urusan Listrik dan Ketenagaan.
4. Sumardjo, Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan.
5. Oei Tju Tat, S.H, Menteri Negara diperbantukan kepada Presidium Kabinet.
6. Ir. Surachman, Menteri Pengairan Rakyat dan Pembangunan Desa.
7. Jusuf Muda Dalam, Menteri Urusan Bank Sentral, Gubernur Bank Negara
Indonesia.
8. Armunanto, Menteri Pertambangan.
9. Sutomo Martopradoto, Menteri Perburuhan.
10. A. Astrawinata, S.H, Menteri Kehakiman.
11. Mayor Jenderal Achmadi, Menteri Penerangan di bawah Presidium Kabinet.
12. Drs.Moh. Achadi, Menteri Transmigrasi dan Koperasi.
13. Letnan Kolonel Imam Sjafei, Menteri Khusus Urusan Pengamanan.
14. J.K. Tumakaka, Menteri/Sekretaris Jenderal Front Nasional.
15. Mayor Jenderal Dr. Soemarno, Menteri/Gubernur Jakarta Raya.
b) Pada bulan September 1966, menteri secara khusus ditugasi mengurus masalah
perbankan, yakni Jusuf Muda Dalam divonis mati setelah terbukti bersalah
melakukan subversi, korupsi, mengimpor senjata secara illegal, dan memiliki
enam istri, sesuatu yang betentangan dengan hukum Islam.
c) Soebandrio (Menteri Luar Negeri), bulan Oktober 1966 divonis hukuman mati.
d) Serangan militer selanjutnya kepada Presiden Soekarno terjadi bulan bulan
Desember 1966, ketika Marsekal Omar Dhani yang mantan KSAU, diseret ke
pengadilan.
Ketika baru membacakan beberapa nama anggota kabinet baru, ia berhenti dan minta
Leimena melanjutkan pembacaan tersebut.
8. 27 Maret 1966 atas intervensi dari Angkatan Darat yang kuat dan sipil pro Angkatan
Darat seperti Sri Sultan Hamengkubowono IX dan Adam Malik. 24 Sri Sultan
Hamengkubowono IX kelak akan menjadi sebagai Wakil Presiden Indonesia yang kedua
antara tahun 1973-1978) dan saat itu menjabat Menteri Utama di bidang Ekuin.
Sedangkan Adam Malik juga akan menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia ke-tiga
1978-1983 dan saat itu menjadi Wakil Perdana Menteri II (Waperdam II) sekaligus
sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia di kabinet Dwikora II.
Ketika baru membacakan beberapa nama anggota kabinet baru, ia berhenti dan minta
Leimena melanjutkan pembacaan tersebut.25
24 Ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan Orde Lama, posisi Adam Malik yang berseberangan dengan kelompok kiri justru malah
menguntungkannya. Tahun 1966, Adam disebut-sebut dalam Trio Baru Soeharto-Sultan-Malik. Pada tahun yang sama, lewat televisi, ia
menyatakan keluar dari Partai Murba karena pendirian Partai Murba, yang menentang masuknya modal asing.

9. 20 Juni 1966, MPRS bersidang dan memilih A.H. Nasution sebagai ketua. MPRS
kemudian mencabut gelar presiden seumur hidup dari Presiden Soekarno. Kemudia
Presiden Soekarno menyampaikan pidato Nawaksara, yang kemudian ditolak MPRS
karena dianggap tidak sesuai dengan permintaan rakyat mengenai klarifikasi keterlibatan
Presiden dalam peristiwa Gerakan 30 September.
10. Sepanjang bulan Juli 1966, Soeharto bertindak membentuk kabinet dan membersihkan
orang-orang pendukung Presiden Soekarno.
11. Bulan oktober 1966, MPRS meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato Nawaksara.
Nota, Nomor: Nota 2/Pimp/MPRS/1966, yang meminta kepada Presiden Soekarno untuk
melengkapi laporan pertanggungjawaban sesuai keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.
12. Pada 12 Januari 1967, Presiden Soekarno menyampaikan secara tertulis pidato Pelengkap
Nawaksara. Ia mengatakan, peristiwa G30 S/PKI disebabkan oleh keblinger-nya
pemimpin PKI, liicknya Nekolim, dan kenyataan adanya orang-orang aneh.
13. 17 Februari 1966, MPRS menolak pertanggungjawaban Presiden Soekarno.
14. Setelah menolak pertanggungjawaban Presiden Soekarno, para petinggi TNI-AD dibawah
pimpinan Mayjend Soeharto mendatangi Presiden Soekarno di Bogor. Setelah
perbincangan 3 jam lamanya, Presiden Soekarno bersedia menyerahkan kekuasaan pada
Mayjend Soeharto. Karir politik Presiden Soekarno berada di ufuk senja, dan dia
menghadapi ketidakpastian masa depan.26 Pada 7 Maret 1967, MPRS bersidang dan
memutuskan untuk mencabut mandat dari Presiden Soekarno dan mengalihkannya ke
Mayjend Soeharto. Dengan demikian Mayjend Soeharto menjadi Pejabat Presiden.
15. Dan akhirnya, hal-hal yang telah diusahakan oleh TNI-AD sejak tahun 1965 bekerjasama
dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) berpuncak pada 27 Maret 1968, SK
MPRS mengukuhkan Soeharto sebagai kepala negara.

25 Tim Lembaga Analisis Informasi (LAI). 2007. Kontroversi Supersemar dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto, edisi Revisi.
Yogyakarta: MedPress. Hal. 15.

26

Tim Lembaga Analisis Informasi (LAI). 2007. Kontroversi Supersemar dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto, edisi Revisi.
Yogyakarta: MedPress. Hal. 16-17.

Lalu mengapa hampir semua perwira militer TNI-AD dapat bersatu melawan
Presiden Soekarno dibawah pimpinan Mayjend. Soeharto dan Jenderal A.H.Nasution?
Jawabannya…,berikut analisa dari Edward Luttwak.27
Jika kita menghendaki seorang perwira Angkatan Darat dan memintanya untuk ikut
serta dalam suatu kudeta, dia-asalkan bukan loyalis total-akan dihadapkan pada
seperangkat pilihan, yang memiliki bahaya maupun peluang. Ajakan itu bisa saja hanya
"pancingan" dari dinas keamanan untuk mengetahui loyalitasnya pada rezim. Ajakan itu
bisa juga asli, tetapi bagian dari perencanaan yang tidak aman dan tidak efisien. Dan
akhirnya, ajakan itu bisa datang dari suatu tim yang memiliki banyak peluang untuk
berhasil. Seandainya ajakan itu hanyalah "pancingan", maka menerima ajakan berarti
kehilangan pekerjaan bahkan lebih dari itu. Sedangkan kalau ajakan itu dilaporkan maka
dia akan memperoleh imbalan untuk loyalitasnya. Kalau ajakan itu asli dia memiliki
prospek yang belum pasti akan memperoleh keuntungan setelah kudeta berhasil,
ketimbang keuntungan yang pasti kalau dia melaporkannya. Karena itu hal yang wajar
bagi dia adalah melaporkan ajakan kudeta itu.
Hampir semua perwira TNI-AD menerima ajakan tersebut, maksudnya ajakan untuk
melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno dibawa pimpinan Mayjend. Soeharto dan
Jenderal A.H. Nasution, tidak sedikit perwira TNI-AD tersebut menerima keuntungan dari
Mayjend. Soeharto atas loyalitas mereka.28 Terjawab sudah mengapa setelah Presiden Soekarno
jatuh dari jabatan sebagai presiden dan digantikan oleh Jenderal Soeharto maka dimulailah
dominasi TNI-AD dalam segala aspek kehidupan bangsa Indonesia (Dwifungsi ABRI). Karena
sebelumnya telah terjadinya sebuah bentuk kerjasama timbal-balik antar para perwira
militer TNI-AD sebagai buah dari dalam menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno
seperti di ungkap oleh TIM Peneliti LIPI dan Edward Luttwak sebelumnya.

1.3 Jatuhnya Pemerintahan Presiden Soekarno
Jatuhnya Presiden Soekarno dari presiden merupakan peristiwa politik cukup menarik
dan sangat bersejarah. Dimulai dengan Supersemar yang memberi "mandat" kepada Jenderal
Soeharto untuk memulihkan keamanan dan politik yang saat itu sangat kacau, sampai ditolaknya
27

Edward Luttwak dalam bukunya "Kudeta: Teori dan Praktek Penggulingan Kekuasaan", 1999. Diterjemahkan oleh Hartono
Hadikusumo.Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya. Hal. 93-94.

28 Baca:Tabel 1.4 Pembagian Kekuasaan oleh TNI-AD dan KAMI. Hal. 120.

Pidato Nawaksara yang disampaikan oleh Presiden Soekarno. Perlu penulis sampaikan bahwa
pada transisi kekuasaan di pertengahan tahun 1960-70-an, Soeharto hanyalah primus
interpares29, dari seluruh kekuatan gabungan pendukung Orde Baru yang sebelumnya
telah mengalahkan para pendukung Presiden Soekarno.30
Berikut kronologi jatuhnya pemerintahan Presiden Soekarno:31
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Revolusi/ Mandataris MPRS, mengeluarkan
Supersemar, yang isinya antara lain: "Memutuskan dan memerintahkan: Kepada Letnan
Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat untuk atas nama Presiden/Panglima
Tertinggi Pemimpin Besar Revolusi.
1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan
dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi,
serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima
Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan
bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala
ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintah dengan panglima-panglima
Angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan
tanggung-jawabnya seperti tersebut diatas."
31 Desember 1966
Pimpinan MPRS mengadakan musyawarah yang membahas situasi pada saat itu, khususnya
menyangkut pelaksanaan Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966 tersebut diatas, dan suara
serta pendapat dalam masyarakat yang timbaul setelah adanya sidang-sidang Mahmillub yang
mengadili perkara-perkara ex. Wapredam I dan ex. Men/Pangau.
6 Januari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan surat nomor A9/1/5/MPRS/1967, ditujukan kepada Jenderal TNI
Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS IX/Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan
29Saurip Kadi. 2000:11. Primus Inter pares adalah Sistem Pemilihan pemimpin melalui musyawarah diantara sesamanya berdasarkan kelebihan
yang dimiliki baik secara fisik ataupun spiritual. Primus Inter pares biasanya berhubungan dengan wibawa seorang tokoh merangkum
kepercayaan, mutu tokoh (kemampuan mengorganisasi, tingkat visioner, kemampuan merekam dan memahami mimpi publik dalam program
publik kemudian melaksanakannya, menghormati keadilan, pandai mendengar, memecahkan masalah dan pandai mempersatukan).

30Baca: Kekalahan Para Pendukung Presiden Soekarno. Hal. 111.
31 Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia. 1986. 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1965-1973. Jakarta:Menteri/Sekretaris Negara Republik
Indonesia dan http://tempo.co.id/ang/min/02/05/utama7.htm , diakses pada 10 Februari 2015, pukul 13:49 Wib.

Ketertiban. Surat itu menegaskan seputar permintaan bahan-bahan yuridis/hasil penyidikan.
Isinya antara lain: "Pimpinan MPRS mengkonstatasikan bahwa setelah berlangsungnya Sidangsidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara ex-Waperdam I dan ex-Men/Pangau, telah
timbul berbagai suara dan pendapat dalam masyarakat yang berkisar pada dua hal pokok,
yaitu: - Tuntutan penyidikan hukum untuk menjelaskan/menjernihkan terhadap peranan
Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa kontra revolusi G-30-S/PKI. - Tuntutan
dilaksanakannya Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966."
10 Januari 1967
Presiden Soekarno menyampaikan Pidato Pelangkap Nawaksara, yang isinya antara lain: "Untuk
memenuhi permintaan Saudara-saudara kepada saya mengenai penilaian terhadap peristiwa G30.S, maka saya sendiri menyatakan:
a. G.30.S ada satu "complete overrompeling" bagi saya.
b. Saya dalam pidato 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966 mengutup
Gestok. 17 Agustus 1966 saya berkata "sudah terang Gestok kita kutuk. Dan
saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan
dengan jelas dan tandas, bahwa "Yang bersalah harus dihukum! Untuk itu
kubangunkan MAHMILLUB"
c. Saya telah autorisasi kepada pidato Pengemban S.P. 11 Maret yang diucapkan
pada malam peringatan Isro dan Mi'radj di Istana Negara j.l., yang antara lain
berbunyi:
"Setelah saya mencoba memahami pidato Bapak Presiden pada tanggal 17
Agustus 1966, pidato pada tanggal 5 Oktober 1966 dan pada kesempatankesempatan yang lain, maka saya sebagai salah seorang yang turut aktif
menumpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI, berkesimpulan, bahwa
Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun
Bapak Presiden menggunakan istilah "Gestok""(Gestok: Gerakan Satu Oktober,
istilah Presiden Soekarno, Red)
10 Januari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan Catatan Sementara tentang Pelengkap Pidato Nawaksara yang
diumumkan Tanggal 10 Januari 1967. Catatan Sementara tersebut berisikan, antara lain: (a)
bahwa Presiden masih meragukan keharusannya untuk memberikan pertanggungan-jawab
kepada MPRS sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS No.5/MPRS/1966. (b)
Perlengkapan Nawaksara ini bisa mengesankan seolah-olah dibuat dengan konsultasi
Presidium Kabinet Ampera dan para Panglima Angkatan Bersenjata".
20 Januari 1967

MPRS mengeluarkan Press Release Nomor 5/HUMAS/1967 tentang Hasil Musyawarah
Pimpinan MPRS tanggal 20 Januari 1967, yang isinya (terdiri empat point besar) antara lain
(poin ke-4): "Perlu diterangkan bahwa dalam menghadapi persoalan-persoalan penting yang
sedang kita hadapi, soal Nawaksara, soal penegakan hukum dan keadilan, soal penegakan
kehidupan konstitusional, Pimpinan MPRS sejak beberapa lama telah mengadakan tindakantindakan dan usaha-usaha koordinatif dengan Pimpinan DPR-GR, Presiden Kabinet Khususnya
Pengemban Ketetapan MPRS No. IX, dan lembaga-lembaga negara maupun lembaga-lembaga
masyarakat lainnya..."
21 Januari 1967
Mengeluarkan Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS Lengkap, yang terdiri dari tiga butir besar,
antara lain (poin II), "Bahwa Presiden alpa memenuhi ketentuan-ketentuan konstitusional
sebagai ternyata dalam surat beliau No. 01/Pres/67, khususnya yang termaktub dalam
angka Romawi I: "Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ataupun dalam Ketetapan dan
Keputusan MPRS sebelum sidang Umum ke-IV, tidak ada ketentuan, bahwa Mandataris
harus memberikan pertanggungan jawab atas hal-hal yang "cabang". Pidato saya yang
saya namakan Nawaksara adalah atas kesadaran dan tanggungjawab saya sendiri, dan
saya maksudkannya sebagai semacam "progress-report sukarela" tentang pelaksanaan
mandat MPRS yang telah saya terima terdahulu". Yang berarti mengingkari keharusan
bertanggung-jawab pada MPRS dan hanya menyatakan semata-mata pertanggungan
jawab mengenai Garis-garis Besar Haluan Negara saja..." dst.
1 Februari 1967
Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal Soeharto, dengan nomor surat
R.032/1967, sifatnya rahasia, dengan lampiran 2 (dua) berkas, serta perihal: Bahan-bahan
yuridis/hasil penyudikan. Petikan laporan Team, pada bagian Pendahuluan itu, antara lain
sebagai berikut: "Tujuan penyusunan naskah laporan ini untuk menyajikan data dan fakta yang
telah dapat diperoleh selama dalam persidangan MAHMILLUB semenjak perkara NJONO dan
SASTROREDJO, yang dalam pengumpulannya ditujukan untuk memperoleh bahan gambaran
yang selengkap-lengkapnya terhadap PERTANGGUNGAN-DJAWAB YURIDIS PRESIDEN
DALAM PERISTIWA G-30-S/PKI. Berdasarkan hasil-hasil persidangan tadi, maka PRESIDEN
harus mempertanggung-jawabkan segala pengetahuan, sikap dan tindakannya, baik terhadap
peristiwa G-30-S/PKI itu sendiri maupun langkah-langkah penyelesaian yang merupakan
kebijaksanaan PRESIDEN selaku KEPALA NEGARA dan PANGLIMA TERTINGGI ABRI di
dalam menjalankan pemerintahan negara dimana kekuasaan dan tanggung-jawab ada di tangan
PRESIDEN, sesuai ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 beserta penjelasannya."
9 Februari 1967
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengeluarkan Resolusi tentang
Persidangan Instimewa MPRS, yang meminta kepada MPRS untuk mengundang dan
menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS selambat-lambatnya bulan Maret 1967, serta
meminta kepada Pemerintah c.q. Ketua Presidium Kabinet Ampera selaku Panglima Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Pengembangan Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966

untuk memberikan keterangan dan bahan-bahan dalam Sidang Istimewa tersebut untuk
menjelaskan peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa Kontra Revolusi G-30S/PKI untuk dapat dijadikan pegangan dan pedoman para Wakil Rakyat dalam menggunakan
wewenang dan kewajibannya dalam Sidang Istimewa MPRS.
9 Februari 1967
DPR-GR mengeluarkan Penjelasan Atas Usul Resolusi DPR-GR tentang Sidang Istimewa
MPRS. Pada tanggal yang sama DPR-GR mengeluarkan Memorandum mengenai
Pertanggungan-jawab dan Kepemimpinan Presiden Soekarno dan Persidangan Istimewa MPRS.
11 Februari 1967
Empat panglima angkatan di tubuh ABRI bertemu Presiden Soekarno di Bogor, menyampaikan
pendiriannya agar Presiden menghormati konstitusi dan Ketetapan MPRS pada Sidang Umum
ke-IV.
12 Februari 1967
Presiden bertemu kembali dengan keempat Panglima tersebut, dan saat itu presiden meminta
untuk melakukan pertemuan kembali esoknya.

13 Februari 1967
Para panglima mengadakan rapat membahas masalah pendekatan Presiden Soekarno tersebut.
Sesudah bertemu dengan presiden, kemudian mereka sepakat untuk tidak lagi melakukan
pertemuan selanjutnya.
16 Februari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967 tentang Tanggapan Terhadap
Pelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya: MENOLAK PELENGKAPAN PIDATO
NAWAKSARA YANG DISAMPAIKAN DENGAN SURAT PRESIDEN NO. 01/PRES./'67
TANGGAL 10 JANUARI 1967, SEBAGAI PELAKSANAAN KEPUTUSAN MPRS
NO.5/MPRS/1966. Dan pada tanggal yang sama dikeluarkan pula Keputusan MPRS
No.14/B/1967 tentang Penyelenggaran dan Acara Persidangan Istimewa MPRS.
19 Februari 1967
Para Panglima dan Jenderal Soeharto bertemu dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesimpulan.

20 Februari 1967
Presiden Soekarno memberikan Pengumuman, yang isinya antara lain: KAMI, PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN
BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, Setelah menyadari bahwa konflik politik yang terjadi
dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan Rakyat, Bangsa dan Negara, maka dengan
ini mengumumkan: Pertama: Kami, Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima
Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, terhitung mulai hari ini menyerahkan
kekuasaan pemerintah kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, dengan tidak
mengurangi maksud dan jiwa Undang-undang Dasar 1945. Kedua: Pengemban Ketetapan
MPRS No. IX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden,
setiap waktu dirasa perlu. Ketiga: Menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia, para
Pemimpin Masyarakat, segenap Aparatur Pemerintahan dan seluruh Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia untuk terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan revolusi dan
membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966
seperti tersebut diatas. Keempat: Menyampaikan dengan penuh rasa tanggung-jawab
pengumuman ini kepada Rakyat dan MPRS. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Rakyat
Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur
berdasarkan Pancasila." Pengumuman ini ditandatangani pada tanggal 20 Februari 1967 oleh
Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI, Presiden Soekarno.
23 Februari 1967
Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/1996, melakukan Pidato melalui Radio
Republik Indonesia. Sianya antara lain, memberi penegasan soal penyerahan kekuasaan oleh
Presiden Soekarno kepada dirinya. Pada tanggal yang sama, 23 Februari 1967, (juga) DPR-GR
mengeluarkan Resolusi No.724 tentang pemilihan Pejabat Presiden Republik Indonesia, beserta
penjelasan terhadap resolusi tersebut.
24 Februari 1967
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia membuat pernyataan yang isinya antara lain, mengenai
penyerahan kekuasaan pemerintah, dan menegaskan bahwa Angkatan Bersenjata akan
mengamakan terselenggaranya Sidang Istimewa MPRS. Serta juga ditegaskan bahwa ABRI akan
mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun dan golongan manapun yang tidak mentaati
pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, setelah berlakunya Pengumuman Presiden tanggal 20
Februaru 1967.
25 Februari 1967
Pemerintah mengeluarkan Keterangan Pers, mengenai telah dilakukannya penyerahan kekuasaan
pemerintahan negara oleh Presiden Soekarno kepada Pengemban Ketetapan MPRS
No.IX/MPRS/1966, yakni Jenderal Soeharto.
7 Maret 1967

MPRS mengadakan sidang istimewa dengan menghasilkan 26 Ketetapan. Ketika sidang MPRS
itu dilakukan, Mandataris duduk di barisan pimpinan MPRS yakni di sebelah kanan Ketua
MPRS, tidak seperti biasanya duduk berhadapan dengan MPRS. Hasilnya, antara lain (seperti
dituangkan dalam TAP MPR No. XXXIII/MPRS/1967), yakni Mencabut Kekuasaan Pemerintah
dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga
dilaksanakannya Pemilu.
Menurut penulis lima hal yang buat Presiden Soekarno jatuh dari jabatan Presiden
Republik Indonesia:
1.
2.
3.
4.

Akumulasi Ketidakpuasan Musuh Politik Presiden Soekarno Tahun 1959-1965.
Dampak Negatif dari Gerakan 30 September 1965.
Buruknya Ekonomi Dan Taraf Hidup Masyarakat Indonesia Saat itu.
TNI AD Dan KAMI Berhasil Mengambil Hati Rakyat Indonesia.

Kekuatan para pendukung Presiden Soekarno tidak terkordinir satu sama lain seperti yang
dilakukan musuh-musuh politiknya