IMMERSIVE LEARNING MELEJITKAN PENGUASAAN (2)

IMMERSIVE LEARNING:
MELEJITKAN PENGUASAAN BAHASA INGGRIS
PEMELAJAR INDONESIA
Oleh
Mashadi Said
Abstrak
Menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional merupakan
dambaan setiap pemelajar Indonesia. Namun, pemelajar Indonesia
menghadapi banyak tantangan, mulai dari faktor linguistik, yaitu
perbedaan yang mencolok antara budaya bahasa Inggris dan bahasa
Indinesia serta bahasa lokal pemelajar, sampai pada faktor non-linguistik,
yaitu lingkungan yang tidak mendukung karena bahasa yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa lokal dan bahasa Indonesia,
sampai pada lingkungan sekolah yang bahasa pengantarnya adalah bahasa
Indonesia, serta metode yang digunakan oleh guru belum menemukan
tujuannya, yaitu memberikan kemampuan yang maksimal kepada para
pemelajar. Tulisan ini memaparkan suatu metode pembelajaran bahasa
asing yang telah terbukti berhasil dijalankan di Kanada dan Amerika
Serikat. Metode yang dimaksud adalah metode Immersive learning.
Kata Kunci: Immersive Learning, penguasaan bahasa Inggris, pemelajar
Indonesia

PENDAHULUAN
Tujuan pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia meliputi empat
keterampilan bahasa Inggris, keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Namun, sejauh ini tujuan tersebut sering tidak dapat tercapai dengan baik. Jutaan pemelajar
bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia yang telah belajar bahasa Inggris selama
minimal 6 tahun (3 tahun di SMP dan 3 tahun di SMA) ditambah lagi minimal dua semester
di perguruan tinggi, berakhir dengan kekecewaan. Di Indonesia, prestasi siswa dalam bahasa
Inggris pada umumnya menunjukkan prestasi yang masih rendah. Prestasi mereka tidak dapat
dilihat dari nilai rapor (yang mungkin nilainya sangat tinggi), karena bisa jadi nilai bahasa
Inggris yang tertulis di transkrip ijazah delapan atau sembilan, tetapi kemampuan bahasa
penyandang transkrip tidak bisa memenuhi syarat penguasaan bahasa Inggris yang
dikehendaki. Hasil tes calon mahasiswa S-2 nonbahasa Inggris menunjukkan bahwa

1

kemampuan bahasa Inggris mereka sangat rendah (setara dengan nilai TOEFL 350)1, belum
lagi kalau dilihat dari kemampuan berbicaranya. Kenyataan menunjukkan bahwa sangat sulit
menemukan tamatan SMA yang dapat berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Inggris.
Mencapai prestasi dalam bahasa Inggris pada konteks Indonesia tidaklah mudah.
Kemungkinan keberhasilan pemelajar sangat kecil, walaupun terdapat sangat sedikit

kekecualian—hanya sebagian kecil mahasiswa Indonesia yang dapat menggunakan bahasa
Inggris secara aktif. Rendahnya hasil pemelajaran bahasa Inggris di Indonesia disebabkan
oleh dua faktor utama, yaitu faktor linguistik dan faktor non-linguistik. Dari sudut pandang
analisis kontrastif (Contrastive Analysis), faktor linguistik meliputi perbedaan antara sistem
bahasa Inggris dan sistem bahasa Indonesia yang sangat tajam. Perbedaan yang sangat
menonjol disebabkan kedua bahasa memiliki rumpun bahasa yang berbeda. Perbedaan yang
menonjol meliputi unsur fonologis, struktur, dan kosa kata seperti verba frase, idiom, dan
sanding kata (collocation).
Pertama, panjang-pendeknya bunyi vokal dalam bahasa Inggris membedakan arti.
Pemelajar Indonesia sering salah mengucapkan bunyi vokal tersebut karena pengaruh
pengetahuan vokal dalam bahasa Indonesia yang tidak membedakan arti baik diucapkan
dengan pendek maupun panjang (Said, 1984). Misalnya, come, calm, bed, bad, ship, sheep,
pull, pool penyebutannya sulit dibedakan pemelajar Indonesia. Di samping itu,
ketidaksesuaian ejaan dengan ucapan ikut mempersulit penguasaan pemelajar dalam hal
ucapan. Misalnya kata: bury, determine, examine, target diucapkan salah oleh banyak
pemelajar Indonesia. Di samping itu, unsur konsonan juga mempengaruhi seriusnya masalah
pemelajaran bahasa Inggris di Indonesia. Umumnya pemelajar Indonesia sulit membedakan
antara bunyi sy, s, z, θ, ð, v, f, p, sehingga ucapan mereka salah. Di samping itu, tekanan
(stress) dalam bahasa Inggris juga merupakan masalah tersendiri bagi pemelajar Indonesia.
Misalnya, de’velop, en’viroment, eco’nomic, ‘present (kata sifat), pre’sent (verba), dsb.

Kedua, sejumlah struktur bahasa Inggris sangat berbeda dengan struktur bahasa
Indonesia. Dalam bahasa Inggris dikenal unsur kala (tenses), tetapi dalam bahasa Indonesia
tidak. Misalnya, tiga kalimat pengandaian dalam bahasa Inggris sulit dicarikan padanannya
dalam bahasa Indonesia. Ketiga, unsur kosa kata yang meliputi verba frase, dan sanding kata
juga sangat berbeda, sehingga pemelajar Indonesia sering menerjemahkan secara harfiah
sanding kata bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris atau dikenal dengan istilah transfer
negatif (Said, 2011). Sanding kata yang dianggap alami dalam bahasa Indonesia, tidak alami
dalam bahasa Inggris. Misalnya, pemelajar Indonesia mengatakan dalam bahasa Inggris: I
1 Nilai TOEFL berbasiskan kertas adalah antara 217 s.d. 677

could not decide whether I should follow the test or go home adalah terjemahan harfiah dari
Saya tidak bisa memutuskan apakah sebaiknya mengikuti tes atau pulang. Sanding kata
‘follow the test” sama sekali tidak dimengerti dalam bahasa Inggris, tetapi dalam bahasa
Indonesia “mengikuti tes” adalah sanding kata yang sangat alami. Pemelajar tersebut
seharusnya mengatakan I could not decide whether I should take the test or go home (Said,
2011).
Di samping faktor linguistik, faktor lain yang turut memberi pengaruh negatif
terhadap situasi pemelajaran bahasa Inggris di Indonesia adalah faktor nonlinguistik. Faktor
itu meliputi (1) kedudukan bahasa Inggris sebagai bahasa asing, (2) geografis, (3) kearifan
lokal (umumnya pemelajar memiliki budaya “takut mengambil risiko” atau dosen terlalu

dominan di dalam kelas), (4) kualifikasi akademis dan profesional guru bahasa Inggris, (5)
besarnya jumlah siswa dalam kelas, (6) sarana pembelajaran, (7) Siswa mempelajari terlalu
banyak mata pelajaran/mata kuliah di samping bahasa Inggris, (8) sistem evaluasi, (9)
kesempatan menggunakan bahasa Inggris hampir tidak ada—bahasa Inggris tidak digunakan
oleh masyarakat, (10) kurikulum bahasa Inggris, khususnya di SMP dan SMA terlalu padat
(Nurkamto, 2000).
Kedudukan bahasa Inggris sebagai bahasa asing memiliki ciri sebagai berikut. Bahasa
Inggris tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pemelajar sangat sulit
menemukan pajanan (exposure) bahasa Inggris yang dapat mendukung proses pemelajaran
bahasa Inggris. Bahasa Inggris tidak digunakan sebagai bahasa resmi pemerintahan,
pendidikan, hukum, usaha, dan media. Dari sudut pandang geografis, letak Indonesia sangat
berjauhan dengan negara yang masyarakatnya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
pertama, seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Hal ini tidak
memungkinkan pemelajar untuk kontak langsung dengan para penutur negara tersebut.
Faktor lain adalah faktor budaya pemelajar. Dardjowidjojo (dalam Nurkamto, 2000)
menengarai bahwa ada nilai budaya yang tidak mendidik pemelajar untuk berperilaku aktif
dan proaktif2 di dalam kelas. Nilai tersebut antara lain manut-lan-miturut (selalu patuh),
ewuh-pekewuh (malu, merasa tidak enak hati), dan sabda pendita ratu (orangtua selalu
benar). Yang pertama menyatakan bahwa ukuran untuk menilai baik buruknya anak adalah
tingkat kepatuhannya kepada orangtua; makin patuh makin baik. Yang kedua mengandung

makna bahwa orang merasa tidak enak hati untuk berbeda pendapat, dan yang ketiga adalah
orangtua dianggap atau menganggap dirinya selalu benar. Implikasinya jelas terlihat di dalam
2 Menurut R. Covey (1989) proaktif berarti lebih dari mengambil inisiatif, yaitu bertanggungjawab atas sikap dan tindakan
yang dipilih.

3

kelas. Pemelajar kurang aktif dan pemelajar tidak mau mengambil risiko serta kurang
terjadinya komunikasi dua arah antara guru dan pemelajar. Padahal salah satu penentu utama
keberhasilan belajar adalah berani mengambil risiko (high risk taking)3. Hal ini sejalan
dengan Exley (2005) dari Queensland University of Technology yang menemukan bahwa ada
tiga ciri yang mendominasi pemelajar Indonesia yang kurang mendukung pencapaian prestasi
dalam bahasa Inggris. Ciri tersebut meliputi: a) pasif—pemelajar Indonesia umumnya tidak
aktif dalam belajar atau tidak mengambil inisiatif; b) malu—pemelajar Indonesia malu bila
berbuat salah atau tidak mau mengambil risiko; c) diam—karena pemelajar Indonesia tidak
mau mengambil risiko, mereka lebih memilih diam.
Faktor keempat—faktor yang sangat strategis dalam pemelajaran bahasa Inggris
sebagai bahasa asing di Indonesia—adalah kualifikasi guru, yaitu kualifikasi akademik dan
kualifikasi profesional. Yang pertama mengacu pada penguasaan guru terhadap materi yang
diajarkan dan yang kedua mengacu pada kemampuan guru mengelola kelas. Di samping itu,

masalah lain yang erat hubungannya dengan keberhasilan pemelajar di Indonesia adalah
tujuan dan waktu belajar bahasa Inggris. Sasaran belajar bahasa Inggris siswa pada umumnya
di sekolah adalah hanya memperoleh nilai tinggi, bukannya menguasai bahasa Inggris secara
utuh. Hal ini menentukan motivasi pemelajar untuk belajar bahasa Inggris dengan tekun.
Akibatnya adalah pemelajar bahasa Inggris hanya berusaha dan menghabiskan waktu berlatih
menjawab soal-soal ujian yang mungkin akan diujikan, bukannya bagaimana menguasai
bahasa Inggris secara utuh. Hal inilah yang menghilangkan substansi belajar, yaitu
kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Kurangnya waktu yang diluangkan untuk
belajar juga ikut menentukan keberhasilan belajar. Di SMP, jumlah jam pelajaran adalah 4
jam per minggu (40 menit per jam pelajaran), di SMA jumlah jam pelajaran juga 4 jam per
minggu (45 menit per jam pelajaran). Siswa belajar bahasa Inggris secara formal maksimum
811 jam per tahun (@60 menit) selama 3 tahun, dan di SMA maksimum 111,5 jam per tahun
(@60 menit) selama 3 tahun4.
Masalah lain yang paling menentukan dalam pencapaian belajar siswa adalah kualitas
guru. Hal ini meliputi: a) penguasaan bahasa Inggris para guru. Masih banyak guru bahasa
Inggris di Indonesia memiliki kemampuan bahasa Inggris rendah. Mereka tidak bisa menjadi
teladan (role model) bagi siswa dalam bahasa Inggris. Misalnya, ucapan bahasa Inggrisnya
masih banyak mengadung kesalahan, penguasaan kosa kata dan tatabahasa yang sangat
3 Istilah high risk taking digunakan sebagai ciri pemelajar bahasa yang tidak malu atau segan mengambil risiko untuk
mengujicobakan bahasa Inggris yang baru saja dipelajarinya. Dengan kata lain, berani mengambil risiko atas kesalahan yang

mungkin akan dibuatnya ketika berbicara atau menulis. Pemelajar seperti itu sering cepat berhasil dalam pemelajaran bahasa
yang dipelajarinya.
4 Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2006.

rendah serta bagaimana memungsikan bahasa dalam komunikasi nyata masih diragukan.
Masalah kedua menyangkut guru bahasa Inggris adalah b) kemampuan guru mengelola kelas.
Budaya sabda pendita ratu membuat guru sering mendominasi kelas, sehingga kesempatan
bagi pemelajar untuk mengambil bagian dalam belajar sering tidak terpenuhi. Di lain pihak,
besarnya jumlah pemelajar dalam kelas ikut memengaruhi sulitnya pemelajar mendapat
kesempatan berpartisipasi aktif dalam kelas.
Lalu, bagaimana cara mengatasi permasalahan pemelajaran bahasa Inggris di
Indoensia, sehingga kegiatan belajar dapat melejitkan penguasaan bahasa Inggris pemelajar
Indonesia? Melalui tulisan ini, saya berkeyakinan bahwa hanya melalui cara ‘belajar imersif’
(Immersive Learning), yaitu proses belajar yang melibatkan pemelajar secara penuh, baik
dalam proses pembelajaran maupun dalam proses pemelajaran, hasil belajar bahasa Inggris
dapat dicapai dengan baik.
HAKIKAT IMMERSIVE LEARNING
Istilah Immersive Learning (belajar imersif) berasal dari Immersion Program
(program imersi) yang pernah berhasil dilakukan di Kanada dan Amerika Serikat. Program
imersi adalah cara mengajarkan bahasa kedua atau bahasa asing melalui bahasa pengajaran di

kelas. Bahasa kedua atau bahasa asing menjadi bahasa pengajaran. Program imersi pertama
kali dilakukan di Kanada dan dengan sukses mengantarkan pemelajar menguasai bahasa
asing pada tahun 1960-an. Program ini bertujuan agar anak-anak dapat menguasai dua
bahasa, yaitu bahasa ibu dan bahasa kedua, sehingga anak-anak menjadi dwibahasawan. Pada
sat itu, orang tua yang berasal dari kelas menengah Anglophone, yang berbahasa Inggris,
meyakinkan para pendidik untuk membuat program percobaan, yaitu program imersi bahasa
Prancis yang memungkinkan anak-anak mereka dapat mengapresiasi tradisi dan budaya
orang Kanada berbahasa Prancis dan orang Kanada berbahasa Inggris (Baker, 1993). Melalui
metode ini, pemelajar mempelajari mata pelajaran di sekolah, seperti matematika, ilmu
pengetahuan alam, dan ilmu sosial lainnya dalam bahasa kedua, yaitu bahasa Prancis. Tujuan
metode ini adalah meningkatkan kemampuan siswa untuk menggunakan dua bahasa, yaitu
bahasa Inggris sebagai bahasa pertama (bahasa ibu) dan bahasa Prancis sebagai bahasa
kedua.
Program imersi bahasa asing, pertama kali diperkenalkan di Amerika pada tahun 1971
dengan cara memasukkan pendidikan bahasa kedua di Sekolah Dasar. Program tersebut
secara bertahap menyebar di seluruh negara bagian dan saat ini dipandang sebagai oleh para
pendidik dan orang tua sebagai cara yang paling efektif mengajarkan bahasa asing kepada
5

para murid (Curtain & Dahlberg, 2004). Imersi bahasa asing adalah pendekatan untuk

mengajarkan bahasa lain yang melibatkan pencelupan (imersi) siswa dalam bahasa sasaran
sepanjang hari sekolah. Para guru hanya penggunakan bahasa sasaran untuk mengajarkan
mata pelajaran, dengan menggunakan sejumlah strategi pembelajaran. Tujuan akhir jenis
program tersebut adalah bagi siswa menjadi mahir dalam bahasa sasaran selain bahasa
Inggris, dan mengembangkan kesadaran budaya sembari prestasi akademisnya mencapai
tingkat capaian yang tinggi (Fortune & Tedick, 2003).
Di Kanada, ada empat jenis program imersi yang dilakukan di kelas: 1) imersi penuh,
yaitu bahasa Prancis digunakan pada waktu belajar di kelas. Mata pelajaran diajarkan dalam
bahasa kedua. Dengan

demikian belajar bahasa kedua terintegrasi dalam kurikulum.

Tujuannya adalah untuk memberikan kemampuan siswa memfungsikan bahasa secara
fungsional, menguasai mata pelajaran yang diajarkan dalam bahasa kedua, dan memperoleh
pemahaman dan apresiasi terhadap budaya bahasa kedua. Walaupun imersi penuh dalam
bahasa kedua untuk semua mata pelajaran, tetapi setelah beberapa tahun, pembelajaran bisa
saja kembali pada bahasa pertama; 2) Imersi separuh, yaitu sekitar seperdua waktu belajar di
kelas dihabiskan dengan menggunakan bahasa kedua sebagai bahasa mata pengajaran.
Tujuannya adalah untuk memberikan kemampuan fungsional dalam bahasa asing, menguasai
mata pelajaran yang diajarkan, dan memperoleh pemahaman dan apresiasi terhadap budaya

lain; 3) bahasa kedua berbasiskan isi di sekolah dasar, yaitu sekitar 15-50% waktu kelas
digunakan dalam bahasa kedua dan waktu tersebut digunakan untuk mempelajari bahasa
kedua berbasiskan isi di samping,

mempelajari mata pelajaran dalam bahasa asing,

menggunakan materi mata pelajaran sebagai sarana untuk memperoleh keterampilan bahasa
kedua dan memperoleh pemahaman serta penghargaan terhadap budaya bahasa kedua; 4)
dalam bahasa asing berbasiskan isi di Sekolah Dasar, yaitu 5-15% waktu dihabiskan dalam
bahasa kedua termasuk mempelajari bahasa kedua itu sendiri. Hal ini dilakukan minimal 75
menit, paling sedikit selama tiga hari secara berselang seling. Tujuan program ini adalah
memperoleh kemampuan dalam menyimak dan bercakap, memperoleh pemahaman dan
apresiasi terhadap budaya bahasa kedua dan memperoleh kemampuan membaca dan menulis;
5) dalam program bahasa asing berbasiskan isi, dilakukan secara teratur dan sering selama
waktu singkat tertentu. Kelas umumnya dalam bahasa ibu; hanya 1-5% waktu di kelas
digunakan untuk belajar tentang bahasa. Tujuan program ini adalah meningkatkan minat
dalam bahasa asing untuk belajar bahasa selanjutnya, mempelajari kata-kata dan frase dasar
dalam bahasa kedua, mengembangkan keterampilan menyimak, meningkatkan kesadaran

budaya, dan meningkatkan kesadaran kebahasaan. Jenis program imersi ini biasanya tidak

berkelanjutan (Anderson & Rhodes, 1983).
Di Amerika Serikat, ada dua jenis program imersi, yaitu: a) imersi penuh—semua
mata pelajaran pada tingkat lebih rendah (K-2) diajarkan dalam bahasa kedua; pembelajaran
dalam bahasa Inggris biasanya bertambah 20-50% pada kelas sekolah dasar yang lebih tinggi
(3-6). Program berlanjut terus sampai tingkat SMP dan SMA; b) imersi setengah—50% mata
pelajaran diajarkan dalam bahasa kedua. Program berlanjut sampai tingkat SMP dan SMA.
Program imersi memberi banyak manfaat, yaitu (1) meningkatkan kemampuan
pemelajar dalam bahasa kedua secara signifikan; (2) meningkatkan kemampuan
metalinguistik pemelajar; (3) meningkatkan kemampuan kognitif pemelajar dalam berpikir
divergen, pembentukan konsep, kemampuan verbal, keterampilan menyimak, dan penalaran
umum; (4) meningkatkan pemahaman pemelajar dalam bahasa pertama; (5) membuka pintu
pada budaya lain dan membantu anak memahami serta menghargai orang dari budaya lain;
(6) meningkatkan kesempatan kerja dalam karier karena kemampuan dalam bahasa kedua
merupakan aset nyata; (7) mengunggulkan skor SAT dan tes standar; dan (8) meningkatkan
memori. Hasil penelitian mengenai program imersi menunjukkan bahwa belajar melalui
program imersi adalah cara efektif untuk menguasai bahasa asing (Anderson & Rhodes,
1983).
ASUMSI IMMERSIVE LEARNING
Immersive Learning atau ‘belajar imersif’ memiliki asumsi bahwa pemerolehan
bahasa asing terjadi dengan sangat mudah dan cepat pada lingkungan dan budaya bahasa
sasaran. Oleh karena itu, program tersebut dirancang untuk mendorong kondisi belajar mirip
dengan kondisi aslinya, tempat bahasa sasaran itu digunakan. Hal ini dilakukan dengan
memaksimalkan waktu pemajanan bahasa dan budaya sasaran kepada pemelajar.
Belakangan ini sejumlah sekolah bertaraf internasional (sekolah internasional) di
Indonesia menerapkan model program imersi, yaitu mata pelajaran diajarkan dalam bahasa
Inggris. Namun, sejumlah kalangan menyangsikan keberhasilannya. Masalahnya adalah
umumnya guru mata pelajaran tidak menguasai bahasa Inggris dengan baik. Walaupun para
guru telah dilatih, hasil tes TOEIC (Test of English for International Communication)
menunjukkan bahwa hanya 2,9 persen guru Biologi, Matematika, Kimia, dan Fisika, serta 5,6
persen guru Bahasa Inggris yang mencapai nilai tes TOEIC yang memadai ( > 800)
(http://edukasi.kompas.com/read/ 2012 /04/26/07284318/ Evaluasi.Bahasa.Pengantar.RSBI).
Ini berarti bahwa lingkungan program imersi belum memiliki syarat kondisi yang kondusif.
7

Rendahnya kualitas guru merupakan tantangan terbesar negeri yang kita cintai ini.
Kalau saja kita mau belajar dari negeri tetangga kita, tentulah guru kita tidak hanya dihujat
dan dipersalahkan5. Pada bulan November 2010 di Thailand, Konferensi Internasional
“Language, Education, and Millennium Development Goals (MDGs) menyimpulkan bahwa
penggunaan bahasa asing (Inggris) di sekolah bertaraf internasional di Indonesia tidak efektif.
Ketidakefektifan pengajaran bahasa Inggris disebabkan oleh rendahnya kemampuan guru
bahasa Inggris. Jumlah guru yang memiliki penguasaan bahasa Inggris yang baik kurang dari
25%. Oleh karena itu, agar program imersi menjadi sarana ampuh untuk membangun sumber
daya manusia Indonesia yang berdayasaing tinggi, kemampuan guru mutlak diperlukan. Guru
sebagai agen penting untuk mengarahkan kegiatan pemelajaran bahasa Inggris dituntut keras
untuk meningkatkan kualitas bahasa Inggrisnya. Negara berkewajiban untuk menyiapkan
guru yang berkualitas tinggi, baik dalam penguasaan tingkat tinggi bahasa Inggris maupun
dalam penguasaan konten serta kemampuan pedagogis.
Pembelajaran bahasa sasaran melalui program imersi di Kanada dan Amerika telah
terbukti keandalannya. Bukti keberhasilan program imersi di Amerika Serikat adalah pada
saat ini ada 310 program imersi bahasa asing di 263 sekolah; beberapa sekolah mengadakan
lebih dari satu program imersi. Program imersi pada 263 sekolah tersebut menyebar di 33
negara bagian dan 83 distrik. Oleh karena itu, usaha pemerintah Indonesia mengadakan
sekolah bertaraf internasional perlu didukung dan manajemennya terus diperbaiki, khususnya
pada bidang standar pengajaran, kurikulum, metode pengajaran, dan kemampuan bahasa
Inggris para guru.
Menggantungkan harapan pada keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris pada
sekolah bertaraf internasional semata tidaklah cukup. Jumlah penduduk yang demikian besar
dan terbatasnya dana negara, sulit bagi kita untuk segera menuntaskan segala macam
persoalan pembelajaran bahasa Inggris yang dihadapi pemerintah dan para pendidik. Oleh
karena itu, berdasarkan asumsi pembelajaran imersi yang telah dipaparkan di atas, sistem
‘belajar imersif’ tidak hanya dapat terjadi pada program imersi, seperti halnya di Kanada dan
Amerika Serikat atau pada sekolah bertaraf internasional di Indonesia, tetapi juga dapat
diciptakan secara mandiri oleh sekolah yang memiliki guru yang mampu mengajarkan mata
pelajaran tertentu dalam bahasa Inggris. Di samping itu, sistem ‘belajar imersif’ dapat
diciptakan oleh pemelajar bahasa asing itu secara mandiri.
5 Pada pertengahan tahun 1970-an, guru Indonesia mengukir prestasi yang sangat gemilang di negara tetangga kita, Malaysia. Pada saat itu,
Malaysia kekurangan guru karena pemerintah Malaysia mengirim gurunya untuk menambah ilmu di luar negeri, mulai dari guru Sekolah
Dasar sampai dengan dosen Perguruan Tinggi. Mereka dikirim ke Inggris dan Amerika selama lebih dari 4 tahun. Setelah para guru itu
terlatih dengan baik, mereka pulang ke negerinya membangun sumber daya manusianya dan diberi imbalan yang cukup (untuk hidup yang
layak). Mereka inilah yang mengajar generasi Malaysia yang saat ini memiliki daya saing jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

IMMERSIVE LEARNING (BELAJAR IMERSIF)
Berdasarkan pengalaman pribadi saya sebagai pemelajar mandiri (sejak tahun 1977)
dan sebagai pengajar bahasa Inggris (sejak tahun 1983), saya berkeyakinan bahwa pemelajar
tidak hanya dapat mencapai keberhasilan memuaskan melalui pemelajaran imersif pada
program imersi, tetapi juga melalui sistem imersif secara mandiri. Pemelajaran imersif secara
mandiri bisa berhasil dengan baik dengan syarat (1) sikap dan tindakan proaktif pemelajar,
(2) visi belajar bahasa Inggris yang jelas, (3) belajar bahasa Inggris berbasiskan isi (konten),
(4) secara terus menerus berpikir dalam bahasa Inggris (5) kemampuan menciptakan suasana
belajar yang positif, (5) penyediaan input yang bermakna, baik dalam bentuk lisan maupun
tulis, dan (8) intensitas belajar yang tinggi.
Sikap dan Tindakan Proaktif
Kata proaktif berarti bahwa sebagai pemelajar, ia mengambil inisiatif dan
bertanggung jawab atas tugas belajarnya sendiri. Perilaku pemelajar proaktif mampu
mengambil keputusan yang tepat atas kegiatan belajarnya. Ia dapat mengambil inisiatif dan
keputusan sendiri untuk melakukan tindakan mengenai apa yang harus dilakukan dalam
kegiatan belajarnya. Ia mencari, menemukan, dan mentapkan sendiri kegiatan atau strategi
belajar6 yang perlu dilakukan. Kegiatan mereka dalam belajar adalah produk dari pilihan
sadar mereka, berdasarkan nilai dan bukan hasil dari kondisi mereka yang berdasarkan
perasaan. Sebaliknya, pemelajar reaktif sering menyalahkan lingkungan sosialnya, misalnya
guru atau teman-temannya. Ketika guru melayaninya dengan baik, dia menjadi senang. Tetapi
jika tidak mereka menjadi defensif atau protektif. Pemelajar yang reaktif membangun
kehidupan emosionalnya berdasarkan perilaku orang lain; dia menggantungkan nasibnya
pada orang lain atau lingkungan sekitarnya. Tetapi pemelajar proaktif dipandu oleh nilai,
yaitu nilai yang dipikirkan secara cermat, diseleksi dan dihayati. Pemelajar proaktif juga
dipengaruhi oleh stimulus luar: fisik, sosial, atau psikologis, tetapi respons mereka terhadap
stimulus tersebut, sadar atau tidak sadar didasarkan pada pilihan yang berdasarkan nilai yang
diyakininya (Covey, 1989). Ia memiliki integritas, komitmen, kegigihan, kedidiplinan yang
tinggi dalam pemelajaran.
Pemelajar proaktif mampu memilih strategi belajar yang tepat dan cocok untuk
dirinya. Dalam penelitian linguistik terapan terungkap bahwa strategi pemelajaran yang
dipilih pemelajar memainkan peran penting dalam meningkatkan prestasi belajar bahasa
6 O’Malley & Chamot (1990) mengategorikan strategi belajar ke dalam dua kelompok besar: metakognitif dan kognitif.

9

(Rubin, 1975; Pearson, 1988; O'Malley dan Chamot, 1990). Ini berarti bahwa pemelajar
bahasa yang proaktif mampu mengembangkan keterampilan bahasa mereka karena dapat
memilih dan menerapkan strategi yang tepat untuk dirinya. Selanjutnya, pemelajar yang
menggunakan strategi belajar yang efektif dapat berbuat lebih baik di luar kelas dengan
inisiatifnya sendiri. Hal ini diyakini bahwa dalam kegiatan belajar, pemelajar penting
mengontrol proses kegiatan belajarnya sendiri. Pemelajar yang imersif adalah pemelajar yang
aktif untuk mencari solusi atas segala masalah belajar yang dihadapinya. Cotteral dan Crabbe
dalam Nurkamto (2000) menyatakan bahwa pemelajar yang baik adalah pemelajar yang (1)
merencanakan dan mengatur sendiri kegiatan belajarnya, (2) mengetahui bidang yang
menjadi fokus pemelajarannya, (3) memantau sendiri kemajuan belajarnya, (4) mencari
kesempatan sendiri untuk berlatih, (5) antusias terhadap bahasa dan belajar bahasa, (6)
memiliki kepercayaan untuk menggunakan bahasa, dan (7) mencari bantuan apabila
diperlukan. Pemelajar imersif adalah pemelajar yang mandiri, tidak bergantung kepada
gurunya dan orang lain. Sebaliknya, ia aktif mencari strategi untuk meraih keberhasilannya.
Merujuk pada Tujuan Akhir
Berpikir, bersikap, dan bertindak dengan merujuk pada tujuan akhir. Prinsip ini juga
telah ditekankan oleh Stephen R. Covey (1989) dalam 7 kebiasaan manusia yang sangat
efektif. Pemelajar yang efektif adalah pemelajar yang memiliki pengetahuan yang jelas dan
tepat terhadap apa yang ingin dicapai. Kita semua memiliki pikiran sadar dan pikiran bawah
sadar. Pikiran sadar mengungkapkan dirinya dalam kerangka logika, misalnya “Saya
sebaiknya belajar tata bahasa terlebih dahulu” atau “Saya ingin meningkatkan ucapan setiap
kata bahasa Inggris saya dalam waktu 2 minggu (8 jam sehari selama 10 hari). Pikiran bawah
sadar lebih memedulikan perasaan tentang diri kita sendiri. Apakah kita merasa nyaman,
tertekan, atau terancam? Apakah kita merasa percaya diri atau khawatir?
Untuk menjadi sukses, pemelajar perlu memastikan apa yang diinginkan secara sadar
dan bawah sadar adalah dua hal yang sama. Untuk berhasil, pemelajar harus menciptakan visi
masa depan yang jelas. Visi semacam ini dapat memicu dan membantu memprogram pikiran
bawah sadar—pusat limbik emosional dalam otak—untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Untuk mencapai hal yang diinginkan, pemelajar harus membulatkan tekad. Para
pendidik sepakat bahwa unsur utama yang membuat pemelajar berhasil adalah motivasi
tinggi (tekad yang kuat). Kemauan untuk berhasil merupakan gabungan dari dua hal, yaitu

visi tentang yang ingin dicapai dan keyakinan yang kuat bahwa visi tersebut dapat dicapai.
Dalam falsafah Bugis, ini disebut falsafah mappatepu (Said, 2007).7
Sebelum memulai kegiatan belajar, terlebih dahulu pemelajar perlu mengenalis hasil
akhir yang diinginkan. Pemahaman sepenuhnya atas hasil yang ingin didapatkan sangat
membantu proses pencapaian belajar. Ketika pemelajar benar-benar memahami hasil yang
ingin dicapai, maka dirinya dapat dengan mudah mengarahkan seluruh kapasitas dalam
kegiatan belajarnya. Pemahaman hasil akhir yang akan dicapai dapat membantu
mengidentifikasi efektifitas suatu kegiatan belajar, apakah semakin mendekatkan atau
menjauhkannya dari hasil yang diinginkan.
Belajar Berbasiskan Konten
Ciri lain ‘belajar imersif’ adalah belajar bahasa asing berbasiskan konten. Menurut
Brinton, Snow, & Wesche (1989), pembelajaran berbasiskan konten (content-based
instruction) adalah pendekatan yang signifikan dalam pendidikan bahasa. Metode ini
menyiapkan pembelajaran kepada pemelajar bahasa asing dengan konten dan bahasa. Tujuan
pembelajaran berbasiskan konten adalah mempersiapkan pemelajar untuk memperoleh
bahasa asing ketika digunakan dalam konteks dari setiap materi pelajaran yang dipelajari.
Sistem belajar seperti ini membuahkan hasil yang gemilang dalam Program Imersi di
Kanada. Di Indonesia, belajar berbasiskan konten banyak dipraktikkan di pesantren. Mata
pelajaran yang dipelajari dalam bahasa Arab, bukan dalam bahasa Indonesia. Hasilnya adalah
luaran pesantren umumnya dapat menggunakan bahasa Arab dengan baik. Belajar bahasa
asing berbasiskan konten memungkinkan pemelajar belajar dalam konteks tertentu.
Belajar berbasiskan konten adalah menggunakan materi pelajaran sebagai sarana
untuk belajar bahasa asing. Pembelajaran berbasiskan konten memiliki banyak keutungan
sebagai berikut.
1. Pemelajar terpajankan banyak bahasa melalui konten atau materi yang merangsang.
Peserta didik menjelajahi konten yang menarik dan terlibat dalam kegiatan yang
terikat dengan bahasa. Oleh karena itu, belajar bahasa asing menjadi otomatis.
2. Pembelajaran berbasiskan konten mendukung pemelajaran kontekstual; pemelajar
diajarkan bahasa yang berguna yang terikat dengan konteks wacana yang relevan dan
bukan sebagai fragmen bahasa yang terisolasi, sehingga pemelajar dapat membuat
hubungan antara bahasa dan pengalaman dan pengetahuan awal mereka.
7 Falsafah mappatepu berbunyi “genggamlah rezekimu dengan jelas sebelum engkau melangkah untuk mencarinya” (warekkeng memenni
dalle’mu munappa lao massappa’ dalle’).

11

3. Informasi yang kompleks disampaikan melalui konteks kehidupan nyata sekaligus
pemelajar dapat meningkatkan motivasi intrinsiknya.
4.

Dalam pembelajaran berbasiskan konten, informasi ditegaskan kembali oleh
informasi yang disampaikan secara strategis pada waktu yang tepat,

sehingga

mendorong pemelajar untuk belajar.
5. Fleksibilitas dan adaptasi yang lebih besar, sehingga dapat digunakan sesuai dengan
minat pemelajar.
Berpikir dalam Bahasa Inggris
Hal utama yang perlu ditekankan adalah perlunya memfokuskan secara langsung
mengenai makna komunikasi ketika menggunakan bahasa Inggris. Pemelajar tidak perlu
terlebih dahulu merencanakan ujaran dalam bahasa ibu lalu menerjemahkannya ke dalam
bahasa Inggris. Ketika berkomunikasi kita tidak merencanakan apa yang mau dikatakan,
melainkan biasanya dilakukan secara otomatis. Cara yang dilakukan adalah menjauhkan
bahasa ibu dari pikiran sehingga ide dan kata-kata bisa menjadi spontan dalam bahasa
Inggris. Secara umum berpikir dalam bahasa yang dipelajari akan memberikan kemampuan
kepada pemelajar untuk belajar lebih baik. Semakin sedikit berpikir, berbicara, dan membaca
dalam bahasa ibu, semakin cepat dan semakin baik kita dapat menguasai bahasa Inggris.
Kenyataan menunjukkan bahwa ada hubungan timbal balik antara menggunakan bahasa dan
berpikir dalam bahasa tersebut. Kita mendengarnya, menggunakannya dalam berbicara,
berarti kita belajar berpikir dalam bahasa tersebut. Menurut Wenden (1987), jika pemelajar
berpikir dalam bahasa Inggris, pemelajar akan dapat berbicara dengan baik.
Penciptaan Lingkungan belajar yang positif
Pemelajar hanya dapat belajar dengan baik dalam lingkungan fisik, emosi, dan
lingkungan yang positif, yaitu lingkungan yang memberikan gairah untuk melakukan aktifitas
belajar. Untuk mengoptimalkan pemelajaran, setiap orang memerlukan perasaan nyaman,
aman, utuh, dan gembira. Asumsi ini berakar dari upaya Profesor Georgi Lozanov—pendidik
berkebangsaan Bulgaria—yang menyarankan suatu metode belajar yang disebutnya
“suggestopedia” yang kini orang menyebutnya “desuggestopedia (Larsen-Freeman, 2000:73).
Prinsipnya adalah “sugesti” dapat dan pasti memengaruhi hasil situasi belajar. Lozanov
meyakini bahwa pemelajaran bahasa dapat terjadi jauh lebih cepat daripada biasanya bila
hambatan psikologis tersingkirkan.

Menurut Lozanov, alasan atas ketidakefisienan pemelajar dalam belajar adalah karena
pemelajar menanamkan hambatan psikologis terhadap belajar. Misalnya, pemelajar merasa
bahwa bahasa yang dipelajarinya amat sulit atau tidak mudah, atau mungkin pemelajar
mengatakan bahwa percuma saja belajar karena dia pasti berakhir dengan kekecewaan.
Dengan hambatan psikologis itu, pemelajar tidak memanfaatkan kapasitas mentalnya secara
penuh. Lozanov berasumsi bahwa umumnya pemelajar hanya menggunakan 5 (lima) sampai
dengan 10 persen kapasitas mentalnya dalam belajar. Oleh karena itu, agar pemelajar dapat
menggunakan kapasitas yang masih tersimpan sebesar 90-95 persen, keterbatasan/hambatan
psikologis harus dihilangkan (desuggested). Hal ini juga ditekankan juga oleh MacGregor
(1992) bahwa pemelajar hanya dapat menggunakan pikirannya—sadar (12%) dan bawah
sadar (88%) secara efektif bila pemelajar dalam keadaan nyaman, gembira, dan santai. Hal
ini juga dapat dilakukan humor (Hill, 1988).
Pendekatan ini telah dikembangkan untuk membantu pemelajar menghilangkan
perasaan negatif bahwa mereka tidak bisa berhasil atau menghilangkan berbagai pikiran
negatif yang menghambat keberhasilan belajarnya. Untuk mengatasi hambatan psikologis
yang bersifat negatif dalam belajar, Lozanov menyarankan agar pemelajar didudukkan dalam
suasana kelas yang nyaman, memasang musik latar, mengoptimalkan partisipasi pemelajar
dalam proses belajar, menggunakan poster untuk memberi kesan besar sambil menonjolkan
informasi dan menyediakan guru yang terlatih baik dalam seni pengajaran sugestif. Kondisi
nyaman yang menyenangkan dalam proses pemelajaran, yang menjadi pusat perhatian
Lozanov, telah dijadikan syarat mutlak dalam sistem pemelajaran terakselerasi (Accelerated
Learning). Para pakar belajar terakselerasi, seperti Meier (2000) dan pakar Quantum
Learning, seperti DePorter dan Hernacki (1992) menyatakan bahwa hanya dengan kondisi
yang luwes, gembira, santai, mengutamakan tujuan, kerjasama, multi-indrawi, mengasuh,
mementingkan kegiatan, mementingkan mental dan emosi, serta fisik, berdasar hasil,
pemelajaran akan dapat berjalan secara efektif.
Pada zaman ini, kemajuan teknologi pembelajaran telah membuat loncatan yang
cukup signifikan, yaitu kemajuan multi-media. Teknologi multi-media, yang mampu
mengintegrasikan audio dan visual, dapat memberikan suasana yang menyenangkan, gairah,
semangat, dan kegembiraan dalam proses belajar. Kondisi seperti inilah yang dapat
menciptakan keterlibatan penuh dalam kegiatan belajar karena suasana positif dan nyaman
dan hambatan psiokologis dapat dihindarkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan dan guru
serta pemelajar itu sendiri harus menciptakan suasana dan tempat belajar yang

13

menyenangkan untuk menciptakan emosi positif, karena emosi positif meningkatkan
kekuatan otak, keyakinan diri, dan keberhasilan belajar (Rose, 1999).
Pemerolehan Alami
Banyak ahli pendidikan bahasa telah menghabiskan sebagian besar masa hidupnya
untuk meneliti bagaimana cara belajar bahasa yang efektif, sehingga dapat memfasilitasi
pemerolehan bahasa yang sukses bagi pemelajar bahasa asing. Misalnya, Pimsleur
memfokuskan penelitiannya pada pemahaman proses pemerolehan bahasa, khususnya belajar
organik anak-anak yang mampu menggunakan bahasa tanpa harus mengetahui struktur
formal bahasa yang bersangkutan. Pimsleur mempelajari proses belajar kelompok anak-anak,
orang dewasa, dan orang dewasa multi-bahasa. Dari hasil penelitiannya, ia menciptakan suatu
metode yang ia namakan “The Pimsleur Language Learning System.” Dalam sistem itu, ia
menekankan kegiatan menyimak yang banyak agar dapat membantu pemelajar menirukan
bunyi-bunyi atau ucapan yang benar dalam bahasa asing yang dipelajari. Menurut Pimsleur
belajar bahasa baru, sama dengan anak-anak belajar bahasa ibunya. Anak-anak memerlukan
waktu selama berbulan-bulan, jauh sebelum anak-anak mampu mengucapkan sepatah kata.
Anak-anak memerlukan waktu untuk mencoba memaknai bunyi yang ia dengar. Tak seorang
pun yang menyuruhnya bahwa ia harus berbicara. Anak-anak memilih untuk berbicara ketika
ia siap untuk berbicara. Oleh karena itu, menurut Pimsleur, untuk mampu menguasai bahasa
baru, pemelajar perlu pajanan (exposure). Nation dan Macalister (2010) menekankan bahwa
sebelum pemelajar dituntut untuk menyatakan dirinya dalam bahasa Inggris baik lisan
maupun tulis, pemelajar perlu dipajankan dengan bahan yang bermakna (meaningful input).
Bahan yang bermakna itu dapat diperloeh melalui menyimak dan membaca (comprehension).
Belajar bahasa yang menekankan kegiatan menyimak yang juga disebut
Comprehension Approach juga ditekankan oleh James Asher, seorang psikolog, dengan
metodenya yang terkenal “Total Physical Responses (TPR).” Berdasarkan penelitiannya, dia
mengatakan bahwa cara tercepat untuk memperoleh pemahaman dalam bahasa asing apa pun
yang dipelajari adalah ‘mengikuti perintah yang diucapkan oleh instruktur (tanpa terjemahan
dalam bahasa pemelajar). Pemelajar imersi berusaha menciptakan suasana, sehingga ia dapat
memperoleh pajanan alami. Pajanan alami atau otentik dapat diperoleh dengan
mendengarkan radio, menonton TV, atau menoton film.

Belajar Intensif

Mencapai keberhasilan belajar tidak bisa dilakukan secara instan kecuali mukjizat.
Keberhasilan belajar dalam bahasa Inggris sebagai bahasa asing memerlukan proses, waktu,
dan harus dilakukan secara terus menerus. Pemelajar imersi melakukan kegiatan belajar
secara intensif. Sebagai ilustrasi, mari kita tinjau program pembibitan para dosen Indonesia
yang akan dikirim untuk studi di luar negeri. Pada tahun 1989, Kementerian Agama R.I.
hendak mengirim dosen muda Institut Agama Islam Negeri (IAIN) belajar ke luar negeri.
Mereka berpendidikan S-1. Artinya, mereka telah belajar bahasa Inggris di tingkat SMP dan
SMA ditambah dengan belajar bahasa Inggris sebagai mata kuliah umum di perguruan
tinggi. Untuk memenuhi kualifikasi bahasa Inggris yang memungkinkan mereka dapat
mengikuti kuliah di luar negeri dengan TOEFL minimal 550, mereka diberikan program
Kursus Bahasa Inggris selama 1440 jam (8 jam sehari selama 6 bulan); namun tidak
semuanya dapat memenuhi kualifikasi yang disyaratkan, sehingga tidak bisa diberangkatkan
belajar ke luar negeri8. Kedua, calon mahasiswa program pascasarjana yang akan dikirim ke
Jerman dengan beasiswa DAAD (Deutscher Akademischer Austausch Dienst) mengalami hal
yang sama. Sebelum mereka belajar di Jerman, mereka harus menjalani kegiatan belajar
intensif selama 6 bulan di Indonesia. Lalu, setelah tiba di Jerman, mereka masih harus
mengikuti program belajar selama minimal 6 bulan9. Ini berarti bahwa belajar bahasa tidak
cukup dengan hanya kemauan, tetapi juga harus dijalani dengan sungguh-sungguh. Krashen
(1982), pendidik bahasa, menyarankan bahwa syarat utama untuk berhasil mempelajari
bahasa asing adalah di samping kemampuan keras, juga ketekunan (motivation &
perseverance). Inilah yang dimaksud dalam falsafah Bugis “Resopa na tinulu na
temangingngi malomo naletei pammase Dewata” (Hanya melalui kerja keras dan
ketekunanlah rahmat Tuhan akan diperoleh) atau dengan kata lain ‘sarana untuk mencapai
keberhasilan adalah kerja keras dan ketekunan’ (Said, 2007); man jadda wajada (siapa rajin
dan sungguh-sungguh, dialah yang pantas meraih keberhasilan).
SIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian di atas, jelas tergambar bahwa pembelajaran dan pemelajaran bahasa
Inggris yang kedudukannya sebagai bahasa asing di Indonesia memiliki banyak tantangan
dan permasalahan. Cara ampuh yang dapat ditempuh untuk mengatasi berbagai masalah
tersebut adalah melalui pembelajaran dan pemelajaran imersif. Program imersi telah terbukti
afektif untuk mendorong capaian belajar bahasa Inggris yang gemilang. Pembelajaran imersif
8 Hasil wawancara dengan Andi Faisal Bakti, guru besar dalam Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, sekaligus
sebagai peserta dalam program tersebut.
9 Hasil wawancara dengan Farid Thalib, peserta pada program tersebut.

15

dapat dilakukan melalui pendekatan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dilengkapi guru
yang berkompetensi tinggi, baik dalam kemampuan bahasa Inggris, konten, maupun
pedagogis. Pemelajaran imersif dapat dilakukan secara mandiri oleh pemelajar itu sendiri.
Pemelajaran imersif dapat berhasil bila beberapa kondisi terpenuhi (1) melibatkan diri secara
penuh dalam proses pemelajaran, yaitu pemelajar sendiri yang harus proaktif, mengambil
inisiatif dan bertanggungjawab atas kegiatan belajar; (2) menentapkan visi akan hasil
belajarnya, yaitu pemelajar itu sendiri memiliki rencana capaian yang jelas, yang
mendorongnya untuk membangkitkan kapasitasnya baik kapasitas sadar maupun kapasitas
bawah sadar. (3) berpikir dalam bahasa Inggris, yaitu melibatkan pikiran pemelajar secara
penuh dalam bahasa Inggris; (4) belajar bahasa berbasiskan konten, mempelajari materi apa
pun dalam bahasa Inggris; (5) mampu menciptakan suasana belajar positif, menyenangkan,
dan penuh kegembiraan, yaitu suasana belajar yang bebas dari perasaan tertekan dan
memiliki fasilitas belajar yang kondusif (6) rajin mencari sumber otentik, yaitu input bahasa
yang bermakna (meaningful input) baik dalam bentuk lisan maupun tulis; dan (7) siap
meluangkan waktunya untuk belajar secara intensif sampai benar-benar hasil yang
diinginkannya dapat tercapai.
Pada akhirnya, untuk meningkatkan jumlah anak bangsa yang mahir berbahasa
Inggris dan memiliki daya saing tinggi, negara perlu meningkatkan kualitas SBI, yang
mengacu pada program imersi dan mendorong program inovatif lainnya yang bertujuan
mengembangkan kemahiran berbahasa Inggris tingkat tinggi. Salah satu caranya adalah
meningkatkan kualitas bahasa Inggris para guru agar dapat menjalankan program imersi
dengan baik. Selain itu, negara perlu menambah jumlah sekolah yang mengacu pada program
imersi. Manajemen SBI perlu terus dimantapkan dengan mengacu pada sekolah yang telah
berhasil menjalankan sistem tersebut, mulai dari kurikulum sampai pada strategi
pengembangan gurunya. Untuk mengembangkan program imersi dengan baik, dibutuhkan
banyak guru bermutu tinggi, yang memiliki keterampilan bahasa tingkat tinggi dan memiliki
pengetahuan tentang cara mengajarkan bahasa, budaya, dan konten akademis dalam bahasa
Inggris.
Jika momentum nasional di arahkan pada pengembangan ‘generasi emas’10 menuju
masyarakat bahasa berkompetensi tinggi, tidak diragukan lagi, pembelajaran imersi akan
memperkuat dan meningkatkan jumlah generasi muda Indonesia dengan kemampuan bahasa
Inggris berkualitas tinggi. ‘belajar imersif’ akan mampu memperkaya pengembangan bahasa
Inggris mereka dan menyiapkannya dengan kesadaran global yang tinggi serta keyakinan
10 Istilah ‘Generasi Emas’ dikutip dari tema Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2012, “Bangkitnya Generasi Emas.”

kemampuan berbahasa, yang sekaligus akan bermanfaat dalam banyak aspek kehidupan, baik
nasional maupun internasional.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, H., & Rhodes, N. (1983). Immersion and other innovations in U.S. elementary
schools. In: "Studies in Language Learning, 4" (ERIC Document Reproduction Service
No. ED 278 237).
Anderson, N.J. (2005). L2 learning strategies. In Hinkel, E. (ed.) Handbook of Research in
Second Language Teaching and Learning. Mahwah: Lawrence Erlbaum.
Baker, C. (1993). Foundations of Bilingual Education and Bilingualism. Clevedon:
Multilingual Matters.
Bialystok, E. (1981). The role of conscious strategies in second language proficiency. The
Modern Language Journal, 65(1), 24-35. Retrieved June 2, 2006, from digital archive
of scholarly journal, JSTOR.
Brinton, D. M., Snow, M. A., & Wesche, M. B. (1989). Content-Based Second Language
Instruction. New York: Newbury House.
Brown, H.D. (2000). Principles of Language Learning and Teaching. (4th ed.). New York:
Longman.
Chamot, A.U. (2004). Issues in language learning strategy research and teaching. Electronic
Journal of Foreign Language Teaching, 1(1), 14-26.
Chamot, A.U., Barnhart, S., El-Dinary, P.B., & Robbin, J. (1999). The Learning Strategies
Handbook. New York: Addison Wesley Longman.
Chen, Ya-Ling (2006). The Influence of Partial English Immersion Programs in Taiwan on
Kindergartners' Perceptions of Chinese and English Languages and Cultures. The Asian
EFL Journal Vol 8(1)
Cohen, A. (1994). Verbal Reports on Learning Strategies. TESOL Quarterly, 28(4), 678-682.
Covey, Stephen R. (1989). The Seven Habits of Highly Effective People. New York: Fereside.
Curtain, H., & Dahlberg, C. A. (2004). Languages and children: Making the Match (3rd ed.).
Boston: Allyn & Bacon.
DePorter, B. & Hernacki, M. (1992). Quantum Learning. Unleasing the Genius in You. New
York: Dell Publishing.
Ehrman, M. and Oxford, R. (1988). Effects of Sex Differences, Career Choice, and
Psychological Type on Adult Language Learning Strategies. The Modern Language

17

Journal, 72(3), 253-265. Retrieved March 17, 2006, from digital archive of scholarly
journal, JSTOR.
Ehrman, M. & Oxford, R. (1995). Cognition plus: Correlates of language learning success.
Modern Language Journal, 79:1, 67-89.
Exley, B. (2005). Learner Characteristics of ‘Asian’ EFL Students: Exceptions to the ‘Norm’.
Dalam Young, Janelle, Peny. Proceedings Pleasure Passion Provocation. Joint National
Conference AATE & ALEA 2005, hlm. 1-16, Gold Coast, Australia.
Fortune, T. W., & Tedick, D. J. (2003). What parents want to know about foreign language
immersion programs. ERIC Digest. Washington DC: ERIC Clearinghouse on
Languages and Linguistics (ERIC Document Reproduction Service No. ED482493).
Retrieved
December
18,
2006,
from
http://www.cal.org/resources/digest/0304fortune.html
Harmer, J. (2002). The Practice of English language Teaching. (3rd ed.). Malaysia:
Cambridge.
Hill, D. J. (1988). Humor in the Classroom: A Handbook for Teachers (and other
entertainers!). Springfield, Ill., U.S.A.: C.C. Thomas.
Larson-Freeman, D. (2000). Techniques and Principles in Language Teaching. New York:
Oxford University Press.
Leaver, B.L., Ehrman, M., & Shekhtman, B. (2005). Achieving Success in Second Language
Acquisition. Cambridge: Cambridge University press.
MacGregor, S. Piece of Mind: Mengaktifkan Kekuatan Pikiran Bawah Sadar untuk
Mencapai Tujuan. Terjemahan oleh Yudi Sujana. (2003). Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Meir, D. (2000). The Accelerated Learning Handbook. New York: McGrow-Hill.
Naiman, N., Frohlich, M., Stern, H.H., & Todesco, A. (1996). The Good Language Learner.
Toronto: Multilingual Matters Ltd.
Nation, I.S.P. dan Macalister, J. (2010). Language Curriculum Design. New York: Routlege.
Nurkamto, J. (2000). Problema Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia.www.eli.org/Pages/Current_Issues.aspx? docname =/published
O’Malley, J.M. & Chamot, A.U. (1990). Learning Strategies in Second Language
acquisition. Cambridge: Cambridge University Press.
Oxford, R. and Nyikos, M. (1989). Variables Affecting Choice of Language Learning
Strategies by University Students. The Modern Language Journal, 73(3), 291-300.
Retrieved March 17, 2006, from JSTOR.
Oxford, R.L. (1990). Language Learning Strategies: What Every Teacher Should Know.
Boston: Heinle & Heinle Publishers.

Oxford, R.L. (2003). Language Learning Styles and Strategies: an overview. Retrieved May
15, 2006 from web.ntpu.edu.tw/~language/workshop/read2.pdf
Porte, G. (1988). Poor Language Learners and their Strategies for dealing with new
vocabulary. ELT Journal 42(3), 167-171.
Rinvolucri and Baker. (2003). Unlocking Self-expression Through NLP: Integrating Skills
Activities. Delta Publishing
Rose, C. (1999). Master it Faster. Aylesburry, Bucks: Accelerated Learning Systems Ltd.
Said, M. (1984). Pronunciation Errors Made by the Students of SMA Negeri 1 Ujung
Pandang. Skripsi, Tidak diterbitkan.
Said, M. (2007). Konsep Jati Diri Manusia Bugis: Sebuah Telaah Falsafi tentang Kearifan
Bugis. Ciputat: Churia Press.
Said, M. (2011). Negative Transfer of Indonesian Collocations into English and Implications
for Teaching English as a Foreign Language. Lingua, Vol. 6, No. 2 Agustus 2011. hlm.
164-173.
Stevick, E.W. (1989).Success with foreign Languages: Seven who achieved it and what
worked for them. New York: Prentice Hall.
Takeuchi, O. (2003). What Can We Learn from Good Foreign Language Learners? A
qualitative Study in the Japanese Foreign Language Context. System, 31(3), 385-392.
Retrieved March 17, 2006 from Science Direct database.
Vann, R. J., & R. Abraham. (1990). Strategies of Unsuccessful Language Learners, TESOL
Quarterly, 24(2), 177-98.
Wenden, A. & Rubin, J. (1987). Learner Strategies in Language Learning. New Jersey:
Prentice-Hall International.
Wharton, G. (2000). Language learning strategy use of bilingual foreign language learners in
Singapore. Language Learning, 50(2), 203-244. Retrieved June 2, 2006 from
http://www.blackwell-synergy.com/toc/lang/50/2
http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/26/07284318/Evaluasi.Bahasa.Pengantar.RSBI,
Retrieved Juni, 15 2012.

19

Dokumen yang terkait

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CIRCUIT LEARNING BERBANTU MEDIA GAMBAR DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR GEOGRAFI PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 12 BANDA ACEH

3 43 1

IMPLEMENTASI MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE STAD (STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA POKOK BAHASAN MENGENAL UNSUR BANGUN DATAR KELAS II SDN LANGKAP 01 BANGSALSARI

1 60 18

TEACHING WRITING NARRATIVE TEXT THROUGH LEARNING COMMUNITY AT THE SECOND GRADE OF SMAN 8 BANDAR LAMPUNG

0 16 215

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA ANTARA PEMBELAJARAN YANG MENGGUNAKAN LEARNING CYCLE 5E DENGAN PROBLEM BASED LEARNING

0 21 58

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

11 75 34

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

THE DEVELOPMENT OF THE INTERACTIVIE LEARNING MEDIA OF UNIFROMLY ACCELERATED MOTION (GLBB) IN CLASS X BASED-GENERIC SCIENCE SKILLS USING FLASH ANIMATION OF SENIOR HIGH SCHOOL IN WEST LAMPUNG REGENCY PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN INTERAKTIF MATERI GERAK L

0 35 131

EFEKTIVITAS MODEL LEARNING CYCLE 6E PADA MATERI KOLOID DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN

2 37 45

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL) UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SD NEGERI 2 BANJARREJO BATANGHARI LAMPUNG TIMUR TAHUN PELAJARAN 2014/2015

0 24 52

PENGARUH MODELPROJECT BASED LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS KELAS VII DI SMP NEGERI 7BLAMBANGAN UMPU WAY KANAN TAHUN AJARAN 2014 / 2015

1 16 68