KHULU DAN NUSYUZ DALAM PERNIKAHAN (1)
KHULU’ DAN NUSYUZ
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Fiqh Munakahat
Dosen Pengampu : Mushofikin
Disusun Oleh :
Nanik Wijayanti
Nurul Rizqina Risnani Charisa
Agung Pratomo
(1702056021)
(1702056022)
(1702056027)
PIH A2
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu ibadah yang pasti dilakukan oleh setiap orang
Islam. Tujuan seseorang melakukan perkawinan selain sebagai ibadah juga agar
dapat membangun keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah serta agar
mendapatkan keturunan. Pada umumnya setiap orang yang melakukan perkawinan
pasti mengharapkan terciptanya sebuah keluarga yang harmonis dan penuh dengan
kebahagiaan. Namun dalam membangun sebuah rumah tangga itu pasti tidak akan
berjalan mulus sesuai dengan apa yang dicita-citakan semula. Masalah-masalah
sering kali datang dan membuat sebuah perkawinan itu goyah bahkan hancur. Faktor
penyebabnya bisa saja datang dari pihak istri atau pihak suami atau bahkan dari
keduanya. Semua itu semestinya dapat diselesaikan dengan jalan damai atau
bermusyawarah antara suami dan istri. Akan tetapi pada kenyataannya banyak
masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan keduanya. Bahkan
masalah sepele pun dapat membuat hubungan suami istri itu menjadi berantakan dan
berkahir dengan perceraian. Oleh karena itu dalam perkawinan dapat memunculkan
hal-hal yang biasa kita kenal denga kedurhakaan (Nusyuz). Akan tetapi, Masalah
yang ditimbulkan oleh suami terkadang membuat istri muak dan ingin menggugat
cerai suaminya dengan jalan khulu’.
Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan membahas mengenai Khulu’ dan
Nusyuz yang terjadi dalam pernikahan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Khulu’ dalam pernikahan?
2. Bagaimana proses terjadinya Khulu’?
3. Bagaimana hukum Khulu’ dalam pernikahan?
4. Berapakah ‘iwad Khulu’?
5. Apa pengertian Nusyuz ?
6. Apa saja macam-macam Nusyuz?
7. Bagimana akibat dari Nusyuz?
2 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
BAB II
PEMBAHASAN
A. KHULU’
1. Pengertian
Khulu’ adalah perceraian yang terjadi berdasarkan persetujuan suami istri
yang berbentuk jatuhnya satu kali talak dari suami kepada si istri dengan adanya
penebusan dengan harta atau uang oleh si istri yang menginginkan khulu’ itu.1
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, khulu’ menurut bahasa berarti si istri
meninggalkan harta. Kata khulu’ ini diambil dari lafal khala’a ats-tsauba
(melepaskan pakaian), karena wanita adalah pakaian laki-laki dan sebaliknya
secara maknawi. Syarat yang menjadi ‘illah untuk pembolehan khuluk ialah
suami istri itu tidak dapat lagi menjalankan peraturan-peraturan Tuhan, kalau
mereka teruskan hubungan perkawinannya. Dalam surat Al Baqarah ayat 187 :
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian mereka”
Menurut fuqaha khulu’ secara umumyakni perceraian yang disertai dengan
sejumlah harta sebagai’iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk
menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan.
Abu Bakar bin Duraid menyebutkan didalam Amali-nya bahwa khulu’
yang pertama kali terjadi didunia ialah bahwa Amir bin Azh-Zahrib
mengawinkan anak perempuannya dengan anak laki-laki saudaranya, Amir bin
Al Harits bin Azh Zahrib. Tetapi, ketika si perempuan itu dipertemukan dengan
si laki-laki, dia lari dari laki-laki (suaminya) itu, lalu si suami mengadu kepada
ayah si perempuan. Kemudian ayah perempuan itu berkata, “Aku tidak bisa
menghimpun padamu keterpisahan istrimu dan hartamu, dan aku melepaskannya
darimu dengan (mengambilkan) sesuatu yang telah engkau berikan padanya.”
Ibnu Duraid berkata, “Maka para ulama beranggapan bahwa inilah khulu’ yang
terjadi dikalangan bangsa Arab”.2
2. Proses terjadinya Khulu’
Pada prinsipnya khulu’ itu terjadi dengan kerelaan antara suami dan istri.
Jika suami tidak mau menerima tebusan karena ia masih cinta kepada istrinya,
maka si istri dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan. Jika seorang wanita
ingin mengakhiri kehidupan bersuami istri maka haruslah mendapat perkenaan
1 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1974), hlm. 127
2 Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 375
3 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
dari kepala keluarga. Apabila kepala keluarga (suami) tidak berkenaan, sedang ia
sudah tidak suka untuk hidup bersamanya lagi, maka ia dapat mencari
perlindungan kepada pengadilan. Dan pengadilan harus mandapatkan data yang
akurat bahwa kebencian si istri dan keinginannya untuk bercerai bukan muncul
secara mendadak, melainkan merupakan keinginan yang betul betul tumbuh dari
lubuk hati yang dalam. Oleh karena itu, pengadilan perlu memangil kedua belah
pihak untuk berdamai dengan mendatangkan seorang hakam (juru damai) dari
pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri. Apabila kedua hakam tidak
mendapatkan taufik untuk mewujudkan perdamaian, maka hal itu menujukan
bahwa kebencian si istri sudah sangat berat, dan ia akan menderita jika
hubungan kehidupan suami-istrinya diteruskan. Pada saat itu barulah hakim
memutuskan untuk khulu’.
Khulu’ itu mempunyai bentuk hakiki yang bukan karena tindakan suami
yang sengaja melaratkan istri, melainkan semata-mata istri sudah tidak senang
dan ingin berpisah dan bentuk lahiriah dimana suami sengaja memelaratkan istri,
tetapi si istri tidak mampu memastikan dharar yang memperbolehkan talak, lalu
dia meminta khulu’ dan menebus dirinya dengan mengambilkan apa yang telah
diberikan suami untuk membebaskan dirinya dari dharar (kemelaratan). Dalam
kondisi seperti ini, si suami berdosa karena mengambil tanpa hak.3
3. Hukum Khulu’
Para ulama Fiqh mengatakan bahwa khulu’ itu mempunyai dua hukum,
tergantung kondisi dan situasinya. Dua hukum tersebut adalah mubah dan
haram.
1. Mubah
Hukumnya menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah.4 Istri bolehboleh saja mengajukan khulu’ manakala ia merasa tidak nyaman apabila
tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat sifat buruk suaminya, atau
dikhawatirkan tidak memberikan hak hak nya kembali atau karena ia takut
ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya
ketentuan-ketentuan Allah. Dasar dari kebolehannya terdapat dalam Al
Quran dan Hadis Nabi yang artinya:
3 Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 378-379
4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan UU
Perkawinan, (Jakarta; Kencana, 2006), hlm. 232
4 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”.
2. Haram
Khulu’ bisa haram hukumnya bila dilakukan dalam kondisi berikut ini:
a. Apabila si istri meminta khulu’ kepada suaminya tanpa ada alasan dan
sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak
ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh istri untuk mengajukan
khulu’.
Hal ini didasarkan pada firman Allah berikut ini:
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa
keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya” (QS Al Baqarah: 229).
b. Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak hak si
istri mengajukan khulu’, maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila
khulu’ terjadi si suami tidak berhak mendapat dan mengambil iwadah,
uang gantinya karena maksudnya saja sudah salah dan berdoa. Allah
berfirman :
“Hai orang-orang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai wanita
dengan jalan paksa. Janganlah kalian menghalangi mereka kawin dan
jangnlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, melakukan
pekerjaan kerji yang nyata.” (QS An Nisa’: 19).
Namun, apabila si suami berbuat seperti diatas lantaran si sitri berbuat
zina, maka apa yang dilakukan si suami boleh-boleh saja dan ia berhak
mengambil ‘iwadh tersebut.
4. Iwadh (Tebusan)
Uang tebusan atau iwadh merupakan cirri khas dari perbuatan hukum
khulu’. Selama iwadh belum diberikan oleh pihak istri kepada suami, maka
selama itu pula percerainnya belum terjadi. Setelah iwadh diserahkan oleh pihak
istri kepada suami maka barulah terjadi perceraian. Mengenai hal ini Imam
Malik, Syafi’I dan golongan fuqaha berpendapat bahwa seorang istri boleh
5 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
melakukan khulu’ dengan memberikan hartanya yang lebih dari mahar yang
pernah diterimanya saat pelaksanaan akad nikah dari suaminya. Yang boleh
dijadikan tebusan adalah berupa benda yang tidak najis zatnya, manfaat, halal,
bernilai atau jasa yang dibenarkan oleh agama.5 Tidak ada batasan dalam
tebusan, baik lebih banyak daripada mahar yang diberikan suami kepada istri
atau lebih sedikit. Karena Allah berfirman :
“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayarn yang diberikan oleh istri
untuk menebus dirinya”. (QS. Al Baqarah: 229).6
B. NUSYUZ
1. Pengertian
Kata nusyuz dalam bahasa arab merupakan bentuk mashdar (akar kata)
yang berarti duduk kemudian berdiri, berdiri dari, menonjol, menentang atau
durhaka.7 Dalam kontek pernikahan, makna nusyuz yang tepat untuk digunakan
adalah menentang atau durhaka. Sebab makna inilah yang paling mendekati
dengan persoalan rumah tangga. Menurut Al-Qurtubi nusyuz adalah mengetahui
dan menyakini bahwa istri itu melanggar apa yang sudah menjadi ketentuan
Allah dari pada taat kepada suami. Sedangkan menurut istilah, dalam kitab albajuri dikatakan bahwa nusyuz adalah keluara dari ketaatan (secara umum) dari
istri atau suami atau keduanya.
Dari beberapa definisi diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan nusyuz adalah pelanggaran komitmen bersama terhadap apa
yang menjadi kewajiban dalam rumah tangga. Adanya tindakan nusyuz ini
adalah merupakan pintu pertama dalam kehancuran rumah tangga. Untuk itu
demi kelanggengan rumah tangga sebagaimana yang menjadi tujuan setiap
pernikahan, maka suami maupun istri mempunyai hak yang sama untuk
menegur masing-masing pihak yang ada tanda-tanda melakukan nusyuz.
2. Macam-macam nusyuz
1. Nusyuz perempuan atau istri
Dilihat dari sifat istri pada suaminya dapat dipilah menjadi dua, pertama
istri yang solihah yaitu istri yang tunduk dan taat kepada perintah Allah dan
5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan UU
Perkawinan, (Jakarta; Kencana, 2006), hlm. 491
6 Tahqiq & Takhrij Rif’at Fauzi dan Abdul Muththalib, Al Umm, Terj. Misbah, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2015), hlm. 372
7 Ahmad Warsan Munawir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1994), Hlm. 15-17
6 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
perintah suami dan lain-lain. Kedua istri yang berusaha keluar dari
kewajibannya sebagai istri, meninggalkan suaminya sebagai pucuk pimpinan
rumah tangga dan menghendaki agar kehidupan rumah tangga menjadi
berantakan. Istri yang demikian itu disebut istri yang nusyuz. 8
Dalil al-quran mengenai nusyuz perempuan ada dalam surat An-Nisa’
ayat 34 yang artinya:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah
mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukulah mereka,
kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah maha tinggi lagi maha besar”.
a. Tanda-tanda nusyuz perempuan (istri) itu antara lain:
Para imam mazhab yang empat juga mengumumkan beberapa
tanda nusyuz istri lainya :
1. Nusyuz dengan ucapan adalah
- Tidak cepat menjawab suaminya berdasarkan bukan kebiasaan
- Tidak nyata atau tidak jelas penghormatan kepada suaminy
- Tidak mendatangi kecuali dengan bosan, jamu atau dengan muka
yang cemberut.
2. Nusyuz dengan perbuatan
- Apabila biasanya kalau diajak tidur maka ia menyambut dengan
senyum dan wajah berseri tetapi kemudian ia berubah menjadi
-
enggan dan menolak dengan wajah yang tidak menyenangkan.
Kemudian yang biasanya sang suami pulang kerja disambut
dengan hangat dan menyiapkan segala keperluannya, kemudian ia
berubah dengan sikap tidak perduli lagi.
b. Cara penyelesaian.
Jika istri melakukan nusyuz ada beberapa cara yang bisa
ditempuh suami untuk meredakan nusyuz sang istri, diantaranya:
1. Menasehati dengan tegas agar ia dapat kembali menjalankan
kwajibannya dengan baik sebagai istri. Disini suami dituntut
bijaksana dalam perkataan dan perbuatan, tegas buakn berarti kasar.
2. Berpisah tempat tidur. Cara ini baru dilakukan jika cara yang pertama
tidak mempan.
3. Jika cara pertama dan kedua tidak bisa membuat istri berubah
menjadi taat kepada komitmen bersama dalam membangun rumah
tangga, maka jalan terakhirnya adalah dengan memukulnya. Akan
8 Supriyatna dkk, Fiqh Munakahat II, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN, 2008), Hlm.5
7 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
tetapi pemukulan disini tidak bisa diartikan sebagai memukul dengan
tangan atau dengan alat secara kasar, apalagi melukai.9
2. Nusyuz laki-laki atau suami.
Suami nusyuz mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah
karena meninggalkan kewajibanya kepada istri, hal ini terjadi bila ia tidak
melaksanakan kewajiban kepada istrinya baik meninggalkan kewajiban yang
bersifat materi maupun non materi.10
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran suart An-Nisa’ ayat 128 yang berarti :
“Dan jika wanita khawatir tentang nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya dan perdamian itu lebih baik bagi mereka walaupun
manusia itu menurut thabiatnya adalah kikir. Dan jika kamu bergaul dengan
istrimu dengan baik, dan mereka memlihara dirimu (dari nusyuz dan sikap
acuh) maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
a. Tanda tanda Nusyuz Suami
Nusyuz suami pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi
kewajibannya, antara lain:
1. Memberikan mahar sesuai dengan permintaan istri
2. Memberikan nafkah lahir sesuai dengan pendapatan suami
3. Menyiapkan peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur,
perlengkapan kamar utama seperti alat rias dan perlengkapan mandi
sesuai keadaan dirumah istri.
4. Menyiapkan pembantu bagi istri yang rumahnya memiliki pembantu
5. Menyiapkan bahan makanan minuman setiap hari untuk istri dan
anak-anak dan pembantu kalau ada
6. Memasak, mencuci, menyetrika dan pekerjaan rumah
7. Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga
8. Membayar upah kepada istri jika istri meminta bayaran atas semua
pekerjaannya
9. Bebruat adil, apabila memiliki istri lebih dari satu
10. Berbuat adil diantara anak-anaknya
b. Cara penyelesaian
Dalam nusyuz suami ini yang ditekankan cara penyelesainnya
adalah dengan cara sebagai berikut:
1. Dengan melakukan Ishlah (perdamaian)
9 Ali Yusuf As Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 312
10 Supriyatna dkk, Fiqh Munakahat II, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN, 2008), Hlm. 9
8 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
2. Jika cara tersebut tidak berhasil maka suami dan istri harus menunjuk
hakam dari kedua belah pihak. Hakam ini juga bisa datang dari pihak
keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama, atau bisa juga
melalui KUA.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Quran surat An Nisa’
ayat 35 yang artinya
“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka
angkatlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah member taufiq
kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal”.
3. Apabila kedua cara itu masih belum berhasil maka hakim boleh
menjatuhkan Ta’zir. Adapun bentuk ta’zir nya antara lain pemukulan
yang tidak melukai, tempelengan yaitu pemukulan dengan
keseluruhan telapak tangan, penahanan (penjara), mencela dengan
perkataan, mengasingkan dari daerah asal sapai pada jarak tempuh
yang boleh melakukan qasar, dan memecat dari kedudukannya.
Bentuk dan jenis ta’zir ini diserahkan kepada pemerintah atau pejabat
yang berwenang.
4. Apabila dengan jalan ta’zir ini suami masih melakukan nusyuz, maka
istri bisa menempuh jalur hukum juga berupa fasakh. Hal ini bisa
dilakukan apabila suami tidak memberikan nafkah selama 6 bulan.
3. Akibat Nusyuz
Sebagai akibat hukum dari perbuatan nusyuz ini menurut jumhur ulama,
mereka sepakat bahwa istri yang tidak taat kepada suaminya tanpa adanya suatu
alasan yang dibenarkan menurut syar’i atau secara ‘aqli maka istri itu dianggap
nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah, dan jika suami itu memiliki istri
lebih dari satu (poligami) maka terhadap istri yang nusyuz selain tidak diberikan
nafkah juga tidak wajib memberikan gilirannya tetapi masih wajib memberikan
tempat tinggal.
Sedangkan nusyuz suami, menurut Imam Malik menjelaskan bahwa jika
suami melakukan nusyuz maka istri boleh melaporkannya kepada hakim
9 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
pengadilan untuk membrikan nasehat kepada suami tersebut apabila si suami
belum bisa diajak damai dengan cara musyawarah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Khulu’ adalah perceraian yang terjadi berdasarkan persetujuan suami istri yang
berbentuk jatuhnya satu kali talak dari suami kepada si istri dengan adanya
penebusan dengan harta atau uang oleh si istri yang menginginkan khulu’ itu. Khulu’
terjadi jika adanya kerelaan antara suami dan istri untuk melakukan perceraian
dengan pihak istri memberikan tebusan kepada pihak suami. Hukum khulu’ adalah
Mubah dan Haram sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi. Uang tebusan
yang diberikan pihak istri kepada pihak suami adalah sebesar dengan mahar yang
diberikan pihak suami kepada istri saat akad nikah.
Nusyuz adalah pelanggaran komitmen bersama terhadap apa yang menjadi
kewajiban dalam rumah tangga. Nusyuz terbagi menjadi dua yaitu nusyuz laki-laki
dan nusyuz perempuan. Akibat dari adanya nusyuz ini salah satu nya pihak istri
tidak berhak mendapat nafkah. Sedangkan nusyuz suami, istri boleh melaporkannya
kepada pihak pengadilan.
B. Kritik dan Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan mengenai Khulu’ dan Nusyuz.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kesalahan. Oleh karea itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
guna memperbaiki makalah kami selanjutnya. Dan semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembaca.
10 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
DAFTAR PUSTAKA
Thalib, Sajuti. 1974. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Penerbit
UI.
Syuqqah, Abdul Halim Abu. 1999. Kebebasan Wanita. Jakarta: Gema Insani.
Munawir, Ahmad Warsan. 1994. Al-Munawir Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Progresif.
Supriyatna dkk. 2008. Fiqh Munakahat II. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN.
Subki, Ali Yusuf As. 2010. Fiqh Keluarga. Jakarta: Amzah.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh
Munakahat dan UU Perkawinan. Jakarta; Kencana.
Tahqiq & Takhrij Rif’at Fauzi dan Abdul Muththalib. 2015. Al Umm, Terj.
Misbah. Jakarta: Pustaka Azzam.
11 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Fiqh Munakahat
Dosen Pengampu : Mushofikin
Disusun Oleh :
Nanik Wijayanti
Nurul Rizqina Risnani Charisa
Agung Pratomo
(1702056021)
(1702056022)
(1702056027)
PIH A2
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu ibadah yang pasti dilakukan oleh setiap orang
Islam. Tujuan seseorang melakukan perkawinan selain sebagai ibadah juga agar
dapat membangun keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah serta agar
mendapatkan keturunan. Pada umumnya setiap orang yang melakukan perkawinan
pasti mengharapkan terciptanya sebuah keluarga yang harmonis dan penuh dengan
kebahagiaan. Namun dalam membangun sebuah rumah tangga itu pasti tidak akan
berjalan mulus sesuai dengan apa yang dicita-citakan semula. Masalah-masalah
sering kali datang dan membuat sebuah perkawinan itu goyah bahkan hancur. Faktor
penyebabnya bisa saja datang dari pihak istri atau pihak suami atau bahkan dari
keduanya. Semua itu semestinya dapat diselesaikan dengan jalan damai atau
bermusyawarah antara suami dan istri. Akan tetapi pada kenyataannya banyak
masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan keduanya. Bahkan
masalah sepele pun dapat membuat hubungan suami istri itu menjadi berantakan dan
berkahir dengan perceraian. Oleh karena itu dalam perkawinan dapat memunculkan
hal-hal yang biasa kita kenal denga kedurhakaan (Nusyuz). Akan tetapi, Masalah
yang ditimbulkan oleh suami terkadang membuat istri muak dan ingin menggugat
cerai suaminya dengan jalan khulu’.
Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan membahas mengenai Khulu’ dan
Nusyuz yang terjadi dalam pernikahan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Khulu’ dalam pernikahan?
2. Bagaimana proses terjadinya Khulu’?
3. Bagaimana hukum Khulu’ dalam pernikahan?
4. Berapakah ‘iwad Khulu’?
5. Apa pengertian Nusyuz ?
6. Apa saja macam-macam Nusyuz?
7. Bagimana akibat dari Nusyuz?
2 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
BAB II
PEMBAHASAN
A. KHULU’
1. Pengertian
Khulu’ adalah perceraian yang terjadi berdasarkan persetujuan suami istri
yang berbentuk jatuhnya satu kali talak dari suami kepada si istri dengan adanya
penebusan dengan harta atau uang oleh si istri yang menginginkan khulu’ itu.1
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, khulu’ menurut bahasa berarti si istri
meninggalkan harta. Kata khulu’ ini diambil dari lafal khala’a ats-tsauba
(melepaskan pakaian), karena wanita adalah pakaian laki-laki dan sebaliknya
secara maknawi. Syarat yang menjadi ‘illah untuk pembolehan khuluk ialah
suami istri itu tidak dapat lagi menjalankan peraturan-peraturan Tuhan, kalau
mereka teruskan hubungan perkawinannya. Dalam surat Al Baqarah ayat 187 :
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian mereka”
Menurut fuqaha khulu’ secara umumyakni perceraian yang disertai dengan
sejumlah harta sebagai’iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk
menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan.
Abu Bakar bin Duraid menyebutkan didalam Amali-nya bahwa khulu’
yang pertama kali terjadi didunia ialah bahwa Amir bin Azh-Zahrib
mengawinkan anak perempuannya dengan anak laki-laki saudaranya, Amir bin
Al Harits bin Azh Zahrib. Tetapi, ketika si perempuan itu dipertemukan dengan
si laki-laki, dia lari dari laki-laki (suaminya) itu, lalu si suami mengadu kepada
ayah si perempuan. Kemudian ayah perempuan itu berkata, “Aku tidak bisa
menghimpun padamu keterpisahan istrimu dan hartamu, dan aku melepaskannya
darimu dengan (mengambilkan) sesuatu yang telah engkau berikan padanya.”
Ibnu Duraid berkata, “Maka para ulama beranggapan bahwa inilah khulu’ yang
terjadi dikalangan bangsa Arab”.2
2. Proses terjadinya Khulu’
Pada prinsipnya khulu’ itu terjadi dengan kerelaan antara suami dan istri.
Jika suami tidak mau menerima tebusan karena ia masih cinta kepada istrinya,
maka si istri dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan. Jika seorang wanita
ingin mengakhiri kehidupan bersuami istri maka haruslah mendapat perkenaan
1 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1974), hlm. 127
2 Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 375
3 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
dari kepala keluarga. Apabila kepala keluarga (suami) tidak berkenaan, sedang ia
sudah tidak suka untuk hidup bersamanya lagi, maka ia dapat mencari
perlindungan kepada pengadilan. Dan pengadilan harus mandapatkan data yang
akurat bahwa kebencian si istri dan keinginannya untuk bercerai bukan muncul
secara mendadak, melainkan merupakan keinginan yang betul betul tumbuh dari
lubuk hati yang dalam. Oleh karena itu, pengadilan perlu memangil kedua belah
pihak untuk berdamai dengan mendatangkan seorang hakam (juru damai) dari
pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri. Apabila kedua hakam tidak
mendapatkan taufik untuk mewujudkan perdamaian, maka hal itu menujukan
bahwa kebencian si istri sudah sangat berat, dan ia akan menderita jika
hubungan kehidupan suami-istrinya diteruskan. Pada saat itu barulah hakim
memutuskan untuk khulu’.
Khulu’ itu mempunyai bentuk hakiki yang bukan karena tindakan suami
yang sengaja melaratkan istri, melainkan semata-mata istri sudah tidak senang
dan ingin berpisah dan bentuk lahiriah dimana suami sengaja memelaratkan istri,
tetapi si istri tidak mampu memastikan dharar yang memperbolehkan talak, lalu
dia meminta khulu’ dan menebus dirinya dengan mengambilkan apa yang telah
diberikan suami untuk membebaskan dirinya dari dharar (kemelaratan). Dalam
kondisi seperti ini, si suami berdosa karena mengambil tanpa hak.3
3. Hukum Khulu’
Para ulama Fiqh mengatakan bahwa khulu’ itu mempunyai dua hukum,
tergantung kondisi dan situasinya. Dua hukum tersebut adalah mubah dan
haram.
1. Mubah
Hukumnya menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah.4 Istri bolehboleh saja mengajukan khulu’ manakala ia merasa tidak nyaman apabila
tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat sifat buruk suaminya, atau
dikhawatirkan tidak memberikan hak hak nya kembali atau karena ia takut
ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya
ketentuan-ketentuan Allah. Dasar dari kebolehannya terdapat dalam Al
Quran dan Hadis Nabi yang artinya:
3 Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 378-379
4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan UU
Perkawinan, (Jakarta; Kencana, 2006), hlm. 232
4 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”.
2. Haram
Khulu’ bisa haram hukumnya bila dilakukan dalam kondisi berikut ini:
a. Apabila si istri meminta khulu’ kepada suaminya tanpa ada alasan dan
sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak
ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh istri untuk mengajukan
khulu’.
Hal ini didasarkan pada firman Allah berikut ini:
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa
keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya” (QS Al Baqarah: 229).
b. Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak hak si
istri mengajukan khulu’, maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila
khulu’ terjadi si suami tidak berhak mendapat dan mengambil iwadah,
uang gantinya karena maksudnya saja sudah salah dan berdoa. Allah
berfirman :
“Hai orang-orang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai wanita
dengan jalan paksa. Janganlah kalian menghalangi mereka kawin dan
jangnlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, melakukan
pekerjaan kerji yang nyata.” (QS An Nisa’: 19).
Namun, apabila si suami berbuat seperti diatas lantaran si sitri berbuat
zina, maka apa yang dilakukan si suami boleh-boleh saja dan ia berhak
mengambil ‘iwadh tersebut.
4. Iwadh (Tebusan)
Uang tebusan atau iwadh merupakan cirri khas dari perbuatan hukum
khulu’. Selama iwadh belum diberikan oleh pihak istri kepada suami, maka
selama itu pula percerainnya belum terjadi. Setelah iwadh diserahkan oleh pihak
istri kepada suami maka barulah terjadi perceraian. Mengenai hal ini Imam
Malik, Syafi’I dan golongan fuqaha berpendapat bahwa seorang istri boleh
5 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
melakukan khulu’ dengan memberikan hartanya yang lebih dari mahar yang
pernah diterimanya saat pelaksanaan akad nikah dari suaminya. Yang boleh
dijadikan tebusan adalah berupa benda yang tidak najis zatnya, manfaat, halal,
bernilai atau jasa yang dibenarkan oleh agama.5 Tidak ada batasan dalam
tebusan, baik lebih banyak daripada mahar yang diberikan suami kepada istri
atau lebih sedikit. Karena Allah berfirman :
“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayarn yang diberikan oleh istri
untuk menebus dirinya”. (QS. Al Baqarah: 229).6
B. NUSYUZ
1. Pengertian
Kata nusyuz dalam bahasa arab merupakan bentuk mashdar (akar kata)
yang berarti duduk kemudian berdiri, berdiri dari, menonjol, menentang atau
durhaka.7 Dalam kontek pernikahan, makna nusyuz yang tepat untuk digunakan
adalah menentang atau durhaka. Sebab makna inilah yang paling mendekati
dengan persoalan rumah tangga. Menurut Al-Qurtubi nusyuz adalah mengetahui
dan menyakini bahwa istri itu melanggar apa yang sudah menjadi ketentuan
Allah dari pada taat kepada suami. Sedangkan menurut istilah, dalam kitab albajuri dikatakan bahwa nusyuz adalah keluara dari ketaatan (secara umum) dari
istri atau suami atau keduanya.
Dari beberapa definisi diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan nusyuz adalah pelanggaran komitmen bersama terhadap apa
yang menjadi kewajiban dalam rumah tangga. Adanya tindakan nusyuz ini
adalah merupakan pintu pertama dalam kehancuran rumah tangga. Untuk itu
demi kelanggengan rumah tangga sebagaimana yang menjadi tujuan setiap
pernikahan, maka suami maupun istri mempunyai hak yang sama untuk
menegur masing-masing pihak yang ada tanda-tanda melakukan nusyuz.
2. Macam-macam nusyuz
1. Nusyuz perempuan atau istri
Dilihat dari sifat istri pada suaminya dapat dipilah menjadi dua, pertama
istri yang solihah yaitu istri yang tunduk dan taat kepada perintah Allah dan
5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan UU
Perkawinan, (Jakarta; Kencana, 2006), hlm. 491
6 Tahqiq & Takhrij Rif’at Fauzi dan Abdul Muththalib, Al Umm, Terj. Misbah, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2015), hlm. 372
7 Ahmad Warsan Munawir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1994), Hlm. 15-17
6 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
perintah suami dan lain-lain. Kedua istri yang berusaha keluar dari
kewajibannya sebagai istri, meninggalkan suaminya sebagai pucuk pimpinan
rumah tangga dan menghendaki agar kehidupan rumah tangga menjadi
berantakan. Istri yang demikian itu disebut istri yang nusyuz. 8
Dalil al-quran mengenai nusyuz perempuan ada dalam surat An-Nisa’
ayat 34 yang artinya:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah
mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukulah mereka,
kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah maha tinggi lagi maha besar”.
a. Tanda-tanda nusyuz perempuan (istri) itu antara lain:
Para imam mazhab yang empat juga mengumumkan beberapa
tanda nusyuz istri lainya :
1. Nusyuz dengan ucapan adalah
- Tidak cepat menjawab suaminya berdasarkan bukan kebiasaan
- Tidak nyata atau tidak jelas penghormatan kepada suaminy
- Tidak mendatangi kecuali dengan bosan, jamu atau dengan muka
yang cemberut.
2. Nusyuz dengan perbuatan
- Apabila biasanya kalau diajak tidur maka ia menyambut dengan
senyum dan wajah berseri tetapi kemudian ia berubah menjadi
-
enggan dan menolak dengan wajah yang tidak menyenangkan.
Kemudian yang biasanya sang suami pulang kerja disambut
dengan hangat dan menyiapkan segala keperluannya, kemudian ia
berubah dengan sikap tidak perduli lagi.
b. Cara penyelesaian.
Jika istri melakukan nusyuz ada beberapa cara yang bisa
ditempuh suami untuk meredakan nusyuz sang istri, diantaranya:
1. Menasehati dengan tegas agar ia dapat kembali menjalankan
kwajibannya dengan baik sebagai istri. Disini suami dituntut
bijaksana dalam perkataan dan perbuatan, tegas buakn berarti kasar.
2. Berpisah tempat tidur. Cara ini baru dilakukan jika cara yang pertama
tidak mempan.
3. Jika cara pertama dan kedua tidak bisa membuat istri berubah
menjadi taat kepada komitmen bersama dalam membangun rumah
tangga, maka jalan terakhirnya adalah dengan memukulnya. Akan
8 Supriyatna dkk, Fiqh Munakahat II, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN, 2008), Hlm.5
7 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
tetapi pemukulan disini tidak bisa diartikan sebagai memukul dengan
tangan atau dengan alat secara kasar, apalagi melukai.9
2. Nusyuz laki-laki atau suami.
Suami nusyuz mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah
karena meninggalkan kewajibanya kepada istri, hal ini terjadi bila ia tidak
melaksanakan kewajiban kepada istrinya baik meninggalkan kewajiban yang
bersifat materi maupun non materi.10
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran suart An-Nisa’ ayat 128 yang berarti :
“Dan jika wanita khawatir tentang nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya dan perdamian itu lebih baik bagi mereka walaupun
manusia itu menurut thabiatnya adalah kikir. Dan jika kamu bergaul dengan
istrimu dengan baik, dan mereka memlihara dirimu (dari nusyuz dan sikap
acuh) maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
a. Tanda tanda Nusyuz Suami
Nusyuz suami pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi
kewajibannya, antara lain:
1. Memberikan mahar sesuai dengan permintaan istri
2. Memberikan nafkah lahir sesuai dengan pendapatan suami
3. Menyiapkan peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur,
perlengkapan kamar utama seperti alat rias dan perlengkapan mandi
sesuai keadaan dirumah istri.
4. Menyiapkan pembantu bagi istri yang rumahnya memiliki pembantu
5. Menyiapkan bahan makanan minuman setiap hari untuk istri dan
anak-anak dan pembantu kalau ada
6. Memasak, mencuci, menyetrika dan pekerjaan rumah
7. Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga
8. Membayar upah kepada istri jika istri meminta bayaran atas semua
pekerjaannya
9. Bebruat adil, apabila memiliki istri lebih dari satu
10. Berbuat adil diantara anak-anaknya
b. Cara penyelesaian
Dalam nusyuz suami ini yang ditekankan cara penyelesainnya
adalah dengan cara sebagai berikut:
1. Dengan melakukan Ishlah (perdamaian)
9 Ali Yusuf As Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 312
10 Supriyatna dkk, Fiqh Munakahat II, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN, 2008), Hlm. 9
8 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
2. Jika cara tersebut tidak berhasil maka suami dan istri harus menunjuk
hakam dari kedua belah pihak. Hakam ini juga bisa datang dari pihak
keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama, atau bisa juga
melalui KUA.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Quran surat An Nisa’
ayat 35 yang artinya
“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka
angkatlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah member taufiq
kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal”.
3. Apabila kedua cara itu masih belum berhasil maka hakim boleh
menjatuhkan Ta’zir. Adapun bentuk ta’zir nya antara lain pemukulan
yang tidak melukai, tempelengan yaitu pemukulan dengan
keseluruhan telapak tangan, penahanan (penjara), mencela dengan
perkataan, mengasingkan dari daerah asal sapai pada jarak tempuh
yang boleh melakukan qasar, dan memecat dari kedudukannya.
Bentuk dan jenis ta’zir ini diserahkan kepada pemerintah atau pejabat
yang berwenang.
4. Apabila dengan jalan ta’zir ini suami masih melakukan nusyuz, maka
istri bisa menempuh jalur hukum juga berupa fasakh. Hal ini bisa
dilakukan apabila suami tidak memberikan nafkah selama 6 bulan.
3. Akibat Nusyuz
Sebagai akibat hukum dari perbuatan nusyuz ini menurut jumhur ulama,
mereka sepakat bahwa istri yang tidak taat kepada suaminya tanpa adanya suatu
alasan yang dibenarkan menurut syar’i atau secara ‘aqli maka istri itu dianggap
nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah, dan jika suami itu memiliki istri
lebih dari satu (poligami) maka terhadap istri yang nusyuz selain tidak diberikan
nafkah juga tidak wajib memberikan gilirannya tetapi masih wajib memberikan
tempat tinggal.
Sedangkan nusyuz suami, menurut Imam Malik menjelaskan bahwa jika
suami melakukan nusyuz maka istri boleh melaporkannya kepada hakim
9 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
pengadilan untuk membrikan nasehat kepada suami tersebut apabila si suami
belum bisa diajak damai dengan cara musyawarah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Khulu’ adalah perceraian yang terjadi berdasarkan persetujuan suami istri yang
berbentuk jatuhnya satu kali talak dari suami kepada si istri dengan adanya
penebusan dengan harta atau uang oleh si istri yang menginginkan khulu’ itu. Khulu’
terjadi jika adanya kerelaan antara suami dan istri untuk melakukan perceraian
dengan pihak istri memberikan tebusan kepada pihak suami. Hukum khulu’ adalah
Mubah dan Haram sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi. Uang tebusan
yang diberikan pihak istri kepada pihak suami adalah sebesar dengan mahar yang
diberikan pihak suami kepada istri saat akad nikah.
Nusyuz adalah pelanggaran komitmen bersama terhadap apa yang menjadi
kewajiban dalam rumah tangga. Nusyuz terbagi menjadi dua yaitu nusyuz laki-laki
dan nusyuz perempuan. Akibat dari adanya nusyuz ini salah satu nya pihak istri
tidak berhak mendapat nafkah. Sedangkan nusyuz suami, istri boleh melaporkannya
kepada pihak pengadilan.
B. Kritik dan Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan mengenai Khulu’ dan Nusyuz.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kesalahan. Oleh karea itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
guna memperbaiki makalah kami selanjutnya. Dan semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembaca.
10 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz
DAFTAR PUSTAKA
Thalib, Sajuti. 1974. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Penerbit
UI.
Syuqqah, Abdul Halim Abu. 1999. Kebebasan Wanita. Jakarta: Gema Insani.
Munawir, Ahmad Warsan. 1994. Al-Munawir Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Progresif.
Supriyatna dkk. 2008. Fiqh Munakahat II. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN.
Subki, Ali Yusuf As. 2010. Fiqh Keluarga. Jakarta: Amzah.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh
Munakahat dan UU Perkawinan. Jakarta; Kencana.
Tahqiq & Takhrij Rif’at Fauzi dan Abdul Muththalib. 2015. Al Umm, Terj.
Misbah. Jakarta: Pustaka Azzam.
11 | Fiqh Munakahat, Khulu’ dan Nusyuz