Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Ene

Prosiding Seminar Inovasi Teknologi untuk
Mendukung Kemandirian Energi Nasional

Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Energi di Sektor Industri
Ari Kabul Paminto
Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi dan Industri Kimia, BPPT
Gedung 625, Klaster Energi, Kawasan Puspiptek, Kota Tangerang Selatan
Email: ari.kabul@bppt.go.id
Abstract
Industry is the sector of fossil and renewable energy users. Burning fossil
fuels and the use of natural gas and coal as feedstock will produce greenhouse gas
emissions. The total energy consumption of the industrial sector in 2014 reached
463 million BOE which generate GHG emissions as much as 167.13 million tonnes of
CO2eq. With economic growth averaging 6% per year during 2014 to 2050 requires
energy 2,749 million BOE in 2050, with a share of 45.3% coal, fuel oil (5.4%),
natural gas (27.8%), electricity (14.63%), biodiesel (2,28% ), LPG (0.18%), and the
remainder in the form of biomass. Burning fossil fuels produces emissions of CO 2,
CH4, and N2O. With the need for fossil fuels will result in GHG emissions of 167.13
million tonnes of CO2e in 2014, became 303.57 million tonnes of CO 2e in 2025, and
949.89 million tonnes of CO2e in 2050. Thus, the industrial sector is the largest
contributor to emissions defeated power generation sector.

The high GHG emissions need to be reduced because Indonesia has ratified
the Paris Agreement that set out in the Conference of Party (COP) -21 in 2015 which
Indonesia is committed to reduce GHG emissions by 26% in 2025 to 29% in 2030 to
baseline or to 41% with the help of other countries. Efforts should be made to
reduce industrial sector GHG emissions is through energy conservation, use of
renewable energy and the reduction of raw material consumption. Preparation of
regulation and supervision of its implementation, as well as the provision of various
incentives in the implementation of energy conservation, use of renewable energy
and the reduction of raw material consumption will reduce the consumption of
fossil fuels and raw materials, thereby reducing GHG emissions industrial sector.
Keywords: industry, energy, emissions
1. Pendahuluan
Kegiatan industri menghasilkan suatu
produk berbentuk fisik, seperti mobil, peralatan
pertanian, pupuk, tekstil, dan lainnya yang
digunakan untuk memenuhi
kebutuhan
manusia. Proses untuk menghasilkan produk
tersebut memerlukan bahan bakar (fosil dan
non-fosil). Pembakaran bahan bakar fosil

menyebabkan pelepasan emisi gas rumah kaca
(GRK). Penggunaan gas bumi sebagai feedstock
pada industri pupuk dan batubara sebagai
feedstock pada industri baja dan mineral juga
menghasilkan emisi GRK. Emisi GRK dari
penggunaan bahan bakar fosil sebagai energi

dikategorikan dalam kelompok emisi GRK Sektor
Energi, sedangkan penggunaan bahan bakar fosil
sebagai feedstock termasuk dalam kelompok
emisi GRK Sektor Proses Industri dan
Penggunaan Produk (IPPU).
Emisi GRK dari penggunaan energi sebagai
bahan bakar pada sektor industri mempunyai
besaran yang berbeda antara kelompok industri
tergantung atas tingkat konsumsi bahan bakar
fosil. Kelompok industri besi dan baja dan
mineral non-logam menghasilkan emisi CO2
sebesar ±44% dari sektor industri dunia[1].
Penghasil emisi lainnya adalah industri kimia,

pupuk, pulp dan kertas, logam non-ferrous

161

Prosiding Seminar Inovasi Teknologi untuk
Mendukung Kemandirian Energi Nasional

(khususnya aluminium), pengolahan makanan,
dan tekstil. Aktivitas sektor industri selain
menghasilkan emisi GRK yang berdampak global
dan menyebabkan terjadinya perubahan iklim,
juga menghasilkan emisi pollutan yang
berdampak lokal dan tidak dibahas dalam
tulisan ini.
Total konsumsi energi sektor industri
Indonesia pada tahun 2014 mencapai 463 juta
SBM[2] yang menghasilkan emisi GRK sebanyak
167,13 juta ton CO2eq[3]. Pertumbuhan
penduduk dan ekonomi Indonesia di masa
datang

akan
mendorong
meningkatnya
kebutuhan energi sekaligus meningkatnya emisi
GRK apabila upaya mitigasi GRK di sektor
industri tidak berjalan secara maksimal.
2. Metodologi
Kajian emisi GRK sektor industri dilakukan
melalui metodologi kuantitatif dan kualitatif.
Metodologi kuantitatif berdasarkan data
sekunder dalam memperkirakan proyeksi
kebutuhan energi masa depan, sekaligus emisi
GRK yang ditimbulkan akibat pemanfaatan
bahan bakar fosil. Metodologi kualitatif
dilakukan melalui studi literatur untuk melihat
permasalahan sektor industri saat ini sekaligus
merupakan bahan analisis potensi mitigasi GRK
di sektor industri.
Data Kuantatif


Data Kualitatif

Proyeksi Kebutuhan Energi

Kebijakan Sektor Industri

Faktor Emisi GRK

Konservasi Energi, Penggunaan
Energi Terbarukan, dan
Pengurangan Bahan Baku

Emisi GRK

Mitigasi Emisi GRK

Gambar 1. Analisis Kuantitatif dan Kualitatif
Emisi GRK Sektor Industri
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Kebutuhan Energi

Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama
tahun 2014 s.d. 2050 diprediksi meningkat ratarata 6% per tahun akan mendorong kebutuhan
energi sektor industri nasional meningkat 5 kali
lipat menjadi 2.749 juta SBM pada tahun 2050[3].

162

Terjadi pergeseran bauran kebutuhan energi
pada tahun 2050 akibat keekonomian bahan
bakar, ketersediaan infrastruktur bahan bakar,
dan perbedaan pertumbuhan sub-kelompok
industri.
Pangsa kebutuhan batubara masih
tertinggi meskipun terjadi penurunan dari 47,7%
pada tahun 2014 menjadi 45,3% pada tahun
2050 atau mengalami pertumbuhan rata-rata
4,9% per tahun[3]. Tingginya bauran batubara
karena batubara merupakan jenis bahan bakar
termurah dan pertumbuhan industri semen,
baja, tekstil, dan kertas lebih dominan dibanding

industri lainnya. Penurunan pangsa bahan bakar
juga terjadi untuk kebutuhan BBM dari 6,7%
menjadi 5,4% akibat BBM merupakan bahan
bakar termahal yang sebagian besar diperoleh
dari impor. Kebutuhan BBM tahun 2014
mencakup 5,6% minyak solar, 1,0% minyak
bakar, dan 0,1% minyak tanah. Pangsa
kebutuhan BBM tahun 2050 berubah menjadi
5,3% minyak solar dan 0,1% minyak tanah.
Sebaliknya,
terjadi
peningkatan
kebutuhan gas bumi yang meningkat rata-rata
5,2% per tahun dari 26,5% pada tahun 2014
menjadi 27,8% pada tahun 2050[3]. Peningkatan
bauran gas bumi karena adanya kebijakan
pemerintah untuk tidak memperpanjang
kontrak ekspor gas bumi dan gas bumi
merupakan jenis bahan bakar yang ramah
lingkungan dibanding dengan bahan bakar

batubara dan BBM.
Selain ketiga jenis bahan bakar fosil
tersebut, juga terdapat kebutuhan listrik dengan
bauran yang meningkat dari 8,73% menjadi
14,63%, kebutuhan biomasa yang menurun dari
9,77% menjadi 4,41%, kebutuhan biodiesel yang
meningkat dari 0,6% menjadi 2,28%, serta
kebutuhan LPG yang meningkat dari 0,16%
menjadi
0,18%[4].
Peningkatan
pangsa
kebutuhan listrik seiring dengan pesatnya
pertumbuhan industri dengan cara mekanis,
sedangkan peningkatan kebutuhan biodiesel
akibat meningkatnya pangsa biodiesel dalam
minyak solar sebagaimana diamanatkan dalam
mandatori Bahan Bakar Nabati yang diatur
dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12
tahun 2015.


Prosiding Seminar Inovasi Teknologi untuk
Mendukung Kemandirian Energi Nasional

Gambar 2. Proyeksi Kebutuhan Energi Sektor
Industri 2014-2050[3]
3.2. Emisi Gas Rumah Kaca
Emisi GRK sektor industri terjadi akibat
pembakaran bahan bakar fosil. Seperti diketahui
bahwa bahan bakar fosil (BBM, batubara, gas
bumi, dan LPG) mengandung karbon dan
nitrogen dan sewaktu pembakaran akan
menghasilkan emisi CO2, CH4, dan N2O. Emisi
GRK sektor industri juga terjadi akibat
penggunaan gas bumi sebagai bahan baku
industri pupuk (urea).
Menurut IPCC-2006, jumlah emisi GRK
akibat pembakaran bahan bakar fosil
merupakan perkalian antara jumlah kebutuhan
bahan bakar fosil dengan Faktor Emisi bahan

bakar. Faktor Emisi bahan bakar dapat
menggunakan Faktor Emisi Tier-1 default IPCC2006 atau menggunakan Tier-2 sesuai dengan
kondisi Indonesia[5]. Faktor Emisi CO2 Nasional
(Tier-2) untuk BBM dan batubara sudah dihitung
oleh Lemigas-KESDM berdasarkan pengujian
sampel BBM dan batubara[6][7]. Selanjutnya,
menurut IPCC-2006, emisi GRK akibat
penggunaan gas bumi sebagai bahan baku dapat

dihitung dengan mengalikan antara produksi
amonia dengan kandungan karbon dari gas bumi
dan Faktor Emisi dikali 3,667[8], dimana 1 ton
produksi amonia ekuivalen dengan 0,23 kali
konsumsi gas bumi sebagai feedstock.
Berdasarkan kebutuhan bahan bakar fosil
per jenis dan Faktor Emisi GRK per jenis bahan
bakar dan Faktor Emisi gas bumi sebagai
feedstock, maka dapat dihitung besarnya
proyeksi emisi GRK sektor industri. Total emisi
GRK sektor industri diproyeksikan meningkat

dari 167,13 juta ton CO2e pada tahun 2014,
menjadi 303,57 juta ton CO2e pada tahun 2025,
dan 949,89 juta ton CO2e di tahun 2050. Dengan
demikian,
sektor
industri
merupakan
kontributor emisi terbesar mengalahkan sektor
pembangkit listrik disebabkan karena laju
penggunaan bahan bakar fosil di sektor industri
mencapai 5,1% rata-rata per tahun. Emisi GRK
tersebut dalam CO2 ekuivalen, yang berarti emisi
CH4 dan N2O sudah diekuivalenkan menjadi CO2
dengan mengalikan dengan Global Warming
Potensial (GWP). Faktor GWP masing-masing
sebesar 23 untuk CH4 dan 296 untuk N2O. Dari
Gambar 3 nampak bahwa pada tahun 2050
sekitar tiga per empat emisi GRK yang terjadi di
sektor industri disebabkan oleh penggunaan
bahan bakar batubara, disusul gas bumi (18%),
dan sisanya terjadi akibat konsumsi BBM dan
LPG. Sumbangsih pangsa emisi GRK dari
batubara yang lebih tinggi daripada pangsa
bauran batubara di sektor industri disebabkan
karena Faktor Emisi batubara merupakan
terbesar disusul Faktor Emisi BBM, dan terendah
adalah Faktor Emisi gas bumi.

Gambar 3. Pangsa Emisi GRK Sektor Industri Tahun 2014, 2025, dan 2050

163

Prosiding Seminar Inovasi Teknologi untuk
Mendukung Kemandirian Energi Nasional

3.3. Pembahasan
Potensi peningkatan emisi GRK sektor
industri tersebut perlu diantisipasi dan dikurangi
mengingat Indonesia sudah meratifikasi
Perjanjian Paris yang ditetapkan dalam
Conference of Party (COP)-21 tahun 2015
dengan disetujuinya Rancangan Undang-Undang
Perjanjian Paris pada tanggal 19 Oktober 2016
menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016
Tentang Pengesahan Perjanjian Paris ke
UNFCCC. Pada pertemuan COP-21 Indonesia
berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK
sebesar 26% pada tahun 2025 menjadi 29%
pada tahun 2030 terhadap baseline atau
menjadi 41% dengan bantuan negara lain.
Komitmen ini telah dituangkan dalam Intended
Nationally Determined Constribution (INDC) dan
telah disampaikan ke United Nation Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC).
Negosisasi iklim ke 21 (COP-21) dari
Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan
iklim (UNFCCC) telah berlangsung di Paris pada
30 November hingga 13 Desember 2015.
Pertemuan ini adalah pertemuan bersejarah
yang menyepakati kesepakatan yang mengikat
(legally binding) dan merupakan kesepakatan
yang mengikat pertama sejak Protokol Kyoto
yang lahir pada pertemuan COP ke-3. Butir-butir
kesepakatan Paris disebut Kesepakatan Paris
untuk Perubahan Iklim. Kesepakatan Paris
bertujuan untuk menghentikan kenaikan suhu
pemanasan bumi tidak lebih dari 2 derajat
Celcius. Untuk itu, setiap negara perlu
memasukkan komitmen mengenai berapa
banyak emisi karbon dioksida yang akan
dikurangi.
Kesepakatan
Paris
didukung
sedikitnya 195 negara termasuk dua negara
produsen emisi karbon terbesar dunia, yaitu
Amerika Serikat dan Tiongkok. Kesepakatan
Paris dapat diratifikasi negara-negara anggota
Konvensi di Markas PBB di New York mulai 22
April 2016 hingga 21 April 2017 dan selanjutnya
dapat diaksesi oleh negara yang belum
melakukannya. Kesepakatan akan mulai berlaku
(entry into force) sebulan setelah setidaknya 55
negara yang meliputi 55% emisi global
bergabung[9].

164

Mengingat sektor industri merupakan
sektor penghasil emisi GRK terbesar kedua
setelah sektor pembangkit listrik pada tahun
2014 dan akan menjadi penghasil emisi GRK
terbesar pertama pada tahun 2050[3], maka
mitigasi GRK perlu dilakukan secara optimal agar
sasaran INDC dapat tercapai. Upaya yang dapat
dilakukan untuk mengurangi emisi GRK sektor
industri adalah melalui kegiatan konservasi
energi, penggunaan energi terbarukan, dan
pengurangan konsumsi bahan baku.
Upaya konservasi energi di sektor industri
sudah diwajibkan terutama untuk industri yang
mengkonsumsi energi minimal 6.000 TOE per
tahun sebagaimana diamanatkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009
Tentang Konservasi Energi. Regulasi PP 70/2009
telah dijabarkan secara lebih ditail dalam
Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2012
Tentang Manajemen Energi. Sayangnya kedua
regulasi ini tidak berjalan secara maksimal
karena banyak industri yang memenuhi
persyaratan
tersebut belum
melakukan
konservasi energi. Beberapa faktor penyebab
belum maksimalnya implementasi dari PP 70/79
dan Permen ESDM 14/2012 karena mahalnya
biaya investasi untuk pelaksanaan konservasi
energi, belum adanya mekanisme baku tentang
insentif konservasi energi di sisi industri,
perlunya
manajer
energi
yang
akan
meningkatkan biaya operasi industri, dan
koordinasi yang lemah antara Kementerian
ESDM dengan Kementerian Perindustrian dalam
pelaksanaan regulasi tersebut.
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan
regulasi tersebut, seyogyanya Kementerian
Perindustrian perlu menyiapkan regulasi tentang
sistem pelaporan data aktivitas yang terkait
dengan GRK secara on-line. Sistem pelaporan
secara on-line ini dapat mempermudah dan
mempercepat pelaporan GRK oleh industri
selama kerahasiaan data dapat dijamin oleh
Kementerian
Perindustrian.
Selain
itu,
Pemerintah cq Kementerian Keuangan perlu
menyiapkan regulasi tentang insentif atas
industri yang melaksanakan konservasi energi,
sekaligus jaminan untuk memperoleh suku
bungan pinjaman yang rendah.

Prosiding Seminar Inovasi Teknologi untuk
Mendukung Kemandirian Energi Nasional

Selanjutnya,
dalam
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian
diatur tentang perlunya pemanfaatan energi
terbarukan dalam aktivitas sektor industri agar
dapat terwujud Industri Hijau. Industri Hijau
adalah industri yang dalam proses produksinya
mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas
penggunaan
sumber
daya
secara
berkesinambungan
sehingga
mampu
menyelaraskan pembangunan industri dengan
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat.
Industri yang menggunakan bahan baku
biomassa menghasilkan limbah biomassa yang
secara tradisional telah digunakan sebagai
bahan bakar, seperti industri pulp dan kertas,
industri gula, dan industri minyak kelapa sawit.
Industri pulp sudah 100% menggunakan
biomassa dalam proses produksinya, industri
pulp dan kertas menggunakan biomasa sekitar
82%, industri gula sekitar 72%, dan industri CPO
sekitar 92%[10]. Konsumsi biomassa masih dapat
ditingkatkan apabila aktivitas industri dapat
efisien, dan adanya revisi regulasi pemanfaatan
black liquor di industri pulp dan kertas
sebagaimana Regulasi Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Pemanfaatan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun. Peningkatan konsumsi biomassa pada
ketiga industri tersebut akan mengurangi
konsumsi energi fosil sehingga menurunkan
emisi GRK. Bagi industri CPO, pengolahan limbah
cair kelapa sawit atau Palm Oil Mill Effluent
(POME) akan mengeluarkan gas metana
sehingga pemanfaatan gas metana sebagai
bahan bakar gas turbin akan mengurangi
pembelian listrik atau produksi listrik berbahan
bakar fosil yang menurunkan emisi GRK.
Sebagaimana definisi Industri Hijau dalam
UU 3/2014 tentang Perindustrian, maka
penghematan penggunaan bahan baku juga
menjadi opsi yang penting pada sektor industri.
Pengurangan penggunaan batukapur sebagai
bahan baku industri semen akan mengurangi
emisi GRK karena penggunaan batukapur
(CaCO3) akan terurai menjadi CaO dan CO2.
Pengurangan bahan baku batukapur juga akan
menurunkan konsumsi bahan bakar karena

batukapur perlu dipanaskan sebelum diproses di
kiln (dapur tanur). Upaya pengurangan konsumsi
batukapur pada industri semen telah dilakukan
oleh industri semen meskipun hasilnya akan
terus ditingkatkan hingga roadmap klinker rasio
dapat terwujud sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 12/MIND/PER/1/2012[11]. Pengurangan konsumsi
pupuk urea melalui pemanfaatan pupuk buatan
juga akan mendorong penurunan emisi GRK.
Penggunaan energi terbarukan pada
industri semen juga sudah berjalan meskipun
secara nasional baru mencapai 3% terhadap
total konsumsi energi industri semen[10]. Di
Jerman, konsumsi energi terbarukan pada
industri semen sudah mencapai 61%[12],
sedangkan Holcim Cement Indonesia sudah
mencapai 8%[13]. Diperlukan dukungan regulasi
agar pemanfaatan energi terbarukan atau energi
alternatif pada industri semen sebagai
pengganti batubara dapat meningkat agar
mitigasi GRK pada industri semen berjalan
maksimal sehingga menurunkan sumbangsih
batubara sebagai penghasil emisi GRK terbesar
di sektor industri.
4. Kesimpulan dan Saran
Pembakaran bahan bakar fosil (BBM,
batubara, gas bumi, dan LPG) dan penggunaan
gas bumi pada industri menghasilkan emisi GRK.
Total konsumsi energi sektor industri Indonesia
pada tahun 2014 mencapai 463 juta SBM yang
menghasilkan emisi GRK sebanyak 167,13 juta
ton CO2eq. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
yang diproyeksikan meningkat rata-rata 6% per
tahun selama tahun 2014 s.d. 2050 membuat
kebutuhan energi sektor industri meningkat 5
kali lipat menjadi 2.749 juta SBM pada tahun
2050. Bauran energi tahun 2014 adalah
batubara (47,7%), gas bumi (26,5%), BBM
(6,7%), listrik (8,73%), biodiesel (0,6%), LPG
(0,16%), dan sisanya berupa biomasa (9,77%).
Bauran energi sektor industri pada tahun 2050
berubah menjadi batubara (45,3%), gas bumi
(27,8%), BBM (5,4%), listrik(14,63%), biodiesel
(2,28%), LPG (2,28%), dan biomasa (4,41%).
Total emisi GRK dari konsumsi bahan
bakar fosil tersebut diproyeksikan meningkat

165

Prosiding Seminar Inovasi Teknologi untuk
Mendukung Kemandirian Energi Nasional

dari 167,13 juta ton CO2e pada tahun 2014,
menjadi 949,89 juta ton CO2e di tahun 2050 dan
merupakan konstributor emisi GRK terbesar
mengalahkan sektor pembangkit listrik
Potensi peningkatan emisi GRK sektor
industri tersebut di atas perlu dikurangi karena
Indonesia sudah meratifikasi Perjanjian Paris
yang ditetapkan dalam Conference of Party
(COP)-21 tahun 2015 sebagaimana UU 16/2016.
Indonesia sudah menyerahkan INDC ke UNFCCC
dengan sasaran menurunkan emisi GRK sebesar
26% pada tahun 2025 menjadi 29% pada tahun
2030 terhadap baseline atau menjadi 41%
dengan bantuan negara lain.
Upaya yang dapat dilakukan untuk
menurunkan emisi GRK tersebut adalah melalui
konservasi
energi,
penggunaan
energi
terbarukan, dan pengurangan konsumsi bahan
baku. Industri dengan konsumsi energi minimal
6.000 TOE per tahun wajib melakukan
konservasi energi sesuai PP 70/2009 dan
Permen ESDM 14/2012. Pelaksanaan regulasi ini
tidak berjalan maksimal karena hambatan biaya
investasi yang tinggi, insentif yang belum baku,
penetapan manajer energi merupakan costly,
dan koordinasi yang lemah antara Kementerian
ESDM dengan Kementerian Perindustrian. Untuk
itu,
Kementerian
Perindustrian
perlu
menyiapkan regulasi tentang sistem pelaporan
data aktivitas yang terkait dengan GRK secara
on-line dan Kementerian Keuangan perlu
menyiapkan regulasi tentang insentif atas
industri yang melaksanakan konservasi energi.
UU 3/2014 merupakan payung hukum
untuk
melaksanakan
konservasi
energi,
peningkatan penggunaan energi terbarukan,
dan pengurangan konsumsi bahan baku.
Penggunaan energi terbarukan (biomasa) pada
industri pulp dan kertas, industri gula, dan
industri
minyak
kelapa
sawit
dapat
dimaksimalkan hingga mencapai 100% dengan
cara merevisi regulasi yang menghambat dan
menggunakan limbah biomassa dan biogas
secara maksimal. Industri semen telah
melaksanakan regulasi roadmap penurunan
penggunaan batukapur dan pengawasannya
perlu ditingkatkan agar target dapat tercapai.
Industri
semen
di
Indonesia
sudah

166

menggunakan energi terbarukan sebanyak 3%
padahal di Jerman sudah mencapai 61%
terhadap total konsumsi bahan bakar. Untuk itu
diperlukan dukungan regulasi agar peningkatan
penggunaan energi terbarukan pada industri
semen dapat tercapai.
Daftar Pustaka
[1] IPCC, 2014, Climate Change 2014:
Mitigation of Climate Change. Contribution
of Working Group, Cambridge University
Press, New York.
[2] KESDM, 2015 Mineral, Handbook of Energy
& Economic Statistics of Indonesia 2015,
Pusat Data dan Informasi Kementerian
Energi dan Sumber Daya, Jakarta.
[3] BPPT, 2016, Outlook Energi Indonesia 2016,
Badan Jakarta Pengkajian dan Penerapan
Teknologi, Jakarta.
[4] BPPT, 2016, Hasil Run Model for Energy
Demand of Indonesia, Tidak dipublikasi,
Jakarta.
[5] IPCC, 2006, IPCC Guidelines for National
Greenhouse Gas Inventories: Energy Sector,
Intergovernmental Panel on Climate
Change, Geneve.
[6] Lemigas, 2016, Perhitungan Emisi CO2
dengan Menggunakan Faktor Emisi
Nasional, Jakarta.
[7] Lemigas, 2016, Faktor Emisi Batubara
Nasional, Jakarta.
[8] IPCC, 2006, IPCC Guidelines for National
Greenhouse Gas Inventories: Industrial
Product and Product Use Sector,
Intergovernmental Panel on Climate
Change, Geneve.
[9] KLHK, 2015, Pokok-Pokok Hasil COP-21
Paris 2015, Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Jakarta.
[10] Kementerian Perindustrian, 2015, Kajian
Potensi Pemanfaatan Energi Baru dan
Terbarukan di Sektor Industri dan Analisa
Kebutuhan Teknologinya, Pusat Pengkajian
Industri Hijau, Jakarta.
[11] Perindustrian, 2012,
Peta Panduan
(Roadmap) Pengurangan Emisi CO2 Industri
Semen
di
Indonesia,
Kementerian
Perindustrian, Jakarta.

Prosiding Seminar Inovasi Teknologi untuk
Mendukung Kemandirian Energi Nasional

[12] Volker Hoenig, 2012, Energy and Resources
Efficiency in the Cement Industry, ECRA,
Germany.
[13] Oepoyo P., 2015, Konsumsi Energi Industri
Semen
Indonesia,
FGD
Potensi
Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan
pada Industri dan Analisa Kebutuhan
Teknologinya, BPPT, Jakarta.

167