MAKALAH PSIKOLOGI DEWASA DAN LANSIA (1)

MAKALAH PSIKOLOGI DEWASA DAN LANSIA
“POLA PERKEMBANGAN SOSIAL DAN KEPRIBADIAN LANSIA”

DISUSUN OLEH
MAYANG TAMARA
NIM 1316321187

DOSEN PENGAMPU
Mtv GUSMAN HELYANTO, M.Pd, CHC

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM (BKI)
JURUSAN DAKWAH
FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
TAHUN AKADEMIK 2016

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama
nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah
"Psikologi Dewasa dan Lansia". Kemudian shalawat beserta salam di sampaikan kepada Nabi

besar Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah
untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas di Program studi Bimbingan Konseling Islam.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Gusman
Helyanto selaku dosen pembimbing mata kuliah dan kepada segenap pihak yang telah
memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam
penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari
para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bengkulu, April 2016

`

Penyusun

PEMBAHASAN

A. Perubahan Sosial
Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial mereka, walaupun

pelepasan itu dilakukan secara terpaksa. Aktivitas sosial yang banyak pada lansia juga
mempengaruhi baik buruknya kondisi fisik dan sosial lansia.
a. Perubahan Kehidupan Keluarga
Sebagian besar hubungan lansia dengan anak jauh kurang memuaskan yang
disebabkan oleh berbagai macam hal. Penyebabnya antara lain : kurangnya rasa memiliki
kewajiban terhadap orang tua, jauhnya jarak tempat tinggal antara anak dan orang tua. Lansia
tidak akan merasa terasing jika antara lansia dengan anak memiliki hubungan yang
memuaskan sampai lansia tersebut berusia 50 sampai 55 tahun.
Orang tua usia lanjut yang perkawinannya bahagia dan tertarik pada dirinya sendiri
maka secara emosional lansia tersebut kurang tergantung pada anaknya dan sebaliknya.
Umumnya ketergantungan lansia pada anak dalam hal keuangan. Karena lansia sudah tidak
memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Anak-anaknya pun tidak
semua dapat menerima permintaan atau tanggung jawab yang harus mereka penuhi.
b. Hubungan Sosio-Emosional Lansia
Masa penuaan yang terjadi pada setiap orang memiliki berbagai macam
penyambutan. Ada individu yang memang sudah mempersiapkan segalanya bagi hidupnya di
masa tua, namun ada juga individu yang merasa terbebani atau merasa cemas ketika mereka
beranjak tua. Takut ditinggalkan oleh keluarga, takut merasa tersisihkan dan takut akan rasa
kesepian yang akan datang.
Keberadaan lingkungan keluarga dan sosial yang menerima lansia juga akan

memberikan kontribusi positif bagi perkembangan sosio-emosional lansia, namun begitu pula
sebaliknya jika lingkungan keluarga dan sosial menolaknya atau tidak memberikan ruang
hidup atau ruang interaksi bagi mereka maka tentunya memberikan dampak negatif bagi
kelangsungan hidup lansia.

B. Perkembangan Kepribadian

Seiring dengan peningkatan umur lansia maka ada sisi lain yang perlu pula untuk
dipahami lebih dalam, adalah memahami tipe kepribadian lansia, yaitu sebagai berikut :
a. Tipe Kepribadian yang Konstruktif ( Construction Personality), dimana dalam tipe ini
lansia biasanya tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
b. Tipe Kepribaddian Mandiri (Independent Personality), pada tipe ini ada kecenderungan
mengalami Post Power Sindrome, apalgi jika pada masa lansia tidak diisi dengan
kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.
c. Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent Personality), sedang untuk tipe ini biasanya
sangat dipengaruhi oleh kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu
harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup
meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak
segera bangkit dari kedukaannya.
d. Tipe Kepribadian Bermusuhan ( Hostility Personality), pada tipe ini setelah memasuki

lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadangkadang idak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi
ekonominya menjdai morat-marit.
e. Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hae Personality), pada lansia tipe ini umumnya
terlihat sengsara karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung
membuat sudah dirinya.
Perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan pada umumnya perubahan ini diawali
ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat
menikmati hari tua atau jaminan hai tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan
sebaliknya. Karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kesusukan,
jabatan, peran, kegiatan, status, dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa
pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya sepertinya yang telah diuraikan pada
poin tiga diatas.
Lalu, Bagaimana menyiasai pensuin agar tidak merupakan beban mental setelah
lansia? Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental para individu dalam menghadapi
masa pensuin itu sendiri. Pada kenyataannya ada yang menerima, ada pula yang takut
kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-

olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya
dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun negatif.
Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan

mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensuin lebih berdampak positif sebaiknya
ada masa persiapan pensuin yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan unuk
mempersipkan diri, bukan hanya diber waktu untuk masuk keerja atau tidak dengan
memperoleh gaji penuh.
Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisir dan terarah bagi
masing-masing orang yang akan pensuin. Jika perlu dilakukan assessment untuk
menentukan arah minatnya agra tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk
merencanakan kegiatan setelah pensuin dan memasuki masa lansia dapat dilakukan
pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing.
Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak
jenis dan macamnya. Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat
hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang
selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam
menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensuin mereka
menjadi tidak berguna, mengganggur, penghasilan berkurang, dan sebagainya.
C. Perspektif dan Stereotif tentang Lansia (Tinjauan Psikologis)
Menjadi tua merupakan suatu fase kehidupan yang dialami oleh manusia. Makin
panjang usia seseorang, sejalan dengan pertambahan usia tubuh akan mengalami
kemunduran secara fisik maupun psikologis. Secara fisik orang lanjut usia yang
selanjutnya disebut lansia, mengalami kemunduran fungsi alat tubuh, atau disebut juga

dengan proses degeneratif. Orang lansia akan terlihat dari kulit yang mulai keriput,
berkurangnya fungsi telinga dan mata, tidak dapat bergerak cepat lagi, cepat merasa lelah,
rambut menipis dan memutih, mudah terserang penyakit karena daya tahan tubuh
berkurang. Secara psikologis orang lansia menjadi mudah lupa, serta berkurangnya
kegiatan dan interaksi (baik dengan anak-anak, saudara atau teman), mengalami rasa
kesepian, kebosanan dan sebagainya. Apalagi jika ia kehilangan pekerjaan, menderita post
power syndrome, berkurangnya peranan dalam keluarga atau masyarakat, atau kondisi
ekonominya buruk.

Kemunduran fisik yang menyebabkan orang menjadi tua, sesungguhnya merupakan
suatu fenomena biologis, tetapi pengaturan tentang sistem, kedudukan (status), peranan dan
fungsi sosial kelompok orang lansia dalam keluarga dan komunitas adalah konstruksi
budaya. Seperti yang dikemukakan oleh P. Gulliver, pelembagaan umur membuat jelas
bahwa faktor-faktor kebudayaanlah, dan bukan faktor-faktor biologis, yang terutama
penting untuk menentukan status sosial.
Kebudayaan dipahami sebagai sistem pengetahuan yang dimiliki masyarakat yang
dijadikan sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Kebudayaan terdiri atas, sistem aturanaturan, norma, nilai yang dimiliki oleh masyarakat. Semua masyarakat mengakui adanya
sejumlah tingkatan hidup, dimana setiap manusia akan menjadi tua. Tetapi bagaimana
pembatasannya akan berbeda-beda menurut kebudayaan. Masyarakat dan kebudayaannya
akan menentukan pola kegiatan, sikap, larangan, dan kewajiban mereka. Kedudukan dan

peranan orang lansia dalam keluarga dan masyarakat sangat ditentukan oleh kebudayaan
yang dimiliki oleh keluarga dan masyarakat.
Telah disebutkan di atas bahwa peran dan kedudukan lansia dalam keluarga dan
masyarakat sangat dipengaruhi oleh pandangan kebudayaan mengenai orang lanjut usia.
Perbedaan pandangan terhadap usia lanjut akan membuat sikap dan penghargaan terhadap
orang lansia akan berbeda dalam keluarga dan masyarakat.
Menurut Swasono (1989) berbagai kehidupan kebudayaan menetapkan usia tua dan
peranan serta fungsi sosialnya menuntut nilai-nilai, anggapan dan ukuran yang berbedabeda, namun demikian secara universal terdapat pandangan bahwa seorang lansia dianggap
sebagai sumber terkumpulnya kebijaksanaan dan kearifan. Dengan demikian penduduk
lansia dianggap memiliki kelebihan, keahlian tertentu dan dengan pengalaman yang
demikian luas sehingga mereka harus dihormati.
Lanjut usia dalam budaya timur klasik terutama di Indonesia secara umum lebih
sering dikonotasikan sebagai kelompok rentan yang tergantung dan menjadi beban
tanggungan baik oleh keluarga, masyarakat dan negara. Jauh hari sudah ada ramalan akan
adanya ledakan jumlah lansia di Indonesia yang akan semakin meningkat pada tiap
tahunnya. Pada tahun 1971 berjumlah 4,5 juta, ditahun 1990 berjumlah 6,3 juta memasuki
tahun 2000 lansia berjumlah 7,2 % dari total penduduk Indonesia dan diramalkan akan
berjumlah 11,3 % di tahun 2020. prediksi tersebut mencerminkan bahwa jumlah penduduk

lanjut usia merupakan sebuah tantangan dan menjadi PR bersama, namun dalam melihat

golongan lanjut usia pada umumnya masyarakat cenderung mendiskreditkan bahkan
mendiskriminasikannya.
Apakah kelompok lanjut usia merupakan beban kelurga, masyarakat, dan Negara?
Berkembangnya asumsi yang mendiskreditkan lansia merupakan bagian dari kesalahan
yang terus direproduksi oleh masyarakat. Model berpikir tersebut merupakan salah satu
paradigma pikir yang cenderung memposisikan lansia sebagai bagian kelompok
masyarakat lemah dan menjadi sub-golongan rentan terhadap pemenuhan haknya. Lebih
fatalnya lagi, alokasi anggaran dalam bentuk jaminan dan perlindungan sosial terhadap
lansia hanya diartikan suatu program yang sia-sia dan pemborosan anggaran belanja
negara.. Banyaknya stereotipe terhadap lansia merupakan fakta adanya peminggiran secara
langsung terhadap mereka.
Adanya stereotipe yang berkembang di masyarakat yang menempatkan lanjut usia
sebagai beban sosial keluarga, masyarakat dan negara merupakan sebuah cara pikir yang
diskriminatif. Beberapa asumsi yag berkembang adalah lanjut usia diidentifikasikan
sebagai golongan yang tidak produktif, tergantung, lemah dan kurang mandiri, kesemua
itu merupakan bagian dari kekeliruan yang terus direproduksi dan akhirnya menjadi
paradigma ukur masyarakat terhadap lansia. Ketimpangan dalam pemahaman terhadap
lanjut usia berujung terhadap sikap dan tindakan masyarakat dalam menempatkan lanjut
usia dalam aspek sosial, ekonomi dan politik. Secara umum, pola berpikir tersebut
merupakan sebuah kesalahan dalam memahami golongan lanjut usia.

Dalam perspektif sosio-kultur Indonesia, lanjut usia merupakan golongan yang
memiliki peran sosio-politik sangat signifikan. Salah kaprah dalam memandang golongan
lanjut usia cenderung akan menjadi sebuah mata rantai yang terus akan direproduksi dan
sulit diputus. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman yang mendalam hal ini untuk
memutus mata rantai ketimpangan penilaian terhadap lanjut usia. Asumsi masyarakat yang
menganggap bahwa lanjut usia merupakan golongan yang tidak produktif dan tergantung
secara ekonomi merupakan sebuah bentuk kekeliruan dan bahkan menjadi alat diskriminasi
yang berujung terhadap peminggiran hak sosio-ekonominya.
Dalam faktanya lansia dipedesaan tetap menjadi tulang punggung ekonomi
keluraga dan melaksanakan pekerjaan seperti : Tani, petani, nelayan dan lainnya. Di

samping secara ekonomi masih produktif mereka masih memiliki kewajiban sosial di
masyarakat. Dalam aspek sosial, bahwa lanjut usia merupakan beban sosial masarakat hal
ini juga merupakan bagian dari diskriminasi yang diberikan masyarkat. Seoarang pemimpn
pondok pesantren umumnya di Indonesia khususunya di Jawa lebih didominasi oleh para
ulama yang memilki usia relatif tua/lansia dan bahakan ada mitos yang berkembang
semakin tua seseorang maka akan semakin kharismatik.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :

Efendi, F., Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Maryam, R. S., Ekasari, M. F., Rosidawati, Jubaedi, A., Batubara, I. 2008. Mengenal Usia Lanjut
dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.
Sumber Internet :
http://andykudoes.blogspot.co.id/2009/02/memahami-tipe-kepribadian-lansia.html
http://dr-suparyanto.blogspot.co.id/2010/07/konsep-lanjut-usia-lansia.html