HAM DAN DEMOKRASI PERSPEKTIF KAUM MODERA
                                                                                HAM DAN DEMOKRASI
PERSPEKTIF KAUM MODERAT DAN KAUM PURITAN
(PEMETAAN KHALEED ABOU EL FADL TERHADAP RESPON DAN
PANDANGAN INTELEKTUAL MUSLIM)
Rendra Khaldun
Pengantar
Beberapa dekade terakhir ini masalah demokrasi dan hak asasi manusia
merupakan bahan diskusi yang masih hangat di berbagai pelosok dunia baik oleh
orang Muslim sendiri maupun non-Muslim karena dikatakan “bertentangan”
dengan keyakinan Islam, bahkan Islam dikatakan sebagai sebuah ancaman bagi
non Islam yang oleh orang-orang Barat dicap sebagai agama yang anti demokrasi
dan tidak toleran.1
Sebagian pemimpin gerakan-gerakan Islam menentang demokrasi ala
Barat dan sistem pemerintahan parliamenter. Reaksi negatif mereka semakin
menjadi bagian dari penolakan umum terhadap pengaruh kolonial Eropa, tindakan
mempertahankan Islam agar semakin tidak tergantung kepada Barat, yang
menurut sebagian orang Islam bukan merupakan penolakan total terhadap
demokrasi. Bahkan dalam dekade-dekade belakangan, banyak Muslim menerima
gagasan demokrasi namun mereka berselisih mengenai makna demokrasi yang
tepat. Begitu juga sebaliknya, tidak sedikit dari para tokoh-tokoh gerakan Islam
yang menolak demokrasi menjadi salah satu bentuk pemerintahan karena berasal
dari Barat dan dijadikan sebagai salah salah satu propaganda Barat terhadap dunia
Islam.
Ada perbedaan antara paham demokrasi Barat dan tradisi Islam. Semakin
ditekannya liberalisasi politik, elektrolal politik, dan demokratisasi tidak berarti
menyiratkan diterimanya secara tidak kritis bentuk-bentuk demokrasi Barat.
Argumen yang lazim terdengar adalah bahwa Islam memiliki atau dapat
melahirkan bentuk-bentuk demokrasi khasnya sendiri dimana kedaulatan rakyat
dikukuhkan dalam keseimbangan yang harmonis yang mampu melahirkan banyak
bentuk dan konfigurasi.
Isu hak asasi manusia juga memunculkan serangkaian permasalahanan
yang serupa. Hak asasi manusia (HAM) merupakan suatu hal yang fundamental,
sensitif, dan kontroversial.2 Selama beberapa dekade, isu-isu hak asasi manusia
telah menjadi perdebatan menarik di kalangan pemikir modern baik di bidang
politik maupun hukum. Hal ini berdasar kepada kecenderungan munculnya isu-isu
hak asasi manusia bukan hanya dipengaruhi oleh anasir-anasir politik dan hukum
melainkan juga agama dan budaya.3 HAM yang dideklarasikan oleh badan
1
John L. Esposito, Ancaman Islam Mitos Atau Realitas, terj. Alwiyah Abdurrahman dan
MISSI. (Bandung: Mizan, 1994), 35
2
Pasal-pasal kontroversial dalam UDHR menurut sebagian masyarakat Muslim lihat,
Anshari Tayyib (ed.) HAM dan Pluralisme Agama (Surabaya: PKSK, 1997), 241
3
Secara politis negara–negara Barat sering mengangkat isu ini untuk dapat mengintervensi negara
yang menurut mereka belum memberikan perlindungan maupun pelaksanaan hak–hak asasi sesuai
0
tertinggi dunia pada 10 Desember 1948 yang dikenal dengan “The Universal
Declaration of Human Rights” atau UDHR (Deklarasi Semesta tentang Hak Asasi
Manusia) yang terdiri dari 30 pasal, ternyata belum dapat mengakomodasi
keinginan semua bangsa-bangsa di dunia yang amat beragam latar belakang
budaya dan agamanya (terutama agama Islam).
Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki oleh setiap orang sesuai
dengan kondisi yang manusiawi. Oleh karena itu hak asasi manusia selalu
dipandang sebagai sesuatu yang mendasar, fundamental, dan penting sehingga
banyak pendapat yang mengatakan bahwa hak asasi manusia adalah sebuah “
kekuasaan sekaligus keamanan” yang dimiliki oleh setiap individu.4
Alwi Shihab mengatakan, bahwa hak-hak asasi manusia dalam Islam
bersifat teosentris, yakni bertujuan untuk dan bersumber dari Tuhan, sebaliknya
HAM menurut pandangannya, lebih bersifat antroposentris, yakni lebih terfokus
hanya pada manusia itu sendiri, HAM dalam perspektif kedua menempatkan
manusia dalam suatu setting dimana hubungannya dengan Tuhan sama sekali
tidak disebut, hak-hak asasi manusia dimulai sebagai perolehan alamiah sejak
kelahiran. Perbedaan persepsi tentang manusia, hak-hak berikut nasibnya
merupakan salah satu sebab utama yang memicu konflik antara dunia Barat
sekuler dan Islam.5
Islam menempatkan Hak-hak manusia sebagai konsekuensi dari
pelaksanaan kewajiban terhadap Allah. HAM menurut pandangan Barat sekuler
adalah ekspresi kebebasan manusia yang terlepas dari ketentuan Tuhan, agama,
moral, atau kewajiban metafisika. Dalam Islam, ekspresi kebebasan manusia
harus ditempatkan dalam kerangka keadilan, kasih sayang dan persamaan
kedudukan di mata Tuhan.6
Memang, hak-hak yang didaftar dalam Risalah Deklarasi Internasional
cenderung bervariasi sekali. Misalnya dokumen-dokumen internasional ini
berbicara tentang hak individu atas kebebasan menyampaikan nurani dan
keyakinan, kebebasan berbicara, hak atas privasi, tetapi dokumen-dokumen itu
juga berbicara tentang hak atas tempat tinggal, hak atas makanan dan gizi yang
cukup, dan hak liburan dan cuti wanita (haid, hamil, dan sebagainya). Musykil
kiranya jika kita mendiskusikan setiap item yang tertera dalam deklarasi tersebut.
Tulisan ini mencoba memusatkan perhatian pada persoalan pemetaan
Khaleed Abou el Fadl terhadap pandangan kaum moderat dan puritan mengenai
hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang dianggap sebagai suatu konsep
kontroversial.
srandart internasional.untuk lebih jelasnya lihat. Mayer Ann Elizabeth, Islam Tradition and
Politics Human Rights, (Westview Press, 1995), 2.
4
Untuk lebih jelasnya lihat Harun Nasution dan Bachtiar Efendi (ed.). Hak Asasi Manusia
dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1978), h. 14
5
Alwi Syihab, Islam inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama, (Bandung: Mizan,
1999) h. 179
6
Alwi Shihab, Ibid..,h. 179
1
Terminologi Moderat dan Puritan Dalam Perspektif Khaleed Abou El Fadl
Terminologi moderat di derivikasi dari beberapa riwayat
Nabi tatkala
dihadapkan pada dua pilihan ekstrim. Nabi selalu dilukiskan sebagai sosok
moderat yang cenderung menolak terjatuh pada kutub ekstrim. Orang-orang yang
dinamai kelompok moderat sudah secara beragam digambarkan sebagai kelompok
modernis, progressif, dan reformis. Namun menurut Khaled Abou Fadl tak ada
satupun dari istilah-istilah tersebut bisa menggantikan kata moderat.
Istilah modernis mengisyaratkan pada suatu kelompok yang berusaha
mengatasi tantangan modernitas, sementara yang lain bersikap reaksioner seperti
ingin kembali ke masa lalu. Banyak kalangan moderat mengklaim diri
merepresentasikan diri sebagai Muslim sejati dan autentik. Namun dalam hal lain,
mereka menegaskan bahwa mereka tidak mengubah agama. Sebaliknya mereka
berupaya mengajak umat Islam kembali ke keyakinan orisinal mereka. Namun
satu hal yang pasti bahwa istilah moderat lebih tepat menggambarkan pendirian
keagamaan mayoritas umat Islam dibandingkan reformis dan progresif.
Sedangkan term puritan sudah dideskripsikan oleh beragam penulis dengan
istilah fundamentalisme, militan, ektrimis, radikal, fanatik, jahidis, dan bahkan
cukup dengan istilah islamis. Khaleed Abou Fadl lebih suka menggunakan term
puritan didasarkan dari ciri yang menonjol kelompok ini dalam hal keyakinannya
menganut faham absolutisme yang tak kenal kompromi. Dalam banyak hal
orientasi kelompok ini cenderung menjadi puris, dalam arti ia tidak toleran
terhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang realitas
pluralis sebagai suatu bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.7
Istilah fundamentalis menurutnya adalah sebuah istilah yang sangat
problematis untuk disandingkan dengan kata Islam. Menurutnya semua kelompok
dan organisasi Islam menyatakan setia menjalanjan ajaran-ajaran fundamental
Islam. Bahkan gerakan paling liberal pun akan menegaskan bahwa cita-cita dan
pendirian mereka merepresentasikan ajaran-ajaran iman secara lebih baik. Istilah
fundamentalis sangat tidak pas untuk konteks Islam karena dalam bahasa Arab
istilah tersebut dikenal dengan nama “
” yang berarti seseorang yang
bersandar pada hal-hal yang bersifat pokok dan mendasar. Jadi ungkapan
“fundamentalisme Islam” akan memunculkan mispersepsi yang tak bisa dihindari
bahwa hanya kelompok fundamentalis saja yang penafsiran mereka bedasarkan alQur’an dan al.
Sedangkan istilah ekstrimis, fanatis, dan radikal benar-benar menawarkan
alternatif yang masuk akal. Yang pasti, Taliban dan al-Qaeda adalah ekstrimis,
fanatis, dan radikal. Secara kebahasaan, ekstrimis adalah lawan kata moderasi.
Dengan mencerrmati kelompok ini dalam kaitannya dengan pelbagai isu,
tampaklah bahwa mereka secara konsisten dan sistematis menganut absolutisme,
berfikir dikotomis, dan bahkan idealistik. Pada isu tertentu, sebagaimana mereka
menafsirkan warisan Nabi dan para sahabat, kelompok ini cenderung menganut
absolutisme, kaku, dan puritan, tidak ekstrimis atau radikal. Dengan kata lain,
kelompok-kelompok yang disebutkan diatas tidak selalu dalam setiap isu fanatik,
7
Khaleed Abou El Fadhl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi,
2005), 29.
2
radikal atau ekstrimis, tetapi mereka selalu puritan. Karena ciri khas dari
pemikiran mereka adalah bahwa mereka menganut absolutisme dan menuntut
adanya kejelasan dalam menafsir teks, bukan watak fanatik, radikal atau
ekstrimis.8
Pemetaan Khaleed Abou Fadl Terhadap Pandangan Kaum Moderat Tentang
HAM
HAM dan demokrasi merupakan konsep yang yang sangat sensitif,
kontroversial, dan debatable dalam diskursus keislaman. Disatu sisi, kedua
konsep tersebut membawa implikasi positif bagi keberlangsungan hidup
masyarakat di dunia dan disatu sisi hal tersebut dipandang diskriminatif oleh yang
lainnya khususnya oleh umat Islam. Khaleed Abou Fadl mencoba melakukan
pemetaan terhadap respon dan pandangan umat Islam terhadap kedua konsep ini
yang dia bagi menjadi dua kelompok besar yakni kaum moderat dan kaum
puritan.
Tentang hak-hak asasi manusia, banyak Muslim moderat sangat skeptis
terhadap pandangan yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah konsep
universal yang keliru atau HAM adalah merupakan praktik khas Barat dan tidak
sesuai atau tidak pas dengan budaya lain dimanapun.9 Di balik klaim-klaim seperti
itu, tersembunyi suatu etnosentrisme tertentu karena mereka sama saja
mengatakan bahwa masyarakat non Barat pada dasarnya tidak sanggup hidup
dibawah sistem pemerintahan non demokrasi yang dibatasi oleh aturan hukum,
dan juga tidak sanggup memahami atau menghargai hak-hak asasi manusia.
Muslim moderat percaya bahwa mengupayakan penghargaan dan
penegakan hak-hak asasi manusia sebagai tujuan etis yang hendak dicapai
merupakan perkara prinsip moral yang mendasar, dan jauh dari konsep universal
yang keliru.10 Muslim moderat juga percaya bahwa sementara bisa sangat tidak
jujur untuk berlagak bahwa hukum Islam menawarkan daftar hak-hak asasi
manusia yang siap pakai, hak-hak asasi manusia sebagai sebuah konsep dan
demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan benar-benar bisa dipertemukan
dengan teologi hukum Islam. Sejumlah kaum moderat bahkan melangkah lebih
jauh lagi dan berpendapat bahwa tak hanya Islam dan demokrasi serta hak-hak
asasi manusia bisa dipertemukan, melainkan bahwa Islam memerintahkan dan
menuntut sebuah sistim pemerintahan yang demokratis.
Dibangun berdasarkan tradisi Islam, kaum moderat mengemukakan bahwa
minimal semua manusia mempunyai hak akan harga diri dan kebebasan.
Keyakinan orang-orang moderat terhadap demokrasi dan hak-hak asasi manusia
diawali dengan premis bahwa penindasan adalah pelecehan besar-besaran
terhadap Tuhan dan manusia. Al-Qur’an mendeskripsikan para penindas sebagai
perusak bumi dan juga menggambarkan penindasan sebagai bentuk penghinaan
8
Ibid., 31
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights, Tradition dan Politics (London: Pinter
Publishers, 1995), 8-9
10
Berbagai tanggapan pro dan kontra tentang HAM dalam Islam dan dunia Arab lihat
Kevin Dwyer, Arab Voice; Human Rights Debate in the Middle East (Barkerley: Univercity of
California, 1991), 8-9
9
3
terhadap Tuhan. Dalam pemikiran moderat, diakui bahwa semua manusia berhak
atas harga diri. Al-Qur’an dengan jelas menganugerahkan harga diri pada setiap
manusia.11
Terkait dengan kebebasan dan persamaan hak antar sesama manusia kaum
moderat mengatakan bahwa diperbudak dan ditundukkan oleh manusia pada
dasarnya tidak selaras dengan kewajiban untuk tunduk kepada Tuhan tanpa syarat.
Sesungguhnya al-Qur’an mengundang umat Islam dan kaum non Muslim untuk
menciptakan sebuah konsensus diantara mereka untuk menyembah Tuhan semata
dan tidak memperlakukan satu sama lain sebagai Tuhan. Bagi orang-orang
moderat, ayat ini memancangkan sebuah prinsip mendasar dan krusial bahwa
manusia semestinya tidak mendominasi satu sama lain. Satu-satunya ketundukan
yang bernilai etis adalah ketundukan kepada Tuhan, sedangkan ketundukan
manusia dihadapan manusia lain tak lain adalah sebentuk penindasan. Diskursus
al-Qur’an ini merangsang umat Islam dan kaum non Muslim untuk menemukan
sebuah tatanan yang dapat menjadi acuan bagi mereka untuk tidak saling
mendominasi.12
Dalam tradisi Islam, keadilan adalah sebuah nilai inti dan mendasar. Para
sarjana klasik menekankan keadilan sebagai kewajiban Islam sampai-sampai
sebagian dari mereka berpendapat bahwa dimata Tuhan, masyarakat non Muslim
yang adil lebih baik nilainya dibandingkan masyarakat Muslim yang tidak adil.
Para sarjana klasik lainnya mengemukakan bahwa ketundukan sejati kepada
Tuhan adalah mustahil adanya bila ketidakadilan merambah dimana-mana
ditengah-tengah masyarakat.
Landasan keadilan adalah memberikan hak kepada setiap orang. Keadilan
yang sempurna berarti mencapai keseimbangan yang juga sempurna antara
kewajiban dan hak. Orang-orang moderat berfikir bahwa penegakan keadilan
menuntut umat Islam untuk harus berupaya membangun suatu sistem politik yang
paling berpeluang menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam
masyarakat. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa pencapaian keadilan mewajibkan
umat Islam untuk menemukan suatu sistem yang memungkinkan umat setiap
orang untuk menemukan akses terhadap kekuasaan dan institusi dalam masyarakat
yang bisa membenahi ketidakadilan dan melindungi orang dari penindasan.
Al-Qur’an dan almemperjelas bahwa manusia punya hak atas
pemerolehan hak-hak dan perlindungan di dalam hidup. Dalam tradisi
yuriprudensi Islam, para sarjana klasik telah menyusun skema hak asasi manusia
berdasarkan apa yang disebut sebagai “kepentingan yang terlindungi” yang ada
pada diri manusia. Para sarjana klasik mendefinisikan lima kepentingan yang
terlindungi adalah kehidupan, akal, keturunan, reputasi, dan harta. Karena itulah,
11
Untuk lebih jelasnya lihat Mashood A. Baderin, International Human Rights And
Islamic Law (London: Oxford University Press, 2003), 13.
12
Pada masalah-masalah tertentu hal ini dapat dilaksanakan dengan baik seperti masalah
persamaan hak di depan hukum, namun dalam hal lain seperti masalah kebebasan akan sangat sulit
untuk mencari titik temu diantara keduanya karena antara Islam dan Barat berasal dari budaya dan
karakter yang berbeda. Untuk lebih jelasnya lihat Seyyed Hossein Nashr, Islamic Life and Thought
(New York: State Univercity of New York Press, 1992), 16. Khaleed Abou Fadl, Selamatkan
Islam, 223
4
sistem politik dan hukum Islam harus melindungi dan memperjuangkan kelima
hak terlindungi tersebut.13
Demi meningkatkan fungsi dan perlindungan yang diberikan lima
kepentingan itu para sarjana klasik menyusun tiga kategorisasi, dengan
menegaskan bahwa isu-isu yang terkait dengan semua kepentingan yang
terlindungi itu bisa dibagi ke dalam kategori
, (kemendesakan yang
mendasar atau kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan mendasar atau kebutuhan
sekunder), dan tahsiniyat (kemewahan atau kebutuhan tersier).
terdiri atas sesuatu yang mendasar dan esensial bagi
kelangsungan dan perlindungan kepentingan atau hak-hak diatas. Dharuriyyat
adalah segala sesuatu yang bila tidak tersedia akan menjadikan kepentingan atau
hak-hak diatas tidak bisa terlindungi sama sekali.
Hajjiyat berada sedikit di bawah level
, hajjiyat atau kebutuhan
sekunder adalah segala sesuatu yang sangat penting bagi perlindungan
kepentingan atau hak yang dimaksud, tetapi tidak sedemikian darurat. Tidak
seperti
, jika
tidak terpenuhi, maka kepentingan atau hak
tersebut masih bisa terlindungi, meskipun sangat melemah.
Tahsiniyyat merupakan kebutuhan yang tidak mendesak dan tidak juga
sangat penting bagi perlindungan kepentingan atau hak. Sebaliknya, jika terpenuhi
tahsiniyyat akan menyempurnakan dijalankannya kepentingan atau hak tersebut.14
Para sarjana klasik tidak mendefinisikan apa yang secara pasti menentukan
sesuatu sebagai
, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Akan tetapi pada prinsipnya,
mereka berupaya membedakan antara hal-hal yang harus dijamin pemenuhannya
bagi orang, sebab hal tersebut sangat esensial dan menjadi sendi kehidupan yang
sehat, terhormat, dan bermartabat. Para sarjana klasik berpendapat bahwa apa
, hajjiyat, dan tahsiniyyat
yang seyogyanya dipandang sebagai
bergantung pada setiap generasi muslim untuk mengeksplorasi dan
menentukannya, sesuai dengan tuntunan lingkungan yang bergeser dari waktu
yang berubah.
Menurut teori klasik, masyarakat yang berkesederajatan dan adil akan
memberlakukan dharuriyyat sebagai suatu yang sangat khusus dan tidak kenal
kompromi. Sebuah masyarakat yang bisa melindungi hajiyyat manusia,
melengkapi
, akan dipandang lebih adil dan berkesederajatan. Akhirnya
sebuah masyarakat yang bisa memberikan tahsiniyyat kepada manusia,
melengkapi perlindungan terhadap
dan hajiyyat, akan menjadi
15
masyarakat yang paling adil dan berkesedarjatan.
Kaum moderat ingin membangun tradisi bernilai ini dengan mencoba
memancangkan apa saja yang mendesak untuk diperjuangkan oleh manusia, dan
juga mencoba untuk mengeksplorasi apa yang boleh jadi bukan sebuah
kemendesakan dalam hidup akan tetap dipandang cukup penting untuk berposisi
13
Lima bentuk perlindungan ini dapat dikatakan sebagai konsep atau teori tentang
perlindungan hak-hak asasi manusia dalam Islam. Term ini dikenal dengan istilah al-kulliyah al
khamsah atau maslahah al-mu’tabarah selanjutnya lihat ‘Abd Wahhab Khallaf, ‘Ilm
al-Fiqh
(Kuwait: Darl al-Qalam, tt) 200-201.
14
Khaleed Abou Fadl, Selamatkan Islam, 229
15
Ibid., 228-229
5
sebagai kebutuhan atau kemewahan. Kaum moderat berpendapat bahwa, minimal
perdebatan klasik mengenai
dan hajjiyyat seyogyanya diterjemahkan di
era modern menjadi hak-hak yang bisa bisa melindungi kepentingan individu.16
Tuhan dan manusia sama-sama memiliki hak. Akan tetapi mereka
berpendapat bahwa sementara hak-hak Tuhan akan ditetapkan di hari akhir
olehNya, hak-hak individu atau manusia harus dijaga dan ditegakkan oleh
manusia di muka bumi. Pada praktiknya, Tuhan akan peduli dengan hak-hakNya
di hari akhir, tetapi manusia harus peduli dengan hak-hak mereka dimuka bumi,
dengan mengakui hak asasi manusia dan melindungi kesucian hak-hak asasi
tersebut.17
Pemetaan Khaleed Abou Fadl Terhadap Pandangan Kaum Moderat dan
Puritan Tentang Demokrasi
Kaum moderat percaya bahwa ada beberapa konsep dan praktik lain dalam
warisan Islam yang mendukung prinsip demokrasi. Al-Qur’an dengan jelas
memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan semua urusannya lewat
musyawarah (shura). Orang-orang moderat membaca ayat ini sebagai perintah
Tuhan yang menandaskan kembali tidak dibenarkannya penindasan dan
kesewenangan. Pengambilan keputusan harus tidak oleh orang atau elit despotik.
Sebaliknya, umat Islam harus menemukan cara untuk menetapkan keputusan
sebagai hasil dari interaksi demokratis diantara banyak orang.18
Melengkapi prinsip musyawarah, ketika Nabi untuk kali pertama
memasuki kota Madinah, beliau menyusun sebuah konstitusi yang jelas
memaparkan kewajiban, tugas, dan hak-hak masing-masing kelompok suku (dan
juga orang-orang non muslim yang tinggal di Madinah) yang dikenal dengan
nama Piagam Madinah.19 Preseden sejarah ini memperkuat gagasan bahwa sistem
politik yang sah dalam Islam haruslah pemerintahan konstitusional.
Preseden atau kasus lain yang kerap dikutip dan dijadikan sandaran oleh
kaum moderat adalah dibentuknya lembaga perwakilan diawal sejarah Islam yang
dikenal dengan istilah ahl-hall wa al-‘aqd.20 Sebelum wafat, khalifah kedua,
Umar Ibn al-Khattab, menunjuk sejumlah tokoh dan tetua dan terkemuka yang
mewakili beragam komunitas di Negara Islam dan memberi mereka kekuasaan
16
Ibid., 230
Ibid., 224
18
Fazlur Rahman, “Implementation of The Concept of State in Pakistani Milieu”, Islamic
Studies, No. 6. (September 1967), 205. Lihat juga Khaleed Abou el Fadl, Selamatkan Islam, 230
19
Robert N. Bellah seperti yang dikutip oleh Yudi Latif juga menyebut sistem Madinah
sebagai bentuk nasionalisme yang egaliter partisipatif (equalitarian participant nationalism). Hal
ini berbeda dengan sistem republik negarakota Yunani kuno, yang membuka partisipasi hanya
kepada kaum lelaki merdeka, yang hanya meliputi 5 persen dari penduduk. Hal ini menunjukkan
bahwa apa yang telah dilakukan oleh Nabi merupakasn sebuah trobosan yang sangat modern
dalam sistem ketatanegaraan dunia khususnya Islam, untuk lebih jelasnya lihat Yudi Latif, Tafsir
Sosiologis Atas Piagam Madinah, dalam Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana (ed.). Islam,
HAM, dan Keindonesiaan (Jakarta: Ma’arif Institute for Culture and Humanity, 2007), 21
20
Al mawardi menamakan orang-orang yang dikelompokkan sebagai orang yang berhak
memilih kepala negara dengan istilah ahl al-ikhtiyar sedangkan ahl al-imamah adalah orang yang
dikelompokkan sebagai orang yang berhak dipilih menjadi pemimpin negara, untuk lebih jelasnya
al, (Beirut: Darl al Kutb al-‘Ilmiyah, tt), 6
lihat Abu Hasan al-Mawardi, Al17
6
untuk memerintah negara dalam periode transisi setelah ia wafat dan kemudian
juga memilih khalifah ketiga yang akan memimpin negara Muslim. Alasan
mereka dikatakan sebagai ahl-hall wa al-‘aqd adalah untuk menandai bahwa
sebagai wakil komunitas, mereka punya kekuasaan untuk membuat keputusan
yang mengikat pada komunitas itu.21
Terakhir, kaum moderat bertumpu pada konsep sensus (‘ijma), atau
persetujuan bersama dari sekelompok orang bahwa isu tertentu salah atau benar.
Kaum moderat telah mencoba menafsirkan kembali konsep konsensus untuk
menopang ide demokrasi yang ditentukan oleh kehendak mayoritas. Kaum
moderat berpendapat bahwa untuk tujuan memerintah suatu negara, kehendak
rakyat merepresentasikan kedaulatan politik, dan kehendak ini mengikat, dan
bersifat wajib. Selain itu mereka menegaskan bahwa pandangan-pandangan atau
atau suara setiap warga, muslim atau yang lain, seharusnya juga dipertimbangkan
dalam rangka mendapatkan kehendak mayoritas, sehingga nanti dapat
menggambarkan kehendak rakyat.22
Oleh sebab itu, kehendak mayoritas harus dihormati, tetapi dalam bingkai
parameter konstitusional; jika melanggar batas-batas konstitusional ini kehendak
mayoritas tidak akan dihargai. Dengan kata lain, kehendak mayoritas segera
dinyatakan sebagai tidak konstitusional. Beberapa orang moderat mengutarakan
bahwa parameter konstitusional seharusnya tidak dibatasi pada masalah hak-hak
individu, melainkan mencakup pula prinsip-prinsip etis dan moral Islam.
Konsekuensinya, jika mayoritas menghendaki sebuah undang-undang yang
berbenturan dengan prinsip etika dan moral Islam, maka undang-undang tersebut
akan dianggap inkonstituional.23
Ketika membincangkan tentang demokrasi, salah satu persoalan paling
sentral adalah isu kedaulatan yakni siapa yang memegang kedaulatan di dalam
sebuah sistem demokrasi? Pertanyaan ini terkait dengan pertanyaan siapa pemilik
otoritas puncak dan terakhir? Bagi beberapa orang moderat sudah menyuarakan
beberapa pendapat terkait dengan hal ini.24 Pertama, bahwa otoritas terakhir ada
pada Tuhan, dan dengan begitu Tuhanlah pemegang kedaulatan. Akan tetapi
Tuhan telah mendelegasikan otoritas total kepada manusia untuk menjalankan
urusan-urusan mereka sesuai dengan kehendak mereka. Tuhan menunda hakNya
untuk memberikan pahala atau menghukum siapa yang dikehendakinya kelak di
akhirat.
21
Ahl-Hall wa al-‘aqd diartikan sebagai orang-orang yang mempunyai wewenang
melonggar dan mengikat. Istilah ini telah dirumuskan oleh ulama fiqh untuk sebutan bagi orangorang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka dalam pemilihan.
alalUntuk lebih jelasnya lihat Muhammad Dhiya al-Din Al Rayis, AlIslamiyah (Mesir, Maktabah al Anjlu, 1957), 167-168. Khaleed Abou el Fadl, Selamatkan Islam,
231
22
Hal ini mirip dengan teori kedaulatan rakyat yang dikemukakan oleh J.J. Rosseou
Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hukum Politik, terj. Ida Sundari Husen dan Hidayat
(Jakarta: Dian Rakyat, 1989) , 102.
23
Khaleed Abou el-Fadl, Selamatkan Islam, 232-233
24
Dalam terminologi Barat hal ini disebut sebagai Teiori Kedaulatan Tuhan sedangkan Al
Maududi menyebutnya sebagai Teo Demokrasi. Lihat, Abul A’la Al-Maudadi, et al. Esensi AlQur’an Filsafat Politik, Ekonomi, Etika.( Mizan: Bandung, 1984) , 87.
7
Kedua, bahwa manusia adalah pemegang kedaulatan sepanjang
menyangkut hukum yang mengatur masalah-masalah manusia. Tuhan memegang
kedaulatan dalam hal-hal yang menyangkut hukum abadi. Karena tugas manusia
adalah mengatur hukum yang menyangkut masalah-masalah manusia, dan bukan
hukum abadi, manusia bebas mengatur sepanjang peraturan itu berupaya
mewujudkan nilai-nilai kebertuhanan di muka bumi (yaitu berupaya memenuhi
hukum abadi). Jika peraturan itu gagal menegakkan nilai-nilai kebertuhanan di
muka bumi, hukum semacam itu harus dinyatakan sebagai tidak konstitusional.25
Ketiga, mereka mengatakan bahwa manusia adalah pemegang kedaulatan
karena urusan-urusan Tuhan diserahkan kepada tuhan, dan urusan-urusan negara
diserahkan pada manusia dan nampaknya pendekatan terakhir ini lebih dekat
dengan pandangan sekuler.
Isu selanjutnya yang menjadi diskusi bagi kalangan moderat adalah peran
yang diharapkan dari hukum syari’at atau hukum agama di dalam sebuah sistem
demokrasi muslim. Isu terakhir ini terbukti sangat menantang, dan karena itu
mencuatlah begitu beragam pandangan. Pandangan-pandangan tersebut kemudian
dikelompokkan menjadi empat pandangan yakni:
Pertama, mereka menyatakan bahwa peraturan hukum seharusnya
ditentukan ditangan rakyat, kecuali untuk sekelompok peraturan hukum yang
bersifat inti yang dikenal dengan istilah
.
adalah sehimpunan hukum
yang secara eksplisit disebut dalam al-Qur’an. Hukum tersebut meliputi
seumpamanya, hukuman bagi bagi kasus zina dan pencurian. Walaupun
mencakup hukuman pidana yang keras, aspek kekerasan dalam hudud ini menjadi
terkurangi oleh kenyataan bahwa syarat pembuktian yang dibutuhkan untuk bisa
memberlakukan hukuman ini sangat detail dan banyak persyaratannya.
Kedua, beberapa orang moderat tidak mengamini pandapat di atas dan
berpendapat bahwa demokrasi islam seharusnya tidak berupaya menerapkan
bagian apapun dari huku Syari’at, dan bahwa satu-satunya hukum yang relevan
hukum yang dibuat oleh badan legislatif. Dalam pendekatan ini, syari’at berfungsi
sebagai panduan moral dan etika, tetapi rakyat secara keseluruhan seharusnya
menjadi sumber satu-satunya bagi proses legislasi.
Ketiga, mereka yang berpendapat bahwa dalam demokrasi Islam, badan
legislatif seharusnya memasukkan hukum apapun yang dipandangnya tepat.
Namun demikian, harus ada sebuah peradilan tertinggi yang bisa menghapus
setiap undang-undang yang tidak sejalan dengan al-Qur’an. Keempat, bahwa
undang-undang itu milik rakyat, dan dengan begitu badan legislatif harus bebas
menyetujui perundang-undangan yang mereka anggap tepat. Akan tetapi undangundang harus sesuai dengan standar moral dasar tertentu yang beroleh
inspirasinya dari syari’at. Perundang-undangan yang mencederai moral, bahkan
jika dikehendaki oleh sebuah badan legislatif, seharusnya dinyatakan tidak
konstitusional atau batal.26
25
Bandingkan dengan pembedaan kekuasaan yang dikemukakan oleh Khallaf dalam
Abdul Wahhab Khallaf, Al
al-Syar’iyyah, terj. Zainuddin Adnan, Politik Hukum Islam
(Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994) 42. Khaleed Abou el-Fadl, Selamatkan Islam, h. 234
26
Kendatipun dalam Islam, tidak terdapat sistem ketatanegaraan dalam artian teori
lengkap namun disana terdapat sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara, untuk lebih
8
Kemudian bagaimana dengan pandangan kaum puritan terhadap masalah
demokrasi ini? Menurut Khaleed Abou el Fadl, nyaris semua yang telah diuraikan
dimuka adalah merupakan perilaku bid’ah. Menurut orang-orang puritan bahwa
demokrasi adalah temuan orang Barat, dan ini cukup menjadi alasan untuk
menolaknya. Selain itu orang-orang puritan bersikukuh pada perlunya penciptaan
kembali lembaga khalifah sebagai landasan sistem pemerintahan Islam. Dengan
ini mereka membayangkan model yang dibangun oleh keempat khulafa’ al
, yang memegang kekuasaaan setelah meninggalnya Nabi. Orang-orang
puritan berusaha menciptakan apa yang mereka bayangkan sebagai replika sistem
pemerintahan yang dibangun oleh empat khalifah ini.27
Kenyataan yang gagal diakui oleh orang-orang puritan adalah bahwa para
khalifah itu tidak mengambil satu bentuk pemerintahan saja; sebaliknya setiap
mereka menerapkan kebijakan-kebijakan yang berbeda dan menciptakan institusi
yang berlainan. Dalam kenyataannya, para khalifah itu tidak merepresentasikan
suatu teori pemerintahan tertentu, melainkan sebuah institusi historis yang
berhasil menyatukan banyak umat Islam pada waktu yang berlainan di masa
silam. Intinya, khalifah menjadi suatu simbol kesatuan umat Islam tanpa serta
merta membentuk suatu model pemerintahan tertentu.28
Menurut orang-orang puritan, sistem pemerintahan yang tegak diera yang
diklaim sebagai masa keemasan khalifah adalah “sistem
”, yang ditegaskan
oleh orang-orang puritan sebagai lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
demokrasi Barat. Seperti yang disebut dimuka,
adalah konsep al-Qur’an
yang berarti pemerintahan atas dasar musyawarah. Akan tetapi anehnya, orangorang puritan berbicara seolah-olah ada teori pemerintahan yang utuh dan beda
”. Syura dalam pandangan orang-orang
sama sekali yang disebut dengan “
puritan adalah pemimpin despotik yang adil, bijak, dan saleh, yang menerapkan
hukum Islam dan memrintah dengan secara berkala merujuk kepada lembaga
konsultatif yang mapan. Dalam pandangan orang-orang puritan, seorang
pemimpin yang adil adalah pemimpin yang memberlakukan hukum Tuhan. Raja
harus memenuhi syarat-syarat yang ketat berkaitan dengan karekter, kesalehan,
dan pengetahuan agamanya. Dengan demikian, dia akan sanggup memahami
hukum Tuhan. Pemimpin dan itu harus menerapkan perintah al-Qur’an yaitu
bermusyawarah dengan orang berilmu dan saleh, pemimpin itu akan memilih
tindakan yang tepat.29
Namun hal yang menarik dari kaum puritan adalah mereka sedikit sekali
berbicara tentang jaminan prosedural macam apa yang akan mereka buat untuk
memastikan bahwa pemimpin yang terpilih itu tetap adil, baik, atau bahkan saleh.
Demikian pula, sangat sedikit dibahas ukuran-ukuran yang dipakai untuk
jelasnya liht Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:
UI Press, 1990), 1-2. Khaleed Abou Fadl, Selamatkan Islam, ibid., 236
27
Untuk lebih jelasnya lihat Munawir Syadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta:
paramadina, 1997), h. 19 dan bandingkan dengan Gregory Rose”Velayat-e Faqih and the Recovery
Islamic Identity”, dalam Nikki R. Keddie (ed.). Religion and Politics in Iran; Shi’ism from
Quitiesm (London: Yale Univercity Press, 1983), 183
28
Khaleed Abou el-Fadl, Selamatkan Islam, 239
29
ibid, h. 239
9
memastikan bahwa pemimpin itu akan betul-betul mematuhi undang-undang
dalam yurisprudensi Islam dan tidak secara vulgar menyelewengkan mandatnya.
Akan tetapi orang-orang puritan mengandaikan bahwa sepanjang lembaga
konsultatif menunjuk seorang penguasa yang sangat saleh, kesalehan akan cukup
mampu mengendalikannya. 30
Kaum puritan memberikan kekuasaan kepada negara, yang pada
kenyataannya, belum pernah ada dalam sejarah Islam. Negara di era modern
mampu memobilisasi kekuasaan yang berlimpah dan memaksakan kehendak di
dalam kehidupan rakyat dengan cara yang tidak terbayangkan di era pra modern.
Kaum puritan menggunakan menggunakan kekuasaan besar untuk menjalankan
apa yang mereka yakini sebagai kehendak Tuhan. Dengan menjalankan hukum
Tuhan, keadilan akan tertegakkan karena diyakini orang-orang puritan yakin
bahwa konsep hak asasi manusia itu sendiri adalah komponen lain dari invasi
intelektual Barat. Dengan memberlakukan hukum-hukum Tuhan, orang-orang
puritan percaya, hak-hak Tuhan dan hak-hak manusia terpenuhi dengan baik.31
Menurut kaum puritan bahwa saat ini tidak ada satupun negara Islam yang
betul-betul Islam. Semua pemerintahan Muslim saat ini tidaklah sah karena
diantaranya mereka menerapkan hukum yang ada pada aslinya adalah hukum
Prancis atau Inggris. Karena itulah, orang-orang puritan meyakini bahwa
pemerintah sekarang harus digulingkan, ketika sarana untuk melakukannya telah
tersedia. Inilah salah satu perbedaan antara kaum puritan dan konservatif.
Walaupun kaum konservatif benar-benar yakin bahwa negara Islam harus
mempraktikkan hukum Tuhan. Mereka juga pada umumnya menolak penggunaan
kekerasan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan mereka, sementara orang-orang
puritan memeluk ideologi kekerasan.32
Catatan Terhadap Pemetaan Khaleed Abou el Fadl Mengenai Pandangan
Kaum Moderat dan Puritan Tentang HAM dan Demokrasi.
Dari pemetaan yang dilakukan oleh Khaleed Abou Fadl tentang pandangan
kaum moderat dan kaum puritan mengenai konsep hak asasi manusia dan
demokrasi merupakan sebuah potret dari tanggapan orang-orang Islam terhadap
konsep hak asasi manusia dan sistem demokrasi yang menurut sebagian orang
Islam penuh dengan kontroversial, tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan
merupakan salah satu propaganda Barat untuk menjajah Islam.
Dari hasil pemetaannya terhadap dua kelompok tersebut Khaleed Abou
Fadl nampaknya “berat sebelah” dalam membahas argumentasi yang diberikan
oleh kaum puritan. Khaleed Abou Fadl tidak melakukan sebuah sintesis terhadap
kedua pendapat yang dikemukakan baik oleh kalangan moderat maupun kaum
puritan sehingga apa yang telah dikemukakan tidak terlalu bias ataupun subyektif.
30
Ibid
Bagaimana visi Islam tentang hak-hak asasi manusia telah tenggelam dalam tradisinya
dan disebabkan oleh literalisme yang kelewatan dan kekuasaan yang dispotik lihat Roger Garaudy,
Hak-hak Asasi dan Islam; Ketegangan Visi dan Tradisi, terj. Abas aL-Jauhari, Islamika, (OktoberDesember 1993), 2.
32
Khaleed Abou Fadl,Selamatkan Islam, 240
31
10
Dalam masalah hak-hak asasi manusia Khaleed Abou Fadl sama sekali
tidak menyuguhkan pendapat dari kelompok puritan. Hal ini bisa dimaklumi
karena kaum puritan menolak prinsip hak-hak asasi manusia yang dikemukakan
oleh PBB secara keseluruhan. Mereka beranggapan bahwa nilai-nilai HAM yang
datang dari Barat mengandung unsur bias etnosentris yang merepresentasikan
nilai sosio kultural Judeo-Kristen masyarakat Barat dan mereka tidak menerima
kalau HAM diklaim sebagai satu-satunya standarhukum internasional modern
yang bersifat universal sehingga dapat diterima dinegara mana saja dan kapan
saja.
Untuk konsep demokrasi kalau boleh dikatakan bahwa bias ideologis
Abou Fadl sangat kentara, hal ini bisa dilihat dari analisis yang tajam dan
mendalam ketika mengkritisi argumentasi yang dikemukakan oleh kaum puritan,
sedangkan untuk kaum moderat sebaliknya. Khaleed Abou Fadl cenderung
melakukan “pembiaran” terhadap argumentasi yang kurang jelas dari kaum
moderat seperti konsep ijma’ yang dikemukakan oleh mereka dalam menopang
ide demokrasi, Khaleed Abou Fadl tidak menjelaskan secara detail dari pandangan
kaum moderat tentang maksud, tujuan, dan konsep ijma’ seperti apa yang akan
diterapkan dalam menopang ide demokrasi yang mereka gagas. Padahal, pada
dasarnya konsep ijma’ tidak pernah terlaksana dan dilaksanakan dalam sejarah
Islam. Jika ijma’ yang dimaksudkan adalah kesepakatan seluruh umat Islam yang
ada pada suatu negara tersebut, maka mustahil konsep ini dilaksanakan oleh
negara manapun. Namun jika yang dimaksudkan adalah ijma’ dari sekumpulan
wakil yang ditunjuk oleh masyarakat (parlemen) maka hal itu bisa dilaksanakan.
Begitu juga dengan konsep syuro, Khaleed tidak melakukan sebuah
kompromi atau sintesa terhadap dua pendapat tersebut, Khaleed cenderung
menelanjangi konsep yang dikemukakan oleh kaum puritan ketimbang melakukan
sebuah sintesis. Padahal, sebagai sebuah konsep, syuro dalam Islam tidak berbeda
dengan demokrasi. Baik syuro maupun demokrasi muncul dari anggapan bahwa
pertimbangan kolektif (collective liberation) lebih mungkin melahirkan hasil yang
adil dan masuk akal bagi kebaikan bersama daripada pilihan individual. Kedua
konsep tersebut mengasumsikan bahwa pertimbangan mayoritas cenderung lebih
komprehensif dan akurat ketimbang penilaian minoritas. Dengan demikian
keduanya menjalankan aturan masyarakat melalui penerapan hukum bukannya
aturan-aturan individual atau keluarga dengan keputusan yang otokratis.
Pada dasarnya demokrasi dan syuro tidaklah jauh berbeda secara konsep
dan prinsip, meskipun keduanya mungkin berbeda dalam rincian penerapannya
disesuaikan dengan adat-kebiasaan lokal setempat. Keduanya menolak
pemerintahan apapun yang mengurangi legitimasi pemilihan yang bebas, diktator,
lalim, kejam dan tidak pro rakyat. Begitu juga logika demokrasi dan syuro tidak
menyetujui undang-undang keturunan. Kemerdekaan dan kompetensi tidak bisa
dimonopoli oleh beberapa individu atau keluarga.
Catatan Akhir
Pemetaan yang dilakukan oleh Khaleed Abou Fadl terhadap kedua
kelompok tersebut tentang sikap mereka terhadap HAM dan demokrasi
merupakan sebuah produk modernitas dan sekaligus juga merupakan respon
11
terhadap modernitas. Dari hasil pemetaannya, terdapat dua kutub besar yang
berlawanan dalam merespon masalah hak asasi manusia dan demokrasi yang
kemudian dia sebut dengan istilah kaum moderat dan kaum puritan.
Dalam pandangan Abou Fadl ada skisma antara Muslim moderat dan
kelompok puritan dalam Islam. Baik yang moderat maupun puritan sama-sama
mengklaim diri mereka sebagai representasi dari “Islam” yang paling benar dan
otentik. Keduanya yakin bahwa mereka merepresentasikan pesan Ilahi yang
berakar di dalam al-Quran dan hadits khususnya terkait dalam masalah hak asasi
manusia dan demokrasi.
Kaum moderat mengatakan bahwa dalam banyak hal, termasuk dalam
gagasan-gagasan kemanusiaan seperti yang terkandung dalam hak hak asasi
manusia yang di deklarasikan oleh PBB, antara Islam dan Barat memiliki banyak
kesamaan dan kesesuaian. Sedangkan menurut kaum puritan sebaliknya. Hak
asasi manusia yang dicetuskan oleh PBB merupakan sebuah alat propaganda
Barat untuk menjajah dunia Islam dan isinya berasal dari tradisi judeo-kristiani.
Untuk masalah demokrasi, kaum puritan mengatakan bahwa demokrasi
adalah temuan orang Barat. Selain itu orang-orang puritan bersikukuh pada
perlunya penciptaan kembali lembaga khalifah sebagai landasan sistem
pemerintahan Islam tentunya dengan prinsip musawarah (
). Dengan ini
mereka membayangkan model yang dibangun oleh keempat khulafa’ al
,
yang memegang kekuasaaan setelah meninggalnya Nabi.
Sedangkan kaum moderat mengatakan bahwa prinsip demokrasi sudah
dipraktekkan dalam Islam pada masa Rasul. Menurut mereka, al-Qur’an dengan
jelas memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan semua urusannya lewat
musyawarah (
). Orang-orang moderat membaca ayat ini sebagai perintah
Tuhan yang menandaskan kembali tidak dibenarkannya penindasan dan
kesewenangan. Pengambilan keputusan harus tidak oleh orang atau elit despotik.
Sebaliknya, umat Islam harus menemukan cara untuk menetapkan keputusan
sebagai hasil dari interaksi demokratis diantara banyak orang.
Baik kaum moderat dan kaum puritan dalam pandangan Abou Fadl.
mengidentifikasi dan menggambarkan realitas pemikiran Islam yang ada
belakangan ini. Tujuannya adalah menegaskan bahwa ada skisma yang sudah
hidup dalam Islam antara muslim moderat dan kelompok yang dia sebut sebagai
muslim puritan. Baik yang moderat dan puritan mengklaim diri sabagai
representasi Islam yang benar dan otentik. Keduanya sama-sama ingin
sepenuhnya tersambung dengan Tuhan dan tidak ingin menjalani hidupnya di
muka bumi tanpa bimbingan Tuhan.
12
DAFTAR PUSTAKA
Al Rayis, Muhammad Dhiya al, Alalal(Mesir,
Maktabah al Anjlu, 1957)
Al-Maudadi, Abul A’la, et al. Esensi Al-Qur’an Filsafat Politik, Ekonomi, Etika.(
Mizan: Bandung, 1984)
Al-Mawardi, Abu Hasan, Alal, (Beirut: Darl al Kutub al‘Ilmiyah, tt),
Anshari Tayyib (ed.) HAM dan Pluralisme Agama (Surabaya: PKSK, 1997)
Baderin, Mashood A., International Human Rights And Islamic Law (London:
Oxford University Press, 2003)
Dwyer, Kevin, Arab Voice; Human Rights Debate in the Middle East (Barkerley:
Univercity of California, 1991)
El Fadl, Khaleed Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta,
Serambi, 2005)
Esposito, John L., Ancaman Islam Mitos Atau Realitas, terj. Alwiyah
Abdurrahman dan MISSI. (Bandung: Mizan, 1994)
Garaudy, Roger, Hak-hak Asasi dan Islam; Ketegangan Visi dan Tradisi, terj.
Abas aL-Jauhari, Islamika, (Oktober-Desember 1993)
Khallaf, Abdul Wahhab, Al
al-Shar’iyyah, terj. Zainuddin Adnan.
(Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994)
--------, ‘Abd Wahhab, ‘Ilm
al-Fiqh (Kuwait: Darl al-Qalam, tt)
Latif, Yudi, Tafsir Sosiologis Atas Piagam Madinah, dalam Fajar Riza Ul Haq
dan Endang Tirtana (ed.). Islam, HAM, dan Keindonesiaan (Jakarta: Ma’arif
Institute for Culture and Humanity, 2007)
Mayer, Ann Elizabeth, Islam Tradition and Politics Human Rights, (Westview
Press, 1995), h. 2.
-------,Islam and Human Rights, Tradition dan Politics (London: Pinter
Publishers, 1995),
Nasution, Harun, dan Bachtiar Efendi (ed.). Hak Asasi Manusia dalam Islam
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1978)
Nashr, Seyyed Hossein, Islamic Life and Thought (New York: State Univercity of
New York Press, 1992)
Syadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran
(Jakarta: UI Press, 1990)
-------, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: paramadina, 1997)
Syihab, Alwi, Islam inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama, (Bandung:
Mizan, 1999)
Rahman, Fazlur, “Implementation of The Concept of State in Pakistani Milieu”,
Islamic Studies, No. 6. (September 1967)
Rosseou, J.J., Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hukum Politik, terj. Ida
Sundari Husen dan Hidayat (Jakarta: Dian Rakyat, 1989)
Rose, Gregory, ”Velayat-e Faqih and the Recovery Islamic Identity”, dalam Nikki
R. Keddie (ed.). Religion and Politics in Iran; Shi’ism from Quitiesm
(London: Yale Univercity Press, 1983)
13
                                            
                PERSPEKTIF KAUM MODERAT DAN KAUM PURITAN
(PEMETAAN KHALEED ABOU EL FADL TERHADAP RESPON DAN
PANDANGAN INTELEKTUAL MUSLIM)
Rendra Khaldun
Pengantar
Beberapa dekade terakhir ini masalah demokrasi dan hak asasi manusia
merupakan bahan diskusi yang masih hangat di berbagai pelosok dunia baik oleh
orang Muslim sendiri maupun non-Muslim karena dikatakan “bertentangan”
dengan keyakinan Islam, bahkan Islam dikatakan sebagai sebuah ancaman bagi
non Islam yang oleh orang-orang Barat dicap sebagai agama yang anti demokrasi
dan tidak toleran.1
Sebagian pemimpin gerakan-gerakan Islam menentang demokrasi ala
Barat dan sistem pemerintahan parliamenter. Reaksi negatif mereka semakin
menjadi bagian dari penolakan umum terhadap pengaruh kolonial Eropa, tindakan
mempertahankan Islam agar semakin tidak tergantung kepada Barat, yang
menurut sebagian orang Islam bukan merupakan penolakan total terhadap
demokrasi. Bahkan dalam dekade-dekade belakangan, banyak Muslim menerima
gagasan demokrasi namun mereka berselisih mengenai makna demokrasi yang
tepat. Begitu juga sebaliknya, tidak sedikit dari para tokoh-tokoh gerakan Islam
yang menolak demokrasi menjadi salah satu bentuk pemerintahan karena berasal
dari Barat dan dijadikan sebagai salah salah satu propaganda Barat terhadap dunia
Islam.
Ada perbedaan antara paham demokrasi Barat dan tradisi Islam. Semakin
ditekannya liberalisasi politik, elektrolal politik, dan demokratisasi tidak berarti
menyiratkan diterimanya secara tidak kritis bentuk-bentuk demokrasi Barat.
Argumen yang lazim terdengar adalah bahwa Islam memiliki atau dapat
melahirkan bentuk-bentuk demokrasi khasnya sendiri dimana kedaulatan rakyat
dikukuhkan dalam keseimbangan yang harmonis yang mampu melahirkan banyak
bentuk dan konfigurasi.
Isu hak asasi manusia juga memunculkan serangkaian permasalahanan
yang serupa. Hak asasi manusia (HAM) merupakan suatu hal yang fundamental,
sensitif, dan kontroversial.2 Selama beberapa dekade, isu-isu hak asasi manusia
telah menjadi perdebatan menarik di kalangan pemikir modern baik di bidang
politik maupun hukum. Hal ini berdasar kepada kecenderungan munculnya isu-isu
hak asasi manusia bukan hanya dipengaruhi oleh anasir-anasir politik dan hukum
melainkan juga agama dan budaya.3 HAM yang dideklarasikan oleh badan
1
John L. Esposito, Ancaman Islam Mitos Atau Realitas, terj. Alwiyah Abdurrahman dan
MISSI. (Bandung: Mizan, 1994), 35
2
Pasal-pasal kontroversial dalam UDHR menurut sebagian masyarakat Muslim lihat,
Anshari Tayyib (ed.) HAM dan Pluralisme Agama (Surabaya: PKSK, 1997), 241
3
Secara politis negara–negara Barat sering mengangkat isu ini untuk dapat mengintervensi negara
yang menurut mereka belum memberikan perlindungan maupun pelaksanaan hak–hak asasi sesuai
0
tertinggi dunia pada 10 Desember 1948 yang dikenal dengan “The Universal
Declaration of Human Rights” atau UDHR (Deklarasi Semesta tentang Hak Asasi
Manusia) yang terdiri dari 30 pasal, ternyata belum dapat mengakomodasi
keinginan semua bangsa-bangsa di dunia yang amat beragam latar belakang
budaya dan agamanya (terutama agama Islam).
Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki oleh setiap orang sesuai
dengan kondisi yang manusiawi. Oleh karena itu hak asasi manusia selalu
dipandang sebagai sesuatu yang mendasar, fundamental, dan penting sehingga
banyak pendapat yang mengatakan bahwa hak asasi manusia adalah sebuah “
kekuasaan sekaligus keamanan” yang dimiliki oleh setiap individu.4
Alwi Shihab mengatakan, bahwa hak-hak asasi manusia dalam Islam
bersifat teosentris, yakni bertujuan untuk dan bersumber dari Tuhan, sebaliknya
HAM menurut pandangannya, lebih bersifat antroposentris, yakni lebih terfokus
hanya pada manusia itu sendiri, HAM dalam perspektif kedua menempatkan
manusia dalam suatu setting dimana hubungannya dengan Tuhan sama sekali
tidak disebut, hak-hak asasi manusia dimulai sebagai perolehan alamiah sejak
kelahiran. Perbedaan persepsi tentang manusia, hak-hak berikut nasibnya
merupakan salah satu sebab utama yang memicu konflik antara dunia Barat
sekuler dan Islam.5
Islam menempatkan Hak-hak manusia sebagai konsekuensi dari
pelaksanaan kewajiban terhadap Allah. HAM menurut pandangan Barat sekuler
adalah ekspresi kebebasan manusia yang terlepas dari ketentuan Tuhan, agama,
moral, atau kewajiban metafisika. Dalam Islam, ekspresi kebebasan manusia
harus ditempatkan dalam kerangka keadilan, kasih sayang dan persamaan
kedudukan di mata Tuhan.6
Memang, hak-hak yang didaftar dalam Risalah Deklarasi Internasional
cenderung bervariasi sekali. Misalnya dokumen-dokumen internasional ini
berbicara tentang hak individu atas kebebasan menyampaikan nurani dan
keyakinan, kebebasan berbicara, hak atas privasi, tetapi dokumen-dokumen itu
juga berbicara tentang hak atas tempat tinggal, hak atas makanan dan gizi yang
cukup, dan hak liburan dan cuti wanita (haid, hamil, dan sebagainya). Musykil
kiranya jika kita mendiskusikan setiap item yang tertera dalam deklarasi tersebut.
Tulisan ini mencoba memusatkan perhatian pada persoalan pemetaan
Khaleed Abou el Fadl terhadap pandangan kaum moderat dan puritan mengenai
hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang dianggap sebagai suatu konsep
kontroversial.
srandart internasional.untuk lebih jelasnya lihat. Mayer Ann Elizabeth, Islam Tradition and
Politics Human Rights, (Westview Press, 1995), 2.
4
Untuk lebih jelasnya lihat Harun Nasution dan Bachtiar Efendi (ed.). Hak Asasi Manusia
dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1978), h. 14
5
Alwi Syihab, Islam inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama, (Bandung: Mizan,
1999) h. 179
6
Alwi Shihab, Ibid..,h. 179
1
Terminologi Moderat dan Puritan Dalam Perspektif Khaleed Abou El Fadl
Terminologi moderat di derivikasi dari beberapa riwayat
Nabi tatkala
dihadapkan pada dua pilihan ekstrim. Nabi selalu dilukiskan sebagai sosok
moderat yang cenderung menolak terjatuh pada kutub ekstrim. Orang-orang yang
dinamai kelompok moderat sudah secara beragam digambarkan sebagai kelompok
modernis, progressif, dan reformis. Namun menurut Khaled Abou Fadl tak ada
satupun dari istilah-istilah tersebut bisa menggantikan kata moderat.
Istilah modernis mengisyaratkan pada suatu kelompok yang berusaha
mengatasi tantangan modernitas, sementara yang lain bersikap reaksioner seperti
ingin kembali ke masa lalu. Banyak kalangan moderat mengklaim diri
merepresentasikan diri sebagai Muslim sejati dan autentik. Namun dalam hal lain,
mereka menegaskan bahwa mereka tidak mengubah agama. Sebaliknya mereka
berupaya mengajak umat Islam kembali ke keyakinan orisinal mereka. Namun
satu hal yang pasti bahwa istilah moderat lebih tepat menggambarkan pendirian
keagamaan mayoritas umat Islam dibandingkan reformis dan progresif.
Sedangkan term puritan sudah dideskripsikan oleh beragam penulis dengan
istilah fundamentalisme, militan, ektrimis, radikal, fanatik, jahidis, dan bahkan
cukup dengan istilah islamis. Khaleed Abou Fadl lebih suka menggunakan term
puritan didasarkan dari ciri yang menonjol kelompok ini dalam hal keyakinannya
menganut faham absolutisme yang tak kenal kompromi. Dalam banyak hal
orientasi kelompok ini cenderung menjadi puris, dalam arti ia tidak toleran
terhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang realitas
pluralis sebagai suatu bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.7
Istilah fundamentalis menurutnya adalah sebuah istilah yang sangat
problematis untuk disandingkan dengan kata Islam. Menurutnya semua kelompok
dan organisasi Islam menyatakan setia menjalanjan ajaran-ajaran fundamental
Islam. Bahkan gerakan paling liberal pun akan menegaskan bahwa cita-cita dan
pendirian mereka merepresentasikan ajaran-ajaran iman secara lebih baik. Istilah
fundamentalis sangat tidak pas untuk konteks Islam karena dalam bahasa Arab
istilah tersebut dikenal dengan nama “
” yang berarti seseorang yang
bersandar pada hal-hal yang bersifat pokok dan mendasar. Jadi ungkapan
“fundamentalisme Islam” akan memunculkan mispersepsi yang tak bisa dihindari
bahwa hanya kelompok fundamentalis saja yang penafsiran mereka bedasarkan alQur’an dan al.
Sedangkan istilah ekstrimis, fanatis, dan radikal benar-benar menawarkan
alternatif yang masuk akal. Yang pasti, Taliban dan al-Qaeda adalah ekstrimis,
fanatis, dan radikal. Secara kebahasaan, ekstrimis adalah lawan kata moderasi.
Dengan mencerrmati kelompok ini dalam kaitannya dengan pelbagai isu,
tampaklah bahwa mereka secara konsisten dan sistematis menganut absolutisme,
berfikir dikotomis, dan bahkan idealistik. Pada isu tertentu, sebagaimana mereka
menafsirkan warisan Nabi dan para sahabat, kelompok ini cenderung menganut
absolutisme, kaku, dan puritan, tidak ekstrimis atau radikal. Dengan kata lain,
kelompok-kelompok yang disebutkan diatas tidak selalu dalam setiap isu fanatik,
7
Khaleed Abou El Fadhl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi,
2005), 29.
2
radikal atau ekstrimis, tetapi mereka selalu puritan. Karena ciri khas dari
pemikiran mereka adalah bahwa mereka menganut absolutisme dan menuntut
adanya kejelasan dalam menafsir teks, bukan watak fanatik, radikal atau
ekstrimis.8
Pemetaan Khaleed Abou Fadl Terhadap Pandangan Kaum Moderat Tentang
HAM
HAM dan demokrasi merupakan konsep yang yang sangat sensitif,
kontroversial, dan debatable dalam diskursus keislaman. Disatu sisi, kedua
konsep tersebut membawa implikasi positif bagi keberlangsungan hidup
masyarakat di dunia dan disatu sisi hal tersebut dipandang diskriminatif oleh yang
lainnya khususnya oleh umat Islam. Khaleed Abou Fadl mencoba melakukan
pemetaan terhadap respon dan pandangan umat Islam terhadap kedua konsep ini
yang dia bagi menjadi dua kelompok besar yakni kaum moderat dan kaum
puritan.
Tentang hak-hak asasi manusia, banyak Muslim moderat sangat skeptis
terhadap pandangan yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah konsep
universal yang keliru atau HAM adalah merupakan praktik khas Barat dan tidak
sesuai atau tidak pas dengan budaya lain dimanapun.9 Di balik klaim-klaim seperti
itu, tersembunyi suatu etnosentrisme tertentu karena mereka sama saja
mengatakan bahwa masyarakat non Barat pada dasarnya tidak sanggup hidup
dibawah sistem pemerintahan non demokrasi yang dibatasi oleh aturan hukum,
dan juga tidak sanggup memahami atau menghargai hak-hak asasi manusia.
Muslim moderat percaya bahwa mengupayakan penghargaan dan
penegakan hak-hak asasi manusia sebagai tujuan etis yang hendak dicapai
merupakan perkara prinsip moral yang mendasar, dan jauh dari konsep universal
yang keliru.10 Muslim moderat juga percaya bahwa sementara bisa sangat tidak
jujur untuk berlagak bahwa hukum Islam menawarkan daftar hak-hak asasi
manusia yang siap pakai, hak-hak asasi manusia sebagai sebuah konsep dan
demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan benar-benar bisa dipertemukan
dengan teologi hukum Islam. Sejumlah kaum moderat bahkan melangkah lebih
jauh lagi dan berpendapat bahwa tak hanya Islam dan demokrasi serta hak-hak
asasi manusia bisa dipertemukan, melainkan bahwa Islam memerintahkan dan
menuntut sebuah sistim pemerintahan yang demokratis.
Dibangun berdasarkan tradisi Islam, kaum moderat mengemukakan bahwa
minimal semua manusia mempunyai hak akan harga diri dan kebebasan.
Keyakinan orang-orang moderat terhadap demokrasi dan hak-hak asasi manusia
diawali dengan premis bahwa penindasan adalah pelecehan besar-besaran
terhadap Tuhan dan manusia. Al-Qur’an mendeskripsikan para penindas sebagai
perusak bumi dan juga menggambarkan penindasan sebagai bentuk penghinaan
8
Ibid., 31
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights, Tradition dan Politics (London: Pinter
Publishers, 1995), 8-9
10
Berbagai tanggapan pro dan kontra tentang HAM dalam Islam dan dunia Arab lihat
Kevin Dwyer, Arab Voice; Human Rights Debate in the Middle East (Barkerley: Univercity of
California, 1991), 8-9
9
3
terhadap Tuhan. Dalam pemikiran moderat, diakui bahwa semua manusia berhak
atas harga diri. Al-Qur’an dengan jelas menganugerahkan harga diri pada setiap
manusia.11
Terkait dengan kebebasan dan persamaan hak antar sesama manusia kaum
moderat mengatakan bahwa diperbudak dan ditundukkan oleh manusia pada
dasarnya tidak selaras dengan kewajiban untuk tunduk kepada Tuhan tanpa syarat.
Sesungguhnya al-Qur’an mengundang umat Islam dan kaum non Muslim untuk
menciptakan sebuah konsensus diantara mereka untuk menyembah Tuhan semata
dan tidak memperlakukan satu sama lain sebagai Tuhan. Bagi orang-orang
moderat, ayat ini memancangkan sebuah prinsip mendasar dan krusial bahwa
manusia semestinya tidak mendominasi satu sama lain. Satu-satunya ketundukan
yang bernilai etis adalah ketundukan kepada Tuhan, sedangkan ketundukan
manusia dihadapan manusia lain tak lain adalah sebentuk penindasan. Diskursus
al-Qur’an ini merangsang umat Islam dan kaum non Muslim untuk menemukan
sebuah tatanan yang dapat menjadi acuan bagi mereka untuk tidak saling
mendominasi.12
Dalam tradisi Islam, keadilan adalah sebuah nilai inti dan mendasar. Para
sarjana klasik menekankan keadilan sebagai kewajiban Islam sampai-sampai
sebagian dari mereka berpendapat bahwa dimata Tuhan, masyarakat non Muslim
yang adil lebih baik nilainya dibandingkan masyarakat Muslim yang tidak adil.
Para sarjana klasik lainnya mengemukakan bahwa ketundukan sejati kepada
Tuhan adalah mustahil adanya bila ketidakadilan merambah dimana-mana
ditengah-tengah masyarakat.
Landasan keadilan adalah memberikan hak kepada setiap orang. Keadilan
yang sempurna berarti mencapai keseimbangan yang juga sempurna antara
kewajiban dan hak. Orang-orang moderat berfikir bahwa penegakan keadilan
menuntut umat Islam untuk harus berupaya membangun suatu sistem politik yang
paling berpeluang menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam
masyarakat. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa pencapaian keadilan mewajibkan
umat Islam untuk menemukan suatu sistem yang memungkinkan umat setiap
orang untuk menemukan akses terhadap kekuasaan dan institusi dalam masyarakat
yang bisa membenahi ketidakadilan dan melindungi orang dari penindasan.
Al-Qur’an dan almemperjelas bahwa manusia punya hak atas
pemerolehan hak-hak dan perlindungan di dalam hidup. Dalam tradisi
yuriprudensi Islam, para sarjana klasik telah menyusun skema hak asasi manusia
berdasarkan apa yang disebut sebagai “kepentingan yang terlindungi” yang ada
pada diri manusia. Para sarjana klasik mendefinisikan lima kepentingan yang
terlindungi adalah kehidupan, akal, keturunan, reputasi, dan harta. Karena itulah,
11
Untuk lebih jelasnya lihat Mashood A. Baderin, International Human Rights And
Islamic Law (London: Oxford University Press, 2003), 13.
12
Pada masalah-masalah tertentu hal ini dapat dilaksanakan dengan baik seperti masalah
persamaan hak di depan hukum, namun dalam hal lain seperti masalah kebebasan akan sangat sulit
untuk mencari titik temu diantara keduanya karena antara Islam dan Barat berasal dari budaya dan
karakter yang berbeda. Untuk lebih jelasnya lihat Seyyed Hossein Nashr, Islamic Life and Thought
(New York: State Univercity of New York Press, 1992), 16. Khaleed Abou Fadl, Selamatkan
Islam, 223
4
sistem politik dan hukum Islam harus melindungi dan memperjuangkan kelima
hak terlindungi tersebut.13
Demi meningkatkan fungsi dan perlindungan yang diberikan lima
kepentingan itu para sarjana klasik menyusun tiga kategorisasi, dengan
menegaskan bahwa isu-isu yang terkait dengan semua kepentingan yang
terlindungi itu bisa dibagi ke dalam kategori
, (kemendesakan yang
mendasar atau kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan mendasar atau kebutuhan
sekunder), dan tahsiniyat (kemewahan atau kebutuhan tersier).
terdiri atas sesuatu yang mendasar dan esensial bagi
kelangsungan dan perlindungan kepentingan atau hak-hak diatas. Dharuriyyat
adalah segala sesuatu yang bila tidak tersedia akan menjadikan kepentingan atau
hak-hak diatas tidak bisa terlindungi sama sekali.
Hajjiyat berada sedikit di bawah level
, hajjiyat atau kebutuhan
sekunder adalah segala sesuatu yang sangat penting bagi perlindungan
kepentingan atau hak yang dimaksud, tetapi tidak sedemikian darurat. Tidak
seperti
, jika
tidak terpenuhi, maka kepentingan atau hak
tersebut masih bisa terlindungi, meskipun sangat melemah.
Tahsiniyyat merupakan kebutuhan yang tidak mendesak dan tidak juga
sangat penting bagi perlindungan kepentingan atau hak. Sebaliknya, jika terpenuhi
tahsiniyyat akan menyempurnakan dijalankannya kepentingan atau hak tersebut.14
Para sarjana klasik tidak mendefinisikan apa yang secara pasti menentukan
sesuatu sebagai
, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Akan tetapi pada prinsipnya,
mereka berupaya membedakan antara hal-hal yang harus dijamin pemenuhannya
bagi orang, sebab hal tersebut sangat esensial dan menjadi sendi kehidupan yang
sehat, terhormat, dan bermartabat. Para sarjana klasik berpendapat bahwa apa
, hajjiyat, dan tahsiniyyat
yang seyogyanya dipandang sebagai
bergantung pada setiap generasi muslim untuk mengeksplorasi dan
menentukannya, sesuai dengan tuntunan lingkungan yang bergeser dari waktu
yang berubah.
Menurut teori klasik, masyarakat yang berkesederajatan dan adil akan
memberlakukan dharuriyyat sebagai suatu yang sangat khusus dan tidak kenal
kompromi. Sebuah masyarakat yang bisa melindungi hajiyyat manusia,
melengkapi
, akan dipandang lebih adil dan berkesederajatan. Akhirnya
sebuah masyarakat yang bisa memberikan tahsiniyyat kepada manusia,
melengkapi perlindungan terhadap
dan hajiyyat, akan menjadi
15
masyarakat yang paling adil dan berkesedarjatan.
Kaum moderat ingin membangun tradisi bernilai ini dengan mencoba
memancangkan apa saja yang mendesak untuk diperjuangkan oleh manusia, dan
juga mencoba untuk mengeksplorasi apa yang boleh jadi bukan sebuah
kemendesakan dalam hidup akan tetap dipandang cukup penting untuk berposisi
13
Lima bentuk perlindungan ini dapat dikatakan sebagai konsep atau teori tentang
perlindungan hak-hak asasi manusia dalam Islam. Term ini dikenal dengan istilah al-kulliyah al
khamsah atau maslahah al-mu’tabarah selanjutnya lihat ‘Abd Wahhab Khallaf, ‘Ilm
al-Fiqh
(Kuwait: Darl al-Qalam, tt) 200-201.
14
Khaleed Abou Fadl, Selamatkan Islam, 229
15
Ibid., 228-229
5
sebagai kebutuhan atau kemewahan. Kaum moderat berpendapat bahwa, minimal
perdebatan klasik mengenai
dan hajjiyyat seyogyanya diterjemahkan di
era modern menjadi hak-hak yang bisa bisa melindungi kepentingan individu.16
Tuhan dan manusia sama-sama memiliki hak. Akan tetapi mereka
berpendapat bahwa sementara hak-hak Tuhan akan ditetapkan di hari akhir
olehNya, hak-hak individu atau manusia harus dijaga dan ditegakkan oleh
manusia di muka bumi. Pada praktiknya, Tuhan akan peduli dengan hak-hakNya
di hari akhir, tetapi manusia harus peduli dengan hak-hak mereka dimuka bumi,
dengan mengakui hak asasi manusia dan melindungi kesucian hak-hak asasi
tersebut.17
Pemetaan Khaleed Abou Fadl Terhadap Pandangan Kaum Moderat dan
Puritan Tentang Demokrasi
Kaum moderat percaya bahwa ada beberapa konsep dan praktik lain dalam
warisan Islam yang mendukung prinsip demokrasi. Al-Qur’an dengan jelas
memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan semua urusannya lewat
musyawarah (shura). Orang-orang moderat membaca ayat ini sebagai perintah
Tuhan yang menandaskan kembali tidak dibenarkannya penindasan dan
kesewenangan. Pengambilan keputusan harus tidak oleh orang atau elit despotik.
Sebaliknya, umat Islam harus menemukan cara untuk menetapkan keputusan
sebagai hasil dari interaksi demokratis diantara banyak orang.18
Melengkapi prinsip musyawarah, ketika Nabi untuk kali pertama
memasuki kota Madinah, beliau menyusun sebuah konstitusi yang jelas
memaparkan kewajiban, tugas, dan hak-hak masing-masing kelompok suku (dan
juga orang-orang non muslim yang tinggal di Madinah) yang dikenal dengan
nama Piagam Madinah.19 Preseden sejarah ini memperkuat gagasan bahwa sistem
politik yang sah dalam Islam haruslah pemerintahan konstitusional.
Preseden atau kasus lain yang kerap dikutip dan dijadikan sandaran oleh
kaum moderat adalah dibentuknya lembaga perwakilan diawal sejarah Islam yang
dikenal dengan istilah ahl-hall wa al-‘aqd.20 Sebelum wafat, khalifah kedua,
Umar Ibn al-Khattab, menunjuk sejumlah tokoh dan tetua dan terkemuka yang
mewakili beragam komunitas di Negara Islam dan memberi mereka kekuasaan
16
Ibid., 230
Ibid., 224
18
Fazlur Rahman, “Implementation of The Concept of State in Pakistani Milieu”, Islamic
Studies, No. 6. (September 1967), 205. Lihat juga Khaleed Abou el Fadl, Selamatkan Islam, 230
19
Robert N. Bellah seperti yang dikutip oleh Yudi Latif juga menyebut sistem Madinah
sebagai bentuk nasionalisme yang egaliter partisipatif (equalitarian participant nationalism). Hal
ini berbeda dengan sistem republik negarakota Yunani kuno, yang membuka partisipasi hanya
kepada kaum lelaki merdeka, yang hanya meliputi 5 persen dari penduduk. Hal ini menunjukkan
bahwa apa yang telah dilakukan oleh Nabi merupakasn sebuah trobosan yang sangat modern
dalam sistem ketatanegaraan dunia khususnya Islam, untuk lebih jelasnya lihat Yudi Latif, Tafsir
Sosiologis Atas Piagam Madinah, dalam Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana (ed.). Islam,
HAM, dan Keindonesiaan (Jakarta: Ma’arif Institute for Culture and Humanity, 2007), 21
20
Al mawardi menamakan orang-orang yang dikelompokkan sebagai orang yang berhak
memilih kepala negara dengan istilah ahl al-ikhtiyar sedangkan ahl al-imamah adalah orang yang
dikelompokkan sebagai orang yang berhak dipilih menjadi pemimpin negara, untuk lebih jelasnya
al, (Beirut: Darl al Kutb al-‘Ilmiyah, tt), 6
lihat Abu Hasan al-Mawardi, Al17
6
untuk memerintah negara dalam periode transisi setelah ia wafat dan kemudian
juga memilih khalifah ketiga yang akan memimpin negara Muslim. Alasan
mereka dikatakan sebagai ahl-hall wa al-‘aqd adalah untuk menandai bahwa
sebagai wakil komunitas, mereka punya kekuasaan untuk membuat keputusan
yang mengikat pada komunitas itu.21
Terakhir, kaum moderat bertumpu pada konsep sensus (‘ijma), atau
persetujuan bersama dari sekelompok orang bahwa isu tertentu salah atau benar.
Kaum moderat telah mencoba menafsirkan kembali konsep konsensus untuk
menopang ide demokrasi yang ditentukan oleh kehendak mayoritas. Kaum
moderat berpendapat bahwa untuk tujuan memerintah suatu negara, kehendak
rakyat merepresentasikan kedaulatan politik, dan kehendak ini mengikat, dan
bersifat wajib. Selain itu mereka menegaskan bahwa pandangan-pandangan atau
atau suara setiap warga, muslim atau yang lain, seharusnya juga dipertimbangkan
dalam rangka mendapatkan kehendak mayoritas, sehingga nanti dapat
menggambarkan kehendak rakyat.22
Oleh sebab itu, kehendak mayoritas harus dihormati, tetapi dalam bingkai
parameter konstitusional; jika melanggar batas-batas konstitusional ini kehendak
mayoritas tidak akan dihargai. Dengan kata lain, kehendak mayoritas segera
dinyatakan sebagai tidak konstitusional. Beberapa orang moderat mengutarakan
bahwa parameter konstitusional seharusnya tidak dibatasi pada masalah hak-hak
individu, melainkan mencakup pula prinsip-prinsip etis dan moral Islam.
Konsekuensinya, jika mayoritas menghendaki sebuah undang-undang yang
berbenturan dengan prinsip etika dan moral Islam, maka undang-undang tersebut
akan dianggap inkonstituional.23
Ketika membincangkan tentang demokrasi, salah satu persoalan paling
sentral adalah isu kedaulatan yakni siapa yang memegang kedaulatan di dalam
sebuah sistem demokrasi? Pertanyaan ini terkait dengan pertanyaan siapa pemilik
otoritas puncak dan terakhir? Bagi beberapa orang moderat sudah menyuarakan
beberapa pendapat terkait dengan hal ini.24 Pertama, bahwa otoritas terakhir ada
pada Tuhan, dan dengan begitu Tuhanlah pemegang kedaulatan. Akan tetapi
Tuhan telah mendelegasikan otoritas total kepada manusia untuk menjalankan
urusan-urusan mereka sesuai dengan kehendak mereka. Tuhan menunda hakNya
untuk memberikan pahala atau menghukum siapa yang dikehendakinya kelak di
akhirat.
21
Ahl-Hall wa al-‘aqd diartikan sebagai orang-orang yang mempunyai wewenang
melonggar dan mengikat. Istilah ini telah dirumuskan oleh ulama fiqh untuk sebutan bagi orangorang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka dalam pemilihan.
alalUntuk lebih jelasnya lihat Muhammad Dhiya al-Din Al Rayis, AlIslamiyah (Mesir, Maktabah al Anjlu, 1957), 167-168. Khaleed Abou el Fadl, Selamatkan Islam,
231
22
Hal ini mirip dengan teori kedaulatan rakyat yang dikemukakan oleh J.J. Rosseou
Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hukum Politik, terj. Ida Sundari Husen dan Hidayat
(Jakarta: Dian Rakyat, 1989) , 102.
23
Khaleed Abou el-Fadl, Selamatkan Islam, 232-233
24
Dalam terminologi Barat hal ini disebut sebagai Teiori Kedaulatan Tuhan sedangkan Al
Maududi menyebutnya sebagai Teo Demokrasi. Lihat, Abul A’la Al-Maudadi, et al. Esensi AlQur’an Filsafat Politik, Ekonomi, Etika.( Mizan: Bandung, 1984) , 87.
7
Kedua, bahwa manusia adalah pemegang kedaulatan sepanjang
menyangkut hukum yang mengatur masalah-masalah manusia. Tuhan memegang
kedaulatan dalam hal-hal yang menyangkut hukum abadi. Karena tugas manusia
adalah mengatur hukum yang menyangkut masalah-masalah manusia, dan bukan
hukum abadi, manusia bebas mengatur sepanjang peraturan itu berupaya
mewujudkan nilai-nilai kebertuhanan di muka bumi (yaitu berupaya memenuhi
hukum abadi). Jika peraturan itu gagal menegakkan nilai-nilai kebertuhanan di
muka bumi, hukum semacam itu harus dinyatakan sebagai tidak konstitusional.25
Ketiga, mereka mengatakan bahwa manusia adalah pemegang kedaulatan
karena urusan-urusan Tuhan diserahkan kepada tuhan, dan urusan-urusan negara
diserahkan pada manusia dan nampaknya pendekatan terakhir ini lebih dekat
dengan pandangan sekuler.
Isu selanjutnya yang menjadi diskusi bagi kalangan moderat adalah peran
yang diharapkan dari hukum syari’at atau hukum agama di dalam sebuah sistem
demokrasi muslim. Isu terakhir ini terbukti sangat menantang, dan karena itu
mencuatlah begitu beragam pandangan. Pandangan-pandangan tersebut kemudian
dikelompokkan menjadi empat pandangan yakni:
Pertama, mereka menyatakan bahwa peraturan hukum seharusnya
ditentukan ditangan rakyat, kecuali untuk sekelompok peraturan hukum yang
bersifat inti yang dikenal dengan istilah
.
adalah sehimpunan hukum
yang secara eksplisit disebut dalam al-Qur’an. Hukum tersebut meliputi
seumpamanya, hukuman bagi bagi kasus zina dan pencurian. Walaupun
mencakup hukuman pidana yang keras, aspek kekerasan dalam hudud ini menjadi
terkurangi oleh kenyataan bahwa syarat pembuktian yang dibutuhkan untuk bisa
memberlakukan hukuman ini sangat detail dan banyak persyaratannya.
Kedua, beberapa orang moderat tidak mengamini pandapat di atas dan
berpendapat bahwa demokrasi islam seharusnya tidak berupaya menerapkan
bagian apapun dari huku Syari’at, dan bahwa satu-satunya hukum yang relevan
hukum yang dibuat oleh badan legislatif. Dalam pendekatan ini, syari’at berfungsi
sebagai panduan moral dan etika, tetapi rakyat secara keseluruhan seharusnya
menjadi sumber satu-satunya bagi proses legislasi.
Ketiga, mereka yang berpendapat bahwa dalam demokrasi Islam, badan
legislatif seharusnya memasukkan hukum apapun yang dipandangnya tepat.
Namun demikian, harus ada sebuah peradilan tertinggi yang bisa menghapus
setiap undang-undang yang tidak sejalan dengan al-Qur’an. Keempat, bahwa
undang-undang itu milik rakyat, dan dengan begitu badan legislatif harus bebas
menyetujui perundang-undangan yang mereka anggap tepat. Akan tetapi undangundang harus sesuai dengan standar moral dasar tertentu yang beroleh
inspirasinya dari syari’at. Perundang-undangan yang mencederai moral, bahkan
jika dikehendaki oleh sebuah badan legislatif, seharusnya dinyatakan tidak
konstitusional atau batal.26
25
Bandingkan dengan pembedaan kekuasaan yang dikemukakan oleh Khallaf dalam
Abdul Wahhab Khallaf, Al
al-Syar’iyyah, terj. Zainuddin Adnan, Politik Hukum Islam
(Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994) 42. Khaleed Abou el-Fadl, Selamatkan Islam, h. 234
26
Kendatipun dalam Islam, tidak terdapat sistem ketatanegaraan dalam artian teori
lengkap namun disana terdapat sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara, untuk lebih
8
Kemudian bagaimana dengan pandangan kaum puritan terhadap masalah
demokrasi ini? Menurut Khaleed Abou el Fadl, nyaris semua yang telah diuraikan
dimuka adalah merupakan perilaku bid’ah. Menurut orang-orang puritan bahwa
demokrasi adalah temuan orang Barat, dan ini cukup menjadi alasan untuk
menolaknya. Selain itu orang-orang puritan bersikukuh pada perlunya penciptaan
kembali lembaga khalifah sebagai landasan sistem pemerintahan Islam. Dengan
ini mereka membayangkan model yang dibangun oleh keempat khulafa’ al
, yang memegang kekuasaaan setelah meninggalnya Nabi. Orang-orang
puritan berusaha menciptakan apa yang mereka bayangkan sebagai replika sistem
pemerintahan yang dibangun oleh empat khalifah ini.27
Kenyataan yang gagal diakui oleh orang-orang puritan adalah bahwa para
khalifah itu tidak mengambil satu bentuk pemerintahan saja; sebaliknya setiap
mereka menerapkan kebijakan-kebijakan yang berbeda dan menciptakan institusi
yang berlainan. Dalam kenyataannya, para khalifah itu tidak merepresentasikan
suatu teori pemerintahan tertentu, melainkan sebuah institusi historis yang
berhasil menyatukan banyak umat Islam pada waktu yang berlainan di masa
silam. Intinya, khalifah menjadi suatu simbol kesatuan umat Islam tanpa serta
merta membentuk suatu model pemerintahan tertentu.28
Menurut orang-orang puritan, sistem pemerintahan yang tegak diera yang
diklaim sebagai masa keemasan khalifah adalah “sistem
”, yang ditegaskan
oleh orang-orang puritan sebagai lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
demokrasi Barat. Seperti yang disebut dimuka,
adalah konsep al-Qur’an
yang berarti pemerintahan atas dasar musyawarah. Akan tetapi anehnya, orangorang puritan berbicara seolah-olah ada teori pemerintahan yang utuh dan beda
”. Syura dalam pandangan orang-orang
sama sekali yang disebut dengan “
puritan adalah pemimpin despotik yang adil, bijak, dan saleh, yang menerapkan
hukum Islam dan memrintah dengan secara berkala merujuk kepada lembaga
konsultatif yang mapan. Dalam pandangan orang-orang puritan, seorang
pemimpin yang adil adalah pemimpin yang memberlakukan hukum Tuhan. Raja
harus memenuhi syarat-syarat yang ketat berkaitan dengan karekter, kesalehan,
dan pengetahuan agamanya. Dengan demikian, dia akan sanggup memahami
hukum Tuhan. Pemimpin dan itu harus menerapkan perintah al-Qur’an yaitu
bermusyawarah dengan orang berilmu dan saleh, pemimpin itu akan memilih
tindakan yang tepat.29
Namun hal yang menarik dari kaum puritan adalah mereka sedikit sekali
berbicara tentang jaminan prosedural macam apa yang akan mereka buat untuk
memastikan bahwa pemimpin yang terpilih itu tetap adil, baik, atau bahkan saleh.
Demikian pula, sangat sedikit dibahas ukuran-ukuran yang dipakai untuk
jelasnya liht Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:
UI Press, 1990), 1-2. Khaleed Abou Fadl, Selamatkan Islam, ibid., 236
27
Untuk lebih jelasnya lihat Munawir Syadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta:
paramadina, 1997), h. 19 dan bandingkan dengan Gregory Rose”Velayat-e Faqih and the Recovery
Islamic Identity”, dalam Nikki R. Keddie (ed.). Religion and Politics in Iran; Shi’ism from
Quitiesm (London: Yale Univercity Press, 1983), 183
28
Khaleed Abou el-Fadl, Selamatkan Islam, 239
29
ibid, h. 239
9
memastikan bahwa pemimpin itu akan betul-betul mematuhi undang-undang
dalam yurisprudensi Islam dan tidak secara vulgar menyelewengkan mandatnya.
Akan tetapi orang-orang puritan mengandaikan bahwa sepanjang lembaga
konsultatif menunjuk seorang penguasa yang sangat saleh, kesalehan akan cukup
mampu mengendalikannya. 30
Kaum puritan memberikan kekuasaan kepada negara, yang pada
kenyataannya, belum pernah ada dalam sejarah Islam. Negara di era modern
mampu memobilisasi kekuasaan yang berlimpah dan memaksakan kehendak di
dalam kehidupan rakyat dengan cara yang tidak terbayangkan di era pra modern.
Kaum puritan menggunakan menggunakan kekuasaan besar untuk menjalankan
apa yang mereka yakini sebagai kehendak Tuhan. Dengan menjalankan hukum
Tuhan, keadilan akan tertegakkan karena diyakini orang-orang puritan yakin
bahwa konsep hak asasi manusia itu sendiri adalah komponen lain dari invasi
intelektual Barat. Dengan memberlakukan hukum-hukum Tuhan, orang-orang
puritan percaya, hak-hak Tuhan dan hak-hak manusia terpenuhi dengan baik.31
Menurut kaum puritan bahwa saat ini tidak ada satupun negara Islam yang
betul-betul Islam. Semua pemerintahan Muslim saat ini tidaklah sah karena
diantaranya mereka menerapkan hukum yang ada pada aslinya adalah hukum
Prancis atau Inggris. Karena itulah, orang-orang puritan meyakini bahwa
pemerintah sekarang harus digulingkan, ketika sarana untuk melakukannya telah
tersedia. Inilah salah satu perbedaan antara kaum puritan dan konservatif.
Walaupun kaum konservatif benar-benar yakin bahwa negara Islam harus
mempraktikkan hukum Tuhan. Mereka juga pada umumnya menolak penggunaan
kekerasan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan mereka, sementara orang-orang
puritan memeluk ideologi kekerasan.32
Catatan Terhadap Pemetaan Khaleed Abou el Fadl Mengenai Pandangan
Kaum Moderat dan Puritan Tentang HAM dan Demokrasi.
Dari pemetaan yang dilakukan oleh Khaleed Abou Fadl tentang pandangan
kaum moderat dan kaum puritan mengenai konsep hak asasi manusia dan
demokrasi merupakan sebuah potret dari tanggapan orang-orang Islam terhadap
konsep hak asasi manusia dan sistem demokrasi yang menurut sebagian orang
Islam penuh dengan kontroversial, tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan
merupakan salah satu propaganda Barat untuk menjajah Islam.
Dari hasil pemetaannya terhadap dua kelompok tersebut Khaleed Abou
Fadl nampaknya “berat sebelah” dalam membahas argumentasi yang diberikan
oleh kaum puritan. Khaleed Abou Fadl tidak melakukan sebuah sintesis terhadap
kedua pendapat yang dikemukakan baik oleh kalangan moderat maupun kaum
puritan sehingga apa yang telah dikemukakan tidak terlalu bias ataupun subyektif.
30
Ibid
Bagaimana visi Islam tentang hak-hak asasi manusia telah tenggelam dalam tradisinya
dan disebabkan oleh literalisme yang kelewatan dan kekuasaan yang dispotik lihat Roger Garaudy,
Hak-hak Asasi dan Islam; Ketegangan Visi dan Tradisi, terj. Abas aL-Jauhari, Islamika, (OktoberDesember 1993), 2.
32
Khaleed Abou Fadl,Selamatkan Islam, 240
31
10
Dalam masalah hak-hak asasi manusia Khaleed Abou Fadl sama sekali
tidak menyuguhkan pendapat dari kelompok puritan. Hal ini bisa dimaklumi
karena kaum puritan menolak prinsip hak-hak asasi manusia yang dikemukakan
oleh PBB secara keseluruhan. Mereka beranggapan bahwa nilai-nilai HAM yang
datang dari Barat mengandung unsur bias etnosentris yang merepresentasikan
nilai sosio kultural Judeo-Kristen masyarakat Barat dan mereka tidak menerima
kalau HAM diklaim sebagai satu-satunya standarhukum internasional modern
yang bersifat universal sehingga dapat diterima dinegara mana saja dan kapan
saja.
Untuk konsep demokrasi kalau boleh dikatakan bahwa bias ideologis
Abou Fadl sangat kentara, hal ini bisa dilihat dari analisis yang tajam dan
mendalam ketika mengkritisi argumentasi yang dikemukakan oleh kaum puritan,
sedangkan untuk kaum moderat sebaliknya. Khaleed Abou Fadl cenderung
melakukan “pembiaran” terhadap argumentasi yang kurang jelas dari kaum
moderat seperti konsep ijma’ yang dikemukakan oleh mereka dalam menopang
ide demokrasi, Khaleed Abou Fadl tidak menjelaskan secara detail dari pandangan
kaum moderat tentang maksud, tujuan, dan konsep ijma’ seperti apa yang akan
diterapkan dalam menopang ide demokrasi yang mereka gagas. Padahal, pada
dasarnya konsep ijma’ tidak pernah terlaksana dan dilaksanakan dalam sejarah
Islam. Jika ijma’ yang dimaksudkan adalah kesepakatan seluruh umat Islam yang
ada pada suatu negara tersebut, maka mustahil konsep ini dilaksanakan oleh
negara manapun. Namun jika yang dimaksudkan adalah ijma’ dari sekumpulan
wakil yang ditunjuk oleh masyarakat (parlemen) maka hal itu bisa dilaksanakan.
Begitu juga dengan konsep syuro, Khaleed tidak melakukan sebuah
kompromi atau sintesa terhadap dua pendapat tersebut, Khaleed cenderung
menelanjangi konsep yang dikemukakan oleh kaum puritan ketimbang melakukan
sebuah sintesis. Padahal, sebagai sebuah konsep, syuro dalam Islam tidak berbeda
dengan demokrasi. Baik syuro maupun demokrasi muncul dari anggapan bahwa
pertimbangan kolektif (collective liberation) lebih mungkin melahirkan hasil yang
adil dan masuk akal bagi kebaikan bersama daripada pilihan individual. Kedua
konsep tersebut mengasumsikan bahwa pertimbangan mayoritas cenderung lebih
komprehensif dan akurat ketimbang penilaian minoritas. Dengan demikian
keduanya menjalankan aturan masyarakat melalui penerapan hukum bukannya
aturan-aturan individual atau keluarga dengan keputusan yang otokratis.
Pada dasarnya demokrasi dan syuro tidaklah jauh berbeda secara konsep
dan prinsip, meskipun keduanya mungkin berbeda dalam rincian penerapannya
disesuaikan dengan adat-kebiasaan lokal setempat. Keduanya menolak
pemerintahan apapun yang mengurangi legitimasi pemilihan yang bebas, diktator,
lalim, kejam dan tidak pro rakyat. Begitu juga logika demokrasi dan syuro tidak
menyetujui undang-undang keturunan. Kemerdekaan dan kompetensi tidak bisa
dimonopoli oleh beberapa individu atau keluarga.
Catatan Akhir
Pemetaan yang dilakukan oleh Khaleed Abou Fadl terhadap kedua
kelompok tersebut tentang sikap mereka terhadap HAM dan demokrasi
merupakan sebuah produk modernitas dan sekaligus juga merupakan respon
11
terhadap modernitas. Dari hasil pemetaannya, terdapat dua kutub besar yang
berlawanan dalam merespon masalah hak asasi manusia dan demokrasi yang
kemudian dia sebut dengan istilah kaum moderat dan kaum puritan.
Dalam pandangan Abou Fadl ada skisma antara Muslim moderat dan
kelompok puritan dalam Islam. Baik yang moderat maupun puritan sama-sama
mengklaim diri mereka sebagai representasi dari “Islam” yang paling benar dan
otentik. Keduanya yakin bahwa mereka merepresentasikan pesan Ilahi yang
berakar di dalam al-Quran dan hadits khususnya terkait dalam masalah hak asasi
manusia dan demokrasi.
Kaum moderat mengatakan bahwa dalam banyak hal, termasuk dalam
gagasan-gagasan kemanusiaan seperti yang terkandung dalam hak hak asasi
manusia yang di deklarasikan oleh PBB, antara Islam dan Barat memiliki banyak
kesamaan dan kesesuaian. Sedangkan menurut kaum puritan sebaliknya. Hak
asasi manusia yang dicetuskan oleh PBB merupakan sebuah alat propaganda
Barat untuk menjajah dunia Islam dan isinya berasal dari tradisi judeo-kristiani.
Untuk masalah demokrasi, kaum puritan mengatakan bahwa demokrasi
adalah temuan orang Barat. Selain itu orang-orang puritan bersikukuh pada
perlunya penciptaan kembali lembaga khalifah sebagai landasan sistem
pemerintahan Islam tentunya dengan prinsip musawarah (
). Dengan ini
mereka membayangkan model yang dibangun oleh keempat khulafa’ al
,
yang memegang kekuasaaan setelah meninggalnya Nabi.
Sedangkan kaum moderat mengatakan bahwa prinsip demokrasi sudah
dipraktekkan dalam Islam pada masa Rasul. Menurut mereka, al-Qur’an dengan
jelas memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan semua urusannya lewat
musyawarah (
). Orang-orang moderat membaca ayat ini sebagai perintah
Tuhan yang menandaskan kembali tidak dibenarkannya penindasan dan
kesewenangan. Pengambilan keputusan harus tidak oleh orang atau elit despotik.
Sebaliknya, umat Islam harus menemukan cara untuk menetapkan keputusan
sebagai hasil dari interaksi demokratis diantara banyak orang.
Baik kaum moderat dan kaum puritan dalam pandangan Abou Fadl.
mengidentifikasi dan menggambarkan realitas pemikiran Islam yang ada
belakangan ini. Tujuannya adalah menegaskan bahwa ada skisma yang sudah
hidup dalam Islam antara muslim moderat dan kelompok yang dia sebut sebagai
muslim puritan. Baik yang moderat dan puritan mengklaim diri sabagai
representasi Islam yang benar dan otentik. Keduanya sama-sama ingin
sepenuhnya tersambung dengan Tuhan dan tidak ingin menjalani hidupnya di
muka bumi tanpa bimbingan Tuhan.
12
DAFTAR PUSTAKA
Al Rayis, Muhammad Dhiya al, Alalal(Mesir,
Maktabah al Anjlu, 1957)
Al-Maudadi, Abul A’la, et al. Esensi Al-Qur’an Filsafat Politik, Ekonomi, Etika.(
Mizan: Bandung, 1984)
Al-Mawardi, Abu Hasan, Alal, (Beirut: Darl al Kutub al‘Ilmiyah, tt),
Anshari Tayyib (ed.) HAM dan Pluralisme Agama (Surabaya: PKSK, 1997)
Baderin, Mashood A., International Human Rights And Islamic Law (London:
Oxford University Press, 2003)
Dwyer, Kevin, Arab Voice; Human Rights Debate in the Middle East (Barkerley:
Univercity of California, 1991)
El Fadl, Khaleed Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta,
Serambi, 2005)
Esposito, John L., Ancaman Islam Mitos Atau Realitas, terj. Alwiyah
Abdurrahman dan MISSI. (Bandung: Mizan, 1994)
Garaudy, Roger, Hak-hak Asasi dan Islam; Ketegangan Visi dan Tradisi, terj.
Abas aL-Jauhari, Islamika, (Oktober-Desember 1993)
Khallaf, Abdul Wahhab, Al
al-Shar’iyyah, terj. Zainuddin Adnan.
(Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994)
--------, ‘Abd Wahhab, ‘Ilm
al-Fiqh (Kuwait: Darl al-Qalam, tt)
Latif, Yudi, Tafsir Sosiologis Atas Piagam Madinah, dalam Fajar Riza Ul Haq
dan Endang Tirtana (ed.). Islam, HAM, dan Keindonesiaan (Jakarta: Ma’arif
Institute for Culture and Humanity, 2007)
Mayer, Ann Elizabeth, Islam Tradition and Politics Human Rights, (Westview
Press, 1995), h. 2.
-------,Islam and Human Rights, Tradition dan Politics (London: Pinter
Publishers, 1995),
Nasution, Harun, dan Bachtiar Efendi (ed.). Hak Asasi Manusia dalam Islam
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1978)
Nashr, Seyyed Hossein, Islamic Life and Thought (New York: State Univercity of
New York Press, 1992)
Syadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran
(Jakarta: UI Press, 1990)
-------, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: paramadina, 1997)
Syihab, Alwi, Islam inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama, (Bandung:
Mizan, 1999)
Rahman, Fazlur, “Implementation of The Concept of State in Pakistani Milieu”,
Islamic Studies, No. 6. (September 1967)
Rosseou, J.J., Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hukum Politik, terj. Ida
Sundari Husen dan Hidayat (Jakarta: Dian Rakyat, 1989)
Rose, Gregory, ”Velayat-e Faqih and the Recovery Islamic Identity”, dalam Nikki
R. Keddie (ed.). Religion and Politics in Iran; Shi’ism from Quitiesm
(London: Yale Univercity Press, 1983)
13