PENERAPAN SMART POWER DALAM DIPLOMASI IN

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kelompok yang disebut Rohingya di Myanmar merupakan kelompok yang
berbeda dengan kelompok dominan yang berada di Myanmar, baik secara
linguistik, religi, maupun secara etnik. Meski sudah bertempat di daerah yang
kelak menjadi Myanmar sejak abad kelima belas serta bertempat dan membentuk
⅓ dari populasi Rakhine State pada masa ini, kelompok Rohingya masih
dianggap sebagai kelompok imigran ilegal dari India dan tidak diakui sebagai
warga negara oleh Myanmar.1 Sampai pada saat ini, pengakuan pemerintah
Myanmar terhadap kelompok Rohingya masih minim. Hukum kependudukan
yang dikeluarkan Myanmar pada tahun 1982 justru menetapkan larangan untuk
memberikan kelompok Rohingya kependudukan secara penuh. Pengakuan yang
diterima oleh kelompok Muslim di Myanmar, termasuk Rohingya, cenderung
berbentuk surat kependudukan yang bersifat sementara.2
Ketiadaan pengakuan secara formal ini berdampak ke berbagai sektor
kehidupan kelompok Rohingya, mulai dari pernikahan, pekerjaan, pendidikan,
sampai kebebasan mobilisasi, baik spasial maupun sosial. Tiadanya status sebagai
warga negara secara penuh membatasi kehidupan mereka dan berfungsi sebagai
suatu diskriminasi sistemik terhadap kelompok Rohingya. Kesenjangan sosial dari
status Rakhine State yang merupakan daerah yang pada dasarnya terbelakang di

Myanmar semakin melebar dengan ketiadaan hak untuk populasi Rohingya yang
membentuk bagian yang cukup besar dari populasi Rakhine State. Diskriminasi
ini semakin terasa dengan munculnya konflik atas dasar alasan-alasan religius.
Konflik terbuka yang dimulai dari tahun 2012 menjadi salah satu dari berbagai

1 Eleanor Albert, “The Rohingya Migrant Crisis,” Council on Foreign Relations (diakses pada 18
April 2017), http://www.cfr.org/burmamyanmar/rohingya-migrant-crisis/p36651
2 Oliver Tickell, “Burma’s race laws, expulsions, driving Rohingya refugees,” The Ecologist
(diakses pada 18 April 2017),
http://www..theecologist.org/News/news_round_up/2888577/burmas_race_laws_expulsions_drivi
ng_rohingya_refugees.html

1

faktor yang telah dipaparkan yang akhirnya mendorong kelompok Rohingya di
Myanmar untuk keluar dan mencari perlindungan di negara-negara lain.3
Indonesia merupakan salah satu negara yang dituju oleh pengungsi
Rohingya di samping Thailand, Malaysia, dan Bangladesh. Menghadapi
permasalahan kemanusiaan global ini, Indonesia menyatakan keprihatinan dan
telah menerima dan menyediakan perlindungan bagi seribu pengungsi Rohingya.

Di samping itu, Indonesia juga aktif menjalankan baik diplomasi bilateral maupun
regional dengan Myanmar dalam rangka menyelesaikan permasalahan ini.
Penekanan pada penggunaan diplomasi sebagai tool menghadapi Myanmar ini
dapat ditelusuri lebih jauh ke hubungan diplomasi yang sudah terjalin antara
Indonesia dan Myanmar sejak sebelum kemerdekaan kedua negara dan terus
berlanjut dalam wujud dukungan Indonesia pada reformasi demokratisasi
Myanmar.4 Dukungan terhadap demokratisasi Myanmar yang selalu dijalankan
oleh Indonesia merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung stabilisasi
daerah regional ASEAN, baik dalam isu keamanan maupun isu hak asasi
manusia,5 yang mana isu pengungsi Rohingya menjadi salah satu masalah utama
ASEAN.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin mengetahui bagaimana
penerapan smart power berpengaruh pada efektivitas diplomasi Indonesia
terkait isu Rohingya?

3 Ibid.
4 Ibrahim Almuttaqi, “Seizing the opportunity to lift Jakarta-Naypyitaw relations,” The Jakarta
Post Fair Observer (diakses pada 18 April 2017),
http://www.thejakartapost.com/news/2016/03/31/seizing-opportunity-lift-jakarta-naypyitawrelations.html

5 Jarno Lang, “Indonesia-Myanmar Relations: Promoting Democracy in South-East Asia.” Fair
Observer (diakses pada 18 April 2017),
https://www.fairobserver.com/region/asia_pacific/indonesia-myanmar-relations-promotingdemocracy-south-east-asia/

2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bagian ini bertujuan untuk memaparkan landasan konsep dan teori yang
digunakan untuk mengkaji masalah. Dalam membahas isu mengenai strategi
diplomasi Indonesia untuk mengatasi permasalahan pengungsi Rohingya, penulis
akan merujuk kepada pemikiran sejumlah ahli, yaitu: (1) smart power yang
dituliskan oleh Nye, (2) perluasan konsep power menurut Barnett dan Duvall,
serta (3) konflik asimetris dan peran pihak ketiga berdasarkan tulisan Rasbotham.
Selanjutnya, penulis akan memberikan justifikasi terhadap pilihan konsep dan
teori yang dijelaskan.
2.1. Smart Power: Kombinasi Hard dan Soft Power (Joseph Nye, Jr.)
Salah satu ahli yang paling berpengaruh dalam memberikan definisi terhadap
konsep power adalah Joseph Nye, Jr. Pada bagian ini, penulis akan menjabarkan
konsep smart power yang merupakan kombinasi dari hard dan soft power.

2.1.1. Hard Power
Nye mengartikan hard power sebagai kemampuan yang digunakan negara
dengan melibatkan berbagai cara koersif untuk dapat mencapai tujuan atau
kepentingan nasionalnya. Hard power meliputi kemampuan ekonomi dan
militer yang cenderung berwujud material. Sebagai contoh, praktik
penggunaan hard power biasanya berfokus kepada strategi intervensi militer,
pelarangan perdagangan, maupun diplomasi koersif.6
2.1.2. Soft Power
Nye berargumen bahwa soft power merupakan kemampuan mempengaruhi
pihak lain untuk mendapatkan hasil atau tujuan yang diinginkan dengan daya
tarik.7 Soft power meliputi aspek budaya, ideologi, ataupun kebijakan luar
negeri suatu negara sehingga sifatnya cenderung lebih immateriil
dibandingkan hard power. Melalui soft power, negara akan berfokus kepada
6 Wilson, Ernest J., “Hard Power, Soft Power, Smart Power,” The Annals of the American
Academy of Political and Social Science, Vol. 616 (2008), hlm. 114.
7 Ibid.

3

sikap yang persuasif, atraktif, dan menunjukkan good manner tanpa

menggunakan paksaan atau ancaman. Praktik ini membutuhkan waktu yang
cenderung lebih lama untuk menginternalisasi nilai budaya yang digunakan
untuk mempengaruhi pihak lain.8
2.1.3. Smart Power
Kompleksitas dari suatu permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan
hanya menggunakan hard atau soft power saja kemudian membutuhkan
kombinasi strategi dari keduanya. Kombinasi penggunaan hard dan soft
power ini menurut Nye disebut sebagai smart power. Penggunaan smart
power dibutuhkan karena adanya tuntutan yang lebih luas seperti ancaman
terhadap kemanusiaan yang perlu diselesaikan baik dengan cara yang
konservatif melalui intervensi maupun dengan daya tarik yang dipergunakan
untuk mempengaruhi pihak lain melalui diplomasi dan negosiasi. Hal ini
bertujuan untuk menghasilkan tindakan yang efektif demi mencapai tujuan
negara melalui kombinasi kapabilitas yang dimiliki.9
2.2. Perluasan Konsep Power
Di sisi lain, kajian smart power tidak dapat terlepas dari bagaimana terjadi
perubahan dalam memandang konsep power seiring berkembangnya perspektif
lain selain Realisme. Kajian mengenai power yang ada selama ini selalu bertemu
hambatan yang sama, yaitu ketika ingin menjelaskan bagaimana kapabilitas yang
dimiliki suatu aktor dapat diubah menjadi hasil. Penjelasan dari kesulitan dalam

kajian power tersebut, oleh Barnett dan Duvall dijelaskan karena definisi power
yang terlalu sempit, yaitu power yang diterapkan secara langsung dengan target
yang spesifik. Barnett dan Duvall melihat bahwa kajian mengenai power tidak
hanya sebatas kapabilitas yang dimiliki suatu aktor, namun juga struktur sosial
yang menentukan bagaimana, kapan, dan mengapa power bisa berpengaruh pada

8 Matteo Palaver, Power and Its Forms: Hard, Soft, Smart (Department of International Relations
of the London School of Economics: London, 2011), hlm. 86.
9 Nye, Jr., Joseph S., “Get Smart: Combining Hard and Soft Power,” Foreign Affairs, Vol. 88, No.
4 (2009), hlm. 161.

4

aktor lainnya.10 Berdasarkan pandangan tersebut, Barnett dan Duvall membagi
power berdasarkan dua dimensi, yaitu sesuai media dan caranya bekerja, sehingga
menghasilkan empat kategorisasi power, memperluas definisi power seperti yang
digambarkan di bawah ini:

Sumber: Michael Barnett and Raymond Duvall. “Power in International Politics,”
International Organization , Vol. 59, No. 1. (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 48.


Selain jenis compulsory power yang dominan, yaitu jenis power yang
berasal dari kapabilitas aktor serta berlaku secara spesifik, Barnett dan Duvall juga
menjelaskan power yang bersifat lebih struktural dan tersebar. Jenis-jenis power
tersebut antara lain: (1) structural power, yang juga berlaku secara langsung
seperti compulsory power namun berasal dari struktur relasi para aktor; (2)
institutional power, yang berasal dari kapabilitas aktor namun berlaku secara
tersebar; (3) productive power, yang berasal dari struktur relasi aktor dan berlaku
secara tersebar.11 Peranan dari ketiga jenis alternatif power tersebut cenderung
menekankan pada konsep kerja sama dibandingkan koersi, dengan tingkat yang
semakin soft dengan semakin eksternal sumbernya serta tersebarnya pengaruh dari
power tersebut. Jenis alternatif power ini cenderung lebih terdifusi dan struktural,
serta dipertahankan tidak melalui coercive means, tetapi melalui consent yang
didapatkan melalui cara yang lebih persuasif, 12 sesuai dengan jenis smart power
yang dibawakan oleh Nye.

10 Michael Barnett dan Raymond Duvall, “Power in International Politics,” International
Organization, Vol. 59, No. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), hlm. 39-45.
11 Ibid, hlm. 57-62.
12 Ibid, hlm. 62-66.


5

2.3. Konflik Asimetris dan Peran Pihak Ketiga (Rasbotham)
Dalam kajian penyelesaian konflik di antara dua pihak yang bertikai, terdapat dua
jenis kategorisasi konflik, yaitu konflik simetris yang cenderung disebabkan
perbedaan kepentingan dan konflik asimetris yang disebabkan struktur relasi tak
berimbang yang hanya bisa diubah melalui jalan konflik. Dalam konflik di antara
dua pihak, kemungkinan positive feedback, atau rangkaian reaksi yang
mengakibatkan suatu eskalasi konflik, sangat besar, dan oleh karena itu diperlukan
adanya campur tangan pihak ketiga untuk mengubah struktur konflik. Secara
teoretis, jenis pihak ketiga yang terlibat dalam konflik dibedakan menjadi
powerful dan powerless third party sesuai dengan sumber daya yang mereka bawa
ke dalam sebuah konflik. Powerful third party diartikan sebagai pihak ketiga yang
memiliki power lebih dan memiliki kapasitas untuk menggunakan sumber daya
material baik untuk mempengaruhi atau memaksa, sedangkan powerless third
party merupakan pihak ketiga yang cenderung powerless dan bertindak sebagai
mediator.13
Terma powerless sendiri merupakan suatu terma yang diakui oleh
Rasbotham sebagai sesuatu yang ambigu dan tak terlepas dari adanya konsep hard

dan soft power milik Nye. Rasbotham secara pribadi menyatakan bahwa jenis
power yang soft lebih baik untuk penyelesaian konflik secara damai. Menurutnya,
soft power yang digunakan dalam penyelesaian suatu konflik dapat diklasifikasi
lebih jauh ke dalam kategori exchange power yang menggunakan pendekatan
bargaining dan kompromi dengan integrative power yang menekankan pada
pendekatan persuasif dan transformasi konflik secara jangka panjang.14 Jenis
pihak ketiga yang berbeda akan cenderung menggunakan taktik yang berbeda.
Rasbotham melihat bahwa pihak ketiga yang berbentuk negara cenderung
memiliki lebih banyak power dan bergerak dengan asumsi win-lose di antara dua
pihak yang berkonflik. Di sisi lain, pihak ketiga yang berperan sebagai mediator
tidak resmi yang memiliki power yang lebih sedikit cenderung bergerak dengan

13 Oliver Rasbotham, “Introduction to Conflict Resolution: Concepts and Definition,”
Contemporary Conflict Resolution, 3rd Ed. (United States: Wiley, 2015), hlm. 21-22.
14 Ibid, hlm. 22-24.

6

asumsi win-win atau lose-lose dan berusaha mencari suatu solusi yang bisa
menguntungkan kedua belah pihak.15

2.4. Justifikasi Konsep dan Teori
Pilihan penulis dalam menggunakan konsep smart power tidak terlepas dari
realitas sistem internasional yang berlaku saat ini, yaitu hubungan yang lebih
berbasis pada kerja sama dibandingkan paksaan, dan juga sifat dari daerah
regional ASEAN, yaitu ASEAN Way yang mementingkan prinsip non-intervensi
dan konsensus. Konsep kedua, yaitu perluasan power, merupakan penjelasan lebih
jauh dari dimensi power untuk menjelaskan bagaimana dan kapan power, baik
hard maupun soft, dapat berlaku dan berdampak pada relasi antar dalam hubungan
internasional. Konsep terakhir, yaitu terkait penggunaan power oleh pihak ketiga,
merupakan suatu usaha dari pihak penulis untuk memperjelas pembagian di antara
hard dan soft power dalam peran suatu aktor sebagai pihak ketiga dalam dalam
suatu konflik. Hal ini sesuai dengan topik yang diangkat tim penulis, yaitu peran
Indonesia dalam konflik asimetris yang terjadi di antara kelompok masyarakat
dominan Myanmar dengan kelompok minoritas Rohingya.

15 Ibid, hlm. 25.

7

BAB 3

PEMBAHASAN
3.1. Sejarah Hubungan Diplomasi Indonesia-Myanmar
Tanggal 4 Januari 2017 lalu, Myanmar merayakan hari kemerdekaannya yang ke69 dari penjajahan Inggris. Perayaan itu juga ikut dilaksanakan di Indonesia
dengan fasilitas yang disediakan oleh Kedutaan Besar Myanmar untuk Indonesia.
Pada perayaan tersebut, Duta Besar Myanmar untuk Indonesia Aung Htoo
menyatakan rasa syukur akan kembalinya pemerintahan yang demokratis di
Myanmar setelah bertahan-tahun merdeka, sebuah kemajuan yang dia akui tidak
terlepas dari peran Indonesia dalam memasukkan Myanmar ke dalam ASEAN
serta dukungan konsisten Indonesia dalam transformasi demokrasi yang dialami
oleh Myanmar. Pernyataan tersebut disetujui dan ditambahkan oleh Menteri
Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil dengan peran Indonesia sebagai sahabat
erat Myanmar yang terus mendukung transformasi secara konstruktif tidak peduli
pendapat negara lain akan Myanmar.16
Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan yang sesuai dengan
karakteristik ASEAN sebagai sebuah rezim internasional yang konstruktif.
Berbeda dengan reaksi negara-negara Barat dan juga tetangga Asia Pasifik lainnya
seperti Jepang dan Australia yang melaksanakan kebijakan sanksi setelah konflik
1988 di Myanmar, negara-negara ASEAN,17 termasuk Indonesia, justru
menggunakan kebijakan pendekatan konstruktif atau constructive engagement.
Alih-alih melaksanakan pendekatan sebagai powerful third party dengan hard
power dengan cara mengucilkan Myanmar, ASEAN justru menekankan pada
integrative power yang bertujuan untuk mengubah Myanmar secara jangka
panjang. Kunci dari penggunaan integrative power ini yaitu dengan menerima
Myanmar sebagai anggota ASEAN pada 23 Juli 1997 dalam rangka membuat

16 Andreas Gerry Tuwo, “Melihat Peran Indonesia dalam Transformasi Demokrasi Myanmar,”
Liputan6 (diakses pada 22 April 2017), http://global.liputan6.com/read/2776517/melihat-perananindonesia-dalam-transformasi-demokrasi-myanmar
17 BBC, “Overview of Burma Sanctions,” BBC News (diakses pada 22 April 2017),
http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/8195956.stm

8

Myanmar lebih terbuka akan reformasi dengan mengadopsi nilai-nilai ASEAN. 18
Masuknya Myanmar ke dalam ASEAN tidak terlepas dari kontribusi Indonesia
yang terus melindungi Myanmar dari cercaan dan aksi embargo dunia
internasional serta mendorong masuknya Myanmar ke dalam ASEAN.
Dukungan ini terus berlanjut sampai dengan saat ini, yang mana Indonesia
menjadi salah satu model demokrasi yang dijadikan contoh oleh Myanmar untuk
proses demokratisasi19 dan juga pihak ketiga dalam permasalahan kemanusiaan
yang menimpa Myanmar, di antaranya masalah Rohingya. Diplomasi dan usaha
yang telah dilakukan Indonesia terkait permasalahan Rohingya akan dijabarkan di
bawah ini.
3.2. Diplomasi Indonesia-Myanmar terkait Rohingya
Dalam mempraktikkan kapabilitas smart power yang dimiliki Indonesia untuk
turut mengupayakan penyesaian masalah pengungsi Rohingya, Indonesia
mengombinasikan kemampuan hard dan soft power terhadap Myanmar. Menurut
laporan UNICEF, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
permasalahan di Rakhine State adalah dengan memberikan sosialisasi mengenai
kesehatan yang meliputi nutrisi, air, dan sanitasi. 20 Dalam lingkup hard power,
Indonesia kemudian turut memberikan dana bantuan pembangunan sejumlah
infrastrukstur seperti rumah sakit untuk mengatasi masalah kesehatan tersebut.
Sementara itu, proses pemberian bantuan pembangunan ini dilaksanakan dengan
praktik soft power melalui kegiatan diplomasi dan negosiasi yang dilaksanakan
oleh sejumlah perwakilan resmi Indonesia.

18 Fan Hongwei, “ASEAN’s ‘Constructive Engagement’ Policy toward Myanmar,” China
International Studies (China: China Academic Journal Electronic Publishing House, 2012), hlm.
54-57.
19 Victor Maulana, “Indonesia Laboratorium bagi Myanmar Belajar Demokrasi dan Pluralisme,”
SINDO News (diakses pada 22 April 2017),
https://international.sindonews.com/read/1174200/40/indonesia-laboratorium-bagi-myanmarbelajar-demokrasi-dan-pluralisme-1485350156
20 Myint Kay Thi, “UNICEF calls for better healthcare services in Rakhine,” Myanmar Time,
(diakses pada 22 April 2017),
http://www.mmtimes.com/index.php/national-news/25679-unicef-calls-for-better-healthcareservices-in-rakhine.html

9

Berdasarkan hasil pertemuan antara Presiden Myanmar Htin Kyaw dengan
Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla dalam kesempatan KTT ASEM ke-11,
disampaikan bahwa Pemerintah Daerah Rakhine State telah memberikan
dukungan sepenuhnya atas rencana Indonesia dalam memberikan bantuan
pembangunan infrastruktur di Rakhine State. Pertemuan bilateral antara KBRI
Yangon dengan Sekretaris Daerah (Sekda) Rakhine State U Tin Maung Swe di
Sittwe, Kantor Gubernur Rakhine State kemudian dilaksanakan pada Maret 2017.
Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan situasi
pengungsi di camp penampungan etnis Rakhine (Bengali/pendatang) di Sittwe,
rencana pembangunan rumah sakit di Mrauk Bwe, perkembangan pemberian
bantuan pembangunan infrastruktur lainnya seperti pembangunan sekolah,
fasilitas jalan, pasar, dan juga pengiriman produk makanan dari Pemerintah
Indonesia.21
Sejumlah pemberian bantuan kemanusiaan dan pembangunan infrastruktur
ini kemudian diterima oleh Sekda Rakhine State dengan terbuka. Kementerian
Luar Negeri Myanmar juga menyatakan kesiapan mereka untuk melakukan
koordinasi intensif dengan KBRI Yangon dan institusi Indonesia terkait selama
proses pembangunan infrastruktur yang dinilai sangat tepat bagi masyarakat di
Rakhine State. Hal ini dikarenakan pembangunan fasilitas tersebut akan
memudahkan interaksi antar etnis di berbagai sektor ekonomi, sosial, kesehatan
dan pendidikan di wilayah tersebut.22
Keberhasilan Indonesia dalam menjalin hubungan diplomasi dengan
pemerintah Myanmar terkait dengan isu Rohingya merupakan sebuah efektivitas
dari strategi smart power. Hal ini dikarenakan pemerintah Myanmar kerap
bungkam dan menolak untuk memberikan keterangan mengenai situasi di
Myanmar. Misalnya, kelompok politisi di Rakhine State bahkan menolak untuk
berbicara kepada Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal PBB yang mengetuai
Advisory Commission on Rakhine State, yaitu kerja sama Kementerian Luar
21 Kementerian Luar Negeri RI, “Kunjungan Ke Pemerintah Daerah Rakhine State dan Rumah
Sakit Mrauk Bway Oleh Delegasi KBRI Yangon,” Portal Berita Kementerian Luar Negeri RI,
(diakses pada 22 April 2017), http://www.kemlu.go.id/yangon/id/berita-agenda/beritaperwakilan/Pages/Kunjungan-Rumah-Sakit-di-Rakhine-State.aspx
22 Ibid.

10

Negeri Myanmar dengan Kofi Annan Foundation untuk mengusulkan cara-cara
konkret memperbaiki kesejahteraan semua orang di Rakhine State.23
Dalam upaya mempengaruhi tindakan Myanmar, pemerintah Indonesia
menerapkan strategi constructive engagement. Menurtut Direktur Jenderal Asia
Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI Desra Percaya, Indonesia berhasil
disegani

oleh

pemerintah

Myanmar

karena

Indonesia

memilih

untuk

menggunakan pendekatan persuasif alih-alih pendekatan yang koersif. Kepada
media, Indonesia tidak menyampaikan pernyataan keras yang memojokkan
pemerintah Myanmar. Penolakan atas sikap pemerintah Myanmar tersebut
Indonesia sampaikan secara langsung melalui pertemuan yang disepakati kedua
pihak. Melalui pertemuan bilateral tersebut, Indonesia menyampaikan pentingnya
perhormatan bagi warga Rohingya serta pengaman stabilitas yang inklusif dan
berkesinambungan. Indonesia juga berupaya untuk memahami situasi di Rakhine
dan turut memberikan bantuan kemanusiaan yang dapat diterima secara terbuka
oleh pemerintah Myanmar.24
Strategi smart power yang merupakan kombinasi dari kapabilitas hard dan
soft power merupakan kunci bagi keberhasilan diplomasi Indonesia terhadap
upaya untuk mempengaruhi tindakan yang diambil oleh pemerintah Myanmar.
Perwakilan Indonesia dalam ASEAN Intergovernmental Commission on Human
Rights (AICHR) Dinna Wisnu mengungkapkan keuntungan dan kelemahan
pendekatan proaktif yang sejauh ini dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia
dalam menjalin hubungan dengan pemerintah Myanmar terkait dengan isu
Rohingya.25
Melalui cara yang proaktif yang diplomatis, tidak konfrontatif, dan tidak
mempermalukan Myanmar, Indonesia dapat mengawasi serta memastikan bahwa
kekerasan di Rakhine State tidak lagi terjadi. Terdapat empat keuntungan dari cara
proaktif, yakni: (1) kesempatan untuk menyampaikan kepada publik dan
23 Dinna Wisnu, “Opsi Pendekatan Isu Rohingya,” SINDO News (diakses 22 April 2017),
https://nasional.sindonews.com/read/1162768/18/opsi-pendekatan-isu-rohingya-1481683235
24 Ahmad Romadoni, “Jurus Diplomasi Indonesia agar Didengar Myanmar Terkait Rohingya,”
Liputan6 (diakses 22 April 2017), http://news.liputan6.com/read/2851563/jurus-diplomasiindonesia-agar-didengar-myanmar-terkait-rohingya
25 Dinna Wisnu, “Opsi Pendekatan Isu Rohingya,” SINDO News (diakses 22 April 2017),
https://nasional.sindonews.com/read/1162768/18/opsi-pendekatan-isu-rohingya-1481683235

11

komunitas internasional mengenai prinsip-prinsip yang menggerakkan Indonesia
untuk terlibat, (2) kesempatan untuk meyakinkan Myanmar bahwa informasi yang
diberikan kepada Indonesia akan membantu mengurai segala tudingan negatif
yang makin membesar kepada pemerintah Myanmar, (3) kesempatan untuk
mengangkat martabat ASEAN dan mendapatkan respek yang lebih luas di
ASEAN serta negara-negara mitra ASEAN mengenai relevansi ASEAN dalam
situasi ketegangan yang tinggi, dan (4) kesempatan untuk menjembatani perluasan
keterlibatan masyarakat sipil di Myanmar dengan Indonesia dan ASEAN.26
Sementara itu, terdapat tiga kelemahan dari cara proaktif, di antaranya: (1)
risiko keterbatasan sumber daya jika ternyata masalah Rohingya ini membutuhkan
sumber daya yang lebih besar daripada yang dapat ditanggapi oleh Indonesia, (2)
sikap Myanmar yang cenderung untuk mengisolasi diri terhadap pihak luar secara
umum dan mendekat kepada Tiongkok dalam hal pembangunan, dan (3)
perencanaan pendekatan proaktif yang baik jika tidak ingin disalahartikan sebagai
tindakan untuk menekan pemerintah Myanmar.27
3.3. Indonesia sebagai Pihak Ketiga dalam Negosiasi Myanmar-Bangladesh
Dari ratusan ribu pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari persekusi yang
terjadi di negara asalnya yaitu Myanmar, mayoritas yang mencapai jumlah dua
ratus ribu melarikan diri ke Pakistan atau daerah yang kini bernama Bangladesh
setelah Perang Kemerdekaan Pakistan Timur. Pada awalnya, pemerintah
Bangladesh menerima arus imigran Rohingya yang datang ke daerah mereka.
Namun pada tahun 2012, dengan alasan bahwa arus pengungsi Rohingya
mengancam keamanan nasional negara mereka, Menteri Luar Negeri Bangladesh
Dipu Moni menegaskan bahwa Bangladesh menutup diri terhadap arus pengungsi
Rohingya lebih jauh.28
Menggunakan definisi dari Konvensi PBB mengenai Pengungsi yaitu
pengungsi sebagai “kelompok masyarakat yang melarikan diri dari negaranya
26 Ibid.
27 Ibid.
28 Dinna Wisnu, “Rumitnya Masalah Rohingya,” SINDO News (diakses pada 22 April 2017),
https://nasional.sindonews.com/read/1003145/18/rumitnya-masalah-rohingya-1432092661

12

karena alasan persekusi”, pemerintah Bangladesh menilai bahwa konflik
Rohingya pada tahun 2012 berakar dari aksi kriminal dimana tiga orang laki-laki
Rohingya memperkosa seorang wanita beragama Buddhis, bukan persekusi. Dari
definisi tersebut, pemerintah Bangladesh tidak mengakui arus imigran yang
datang dari Rohingya sebagai pengungsi. Bangladesh sendiri bukanlah negara
yang meratifikasi Konvensi Pengungsi PBB. Argumen dari Menteri Luar Negeri
Dipu Moni diperkuat oleh alasan overpopulasi Bangladesh sendiri, rendahnya
pendidikan imigran Rohingya yang memberatkan ekonomi Bangladesh, dan juga
memburuknya citra Bangladesh di Timur Tengah karena kriminal-kriminal
beretnis Rohingya yang menggunakan tanda pengenal Bangladesh palsu.29
Dengan ketegangan di antara Myanmar dan Bangladesh, dimana
Myanmar menghasilkan arus imigran dan Bangladesh menolak arus tersebut,
kelompok Rohingya terombang-ambing tanpa tujuan yang pasti. Keadaan tersebut
tergambar dalam pengakuan salah seorang imigran Rohingya di Bangladesh yang
bernama Mohammad Afzal, sebagai berikut:
“Kami bukan siapapun, Myanmar membunuh kami dan Bangladesh menolak kami.
Jika saja negara lain lebih murah hati, mungkin kami dapat menyelamatkan diri kami.” 30

Menghadapi hal tersebut, Indonesia melaksanakan perannya sebagai
seorang mediator, melakukan diplomasi secara intensif untuk menjembatani kedua
negara. Peran mediator merupakan sebuah peran yang datang secara otomatis
pada Indonesia dengan posisinya yang berpegang pada prinsip bebas aktif
sekaligus sebagai salah satu pendiri ASEAN, terutama setelah transisinya menuju
sebuah pemerintahan yang demokratis. Dalam menjalankan perannya, Indonesia
telah berhasil mempertemukan dan memfasilitasi pertemuan di antara Myanmar
dan Bangladesh lewat jasa utusan khusus, yang akhirnya dilaksanakan dengan
dikirimkannya salah seorang anggota dewan Myanmar ke Dhaka untuk membahas

29 Barrister Harun Ur Rasyid, “Why are Rohingyas being refused entry to Bangladesh?” Thed
Daily Star (diakses pada 22 April 2017), http://www.thedailystar.net/news-detail-238943
30 Kamran Reza Chowdhury, “We are nobody,” Radio Free Asia (diakses pada 22 April 2017),
http://www.rfa.org/english/news/myanmar/bangladesh-indonesia-12202016140626.html

13

isu Rohingya tersebut.31 Kesuksesan mediasi ini tidak terlepas dari sifat Indonesia
yang hati-hati, sesuai dengan salah satu prinsip yang dipegang oleh ASEAN yaitu
non-intervensi. Hal tersebut diekspresikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia
Retno Marsudi dalam pernyataannya bahwa:
“Saya melaksanakan diplomasi kami secara hati-hati agar tidak mengakibatkan
ketidakseimbangan, karena konflik Rohingya sendiri merupakan isu yang sangat sensitif dan
terkait dengan kedaulatan suatu negara. Kedaulatan suatu negara merupakan sesuatu yang sangat
penting.”32

Pernyataan dari Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memperlihatkan
bahwa meskipun bertindak sebagai pihak ketiga berbentuk negara yang cenderung
memiliki power yang lebih banyak dibanding pihak ketiga non-negara, karakter
dari Indonesia dan juga ASEAN membuat pelaksanaan diplomasi Indonesia pada
peran mediator semata. Hal ini membuat Indonesia masuk ke dalam kategorisasi
powerless third party meski merupakan negara yang cenderung masuk ke dalam
kategori powerful third party atau third party with muscle. Tim penulis
kategorisasi Indonesia menjadi powerless third party bukan dikarenakan ketiadaan
power, namun dikarenakan pendekatan constructive engagement yang diadopsi
oleh Indonesia.
Meski tidak menggunakan hard power seperti umumnya pihak-pihak
ketiga berbentuk negara dalam konflik, Indonesia tetap menggunakan power,
kendati dalam bentuk yang berbeda yaitu soft power yang bersifat integrative.
Pendekatan yang bersifat soft ini dinilai lebih sustainable dan peaceful, seperti
yang dilihat dari pembangunan sekolah yang dilakukan oleh Indonesia di Rakhine
State. Sejauh ini Indonesia telah membangun enam sekolah di Rakhine State.
Sekolah-sekolah tersebut terbuka baik bagi komunitas Muslim maupun komunitas
Hindu. Kebijakan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengubah struktur dan

31 Tempo, “Indonesia Offers Constructive Input to OIC,” Tempo.Co (diakses pada 22 April 2017),
https://en.tempo.co/read/news/2017/01/20/055837916/Indonesia-Offers-Constructive-Inputs-toOIC
32 Matiur Rahman, “Indonesia offers ‘bridge building’ to solve Rohingya crisis,” Prothom Alo
English (diakses pada 22 April 2017), http://en.prothomalo.com/bangladesh/news/134881/Indonesia-offers-%E2%80%98bridge-building%E2%80%99-toresolve

14

membangun rasa toleransi dari level grassroot demi tercapainya suatu
penyelesaian konflik yang bersifat lebih jangka panjang dan damai.33

33 Aung Shin, “Special schools to build in Rakhine with Indonesia’s fund,” Myanmar Times
(diakses pada 22 April 2017), http://www.mmtimes.com/index.php/national-news/6862-specialschools-to-build-in-rakhine-with-indonesia-s-fund.html

15

BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan smart power dalam
diplomasi yang dilaksanakan oleh Indonesia terkait dengan isu Rohingya.
Berdasarkan konsep soft power yang diungkapkan oleh Nye, diketahui bahwa
kombinasi dari praktik hard dan soft power dalam diplomasi yang dilaksanakan
Indonesia terhadap Myanmar menjadi kunci bagi keberhasilan hubungan bilateral
yang terjadi di antara kedua pihak, secara khusus untuk memperoleh kepercayaan
Myanmar yang membuka diri terhadap Indonesia perihal upaya untuk
menyelesaikan permasalahan pengungsi Rohingya di Rakhine State.
Selain dari itu, jenis power yang digunakan oleh Indonesia pada umumnya
sesuai dengan konsep perluasan power yang dibawa oleh Barnett dan Duvall,
yaitu jenis power yang dampaknya semakin diffused dan berasal dari relasi sosial.
Hal ini tidak terlepas dari konteks wilayah regional dimana Indonesia berada,
yaitu Asia Tenggara, yang menganut nilai-nilai yang berbeda dengan nilai-nilai
yang ada di Barat sehingga menghasilkan rezim yang berbeda pula. Rezim yang
membentuk hubungan relasi Indonesia merupakan rezim yang berasas pada nilai
non-intervensi dan konsensus. Dengan kedua nilai tersebut sebagai basis dari
ASEAN, penggunaan hard power selayaknya bentuk power konvensional dalam
kajian HI bukanlah pilihan kebijakan yang feasible untuk mendapatkan hasil yang
baik di wilayah ASEAN.
Alih-alih menggunakan mekanisme paksaan, kebijakan yang diambil oleh
ASEAN cenderung menggunakan pendekatan constructive engagement, yaitu
dengan metode persuasi yang lebih peaceful dan bertujuan untuk mengubah
struktur untuk jangka waktu yang panjang. Keberhasilan penggunaan metode
constructive engagement ini sudah terlihat dari proses demokratisasi Myanmar
yang justru mulai berjalan dan terus berkembang setelah masuk ke dalam
keanggotaan ASEAN. Jika dibandingkan dengan efektivitas penggunaan hard
power berupa embargo yang dilaksanakan negara-negara Barat beserta negara

16

Asia Pasifik lainnya, justru keberhasilan didapat menggunakan pendekatan yang
konstruktif. Pendekatan konstruktif inilah yang sampai saat ini tetap digunakan
Indonesia dalam mengatasi permasalahan Rohingya. Indonesia sadar bahwa hal
ini terkait erat dengan kedaulatan suatu negara dan harus ditangani dengan hatihati tanpa terlalu menekan pihak manapun.
Keberhasilan dapat dilihat dari bagaimana kepercayaan Myanmar berhasil
didapatkan Indonesia beserta bagaimana Myanmar akhirnya mengirimkan utusan
untuk membuka komunikasi dengan Bangladesh berkat diplomasi intensif yang
dijalankan Indonesia. Akan tetapi, meski sekilas tim penulis tampak condong pada
peran soft power dalam keberhasilan diplomasi Indonesia yang telah dipaparkan di
atas, sesungguhnya keberhasilan tersebut tidak lepas pula dari peran hard power.
Hard power tidak sebatas pada jenis-jenis power yang bersifat koersif, namun
juga digunakan untuk mendefinisikan power yang bersifat materiil seperti sumber
daya ekonomi dan militer yang dimiliki suatu negara. Secara tidak langsung,
diplomasi Indonesia juga didukung oleh unsur-unsur hard power ini, seperti
bantuan dana yang akhirnya digunakan untuk membangun sekolah-sekolah di
Rakhine State beserta pesawat yang digunakan oleh Menteri Luar Negeri Retno
Marsudi untuk melakukan diplomasi intensif.
Pada akhir dari paper ini, penulis sampai pada kesimpulan bahwa
Indonesia menerapkan smart power dalam diplomasinya. Alasan di balik
kesimpulan ini tidak diakibatkan dominannya penerapan soft power dibandingkan
hard power dalam diplomasi Indonesia, namun berfokus pada bagaimana
Indonesia menyesuaikan tingkat penggunaan kedua jenis power tersebut sesuai
dengan konteks masalahnya. Terkait dengan isu Rohingya yang terjadi di lingkup
ASEAN yang memiliki prinsip anti-intervensi yang kuat, maka pendekatan yang
cenderung lebih cocok untuk digunakan adalah pendekatan yang bersifat
konstruktif atau soft. Pendekatan konstruktif yang sama mungkin tidak akan
berhasil bila terjadi permasalahan yang hampir serupa di Eropa yang cenderung
lebih tegas, sehingga komposisi smart power dalam konteks yang berbeda akan
berbeda pula.

17

4.2. Saran
Hasil dari pembahasan kami menunjukkan bahwa konsep power yang semata
berupa hard power sudah tidak cukup untuk menjelaskan realita dalam hubungan
internasional kontemporer. Hasil ini semakin kentara di dalam konteks kajian
yang kami pilih, yaitu diplomasi Indonesia terkait masalah kemanusiaan
Rohingya. Sebagai salah satu dari negara penggagas ASEAN yang sarat dengan
ASEAN Way, cara berdiplomasi Indonesia didasarkan pada prinsip constructive
engagement yang cenderung soft. Untuk pengembangan penelitian, kajian ini
dapat dirumuskan ke dalam bentuk perencanaan kebijakan luar negeri bagi
negara-negara di Asia Tenggara yang sesuai dengan upaya penyelesaian konflik
dengan asas anti-intervensi di ASEAN. Kombinasi hard dan soft power yakni
smart power yang diterapkan Indonesia dalam proses diplomasinya telah berhasil
membuka hubungan antara Indonesia, Myanmar, dan Bangladesh. Untuk semakin
memperkaya hasil analisis, kelengkapan data statistik yang digunakan untuk
mengukur efektivitas pelaksanaan suatu kebijakan luar negeri juga dapat
dikembangkan pada penelitian selanjutnya.

18

DAFTAR PUSTAKA
Albert, Eleanor. “The Rohingya Migrant Crisis,” Council on Foreign Relations.
Diakses pada 18 April 2017), http://www.cfr.org/burmamyanmar/rohingyamigrant-crisis/p36651
Almuttaqi, Ibrahim. “Seizing the opportunity to lift Jakarta-Naypyitaw relations,”
The Jakarta Post Fair Observer. Diakses pada 18 April 2017,
http://www.thejakartapost.com/news/2016/03/31/seizing-opportunity-liftjakarta-naypyitaw-relations.html
Barnett, Michael, dan Raymond Duvall. “Power in International Politics,”
International Organization , Vol. 59, No. 1 (Cambridge: Cambridge
University Press, 2005): 39-75.
BBC. “Overview of Burma Sanctions,” BBC News. Diakses pada 22 April 2017,
http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/8195956.stm
Chowdhury, Kamran Reza. “We are nobody,” Radio Free Asia. Diakses pada 22
April 2017, http://www.rfa.org/english/news/myanmar/bangladeshindonesia-12202016140626.html
Ernest J. Wilson. “Hard Power, Soft Power, Smart Power,” The Annals of the
American Academy of Political and Social Science, Vol. 616 (2008): 110124.
Hongwei, Fan. “ASEAN’s ‘Constructive Engagement’ Policy toward Myanmar,”
China International Studies. China: China Academic Journal Electronic
Publishing House, 2012: 54-70.
Joseph S. Nye, Jr. “Get Smart: Combining Hard and Soft Power,” Foreign Affairs,
Vol. 88, No. 4 (2009): 160-163.
Kay Thi, Myint. “UNICEF calls for better healthcare services in Rakhine,”
Myanmar Time. Diakses pada 22 April 2017,
http://www.mmtimes.com/index.php/national-news/25679-unicef-calls-forbetter-healthcare-services-in-rakhine.html
Kementerian Luar Negeri RI. “Kunjungan Ke Pemerintah Daerah Rakhine State
dan Rumah Sakit Mrauk Bway Oleh Delegasi KBRI Yangon,” Portal
Berita Kementerian Luar Negeri RI. Diakses pada 22 April 2017,
http://www.kemlu.go.id/yangon/id/berita-agenda/beritaperwakilan/Pages/Kunjungan-Rumah-Sakit-di-Rakhine-State.aspx
Lang, Jarno. “Indonesia-Myanmar Relations: Promoting Democracy in South-East
Asia.” Fair Observer. Diakses pada 18 April 2017),
https://www.fairobserver.com/region/asia_pacific/indonesia-myanmarrelations-promoting-democracy-south-east-asia/
Maulana, Victor. “Indonesia Laboratorium bagi Myanmar Belajar Demokrasi dan
Pluralisme,” SINDO News. Diakses pada 22 April 2017),
https://international.sindonews.com/read/1174200/40/indonesialaboratorium-bagi-myanmar-belajar-demokrasi-dan-pluralisme1485350156
Palaver, Matteo. Power and Its Forms: Hard, Soft, Smart. Department of
International Relations of the London School of Economics: London, 2011.

19

Rahman, Matiur. “Indonesia offers ‘bridge building’ to solve Rohingya crisis,”
Prothom Alo English. Diakses pada 22 April 2017, http://en.prothomalo.com/bangladesh/news/134881/Indonesia-offers-%E2%80%98bridgebuilding%E2%80%99-to-resolve
Rasbotham, Oliver. “Introduction to Conflict Resolution: Concepts and
Definition,” Contemporary Conflict Resolution, 3rd Ed. United States:
Wiley, 2015.
Rasyid, Barrister Harun Ur. “Why are Rohingyas being refused entry to
Bangladesh?” Thed Daily Star. Diakses pada 22 April 2017,
http://www.thedailystar.net/news-detail-238943
Romadoni, Ahmad. “Jurus Diplomasi Indonesia agar Didengar Myanmar Terkait
Rohingya,” Liputan6. Diakses 22 April 2017,
http://news.liputan6.com/read/2851563/jurus-diplomasi-indonesia-agardidengar-myanmar-terkait-rohingya
Shin, Aung. “Special schools to build in Rakhine with Indonesia’s fund,”
Myanmar Times. Diakses pada 22 April 2017,
http://www.mmtimes.com/index.php/national-news/6862-special-schoolsto-build-in-rakhine-with-indonesia-s-fund.html
Tempo. “Indonesia Offers Constructive Input to OIC,” Tempo.Co. Diakses pada
22 April 2017,
https://en.tempo.co/read/news/2017/01/20/055837916/Indonesia-OffersConstructive-Inputs-to-OIC
Tickell, Oliver. “Burma’s race laws, expulsions, driving Rohingya refugees,” The
Ecologist. Diakses pada 18 April 2017,
http://www.theecologist.org/News/news_round_up/2888577/burmas_race_l
aws_expulsions_driving_rohingya_refugees.html
Tuwo, Andreas Gerry. “Melihat Peran Indonesia dalam Transformasi Demokrasi
Myanmar,” Liputan6. Diakses pada 22 April 2017,
http://global.liputan6.com/read/2776517/melihat-peranan-indonesia-dalamtransformasi-demokrasi-myanmar
Wisnu, Dinna. “Opsi Pendekatan Isu Rohingya,” SINDO News. Diakses 22 April
2017, https://nasional.sindonews.com/read/1162768/18/opsi-pendekatanisu-rohingya-1481683235
Wisnu, Dinna. “Rumitnya Masalah Rohingya,” SINDO News. Diakses pada 22
April 2017, https://nasional.sindonews.com/read/1003145/18/rumitnyamasalah-rohingya-1432092661

20