PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAG

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN
YANG MENGALAMI MALPRAKTIK JASA PELAYANAN KESEHATAN
PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan (medis) merupakan hal yang penting yang harus dijaga maupun
ditingkatkan kualitasnya sesuai standar pelayanan yang berlaku tanpa mengurani hak-hak pasien,
agar masyarakat sebagai pasien dapat merasakan pelayanan yang diberikan. Rumah Sakit
berperan menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan merupakan ujung tombak
pembangunan kesehatan di Indonesia. Dalam penyelenggaraan pelayanan rumah sakit, maka
rumah sakit harus melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan umum dan pelayanan medik
baik melalui akreditasi, sertifikasi, ataupun proses peningkatan mutu lainnya. pelaksanaan
perlindungan hukum dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pasien sangat
diperlukan dan wajib dilaksanakan oleh Rumah Sakit yang menyelenggarakan jasa
pelayanan kesehatan.
Upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Kemudian secara berangsurangsur
berkembang kearah kesatuan pada upaya pembangunan kesehatan yang menyeluruh,
terpadu dan berkesinambungan yang mencakup upaya promotif (peningkatan), preventif
(pencegahan), kuratif (penyembuhan) dan rehabilitatif (pemulihan).
Upaya penyelenggaraan kesehatan sebagaimana dimaksud di atas, dipengaruhi oleh faktor
lingkungan sosial budaya, termasuk ekonomi, lingkungan fisik dan biologis yang bersifat
dinamis dan kompleks. Menyadari betapa luasnya hal tersebut, pemerintah melalui sistem
kesehatan nasional, berupaya menyelenggarakan kesehatan yang bersifat menyeluruh,

terpadu, merata, dan dapat diterima serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat luas,
guna mencapai derajat kesehatan yang optimal.1
Pada dasarnya kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi medis, merupakan
suatu hal yang penting untuk dibicarakan, hal ini disebabkan karena akibat kesalahan atau
kelalaian tersebut mempunyai dampak yang sangat merugikan. Selain merusak atau
mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran juga menimbulkan
kerugian pada pasien.2Namun demikian untuk mengetahui seorang dokter melakukan malpratik
atau tidak maka dapat dilihat dari unsur standar profesi kedokteran. Standar profesi merupakan
batasan kemampuan yang meliputi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill performance)
dan sikap profesionalitas (professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang
1 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, (Jakarta,
PT. Rineke Cipta, 2005), hlm. 2.

2 Ibid, hlm. 5.

dokter untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang
dibuat oleh organisasi profesi.3 keterangan dokter atau tenaga kesehatan lainnya di Rumah
Sakit Umum Daerah yaitu data yang diperoleh dengan melakukan penelitian lapangan
(field research).Penelitian lapangan ini adalah penelitian data yang dilakukan secara
langsung dilapangan terhadap obyek penelitian di lokasi yang telah ditentukan dan yang

berhubungan dengan pembahasan dalam hal ini berupa wawancara yang bersumber dari
pimpinan Rumah Sakit, dokter, mantri dan tenaga kesehatan lainnya serta beberapa pasien
Rumah Sakit Umum Daerah Sangata Kabupaten Kutai timur. (b). Data sekunder yaitu data
yang diperoleh dari studi kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapatpendapat atau tulisan-tulisan para ahli atau pihakpihak lain yang berwenang, peraturan
perundang-undangan dan lain-lain.

PEMBAHASAN
1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Konsumen Yang Mengalami
Malpraktik Jasa Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit
Menurut pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen menegaskan bahwa perlindungan hukum bagi konsumen adalah “segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen”. Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen antara lain
adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi
tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang
jujur dan bertanggung jawab. Tetapi dalam kenyataannya masih banyak pelanggaran hakhak konsumen yang di lakukan oleh pelaku usaha. Hal semacam ini sudah sampai mewabah
pada bidang kesehatan di Indonesia pada umumnya. Rumah Sakit berperan
menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan merupakan ujung tombak pembangunan
kesehatan di Indonesia. Dalam penyelenggaraan pelayanan rumah sakit, maka rumah sakit harus
melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan umum dan pelayanan medik baik melalui

akreditasi, sertifikasi, ataupun proses peningkatan mutu lainnya.Upaya peningkatan mutu
pelayanan kesehatan dapat diartikan keseluruhan upaya dan kegiatan secara komprehensif
dan integratif yang menyangkut struktur, proses, outcome secara objektif, sistematik dan
berlanjut memantau dan menilai mutu dan kewajaran pelayanan terhadap pasien,
menggunakan peluang untuk meningkatkan pelayanan pasien, dan memecahkan masalahmasalah yang terungkapkan sehingga pelayanan yang diberikan di rumah sakit berdaya
guna dan berhasil guna. Mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit perlu didukung oleh sumber
daya yang dimiliki meliputi sumber daya manusia, sarana, prasarana, peralatan medis, dan
anggaran rumah sakit yang memadai. adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
pemberian perlindungan hukum terhadap pasien dari pihak tenaga kesehatan maupun pihak
3 Pasal 50 Undang-undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Rumah Sakit itu sendiri adalah sebagai berikut : Pertama, Hubungan dokter dan Pasien,
Dalam pelayanan di bidang medis, tidak terpisah akan adanya hubungan hukum antara
dokter atau rumah sakit sebagai pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien sebagai penerima
jasa pelayanan kesehatan. Hubungan yang timbul antara pasien dan rumah sakit dapat
dibedakan pada dua macam perjanjian yaitu: pertama, perjanjian perawatan dimana terdapat
kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar
perawatan dan dimana tenaga perawatan melakukan tindakan perwatan. Kedua, perjanjian
pelayanan medis dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis
pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan

medis Inspanning Verbintenis.4
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hubungan hukum antara pasien dan dokter adalah
transaksi terapiutek yaitu sebuah transaksi antara dokter dan pasien dimana masing-masing
harus memenuhi syarat-syarat dalam aturan hukum atau syarat sahnya suatu perjanjian
yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata. Sedangkan untuk pelaksanaan perjanjian itu
sendiri harus dilaksanakan dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan pasal 1338 dan 1339
KUH Perdata. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka proses terhadap kepastian
perlindungan hukum bagi pasien dan rumah sakit terjadi dengan lahirnya kata sepakat yang
disertai dengan kecakapan untuk bertindak dalam perjanjian dan berlaku secara sah sebagai
undang-undang. Dalam perkembangan ilmu dan kemajuan teknologi kedokteran yang
sangat pesat belum diikuti dengan perilaku profesi dokter yang akomoditif terhadap hak-hak
pasien, sehingga resiko yang dihadapi pasien semakin tinggi. Pasien pada umumnya selalu
menerima apa saja kata dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Padahal menurut pasal 4 sampai
dengan pasal 8 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan yang mengatur
mengenai hak-hak pasien, pasien dihadapan dokter memiliki hak penuh untuk mendapatkan
informasi yang sejelas-jelasnya dan berhak untuk ikut menentukan tindakan yang akan
diambil dalam penyembuhan penyakit, serta berhak untuk mendapatkan pelayanan yang layak
bagi kesehatan.
Dalam ketentuan pasal 5 huruf c dan pasal 8 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan juga disebutkan bahwa : Pasal 5 huruf c “Setiap orang berhak secara

mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi
dirinya.” Pasal 8 “Setiap orang berhak memperoleh
informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah
maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.”Perlindungan pasien dengan jelas diatur
dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 56 yang berisikan ketentuan
4 Fred Ameln (1991) dalam perlindungan konsumen kesehatan berkaitan dengan
malpraktik medic, -http:/id.shyoong.com/law-and-polities/1853631-perlindungankonsumen-kesehatan-berkaitandengan-malpraktik-medik/diakses 01 Maret 2013.

antara lain sebagai berikut :“(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau
seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan
memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.(2) Hak menerima atau
menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke
dalam masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.”Keempat, Mutu pelayanan
kesehatan yang diberikan dokter/tenaga kesehatan dan Rumah Sakit. Peran dan fungsi rumah
sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan medis yang professional akan erat kaitannya

dengan 3 (tiga) unsur, yaitu terdiri dari: pertama, unsur mutu yang dijamin kualitasnya. Kedua,
unsur keuntungan atau manfaat yang tercermin dalam mutu pelayanan. Ketiga, hukum yang
mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran dan/atau medik khususnya.5
Unsurunsur sebagaimana dimaksud akan bermanfaat bagi pasien dan dokter/tenaga
kesehatan serta rumah sakit, disebabkan karena adanya hubungan yang saling melengkapi
unsur tersebut. Pelayanan kesehatan memang sangat membutuhkan kualitas mutu pelayanan
yang baik dan maksimal dengan manfaat yang dapat dirasakan oleh penerima jasa
pelayanan kesehatan dan pemberi jasa pelayanan kesehatan.Disamping itu, seorang dokter
harus memiliki pengetahuan yang baik tentang standar pelayanan medik dan standar profesi
medik, pemahaman tentang malpraktik medik, penanganan penderita gawat darurat, rekam
medis, euthanasia dan lain-lain. Semua itu merupakan pengetahuan masa kini yang perlu
untuk didalami secara professional. Agar tidak terjadi tindakan medik yang menimbulkan
kesalahan dan atau kelalaian dari dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit, yang akan
menimbulkan kerugian bagi pasien. Kelima, Hak-hak pasien selaku konsumen yang mengalami
malpraktik dalam pelayanan kesehatan tidak dipenuhi oleh pihak Rumah Sakit. Dalam hal ini
mengenai hak Konsumen diatur dalam pasal 4 huruf c, d, e dan f
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu :
a. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
5 Hermien Haditi Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, (Surabaya: Airlangga

Press, 2002), hlm. 118.

b. hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
c. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
d. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

2. Tanggung Jawab Pihak Rumah Sakit Terhadap Kerugian Yang Dialami
Oleh Pasien Akibat Terjadi Malpraktik.
Setiap pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya
hak hukum seseorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hak yang melahirkan
kewajiban hukum orang lain untuk member pertanggungjawabannya.
Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dibedakan sebagai berikut :
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault)
2. Prinsip praduga untuk bertanggung jawab (presumption of liability)
3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non liability)
4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)
5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability)6
Dalam hukum perdata dasar pertanggungjawaban itu ada dua macam yaitu kesalahan dan
resiko. Dengan demikian dikenal pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (liability

without based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault)
yang dikenal dengan tanggungjawab resiko (risk liability) atau tanggung jawab mutlak
(strict liability). Prinsip dasar pertanggungjawaban atas dasar kesalahan mengandung arti
bahwa seseorang harus bertanggung jawab karena seseorang tersebut telah bersalah
melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Sebaliknya prinsip tanggung jawab resiko
merupakan dasar pertanggungjawaban, maka konsumen (pasien) sebagai penggugat tidak
diwajibkan lagi membuktikan kesalahan produsen (dokter) sebagai tergugat sebab menurut
prinsip ini dasar pertanggungjawaban bukan lagi kesalahan melainkan produsen (dokter)
langsung bertanggung jawab sebagai resiko usahanya.7
6 Titik Triwulan Tutik dan Sinta Febriana, (Jakarta: Perlindungan Hukum Bagi Pasien, Prestasi
Pustaka Publisher, 2010), hlm. 49.

7 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Pertanggung-jawaban
Menurut Hukum Perdata, (Jakarta: Raja Grafindo Perada, 2006), hlm. 125.

Menurut hukum perdata, pertanggungjawaban dapat dikualifikasikan dalam tiga kategori yaitu
pertama, pertanggungjawaban karena kasus Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) sesuai
ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Kedua,pertanggungjawaban karena Wan Prestasi (WP)
sesuai pasal 1243 KUH Perdata dan ketiga, pertanggung jawaban penyalahgunaan keadaan
berdasarkan doktrin hukum. Pemberian hak ganti rugi merupakan upaya untuk memberikan

perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik
karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting karena
akibat kelalaian atau kesalahan tersebut mungkin dapat menyebabkan kematian atau
menimbulkan cacat yang permanen.
Masalah hukum dalam pelayanan medis umumnya terjadi di rumah sakit dimana tenaga
kesehatan bekerja. Secara umum unsur pokok malpraktik dalam pengertian malpraktik
kedokteran adalah ketidaksesuaian dengan standar medis.Standar medis perlu dihubungkan
dengan tujuan ilmu kedokteran, yang oleh leenen sebagaimana dikutip dari Fred
Ameln,8dirinci sebagai berikut :
a. Menyembuhkan dan mencegah penyakit (cure and preventive)
b. Meringankan penderita
c. Comforting pasien termasuk mengantar mengakhiri hidup
d. Penerapan atas keseimbangan, berhubungan dengan tindakan diagnostik dan terapiutek
dengan peringanan penderitaan dan comforting dan pula dengan tindakan preventif.

Dalam hal pertanggungjawaban atas pelayanan medis yang mana pihak pasien merasa dirugikan
maka perlu untuk diketahui siapa yang terkait di dalam tenaga medis tersebut. Tenaga
medis yang dimaksud adalah dokter yang bekerjasama dengan tenaga professional lain di
dalam menyelenggarakan dan memberikan pelayanan medis kepada pasien. Apabila dalam
tindakan medis terjadi kesalahan dan mengakibatkan kerugian terhadap pasien, maka

tanggung jawab tidak langsung kepada pihak rumah sakit, terlebih dahulu harus melihat apakah
kesalahan tersebut dilakukan oleh dokter atau tenaga medis yang lain. Setiap masalah yang
terjadi baik sengaja maupun tidak sengaja perlu diteliti terlebih dahulu. Apabila kesalahan
dilakukan oleh dokter, maka rumah sakit yang bertanggung jawab secara umumnya dan dokter
sebagai pelaksana tindakan medis dapat dikenakan sanksi.Seorang dokter harus
membandingkan tujuan tindakan mediknya dengan resiko dari tindakan tersebut dan harus
berusaha menerapkan tujuan itu dengan resiko yang terkecil. Dalam kaitannya dengan
tanggung jawab rumah sakit selaku badan hukum, maka pada prinsipnya rumah sakit
8 Fred Ameln, kapita Selekta Hukum Kedokteran, (Jakarta: Grafikatama Jaya, 1991), hlm. 8990.

bertanggung jawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan sesuai dengan bunyi pasal 1365 KUH Perdata yaitu :
“Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut”. Selain itu juga tertuang dalam pasal
58 ayat 1 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yaitu:
“Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan dan/atau
penyelenggaraan kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.”
Terdapat dua kategori rumah sakit selaku pihak tergugat yaitu rumah sakit pemerintah dan
rumah sakit swasta. Berkaitan dengan rumah sakit pemerintah, maka manajemen rumah sakit

pemerintah c.q Dinas kesehatan/Menteri Kesehatan dapat dituntut. Menurut pasal 1365 KUH
Perdata, seorang pegawai yang bekerja pada rumah sakit pemerintah menjadi pegawai
negeri dan Negara sebagai suatu badan hukum dapat dituntut untuk membayar ganti rugi atas
tindakan pegawai negeri yang dalam menjalankan tugasnya merugikan pihak lain. Sedangkan
untuk manajemen rumah sakit swasta diterapkan pasal 1365 dan pasal 1367 KUH Perdata,
karena rumah sakit swasta sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat
bertindak dalam hukum dan dapat dituntut seperti halnya manusia.Tenaga kesehatan khususnya
yang bekerja di Rumah Sakit Pemerintah yaitu tenaga dari PNS (Pegawai Negeri Sipil)
dan Swasta. Di dalam melaksanakan tugas profesinya, baik tenaga dari PNS ataupun
swasta mempunyai perbedaan dalam tanggung jawab. Apabila dokter dari PNS yang
melakukan kesalahan/kelalaian/malpraktik dalam tindakan medis, dokter tersebut diberikan
sanksi berupa pemindahan kerja ke instansi kesehatan lain atau pemberhentian sementara,
bahkan pemberhentian tidak dengan hormat apabila dianggap pelanggaran tersebut
merupakan pelanggaran disiplin tingkat berat. Hal ini sesuai dengan peraturan disiplin
PNS yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999.
Sedangkan, dokter swasta apabila melakukan kesalahan biasanya sanksi yang dijatuhkan
berupa diberhentikan oleh Rumah Sakit tempat ia bekerja sesuai dengan kesepakatan dalam
kontrak kerjanya. Akibat dari kesalahan dokter yang menyebabkan kerugian terhadap pasien
akan menjadi beban bagi pihak rumah sakit. Seorang dokter hanya sebatas berusaha sesuai
dengan kemampuan dan standar yang digariskan atas profesinya. Sehingga apabila pasien
mengalami ketidaksembuhan, maka dokter tidak dapat dituntut selama menjalankan sesuai
dengan prosedur pelayanan yang ada. Namun berbeda keadaan, apabila seorang dokter
menjalankan pelayanan tidak sesuai dengan prosedur, pasien dapat menuntut kerugian
kepadanya.
Mengenai tanggung jawab bagi pasien yang diberikan/dilakukan oleh pihak Rumah Sakit
apabila terjadi kesalahan/kelalaian/malpraktik yang dilakukan oleh dokter, maka pasien
yang menderita kerugian dapat menuntut ganti rugi kepada pihak Rumah Sakit. Pasien

yang merasakan dirugikan atas pelayanan medis dapat menyampaikan pengaduan atau
kerugian tersebut kepada direktur Rumah Sakit kemudian ke komite medik dengan memberikan
keterangan mengenai hal yang diadukan atau dirugikan dari pelayanan dokter atau tenaga
medis lainnya, kemudian Direktur Rumah Sakit akan memanggil kedua belah pihak yaitu
pasien dan dokter untuk dimintai keterangan tentang masalah apa yang terjadi diantara
keduanya dan dicari pemecahan masalahnya. Apabila terbukti bahwa kerugian yang diderita
oleh pasien diakibatkan oleh kesalahan/kelalaian/malpraktik dokter maka yang bertanggung
jawab atas kerugian tersebut bisa rumah sakit atau dokter sesuai hasil keputusan yang diambil
direktur rumah sakit.
Apabila dalam penyelesaian oleh pihak Rumah Sakit tidak ditemukan jalan damai, artinya
pasien tidak puas atas keputusan yang diambil oleh direktur rumah sakit atau tidak ada
pemecahan masalah yang diperoleh. Maka pasien sendiri dapat melaporkan sengketa tersebut
ke Dinas Kesehatan atau Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sangatta agar sengketa tersebut
dapat diselesaikan. Apabila tetap tidak ditemukan pemecahan atas sengketa tersebut maka
pasien dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia sesuai dengan pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Kedokteran.
Pasien dapat mengajukan sengketa tersebut ke Pengadilan Negeri. Apabila seorang dokter
melakukan kesalahan profesi (criminal malpractice), secara yuridis semua kasus culpa
dapat diajukan ke pengadilan pidana maupun perdata sebagai malpraktik untuk dilakukan
pembuktian berdasarkan standar profesi kedokteran dan informed consent. Apabila dokter
terbukti tidak menyimpang dari standar profesi kedokteran dan sudah memenuhi informed
consent maka dokter tersebut tidak dipidana atau diputuskan bebas membayar ganti kerugian.
Data yang diperoleh dalam penelitian bahwa tanggung jawab berupa penggantian kerugian
yang diberikan oleh pihak Rumah Sakit Umum Daerah Sangatta khususnya terhadap
kerugian yang dialami BY, tidak sesuai karena pihak rumah sakit hanya menanggung
sebagian biaya operasi saja. Padahal dengan jelas pasal 1365 KUH Perdata disebutkan
bahwa pelaku harus mengganti kerugian sepenuhnya. Oleh karena itu, pasien (BY)
mengharapkan keadilan dari Pihak Rumah Sakit karena dalam hal ini dokter telah
melakukan kesalahan dalam melakukan tindakan medis kepadanya. Dari ketentuan tersebut
maka pihak rumah sakit dan tenaga kesehatan harus lebih berhati-hati didalam melakukan
tindakan medis yang mana dari pihak pasien mempercayakan sepenuhnya akan tindakan
medis yang dilakukannya.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut : Pertama, Perlindungan Hukum Terhadap Pasien

Sebagai Konsumen Yang Mengalami Malpraktik Jasa Pelayanan Kesehatan .Pihak Rumah
Sakit
sudah berupaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemberi pelayanan
kesehatan dalam hal ini dokter dan penerima pelayanan kesehatan (pasien). Namun dalam
pelaksanannya perlindungan hukum yang diberikan pihak Rumah Sakit belum berjalan
dengan optimal, hal tersebut disebabkan karena beberapa faktor yaitu: pertama, hubungan
dokter dan pasien, yang selama ini lebih dominan dokter karena pasien selalu menuruti
segala perintah dan arahan yang diberikan dokter tanpa mengetahui kebenarannya terlebih
dahulu. Kedua, system perlindungan
hukum yang ditetapkan pihak rumah sakit. Ketiga, fasilitas, sarana dan prasarana yang
kurang memadai. Keempat, mutu pelayanan kesehatan yang diberikan dokter/tenaga
kesehatan dan rumah sakit. Kelima, Hak-hak pasien selaku konsumen yang mengalami
malpraktik dalam pelayanan kesehatan tidak dipenuhi.
Kedua,Tanggung Jawab Pihak Rumah Sakit Terhadap Kerugian Yang Dialami
Oleh Pasien Akibat Terjadi Malpraktik Di Rumah Sakit., apabila terjadi suatu
kelalaian/kesalahan/malpraktik medis, maka rumah sakit yang merupakan rumah sakit
pemerintah c.q Dinas kesehatan/Menteri Kesehatan dapat dituntut. Menurut pasal 1365
KUH Perdata, seorang pegawai yang bekerja pada rumah sakit pemerintah menjadi pegawai
negeri dan Negara sebagai suatu
badan hukum dapat dituntut untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri
yang dalam menjalankan tugasnya merugikan pihak lain. Apabila dokter berstatus PNS
yang melakukan kesalahan/kelalaian/malpraktik dalam tindakan medis, dokter tersebut
diberikan sanksi berupa pemindahan kerja ke instansi kesehatan lain atau pemberhentian
sementara, bahkan pemberhentian tidak dengan hormat apabila dianggap pelanggaran
tersebut merupakan pelanggaran disiplin tingkat berat. Selain itu pasien yang menderita
kerugian dapat menuntut ganti rugi kepada pihak Rumah Sakit. Pasien yang merasa
dirugikan atas pelayanan medis dapat menyampaikan pengaduan atau kerugian tersebut
kepada direktur Rumah Sakit kemudian ke komite medik dengan memberikan
keterangan mengenai hal yang diadukan atau dirugikan dari pelayanan dokter atau tenaga
medis lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
A. LITERATUR
1. Ameln, Fred. kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta: Grafikatama Jaya, 1991.

2. Nasution, Bahder Johan. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter. Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2005.
3. Koeswadji, Hermien Haditi. Hukum dan Masalah Medik. Surabaya: Airlangga
Press, 2002.
4. Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Pertanggung-jawaban
Menurut Hukum Perdata. Jakarta: Raja Grafindo Perada, 2006.
5. Tutik, Titik Triwulan dan Shita Friana. Perlindungan Hukum Bagi Pasien. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher, 2010.
6. Republik Indonesia. Undang-undang Dasar republik Indonesia Tahun 1945
7. Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
8. Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen.
Undangundang Nomor 8 Tahun 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 42. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4126.
9. Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Praktik Kedokteran. Undang-undang
Nomor 29 Tahun 2004. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116.
10. Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Kesehatan. Undang-undang Nomor 36
Tahun 2009. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144.
11. Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Rumah Sakit. Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153.
12. Fred Ameln. 1991: dalam perlindungan konsumen kesehatan berkaitan dengan
malpraktik medik, -http:/id.shyoong.com/law – and – polities /1853631
-perlindungan – konsumen – kesehatan – berkaitan – dengan - malpraktik medik/
diakses 01 Maret 2013.