EVIDENTIARY PROCESS OF CARTEL CASES IN INDONESIA USING INDIRECT EVIDENCE

PEMBUKTIAN PERKARA KARTEL DI INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN BUKTI TIDAK LANGSUNG ( INDIRECT EVIDENCE)

Kajian Putusan KPPU Nomor 17/KPPU-I/2010 dan Nomor 08/KPPU-I/2014 serta Putusan Nomor 294 K/PDT.SUS/2012 dan Nomor 221 K/PDT.SUS-KPPU/2016

EVIDENTIARY PROCESS OF CARTEL CASES IN INDONESIA USING INDIRECT EVIDENCE

Udin Silalahi & Isabella Cynthia Edgina

Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Jl. M.H. Thamrin Boulevard, Tangerang 1581

An Analysis of the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) Decision Number 17/KPPU-I/2010 and Number 08/KPPU-I/2014, as well as Court Decision Number 294 K/PDT.SUS/2012 and Number 221 K/PDT.SUS-KPPU/2016

Naskah diterima: 24 Juli 2017; revisi: 13 Oktober 2017; disetujui 18 Desember 2017 http://dx.doi.org/10.29123/jy.v10i3.216

pertimbangan hukum tentang prinsip pembuktian yang KPPU based on Decision Number 17/KPPU-I/2010 and mensyaratkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang Decision Number 08/KPPU-I/2014 in relation to Law sah dalam memutus pelanggaran atas Undang-Undang Number 5 of 1999. The research method of this analysis Nomor 5 Tahun 1999.

is normative legal research by using legal approach, case Kata kunci: kartel, pasar bersangkutan, bukti tidak study approach and conceptual approach. The end result

shows that KPPU is inconsistent to determine the relevant langsung.

market on the Decision Number 17/KPPU-I/2010 and

the Decision Number 08/KPPU-I/2014. In addition, KPPU only uses indirect evidence to prove the violation

ABSTRACT

In order to prove the violation of Article 5 (price cartel), of Law Number 5 of 1999. The Supreme Court through Article 9 (allocation of territory cartel), and Article the Court Decision Number 294 K/PDT.SUS/2012

11 (production cartel) of Law Number 5 of 1999, each rejects the using of indirect evidence while through the article requires the fulfillment of agreement element. Court Decision Number 221K/PDT.SUS-KPPU/2016 However since the cartels between the businesses the Supreme Court accepts the indirect evidence. actors are conducted in silent, therefore the Business However, in the legal considerations the judges do Competition Supervisory Commission (KPPU) needs not contain the legal basis on the receipt of indirect an indirect evidence to prove the existence of cartel evidence as evidence in Law Number 5 of 1999. Besides, agreement between them. The concerns of this analysis the consideration of the Supreme Court does not contain are 1) how the KPPU determines the relevant market the principle of evidentiary process which requires at based on the KPPU’s Decision Number 17/KPPU-I/2010 least two valid evidences to prove the violation of Law and Decision Number 08/KPPU-I/2014 in relation Number 5 of 1999. to KPPU Regulation Number 3 of 2009, and 2) how

Keywords: cartel, relevant market, indirect evidence. the evidentiary process using indirect evidence by the

I. PENDAHULUAN

dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan,

A. Latar Belakang

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), penegakan hukum, dan ketentuan lain-lain.

Pengaturan mengenai hukum persaingan Berdasarkan pengaturan tersebut di atas, salah usaha di Indonesia diatur dalam Undang- satu bentuk perjanjian yang dilarang dalam Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

kartel.

Sehat yang diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 dan mulai berlaku satu tahun kemudian.

Kartel pada dasarnya adalah perjanjian satu Dengan diberlakukannya Undang-Undang pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya Nomor 5 Tahun 1999 setiap pelaku usaha harus untuk menghilangkan persaingan di antara melaksanakan ketentuan-ketentuan mengenai keduanya. Secara klasik kartel dapat dilakukan bagaimana menjalankan kegiatan usahanya melalui tiga hal yaitu harga, produksi, dan secara fair dan kondusif.

wilayah pemasaran (Nasution & Wiranti, 2008: 4). Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

Secara umum materi Undang-Undang 1999, larangan mengenai perjanjian penetapan Nomor 5 Tahun 1999 mengandung enam bagian harga diatur dalam Pasal 5, larangan mengenai pengaturan yang terdiri dari perjanjian yang perjanjian pembagian wilayah diatur dalam Pasal

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 3 Desember 2017: 311 - 330

9, dan larangan mengenai perjanjian pengaturan Selain pasar bersangkutan, dalam rangka produksi dan/atau pemasaran diatur dalam Pasal membuktikan terjadinya pelanggaran terhadap

11. Tujuan utama para pelaku usaha melakukan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 perjanjian kartel adalah untuk meningkatkan Tahun 1999, KPPU harus menganalisis dan keuntungan di antara anggota kartel dan membuktikan bahwa unsur-unsur dari masing- hal ini akan merugikan konsumen, karena masing pasal telah terpenuhi. Dalam kasus konsumen tidak punya pilihan lain di pasar yang dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 bersangkutan terhadap produk tertentu, baik dari Tahun 1999, baik Pasal 5, Pasal 9, maupun Pasal aspek harga maupun kualitasnya (Silalahi, 2013:

11, mensyaratkan pemenuhan unsur perjanjian 379).

untuk membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran atas ketentuan pasal-pasal tersebut.

Definisi pasar bersangkutan merupakan Namun demikian karena kartel biasanya dibentuk

tahapan awal dari analisis persaingan usaha dan dilakukan secara rahasia maka pembuktian

yang penerapannya dilakukan secara kasus per keberadaan perjanjian kartel menimbulkan

kasus. Melalui penetapan pasar bersangkutan permasalahan (Silalahi (Ed.), 2015: 11). Dalam

dapat diperoleh informasi serta ukuran yang hal ini KPPU sulit untuk menemukan adanya

jelas mengenai pasar, pelaku usaha yang perjanjian tertulis maupun dokumen lain yang

terlibat, serta dampak anti persaingan dari setiap secara eksplisit berisi kesepakatan mengenai

dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 harga, wilayah pemasaran, maupun produksi

Tahun 1999. Pendefinisian pasar bersangkutan atas barang dan/atau jasa di antara pelaku usaha.

merupakan bagian penting dari upaya pembuktian Oleh karena itu dalam perkembangannya untuk

dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 membuktikan terjadinya kartel dibutuhkan alat

Tahun 1999 (Nugroho, 2012: 123). bukti yang disebut dengan bukti tidak langsung

Menurut Prof. Dr. Ine Minara S. Ruky betapa (indirect evidence). pentingnya pendefinisian pasar bersangkutan

Berbeda halnya dengan Amerika Serikat dilakukan dengan metode yang benar. Karena

dan Uni Eropa yang telah menerima dan ketika itu salah dilakukan maka analisis

mempraktikkan pembuktian tidak langsung selanjutnya menjadi tidak bermakna karena

(Junaidi, 2008: 9), Undang-Undang Praktik di dalam pasal-pasal tersebut jelas ditegaskan

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di bahwa pelaku usaha dilarang bersepakat dengan

Indonesia belum mengatur mengenai penggunaan pelaku usaha pesaingnya (Silalahi (Ed.), 2017:

bukti tidak langsung (indirect evidence) sebagai 45-46). Dalam Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun

alat bukti untuk membuktikan terjadinya kartel. 2009 tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 angka

Dalam hal ini ketika KPPU memutus dugaan

10 tentang Pasar Bersangkutan berdasarkan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 harus

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan berdasarkan pada alat bukti sebagaimana diatur

Usaha Tidak Sehat, terdapat tiga parameter dalam Pasal 42 yaitu: 1) keterangan saksi; 2)

utama sebagai alat pendekatan untuk menentukan keterangan ahli; 3) surat dan/atau dokumen; 4)

pasar bersangkutan yaitu harga, karakter, dan petunjuk; dan 5) keterangan pelaku usaha.

kegunaan/fungsi produk.

Pembuktian Perkara Kartel di Indonesia (Udin Silalahi & Isabella Cynthia Edgina)

Namun demikian pada praktiknya, (indirect evidence) untuk membuktikan dan walaupun belum diatur dalam Undang-Undang memutuskan terjadinya kartel. Sebaliknya dalam Nomor 5 Tahun 1999, KPPU ketika membuktikan Putusan Nomor 08/KPPU-I/2014, Mahkamah terjadinya kartel pada Putusan Nomor 17/ Agung melalui Putusan Nomor 221 K/PDT. KPPU-I/2010 tentang dugaan pelanggaran SUS-KPPU/2016 menguatkan Putusan KPPU Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16, dan Pasal 25 ayat walaupun dalam membuktikan dan memutuskan (1) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun terjadinya kartel, KPPU juga menggunakan 1999 dalam industri farmasi kelas amlodipine bukti tidak langsung (indirect evidence). Dalam dan Putusan Nomor 08/KPPU-I/2014 tentang putusan tersebut, majelis hakim kasasi menerima dugaan pelanggaran Pasal 5 ayat (1) dan Pasal penggunaan bukti tidak langsung (indirect

11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam evidence) sebagai alat bukti untuk membuktikan industri otomotif terkait kartel ban kendaraan dan memutuskan terjadinya kartel. Mahkamah bermotor roda empat telah menggunakan bukti Agung sebagai lembaga tertinggi peradilan di tidak langsung (indirect evidence).

Indonesia tidak konsisten dalam penerimaan bukti tidak langsung sebagai alat bukti dalam

Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010, terlapor

pembuktian praktik kartel.

yaitu PT PI dan PT DM diduga melakukan perjanjian penetapan harga dan pengaturan

B. Rumusan Masalah

produksi dan/atau pemasaran obat merek Norvask dan Tensivask yang mengakibatkan harga

Berdasarkan latar belakang tersebut di obat menjadi tinggi (excessive price) sehingga atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini

merugikan konsumen. Sedangkan dalam Putusan adalah: Nomor 08/KPPU-I/2014, para terlapor yaitu

perusahaan produsen ban diduga melakukan 1. Bagaimana penetapan pasar bersangkutan perjanjian penetapan harga dan pengaturan

oleh KPPU dalam Putusan Nomor 17/ produksi dan/atau pemasaran ban kendaraan

KPPU-I/2010 dan Putusan Nomor 08/ bermotor roda empat sehingga mengakibatkan

KPPU-I/2014 dihubungkan dengan terjadinya kenaikan harga barang yang merugikan

Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2009? konsumen.

2. Bagaimana penggunaan bukti tidak Permasalahannya adalah pemahaman

langsung (indirect evidence) oleh KPPU KPPU yang belum lengkap tentang penggunaan

dalam Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010 bukti tidak langsung (indirect evidence) ditambah

dan Putusan Nomor 08/KPPU-I/2014 dengan belum adanya pengaturan mengenai

dihubungkan dengan Undang-Undang penggunaan bukti tidak langsung (indirect

Nomor 5 Tahun 1999?

evidence) dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 mengakibatkan Putusan KPPU Nomor 17/ C. Tujuan dan Kegunaan

KPPU-I/2010 dibatalkan oleh Mahkamah Agung Tujuan daripada penelitian ini adalah: melalui Putusan Nomor 294 K/PDT.SUS/2012.

Dalam putusan tersebut, majelis hakim kasasi

1. Untuk menelusuri dan menganalisis menolak penggunaan bukti tidak langsung

penetapan pasar bersangkutan oleh KPPU

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 3 Desember 2017: 311 - 330 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 3 Desember 2017: 311 - 330

a. Pasar Produk

2. Menelusuri dan menganalisis pembuktian Analisis pasar produk pada intinya perkara kartel di Indonesia dengan bertujuan untuk menentukan jenis barang dan/ menggunakan bukti tidak langsung (indirect atau jasa yang sejenis atau tidak sejenis tapi evidence) khususnya menganalisis putusan merupakan substitusinya yang saling bersaing KPPU dan Mahkamah Agung sehubungan satu sama lain. Untuk melakukan analisis ini dengan penggunaan bukti tidak langsung maka suatu produk harus ditinjau dari beberapa (indirect evidence) dihubungkan dengan aspek yaitu: kegunaan, karakteristik, dan harga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

(Lubis et al., 2009: 209). Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2009, produk akan

Penelitian ini diharapkan dapat dikategorikan dalam pasar bersangkutan atau

memberikan manfaat bagi pengembangan hukum dapat digantikan satu sama lain apabila menurut

persaingan usaha serta dapat menjadi bahan konsumen terdapat kesamaan dalam hal fungsi

acuan bagi KPPU, pengadilan negeri, Mahkamah atau peruntukan atau penggunaan, karakter

Agung, para praktisi hukum, pelaku usaha serta spesifik, serta perbandingan tingkat harga produk masyarakat tentang pembuktian perkara kartel

tersebut dengan harga barang lainnya. Dalam hal di Indonesia dengan menggunakan bukti tidak

ini preferensi atau selera konsumen merupakan langsung (indirect evidence). faktor penentu dalam pendefinisian pasar produk.

Preferensi tersebut paling tidak diwakili oleh

D. Tinjauan Pustaka

indikator utama yaitu harga, karakter atau ciri

dari produk yang bersangkutan dan kegunaan Pasar bersangkutan sesuai dengan ketentuan (fungsi). Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 5

1. Pasar Bersangkutan

Tahun 1999 adalah pasar yang berkaitan dengan b. Pasar Geografis

jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh Analisis pasar geografis bertujuan untuk pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama menjelaskan di area mana saja pasar produk

atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau yang telah didefinisikan saling bersaing satu jasa tersebut.

sama lain (Lubis et al., 2009: 209). Berdasarkan Pasar yang berkaitan dengan jangkauan Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2009,

atau daerah pemasaran tertentu dalam hukum pengertian jangkauan atau daerah pemasaran persaingan usaha dikenal sebagai pasar geografis. tertentu dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Sedangkan barang dan/atau jasa yang sama atau Nomor 5 Tahun 1999 mengacu pada penetapan

sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa pasar bersangkutan berdasarkan aspek geografis tersebut dikenal sebagai pasar produk. Oleh atau daerah atau teritori yang merupakan lokasi karena itu analisis mengenai pasar bersangkutan pelaku usaha melakukan kegiatan usahanya dan/ dilakukan melalui analisis pasar produk dan pasar atau lokasi ketersediaan atau peredaran produk geografis (Lubis et al., 2009: 209).

dan jasa dan/atau di mana beberapa daerah memiliki kondisi persaingan relatif seragam dan

Pembuktian Perkara Kartel di Indonesia (Udin Silalahi & Isabella Cynthia Edgina)

tertentu yang harus terpenuhi sehingga memenuhi kualifikasi adanya potensi bagi terjadinya praktik

Penetapan pasar bersangkutan berdasarkan monopoli dan/atau praktik persaingan usaha tidak

aspek geografis sebagaimana dimaksud dalam sehat. Ciri kedua adalah apabila dalam aturan

Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2009 sangat tersebut memuat anak kalimat “patut diduga atau

ditentukan oleh ketersediaan produk yang dianggap” (Nugroho, 2012: 725).

menjadi objek analisa. Beberapa faktor yang menentukan dalam ketersediaan produk tersebut

b. Pendekatan Per Se Illegal adalah kebijakan perusahaan, biaya transportasi,

lamanya perjalanan, tarif, dan peraturan-peraturan Pendekatan per se illegal artinya suatu yang membatasi lalu lintas perdagangan antar perbuatan itu dengan sendirinya telah melanggar

kota/wilayah. Berbagai faktor tersebut akan ketentuan yang diatur jika perbuatan itu telah menentukan luas dan cakupan wilayah dari memenuhi rumusan dari undang-undang tanpa produk yang dijadikan objek analisis.

alasan pembenaran dan tanpa perlu melihat akibat dari tindakan yang dilakukan. Dalam Undang-

2. Instrumen Pendekatan

Undang Nomor 5 Tahun 1999, teori per se illegal ini diterapkan pada pasal-pasal yang tidak

Rule of reason dan per se illegal adalah mensyaratkan “yang mengakibatkan atau dapat dua bentuk pendekatan yang dipergunakan untuk mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ menilai apakah suatu perjanjian atau kegiatan atau persaingan usaha tidak sehat” (Nugroho, yang dilakukan oleh pelaku usaha telah melanggar 2012: 701). Dengan kata lain penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Sirait et pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan al., 2010: 172). dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah

a. Pendekatan Rule of Reason “dilarang” tanpa anak kalimat “…yang dapat mengakibatkan…” (Lubis et al., 2009: 55).

Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang menentukan meskipun suatu

3. Kartel

perbuatan telah memenuhi rumusan undang-

undang namun jika ada alasan objektif yang dapat a. Penetapan Harga

membenarkan perbuatan tersebut maka perbuatan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

itu bukan merupakan suatu pelanggaran. Artinya, 1999, larangan mengenai perjanjian penetapan

penerapan hukumnya tergantung pada akibat harga diatur dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu pelaku

yang ditimbulkannya, apakah perbuatan itu telah usaha dilarang membuat perjanjian dengan

menimbulkan praktik monopoli atau persaingan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan

usaha tidak sehat karena titik beratnya adalah harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus

unsur materiel dari perbuatannya (Nugroho, dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada

2012: 711). pasar bersangkutan yang sama. Berdasarkan

Ciri-ciri pembeda terhadap larangan yang Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011 tentang bersifat rule of reason, pertama adalah bentuk Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 3 Desember 2017: 311 - 330

Undang Nomor 5 Tahun 1999, terdapat beberapa yang berbeda, maka kesepakatan hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan

harga dapat berupa kesepakatan atas ketentuan Pasal 5, yaitu sebagai berikut:

margin (selisih antara harga dengan biaya produksi). Akibatnya harga

1. Perjanjian Penetapan Harga yang ada di pasar berbeda-beda untuk

Penetapan harga yang dilarang perusahaan dengan kelas produksi sesuai dengan Pasal 5 Undang-

yang berbeda, namun margin yang Undang Nomor 5 Tahun 1999

diperoleh perusahaan-perusahaan di adalah penetapan harga yang

pasar akan sama.

berasal dari suatu perjanjian. Tanpa Apabila dilihat dari rumusannya maka pasal

adanya perjanjian, maka kesamaan yang mengatur mengenai penetapan harga ini

harga yang ditetapkan oleh suatu dirumuskan secara per se illegal sehingga penegak

perusahaan dan perusahaan lain tidak hukum dapat langsung menerapkan pasal ini

dapat dikatakan melanggar Pasal 5. kepada pelaku usaha yang melakukan perjanjian

2. Antar Pelaku Usaha dengan Pelaku penetapan harga tanpa harus mencari alasan- Usaha Pesaingnya

alasan mereka melakukan perbuatan tersebut atau tidak diperlukan pembuktian perbuatan tersebut

Pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang menimbulkan terjadinya praktik monopoli atau

Nomor 5 Tahun 1999 hanya terjadi jika persaingan usaha tidak sehat (Lubis et al., 2009:

terdapat perjanjian penetapan harga 91-92). Selain itu, akibat dari penetapan harga

antara pelaku-pelaku usaha yang tersebut langsung dirasakan oleh konsumen,

berada di dalam pasar bersangkutan karena harga di tingkat konsumen bukan lagi

yang sama. harga berdasarkan permintaan (demand) dan

3. Harga yang Dibayar oleh Konsumen penawaran (supply) tetapi karena ditetapkan oleh atau Pelanggan

para pelaku usaha yang seharusnya bersaing. Dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan

b. Pembagian Wilayah

bahwa pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian penetapan

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun harga atas suatu barang dan/atau jasa. 1999, larangan mengenai perjanjian pembagian Penetapan harga yang dimaksud di wilayah diatur dalam Pasal 9 yaitu pelaku sini tidak hanya penetapan harga usaha dilarang membuat perjanjian dengan akhir, melainkan juga perjanjian atas pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk struktur atau skema harga. Karena di membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar dalam ayat tersebut, penetapan harga terhadap barang dan/atau jasa sehingga dapat tidak berarti penetapan harga yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ sama. Misalkan ketika perusahaan- atau persaingan usaha tidak sehat. Yang dimaksud perusahaan yang berkolusi memiliki dengan pembagian wilayah atau alokasi pasar di produksi dengan berbagai kelas antaranya:

Pembuktian Perkara Kartel di Indonesia (Udin Silalahi & Isabella Cynthia Edgina)

1. Membagi wilayah untuk memperoleh Dilihat dari rumusan pasalnya, ketentuan atau memasok barang dan/atau jasa; Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menggunakan pendekatan rule of reason.

2. Menetapkan dari siapa saja dapat Perumusan kartel secara rule of reason oleh

memperoleh atau memasok barang pembentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun

dan/atau jasa (Nugroho, 2012: 161). 1999 dapat diartikan pelaku usaha dapat membuat

Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang perjanjian pembagian wilayah dalam Pasal 9 bermaksud untuk memengaruhi harga dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dirumuskan mengatur produksi atau pemasaran barang atau secara rule of reason sehingga perlu dibuktikan jasa asalkan tidak mengakibatkan terjadinya apakah perbuatan tersebut mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan sehat (Lubis et al., 2009: 108). usaha tidak sehat atau apakah pelaku usaha mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima

4. Pembuktian

secara akal sehat (Lubis et al., 2009: 101).

a. Sistem Pembuktian

c. Pengaturan Produksi dan/atau Pemasaran Dalam ilmu pengetahuan hukum acara pidana dikenal tiga teori tentang sistem

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun pembuktian yang meliputi: 1) sistem pembuktian

1999, larangan mengenai perjanjian pengaturan menurut undang-undang secara positif (positief

produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau wettelijke bewijs theorie); 2) sistem pembuktian

jasa diatur dalam Pasal 11 yaitu pelaku usaha menurut keyakinan hakim; dan 3) sistem

dilarang membuat perjanjian dengan pelaku pembuktian menurut undang-undang secara

pesaingnya yang bermaksud untuk memengaruhi negatif (negatief wettelijk bewijs theorie) (Salim

harga dengan mengatur produksi dan/atau

& Nurbani, 2016: 228).

pemasaran suatu barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/

Ada suatu perbedaan yang tajam antara atau persaingan usaha tidak sehat.

pembuktian dalam hukum acara pidana dan pembuktian dalam hukum acara perdata. Sistem

Dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun pembuktian dalam acara pidana dikenal dengan

2010, pengaturan produksi diartikan sebagai sistem negatif di mana yang dicari oleh hakim

menentukan jumlah produksi, baik bagi anggota adalah kebenaran yang materiel, sedangkan dalam

kartel keseluruhan maupun bagi setiap anggota. hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian

Pengaturan ini bisa lebih kecil dan lebih besar dari positif di mana yang dicari oleh hakim adalah

kapasitas produksi perusahaan atau permintaan kebenaran formal. Yang dimaksud dengan sistem

barang dan/atau jasa yang bersangkutan. Adapun negatif adalah suatu sistem pembuktian di depan

pengertian mengatur pemasaran berarti mengatur pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan

jumlah barang dan/atau jasa yang akan dijual oleh hakim haruslah memenuhi dua syarat mutlak

dan/atau wilayah mana para anggota menjual yaitu alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 3 Desember 2017: 311 - 330

Prinsip pembuktian tentang adanya sebagai berikut (OECD, 2007: 1-3): pelanggaran dalam Undang-Undang Nomor 5

1. Bukti langsung

Tahun 1999 sama dengan prinsip pembuktian dalam perkara pidana yang berlaku dalam Bukti langsung adalah bukti yang KUHAP yaitu dengan berpedoman pada Pasal

menunjukkan adanya pertemuan atau 183 KUHAP yang mengatur bahwa untuk

komunikasi antar pelaku usaha serta menentukan kesalahan seorang harus didasarkan

menggambarkan isi dari perjanjian antar pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang

pelaku usaha tersebut. Bentuk dari bukti sah dan diperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

tidak langsung yaitu: a) dokumen (baik pidana benar-benar telah terjadi (Nugroho, 2012:

dalam bentuk cetakan maupun elektronik) 603).

yang menunjukkan isi perjanjian serta para pihak dalam perjanjian tersebut; dan b)

b. Alat Bukti pernyataan lisan maupun tertulis oleh para pelaku usaha kartel yang menggambarkan

Dalam proses pemeriksaan, KPPU pelaksanaan dari kartel tersebut.

memerlukan bukti-bukti bahwa pelaku usaha

yang bersangkutan melanggar Undang- 2. Bukti tidak langsung

Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan peraturan Bukti tidak langsung adalah bukti yang

pelaksananya. Adapun alat-alat bukti yang tidak secara langsung menggambarkan

digunakan oleh KPPU berbeda dengan alat-alat isi dari perjanjian atau para pihak dalam

bukti yang digunakan hukum acara perdata tetapi perjanjian tersebut. Bukti tidak langsung

mirip dengan alat-alat bukti yang tercantum terdiri dari bukti komunikasi antar para

dalam KUHAP. Dalam Pasal 42 Undang-Undang pelaku usaha yang dicurigai melakukan

Nomor 5 Tahun 1999 jo. Pasal 72 Peraturan kartel dan bukti ekonomi tentang pasar

KPPU Nomor 1 Tahun 2010, alat-alat bukti serta perilaku dari para pelaku usaha

pemeriksaan KPPU terdiri dari: kartel yang terlibat di dalamnya yang

1. Keterangan saksi; mengusulkan tindakan bersama tersebut. Bukti tidak langsung adalah merupakan

2. Keterangan ahli; alat untuk mendeteksi bahwa ada indikasi

3. Surat dan/atau dokumen; praktik kartel yang dilakukan oleh para pelaku usaha, yaitu berupa perjanjian

4. Petunjuk; dan antara pelaku usaha yang menetapkan harga jual barang atau jasa tertentu kepada

5. Keterangan pelaku usaha (Nugroho,

konsumen.

2012: 601). Terdapat beberapa bentuk dari bukti

Adapun dalam Organisation for Economic tidak langsung. Bentuk pertama yaitu

Cooperation dan Development (OECD) Policy bukti bahwa pelaku usaha kartel bertemu

Brief June 2007, Prosecuting Cartels without atau berkomunikasi, namun tidak

Direct Evidence of Agreement, alat bukti untuk menggambarkan isi dari komunikasi

membuktikan terjadinya perjanjian kartel adalah

Pembuktian Perkara Kartel di Indonesia (Udin Silalahi & Isabella Cynthia Edgina)

komunikasi. Bukti komunikasi terdiri dari: Jenis penelitian yang digunakan adalah

a. Rekaman pembicaraan telepon penelitian hukum normatif. Jenis penelitian (namun tidak menggambarkan isi hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan pembicaraan) antar pelaku usaha untuk mengkaji kualitas norma itu sendiri pesaing, atau catatan perjalanan dengan sasaran bahan penelitian pada data ke tempat tujuan yang sama atau sekunder terutama bahan hukum primer, bahan keikutsertaan dalam pertemuan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang tertentu seperti konferensi dagang;

kemudian dianalisis secara kualitatif dalam arti rumusan pembenaran melalui kualitas norma

b. Bukti lain di mana para pelaku usaha hukum itu sendiri, pendapat-pendapat ahli atau

berkomunikasi antara lain, berita doktrin dan pendukung informasi hukum (Mezak,

acara atau catatan pertemuan yang

2006: 86-87).

menunjukkan pembahasan tentang harga, permintaan, atau penggunaan

Bahan hukum primer merupakan bahan kapasitas; dokumen internal hukum yang bersifat autoritatif, artinya perusahaan yang menunjukkan mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer pengetahuan atau pemahaman terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan tentang strategi penetapan harga resmi atau risalah dalam pembuatan perundang- oleh pelaku usaha pesaing seperti undangan dan putusan-putusan hakim (Marzuki, pengetahuan tentang peningkatan 2014: 181). Bahan hukum sekunder berupa semua harga oleh pelaku usaha pesaing di publikasi tentang hukum yang bukan merupakan kemudian hari.

dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus

Bentuk kedua dari bukti tidak langsung hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-

disebut dengan bukti ekonomi. Bukti ekonomi komentar atas putusan pengadilan (Marzuki,

terdiri dari dua bentuk, yaitu structural evidence

(bukti struktural) dan conduct evidence (bukti perilaku). Bukti ekonomi struktural

Penelitian hukum ini menggunakan adalah seperti konsentrasi pasar yang tinggi, tiga pendekatan yaitu pendekatan undang- rendahnya konsentrasi pasar sebaliknya, undang (statute approach), pendekatan kasus tingginya hambatan masuk pasar, homogenitas (case approach), dan pendekatan konseptual produk menunjukkan apakah struktur pasar (conceptual approach). Bahan-bahan penelitian memungkinkan untuk pembentukan suatu yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. kartel (Silalahi, 2013: 382). Sedangkan bukti Dalam penelitian hukum dengan menggunakan perilaku adalah seperti peningkatan harga yang analisis kualitatif yang menjadi objek dari paralel, dan pola penawaran yang mencurigakan penelitian adalah norma hukum itu sendiri yang menunjukkan apakah pesaing di pasar dengan dasar pembenaran peraturan perundang- berperilaku tidak bersaing (Silalahi, 2013: 383). undangan, pendapat para ahli hukum, doktrin

maupun teori yang terkait.

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 3 Desember 2017: 311 - 330

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

POLLC (supply agreement). Dalam pelaksanaan supply agreement tersebut, PGT bertindak

KPPU telah memutus beberapa perkara sebagai pihak yang menerima planning order sehubungan dengan pelanggaran Pasal 5 dan dari PT DM, memberikan persetujuan supply, Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengirimkan zat aktif amlodipine besylate, di antaranya Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010 menerbitkan invoice packing list, dan memberikan dalam industri farmasi kelas amlodipine dan certificate of analysis kepada PT DM. Dengan

Putusan Nomor 08/KPPU-I/2014 dalam industri adanya perjanjian pemasokan bahan baku antara otomotif terkait kartel ban kendaraan bermotor PT DM dengan POLLC, maka PGT bertindak roda empat. sebagai pemasok bahan baku zat aktif amlodipine

Pertama, dalam Putusan Nomor 17/ besylate kepada PT PI dan PT DM. KPPU-I/2010, pihak terlapor dalam perkara

Selain pemasok bahan baku yang sama, ini adalah PT PI, PT DM, PInc, POLLC, PGT, baik PT PI maupun PT DM menunjuk PT AAM dan PCP. Hak paten atas zat aktif amlodipine selaku distributor utama untuk produk Norvask besylate di Indonesia diberikan kepada PInc dan Tensivask. Dalam hal ini PT DM merupakan dengan Nomor Paten ID 0 000 321 pada tanggal pemegang saham utama dalam PT AAM dengan

10 November 1995 dan berlaku 20 tahun sejak presentase kepemilikan saham sebesar 98,13%. diajukan pada tanggal 3 April 1987 dan berakhir Distribusi yang dilakukan oleh PT AAM atas obat pada tanggal 2 April 2007. PInc sebagai pemegang Norvask milik PT PI didasarkan pada perjanjian hak paten memberikan hak kepada PT PI untuk distribusi pada tanggal 22 November 1996 ( pfizer menggunakan, mengimpor, memproduksi,

distribution agreement).

memasarkan, menjual, dan mendistribusikan paten dan merek dagang yang dimiliki oleh PInc

Supply agreement yaitu perjanjian di Indonesia. Dengan demikian produksi obat anti pemasokan bahan baku antara POLLC dan PT hipertensi dengan zat aktif amlodipine besylate DM serta pfizer distribution agreement yaitu merek Norvask di Indonesia dilaksanakan oleh perjanjian distribusi obat antara PT PI dan PT PT PI.

AAM dinilai memuat ketentuan yang mengarah kepada kartel. Oleh karena itu, dalam Putusan

Selain PT PI, PT DM juga merupakan Nomor 17/KPPU-I/2010, KPPU memutuskan PT perusahaan farmasi yang memproduksi obat anti PI, PInc, POLLC, PGT, dan PCP terbukti secara hipertensi dengan zat aktif amlodipine besylate sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5, Pasal 11, di Indonesia dengan merek Tensivask. Namun Pasal 16, dan Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang- demikian dalam menggunakan bahan baku zat Undang Nomor 5 Tahun 1999. Di samping itu, aktif amlodipine besylate untuk memproduksi KPPU juga memutuskan PT DM terbukti secara Tensivask, PT DM belum memperoleh izin terlebih sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5, Pasal 11, dahulu dari PInc sehingga menimbulkan sengketa dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun paten di antara mereka. Oleh karena itu, untuk

menyelesaikan pelanggaran atas paten tersebut PT DM mengadakan perjanjian pemasokan

Kedua, dalam Putusan Nomor 08/ bahan baku zat aktif amlodipine besylate dengan KPPU-I/2014, para terlapor yaitu PT BTI,

Pembuktian Perkara Kartel di Indonesia (Udin Silalahi & Isabella Cynthia Edgina)

PT SRI, PT GT, PT GI, PT EPTI, dan PT IKD proses pemenuhan unsur. Tetapi dalam pasal diduga melakukan pelanggaran terhadap Undang- lainnya, pasar bersangkutan bukanlah unsur Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu terkait dengan dari pasal melainkan demikian pendefinisiannya penetapan harga dan pengaturan produksi dan/ sangat membantu dalam upaya memahami atau pemasaran ban kendaraan bermotor roda produk dan pasar serta dinamikanya yang akan empat kelas passenger car (penumpang) untuk memudahkan upaya pembuktian dalam proses ban ring 13, ring 14, ring 15, dan ring 16 periode penegakan hukumnya (Nugroho, 2012: 123). tahun 2009 sampai dengan tahun 2012 di wilayah

Dalam Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010, Indonesia yang diproduksi dan dipasarkan oleh

menurut KPPU pasar produk dalam perkara perusahaan ban yang tergabung dalam Asosiasi

ini adalah obat anti hipertensi dengan zat Perusahan Ban Indonesia (APBI).

aktif amlodipine besylate merek Norvask dan Dugaan atas pelanggaran Undang-Undang Tensivask. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa Nomor 5 Tahun 1999 tersebut diperoleh dari berkaitan dengan karakteristik terdapat sekurang- Risalah Rapat Presidium APBI yang dinilai kurangnya 5-7 kelas terapi yang dapat digunakan merupakan bentuk perjanjian penetapan harga untuk pengobatan hipertensi. Dalam masing- dan merupakan rangkaian kesepakatan untuk masing kelas terapi, terdapat lebih dari satu jenis mengatur produksi dan/atau pemasaran yang obat yang dapat digunakan untuk pengobatan dilakukan oleh perusahaan yang tergabung dalam hipertensi. Masing-masing obat dalam kelas APBI. Dalam Putusan Nomor 08/KPPU-I/2014, terapi tersebut memiliki zat aktif yang berbeda KPPU memutuskan masing-masing terlapor satu sama lain. Dengan demikian masing-masing terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar kelas terapi berikut jenis obat yang terkandung Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang di dalamnya memiliki cara kerja, fungsi, dan Nomor 5 Tahun 1999.

kandungan kimia yang berbeda. Selain karakter yang berbeda, masing-masing obat tersebut juga

Definisi pasar bersangkutan merupakan memiliki fungsi yang berbeda terkait kandungan

tahap awal dari analisis persaingan usaha yang zat aktif, titik tangkap, reseptor, serta cara kerja.

penerapannya dilakukan secara kasus per Dengan demikian KPPU menggolongkan pasar

kasus. Melalui penetapan pasar bersangkutan produk dalam perkara ini berdasarkan zat aktif

dapat diperoleh informasi serta ukuran yang yang terkandung di dalam obat anti hipertensi.

jelas mengenai pasar, pelaku usaha yang terlibat, serta dampak anti persaingan dari

Menurut terlapor, pasar produk dalam setiap dugaan pelanggaran Undang-Undang perkara ini adalah obat anti hipertensi golongan Nomor 5 Tahun 1999. Pendefinisian pasar Calcium Channel Blocker (CCB) atau Calcium bersangkutan merupakan bagian penting dari Antagonist. Hal ini didasarkan pertimbangan upaya pembuktian dugaan pelanggaran Undang- bahwa obat anti hipertensi dengan kandungan Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam beberapa amlodipine besylate termasuk dalam kelas pasal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor terapi CCB. Selain obat anti hipertensi dengan

5 Tahun 1999, terdapat pasar bersangkutan yang kandungan amlodipine besylate merek Norvask merupakan unsur dari Pasal 1 angka 10, sehingga dan Tensivask, dalam kelas terapi CCB, terdapat pendefinisiannya diperlukan sebagai bagian dari sekitar 85 jenis atau merek yang dapat dipilih

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 3 Desember 2017: 311 - 330 Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 3 Desember 2017: 311 - 330

sebagai substitusi. Hal ini karena konsumen akan mencari ban dengan ukuran yang sama dengan

Berkaitan dengan fungsi/kegunaan, semua ring ban yang dimiliki. Dengan demikian dapat

obat yang berada dalam golongan CCB (baik obat disimpulkan bahwa ban passenger car radial

bermerek maupun generik) mempunyai fungsi/ replacement ring 13, ring 14, ring 15, dan ring 16

kegunaan yang sama yaitu untuk menurunkan tidak berada dalam pasar produk yang sama.

tekanan darah atau hipertensi. Sedangkan berkaitan dengan karakteristik cara kerja,

Selain itu dalam Putusan Nomor 08/ semua obat yang berada dalam golongan CCB KPPU-I/2014 ini, KPPU juga tidak memisahkan mempunyai mekanisme atau cara kerja yang pasar produk ban mobil penumpang antara pasar sama yaitu menghambat atau memblokir reseptor penggantian dan pasar original equipment, karena calcium yang ada di dalam sistem cardiovascular. industri ban nasional terdiri dari dua pasar, yaitu Dengan demikian penentuan pasar produk dalam pasar penggantian (replacement) dan pasar perkara ini seharusnya didasarkan pada kelas original equipment (OE) – produk awal bawaan terapi bukan berdasarkan zat aktif yang terkadung kendaraan bermotor. Biasanya pasokan ban di dalamnya.

dipasok oleh pabrikan ban yang telah memiliki kerja sama dengan pabrikan kendaraan bermotor

Lebih lanjut dalam Putusan Nomor 08/ (ATPM) (Silalahi (Ed.), 2017: 36).

KPPU-I/2014, pasar produk menurut KPPU adalah ban passenger car radial replacement ring

Berdasarkan analisis pasar produk yang

13, ring 14, ring 15, dan ring 16 yang merupakan dilakukan dalam Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010 substitusi satu sama lain. Sedangkan menurut dan Putusan Nomor 08/KPPU-I/2014, terlihat terlapor, ban ring 13, ring 14, ring 15, dan ring 16 bahwa KPPU salah dalam menentukan pasar memiliki fungsi atau kegunaan, karakter spesifik produk dalam perkara-perkara tersebut karena dan perbandingan tingkat harga yang berbeda adanya kesalahan dalam menentukan substitusi sehingga tidak dapat mensubstitusi satu sama lain. dari produk-produk yang dimaksud dalam Apabila dilihat dari fungsi atau kegunaannya, masing-masing perkara. Dalam Peraturan KPPU setiap ukuran ban hanya dapat digunakan pada Nomor 3 Tahun 2009 telah secara tegas diatur ring yang sesuai dengan ukuran ban tersebut.

bahwa definisi pasar bersangkutan dilakukan melalui analisis preferensi konsumen dengan

Konsumen tidak dapat menggunakan ban menggunakan tiga parameter utama sebagai alat untuk ring 13 pada ring 14, ring 15 dan ring 16 serta pendekatan yaitu harga, karakter, dan kegunaan/ sebaliknya. Jika konsumen hendak menggunakan fungsi produk. Penggunaan tiga parameter

Pembuktian Perkara Kartel di Indonesia (Udin Silalahi & Isabella Cynthia Edgina)

Unsur-unsur Pasal 11 Undang-Undang KPPU dalam menentukan pasar produk Nomor 5 Tahun 1999 sebagaimana diuraikan dalam suatu perkara seharusnya mengacu pada dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2010 yaitu parameter-parameter yang telah ditetapkan dalam terdiri dari unsur: 1) pelaku usaha; 2) perjanjian; Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2009. Dalam hal

3) pelaku usaha pesaingnya; 4) bermaksud ini konsumen memegang peranan penting dalam memengaruhi harga; 5) untuk mengatur produksi pendefinisian pasar bersangkutan sehingga KPPU dan/atau pemasaran; 6) barang; 7) jasa; 8) dapat seharusnya melakukan survei di tingkat konsumen mengakibatkan terjadinya praktik monopoli; dan untuk mengetahui apakah menurut konsumen

9) dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak suatu produk saling bersubstitusi satu sama lain. sehat. Hal ini yang belum dilakukan oleh KPPU dalam

Pengertian perjanjian dan pelaku usaha menentukan pasar produk dalam perkara-perkara

pesaing dalam Pasal 11 sama dengan pengertian tersebut. Di samping pasar bersangkutan, dalam

perjanjian dan pelaku usaha pesaing dalam Pasal rangka membuktikan terjadinya pelanggaran

5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun terhadap ketentuan dalam Undang-Undang

1999. Dengan demikian perjanjian yang dilarang Nomor 5 Tahun 1999, KPPU harus menganalisis

dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun dan membuktikan bahwa unsur-unsur dari

1999 adalah perjanjian antar pelaku usaha masing-masing pasal telah terpenuhi.

dengan pelaku usaha pesaingnya dalam pasar Unsur-unsur Pasal 5 ayat (1) Undang- bersangkutan yang sama yang bermaksud untuk Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagaimana memengaruhi harga dengan mengatur produksi diuraikan dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa 2011 yaitu terdiri dari unsur: 1) pelaku usaha; 2) yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik perjanjian; 3) pelaku usaha pesaing; 4) harga; monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

5) barang; 6) jasa; 7) konsumen; dan 8) pasar Pendekatan yang digunakan dalam Pasal 11 bersangkutan. berbeda dengan pendekatan yang digunakan dalam

Perjanjian sesuai dengan Pasal 1 angka 7 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah 1999. Pasal 5 ayat (1) menggunakan pendeketan suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk per se illegal, sedangkan Pasal 11 menggunakan mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku pendekatan rule of reason. Dengan demikian usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis dalam membuktikan terjadinya pelanggaran maupun tidak tertulis. Sedangkan yang dimaksud Pasal 11, KPPU harus dapat membuktikan bahwa dengan pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha perjanjian kartel yang dilakukan oleh pelaku lain dalam pasar bersangkutan yang sama. Dengan usaha mengakibatkan terjadinya praktik monopoli demikian perjanjian yang dilarang dalam Pasal 5 dan/atau persaingan usaha tidak sehat sehingga ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 perjanjian kartel tersebut secara nyata merugikan adalah perjanjian antara pelaku usaha dengan masyarakat.

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 3 Desember 2017: 311 - 330

1. Isi perjanjian dalam supply Pasal 5 ayat (1) sebagaimana diuraikan di atas, baik

Sehubungan dengan pemenuhan unsur-unsur

yang diduga dalam Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010 maupun

agreement

merupakan pengaturan dalam Putusan Nomor 08/KPPU-I/2014, KPPU

komunikasi antar pesaing tidak menemukan adanya perjanjian penetapan

yakni kewajiban PT DM harga antar pelaku usaha pesaing dalam pasar

untuk menembuskan dan/atau bersangkutan yang sama yang memuat ketentuan

memberi copy semua bentuk mengenai harga jual atau margin (selisih antara

pelaksanaan supply agreement harga dan biaya produksi) baik untuk obat Norvask

antara PT DM dan POLLC dan Tensivask maupun untuk ban ring 13, ring 14,

kepada PT PI;

ring 15, dan ring 16. Di samping itu sehubungan

2. Isi perjanjian dalam pfizer dengan pemenuhan unsur Pasal 11 dalam Putusan

distribution agreement yang Nomor 17/KPPU-I/2010 dan Putusan No 08/

diduga merupakan pengaturan KPPU-I/2014, KPPU juga tidak menemukan

pemberian informasi terhadap adanya perjanjian pengaturan produksi dan/atau

pesaing yaitu kewajiban pemasaran antar pelaku usaha pesaing dalam pasar

distributor untuk memberikan bersangkutan yang sama yang memuat ketentuan

informasi material kepada PT mengenai jumlah obat Norvask dan Tensivask

PI; dan

maupun jumlah ban yang dapat diproduksi oleh masing-masing perusahaan ataupun di wilayah

3. Isi perjanjian dalam supply mana saja masing-masing perusahaan dapat

agreement yang diduga memasarkan hasil produksinya. Dengan demikian

mengarah kepada bentuk karena KPPU tidak menemukan adanya perjanjian

pengaturan produksi berupa penetapan harga maupun perjanjian pengaturan

penyampaian rencana (forecast) produksi dan/atau pemasaran dalam dua perkara

pembelian bahan baku serta tersebut, maka KPPU menduga telah terjadi

prosedur pemesanan bahan perjanjian antar pelaku usaha pesaing melalui

baku oleh PT DM, kewenangan bukti tidak langsung sebagai berikut:

inspeksi kelompok usaha Pfizer, pencantuman kalimat

1. Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010 “dibuat dengan zat aktif dari

a. Bukti komunikasi yang tidak secara Pfizer” dalam setiap kemasan langsung menunjukkan adanya

Tensivask, serta adanya opsi perjanjian penetapan harga dan

bagi kelompok usaha Pfizer perjanjian pengaturan produksi dan/

untuk menghentikan perjanjian atau pemasaran antar pelaku usaha,

secara sepihak apabila dijumpai namun menjadi indikasi awal adanya

produk Tensivask yang beredar kesepakatan mengenai penetapan

di pasar melebihi dari kuantitas harga dan pengaturan produksi dan/

yang dapat diproduksi dengan atau pemasaran antar pelaku usaha

bahan baku yang dibeli dari pesaing yaitu:

kelompok usaha Pfizer.

Pembuktian Perkara Kartel di Indonesia (Udin Silalahi & Isabella Cynthia Edgina)

harga antar perusahaan secara Norvask dan Tensivask yang

keseluruhan.

diproduksi oleh PT PI dan PT DM. Penggunaan bukti tidak langsung (indirect

2. Putusan Nomor 08/KPPU-I/2014 evidence)untuk membuktikan terjadinya kartel telah dikenal dan digunakan di negara-negara

a. Bukti komunikasi berupa: lain. Namun demikian karena hukum persaingan

1. Risalah Rapat Presidium APBI usaha di Indonesia khususnya Undang-Undang yang memuat pernyataan Nomor 5 Tahun 1999 belum mengatur mengenai “Anggota APBI jangan penggunaan bukti tidak langsung (indirect melakukan banting membanting evidence), hal ini menyebabkan putusan harga” yang dinilai merupakan KPPU dalam Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010 bentuk perjanjian penetapan dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat harga; dan

dan Mahkamah Agung. Dalam perkara ini, bukti tidak langsung (indirect evidence) tidak diterima

2. Risalah Rapat Presidium APBI sebagai alat bukti untuk membuktikan terjadinya

yang memuat pernyataan kartel. Majelis hakim melalui Putusan Nomor 294

“kepada seluruh anggota APBI K/PDT.SUS/2012 berpendapat bahwa bukti tidak

diminta untuk dapat menahan langsung (indirect evidence) tidak sama dengan

diri dan terus mengontrol alat bukti dalam Pasal 42 Undang-Undang

distribusinya masing-masing Nomor 5 Tahun 1999 dan tidak dikenal dalam

sesuai dengan perkembangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Bukti

permintaannya” yang tidak langsung (indirect evidence) tidak sama

dinilai merupakan rangkaian dengan bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam

kesepakatan untuk mengatur Pasal 188 ayat (2) KUHAP mengingat perkara

produksi dan/atau pemasaran. persaingan usaha menganut prinsip-prinsip

b. Bukti ekonomi menggunakan hukum pidana. metode deteksi kartel Harrington.

Dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Metode deteksi kartel Harrington

Tahun 1999, alat bukti pemeriksaan KPPU terdiri merupakan metode analisis hubungan

dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/ error atau residual regresi antar

atau dokumen, petunjuk, dan keterangan pelaku perusahaan dari hasil estimasi data

usaha. Dalam hal ini bukti tidak langsung (indirect panel untuk mendeteksi kartel. Untuk

evidence) berupa bukti komunikasi dan bukti menentukan apakah penentuan harga

ekonomi tidak diatur dalam Pasal 42. Di samping antar produsen ban dilakukan secara

itu, pada bagian Penjelasan Undang-Undang independen dan tidak dipengaruhi

Nomor 5 Tahun 1999 juga tidak dijelaskan apa oleh perusahaan lain maka dilakukan

yang dimaksud dengan bukti petunjuk. Namun pengujian

contemporaneous

demikian karena alat bukti yang digunakan oleh correlation yaitu untuk melihat

KPPU mirip dengan alat-alat bukti yang tercantum

326 |

Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 3 Desember 2017: 311 - 330

Pembuktian Perkara Kartel di Indonesia (Udin Silalahi & Isabella Cynthia Edgina)

| 327

dalam KUHAP (Nugroho, 2012: 601), maka pengertian alat bukti petunjuk berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 188 ayat (2) KUHAP, petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.

Apabila merujuk pada pengertian petunjuk dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP maka bukti tidak langsung (indirect evidence) berupa bukti komunikasi dan bukti ekonomi tidak termasuk dalam pengertian petunjuk dalam KUHAP. Menurut Hansen, penggunaan alat bukti petunjuk dalam perkara monopoli dan persaingan usaha tidak dapat disamaratakan, melainkan ditentukan kasus per kasus. Dalam hal ini petunjuk dapat dijadikan sebagai alat bukti asalkan petunjuk itu mempunyai kesesuaian dengan petunjuk lainnya atau sesuai dengan perbuatan atau perjanjian yang diduga melanggar Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 (Lubis et al., 2009: 329). Bukti tidak langsung (indirect evidence)

adalah suatu bentuk bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan namun dapat digunakan sebagai pembuktian awal terhadap kondisi atau keadaan yang dapat dijadikan sebagai dugaan adanya perjanjian lisan atau praktik kartel (Silalahi (Ed.), 2015: 6). Bukti- bukti dalam indirect evidence yang menunjukkan kesesuaian dengan alat bukti lain membentuk suatu petunjuk atas adanya suatu perjanjian tidak tertulis (Silalahi (Ed.), 2015: 7).

Dengan demikian, syarat penggunaan indirect evidence adalah terdapat kesesuaian antara

bukti-bukti yang disebut sehingga kesesuaian antara bukti-bukti tersebut membentuk hanya satu alat bukti yaitu menjadi bukti petunjuk. Dalam hal ini seluruh faktor yang ditemukan wajib diaplikasikan melalui metodologi yang teruji baik secara ilmiah dan konsisten sehingga kesimpulannya dapat dipertanggungjawabkan (Udin Silalahi (Editor), 2017: 98). Oleh karena itu KPPU dalam memutuskan terjadinya pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 dapat menggunakan bukti tidak langsung (indirect evidence) sebagai pembuktian awal terhadap dugaan adanya perjanjian kartel antar pelaku usaha namun dalam memutuskan terjadinya pelanggaran tersebut KPPU tetap harus memperhatikan dan menggunakan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Putusan Nomor 294 K/PDT.SUS/2012 tersebut di atas berbeda dengan Putusan Nomor 221 K/PDT.SUS-KPPU/2016. Dalam Putusan Nomor 221 K/PDT.SUS-KPPU/2016, majelis hakim menerima penggunaan bukti tidak langsung (indirect evidence) dalam Putusan Nomor 08/ KPPU-I/2014. Pertimbangan majelis hakim dalam putusan tersebut yaitu bahwa dalam praktik di dunia bisnis kesepakatan mengenai harga, produksi, wilayah (kartel) maupun kesepakatan anti persaingan sehat lainnya sering dilakukan secara tidak terang (tacit) sehingga dalam hukum persaingan usaha bukti-bukti yang bersifat tidak langsung (indirect/circumstantial evidence), diterima sebagai bukti yang sah sepanjang bukti- bukti tersebut adalah bukti yang cukup dan logis, serta tidak ada bukti lain yang lebih kuat yang dapat melemahkan bukti-bukti yang bersifat tidak langsung tersebut.

Pertimbangan hukum di atas relevan dengan praktik yang terjadi saat ini. Dewasa ini pelaku