pentingnya integrasi agama dan sains
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berjalan dengan sangat
cepat. Sementara itu, pemahaman yang terkait dengan pengembangan teknologi yang
berdasar pada keimanan berjalan lebih lambat. Para ilmuwan berargumentasi bahwa
semua penelitian dilakukan dengan langkah yang dapat dipertanggungjawabkan,
sebaliknya para agamawan lebih sibuk membicarakan persoalan akhirat dan pesanpesan moral, tidak heran jika selalu terjadi benturan antara ilmu pengetahuan dan
agama.
Perkembangan selama ini menunjukkan bahwa sains didominasi oleh aliran
positivisme, yaitu sebuah aliran yang sangat mengedepankan metode ilmiah. Menurut
aliran ini, sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan kebenaran, sains
merupakan ‘dewa’ dalam beragam tindakan sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain.
Menurut sains, kebenaran adalah sesuatu yang empiris, logis, konsisten, dan dapat
diverifikasi. Sains menempatkan kebenaran pada sesuatu yang bisa terjangkau oleh
indra manusia. Sedangkan agama menempatkan kebenaran tidak hanya meliputi halhal yang terjangkau oleh indra tetapi juga yang bersifat non indrawi. Sesuatu yang
datangnya dari Tuhan harus diterima dengan keyakinan. Hubungan antara sains dan
agama kini menjadi pertimbangan penting dikalangan pemikir dan pembentukan
kuliah-kuliah akademik tentang sains dan Islam merupakan petunjuk kuat tentang hal
tersebut
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam pembahasan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Latar belakang pentingnya integrasi agama dan sains
2. Model-model integrasi agama dan sains
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar belakang pentingnya integrasi agama dan sains
Maraknya kajian dan pemikiran integrasi keilmuan (Islamisasi ilmu
pengetahuan) dewasa ini yang sering didengungkan oleh kalangan intelektual muslim,
antara lain Naquib Al-Attas dan Ismail Raji’Al-Faruqi (1984: ix-xii), tidak lepas dari
kesadaran berislam ditengah dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu teknologi.
Potensi keyakinan terhadap sistem Islam yang bisa mengungguli sistem ilmu
pengetahuan Barat yang tengah mengalami krisis identitas inilah yang kemudian
memberikan kesadaran baru kepada umat islam untuk melakukan upaya Islamisasi
ilmu pengetahuan.
Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9,
meski mengalami pasang surut. Usaha untuk mengintegralkan sistem pendidikan
Islam direalisasikan dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam, yang menyatukan
dua kurikulum, antara kurikulum yang dipakai sekolah-sekolah yang lebih banyak
memuat pelajaran umum (Arman Arief, tt:iii). Tidak beda jauh dengan gagasan yang
dikembangkan Harun Nasution dalam upayanya menyatukan dikotomi ilmu-ilmu
agama Islam dan ilmu-ilmu umum di lembaga pendidikan tinggi Islam.
Setidaknya ada dua sebab utama kelemahan pendekatan ini.
Pertama, akar keilmuan yang berbeda antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum.
Kedua, modernisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan melalui kurikulum dan
kelembagaan, walaupun dilakukan dengan tujuan terciptanya integralisme dan
integrasi keilmuan Islam dan umum, sampai kapanpun akan tetap menyisakan
dikotomi keilmuan.
Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan umat
Islam ini sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal sebagai
abad stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu
umum juga disebabkan karena adanya kolonialisme Barat atas Dunia Islam sejak abad
ke-18 hingga abad ke-19, dimana negara-negara Islam tidak mampu menolak upayaupaya yang dilakukan Barat, terutama injeksi budaya dan peradabannya.
Dikotomi ini pada kelanjutannya, berdampak negatif terhadap kemajuan Islam.
Menurut Ikhrom (2001: 87-89), setidaknya ada empat masalah akibat dikotomi ilmuilmu umum dan ilmu-ilmu agama.
Pertama, munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam; dimana
selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan
dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh fi al-din
yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka; sementara itu
modernisasi sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan
umum kedalam lembaga tersebut telah mengubah citra pesantren dan
madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi al-din tersebut.
Kedua, munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran
Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan
dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum
(Kuntowijoyo, 1991: 352).
Ketiga, terjadinya didintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masingmasing sistem: (modern/umum) Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh
mempertahankan kediriannya.
Keempat, munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam. Hal ini
disebabkan karena sistem pendidikan Barat yang pada kenyataanya kurang
menghargai nilai-nilai kultural dan moraltelah dijadikan tolak ukur kemajuan
dan keberhasilan sistem pendidikan bangsa kita.
Dengan demikian, paradigma integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
muncul sebagai bentuk kekhawatiran sebagian pemikir muslim terhadap ancaman
yang sangat dominan terhadap pandangan non-muslim, khususnya pandangan
ilmuwan Barat sehingga umat Islam harus menyelamatkan identitas dan otoritas
ajaran agamanya.
B. Model-model integrasi agama dan sains
1. Konflik
Model ini digunakan oleh tiga tokoh utama yaitu Barbour, Haught, Drees.
Model ini berpendirian bahwa agama dan sains adalah dua hal yang tidak sekedar
berbeda tapi sepenuhnya bertentangan. Karena itu, seseorang dalam waktu bersamaan
tidak mungkin dapat mendukung teori sains dan memegang keyakinan agama, karena
agama tidak bisa membuktikan kepercayaan dan pandangannya secara jelas (straight
forword), sedang sains bias dikata mampu membuktikan kepercayaan dan
pandangannya secara jelas.
Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19 melalui dua buku
berpengaruh, yakni History of the conflict between Religion and Science karya J.W.
Draper dan History of the Warfare of Science with Theology in Christendom karya A.
D. White. Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang
saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang
berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya. Masingmasing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang bersebrangan.
Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya
mengakui keabsahan eksistensi masing-masing. Adapun alasan utama para pemikir
yang meyakini bahwa agama tidak akan pernah bisa didamaikan dengan sains adalah
sebagai berikut:
a. Menurut mereka agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaranajarannya dengan tegas, padahal sains dapat melakukan itu.
b. Agama mencoba bersifat diam-diam dan tidak mau memberi petunjuk bukti
konkrit tentang keberadaan Tuhan, sementara dipihak lain sains mau menguji
semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman.
c. Pertentangan antara kaum agamawan dan ilmuwan di Eropa ini disebabkan
oleh sikap radikal kaum agamawan Kristen yang hanya mengakui kebenaran
dan kesucian Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sehingga siapa saja
yang mengingkarinya dianggap kafir dan berhak mendapatkan hukuman. Di
lain pihak, para ilmuwan mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang
hasilnya bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh pihak gereja
(kaum agamawan). Akibatnya, tidak sedikit ilmuwan yang menjadi korban
dari hasil penemuan oleh penindasan dan kekejaman dari pihak gereja.
Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah hukuman yang diberikan
oleh gereja Katolik terhadap Galileo atas aspek pemikirannya tentang teori
Copernicus, yakni bumi dan planet-planet berputar dalam orbit mengelilingi matahari,
padahal otoritas gereja meyakini bumi sebagai pusat alam semesta. Oleh karena
demikian maka Galileo diadili pada tahun 1633.
2. Indepedensi
Model ini berpendirian bahwa agama dan sains memiliki persoalan, wilayah
dan yang berbeda, dan masing-masing memiliki kebenarannya sendiri sehingga tidak
perlu ada hubungan, kerjasama atau konflik antara keduanya. Satu cara untuk
menghindari konflik antara sains dan agama adalah dengan memisahkan dua bidang
itu dalam kawasan yang berbeda. Agama dan sains dianggap mempunyai kebenaran
sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan
dengan damai. Pemisahan wilayah ini tidak hanya dimotivasi oleh kehendak untuk
menghindari konflik yang menurut mereka tidak perlu, tetapi juga didorong oleh
keinginan untuk mengakui perbedaan karakter dari setiap era pemikiran ini.
Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang dikaji, domain yang dirujuk,
dan metode yang digunakan. Mereka berpandangan bahwa sains berhubungan dengan
fakta, dan agama mencakup nilai-nilai. Dua domain yang terpisah ini kemudian
ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi masing-masing.
Analisis bahasa menekankan bahwa bahasa ilmiah berfungsi untuk melalukan
prediksi dan kontrol. Sains hanya mengeksplorasi masalah terbatas pada fenemona
alam, tidak untuk melaksanakan fungsi selain itu. Sedangkan bahasa agama berfungsi
memberikan seperangkat pedoman, menawarkan jalan hidup dan mengarahkan
pengalaman religius personal dengan praktek ritual dan tradisi keagamaan. Bagi kaum
agamawan yang menganut pandangan independensi ini, menganggap bahwa Tuhanlah
yang merupakan sumber-sumber nilai, baik alam nyata maupun gaib.
Hanya agama yang dapat mengetahuinya melalui keimanan. Sedangkan sains
hanya berhubungan dengan alam nyata saja. Walaupun interpretasi ini sedikit berbeda
dengan kaum ilmuwan, akan tetapi pandangan independensi ini tetap menjamin
kedamaian antara sains dan agama. Para saintis yang menganut pandangan
independensi adalah seorang Biolog Stephen Joy Gould, Karl Bath, dan Langdon
Gilkey.
3. Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi
yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi. Diakui bahwa
antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling
mendukung satu sama lain.
Penganut pandangan dialog ini berpendapat bahwa agama dan sains jelas
berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dia tahu bahwa dalam dunia nyata mereka
tidak bisa dikotak-kotakkan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh
pendekatatan indenpendensi. Bagaimanapun juga agama telah membantu membentuk
sejarah sains, dan pada gilirannya kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi.
Dalam diskusi-diskusi filosofis dewasa ini tentang hakikat ilmu pengetahuan,
cara-cara sains dan teologi hampir-hampir tidak begitu berbeda, secara tidak langsung
hubungan sains dan agama tidak lagi dalam posisi konflik dan indenpendensi. Pada
pendekatan dialog ini sains tidak lagi tampak sangat murni dan objektif sebagaimana
biasanya, dan demikian pula teologi tidak tampak sangat tidak murni atau subjektif.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesejajaran konseptual maupun
metodologis menawarkan kemungkinan interaksi antara sains dan agama secara
dialogis dengan tetap mempertahankan integritas masing-masing.
4. Integrasi
Model ini berusaha mencari titik temu pada masalah masalah yang dianggap
bertentangan antara keduanya.. Pada model ini posisi sains adalah memberikan
konfirmasi (memperkuat atau mendukung) keyakinan tentang Tuhan sebagai pencipta
alam semesta. Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada
pendekatan dialog dengan mencari titik temu di antara sains dan agama. Sains dan
doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren
dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui
sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang
beriman. Ada tiga versi berbeda dalam integrasi, yaitu:
a. Natural Theology, mengklaim bahwa eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dari
bukti tentang desain alam, yang dengan keajaiban struktur alam membuat kita
semakin menyadari bahwa alam ini adalah karya Allah Swt. semata.
b. Theology Of Nature, berangkat dari tradisi keagamaan berdasarkan
pengalaman keagamaan dan wahyu historis. Theology of Nature tidak
berangkat dari sains sebagaimana natural theology, Dalam theology of nature,
ia berpendapat bahwa sumber utama teologi terletak di luar sains, tetapi ia
juga berpendapat bahwa beberapa doktrin tradisional harus dirumuskan ulang
dalam sinaran sains terkini. Karena secara khusus, doktrin tentang penciptaan
dan sifat dasar manusia dipengaruhi oleh temuan-temuan sains.
c. Sintesis Sistematis. Integrasi yang lebih sistematis dapat dilakukan jika sains
dan agama memberikan kontribusi kea rah pandangan dunia yang lebih
koheren yang dielaborasi dalam kerangka metafisika yang komprehensif.
INTEGRASI AGAMA DAN SAINS
BG. VII-C
KELOMPOK 2
ANUGRAH
RISKAWATI
SOFYAN EFENDI HARAHAP
INDYANA
SULASTRI DIAN PRATIWI
PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKUTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2017
DAFTAR PUSTAKA
Alhabsi,ludfi. 2015. Integrasi Agama dan Sains.
http://ludfielbangsali.blogspot.co.id/2015/10/assalamualaikum-good-people-pujisyukur.html
Nasri,azhari. 2016. Makalah integrasi ilmu dan agama.
https://azharnasri.blogspot.co.id/2016/01/makalah-integrasi-ilmu-dan-agama.html.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9, meski
mengalami pasang surut. Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan
umat Islam ini sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal sebagai
abad stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum juga
disebabkan karena adanya kolonialisme Barat atas Dunia Islam sejak abad ke-18 hingga abad
ke-19, dimana negara-negara Islam tidak mampu menolak upaya-upaya yang dilakukan
Barat, terutama injeksi budaya dan peradabannya. Adapun model- model integrasi agama dan
sains, yaitu;
a. Konflik
Model ini berpendirian bahwa agama dan sains adalah dua hal yang tidak
sekedar berbeda tapi sepenuhnya bertentangan.
b. Independensi
Model ini berpendirian bahwa agama dan sains memiliki persoalan, wilayah
dan yang berbeda, dan masing-masing memiliki kebenarannya sendiri sehingga
tidak perlu ada hubungan, kerjasama atau konflik antara keduanya.
c. Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi
yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi. Diakui
bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan
bisa saling mendukung satu sama lain.
d. Integrasi
Model ini berusaha mencari titik temu pada masalah masalah yang dianggap
bertentangan antara keduanya.. Pada model ini posisi sains adalah memberikan
konfirmasi (memperkuat atau mendukung) keyakinan tentang Tuhan sebagai
pencipta alam semesta.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berjalan dengan sangat
cepat. Sementara itu, pemahaman yang terkait dengan pengembangan teknologi yang
berdasar pada keimanan berjalan lebih lambat. Para ilmuwan berargumentasi bahwa
semua penelitian dilakukan dengan langkah yang dapat dipertanggungjawabkan,
sebaliknya para agamawan lebih sibuk membicarakan persoalan akhirat dan pesanpesan moral, tidak heran jika selalu terjadi benturan antara ilmu pengetahuan dan
agama.
Perkembangan selama ini menunjukkan bahwa sains didominasi oleh aliran
positivisme, yaitu sebuah aliran yang sangat mengedepankan metode ilmiah. Menurut
aliran ini, sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan kebenaran, sains
merupakan ‘dewa’ dalam beragam tindakan sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain.
Menurut sains, kebenaran adalah sesuatu yang empiris, logis, konsisten, dan dapat
diverifikasi. Sains menempatkan kebenaran pada sesuatu yang bisa terjangkau oleh
indra manusia. Sedangkan agama menempatkan kebenaran tidak hanya meliputi halhal yang terjangkau oleh indra tetapi juga yang bersifat non indrawi. Sesuatu yang
datangnya dari Tuhan harus diterima dengan keyakinan. Hubungan antara sains dan
agama kini menjadi pertimbangan penting dikalangan pemikir dan pembentukan
kuliah-kuliah akademik tentang sains dan Islam merupakan petunjuk kuat tentang hal
tersebut
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam pembahasan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Latar belakang pentingnya integrasi agama dan sains
2. Model-model integrasi agama dan sains
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar belakang pentingnya integrasi agama dan sains
Maraknya kajian dan pemikiran integrasi keilmuan (Islamisasi ilmu
pengetahuan) dewasa ini yang sering didengungkan oleh kalangan intelektual muslim,
antara lain Naquib Al-Attas dan Ismail Raji’Al-Faruqi (1984: ix-xii), tidak lepas dari
kesadaran berislam ditengah dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu teknologi.
Potensi keyakinan terhadap sistem Islam yang bisa mengungguli sistem ilmu
pengetahuan Barat yang tengah mengalami krisis identitas inilah yang kemudian
memberikan kesadaran baru kepada umat islam untuk melakukan upaya Islamisasi
ilmu pengetahuan.
Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9,
meski mengalami pasang surut. Usaha untuk mengintegralkan sistem pendidikan
Islam direalisasikan dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam, yang menyatukan
dua kurikulum, antara kurikulum yang dipakai sekolah-sekolah yang lebih banyak
memuat pelajaran umum (Arman Arief, tt:iii). Tidak beda jauh dengan gagasan yang
dikembangkan Harun Nasution dalam upayanya menyatukan dikotomi ilmu-ilmu
agama Islam dan ilmu-ilmu umum di lembaga pendidikan tinggi Islam.
Setidaknya ada dua sebab utama kelemahan pendekatan ini.
Pertama, akar keilmuan yang berbeda antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum.
Kedua, modernisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan melalui kurikulum dan
kelembagaan, walaupun dilakukan dengan tujuan terciptanya integralisme dan
integrasi keilmuan Islam dan umum, sampai kapanpun akan tetap menyisakan
dikotomi keilmuan.
Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan umat
Islam ini sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal sebagai
abad stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu
umum juga disebabkan karena adanya kolonialisme Barat atas Dunia Islam sejak abad
ke-18 hingga abad ke-19, dimana negara-negara Islam tidak mampu menolak upayaupaya yang dilakukan Barat, terutama injeksi budaya dan peradabannya.
Dikotomi ini pada kelanjutannya, berdampak negatif terhadap kemajuan Islam.
Menurut Ikhrom (2001: 87-89), setidaknya ada empat masalah akibat dikotomi ilmuilmu umum dan ilmu-ilmu agama.
Pertama, munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam; dimana
selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan
dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh fi al-din
yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka; sementara itu
modernisasi sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan
umum kedalam lembaga tersebut telah mengubah citra pesantren dan
madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi al-din tersebut.
Kedua, munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran
Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan
dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum
(Kuntowijoyo, 1991: 352).
Ketiga, terjadinya didintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masingmasing sistem: (modern/umum) Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh
mempertahankan kediriannya.
Keempat, munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam. Hal ini
disebabkan karena sistem pendidikan Barat yang pada kenyataanya kurang
menghargai nilai-nilai kultural dan moraltelah dijadikan tolak ukur kemajuan
dan keberhasilan sistem pendidikan bangsa kita.
Dengan demikian, paradigma integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
muncul sebagai bentuk kekhawatiran sebagian pemikir muslim terhadap ancaman
yang sangat dominan terhadap pandangan non-muslim, khususnya pandangan
ilmuwan Barat sehingga umat Islam harus menyelamatkan identitas dan otoritas
ajaran agamanya.
B. Model-model integrasi agama dan sains
1. Konflik
Model ini digunakan oleh tiga tokoh utama yaitu Barbour, Haught, Drees.
Model ini berpendirian bahwa agama dan sains adalah dua hal yang tidak sekedar
berbeda tapi sepenuhnya bertentangan. Karena itu, seseorang dalam waktu bersamaan
tidak mungkin dapat mendukung teori sains dan memegang keyakinan agama, karena
agama tidak bisa membuktikan kepercayaan dan pandangannya secara jelas (straight
forword), sedang sains bias dikata mampu membuktikan kepercayaan dan
pandangannya secara jelas.
Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19 melalui dua buku
berpengaruh, yakni History of the conflict between Religion and Science karya J.W.
Draper dan History of the Warfare of Science with Theology in Christendom karya A.
D. White. Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang
saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang
berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya. Masingmasing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang bersebrangan.
Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya
mengakui keabsahan eksistensi masing-masing. Adapun alasan utama para pemikir
yang meyakini bahwa agama tidak akan pernah bisa didamaikan dengan sains adalah
sebagai berikut:
a. Menurut mereka agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaranajarannya dengan tegas, padahal sains dapat melakukan itu.
b. Agama mencoba bersifat diam-diam dan tidak mau memberi petunjuk bukti
konkrit tentang keberadaan Tuhan, sementara dipihak lain sains mau menguji
semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman.
c. Pertentangan antara kaum agamawan dan ilmuwan di Eropa ini disebabkan
oleh sikap radikal kaum agamawan Kristen yang hanya mengakui kebenaran
dan kesucian Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sehingga siapa saja
yang mengingkarinya dianggap kafir dan berhak mendapatkan hukuman. Di
lain pihak, para ilmuwan mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang
hasilnya bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh pihak gereja
(kaum agamawan). Akibatnya, tidak sedikit ilmuwan yang menjadi korban
dari hasil penemuan oleh penindasan dan kekejaman dari pihak gereja.
Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah hukuman yang diberikan
oleh gereja Katolik terhadap Galileo atas aspek pemikirannya tentang teori
Copernicus, yakni bumi dan planet-planet berputar dalam orbit mengelilingi matahari,
padahal otoritas gereja meyakini bumi sebagai pusat alam semesta. Oleh karena
demikian maka Galileo diadili pada tahun 1633.
2. Indepedensi
Model ini berpendirian bahwa agama dan sains memiliki persoalan, wilayah
dan yang berbeda, dan masing-masing memiliki kebenarannya sendiri sehingga tidak
perlu ada hubungan, kerjasama atau konflik antara keduanya. Satu cara untuk
menghindari konflik antara sains dan agama adalah dengan memisahkan dua bidang
itu dalam kawasan yang berbeda. Agama dan sains dianggap mempunyai kebenaran
sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan
dengan damai. Pemisahan wilayah ini tidak hanya dimotivasi oleh kehendak untuk
menghindari konflik yang menurut mereka tidak perlu, tetapi juga didorong oleh
keinginan untuk mengakui perbedaan karakter dari setiap era pemikiran ini.
Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang dikaji, domain yang dirujuk,
dan metode yang digunakan. Mereka berpandangan bahwa sains berhubungan dengan
fakta, dan agama mencakup nilai-nilai. Dua domain yang terpisah ini kemudian
ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi masing-masing.
Analisis bahasa menekankan bahwa bahasa ilmiah berfungsi untuk melalukan
prediksi dan kontrol. Sains hanya mengeksplorasi masalah terbatas pada fenemona
alam, tidak untuk melaksanakan fungsi selain itu. Sedangkan bahasa agama berfungsi
memberikan seperangkat pedoman, menawarkan jalan hidup dan mengarahkan
pengalaman religius personal dengan praktek ritual dan tradisi keagamaan. Bagi kaum
agamawan yang menganut pandangan independensi ini, menganggap bahwa Tuhanlah
yang merupakan sumber-sumber nilai, baik alam nyata maupun gaib.
Hanya agama yang dapat mengetahuinya melalui keimanan. Sedangkan sains
hanya berhubungan dengan alam nyata saja. Walaupun interpretasi ini sedikit berbeda
dengan kaum ilmuwan, akan tetapi pandangan independensi ini tetap menjamin
kedamaian antara sains dan agama. Para saintis yang menganut pandangan
independensi adalah seorang Biolog Stephen Joy Gould, Karl Bath, dan Langdon
Gilkey.
3. Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi
yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi. Diakui bahwa
antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling
mendukung satu sama lain.
Penganut pandangan dialog ini berpendapat bahwa agama dan sains jelas
berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dia tahu bahwa dalam dunia nyata mereka
tidak bisa dikotak-kotakkan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh
pendekatatan indenpendensi. Bagaimanapun juga agama telah membantu membentuk
sejarah sains, dan pada gilirannya kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi.
Dalam diskusi-diskusi filosofis dewasa ini tentang hakikat ilmu pengetahuan,
cara-cara sains dan teologi hampir-hampir tidak begitu berbeda, secara tidak langsung
hubungan sains dan agama tidak lagi dalam posisi konflik dan indenpendensi. Pada
pendekatan dialog ini sains tidak lagi tampak sangat murni dan objektif sebagaimana
biasanya, dan demikian pula teologi tidak tampak sangat tidak murni atau subjektif.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesejajaran konseptual maupun
metodologis menawarkan kemungkinan interaksi antara sains dan agama secara
dialogis dengan tetap mempertahankan integritas masing-masing.
4. Integrasi
Model ini berusaha mencari titik temu pada masalah masalah yang dianggap
bertentangan antara keduanya.. Pada model ini posisi sains adalah memberikan
konfirmasi (memperkuat atau mendukung) keyakinan tentang Tuhan sebagai pencipta
alam semesta. Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada
pendekatan dialog dengan mencari titik temu di antara sains dan agama. Sains dan
doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren
dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui
sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang
beriman. Ada tiga versi berbeda dalam integrasi, yaitu:
a. Natural Theology, mengklaim bahwa eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dari
bukti tentang desain alam, yang dengan keajaiban struktur alam membuat kita
semakin menyadari bahwa alam ini adalah karya Allah Swt. semata.
b. Theology Of Nature, berangkat dari tradisi keagamaan berdasarkan
pengalaman keagamaan dan wahyu historis. Theology of Nature tidak
berangkat dari sains sebagaimana natural theology, Dalam theology of nature,
ia berpendapat bahwa sumber utama teologi terletak di luar sains, tetapi ia
juga berpendapat bahwa beberapa doktrin tradisional harus dirumuskan ulang
dalam sinaran sains terkini. Karena secara khusus, doktrin tentang penciptaan
dan sifat dasar manusia dipengaruhi oleh temuan-temuan sains.
c. Sintesis Sistematis. Integrasi yang lebih sistematis dapat dilakukan jika sains
dan agama memberikan kontribusi kea rah pandangan dunia yang lebih
koheren yang dielaborasi dalam kerangka metafisika yang komprehensif.
INTEGRASI AGAMA DAN SAINS
BG. VII-C
KELOMPOK 2
ANUGRAH
RISKAWATI
SOFYAN EFENDI HARAHAP
INDYANA
SULASTRI DIAN PRATIWI
PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKUTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2017
DAFTAR PUSTAKA
Alhabsi,ludfi. 2015. Integrasi Agama dan Sains.
http://ludfielbangsali.blogspot.co.id/2015/10/assalamualaikum-good-people-pujisyukur.html
Nasri,azhari. 2016. Makalah integrasi ilmu dan agama.
https://azharnasri.blogspot.co.id/2016/01/makalah-integrasi-ilmu-dan-agama.html.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9, meski
mengalami pasang surut. Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan
umat Islam ini sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal sebagai
abad stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum juga
disebabkan karena adanya kolonialisme Barat atas Dunia Islam sejak abad ke-18 hingga abad
ke-19, dimana negara-negara Islam tidak mampu menolak upaya-upaya yang dilakukan
Barat, terutama injeksi budaya dan peradabannya. Adapun model- model integrasi agama dan
sains, yaitu;
a. Konflik
Model ini berpendirian bahwa agama dan sains adalah dua hal yang tidak
sekedar berbeda tapi sepenuhnya bertentangan.
b. Independensi
Model ini berpendirian bahwa agama dan sains memiliki persoalan, wilayah
dan yang berbeda, dan masing-masing memiliki kebenarannya sendiri sehingga
tidak perlu ada hubungan, kerjasama atau konflik antara keduanya.
c. Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi
yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi. Diakui
bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan
bisa saling mendukung satu sama lain.
d. Integrasi
Model ini berusaha mencari titik temu pada masalah masalah yang dianggap
bertentangan antara keduanya.. Pada model ini posisi sains adalah memberikan
konfirmasi (memperkuat atau mendukung) keyakinan tentang Tuhan sebagai
pencipta alam semesta.