INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS (2)

INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS

A. Integrasi Dalam Sejarah Islam
Dalam sejarah intelektual islam klasik, budaya integrasi keilmuan telah dikenal dan
dikembangkan dengan canggih. Center for islamic philosophical studies and informatin
(CIPSI) pernah menyebut 261 ilmuan, teolog, dan saintis muslim yang menguasai banyak
bidang, baik ilmu-ilmu rasional dan empirik. Dalam sejarah islam, ditemukan seorang ahli
astronomi, ahli biologi, ahli matematika, dan ahli arsitektur dalam bidang ilmu-ilmu
keislaman seperti tauhid, fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf. Meskipun berprofesi sebagai saintis
dalam bidang ilmu-ilmu kealaman, para pemikir muslin klasik menempuh

pola hidup

sufistik, dan kajian-kajian ilmiah mereka di arahkan kepada pencapain tujuantujuan religius
dan sepiritual.
Para filsuf dari mazhab peripatetik merupakan pemikir muslim yang berhasil
mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran islam yang bersumberkan kepada Alquran
dan hadis. Mereka malah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu yang terdiri atas ilmu-ilu
rasional dan ilmu-ilmu kewahyuan. Al-jahiz (w.869) adalah ahli dalam bidang sastra arab,
bioloi, zoologi, sejarah, filsafat, psikologi, teologi, dan politik. Al-Farabi (w.950) menguasai
berbagai cabang filsafat, antara lain metafisika, etika, logika, matematika, musik, dan politik.

Al-Ghazali (w.1111) adalah seorang teolog, filsuf, dan sufi. Ibn Sina (w.1037) menguasai
filsafat, kedokteran, astronomi, kimia, geografi, geologi, psikologi, logika, matematika,
fisika, dan puisi. Secara keilmuan, mereka menguasai banyak disiplin ilmu, dan secara
personal mereka berperan sebagai seorang saintis muslim yang berpola hidup religius dan
sufistik.
Selain dari mahzab paripatetik, sejarah islam menyebutkan keberadaan para filsuf dari
mahzab Isyraqiyah dan mazhab hikmah al-Muta’aliyah yang sukses mengintegrasikan ilmuilmu rasional dengan ilmu-ilmu kewahyuan. Diantara mereka adalah suhrawardi (w.1191)
yang dikenal ahli filsafat, tasawuf, zoroastrianisme, dan platonisme. Nashr al-Din al-Thusi
(w.1274) merupakan pakar dalam bidang astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat,
fisika, teologi, tasawuf, dan hukum islam.

Integrasi ilmu dalam islam bukan hal yang baru. Sebab, para ilmuan Muslim klasik
telah mengerjakan proyek keilmuan tersebut sepanjang masa keemasan islam. Mereka sukses
mengintegrasikan antara dua jenis ilmu tersebut, dan mengintegrasikan keduanya dengan
keyakinan dan perilaku hidup mereka sehari-hari.
B. integrasi dalam ranah Ontologi
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, ont yang bermakna keberadaan, dan logos
yang bermakna teori, sedangkan dalam bahasa Latin disebut ontologia, sehingga ontologi
bermakna teori keberadaan sebagaimana keberadaan tersebut. Ontologi dapat dimaknai
sebagai ilmu tentang esensi segala sesuatu. Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang

merupakan bagian dari filsafat, dan membahas teori tentang keberadaan seperti makna
keberadaan dan karakteristik esensial keberadaan. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu
tentang teori keberadaan, dan istilah ontologi ditujukan kepada pembahasan tentang objek
kajian ilmu.
Para sufi awal memang lebih banyak memfokuskan kepada masalah kedekatan
kepada Allh Swt., tetapi belakanganmereka meluaskan objek kajian tasawuf sampai kepada
persoalan wujud, selain tasawuf juga mulai bersinggungan dengan filsafat.
Saintis Muslim sebagai peneliti alam empirik (terutama dunia mineral, tumbuhan,
binatang, dan manusia) harus menyadari bahwa alam merupakan ciptaan dan manifestasi
Allah Swt, dan ajaran islam mengajarkan bahwa alam merupakan tanda-tanda keberadaan
dan kekuasaan-Nya, sehingga penelitian terhadap alam diharapkan dapat menumbuhkan dan
memperkokoh keimanan terhadap-Nya, bukan menjauhkan manusia dari-Nya sebagaimana
ditemukan dalam banyak teori ilmuan-ilmuan Barat-sekuler.

C. Integrasi dalam Ranah Epistimologi
Istilah epistimologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang bermakna
pengetahuan, dan logis yang bermakna ilmu atau eksplanasi, sehingga epistimologi berarti
teori pengetahuan. Epistimologi dimaknai sebagai cabang filsafat yang membahas
pengetahuan dan pembenaran, dan kajian pokok epistimologi adalah makna pengetahuan,
kmungkinan manusia meraih pengetahuan dan hal-hal yang dapat diketahui.


Kajian-kajian ilmu-ilmu alam mengandalkan metode observasi dan eksperimen yang
disebut dalam epistimologi Islam sebagai metode tajribi, sedangkan kajian tasawuf
mengandalkan metode ‘irfani yang biasa disebut dengan metode tazkiyah al-nafs. Sebagian
sufi memanfaatkan metode ‘irfani untuk mendapatkan pemahaman mendalam mengenai
dunia metafisika dan dunia fisik ( mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia ).
Saintis muslim meskipun lebih banyak mengedepankan metode tajribi (observasi dan
eksperimen) dalam mengembangkan ilmu-ilmu alam, tetap perlu mengambil metode tasawuf
dalam menemukan ilmu dan kebenaran, dimana kaum sufi mengutamakan metode tazkiyah
al-nafs (penyucian jiwa) dengan melaksanakan berbagai ritual ibadah (al-ibadah) termasuk
zikir, serta melakukan berbagai praktik riyadhah dan mujahadah.

D. Integrasi dalam Ranah Aksiologi
Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios yang bermakna nilai dan logos
yang berarti teori. Aksiologi bermakna teori nilai, investigasi terhadap asal, kriteria, dan
status metafisik dari nilai tersebut. Aksiologi juga bermakna sebagai studi tentang manfaat
akhir dari segala sesuatu. Jadi, aksiologi membahas tentang nilai kegunaan ilmu, tujuan
pencarian dan pengembangan ilmu, kaitan antara penggunaan dan pengembangan ilmu
dengan kaedah moral, serta tanggungjawab sosial ilmuan. Kajian aksiologi lebih ditujukan
kepada pembahasan manfaat dan kegunaan imu, dan etika akademik ilmuan.

Konsep al-maqamat dan al-ahwal dapat menjadi semacam etika profesi seorang
saintis sebagai ilmuwan muslim. Meskipun memiliki banyak kekayaan material, seorang
saintis Muslim masa depan harus bersikap zuhud dan fakir, dan menolak harta yang syubhat
dan haram. Seorang saintis Muslim harus memiliki sikap sabar ( sabar dalam beribadah
[termasuk kegiatan riset yang didasari oleh etika religius], sabar menghadapi masalah).
Seorang saintis muslim harus tawakal, artinya menyerahkan hasil kegiatan akademik dan
sosialnya hanya kepada Allah Swt. seroang saintis Muslim harus memiliki sikap cinta,
artinya ia hanya melaksanakan aktivitas keilmuan dan sosialnya atas dasar kecintaan kepada
Allah Swt. seorang saintis muslim harus memiliki sikap rida, artinya menerima dengan
tentram, tenang, dan bahagia atas segala capaian dan hasil tersebut.