INTEGRASI ANTARA AGAMA DAN SAINS Pengala

INTEGRASI ANTARA AGAMA DAN SAINS:
Pengalaman Islam Klasik
Oleh: Nor Huda*)
Abstraksi
Kesan cukup kuat yang masih terasa hingga dewasa ini, dalam dunia Islam,
adalah adanya dikhotomi antara agama dan ilmu pengetahuan (sains). Pada
umumnya masyarakat luas memandang bahwa agama dan ilmu adalah "wilayah"
yang tidak bisa dipertemukan. Ilmu tidak memperdulikan agama dan agama tidak
memperdulikan ilmu. Keduanya mempunyai "wilayah" sendiri-sendiri, terpisah
antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian,
kriteria pembenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun teori masingmasing bahkan sampai ke institusi penyelenggaranya. Sesungguhnya pandangan
ini tidak tepat dalam Islam. Ajaran Islam sangat menganjurkan umatnya untuk
menuntut ilmu. Oleh karena itu, pandangan ini perlu dikoreksi dan diluruskan.
Sejarah Islam telah membuktikan bahwa antara agama dan sains pernah
berkolaborasi dan saling mendukung. Namun, sejarah pun juga telah
memperlihatkan bagaimana umat Islam telah meninggalkan prinsip dasar ajaran
Islam sehingga meredupkan dan mematahkan kejayaan peradabannya. Sekarang,
seharusnyalah umat Islam dapat mengambil hikmah dari peristiwa sejarah
tersebut untuk dijadikan cermin pada masa sekarang dan menentukan langkah
atau mengatur strategi untuk masa depan.
Kata kunci: -Islam klasik; -masa keemasan; -integrasi agama dan sains.

Pendahuluan
Sains, yang dipahami dalam arti terbatas sebagai ilmu pengetahuan objektif yang
tersusun dan teraratur tentang tatanan alam semesta, bukanlah produk pikiran
manusia modern saja. Bentuk pengetahuan seperti ini juga pernah tumbuh secara
ekstensif dalam peradaban pra-modern, seperti China, India, Mesir dan peradaban
Islam. Namun, sains pra-modern ini berbeda dengan sains modern dalam hal
tujuan, metodologi, sumber-sumber inspirasi dan asumsi-asumsi filosofis mereka
tentang manusia, pengetahuan, dan realita alam semesta (Osman Bakar, 2003: 73).
Perbedaan utama lainnya antara sains pra-modern dan sains modern –
demikian menurut Osman Bakar- adalah mengenai posisi sains dalam
hubungannya dengan jenis pengetahuan yang lain. Dalam peradaban pra-modern,
sains tidak pernah dipisahkan dengan pengetahun spiritual. Sebaliknya, dalam

2

sains pra-modern ditemukan sebuah kesatuan organik antara sains dan
pengetahuan spiritual (Ibid.). Dalam tradisi Islam, misalnya, banyak dijumpai
tokoh agama yang sekaligus tokoh sains. Pada waktu itu, ilmu kedokteran selalu
bergandengan dengan ilmu teologi. Para dokter sering merangkap dengan ahli
metafisik, filosuf dan orang bijaksana. Maka, gelar h}a>kim (jamak:

h}ukama>') tidak dapat disandang oleh orang yang hanya ahli dalam salah satu
cabang ilmu pengetahuan saja (Nourouzzaman, 1986: 19).
Dalam sains modern, hal tersebut tidak dijumpai. Bahkan, sekarang ada kesan
yang cukup kuat bahwa antara pengetahuan spiritual (baca: agama) dan sains
adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempunyai
wilayahnya sendiri-sendiri, terpisah antara satu dengan yang lainnya, baik dari
segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria pembenaran, peran yang
dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing, bahkan sampai ke
institusi penyelenggaraannya. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan tidak
memperdulikan agama dan agama tidak memperdulikan ilmu pengetahuan (sains)
(Amin Abdullah, 2003: 3).
Fenomena di atas, tentunya, sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan
umat Islam. Di era globalisasi semacam ini, penguasaan sains dan pemahaman –
serta pengamalan- agama yang tepat sangat diperlukan. Jika umat Islam tidak
hanya ingin sekedar survive di tengah persaingan global yang semakin tajam dan
ketat, tapi juga berharap mampu tampil di depan, maka reorientasi pemikiran
mengenai pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem dan kelembagaan merupakan
sautu keniscayaan (ibid.: 7-8). Umat Islam tidak boleh berdiam diri dan menjadi
penonton di luar arena perkembangan yang terjadi. Oleh karena itu, tantangan di
era globalisasi menuntut respons yang tepat dan cepat dari sistem pendidikan

Islam secara menyeluruh.
Salah satu hal yang perlu kita lakukan adalah menengok kembali masa lalu
umat Islam. Umat Islam pernah mengalami masa keemasan (The Golden Age)
selama lebih dari tujuh abad. Masa keemasan ini bisa terjadi, antara lain, karena
umat Islam memahami ajaran Islam secara holistik sehingga antara agama dan
ilmu (sains) bisa berjalan seirama. Namun, selanjutnya peradaban Islam surut ke

3

belakang dan semakin tertinggal hingga sekarang ini. Kemunduran ini disebabkan
oleh pemahaman dan pengalaman agama yang parsial dimana hal ini jauh dari
ajaran Islam yang universal. Melalui penelusuran sejarah kita bisa introspeksi diri
dan menjadikan cerminnya di masa sekarang. Hal ini sangat berguna sebagai
bahan pertimbangan untuk menentukan langkah di masa yang akan datang.
Tulisan pendek ini ingin mencoba menganalisis persoalan tersebut dengan
pendekatan sosio-historis. Dengan merujuk secara khusus pada tradisi agama
(Islam) pada masa klasik -dimana telah terjadi kesalinghubungan antara sains dan
agama, tulisan ini diharapkan dapat menjadi cermin masyarakat Muslim dalam
mencari konsep pendidikan Islam yang integralistik. Walaupun mempunyai
konteks masa yang sangat jauh berbeda, paling tidak tulisan ini dapat menjadi

salah satu pertimbangan dalam memformulasikan upaya "kerja sama" antara
agama dan sains, sehingga kedua bidang keilmuan ini tidak terjadi gap yang justru
sangat merugikan umat Islam di masa kini.
Nilai-nilai Ajaran Islam
Islam bukan hanya suatu bentuk keyakinan agama. Islam merupakan seperangkat
etika dan ide-ide yang mengarahkan semua aspek kehidupan manusia,
mengantarkan terbentuknya peradaban Islam. Peradaban dan sumbangan Islam
terhadap sains dan teknologi tidak akan pernah terwujud tanpa kekuatan
pendorong nilai-nilai ajaran Islam (M. Ali Kettani, 1984: 66). Inilah yang
membedakan antara Islam dengan agama lain, yaitu penekanannya terhadap
masalah sains.
Alqur'an dan Hadis merupakan sumber bagi ilmu Islam, dalam pengertian
yang seluas-luasnya. Lebih khusus lagi, kedua sumber pokok Islam ini
memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu.
Pertama, prinsip-prinsip seluruh ilmu dipandang oleh kaum Muslim terdapat di
dalam Alqur'an. Sejauh pemahaman terhadap Alqur'an, terdapat pula penafsiran
yang bersifat esoteris (ma'nawi) terhadap kitab suci ini, yang memungkinkan tidak
hanya mengungkap misteri-misteri yang dikandungnya, tetapi juga pencarian

4


makna secara lebih mendalam, yang berguna untuk pembangunan paradigma
ilmu.
Kedua, Alqur'an dan Hadis menciptakan yang kondusif bagi pengembangan
ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu dalam segi
apapun yang berujung pada penegasan Tawhid –keunikan dan keesaan Tuhan.
Singkatnya, kedua sumber pokok tersebut, menciptakan atmosfir khas yang
mendorong aktivitas intelektual dalam konformitas dengan semangat Islam. Oleh
karena itu, seluruh metafisika dan kosmologi yang terbit dari Alqur'an dan Hadis
merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu Islam (Azyumardi Azra,
1999: 13).
Perlu dijelaskan di sini, bahwa kata 'ilm sebagaimana yang ada di dalam
Alqur'an dan Hadis tampak di dalam makna generiknya (umum) daripada merujuk
secara eksklusif kepada studi-studi agama. Dalam Islam, batasan untuk mencari
ilmu hanyalah bahwa orang-orang Islam harus menuntut ilmu yang berguna. Islam
hanya melarang umatnya untuk menerjunkankan dirinya dalam mencari suatu
cabang keilmuan yang bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Menurut
Golshani, suatu ilmu dikatakan berguna jika ilmu tersebut dapat menolong
manusia dalam memainkan perannya di dunia ini yang telah ditentukan oleh Allah
(Mehdi Golshani, 2003: 13). Dengan kata lain, sesuatu ilmu perlu dikembangkan

sejauh ilmu itu menunjang tugas kekhalifan manusia di bumi.
Adapun mengenai sains, yaitu sebagai fenomena natur, memang disinggung di
dalam Alqur'an. Ayat-ayat demikian disebut dengan al-ayat al-kawniyah, yang
jumlahnya lebih kurang 150 ayat (Harun Nasution, 1986: 30). Pada dasarnya,
ayat kawniyah ini mengandung dorongan kepada manusia untuk memperhatikan
dan memikirkan alam sekitarnya. Dengan begitu, manusia akan sampai kepada
kesimpulan bahwa kejadian-kejadian, seperti turunnya hujan di bumi dan
menghidupkan tumbuh-tumbuhan, pertukaran malam dengan siang, peredaran
bulan dan matahari dan sebagainya, tidaklah timbul begitu saja, tetapi mesti
diciptakan dan digerakkan oleh suatu zat yang berada di balik alam materi ini,
yaitu zat yang disebut Allah Pencipta dan Penggerak alam semesta. Dengan
memperhatikan dan memikirkan keajadian-kejadian itu, iman manusia kepada

5

Tuhan akan menjadi lebih tebal. Inilah dasar tujuan ayat kawniyah, yang
terkandung di dalam fenomena natur.
Namun, dalam fenomena natur tersebut tidak dijelaskan mengenai prosesnya
lebih lanjut. Proses itulah yang harus dipikirkan oleh manusia. Oleh karena itu,
kurang tepat, demikian kata Harun Nasution (ibid.), kalau dikatakan bahwa ayatayat Alqur'an mengandung membahas persoalan ilmu pengetahuan (sains).

Barangkali, yang tepat adalah bahwa ada di antara ayat-ayat Alqur'an yang
menyebut fenomena alam yang juga menjadi pembahasan ilmu pengetahuan. Jadi,
peranan akal di dalam Islam mempunyai kedudukan yang tinggi.
Posisi akal yang tinggi di dalam Alqur'an dan Hadis serta dorongan yang kuat
untuk menuntut ilmu pengetahuan merupakan faktor utama pembangunan dan
pengembangan ilmu pengetahuan di dalam Islam. Pertemuan Islam dengan
kebudayaan-kebudayaan lama yang telah berkembang merupakan faktor lain
pengembangan keilmuan Islam. Kedua hal tersebut sangat berperan mengantarkan
masa keemasan Islam pada periode abad VIII-XVIII Masehi.
Masa Keemasan
Sepanjang sejarah Islam, tokoh sentral dalam transmisi sains –seperti sudah
disinggung di muka- merupakan orang "arif", atau h}a>kim. Biasanya, dia, di
samping seorang ulama (tokoh agama), juga seorang ahli fisika, penulis dan
penyair, seorang ahli astronomi, dan ahli matematika. Pada figur seorang
h}a>kim ini, dapat dilihat kesatuan sains dan agama sebagaimana cabang
keilmuan yang disandangnya adalah suatu bentuk kearifan. Hakim, orang yang
bijaksana, selalu membangun kesatuan sains dalam pikiran mahasiswanya
(Seyyed Hossein Nasr, 1968: 41). Sistem pendidikan Islam sebagai keseluruhan
dan klasifikasi sains adalah menggantungkan dirinya pada figur hakim tersebut.
Tentu saja, tidak semuanya yang memberi sumbangannya kepada sains Islam

menguasai setiap bidang keilmuan. Beberapa di antaranya menguasai matematika,
atau fisika, atau sejarah. Walaupun demikian, ada sejumlah tokoh yang
lingkupnya universal, dan mereka memainkan peranan yang penting dalam
beberapa bidang sains.

6

Menurut Hossein Nasr, seperti yang dikutip oleh Poeradisastra, bahwa ilmu
pengetahuan Islam terbentuk dari suatu perkawinan antara semangat yang
memancar dari wahyu Alqur'an dan ilmu-ilmu yang ada dalam beberapa
peradaban yang diwarisi Islam dan yang telah diubah bentuknya melalui kekuatan
ruhaninya menjadi sebuah zat baru, yang sekaligus berbeda dan
berkesinambungan dengan yang ada sebelumnya (Poeradisastra, 1981: 12). Sifat
internasional dan kosmopolitan peradaban Islam berasal dari watak internasional
ajaran Islam yang terpantul di dalam persebaran keilmubumian dunia Islam,
memungkinkan Islam menciptakan ilmu pengetahuan pertama yang benar-benar
bersifat internasional di dalam sejarah umat manusia (ibid).
Islam, sebagai kekuatan politik internasional, cepat meluas daerah
kekuasaannya ke semenanjung Arabia sehingga mencakup Suriah, Palestina,
Mesir, Afrika Utara, Spanyol dan pulau-pulau di Laut Tengah, seperti Sisilia di

barat dan Mesopotamia (Irak), Persia, Asia Tengah dan India di timur. Daerahdaerah yang jatuh ke dalam kekuasaan Islam ini telah terdapat tiga peradaban
besar yang lebih dahulu berkembang, yaitu Yunani, Persia dan India yang oleh
Alexander Agung dari Macedonia pernah diusahakan meleburkannya menjadi
satu. Posisi akal di dalam ketiga peradaban itu juga mendapat penghargaan tinggi,
suatu hal yang menarik perhatian cendekiawan dan ulama Islam (Harun Nasution,
1986: 52).
Selain itu, antara tradisi Islam dan tradisi Yunani mempunyai beberapa
persamaan. Menurut Marshall G.S. Hodgson (2002: 234) bahwa tradisi kenabian
Abrahamik –termasuk Islam- maupun tradisi filosofis dan ilmiah bercorak Yunani,
pada awalnya telah terkait dengan masalah-masalah orientasi kehidupan yang
komprehensif. Bahkan, tradisi matematik dan ilmiah dari masa Cunieform
merupakan penopang bagi visi-visi religius yang lebih luas.
Sejak abad ke-1H/ke-8M sampai dengan abad ke-4H/ke-10M, pusat
perkembangan kebudayaan dan peradaban dunia berada di Baghdad, Cordova dan
Cairo. Ketiga kota tersebut merupakan ibukota-ibukota kekhalifahan Islam.
Baghdad adalah tempat kedudukan Dinasti Abbasiyah(132H/749M656H/1258M), Cordova ibukota Dinasti Umaiyah di Barat (Spanyol: 138H/756M-

7

422H/1031M), dan Cairo merupakan ibukota dari Dinasti Fathimiyah

(297H/909M-567H/1171M). Ke kota-kota inilah para cendekiawan datang untuk
belajar atau berkonsultasi.
Baghdad, Cordova dan Cairo bisa berfungsi dan berperan sebagai pusat-pusat
pengakajian sains karena para khalifah dan sarjana Muslim adalah pencintapencinta ilmu pengetahuan (Nourouzzaman, 1986: 19). Khalifah-khalifah seperti
al-Manshur, al-Rasyid, dan al-Ma'mun mempunyai peranan yang besar dalam
dalam mendukung penelitian ilmiah yang semuanya bertujuan dan membantu
menciptakan suatu tradisi kesarjanaan yang bersifat ilmiah.
Perkembangan sains di Baghdad dimulai dengan menggalakkan aktivitas
penerjemahan buku-buku yang tertulis di dalam bahasa Yunani, Persia, India,
bahkan China, ke dalam bahasa Arab yang berlangsung kurang lebih satu abad
(133H/750M-236/850M). Hal pertama yang dilakukan oleh umat Islam adalah
mempelajari semua pengetahuan humanitas itu sebelum mereka mengumpulkan
karya-karya asing tersebut. Setelah tahap pertama –yang berlangsung kurang lebih
50 tahun- selesai, mereka mulai melakukan koreksi-koreksi dengan melakukan
observasi-observasi dan selanjutnya membuat bidang sains baru (M. Ali Kettani,
1984: 68). Menurut Muzaffar Iqbal, ilmu-ilmu seperti astronomi, kedokteran,
matematika adalah bidang-bidang studi yang sudah mapan sebelum diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab. Penerjemahan-penerjemahan yang dilakukan umat Islam
adalah untuk memperkaya tradisi Islam, bukan untuk melahirkan ilmu-ilmu
tersebut (Muzaffar Iqbal, 2002: 23)

Dalam proses yang krusial tersebut, para sarjana Muslim memegang dua hal
utama yang dapat mengarahkan mereka untuk berasimilasi secara lengkap dalam
kebudayaan yang berbeda. Pertama, mereka tetap dalam garis dasar-dasar ajaran
Islam. Mereka memusatkan perhatiannya pada fakta-fakta bukan pada asumsiasumsi. Mereka mengoleksi dan mengkaji karya-karya yang berhubungan dengan
kedokteran, matematika, astronomi, dan geografi, tetapi menjauhkan diri dari halhal yang bersifat magis dan mitos. Kedua, umat Islam tetap mempertahankan
bahasa Arab sebagai bahasa universal. Mereka menerjemahkan semua ilmu
pengetahuan yang diketahuai ke dalam bahasa Arab dan mengembangkan bahasa

8

itu sebagai sebuah kekuatan untuk berkomunikasi ilmiah yang efektif dan efisien
di dalam masyarakat dunia (Ali Kettani, 1984: 68).
Pada masa kekemasan ini lahir tokoh-tokoh yang disebut sebagai –meminjam
istilah Hossein Nasr- the universal figures of Islamic science. Mereka itu adalah
tokoh-tokoh yang menguasai beberapa cabang keilmuan, yang tidak hanya
terbatas pada pengetahuan agama saja. Figur-figur ini sering disebut dengan
fala>sifah (tunggal: failasuf) atau h}ukama>' (tunggal: h}a>kim), orang
bijaksana.
Jabir ibn Hayyan (103/721-200/815) di antara tokoh yang termasuk dalam
kelompok ini. Nama lengkapnya Jabir ibn Hayyan al-Azdi al-Tusi al-Sufi. Dia
merupakan bapak ilmu kimia dalam Islam. Dia dikenal sebagai seorang ahli kimia
di istana Harun al-Rasyid dan secara khusus bergabung dengan para wazir
Abbasiyah, yaitu masa kekuasaan Barmakiyah. Jabir juga dikenal sebagai seorang
sufi dan seorang Syi'ah, yang secara rapat berhubungan dengan lingkungan imam
Syi'ah ke-6, Ja'far al-Shadiq.
Tokoh lainnya adalah Abu Yusuf Ya'qub ibn Ishaq al-Kindi (185/801260/873). Al-Kindi, dikenal dalam bahasa Latin sebagai Alkindus, adalah orang
yang dikenal sebagai filosuf Arab, berasal dari bangsa Arab suku Kindah. Dia
menghabiskan masa kecilnya di Kufah yang telah menjadi pusat ilmu
pengetahuan. Al-Kindi mengkaji ilmu-ilmu agama, filsafat, dan matematika.
Namun, yang menjadi pusat perhatiannya adalah ilmu pengetahuan filsafat setelah
pergi ke Baghdad.
Di samping itu, ada al-Farabi, yang nama lengkapnya Muhammad ibn
Muhammad ibn Tharkhan Abu Nasr al-Farabi (258/870-339/950). Dia belajar di
Baghdad dan berkembang sebagai sufi di Aleppo sembari menjadi nggota majelis
Saif al-Dawlah al-Hamdani. Al-Farabi berjasa dalam mensintesakan aliran-aliran
pemikiran yang berbeda antara Platonisme, Aristoteleisme, dan sufisme. Selain
itu, ia juga menyusun buku tentang psikologi, politik, dan metafisika. Dari tulisantulisannya, dia memperlihatkan keahliannya dalam bidang kedokteran,
matematika dan ahli musik.

9

Contoh lainnya Abu Ali al-Husain ibn Sina (370/980-428/1037). Dia
merupakan salah seorang filosuf Islam terbesar dan tokoh yang banyak
mempengaruhi dalam wilayah-wilayah sains dan seni. Dia lahir di dekat kota
Bukhara. Pada umur sepuluh tahun dia sudah menguasai gramatika bahasa Arab,
sastra dan bahkan, teologi. Sebagimana al-Farabi, Ibn Sina juga seorang penulis
terkemuka dalam bidang musik. Dia juga seorang penulis yang produktif tentang
hampir semua cabang sains. Para ahli perpustakaan modern telah mencatat 200
judul karangan Ibn Sina yang membahas tentang filsafat, kedokteran, geometri,
astronomi, teologi, filologi, dan kesusasteraan (Nourouzzaman, 1984: 28). Di
antara karya ilmiahnya yang terkemuka adalah Kita>b al-Syifa>' (buku
penyembuhan). Buku ini merupakan ensiklopedia filosofis yang bersandar pada
Aristoteles yang telah dimodifikasikan oleh pengaruh Neo-Palatonik dan teologi
Islam. Buku yang lain adalah al-Qanu>n fi al-T}ib!
Daftar Pustaka
Ahmad Hanafi. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1980
Akh. Minhaji. "Transformasi IAIN menuju UIN: Sebuah Pengantar", dalam M.
Amin Abdullah, dkk. Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum.
Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003, pp. vi-xvi.
Azyumardi Azra. "Pengelompokan Disiplin "Ilmu-ilmu Agama": Perspektif
IAIN", dalam Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, ed. M. Amin
Abdullah, dkk. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 2000
------------. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru.
Jakarta: Logos, 1999
Barbour, Ian G. Issues in Science and Religion. New York: Prentice-Hall Inc.,
1996
Cantay, Hasan Basri. "Kebudayaan Islam di Daerah-daerah Turki", dalam
Kenneth W. Morgan (ed.), Islam Jalan Lurus, terj. Abu Salamah dan Chaidir
Anwar. Jakarta: Pustaka Jaya, 1986, pp. 287-332
Fazlur Rahman. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terj.
Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka, 1985
Harun Nasution. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press, 1986
------------. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1998
Hofmann, Murad W. Menengok Kembali Islam Kita, terj. Rahmani Astuti.
Bandung: Pustaka Hidayah, 2002
Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam
Peradaban Dunia Masa Klasik Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta:
Paramadina, 2002
Machasin. "Silaturrahim Kebudayaan Islam dan Peran IAIN Sunan Kalijaga",
dalam M. Amin Abdullah, dkk. (eds.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu
Keislaman. Yogyakarta: Sunan Kalijaga, 2003.

22

Makdisi, George. The Rise of College: Institutions of Learning in Islam and the
West. Edhinburg University Press, 1981
M. Ali Kettani. "Science and Technology in Islam", in The Touch of Midas:
Science, Values and Environment, ed. Ziauddin Sardar. Manchester
University Press, 1984
M. Amin Abdullah. "New Horizons of Islamic Studies Through Socio-Cultural
Hermeneutics", in al-Ja>mi'ah: Journal of Islamic Studies, Volume 41,
Number 1, 2003/1424, pp. 1-24
------------. "Etika Tauhidik sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan
Umum dan Agama (dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke Arah
Teoantroposentrik-integralistik), dalam M. Amin Abdullah, dkk.
Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum. Yogyakarta: Sunan
Kalijaga Press, 2003, pp. 3-20
M. Husain Sadar. "Science and Islam: Is there a Conflict?", in The Touch of
Midas: Science, Values and Environment, ed. Ziauddin Sardar. Manchester
University Press, 1984
M. Masyhur Amin. Dinamika Islam (Sejarah Transformasi dan Kebangkitan).
Yogyakarta: LKPSM, 1995
Mehdi Golshani. Filsafat Sains Mmenurut Alqur'an, terj. Agus Efendi. Bandung:
Mizan, 2003
Muzaffar Iqbal. Islam and Sains. Hamshire: Ashgate, 2002
Nourouzzaman Shiddiqi. Tamaddun Muslim: Bunga Rampai Kebudayaan Islam.
Jakarta: Bulan Bintang, 1986
Osman Bakar. Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains
Islam, terj. Yuliani Lipuro. Bandung: Pustaka, Hidayah, 2003
S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern,
Jakarta: Girimukti Pusaka, 1981
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, Cambridge: Harvard
University Press, 1968
*) Nor Huda, adalah staf Pengajar di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fak.
Adab IAIN Raden Fatah. Sekarang sedang menempuh Program Doktor di
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta.