Kepastian Hukum Dalam Eksekusi Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 14 PDT.PLW 2014 PN.STB)

BAB II
PERAN JAKSA DALAM EKSEKUSI PUTUSAN PIDANA

A. Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana
1.

Pengertian dan Fungsi Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana
Menurut istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana
delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang
diapakai untuk melakukan delik. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik,
misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah pribadi maka rumah
pribadi itu merupakan barang bukti atau hasil delik.38
Disamping itu ada pula barang yang bukan termasuk obyek, alat atau hasil delik,
tetapi dapat pula dijadikan barang bukti sepanjang barang tersebut mempunyai hubungan
langsung dengan tindak pidana misalnya pakaian yang dipakai oleh korban saat ia
dianiaya atau dibunuh.
Pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa tiadak
seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila kerena alat pembuktian yang sah
menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim
mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dapat dianggap bertanggung jawab, telah

bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.
Ketentuan tersebut diatas ditegaskan lagi dalam Pasal 183 KUHAP yang
menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
38

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Arikha Media Cipta, Jakarta, 1986, hal 100.

Universitas Sumatera Utara

melakukannya. Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa ketentuan ini
adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi
seseorang. Adanya ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 183 KUHAP
menujukkan bahwa Negara kita menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif,
dimana hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman apabila sedikit-dikitnya dua alat bukti
yang telah ditentukan dalam kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang
dituduhkan kepadanya. Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika Hakim tidak
yakin tentang kesalahan terdakwa maka harus diputus bebas.
Untuk mendukung dan menguatkan alat bukti yang sah sebagaimana tercantum

dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan untuk memperoleh keyakinan hakim atas
kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa, maka disinilah
letak pentingnya barang bukti tersebut. Meskipun barang bukti mempunyai peranan
penting dalam perkara pidana bukan berarti bahwa kehadiran barang bukti itu mutlak
harus ada dalam perkara pidana, sebab adapula tindak pidana tanpa adanya barang bukti
misalnya penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat (1) KUHP). Dalam hal demikian hakim
melakukan pemeriksaan tanpa barang bukti.
2.

Hubungan Barang Bukti dengan Alat Bukti
Sebagaimana telah disebut bahwa alat bukti yang sah sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat,
Petunjuk dan Keterangan terdakwa. Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut
tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

Universitas Sumatera Utara

Bila memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, tidak tampak adanya
hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa
untuk menentukan pidana kepada terdakwa, harus:

a. Kesalahanya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;
b. Dan atas dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh
keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukanya.
Pasal 181 KUHAP mengatur mengenai pemeriksaan barang bukti di persidangan, yaitu sebagai
berikut:
a. Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan
menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan
sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 45 KUHAP.
b. Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi.
c. Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau
memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta
keterangan seperlunya tentang hal itu.39
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas tampak bahwa dalam proses pidana,
kehadiran barang bukti itu sangat penting bagi hakim untuk mencari dan menetukan
kebenaran materiil atas perkara yang sedang ia tangani/ periksa. Barang bukti dan alat
bukti mempunyai hubungan yang erat dan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat
dipisahkan.
Perbedaan alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana dengan barang bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu:

a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
39

Ratna Nurul Afiah, Barang Bhukti Dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hal 19.

Universitas Sumatera Utara

d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk
alat pembuktian.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang tidak
menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam
pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan apa-apa yang disita. Untuk kepentingan pembuktian
tersebut maka kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana, sangat
diperlukan. Benda-benda dimaksud dengan istilah “barang bukti”.Barang bukti atau
corpus delicti adalah barang bukti kejahatan, meskipun barang bukti itu mempunyai
peranan yang sangat penting dalam proses pidana.

Selain itu didalam Hetterzine in landcsh regerment (HIR) juga terdapat perihal
barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat ataupun
orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian
selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu
kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan.
Penjelasan Pasal 133 ayat (2) KUHAP menyebutkan : “Keterangan yang
diberikan oleh ahli kedokteran Kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan
yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan”.
Memperhatikan Pasal 133 KUHAP beserta penjelasannya maka dapat disimpulkan
bahwa: Keterangan mengenai barang bukti (tubuh manusia yang masih hidup atau pun
mati) yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman, adalah menjadi alat bukti yang sah
sebagai keterangan ahli sebagai mana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP.

Universitas Sumatera Utara

Terkait dengan Pasal 120, Pasal 184 serta Pasal 186 KUHAP, terlihat bahwa hasil
pemeriksaan oleh ahlinya disebut Expertise adalah hasil pemeriksaan sesuatu yang
dilakukan oleh seseorang ahli (expert) yang disampaikan kepada hakim untuk menjadi
bahan pertimbangan pemutusan suatu perkara.40 Misalnya hasil pemeriksaan terhadap
bagian-bagian tertentu dari tubuh manusia (darah, air mani, rambut, dsb) atau hasil

pemeriksaan benda-benda tertentu (serbuk, senjata api, uang palsu, dsb) apabila diberikan
secara lisan disidang pengadilan, maka akan menjadi keterangan ahli sebagaimana
tersebut dalam Pasal 184 KUHAP. Sedangkan keterangan yang diberikan oleh seorang
ahli (bukan ahli kedokteran kehakiman) jika diberikan secara tertulis, maka akan menjadi
surat keterangan dari seorang ahli (Pasal 184 ayat (1) c jo Pasal 187 c KUHAP).
Dengan demikian barang bukti itu sangat penting arti dan perananya dalam
mendukung upaya bukti dalam persidangan, sekaligus memperkuat dakwaan Jaksa
Penuntut Umum terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh terdakwa, serta dapat
membentuk dan menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa. Itulah sebabnya
Jaksa Penuntut Umum semaksimal mungkin harus mengupayakan/ menghadapkan
barang bukti selengkap-lengkapnya disidang pengadilan.
3.

Putusan yang Berkenaan dengan Barang Bukti
Selain mencantumkan tindakan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dan ongkos perkara

putusan hakim harus memuat pula tentang status benda sitaan yang dijadikan barang bukti dalam
perkara tersebut, kecuali dalam perkara tersebut tidak ada barang buktinya. Mengenai macammacam putusan yang berkenaan dengan barang bukti dapat kita ketahui dari Pasal 46 ayat (2)
KUHAP dan Pasal 194 ayat (1) KUHAP.


40

Yan Pramadya Puspa, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Akademika Presido, Jakarta, 1993, hal

235.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 46 ayat (2) KUHAP adalah sebagai berikut: Apabila perkara sudah diputus
maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka
yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu
dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat
dipergunakan lagi atau jika benda dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau
jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Pasal 194 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa : Dalam hal putusan pemidanaan,
atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum pengadilan menetapkan supaya barang
bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang
namanya tercantum dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut ketentuan UndangUndang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau
dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.41


Berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa putusan hakim yang
berkenaan dengan barang bukti adalah sebagai berikut:
1.

Dikembalikan kepada pihak yang paling berhak.
Pada hakekatnya, apabila perkara sudah diputus maka benda yang disita untuk dijadikan
barang bukti dalam persidangan dikembalikan kepada orang atau mereka yang berhak
sebagaimana dimaksud dalam putusan hakim. Undang-undang tidak menyebutkan siapa
yang dimaksud dengan yang berhak tersebut. Dengan demikian kepada siapa barang bukti
tersebut dikembalikan diserahkan kepada hakim yang bersangkutan setelah mendengar
keterangan para saksi dan terdakwa, baik mengenai perkaranya maupun yang menyangkut
barang bukti dalam pemeriksaan sidang di pengadilan.42
Adapun yang disebut orang yang berhak menerima barang bukti antara lain :43
a. Orang atau mereka dari siapa barang tersebut disita, yaitu orang atau mereka yang
memegang atau menguasai barang itu pada waktu penyidik melakukan penyitaan dimana
barang itu pada waktu penyidik melakukan penyitaan dimana dalam pemeriksaan di
persidangan memang dialah yang berhak atas barang tersebut.
b. Pemilik yang sebenarnya, sewaktu disita benda yang dijadikan barang bukti tidak dalam
kekuasaan orang tersebut. Namun, dalam pemeriksaan ternyata benda tersebut adalah


41

Ratna Nurul Afiah, Op.Cit, hal 198.
Ibid, hal 199.
43
Ibid, hal 200-203.
42

Universitas Sumatera Utara

miliknya yang dalam perkara itu bertindak sebagai saksi korban. Hal ini sering terjadi
dalam perkara kejahatan terhadap harta benda.
c. Ahli waris, dalam hal yang berhak atas barang bukti tersebut sudah meninggal dunia
sebelum putusan dijatuhkan, maka berkenaan dengan barang bukti tersebut putusan
hakim menetapkan bahwa barang bukti dikembalikan kepada ahli waris atau keluarganya.
d. Pemegang hak terakhir, barang bukti dapat pula dikembalikan kepada pemegang hak
terakhir atas benda tersebut asalkan dapat dibuktikan bahwa ia secara sah benar-benar
mempunyai hak atas benda tersebut.
2.


Dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak.
Putusan hakim yang berbunyi bahwa barang bukti dirampas untuk kepentingan negara
biasanya ditemui dalam perkara tindak pidana ekonomi, penyelundupan senjata api, bahan
peledak, narkotika. Barang tesebut dijual lelang kemudian hasil lelang menjadi milik negara.
Akan tetapi ada pula barang rampasan negara yang tidak dapat dijual lelang yaitu barang
yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, karena benda tersebut tidak boleh
dimiliki oleh umum.
Menurut Pasal 45 ayat (4) KUHAP dan penjelasannya, “benda tersebut harus
diserahkan kepada departemen yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
Misalnya bahan peledak amunisi atau senjata api diserahkan kepada Departemen Pertahanan
dan Keamanan. Barang yang dapat dirampas untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak
dapat dipergunakan lagi biasanya benda tersebut merupakan alat untuk melakukan kejahatan
misalnya golok untuk menganiaya korban atau linggis yang dipakai untuk membongkar
rumah orang lain.

3.

Barang bukti masih diperlukan dalam perkara lain
Ada tiga kemungkinan yang bisa menimbulkan putusan seperti tersebut diatas :44
a. Ada dua delik dimana pelakunya hanya satu orang, perkara pertama sudah diputus oleh

hakim sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk pembuktian perkara yang
kedua.
44

Ibid, hal 207.

Universitas Sumatera Utara

b. Ada suatu delik pelakunya lebih dari seorang, para terdakwa diperiksa secara terpisah
atau perkaranya displitsing. Terdakwa pertama sudah diputus sedangkan barang buktinya
masih diperlukan untuk pembuktian terdakwa yang lain.
c. Perkara koneksitas, dalam hal ini satu delik dilakukan lebih dari satu orang (sipil dan
ABRI). Terdakwa Sipil sudah diputus oleh pengadilan, sedangkan barang buktinya masih
diperlukan untuk perkara yang terdakwanya ABRI.
4.

Pihak yang Bertanggungjawab Atas Barang Bukti dalam Upaya Hukum Biasa Dan
Luar Biasa.
Afiah, dalam bukunya Barang Bukti Dalam Proses Pidana menjelaskan bahwa
KUHAP membagi upaya hukum menjadi 2 bagian yaitu:45
1. Upaya hukum biasa terdiri dari:
a. Banding;
b. Kasasi.
2. Upaya hukum luar biasa terdiri dari:
a. Kasasi demi kepentingan hukum;
b. Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Dengan adanya permintaan pemeriksaan perkara ke pengadilan yang lebih tinggi, sesuai

dengan kewenangan masing-masing yang telah ditentukan oleh Undang-undang, maka
tanggungjawab yuridis atas segala sesuatu yang berkenaan dengan perkara tersebut akan beralih
yaitu, dari Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung yang
memeriksa perkara tersebut.
Demikian pula halnya dengan barang bukti, berdasarkan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) jo
Pasal 30 ayat (2) dan ayat (3) PP Nomor 27 Tahun 1983 tanggung jawab yuridis ada pada
pejabat yang memeriksa perkara tersebut. Jadi dalam tingkat pemeriksaan banding tangungjawab
45

Ibid, hal 208.

Universitas Sumatera Utara

yuridis atas benda sitaan ada pada Hakim Pengadilan Tinggi. Sedangkan tanggung jawab yuridis
atas barang bukti apabila perkara tersebut dalam tingkat kasasi ada pada hakim Mahkamah
Agung yang memeriksa perkara tersebut.
Demikian halnya dengan pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan
kembali putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tangung jawab yuridis atas
benda sitaan tersebut ada pada hakim Mahkamah Agung yang memeriksa perkaranya, sedangkan
tanggung jawab administrasi dan fisik atas benda tersebut terletak pada Kepala RUPBASAN (
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara). Surat Keputusan Jaksa Agung RI yang berlaku di
Indonesia adalah Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-132/J.A/l
1/1994 tanggal 7 November 1994 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung R.I Nomor:
KEP.120/J.A/12/1992 tanggal 31 Desember 1992 tentang Adminstrasi Perkara Tindak Pidana.46
Menurut Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia bahwa yang dimaksud dengan
administrasi perkara tindak Pidana adalah:
Bagian dari administrasi umum Kejaksaan yang meliputi segala kegiatan administrasi yang
mengelola perkara tindak pidana umum dan perkara tindak pidana khusus mengenai:
perkara, tahan, benda sitaan, barang bukti, barang rampasan, barang temuan dan hasil
dirias, baik secara teknis yuridis merupakan bagian tak terpisahkan dari berkas perkara
maupun hanya merupakan pencatatan proses penanganan berbentuk surat-surat, register
dan laporan sesuai dengan bentuk dan kode yang ditentukan.
Proses pemeriksaan barang bukti pada kejaksaan dilakukan sebagai berikut: Jaksa
Penuntut Umum mencocokkan barang-barang tersebut dengan yang tercantum dalam daftar
barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara dengan disaksikan oleh Penyidik dan
tersangka.

46

Ibid, hal. 209.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Instruksi Jaksa Agung Rl. Nomor: 1NS-006/J.A/7/1986 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Administrasi Teknik Yustisial Perkara Pidana Umum, penelitian mengenai barang
bukti tersebut meliputi:
a. Jenis / macamnya
b. Jumlah. Kesatuannya
c. Mutu/kadarnya47
Penelitian dilakukan dengan bantuan tenaga ahli atau laboratorium. Seperti yang
diperlukan untuk mengetahui tentang mutu/kadar logam mulia, narkotika, obat-obatan
dan barang bukti lain yang bersifat khusus. Pelaksanaan penelitian tersangka dan barang
bukti tersebut masing- masing dibuatkan Berita Acara dengan menggunakan formulir
BA-18 dan ditandatangani oleh Penuntut umum dan Penyidik yang menyaksikan acara
itu. Barang sitaan yang dibuka dilakukan pembungkusan dan penyegelan kembali, semua
benda sitaan yang diserahkan kepada Penuntut Umum diberi Label Barang Bukti
Kejaksaan (B-10), yang mencantumkan keterangan sebagai berikut:
a. Nomor register barang bukti
b. Nomor register perkara
c. Nama tersangka
d. Tanggal berita acara penelitian tersebut.
B. Peran Jaksa Dalam Mengeksekusi Putusan Pidana
1.

Pengertian Kejaksaan

Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan

47

Instruksi Jaksa Agung Rl. Nomor: 1NS-006/J.A/7/1986 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Administrasi
Teknik Yustisial Perkara Pidana Umum, penelitian mengenai barang bukti.

Universitas Sumatera Utara

dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia
adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.48
Kejaksaan adalah suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan
kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain. Sementara orang yang
melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 1 Ayat (1) UU Kejaksaan yaitu, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain
berdasarkan undang-undang”. Jadi, perlu digaris bawahi bahwa selain tugasnya di bidang
penuntutan, juga diberi kewenangan lain oleh undang-undang misalnya sebagai Jaksa
Pengacara Negara, Eksekutor putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, sebagai penyelidik tindak pidana tertentu, dan lain-lain.
Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai
kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat
menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat
bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Kejaksaan selain sebagai penyandang
Dominus Litis, juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive
ambtenaar). Undang-Undang Kejaksaan memperkuat kedudukan dan peran Kejaksaan RI
sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan. Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh

48

Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Ghalia
Indonesia, 2007, hal 127.

Universitas Sumatera Utara

kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan
melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
2. Tugas Pokok Kejaksaan
Seorang Jaksa dalam menjalankan tugasnya harus tunduk dan patuh pada tugas,
fungsi, dan wewenang yang telah ditentukan dalam UU Kejaksaan. Tugas adalah amanat
pokok yang wajib dilakukan dalam suatu tindakan jabatan. Sedangkan wewenang adalah
pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan kompetensi yurisdiksi baik kompetensi relatif
maupun kompetensi mutlak. Dengan tugas dan wewenang, suatu badan dapat berfungsi
sesuai dengan maksud dan tujuan badan tersebut.49
Sehubungan dengan itu, maka antara fungsi, tugas dan wewenang merupakan tiga
kata yang selalu berkaitan satu sama lain. Mengenai dua kata yang selalu berkaitan antara
tugas dan wewenang dapat dibuktikan secara tertulis dalam beberapa undang-undang,
dalam hal ini diambil contohnya dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaaan Republik Indonesia, yaitu:
(1) Dalam bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. Melakukan penuntutan
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Dalam bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat
bertindak baik di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas nama negara atau
pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut meyelenggarakan
kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
49

Ibid, hal 128.

Universitas Sumatera Utara

b.
c.
d.
e.
f.

Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
Pengawasan peredaran barang cetakan;
Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.

Satu hal yang hanya diatur dalam Pasal 30 Ayat (1) UU Kejaksaan yaitu bahwa
Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Adapun tindakan pidana tertentu
berdasarkan undang-undang dimaksud adalah sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan
Pasal 30 Ayat (1) huruf d ini bahwa kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan
sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagiana telah diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan
Republik Indonesia, Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang
terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena
bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat
membaahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Selanjutnya berdasarkan
Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia
Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya. Pasal 33 menyatakan bahwa Kejaksaan membina
hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau

Universitas Sumatera Utara

instansi lainnya. Pasal 34 menyatakan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan
dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.50
3.

Kedudukan Kejaksaan
Kejaksaan Negeri merupakan bagian dari lembaga pemerintah dengan
melaksanakan tugas kekuasaan negara di bidang penuntutan dan merupakan instansi
vertikal dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Kejaksaan Tinggi. Kedudukan
Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama
di bidang penuntutan di lingkungan peradilan umum, pada saat ini semakin dituntut
kapabilitasnya

dalam

mewujudkan

supremasi

hukum,

termasuk

mewujudkan

pemerintahan yang bersih. Jaksa adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bertindak demi keadilan dan kebenaran
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan senantiasa menjunjung tinggi prinsip bahwa
setiap warga negara bersama kedudukan di depan hukum.
Kejaksaan dalam hal ini menjadi salah satu bagian penting dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia, yaitu suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi
kejahatan,

dengan

tujuan

mencegah

masyarakat

menjadi

korban

kejahatan,

menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan
telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah
melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang
menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil,
hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan
substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu
50

Ibid, 129.

Universitas Sumatera Utara

formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa
bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai
precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi
oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam
penegakan hukum.51
Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum
pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.
Badan-badan

tersebut

yaitu

kepolisian,

Kejaksaan,

Pengadilan

dan

lembaga

pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan
berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing
menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.
4.

Fungsi Kejaksaaan
Berdasarkan Instruksi Jaksa Agung RI no: INS-002/A/JA/1/2010 tentang Perencanaan

Stratejik dan Rencana Kinerja Kejaksaan RI Tahun 2010-2015, Fungsi Kejaksaan adalah sebagai
berikut:52
(1) Perumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis pemberian bimbingan
dan pembinaan serta pemberian perijinan sesuai dengan bidang tugasnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;
(2) Penyelengaraan dan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana, pembinaan
manajemen, administrasi, organisasi dan tatalaksanaan serta pengelolaan atas milik
negara menjadi tanggung jawabnya;

51

Marwan Effendy, Op.Cit., hal. 135.
Instruksi Jaksa Agung RI no: INS-002/A/JA/1/2010 tentang Perencanaan Stratejik dan Rencana Kinerja
Kejaksaan RI Tahun 2010-2015.
52

Universitas Sumatera Utara

(3) Pelaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun yang berintikan keadilan di bidang
pidana;
(4) Pelaksanaan pemberian bantuan di bidang intelijen yustisial, dibidang ketertiban dan
ketentraman mum, pemberian bantuan, pertimbangan, pelayanan dan penegaakan hukum
di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan hukum dan tugas lain, untuk
menjamin kepastian hukum, kewibawaanm pemerintah dan penyelamatan kekayaan
negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan
Jaksa Agung;
(5) Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa
atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan Hakim karena tidak mampu berdiri
sendiri atau disebabkan hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau
dirinya sendiri;
(6) Pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah, penyusunan peraturan
perundang-undangan serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
(7) Koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan, baik di dalam
maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

Kejaksaan merupakan komponen kekuasaan eksekutif dalam urusan penegakan
hukum dan langsung di bawah presiden. Tugas dan fungsi Kejaksaan Tinggi
dilaksanakan oleh pejabat yang ada di lingkungan Kejaksaan Tinggi dan telah ditentukan
dalam Keputusan Jaksa Agung yang mengatur tiap-tiap pejabat yang ada di

Universitas Sumatera Utara

KejaksaanTinggi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak
hukum dan sebagai Pegawai Negeri Sipil.53
Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, beberapa penyempurnaan
terhadap institusi Kejaksaan adalah sebagai berikut:
(1) Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut di-laksanakan secara merdeka.
Oleh karena itu, Kejaksaan dalam melak-sanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya
ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara
independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa
Agung selaku pimpinan Kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan
arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.
(2) Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai jenjang pendidikan
dan pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang. Sesuai dengan
profesionalisme dan fungsi Kejaksaan, di-tentukan bahwa jaksa merupakan jabatan
fungsional. Dengan demikian, usia pensiun jaksa yang semula 58 (lima puluh delapan)
tahun ditetapkan menjadi 62 (enam puluh dua) tahun.
(3) Kewenangan

Kejaksaan

untuk

melakukan

penyidikan

tindak

pidana

tertentu

dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan
kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
53

Ibid, hal. 136.

Universitas Sumatera Utara

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(4) Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penegakkan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang-undangan dan
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian, Jaksa Agung diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden. Di bidang perdata
dan tata usaha negara, Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk dan atas nama negara
atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya
memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga
membela dan melindungi kepentingan rakyat.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada dasarnya adalah seseorang yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan pelaksanaan penetapan
hakim.
Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa membina hubungan kerjasama
dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya.
Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, seorang
Jaksa Penuntut Umum dalam pelaksanaan tugas dan wewenang:54
(1) Bertindak untuk dan atas nama negara, bertanggungjawab sesuai saluran hirarki;
(2) Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, melakukan
penuntutan dengan keyakinan berdasar alat bukti yang sah;
(3) Senantiasa bertindak berdasar hukum, mengindahkan norma-norma keagamaan,
kesopanan, dan kesusilaan;
54

Ibid, hal. 137.

Universitas Sumatera Utara

(4) Wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam
masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.

Kejaksaan dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dilakukan
secara merdeka, di mana dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab itu seorang jaksa
harus terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Hal
ini berdasarkan Pasal 2 UU tersebut. Selanjutnya dalam Pasal 37 Ayat (1) disebutkan
bahwa Jaksa Agung bertanggungjawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara
independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undangundang. Tugas dan kewenangan jaksa dalam bidang pidana diatur dalam Pasal 30 Ayat
(1) UU Kejaksaan antara lain: (1) Melakukan penuntutan;55
(1) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
(2) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
(3) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
(4) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan

sebelum

dilimpahkan

ke

Pengadilan

yang

dalam

pelaksanaannya

dikoordinasikan dengan penyidik.
55

Ibid, hal. 138.

Universitas Sumatera Utara

Sesuai dengan penjelasan di atas maka diketahui tugas dan kewenangan jaksa adalah
sebagai penuntut umum dan pelaksana (eksekutor) putusan Pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. Untuk perkara perdata, pelaksana
putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah juru sita dan panitera
dipimpin oleh ketua Pengadilan sebagaimana diatur Pasal 54 Ayat (2) UU Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
5.

Jaksa Sebagai Eksekutor
Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga eksekutor sebagai pelaksana eksekusi
putusan Pengadilan Negeri di negara kita. Eksekutor adalah suatu pihak yang mempunyai
kewenangan untuk merampas, menindak ataupun melaksanakan suatu putusan
berdasarkan ketentuan atau undang-undang yang berlaku.
Eksekutor sendiri berasal dari kata eksekusi yang berarti pelaksanaan putusan
pengadilan yaitu pelaksanaan putusan hakim atau pelaksanaan hukuman pengadilan
(khususnya hukuman mati); penyitaan atau penjualan seseorang atau lainnya karena
berutang. Adapun eksekutor dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya adalah orang
yang melaksanakan eksekusi.
Untuk kewenangan kejaksaan di bidang pidana yang menyangkut tentang
eksekutor adalah merupakan tindakan dari pihak kejaksaan sebagai eksekutor (pelaksana)
yaitu melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Uraian kepastian hukum terhadap peran Jaksa dalam eksekusi putusan pidana, bila
merujuk pada Pasal 101 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Universitas Sumatera Utara

menunjukkan bahwasanya ketidakpastian hukum dalam eksekusi barang bukti tindak
pidana narkotika yang dilakukan Jaksa.
Arif Kadarman mengatakan bahwasanya mereka mengalami kesulitan dalam hal
eksekusi barang bukti tindak pidana narkotika. Bila putusan pidana menyatakan barang
bukti disita, sementara pihak ketiga melakukan gugatan perdata dan dikabulkan gugatan
tersebut. Tentunya dari kejaksaan mengalami permasalahan dalam hal eksekusi barang
bukti tersebut. Apalagi tidak ada peraturaran tertulis baik peraturan pemerintah maupun
surat keputusan Jaksa Agung mengenai eksekusi barang bukti terkait hal tersebut.56
Bila dianalisis dengan teori kepastian hukum. Gustav Radbruch terdapat dua
macam pengertian kepastian yaitu, kepastian hukum oleh karena hukum dan kepastian
hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum
dalam masyarakat adalah hukum yang berguna.
Kepastian hukum oleh karena hukum, memberi dua tugas hukum yang lain, yaitu
menjamin keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum
dalam hukum, tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya undang-undang.
Maka dapat dikatakan bahwa kepastian hukum dalam eksekusi barang bukti tindak
pidana narkotika belumlah memenuhi unsur dari kepastian hukum itu sendiri.
6.

Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan.
Hal-hal yang dieksekusi oleh jaksa adalah yang menyangkut terpidana, barang
bukti dan putusan ganti kerugian. Maka yang akan diuraikan hanya mengenai
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang
berkenaan dengan barang bukti.

56

Wawancara dengan Arif Kadarman, selaku Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Stabat, pada
tanggal 15 Mei 2015.

Universitas Sumatera Utara

7.

Terhadap Terdakwa yang Dikenakan Pidana.
Hal-hal yang dieksekusi oleh jaksa adalah yang menyangkut terpidana barang
bukti dan putusan ganti kerugian. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap terhadap terpidana tentunya tergantung pada amar putusannya,
masing- masing sebagai berikut:57
a. Pidana mati: pelaksanaannya tidak dilakukan dimuka umum dan menurut ketentuan
Undang-Undang (Pasal 271 KUHAP) Pidana penjara/kurungan: pelaksanaan pidananya
itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu. Jadi
dilaksanakan secara berkesinambungan diantara pidana yang satu dengan yang lain (Pasal
272 KUHAP)
b. Pidana denda: kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar
denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika
dilunasi (Pasal 273 ayat (1) KUHAP) jika ada alasan kuat, jangka waktu tersebut dapat
diperpanjang paling lama satu bulan (Pasal 273 ayat (2) KUHAP)
c. Pidana bersyarat: pelaksanaanya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang
sungguh-sungguh dan menurut ketentuan Undang-Undang (Pasal 276 KHUAP)
Setelah melaksanakan putusan pengadilan tersebut Jaksa membuat dan
menandatangani berita acara pelaksanaan putusan pengadilan dan menurut Pasal 278
KUHAP tembusanya dikirimkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan terpidana,
serta Pengadilan Negeri yang bersangkutan, dan selanjutnya panitera mencatatnya dalam
register pengawasan dan pengamatan.
Berdasarkan Pasal 277 jo Pasal 280 KUHAP hakim pengawas dan pengamat pada
Pengadilan Negeri yang bersangkutan melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap
57

Ratna Nurul Afiah, Op.Cit, hal. 300.

Universitas Sumatera Utara

pelaksanaan putusan Pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan
guna memperoleh kepastian bahwa putusan Pengadilan dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
8.

Terhadap Barang Bukti
Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini
mengandung arti bahwa barang bukti selain dapat dikembalikan dalam hal perkara
tersebut dihentikan penyidikan atau penuntutannya, akan tetapi dapat juga dikembalikan
kepada yang berhak sebelum perkara itu mempunyai kekuatan hukum tetap, baik perkara
tersebut masih ditingkat penyidikan, penuntutan maupun setelah diperiksa disidang
pengadilan. Dasar pengembalian benda tersebut adalah karena diperlukan untuk mencari
nafkah atau sumber kehidupan. Hanya bedanya Pasal 194 ayat (3) KUHAP dengan tegas
menyebutkan bahwa pengembalian barang bukti tersebut, antara lain barang tersebut
dapat dihadapkan ke pengadilan dalam keadaan utuh.58
Penyerahan barang bukti berdasarkan Pasal 194 ayat (2) KUHAP, khususnya
terhadap barang bukti yang dapat diangkut atau dibawa kepersidangan. Penyerahan
barang bukti tersebut tanpa melalui jaksa karena pengertiannya, penyerahan barang bukti
itu merupakan tindakan hakim. Dengan kata lain karena bertanggung jawab secara
yuridis atas benda sitaan/ barang bukti tersebut, adalah hakim dengan demikian hakim
berwenang menyerahkan barang bukti tersebut kepada dari siapa benda tersebut disita
atau kepada orang yang berhak.
Penyerahan barang bukti tersebut harus dengan berita acara, sebagai bukti otentik
bahwa barang bukti sudah diserahkan, apabila benda tersebut berada atau disimpan di
RUPBASAN. Dalam hal ini, kita berpedoman pada Pasal 10 Peraturan Menteri
58

Ibid, hal. 301.

Universitas Sumatera Utara

Kehakiman Nomor : M.05.UM.01.06 Tahun 1983 tanggal 16 Desember 1983, bahwa
pengeluaran benda tersebut harus berdasarkan putusan pengadilan. Dalam pengeluaran
benda sitaan/ barang bukti tersebut, petugas RUPBASAN harus:
a. Meneliti putusan pengadilan yang bersangkutan.
b. Membuat berita acara yang tembusannya harus disampaikan kepada instansi yang
menyita.
c. Mencatat dan mencoret benda sitaan negara tersebut dari daftar yang tersedia.
Sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap: Berdasarkan
Pasal 194 ayat (3) KUHAP, perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai
dengan syarat apapun. Jaksa penuntut umum yang ditunjuk berdasarkan surat perintah
Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan segera melaksanakan pengembalian barang
bukti.
Apabila RUPBASAN belum terbentuk, dalam hal ini maka jaksa yang
bersangkutan melaksanakan pengembalian benda tersebut dengan membuat berita
acaranya, serta ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan, yang
menerima barang bukti dan para saksi yang menyaksikan acara pelaksanaan
pengembalian barang bukti.
Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan melaporkan pelaksanaan
tugasnya kepada Kepala Kejaksaan Negeri dengan melampirkan berita acaranya biasanya
dalam acara atau perkara singkat, setelah sidang ditutup Jaksa Penuntut Umum langsung
mengembalikan bukti tersebut kepada orang yang berhak yang namanya tercantum dalam
putusan pengadilan tersebut, jika ia hadir dalam persidangan itu, pengembalian barang

Universitas Sumatera Utara

bukti tersebut dilakukan dengan berita acara. Selanjutnya dalam Pasal 39 KUHP yang
berbunyi sebagai berikut:59
(1) Barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk
melakukan kejahatan dapat dirampas.
(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja, atau karena
pelanggaran, dapat juga dirampas seperti diatas, tetapi hanya dalam hal-hal yang ditentukan
dalam undang-undang.
(3) Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan
kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Apabila kita melihat ketentuan Pasal 191 KUHAP maka yaitu:60
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di siding, kesalahan terdakwa
atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka
terdakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa terbukti,
tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari
segala tuntutan
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam
status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan
lain yang sah, terdakwa perlu ditahan.
Dan bunyi Pasal 193 KUHAP yaitu:61
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
(2) a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dalam
memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan pasal 21
KUHAP dan terdapat alas an cukup untuk itu.
b.Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat
menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alas
an cukup untuk itu.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman Pasal 33 ayat (4), mengatur juga tentang pelaksanaan putusan
hakim yang didasarkan pada keadilan dan perikemanusiaan. Hal ini mengandung arti,

59

Pasal 39 KUHP
Pasal 191 KUHP
61
Pasal 192 KUHP
60

Universitas Sumatera Utara

bahwa dalam pelaksanaan tersebut tidak boleh merugikan terpidana yang harus menjalani
pidanannya baik yang berupa kerugian materiil maupun moril.
Kerugian materiil dimaksud antara lain pemakaian barang-barang milik terpidana
yang dipergunakan sebagai barang bukti yang kemudian tidak dikembalikan sedangkan
kerugian moril antara lain berupa penyiksaan atau penganiayaan terhadap diri terpidana
selama ia menjalani pidananya.
Berkaitan dengan pelaksanaan putusan hakim bahwa: Pelaksanaan putusan hakim
tersebut panitera mengirimkan salinan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
kepada Kejaksaan Negeri, kemudian Kepala kejaksaan Negeri menunjuk satu atau
beberapa orang Jaksa untuk melaksanakan eksekusi, biasanya pelaksanaan cukup
didiposisikan kepada kepala Seksi (sesuai pembidangannya) kemudian kepala seksi
meneliti amar putusan yang akan dilaksanakan, setelah itu menyiapkan surat perintah
pelaksanaan putusan hakim dilengkapi dengan laporan putusan hakim dan putusannya
ditentukan rentutnya dan bukti pelaksanaan putusan hakim berkenaan dengan pidana,
barang bukti dan biaya perkara.62

62

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, Bagian Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal

493.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Kepastian Hukum Dalam Eksekusi Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 14 PDT.PLW 2014 PN.STB)

0 0 14

Kepastian Hukum Dalam Eksekusi Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 14 PDT.PLW 2014 PN.STB)

0 0 4

Kepastian Hukum Dalam Eksekusi Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 14 PDT.PLW 2014 PN.STB)

0 0 20

Kepastian Hukum Dalam Eksekusi Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 14 PDT.PLW 2014 PN.STB) Chapter III V

0 0 84

Kepastian Hukum Dalam Eksekusi Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 14 PDT.PLW 2014 PN.STB)

0 0 6