Pengaruh Karakteristik Individu dan Dukungan Sosial Komunitas terhadap Perilaku Pencegahan HIV-AIDS pada Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Kota Medan Tahun 2016

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Karakteristik Individu

2.1.1 Defenisi Karakteristik Individu
Karakteristik individu adalah orang yang memandang berbagai hal secara
berbeda akan berperilaku secara berbeda, orang yang memiliki sikap yang
berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap perintah, orang yang
memiliki kepribadian yang berbeda berinteraksi dengan cara yang berbeda dengan
atasan, rekan kerja dan bawahan. Setiap individu memiliki ciri dan sifat atau
karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik yang memperoleh dari pengaruh
lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan karakteristik keturunan yang
dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial
psikologis (Ivancevich, 2006).
Karakteristik individu adalah perilaku atau karakter yang ada pada diri
seorang individu baik yang bersifat positif maupun negatif (Thoha, 2008).
menyatakan bahwa karakteristik individu adalah ciri-ciri khusus, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang dimiliki seseorang yang membedakannya

dengan orang lain (Rivai, 2006). Karakteristik individu merupakan sifat
pembawaan seseorang yang dapat diubah dengan lingkungan atau pendidikan
(Hasibuan,

2009).

Universitas Sumatera Utara

.1.2

Dimensi Karakteristik Individu
Menurut Robbins (2009), dimensi karakteristik individu secara biografis

terdiri dari: umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, status perkawinan, status
sosial ekonomi, dan pendidikan yang merupakan sesuatu yang objektif dan mudah
diperoleh dari catatan pribadi. Semua dimensi ini dapat menimbulkan perbedaan
perilaku terhadap tindakan individu dalam menghadapi sesuatu hal (Badeni 2013).
Penjelasan dari masing-masing karakteristik individu dipandang dari segi
biografis yaitu :
1. Umur/usia

Umur/usia menentukan kemampuan seseorang untuk bertindak, termasuk
bagaimana dia merespon stimulus yang dilancarkan individu/pihak lain. Semakin
tinggi usia seseorang semakin rendah kemampuan fisik tetapi sebaliknya
pengalaman dan kestabilan emosi dapat semakin tinggi. Artinya semakin tinggi
usia seseorang akan semakin tinggi kesediaan untuk menerima kenyataan
semakin sikap positif terhadap pekerjaandan semakin memiliki kepuasan kerja.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk memimpin suatu kelompok
kerja, usia yang lebih tua akan dapat lebih produktif karena memiliki kepuasan
kerja
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah ciri khas tertentu yang dimiliki oleh mahluk hidup,
dalam hal ini manusia. Jenis kelamin sering dibagi ke dalam dua kategori, dengan
menggunakan istilah masing-masing; laki-laki dan perempuan atau pria dan
wanita. Secara fisik dan emosional laki-laki dan perempuan berbeda dalam
menanggapi suatu permasalahan dan respon terhadap stimulus yang diberikan.

Universitas Sumatera Utara

3. Suku Bangsa
Suku bangsa seseorang akan mempengaruhi pribadinya dalam beryindak dan

bertingkah laku. Suku bangsa erat kaitannya dengan kebudayaan, dalam
kebduayaan terdapat norma adat yang tidak tertulis yang menjadi pembatas
perilaku individu yang terikat dengan norma adat tersebut untuk memilah mana
perilaku yang boleh dilakukan dan mana yang tidak.
4. Agama
Menurut Az-Zamawi (2004) agama memang mengandung ajaran-ajaran yang
menjadi tuntutan hidup bagi penganutnya. Agama akan membatasi perilaku
seseorang dalam bertindak, karena dalam ajaran agama ada pembatasan antara
tindakan yang boleh dilakukan dan tindakan yang tidak boleh dilakukan.
5. Status perkawinan
Status perkawinan akan mempengaruhi perilaku individu dalam bertindak dan
perilaku. Proses perkawinan merupakan proses pengikatan individu yang sakral
secara fisik, sosial, dan emosional. Individu yang telah menikah akan terbatas
dalam berperilaku dikarenakan adanya pasangan perkawinan yang menjadi
pembatas dalam bertindak dan bertingkah laku dibandingkan dengan individu
yang belum menikah.
6. Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi seseorang akan mempengaruhi sikap dan tindakan
individu. Seseorang dengan status sosial ekonomi yang tinggi di masyarakat serta
di hormati dalam lingkungan sosialnya dituntut untuk memiliki perilaku yang lebih

baik dan bijaksana dalam kesehariannya.

Universitas Sumatera Utara

7. Pendidikan
Koentjaraningrat (2009) mengatakan pendidikan adalah kemahiran
menyerap pengetahuan atau meningkatkan sesuai dengan pendidikan seseorang
dan kemampuan ini berhubungan erat dengan sikap seseorang terhadap
pengetahuan seseorang yang diserapnya, semakin tinggi tingkat pendidikan
semakin mudah untuk menyerap pengetahuan. Pendidikan akan mempengaruhi
perilaku seseorang, karena seseorang yang telah memiliki pendidikan yang tinggi
bertanggung jawab untuk memiliki sikap dan tindakan yang lebih baik.
2.2 Komunitas
2.2.1 Defenisi dan Klasifikasi Komunitas
Komunitas adalah pemegang kendali utama tanggung jawab atas proses
pembentukan karakter anggota. Peran komunitas sangat penting untuk
memberikan pemahaman kepada anggota sebagai bekal atau acuan anggota
komunitas

sebelum


berinteraksi

dengan

lingkungan

sosial

dan

untuk

perkembangan sosial yang lebih luas. Menurut Nurmini Mappahijah (2010),
berikut ini adalah beberapa sikap dan perilaku komunitas yang dapat
mempengaruhi perilaku anggota dalam membiasakan perilaku tertentu kepada
anggotanya yaitu :
1. Komunitas yang otoriter
Komunitas yang otoriter biasanya mempunyai pandangan bahwa apa yang
telah ditetapkan, itulah yang terbaik untuk anggotanya. Sikap ini biasanya

membuat anggota cenderung untuk patuh, bertingkah laku baik, ramah dan sopan
dan sangat terikat dengan komunitas yang diikuti.

Universitas Sumatera Utara

2. Komunitas yang terlalu sabar
Komunitas seperti ini menunjukkan perhatian yang berlebihan terhadap
anggotanya. Segala permintaan dan kebutuhan anggota selalu dipenuhi sehingga
membuatnya tidak mengalami perkembangan dalam reaksinya. Anggota akan
menjadi pemarah, tidak memiliki kontrol diri, mempunyai keinginan yang
berlebihan, menjadi lengah dan tidak penurut, bersikap manja dan tidak mau
diatur
3. Komunitas yang terlalu melindungi
Komunitas selalu menunjukkan rasa cemas yang berlebihan. Anggota akan
mengalami keterlambatan dalam kematangan dan aturan-aturan sosial dan norma
dalam komunitas. Anggota merasa tidak berdaya, malu, cemas, dan memiliki
perasaan sebagai seorang yang selalu berada di bawah.
4. Komunitas yang lalai
Komunitas yang lalai akan menunjukkan perhatian yang kurang terhadap
perilaku anggotanya. Hal ini mungkin dikarenakan adanya kesibukan dan

kurangnya informasi antara sesama anggota komunitas sehingga mengakibatkan
kurangnya perhatian sesama anggota.
5. Komunitas yang suka mencurigai
Sikap ini ditunjukkan oleh komunitas dengan sikap kecurigaan yang tinggi
terhadap anggotanya, dan tidak memberikan anggotanya untuk mengeksplorasi
kemampuan yang dimiliki oleh anggotanya.
6. Komunitas yang manipulatif

Universitas Sumatera Utara

Komunitas seperti ini sering bertanya secara berlebihan dalam hal perilaku
dan tindakan anggotanya. Keingintahuan komunitas ini justru membuat anggota
semakin cemas. Anggota komunitas harus mengatur situasi yang baik untuk
berdiskusi dengan baik agar mereka dapat mengerti dan mengenal mengenai hal
yang terjadi dalam dinamika kehidupan komunitas.
2.2.2 Dukungan Sosial Komunitas
Komunitas mencerminkan pengaruh norma

yang terdapat


dalam

lingkungan sosiokultural yang lebih luas. Norma itu menjadi kebiasaan dari tiap
individu belajar sesuai dengan cara-cara dan norma lingkungan seperti melalui
proses meniru dan sistem ganjaran dan hukuman. Kebiasaan muncul didasarkan
pada norma-norma yang ada didalam masyarakat. Norma sosial dan norma
kebersamaan dalam komunitasmerupakan kebiasaan yang lazim dipergunakan
oleh setiap anggotakelompok untuk berperilaku.
Dukungan yang dirasakan oleh individu dalam kehidupannya membuat
individu tersebut merasa dicintai, dihargai, dan diakui serta membuat dirinya
menjadi lebih berarti dan dapat mengoptimalkan potensi yang ada dalam individu
tersebut. Orang yang mendapat dukungan akan merasa menjadi bagian dari
pemberi dukungan (Bobak, 2005).
Pada hakekatnya komunitas diharapkan mampu

berfungsi untuk

mewujudkan proses pengembangan timbal balik rasa kepedulian dan kebersamaan
antara anggota komunitas. Dalam kehidupan yang diwarnai oleh rasa kepedulian
dan kebersamaan maka semua pihak dituntut agar memiliki tanggung jawab,

pengorbanan, saling tolong menolong, kejujuran, saling memercayai, saling

Universitas Sumatera Utara

membina pengertian dan damai dalam kehidupan berkomunitas (Soetjiningsih,
2005).
Dukungan komunitas mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang
oleh anggota komunitas sebagai sesuatu yang dapat diakses atau diadakan untuk
anggota yang dipandang oleh anggota komunitas bahwa orang yang bersifat
mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan.
(Friedman, 1998).
Sarafino (2006), menyatakan bahwa dukungan pada diri individu mengacu
pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang
lain atau kelompok/komunitas kepada individu. Sarafino menambahkan bahwa
orang- orang memiliki keyakinan bahwa mereka dicintai, bernilai, dan merupakan
bagian darikelompok yang dapat menolong mereka ketika membutuhkan bantuan.
Sarafino (2006) menjelaskan bahwa komunitas sebagai bentuk kelompok
sosial memiliki beberapa jenis bentuk dukungan yang dapat dilakukan terhadap
anggotanya, yaitu :
1. Dukungan Emosional(Emotional / Esteem Support)

Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian dan
perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosionalmerupakan
ekspresi dari afeksi, kepercayaan, perhatian, dan perasaandidengarkan. Kesediaan
untuk mendengar keluhan seseorang akanmemberikan dampak positif sebagai
sarana pelepasan emosi, mengurangikecemasan, membuat individu merasa
nyaman, tenteram, diperhatikan,serta dicintai saat menghadapi berbagai tekanan
dalam hidup mereka.
2.

Dukungan Instrumental (Instrumental Support)

Universitas Sumatera Utara

Dukungan instrumental mencakup bantuan langsung, dapat berupa
jasa,waktu, atau uang.Komunitas merupakan sebuah sumber pertolongan praktis
dan konkret, yang mengusahakan untuk menyediakan fasilitas dan perlengkapan
yang dibutuhkan masing-masing anggota komunitasnya.
3. Dukungan Informasional (Informational Support)
Dukungan informasional mencakup pemberian nasehat, petunjukpetunjuk,saran-saran, informasi atau umpan balik. Dukungan ini membantu
individumengatasi


masalah

dengan

cara

memperluas

wawasan

dan

pemahamanindividu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi tersebut
diperlukanuntuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah secara
praktis.Dukungan

informatif

ini

juga

membantu

individu

mengambil

keputusankarena mencakup mekanisme penyediaan informasi, pemberian
nasihat,dan petunjuk.
4. Dukungan Penilaian/Penghargaan (Appraisal Support)
Dukungan penghargaan adalah dukungan yang terjadi bila ada ekspresi
penilaian yang positif terhadap individu. Dukungan jenis ini ditunjukkan dengan
cara menghargai, mendorong, dan menyetujui terhadap suatu ide, gagasan,
kemampuan atau tindakan yang dimiliki oleh seseorang, dukungan yang diberikan
dapat berupa pemberian apresiasi kepada individu bahwa ia dihargai dan diterima.
5. Dukungan Persahabatan/Integrasi Sosial (Companionship Support)
Dukungan persahabatan/integrasi sosial mencakup kesediaan waktu orang
lain untukmenghabiskan waktu

atau

bersama dengan

individu,

dengan

demikianakan memberikan rasa keanggotaan dari suatu kelompok yang
salingberbagi minat dan melakukan aktivitas sosial bersama.

Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Manfaat Dukungan Sosial Komunitas
Dukungan komunitas adalah sebuah proses yang terjadi dalam suatu masa
kehidupan, sifat dan jenis dukungannya bisa jadi berbeda-beda dalam berbagai
tahap-tahap siklus kehidupan individu sebagai anggota komunitas. Namun
demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan dukungan komunitas mampu
membuat anggota komunitas berfungsi dan bertindak dengan potensi masingmasing (Friedman, 1998).
Sarafino (2006) mengemukakan dua teori model untuk menjelaskan
bagaimana dukungan sosial pada kelompok sosial (komunitas) berperan dalam
mempengaruhi pembentukan perilaku individu, yaitu :
1) Buffering Hypothesis
Dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dan well-being denganmelindungi
individu dari efek negatif tekanan tinggi yang dialami individu. Proses buffering
(penyanggaan) terjadi dalam dua cara, yaitu: pertama, ketika individu menahan
tekanan yang kuat, maka dengan tingkat dukungan sosial yang tinggi individu
tersebut akan mampu mengatasi situasi tersebut dibandingkan dengan individu
yang memiliki tingkat dukungan sosial yang rendah. Kedua, dukungan sosial
mampu untuk memodifikasi respon individu terhadap stresor setelah proses
apraisal (penilaian) pertama.
2) Direct Effect Hypothesis
Individu dengan tingkat dukungan sosial yang tinggi memiliki perasaan
yang kuat bahwa individu tersebut dicintai dan dihargai. Individu dengan
dukungan sosial tinggi merasa bahwa orang lain peduli dan membutuhkan individu

Universitas Sumatera Utara

tersebut, sehinggu hal ini dapat mengarahkan individu kepada perilaku yang lebih
baik.
Wills (2005) dalam Friedman (1998) menyimpulkan bahwa baik itu efekefek penyangga yaitu dukungan komunitas menahan dan meminimalisir efek-efek
negatif dari stress terhadap kesehatan dan efek utama bahwa dukungan komunitas
yang baik akan menurunkan stress dan tekanan secara langsung dapat
meningkatkan kondisi kesehatan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan
komunitas yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya angka
kejadian penyakit, lebih mudah sembuh dari sakit, meningkatnya kemampuan
kognitif, psikomotorik, dan afektif, dan kestabilan emosi (Bobak, 2005).
Menurut Feiring dan Lewis (2004), ada bukti kuat dari hasil penelitian
yang menyatakan bahwa komunitas secara kualitatif memiliki hubungan akan
intensitas adanya dukungan komunitas terhadap kesehatan anggota. Anggotaanggota yang berasal dari komunitas kecil dalam artian komunitasnya tidak
banyak memiliki anggota akan menerima lebih banyak perhatian daripada
anggota-anggota dari komunitas besar (komunitas yang memiliki banyak anggota)
terlebih komunitas yang berada dalam isu-isu yang sensitif termasuk komunitas
LSL.
2.3

Perilaku

2.3.1 Defenisi Perilaku
Dipandang dari aspek biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau
aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bisa dilihat, sedangkan perilaku
manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri
yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berjalan, berbicara,

Universitas Sumatera Utara

menangis, tertawa, membaca dan sebagainya, sehingga dapat disimpulkan bahwa
perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia baik yang dapat
diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo,
2010)
Setiap manusia akan bertindak dan bertingkah laku untuk berinteraksi
dengan makhluk lain, hakikat manusia sebagai makhluk sosial akan selalu
membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Perilaku manusia ditujukan
sebagai tanda pengenal dirinya sebagai makhluk sosial yang senantiasa ingin
berhubungan dengan orang lain. Perilaku manusia yang satu dengan yang lainnya
tidak bisa disamakan, karena pribadi manusia merupakan hal yang sangat unik
dan berkembang sesuai dengan bakat dan potensinya masing-masing.
Karakteristik perilaku menurut Purwanto (2009) dibedakan menjadi 2
yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior).
Perilaku tertutup (covert behavior)adalah perilaku yang hanya dapat dimengerti
dengan menggunakan alat atau metode tertentu misalnya berpikir, berkhayal,
sedih, bermimipi, dan takut. Sedangkan perilaku terbuka (overt behavior) adalah
perilaku yang dapat diketahui oleh orang lain tanpa menggunakan alat bantu
misalnya seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa anggotanya ke
puskesmas untuk diimunisasi, atau seseorang yang melakukan tes VCT-HIV ke
fasilitas kesehatan yang tersedia.
2.3.2 Determinan Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat
tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan,

Universitas Sumatera Utara

faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut
determinan perilaku. Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi 2 macam
yakni:
1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yangbersangkutan
yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkatkecerdasan, tingkat
emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2. Determinan atau faktor eksternal yakni lingkungan, baiklingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku adalahmerupakan
totalitas penghayatan dan aktifitas seseorang, yang merupakan hasil bersama atau
resultante antara berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal.
Bloom (1998) sebagaimana dikut ip oleh Notoatmodjo (2010) seorang ahli
psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu kedalam 3 karakteristik,
ranah atau kawasan yakni kognitif, afektif, dan psikomotor.
Perilaku manusia menurut Purwanto (2009) terdapat banyakmacamnya yaitu:
1) Perilaku refleks
Perilaku refleks merupakan perilaku yang dilakukan manusia secara
otomatik. Contohnya : mengecilkan kelopak mata, menaikkan bahu ketika
bernafas,

menganggukan

kepala

ketika

menandakan

persetujuan,

dan

menggelengkan kepala ketika menunjukkan penolakan.
2) Perilaku refleks bersyarat
Merupakan perilaku yang muncul karena adanya rangsangan tertentu.
3) Perilaku yang mempunyai tujuan
Disebut juga perilaku naluri.

Universitas Sumatera Utara

Usaha yang dapat dilakukan untuk menanggulangi perilaku negatif
seseorang dapat dilakukan dengan :
1. Peningkatan peranan keluarga terhadap perkembangan dari kecilhingga
dewasa.
2. Peningkatan status sosial ekonomi keluarga.
3. Menjaga keutuhan keluarga.
4. Mempertahankan sikap dan kebiasaan sesuai dengannorma yang disepakati.
5. Pendidikan keluarga yang disesuaikan dengan status anggota keluarga baik
itu anggota tunggal, anggota tiri, dan lain-lain.
Menurut Skinner seorang ahli psikologi yang dikutip Notoatmodjo (2010)
merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsang dari luar). Dalam teori Skinner ada 2 (dua) respon, yaitu:
1. Respondent respon atau flexive, yakni respon yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus tertentu). Stimulus semacam ini disebut
eleciting stimulation karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap.
2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsangtertentu.
Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer karena
memperkuat respon.
2.3.3 Domain Perilaku
Lawrence Green dalam Mandy (2010) menganalisis bahwa perilaku
dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu:
a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)

Universitas Sumatera Utara

Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang, antara
lain sikap, pengetahuan, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai tradisi, persepsi
berkenaan dengan motivasi seseorang untuk bertindak.
b. Faktor Pemungkin (Enabling Factors)
Faktor pemungkin mencakup berbagai keterampilan dan sumber daya
yang dibutuhkan untuk melakukan perilaku kesehatan. Sumber daya itu meliputi
fasilitas pelayanan kesehatan, personalia atau petugas yang tersedia, klinik atau
sumber daya yang hampir sama. Faktor pemungkin ini juga menyangkut
keterjangkauan berbagai sumber daya, biaya, jarak, ketersediaan transportasi, jam
buka dan sebagainya.
c. Faktor Penguat/Pendorong (Reinforcing Factors)
Faktor penguat adalah faktor yang menentukan apakah tindakan
memperoleh dukungan atau tidak. Sumber penguat tentu saja bergantung pada
tujuan dan jenis program atau kegiatan yang dilakukan. Di dalam pendidikan
pasien, penguat berasal dari perawat, dokter, pasien lain, dan sebagainya. Apakah
penguat itu positif atau negatif bergantung pada sikap dan perilaku orang lain
yang berkaitan. Misalnya pada pendidikan kesehatan sekolah di tingkat sekolah
lanjutan tingkat atas, yang penguatnya datang dari teman sebaya, guru, dan
pejabat sekolah. Penelitian tentang perilaku remaja menunjukkan bahwa perilaku
penggunaan obat di kalangan remaja sangat dipengaruhi oleh dorongan temanteman, terutama teman dekat. Begitupun dengan anggota komunitas perilaku yang
mudah ditiru ialah perilaku dari orang terdekat, seperti anggota komunitas yang
lain, teman sebaya, dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

Seorang LSL yang tidak mau melaksanakan VCT HIV di fasilitas
kesehatan disebabkan karena orang tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat
dari pemeriksaan VCT HIV (Predisposing Factors). Tetapi barangkali juga
karena rumahnya jauh dari fasilitas kesehatan tempat pelayanan VCT HIV atau
peralatan yang tidak lengkap (Enabling Factors). Sebab lain mungkin karena para
petugas kesehatan ataustakeholderlain disekitarnya tidak pernah memberikan
contoh

ataupunpenyuluhan

tentang

pentingnya

pemeriksaan

VCT

HIV

(Reinforcing Factors).

Cara mengukur perilaku ada 2 cara (Notoatmodjo, 2010) yaitu:
1. Perilaku dapat diukur secara langsung yakni wawancara terhadap kegiatankegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu
(recall).
2. Perilaku yang diukur secara tidak langsung, yakni dengan mengobservasi
tindakan atau kegiatan responden.
2.3.4 Pembentukan Perilaku
Pembentukan perilaku menurut Ircham (2005) ada beberapa cara,
diantaranya:
1. Kebiasaan (Conditioning)
Salah satu cara pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan conditioning
atau kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang
diharapkan akhirnya akan terbentuklah perilaku.
2. Pengertian (Insight)

Universitas Sumatera Utara

Pembentukan perilaku yang didasarkan atas teori belajar kognitif yaitu
belajar disertai dengan adanya pengertian.
3. Menggunakan Model
Cara ini menjelaskan bahwa domain pembentukan perilaku pemimpin
dijadikan model atau contoh oleh yang dipimpinnya. Cara ini didasarkan atas teori
belajar sosial (social learning theory)atau observational learning theory oleh
Bandura (1977).
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respons organisme
atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon
ini berbentuk 2 macam (Dewi, 2010) yakni:
1. Bentuk Pasif
Respons internal yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara
langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir, tanggapan atau sikap
batin dan pengetahuan.
2. Bentuk Aktif
Perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung, oleh karena perilaku
mereka ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata disebut overt behavior.
2.3.5 Teori Terjadinya Perilaku
Perilaku manusia tidak dapat lepas dari keadaan individu itu sendiri dan
lingkungan dimana individu itu berada. Perilaku manusia didorong oleh motif
tertentu sehingga manusia berperilaku (Ircham, 2005).
Teori perilaku menurut Ircham, antara lain:
1. Teori Insting

Universitas Sumatera Utara

Menurut Mc Dougal (2008) perilaku itu disebabkan karena insting. Insting
merupakan perilaku yang innate atau perilaku bawaan dan akan mengalami
perubahan karena pengalaman.
2. Teori Dorongan (Drive Theory)
Teori ini bertitik tolak pada pada pandangan bahwa organisme itu
mempunyai dorongan-dorongan atau drive tertentu. Dorongan-dorongan itu
berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan organisme yang mendorong organisme
berperilaku.
3. Teori Insentif (Incentive Theory)
Teori ini bertitik tolak pada pendapat bahwa perilaku organisme itu
disebabkan karena adanya insentif, dengan insentif akan mendorong organisme
berperilaku. Insentif atau reinforcement ada yang positif dan ada yang negatif.
Reinforcementyang positif adalah berkaitan dengan hadiah dan akan mendorong
organisme berbuat atau berperilaku.
4. Teori Atribusi
Teori ini menjelaskan tentang sebab-sebab perilaku seseorang. Apakah itu
disebabkan oleh disposisi internal (misal motif, sikap) atau oleh keadaan
eksternal.
2.4

Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap

stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan, minuman dan serta lingkungan. Karakteristik perilaku
kesehatan dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu perilaku pemeliharaan kesehatan
(health maintenance), perilaku perencanaan dan penggunaan sistem atau fasilitas

Universitas Sumatera Utara

kesehatan, dan perilaku kesehatan lingkungan. Perilaku pemeliharaan kesehatan
adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk mendapatkan penyembuhan bilamana
sakit. Oleh karena sebab itu perilaku pemeliharaan kesehataan ini terdiri dari 3
(tiga) aspek yaitu perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila
sakit, pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit, serta perilaku
peningkatan kesehatan apabila seseorang dalam keadaan sehat, dan perilaku gizi
(makanan) dan minuman (Notoatmodjo, 2010).
Becker (1979) dalam Dewi (2010) mengklasifikasikan perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan sebagai berikut :

1. Perilaku Kesehatan (Health Behavior)
Hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk tindakan mencegah
penyakit, kebersihan perorangan dan sebagainya.
2. Perilaku Sakit (Illness Behavior)
Tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang individu yang merasa
sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit,
termasuk kemampuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab sakit,
serta usaha mencegah penyakit tersebut.
3. Perilaku Peran Sakit (The Sick Role Behavior)

Universitas Sumatera Utara

Tindakan atau kegiatan yang dilakukan individu yang sedang sakit untuk
memperoleh kesembuhan.
Perilaku yang mempengaruhi kesehatan dapat digolongkan dalam dua
kategori (Dewi, 2010), yaitu:
1) Perilaku yang terwujud secara sengaja dan sadar.
2) Perilaku yang terwujud secara tidak sengaja atau tidak sadar.
Perilaku-perilaku disengaja atau tidak disengaja yang membawa manfaat
bagi kesehatan individu dan sebaliknyaperilaku yang disengaja atau tidak
disengaja berdampak merugikan kesehatan antara lain:
a.) Perilaku sadar yang menguntungkan kesehatan
Mencakup perilaku yang secara sadar oleh seseorang yang berdampak
menguntungkan kesehatan. Golongan perilaku ini langsung berhubungan dengan
kegiatan-kegiatan pencegahan penyakit serta penyembuhan penyakit yang
dijalankan secara sadar atas dasar pengetahuan bagi diri seseorang.
b.) Perilaku sadar yang merugikan kesehatan
Perilaku sadar yang dijalankan secara sadar diketahui bila perilaku tersebut
tidak menguntungkan kesehatan terdapat pula dikalangan orang berpendidikan
atau professional, atau secara umum pada masyarakat yang sudah maju.
c.) Perilaku tidak sadar yang merugikan kesehatan
Golongan

masalah

ini

paling

banyak

dipelajari,

terutama

karena

penanggulangannya merupakan salah satu tujuan utama berbagai program
pembangunan kesehatan masyarakat.
d.) Perilaku tidak sadar yang menguntungkan kesehatan

Universitas Sumatera Utara

Golongan perilaku ini menunjukkan bahwa tanpa sadar pengetahuan
seseorang dapat menjalankan kegiatan-kegiatan tertentu yang secara langsung
atau tidak langsung memberi dampak positif terhadap derajat kesehatan mereka.
2.5
2.5.1

Identitas Seksual
Defenisi Identitas Seksual
Identitas seksual merupakan bagaimana seseorang secara sadar memberi

label pada seksualitas dirinya, mendeskripsikan perasaannya atas gender dan
ketertarikan seksualnya (Telingator and Woyewodzic, 2011). Identitas seksual
terdiri atas unsur-unsur sifat makhluk seksual (mencakup hasrat erotis, orientasi
seksual, pilihan objek seksual, dan dorongan seksual) dan aktivitas seksual
(mencakup praktek dan selera erotis, perilaku seksual dan gaya hidup seksual).
Identitas seksual dibentuk oleh empat komponen, yaitu seks biologis, identitas
gender, peran seks sosial, dan orientasi seksual (Krisanty, 2007).
Seksualitas merupakan

bagian penting dari diri dan identitas, namun

merupakan salah satu aspek diri yang paling sulit diekspresikan, dieksplor, dan
divalidasikan oleh individu (McKenna, Green, and Smith, 2011). Identitas seksual
terbentuk seiring waktu dan dipengaruhi oleh aspek-aspek biologis, keluarga, dan
lingkungan (Telingator and Woyewodzic, 2011). Menurut Lorber (2009), identitas
seksual merupakan respon yang bukan hanya terjadi terhadap konstruksi psikis,
melainkan juga terhadap aturan dan tekanan sosial serta kultural dari keluarga dan
teman-teman.
Perkembangan
multidimensional dan

identitas seksual

merupakan

hal

yang

kompleks,

sensitif, dipengaruhi oleh kompleksitas kognitif,

emosional, budaya, dan kekeluargaan yang dialami individu yang mana dalam

Universitas Sumatera Utara

menjalankan identitas seksual merupakan hal yang memberdayakan, namun
seringkali memiliki dampak-dampak negatif seperti dilekatkannya sterotipe dalam
masyarakat (Telingator and Woyewodzic, 2011). Permasalahan individu dalam
memahami dan menerima identitas seksualnya terletak dalam konteks latar
belakang budaya dan kelompok sosial dimana ia berada (Gallor and Fassinger,
2010).
Individu dapat bekerjasama dalam menciptakan sistem makna alternatif
yang memungkinkan penciptaan dan performa identitas seksual yang berbeda.
Kelompok-kelompok yang termarginalkan telah menciptakan sistem-sistem
budaya dan simbolik tandingan, yang menjadi sumber-sumber informasi,
sosialisasi, dan penyebaran pengetahuan (Arthur, 2009). Narasi identitas seksual
berperan penting dalam menciptakan dan mempertahankan seksualitas dan
identitas seksual baru (Chaline, 2010).
Demonstrasi dan penulisan pengalaman sehari-hari individu dengan
identitas seksual minoritas berpotensi menandingi kecenderungan hegemonis
pengetahuan sosial. Untuk itu, teks yang subversif perlu dibentuk melalui
standpoint yang didasari oleh pengalaman keseharian minoritas seksual.
Kelompok atau komunitas berperan penting dalam artikulasi dan pertunjukan
identitas seksual yang termarginalkan, karena kelompok atau komunitas membuka
kesempatan untuk membentuk dan membangun suatu interaksi yang memiliki tata
aturan sosial alternatif khusus yang tidak ditemukan dalam masyarakat
mainstream (Arthur 2009).
2.5.2 Pembentukan Identitas Seksual

Universitas Sumatera Utara

Pembentukan identitas seksual merupakan salah satu tema utama dalam
penelitian mengenai minoritas seksual. Pembentukan identitas seksual merupakan
elemen penting dalam kehidupan minoritas seksual, sebuah proses perkembangan
diri yang tidak dialami oleh individu heteroseksual. Minoritas sosial secara
persisten dilekatkan dengan stigma dan dimarginalisasikan oleh tekanan
masyarakat. Teori mengenal pembentukan dan pengembangan identitas seksual
biasanya mengidentifikasi 3 (tiga) tahap utama : Kesadaran atas ketertarikan
seksual terhadap individu yang berjenis kelamin sama ; Eksplorasi dan pengujian
perasaan homoseksual ; dan Integrasi identitas homoseksual (Coming Out)
(Shapiro, Rios, and Stewart, 2010).
Menurut Horowitz dan Newcomb (2002) serta Kaufman dan Johnson
(2004) sebagian besar model tahapan pembentuk identitas seksual memiliki 4
(empat) tahapan umum, yaitu :
1. Kesadaran atau Sensitisasi
Disebut tahap pre-coming out atau kebingungan identitas, dimana individu
sadar memiliki perasaan berbeda atau sadar akan perasaan yang berpotensi
homoseksual.
2. Internalisasi atau Penerimaan
Individu mengembangkan kesadaran diri dan pemaknaan yang lebih tinggi
mengenai homoseksualitas, menjalani pengalaman homoseksual, mencoba
mengelola berbagai permasalahan termasuk mencari pasangan potensial,
mengelola perasaan bersalah/keraguan/kecemasan, dan mengembangkan identitas
serta konsep diri yang diaktualisasikan sebagai seorang homoseksual.
3. Pengungkapan (Coming Out)

Universitas Sumatera Utara

Eksplorasi, toleransi identitas, dan penerimaan identitas. Tahapan ini
mencakup suatu bentuk pengungkapan identitas.
4. Sintesis atau Integrasi
Dalam tahap ini, individu mengalami stabilitas identitas, mengembangkan
komitmen besar untuk menjadi gay (LSL), menjalani pengalaman lebih jauh
dengan hubungan romantis, dan mengembangkan suatu kebanggaan atas
identitasnya.
Model-model ini dapat menggambarkan kompleksitas dalam kehidupan
sosial pengungkapan identitas seksual seorang individu. Menurut Horowitz dan
Newcomb (2002) tahap-tahap yang ada dapat memberikan sebuah gambaran
umum dan memperhitungkan perbedaan-perbedaan dalam pengalaman individu
seorang homoseksual. Selain itu, model-model ini biasanya memiliki tahapan
pengungkapan (coming out) yang merupakan suatu tahapan terbesar yang dilewati
oleh individu homoseksual.
Menurut Carrion dan Lock (2007), terdapat berbagai faktor yang
mempengaruhi proses pembentukan identitas homoseksual, antara lain :

1. Pengalaman sosial individu;
2. Pengalaman individu dengan keluarganya;
3. Dukungan yang diterima individu dari kedua kelompok tersebut.
Selain itu terdapat beberapa penelitian yang menekankan pentingnya
proses information seeking dalam pembentukan identitas seksual dengan
mengeksplor kebutuhan-kebutuhan dan sumber sumber-sumber informasi yang
berkaitan dengan identitas seksual minoritas (Hamer, 2013). Information seeking

Universitas Sumatera Utara

mengenai identias seksual mencakup interaksi dengan individu lain dan sumbersumber informasi antara individu dengan individu lain.

Bentuk-bentuk

information seeking ini antara lain mencari informasi mengenai identitas seksual
melalui media dan menjalani interaksi interpersonal dengan individu minoritas
seksual lain baik secara langsung melalui interaksi komunitas maupun melaui
media internet atau media sosial.
2.6

Homoseksualitas

2.6.1 Defenisi Homoseksualitas
Istilah homo diambil dari bahasa Yunani yang artinya sama. Istilah ini
pertama kali diperkenalkan di Eropa menjelang akhir abad 19. Untuk lebih
tepatnya, jika penderita homoseksual tersebut laki-laki, sebutannya gay, dan
ketika

penderita

homoseksual

tersebut

seorang

perempuan,

sebutannya

lesbian.Homoseksual merupakan istilah yang diciptakan pada tahun 1869 oleh
bidang ilmu psikiatri di Eropa, untuk mengacu pada suatu fenomena yang
berkonotasi klinis.

Pengertian

homoseks

tersebut

pada

awalnya

dapat

dikategorikan sebagai perilaku menyimpang. Pengertian homoseks kemudian
terbagi dalam dua istilah yaitu Gay dan Lesbi. Hawkin pada tahun 1997
menuliskan bahwa istilah Gay atau Lesbi dimaksudkan sebagai kombinasi antara
identitas diri sendiri dan identitas sosial yang mencerminkan kenyataan bahwa
orang memiliki perasaan khusus dari kelompok sosial yang memiliki label yang
sama. Istilah gay biasanya mengacu pada jenis kelamin laki-laki dan, istilah
lesbian mengacu pada jenis kelamin perempuan (Hartanto, 2006).
Istilah homoseksual pertama kali muncul dalam bahasa Inggris pada tahun
1869. Istilah ini diperkenalkan oleh Charles Gilbert Chaddock ketika ia

Universitas Sumatera Utara

menerjemahkan buku Psychopathia Sexualis karya R. Von Krafft-Ebing. Saat itu,
istilah homoseksual digunakan untuk mendeskripsikan seksualitas antara dua
orang yang memiliki jenis kelamin sama (Spencer, 2004).
Pada tahun 1973 homoseksualitas dihilangkan sebagai suatu kategori
diagnostik oleh American Psychiatric Association dan dikeluarkan dari
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Hal ini disebabkan karena
pandangan bahwa homoseksualitas adalah suatu gaya hidup alternatif, bukannya
suatu gangguan patologis dan homoseksualitas terjadi dengan keteraturan sebagai
suatu variasi seksualitas manusia (Davison GC, 2005).
Penelitian dilakukan oleh Alfred C. Kinsey pada tahun 1948 menemukan
bahwa 10% laki-laki dibelahan dunia adalah homoseksual, sedangkan wanita
sebesar 5%. Kinsey juga menemukan bahwa 37% dari semua orang yang
melaporkan suatu pengalaman homoseksual pada suatu saat dalam kehidupannya,
termasuk aktivitas seksual yang dilakukan pertama kali pada masa pubertas atau
remaja (Kaplan, 2007).
Jumlah homoseksual di Kanada sekitar 1% dari keseluruhan penduduknya,
dengan usia 18-59 tahun. Berdasarkan hasil penelitian dari National Center for
Health Research, di Amerika tahun 2002 sekitar 4,4% masyarakat melakukan
hubungan homoseksual, dengan rentang usia 15-44 tahun. Berdasarkan hasil
statistik di Indonesia, menunjukkan bahwa sekitar 8-10 juta pria pernah terlibat
dalam hubungan homoseksual (Fauzi, 2008).
Di Indonesia, kata homoseksual bagi masyarakat umum lebih mengacu
kepada laki-laki homoseksual. Terdapat banyak perdebatan mengenai identitas
homoseksual, baik di dunia Barat maupun di Indonesia yang menghasilkan dua

Universitas Sumatera Utara

pandangan. Pandangan yang pertama mengatakan bahwa homoseksual merupakan
bagian hakiki atau esensial dari struktur kepribadian manusia yang merupakan
bawaan dari lahir atau innate. Pandangan yang kedua mengatakan bahwa kategori
homoseksual dikonseptualisasikan oleh pakar kebudayaan Barat abad ke-19.
Pandangan kedua melihat homoseksualitas sebagai konstruksi sosial yang
dibentuk oleh masyarakat dan merupakan produk sejarah peradaban Barat. Dari
kedua pandangan tersebut, pandangan pertama didukung oleh kebanyakan gay
karena menganggap bahwa keadaan pribadi seorang homoseksual merupakan
suatu pemberian atau given. Sementara, pandangan yang kedua lebih banyak
dianut oleh kalangan ilmu sosial (Oetemo, 2008).
Persoalan mengenai homoseksualitas merupakan hal yang sudah lama
mengundang perdebatan. Pada tanggal 9 Mei 2012, Presiden Barack Obama
menjadi presiden Amerika Serikat pertama yang menyatakan dukungannya atas
pernikahan sesama jenis dalam masa jabatannya (Obama Says, 2012). Hal ini
dilakukan menyusul dilegalisasikannya pernikahan sesama jenis di beberapa
negara bagian Amerika Serikat, termasuk New York (Confessore and Barbaro,
2011).
Walaupun ini merupakan langkah positif bagi kelompok gay, khususnya di
Amerika Serikat, usaha kelompok gay untuk mencapai kesetaraan masih belum
sepenuhnya tercapai. Terlepas dari persoalan pernikahan sesama jenis, kelompok
gay dalam sebagian besar masyarakat dunia masih termarginalkan. Kelompok
homoseksual masih banyak menerima perlakuan diskriminatif dan kekerasan yang
didasarkan atas orientasi seksual yang mereka miliki.
2.6.2 Karakteristik Homoseksualitas

Universitas Sumatera Utara

Menurut Kartono (2009), homoseksualitas adalah relasi seks denganjenis
kelamin

yang

sama

atau

rasa

tertarik

dan

mencintai

jenis

seks

yangsama.Homoseksualitas muncul akibat adanya interaksi terus menerus antara
manusia

(baik

sebagai

individu

ataupun

sebagai

kelompok)

dengan

masyarakatnya yang diungkapkan secara sosial melalui berbagai tindakantindakan sosial. Proses terbentuknya homoseksualitas atau LSL sebagai suatu
realitas sosial menjadi sangat menarik untuk dikaji, karena melibatkan aspekaspek sosial yang berhubungan secara dialektis dalam interaksi sosial antara
individu dengan masyarakat.
Homoseksual sebenarnya bukan tergolong penyakit pada umumnya,
melainkan lebih cenderung kepada pilihan identitas seseorang. Karenanya, cara
apapun yang digunakan untuk penyembuhannya, tidak selamanya akan berhasil
(Dianawati, 2006). Menurutnya, ekspresi homoseksual ada tiga macam, yaitu:
1.) Aktif, bertindak sebagai pria yang agresif.
2.) Pasif, bertingkah laku dan berperan pasif-feminin seperti wanita
3.) Bergantian peranan, kadang-kadang memerankan fungsi wanita, kadangkadang jadi laki-laki.
Banyak teori yang menjelaskan sebab-sebab homoseksual antara lain:

1. Faktor herediter berupa ketidakseimbangan hormon-hormon seks.
2. Pengaruh lingkungan yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi
perkembangan kematangan seksual normal.

Universitas Sumatera Utara

3. Seseorang selalu mencari kepuasan relasi homoseks, karena ia pernah
mengalami pengalaman homoseksual yang menggairahkan pada masa remaja.
4. Seorang anak laki-laki pernah mengalami traumatis dengan ibunya sehingga
timbul kebencian atau antipati terhadap ibunya dan semua wanita. Lalu muncul
dorongan homoseks yang jadi menetap (Fitriyah, 2013).
Homoseksualitas mengacu pada orientasi seseorang akan rasa ketertarikan
secara perasaan (kasih sayang, hubungan emosional) dan erotik, baik predominan
(lebih menonjol) maupun ekslusif (semata-mata) terhadap orang-orang yang
berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan fisik. Istilah homoseksual
dalam kaitannya dengan perilaku manusia telah diaplikasikan terhadap hubungan
seksual, baik secara fisik maupun psikis antara individu yang memiliki jenis
kelamin yang sama. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa :
1. Seseorang disebut homoseksual walaupun belum pernah melakukan hubungan
seksual yang nyata dengan sesama jenis (kontak fisik).
2. Ada rasa ketertarikan secara seksual yang kuat (psychic) dengan sesama jenis.
Menurut Coleman (2010) menggolongkan homoseksualitas ke dalam beberapa
jenis yaitu :
1. Homoseksual tulen yaitu gambaran streotiptik popular tentang laki-laki yang
keperempuan-perempuanan atau sebaliknya perempuan yangkelelaki-lakian.
2. Homoseksual malu-malu yaitu kaum lelaki yang masih merasa malu dengan
identitas dirinya sebagai seorang homoseksual, namun sangat tertarik melihat
laki-laki yang potensial menjadi pasangan seksualnya.
3. Homoseksual tersembunyi yaitu kelompok ini biasanya berasal dari
kelasmenengah dan memiliki status sosial yang mereka rasa perlu

Universitas Sumatera Utara

denganmenyembunyikan

homoseksualitas

mereka

dan

tidak

mau

mngekatualisasikannya dalam dunia yang umum.
4. Homoseksual

situasional

orangmempraktikkan

yaitu

kelompok

homoseksualitasnya

yang
tanpa

dapat

mendorong

disertai

komitmen

yangmendalam, atau menjadi seorang homoseksual jika lingkungannya
potensial untuk mengaktualisasikan diri sebagai seorang homoseksual.
5. Biseksual yaitu orang yang mempraktikkan baik homoseksualitasmaupun
heteroseksualitas sekaligus.
6. Homosepksual

mapan

yaitu

kaum

homoseksual

yang

menerimahomoseksualitas mereka, memenuhi aneka peran kemasyarakatan
secarabertanggung

jawab

dan

mengikatkan

diri

dengan

komunitas

homoseksualsetempat.
2.7

Lelaki Seks Lelaki (LSL)

2.7.1 Defenisi Lelaki Seks Lelaki (LSL)
Terminologi MenWho Have Sex With Men atau MSM dimaksudkan untuk
menjelaskan semua laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, tanpa
memandang identitas seksual mereka. Ini digunakan karena hanya sejumlah kecil
dari laki-laki terlibat dalam perilaku seks sesama jenis yang didefenisikan sebagai
gay, biseksual atau homoseksual tetapi lebih tepat mengidentifikasi diri
menggunakan identitas dan perilaku lokal sosial dan seksual. Mereka tidak
menganggap hubungan seksual mereka dengan laki-laki lain dalam terminologi
identitas atau orientasi seksual. Banyak yang berhubungan seks dengan laki-laki
mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual bukannya homoseksual atau biseksual,
terutama bila mereka juga berhubungan seks dengan perempuan, menikah, hanya

Universitas Sumatera Utara

memainkan peran sebagai pihak yang penetratif dalam anal seks, dan/atau
berhubungan seks dengan laki-laki demi uang atau kesenangan. LSL termasuk
juga berbagai kategori dari laki-laki yang dapat dibedakan menurut pengaruh dari
variabel seperti:
1.) Identitas seksual

mereka,

tanpa

memandang

perilaku

seksual (gay,

homoseksual, heteroseksual, biseksual, dan transgender, atau persamaannya,
dan identitas lain).
2.) Penerimaan dan keterbukaan mereka akan identitas seksual mereka yang bukan
mainstream dan khusus.
3.) Partner seksual mereka (laki-laki, perempuan, dan/atau transgender).
4.) Alasan mereka memilih pasangan seksual tersebut (alami, pemaksaan atau
tekanan, motivasi komersial, kesenangan atau rekreasi, dan/atau karena
keberadaan di lingkungan yang semuanya laki-laki).
5.) Peran mereka dalam praktik khusus (penetratif, reseptif, atau keduanya)
6.) Identitas terkait gender mereka, peranan dan perilaku (laki-laki atau
perempuan, maskulin atau feminim/effeminate, berseberangan pakaian (crossdressing) atau berpakaian sesuai gender (Demartoto, 2010).
Menurutnya juga Lelaki Seks Lelaki (LSL)dapat termasuk berikut ini:

1.) Laki-laki yang secara eksklusif berhubungan seks dengan laki-laki lain.
2.) Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain tapi sebagian
besarnyaberhubungan seks dengan perempuan.
3.) Laki-laki

yang

berhubungan

seks

baik

dengan

laki-laki

maupun

perempuantanpa ada perbedaan kesenangan.

Universitas Sumatera Utara

4.) Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain untuk uang atau
karenamereka tidak mempunyai akses untuk seks dengan perempuan, misalnya
di penjara, ketentaraan dan sebagainya.
Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki menjadi terminologi
yang populer dalam konteks HIV dan AIDS dimana ia digunakan karena
menggambarkan perilaku yang menempatkan mereka dalam risiko terinfeksi.
Telah menjadi perdebatan bahwa terminologi tersebut terlalu terfokus pada
perilaku seksual dan tidak mencukupi pada aspek lain seperti emosi, hubungan,
dan identitas seksual diantara mereka yang juga merupakan determinan dari
infeksi. Beberapa organisasi dan individu lebih suka memakai terminologi lakilaki yang berhubungan seks dengan laki-laki, karena ia menunjukkan kelompok
yang lebih luas dari sejumlah individu yang berhubungan seks dengan pasangan
lain dari kelamin yang sama. Khususnya, ia tidak mempunyai batasan pada umur
yang ditunjukkan dengan kata ”laki-laki”, dan karenanya termasuk juga anak-anak
lelaki yang saling berhubungan seks dan juga hubungan seks antara laki-laki
dewasa dengan anak lelaki (Demartoto, 2010)
Banyak pekerja seks laki-laki di Asia sering mengidentifikasi diri mereka
sebagai heteroseksual dan berhubungan seks dengan laki-laki terutama untuk
mendukung mereka serta keluarganya. Mereka seringkali menikah atau
mempunyai pacar perempuan atau pasangan seks perempuan. Namun ada juga
sejumlah pekerja seks laki-laki yang benar mengindentifikasi diri sebagai gay atau
homoseksual dan berhubungan seks hanya dengan laki-laki.
Beberapa laki-laki lebih senang berhubungan seks hanya dengan laki-laki
tapi tekanan untuk menikah dan membina keluarga membuat mereka

Universitas Sumatera Utara

berhubungan seks dengan perempuan. Sebagian lebih dengan laki-laki tetapi tidak
menolak perempuan dan sebaliknya. Yang lain lebih senang berhubungan seks
hanya dengan perempuan tetapi harus berhubungan seks denga laki-laki karena
uang atau karena mereka tidak bisa mendapat akses ke perempuan. Posisi yang
ambivalen dari individu transgender laki-laki perempuan menambah dimensi lain
dari skenario ini
Beberapa laki-laki yang mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual atau
biseksual kadang-kadang berhubungan seks dengan laki-laki untuk kesenangan,
biasanya karena sulit

mengakses perempuan. Sebagian

laki-laki dapat

berhubungan seks terutama dengan LSL transgender tanpa mengidentifikasi diri
sebagai gay atau homoseksual, terutama karena LSL transgender tidak dianggap
sebagai laki-laki dalam kontek budaya mereka.
Ada sejumlah laki-laki yang lebih suka pada perempuan tapi berhubungan
seks dengan laki-laki karena akses yang sangat terbatas kepada perempuan. Ini
bisa disebabkan karena masyarakat yang konservatif yang dengan ketat
membatasi segregasi antara laki-laki dan perempuan, atau berada pada lingkungan
yang seluruhnya laki-laki dalam waktu yang lama, seperti di penjara, lingkungan
militer, lingkungan buruh migran laki-laki, dan institusi pendidikan khusus lakilaki. Karena sulit mengakses perempuan, laki-laki harus menyalurkan kebutuhan
seksual mereka dengan laki-laki lain, tanpa membuat mereka mengidentifikasi diri
sebagai gay atau homoseksual.
2.7.2 Self-Disclosure pada Komunitas LSL (Lelaki Seks Lelaki)
Self-disclosure merupakan proses mengkomunikasikan informasi, pikiran,
dan perasaan pribadi kepada orang lain, terutama dalam komunuikasi

Universitas Sumatera Utara

interpersonal (Qian dan Scott, 2007). Self-disclosure merupakan proses
komunikasi untuk membuat diri diketahui oleh orang lain dengan cara
mengungkapkan

perasaan

,

pikiran,

refleksi,

atau

kebutuhan

pribadi.

Pengungkapan informasi pribadi memiliki konsekuensi psikologis dan sosial yang
signifikan. Self-disclosure merupakan aspek penting dalam membentuk dan
mempertahankan hubungan antar individu. Selain itu self-disclosure dianggap
memfasilitasi pengembangan diri, penerimaan dalam kelompok, dan integrasi
sosial. Self-disclosure beresiko menyebabkan perasaan malu, ketidaksetujuan,
penolakan, dan diskriminasi. Resiko-resiko ini dapat mencegah individu untuk
mengungkapkan informasi mengenai dirinya. Individu secara sadar memiliki
pihak yang menerima pengungkapan dirinya, apa yang diungkapkan, dan seberapa
intim pengungkapan yang dilakukan (Jang and Stefanone, 2011).
Self-disclosure memiliki resiko besar karena dapat mengundang ejekan
atau penolakan, menempatkan pihak yang mengungkapkan informasi pada posisi
yang tidak nyaman secara sosial. Akibatnya, LSL cenderung mengungkapkan diri
kepada orang yang tidak dikenal, karena merasa bahwa apa yang diungkapkan
tidak akan diketahui pihak-pihak yang dapat memberikan dampak negatif
terhadap kehidupan seorang LSL. Komunikasi melalui komunitas memungkinkan
self-disclosure yang lebih besar dibandingkan dengan komunikasi pribadi.
Keterbukaan dalam interaksi komunitas mengurangi resiko dari self-disclosure,
sehingga rasa takut atas hukuman dan penolakan jauh lebih rendah. Komunitas
berfungsi sebagai sarana ekspresi diri dan merupakan media yang ideal untul selfdisclosure seorang LSL. Hal ini terutama berguna bagi LSL dengan identitas
seksual yang mendapatkan stigma negatif dari masyarakat, karena ia dapat

Universitas Sumatera Utara

melakukan self-disclosure dan menyalurkan perasaan dan identitas seksualnya
secara aman. (Qian and Scott, 2007).
2.7.3 Coming Out Sebagai Bentuk Self-Disclosure LSL di Komunitas
Self-disclosure didefenisikan sebagai tindakan pengungkapan informasi
pribadi mengenai diri seseorang kepada orang lain. Pengungkapan ini dapat