Pengaruh Karakteristik Individu dan Dukungan Sosial Komunitas terhadap Perilaku Pencegahan HIV-AIDS pada Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Kota Medan Tahun 2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Kesehatan adalah hak asasi setiap manusia yang merupakan investasi

untuk

keberhasilan

pembangunan

bangsa.

Untuk

itu,

diselenggarakan


pembangunan kesehatan secara menyeluruh agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat setinggi-tingginya secara adil dan merata tanpa adanya diskriminasi.
Kesehatan merupakan faktor yang sangat penting dalam tahapan hidup manusia.
Dengan kondisi yang sehat, manusia dapat melakukan aktivitas sehari-harinya
dengan baik, tanpa terganggu oleh kesehatan tubuh yang kurang optimal
(Kemenkes RI, 2010).
Permasalahan kesehatan terjadi karena munculnya suatu kondisi yang
berisiko menjadi penyebab terjadinya gangguan kesehatan, seperti perilaku
orientasi seksual yang berisiko mengakibatkan terjadinya infeksi virus HIV yang
dapat menyebabkan AIDS yang berisiko tinggi terjadinya penularan pada
hubungan seksual yang bersiko, seperti hubungan seksual dengan berganti-ganti
pasangan,

tidak

memakai

kondom,

dan


hubungan

seksual

sesama

jenis/homoseksual (Widoyono, 2011).
Para ilmuwan menyakini ada 10% populasi gay di seluruh dunia. Itu
berarti ada 750 juta gay atau pelaku homoseksual dari 7,5 milyar populasi
manusia di seluruh dunia. Jumlah itu hampir 3 kali lipat penduduk Indonesia. Itu
diukur dari kemungkinan potensi secara genetik. Ada yang terekspresikan dan ada
juga yang tidak. Faktor selanjutnya yang menentukan adalah lingkungan, jika pun
dalam gen atau faktor bawaan mengandung unsur resiko menjadi seorang gay,

Universitas Sumatera Utara

tapi ia hidup di lingkungan kondusif dan terisolir dari hal-hal berbau
menyimpang,


maka

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

kemungkinan besar ia akan berperilaku normal. Itulah kenapa Amerika menjadi
salah satu negara paling berpengaruh dalam urusan ini, karena lingkungan mereka
yang mendukung untuk memupuk kegiatan dalam hal perilaku homoseksualitas
(Sixpack Magazine, 2015).
Hubungan seksual laki-laki dengan laki-laki lain di negara Peru dengan
angka 10-16%, di Amerika 10-14%, di Brazil 5-13%, di Botzwana 15%, dan di
Thailand 6-16%. Beberapa laki-laki menyadari dengan aktif bahwa dirinya
merupakan pelaku homoseksual atau gay. Mereka melakukan hubungan seksual
jangka panjang dengan wanita dan kadang-kadang melakukan hubungan seks
dengan pria dan sering tanpa diketahui pasangan wanitanya. Dalam kasus ini,
hubungan seks mungkin dilakukan antara pria, karena memang hanya pria saja
yang tersedia sebagai pasangan seks (Triningsih, 2006).
Sebuah studi multi-kota di Amerika Serikat ditemukan bahwa 1 dari 5
laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lainnya terinfeksi HIV. Di

Amerika Latin, seks antara laki-laki adalah perjalanan utama penularan HIV,
prevalensi HIV di beberapa kota di Colombia berkisar antara 10% sampai 25%.
Di Asia, tingkat prevalensi HIV diantara laki-laki yang berhubungan seks dengan
laki-laki telah mencapai 18%, dan di Asia tenggara prevalensi HIV pada Lelaki
Seks Lelaki (LSL) mengalami kenaikan dengan sangat cepat. Tertinggi terjadi di
Bangkok (Thailand) 28,3% dan Singapura 22% (Lorber,2009).
Hasil survei FHI (Family Health International)

menunjukkan bahwa

Indonesia menjadi negara kelima terbesar di dunia dalam menyumbang
penyebaran gay atau LSL. Populasi LSL di Indonesia ke-5 terbesar di dunia,
setelah China, India, Eropa, dan Amerika. Sejumlah lembaga survei independen

Universitas Sumatera Utara

dalam dan luar negeri menyebutkan bahwa Indonesia memiliki populasi 3%
penduduk yang merupakan pelaku homoseksual. Dengan kata lain, dari 250 juta
penduduk Indonesia, sekitar 7,5 jutanya adalah pelaku homoseksual. Berarti jika
ada 100 lelaki yang berkumpul di suatu tempat, 3 di antaranya memungkinkan

mereka adalah pelaku homoseksual yang beresiko tinggi terinfeksi HIV-AIDS
karena perilaku seksual mereka (Oetomo, 2008).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) yaitu virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS) adalah sindrom kekebalan tubuh oleh infeksi HIV yang mengakibatkan
melemahnya sistem imunitas atau kekebalan tubuh secara drastis sehingga
penderita AIDS sangat mudah terserang oleh berbagai serangan penyakit.
Perjalanan penyakit ini lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10
(sepuluh) tahun sesudah terjadinya infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi
(Kemenkes RI, 2012).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (World Health
Organization) sejak tahun 2000 infeksi baru HIV meningkat sebesar 35%.
Sementara kasus kematian sehubungan AIDS di dunia juga mengalami
peningkatan sebesar 24%. Dalam laporannya WHO mencatat sejak AIDS
ditemukan hingga akhir 2014, terdapat 34 juta orang meninggal karena infeksi
AIDS tersebut. Hingga akhir 2014 jumlah penderita orang dengan HIV dan AIDS
(ODHA) di dunia sebesar 36,9 juta orang (WHO, 2014).
Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDCP) Amerika
Serikat tahun 2010 memaparkan dari 50.000 infeksi HIV baru ternyata 2/3 dari
mereka adalah kelompok gay-MSM (Male Who Have Sex with Male), dan yang


Universitas Sumatera Utara

mengejutkan 1 diantara 5 gay yang terinfeksi HIV tidak peduli dan bersikap pasif
terhadap penyakit HIV-AIDS yang dideritanya, artinya tidak ada usaha untuk
mencegah HIV tertular ke orang lain dan ini sangat berpotensi menular ke patner
seks lainnya. Data terbaru tahun 2013, dari hasil skrining (penapisan) terhadap
semua pelaku homoseksual usia di atas 13 tahun di Amerika Serikat didapatkan
81% gay terinfeksi HIV dan 55% terdiagnosis AIDS. Penelitian lain juga
memaparkan pasangan LSL ternyata mempunyai risiko terinfeksi HIV 34 kali
lebih tinggi dibanding pasangan heteroseksual, dan yang mengejutkan tahun 2018
diperkirakan akan terjadi peningkatan penularan HIV pada kelompok gay sebesar
20% bila dibanding tahun 2010 (CDCP, 2010).
Selaras dengan kejadian di Amerika, peningkatan penularan HIV di
komunitas gay atau LSL di Indonesia juga menunjukan peningkatan yang cukup
bermakna. Data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) menunjukan
peningkatan jumlah penderita HIV di kelompok homoseksual dari 6% (2008)
menjadi 8% (2010) dan terus menjadi 12% (2014) dan diasumsikan akan semakin
meningkat setiap tahunnya seiring dengan bertambahnya jumlah pelaku
homoseksual di Indonesia (KPAN, 2011).

Beberapa penelitian medis menjelaskan mudahnya HIV masuk ke dalam
tubuh seseorang melalui anal seks yang biasanya dilakukan oleh Lelaki Seks
Lelaki (LSL) sebagai partner seks, dikarenakan sangat tipisnya mukosa (jaringan
pelapis) dan juga
adanya cairan tubuh di daerah rektum (dekat anus) yang sangat potensial
membantu perkembangan virus HIV, serta ada reseptor HIV di daerah rektum
yang sangat mudah menangkap virus HIV. Maka tidak salah bila risiko penularan

Universitas Sumatera Utara

HIV lewat anal seks yang dilakukan oleh pelaku homoseksual meningkatkan
resiko 40-50 kali lebih tinggi untuk terinfeksi HIV bila dibanding seks normal
(Nasronudin, 2007).
Infeksi HIV adalah infeksi kronis yang dalam waktu panjang akan
berkembang menjadi AIDS dan berakhir dengan hal yang fatal atau mematikan.
Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan Desember 2015 jumlah
kasus HIV/AIDS yang dilaporkan meningkat secara signifikan setiap tahunnya. Di
Indonesia sendiri HIV/AIDS tersebar di 368 kabupaten/kota dari 497
kabupaten/kota (72%) di seluruh provinsi di Indonesia. Provinsi pertama kali
ditemukan adanya kasus HIV/AIDS adalah Provinsi Bali, sedangkan Provinsi

Sulawesi Barat pada tahun 2011 dan kemudian diidentifikasi secara menyeluruh
pada akhir tahun 2015 bahwa setiap provinsi di Indonesia telah terdapat penderita
HIV- AIDS (Kemenkes RI, 2010).
Widoyono (2011) menjelaskan bahwa penularan kasus HIV/AIDS
tertinggi disebabkan hubungan seksual yang beresiko (70-80%). Perilaku seks
beresiko tidak hanya terjadi pada kelompok heteroseksual, namun bisa juga terjadi
pada kelompok

homoseksual.

Meskipun kelompok

homoseksual

bukan

merupakan kelompok tertinggi penderita HIV, tetapi mereka termasuk kelompok
beresiko tinggi dalam penularan HIV-AIDS. Berdasarkan estimasi Kemenkes RI
tahun 2014, terdapat 1.095.970 jumlah pelaku homoseksual atau gay yang
diistilahkan Lelaki Seks Lelaki (LSL) baik yang tampak atau tidak. Lebih dari

15% nya atau sebanyak 166.180 mengidap HIV.
Direktur Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Sigit
Priohutomo (2015) mengatakan, meningkatnya jumlah kasus HIV dan AIDS di

Universitas Sumatera Utara

Indonesia layaknya fenomena gunung es. Namun fenomena tersebut perlahan tapi
pasti mulai terangkat.. Faktor risiko penularan HIV tertinggi adalah hubungan
seks tidak aman pada heteroseksual (46,2%), Lelaki Seks Lelaki (LSL) sebanyak
(24,4%), dan penggunaan jarum suntik tidak steril pada pengguna narkoba
suntik/Penasun (3,4%) (Kemenkes RI, 2014).
Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sejak tahun
2005 sampai Desember 2015, terdapat kasus HIV sebanyak 184.929 yang didapat
dari laporan layanan konseling dan tes HIV. Jumlah kasus HIV tertinggi yaitu di
DKI Jakarta (38.464 kasus), diikuti Jawa Timur (24.104 kasus), Papua (20.147
kasus), Jawa Barat (17.075 kasus) dan Jawa Tengah (12.267 kasus) dan Sumatera
Utara dengan angka kasus HIV sebanyak (7.967 kasus). Sementara, kasus baru
AIDS sampai Mei 2016 sejumlah 68.917 kasus. Berdasarkan kelompok umur,
persentase kasus AIDS didapatkan tertinggi pada usia 20-29 tahun (32 %), 30-39
tahun (29,4 %), 40-49 tahun (11,8 %), 50-59 tahun (3,9 %) kemudian 15-19 tahun

(3 %) (Kemenkes RI, 2015).
Kasus HIV terus mengalami peningkatan, fenomena peningkatan dan
penyebaran kasus yang terjadi pada kelompok risiko tinggi demikian cepat. Salah
satu kelompok risiko tinggi adalah Lelaki Seks Lelaki/LSL (KPAN 2011). Risiko
LSL terkena HIV lebih besar daripada bila lelaki berpasangan seks dengan wanita
karena seks anal yang dilakukan oleh LSL akan memungkinkan terjadinya luka
pada rectum disebabkan tidak adanya cairan lubrican seperti yang ada pada
vagina, ditambah lagi mengingat daya serap rectum yang besar maka deposisi
semen atau sperma dalam rectum tersebut dapat mengakibatkan resiko yang tinggi
terhadap penularan infeksi (Nasution, R, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan data di Dinas Kesehatan Kota Medan untuk tahun tahun 2015
faktor resiko tertinggi penularan HIV-AIDS berasal dari hubungan heteroseksual
diikuti dengan homoseksual, biseksual dan pengguna narkoba suntik. Menurut
data yang didapatkan dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) kota Medan,
dilihat dari faktor risiko infeksi HIV prevalensi terbanyak melalui kelompok
heteroseksual 61,5%, pengguna narkoba suntik (penasun) 15,2%, perinatal 2,7%
dan homoseksual mencapai presentase sebanyak 20,6%. Menurut data hasil

Survei Cepat Perilaku (SCP) yang dirilis oleh Komisi penanggulangan AIDS
(KPA) Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2015 terhadap jumlah estimasi LSL,
di Sumatera Utara terdapat 20.156 orang LSL, di kota Medan sendiri terdapat
1.680 orang LSL berdasarkan estimasi data terbaru pemetaan Desember 2015.
Fenomena gunung es juga berlaku pada kelompok ini, dalam kenyataannya di
masyarakat kelompok LSL ini terselubung dan lebih tertutup keberadaannya, hal
ini sangat menjadi kekhawatiran akan dapat meningkatnya risiko seseorang yang
berhubungan seks dengannya terkena HIV/AIDS (KPA, 2015).
Situasi masalah HIV pada Juli-Desember 2015 dilaporkan persentase
faktor risiko HIV kelompok LSL lebih dari 20%. Berdasarkan hasil pemetaan
yang dilakukan program HIV/AIDS dan IMS Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera
Utara pada Desember 2015 diketahui di Kota Medan ada sebanyak 1.680 orang
LSL, jumlah ini masih bisa mungkin lebih karena sebagian dari kelompok LSL
masih tersembunyi. Berdasarkan estimasi dan proyeksi jumlah infeksi HIV baru
menurut populasi berisiko, dimana secara signifikan terjadi peningkatan pada
populasi laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan laki-laki yaitu pada
tahun 2011 sebesar 14.532 menjadi 22.353 pada tahun 2015 dan diperkirakan

Universitas Sumatera Utara

melonjak menjadi 28.640 di tahun 2016. Populasi terendah ada pada kelompok
waria yaitu pada tahun 2011 sebesar 1.170 menjadi 1.289 di tahun 2014 dan
diperkirakan 1.386 di tahun 2016 (KPA Medan, 2015).
Komunitas gay atau LSL dipandang rentan terhadap penularan PMS
(Penyakit Menular Seksual) termasuk HIV/AIDS. Mengingat perilaku seksual
komunitas gay atau LSL yang cenderung bebas dan berganti-ganti pasangan serta
rendahnya informasi tentang kesehatan reproduksi dan orientasi seksual beresiko
yang dilakukan oleh petugas kesehatan melalui pendekatan secara komunitas.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo pada tahun 2010
mengenai Longing for Acceptance,
Sexual

Community

and

Homosexsual in Indonesia Find Hatred

Discrimation

menunjukkan

bahwa

pelaku

homoseksulaitas di kota-kota besar di Indonesia pada rentang umur 18-29 tahun
dalam rerata sebanyak 45% telah menjadi mitra seksual dalam suatu komunitas
dan ditemukan 9% diantaranya positif HIV/AIDS (Hartoyo, 2010).
Jaringan seksual yang luas ini meningkatkan risiko penularan IMS dan
HIV pada kalangan LSL dan pasangan seksualnya. Jika ada LSL yang tertular
HIV maka LSL itu pun potensial untuk menyebarkan HIV di komunitasnya. Yang
beristri menularkan ke istrinya, perempuan lain atau pekerja seks komersial
(PSK). Jika istrinya tertular HIV maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi
yang dikandungnya kelak ketika di kandungan, saat persalinan atau menyusui
dengan air susu ibu (ASI). Karena hal itu LSL dikhawatirkan akan menjadi salah
satu mata rantai penyebaran HIV yang potensial (Susilowati, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Mustikawati (2015) mengenai analisis
faktor yang mempengaruhi kejadian HIV pada komunitas laki – laki yang

Universitas Sumatera Utara

berhubungan seksual dengan laki – laki (LSL) di kota Medan menjelaskan bahwa
berdasarkan hasil wawancara mendalam didapatkan bahwa sebagian besar
responden yang diwawancarai diantara mereka memahami arti pentingnya
perilaku pencegahan dan kewaspadaan untuk memilih pasangan seksual untuk
mengurangi resiko tertular HIV-AIDS. Beberapa responden masih ada yang
melakukan aktifitas seksual yang beresiko tertular HIV seperti melakukan
hubungan seksual dengan beberapa orang dalam satu waktu, masih berhubungan
seksual walaupun ada luka di bagian anus. Beberapa hal ini sangat beresiko
tertularnya HIV pada orang tersebut, diantaranya masih menggunakan emosional
atau hasrat seksual dalam aktifitas seksualnya tanpa memikirkan pencegahan
terhadap HIV. Responden memiliki perilaku pencegahan HIV-AIDS yang baik
karena LSL di komunitas yang responden ikuti mengingatkan untuk berperilaku
seksual secara aman menggunakan kondom dan tidak berganti-ganti pasangan,
sesama anggota komunitas mereka juga bersedia mengantar dan menemani
apabila ada anggota komunitas yang ingin melakukan tes HIV-AIDS.
Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan oleh penulis pada rentang
waktu bulan Februari – April 2016 terhadap anggota komunitas LSL di kota
Medan, bahwa terdapat beberapa komunitas Lelaki Seks Lelaki (LSL) di kota
Medan yang aktif berinteraksi dengan sesama LSL lain di komunitasnya. Hasil
pengamatan dari penulis menjelaskan bahwa seorang LSL akan sangat terbuka
dengan anggota lain dari komunitasnya dan sangat mudah untuk memahami
informasi yang disampaikan oleh komunitasnya. Wawancara singkat dengan 5
(lima) orang member atau anggota dari komunitas LSL tersebut menjelaskan
bahwa 2 (dua) orang LSL menyatakan bahwa ia dapat memiliki perilaku

Universitas Sumatera Utara

pencegahan HIV-AIDS yang baik seperti memakai cairan pelicin dan kondom
pada saat melakukan hubungan seksual, tidak berganti-ganti pasangan, dan
mengunjungi klinik VCT HIV-AIDS untuk melakukan tes HIV dan konseling,
dan tidak menggunakan narkoba suntik dikarenakan adanya pemberian informasi
yang intensif dan dukungan yang kuat dari komunitas LSL yang mereka ikuti dan
ajakan dari sesama anggota di komunitas LSL tersebut dan masih baru bergabung
secara aktif di komunitas LSL serta belum memiliki banyak pasangan seksual.
Namun 3 (orang) responden lain justru mengatakan bahwa bergabung di
komunitas hanya untuk berada dalam area nyaman, keterbukaan, dan

rasa

diterima serta aktualisasi diri secara aktif sebagai seorang LSL, mencari pasangan
seksual dan sebagainya, tanpa mempedulikan ada tidaknya peran atau dukungan
komunitas untuk memperhatikan perilaku seksual anggotanya terhadap resiko
penularan IMS (Infeksi Menular Seksual) termasuk HIV-AIDS, menurut mereka
komunitas mereka juga tidak memberikan informasi dan dukungan yang kuat
untuk mereka dapat berperilaku baik dalam hal pencegahan HIV-AIDS.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti mengenai
bagaimana pengaruh karakteristik individu dan dukungan sosial komunitas
terhadap perilaku pencegahan HIV-AIDS pada Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Kota
Medan tahun 2016.
1.2

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka rumusan

masalah

dari

penelitian

ini

adalah

mengenai

“Bagaimana

Pengaruh

Karakteristik Individu dan Dukungan Sosial Komunitas Terhadap Perilaku

Universitas Sumatera Utara

Pencegahan HIV-AIDS pada Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Kota Medan
Tahun 2016?.”
1.3

Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum
Adapuntujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana pengaruh karakteristik individu dan dukungan sosial komunitas
terhadap perilaku pencegahan HIV-AIDS pada Lelaki Seks Lelaki (LSL) di kota
Medan tahun 2016.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui gambaran karakteristik individu dari LSL yang berupa umur,
suku bangsa, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, status
perkawinan, lama menjadi LSL, status/peran seksual LSL, jumlah pasangan
seksual yang dimiliki, intensitas hubungan seksual dengan pasangan seksual
dan lama menjadi anggota di komunitas LSL.
2. Mengetahui gambaran dukungan sosial yang diberikan oleh komunitas LSL
di kota Medan yang meliputi dukungan emosional (emotional/esteem
support),

dukungan

instrumental

(instrumental

support),

dukungan

informasional (informational support), dukungan penilaian/penghargaan
(appraisal

support)

dan

dukungan

persahabatan/integrasi

sosial

(companionship support).
3. Mengetahui gambaran perilaku pencegahan HIV-AIDS pada Lelaki Seks
Lelaki (LSL) di kota Medan.

Universitas Sumatera Utara

4. Menganalisis pengaruh karakteristik individu terhadap perilaku pencegahan
HIV-AIDS pada Lelaki Seks Lelaki (LSL) di kota Medan tahun 2016.
5. Menganalisis pengaruh dukungan sosial komunitas terhadap perilaku
pencegahan HIV-AIDS pada Lelaki Seks Lelaki (LSL) di kota Medan tahun
2016.
1.4

Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Ho :

Tidak ada pengaruh karakteristik individu dan

dukungan

sosial komunitas terhadap perilaku pencegahan HIV-AIDS pada
Lelaki Seks Lelaki (LSL) di kota Medan tahun 2016.
2. Ha :

Ada

pengaruh

karakteristik

individu

dan

dukungan
sosial komunitas terhadap perilaku pencegahan HIV-AIDS pada
Lelaki Seks Lelaki (LSL) di kota Medan tahun 2016.
1.5

Manfaat Penelitian
1. Bagi institusi (Dinas Kesehatan Kota Medan, Komisi Penanggulangan
AIDS kota Medan, Kementerian Sosial, Lembaga Swadaya Masyarakat,
dan instansi lainnya) sebagai bahan masukan untuk mengembangkan
metode terbaru dan pendekatan pendidikan kesehatan yang aplikatif untuk
meningkatkan perilaku pencegahan HIV-AIDS pada LSL (Lelaki Seks
Lelaki).

2. Bagi Universitas Sumatera Utara, sebagai literatur kepustakaan di bidang
penelitian mengenai bagaimana pengaruh karakteristik individu dan

Universitas Sumatera Utara

dukungan komunitas terhadap perilaku pencegahan HIV-AIDS pada Lelaki
Seks Lelaki(LSL) di Kota Medan tahun 2016.
3. Bagi peneliti lain, diharapkan dapat digunakan sebagai perbandingan atau
bahan referensi bagi penelitian dengan objek yang sama di masa mendatang.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara