Penerapan Sistem Peradilan Pidana Anak Terhadap Pelaku Dan Korban Tindak Pidana (Studi Di Pengadilan Tanjung Balai)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan aset Bangsa yang memiliki keterbatasan dalam
memahami dan melindungi diri dari berbagai pengaruh sistem yang ada, 1 oleh
karena itu diperlukan upaya Negara untuk memberikan perhatian dan
perlindungan agar pada masa yang akan datang anak tersebut dapat memberikan
sumbangan yang besar untuk kemajuan Negara,selain itu upaya perlindungan
tersebut berfungsi supaya anak terhindar dari kerugian mental, fisik dan sosial.
Bentuk perhatian Negara yang dapat diberikan terhadap anak sebagai aset
Bangsa dapat berupa mengenyam pendidikan formal seperti sekolah yang dimulai
dari tingkat sekolah dasar hingga ke jenjang menengah atas, selain itu bentuk
perhatian Negara dapat ditunjukkan dengan memberikan pendidikan moral
terhadap anak agar anak dapat tumbuh menjadi sosok yang berguna untuk Bangsa
dan Negara, karena pada dasarnya setiap anak memiliki potensi dihari mendatang,
dialah iyang akan ikut berperan dalam menentukan sejarah bangsa sekaligus
sebagai cermin sikap hidup Bangsa pada masa mendatang.
Perlindungan terhadap anak dapat dilihat dari ketentuan Konvensi Hak
Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, yang kemudian
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan

1

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice,PT Refika Aditama,Bandung, 2009, Kata Pengantar Halaman XV

Universitas Sumatera Utara

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu
non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang dan menghargai partisipasi anak. 2
Setelah mengetahui gambaran tentang anak, selanjutnya akan dibahas
mengenai definisi anak, disetiap negara memiliki definisi yang berbeda tentang
anak, salah satu definisi tentang anak menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam
Convention on the Right of the Child (CRC) atau KHK adalah setiap manusia
dibawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak,
kedewasaan dicapai lebih awal. Menurut Undang-Undang nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Anak adalah seorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 3
Seorang anak dalam menjalani proses kehidupannya pasti akan
melaluibanyak fase atau tahapan kehidupan. Salah satu fase yang akan dilalui oleh
anakadalah fase remaja dan adolescent, yang dimaksud dengan fase tersebut
adalahsuatu proses transisi atau masa-masa perpindahan dari fase anak-anak
menuju fasedewasa, di mana mereka akan menunjukkan tingkah laku anti sosial
yangpotensial dan disertai banyak pergolakan hati atau kekisruhan hati yang
membuatanak remaja/adolesens kehilangan kontrol dan pada akhirnya jika mereka
tidakdapat mengendalikan emosinya, emosi tersebut akan meletup dan
menjadibumerang baginya. Apabila dibiarkan tanpa adanya pembinaan dan

2

Diakses dari situs https://www.mahkamahagung.go.id/rbnews.asp?bid=4085 pada
tanggal 12 april 2016 pukul 17.03 WIB
3
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan,PT Gramedia, Jakarta, 2010, Definis Anak hal.40

Universitas Sumatera Utara


pengawasanyang tepat, cepat serta terpadu oleh semua pihak, maka gejala
kenakalan anak iniakan menjadi tindakan-tindakan yang mengarah kepada
tindakan yang bersifatkriminalitas. 4
Kenakalan remaja sering disebut Juvenile Deliquency, yang apabila
diartikan dapat bermakna cacat sosial, kata deliquency menurut Romli
Atmasasmista diartikan sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan
oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku disuatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri
dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan tercela, 5 sedangkan secara umum
yang dimaksud dengan kenakalan remaja adalah suatu kelainan tingkah laku,
perbuatan ataupun tindakan remaja yang bersifat asosial, bertentangan dengan
agama dan ketentutan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.6
Penyebab terjadinya kenakalan remaja tersebut akibat adanya Arus
globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan
teknologi sehingga tidak hanya menimbulkan dampak positif akan tetapi juga
menimbulkan dampak negatif, seperti semakin meningkatnya krisis nilai moral
terhadap anak di masyarakat yang berpotensi menyebabkan banyaknya anak
melawan hukum.
Anak yang melakukan kenakalan remaja atau melawan hukum dapat

disebut sebagai anak nakal, menurut pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3

4

Arifin, Pendidikan Anak Berkonflik Hukum Model Konvergensi AntaraFungsionalis
dan Religious, Alfabeta, Bandung, 2007, Hal.18.
5
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak,PT. Refika Aditama, Bandung,
2014, hal.67
6
Loc.cit hal.67

Universitas Sumatera Utara

tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa yang dimaksud dengan Anak Nakal
adalah
1. Anak yang melakukan tindakan pidana, atau
2. Anak yang melakukan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut
perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup
dan berlaku dalam masyarakat.

Menurut Undang- Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
merupakan pengkhususan dari sebuah badan peradilan dimana peradilan umum
untuk menyelenggarakan pengadilan anak. Dampak yang terjadi adalah
pengadilan tidaklah mencerminkan peradilan yang seutuhnya bagi anak,
melainkan hanya mengadili perkara pidana anak.
Tujuan dari sistem peradilan pidana yaitu resosialiasi serta rehabilitasi
anak (reintegrasi) dan kesejahteraan sosial anak tidak melalui keadilan restoratif
dan

diversi

tidak

dipersonifikasikan

menjadi

sebagai

substansi


orang

dewasa

undang-undang
dalam

tubuh

tersebut.
kecil

Anak

sehingga

kecenderungannya jenis sanksi yang dijatuhkan pada perkara anak masih
didominasi sanksi pidana dari pada sanksi tindakan.
Personikasi tersebut mengakibatkan dampak yang buruk terhadap sang

anak, dimana pada usia dini anak-anak masih membutuhkan waktu bermain,
belajar disekolah ataupun segala aktivitas seusianya, tetapi ia harus menjalani
proses peradilan dan masa tahanan yang yang merupakangambaran kesedihan
seorang anak, karena proses pengadilan merupakan suatu pengalaman buruk bagi

Universitas Sumatera Utara

kehidupan sang anak yang akan sulit ia lupakan.

7

Untuk memperhatikan

kelangsungan kehidupan sang anak dikemudian hari, maka dilakukan perubahan
perubahan dari Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
menjadi Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak.
Kenakalan (Deliquency) ialah orang yang yang melakukannya atau
pelakunya berusia dibawah 21 tahun dimana suatu tindakan anti sosial, yang
melanggar norma hukum pidana, kesusilaan,dan ketertiban umum. Tetapi apabila
pelakunya berusia diatas 21 tahun, maka akan dinamakan kejahatan (Crime) 8

suatu perbuatan pidana (kejahatan) dalam KUHPidana harus mengandung
unsur-unsur :
a. Adanya perbuatan manusia
b. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum
c. Adanya kesalahan
d. Orang yang berbuat harus dapa dipertanggungjawabkan
Sistem peradilan pidana menjadi perangkat hukum dalam menanggulangi
berbagai bentuk kriminalitas di masyarakat. Penggunaan sistem peradilan pidana
dianggap bentuk respon penanggulangan kriminal dan wujud usaha penegakan
hukum pidana. Sistem tersebut diharapkan mampu menyelesaikan persoalan
kejahatan yang terjadi, akan tetapi dalam pelaksanaannya tujuan tersebut belum
seluruhnya berhasil. 9

7

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice), Rafika Aditama, Bandung, 2009, hal. 16
8
ibid
9

ibid

Universitas Sumatera Utara

Aturan undang-undang sistem peradilan pidana anak dan kitab undangundang hukum pidana terdapat perbedaan-perbedaan mengenai batas usia
pemindanaan

anak,KUHPidana

merumuskan

bahwa

seseorang

dapat

dipertanggung jawabkan atas perbuatannya diisyaratkan adannya kesadaran diri
yang bersangkutan. Ia harus mengetahui perbuatan itu terlarang menurut hukum
yang berlaku, sedangkan posisi anak disini menggambarkan usia tertentu, dimana

si anak belum mampu dikategorikan sebagai orang dewasa yang memiliki
intelektualitas,

serta

memiliki

rasa

tanggung

jawab

sehingga

dapat

mempertanggungjawabkan atas segala tindakan yang dipilihnya karena ia berada
pada posisi dewasa. 10
Umumnya, pembatasan umur anak relatif identik dengan batas usia

pertanggung jawaban pidana (Criminal liability/Criminal responsibility). Seorang
anak yang dapat diajukan persidangan peradilan pidana anak artinya batas umum
tersebut sebagai batas usia minimal dikatagorisasikan sebagai anak, bukan berarti
sebagai batas usia pertanggungjawaban pidana (Criminal liability/Criminal
responsibility), seorang anak untuk dapat dilakukan proses peradilan dan
penahanan. 11 Pada dasarnya penahanan anak semata-mata dilakukan untuk
kepentingan pemeriksaan, selain itu penahanan anak harus pula memperhatikan
kepentingan anak yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak baik
fisik, mental maupun sosial dan kepentingan masyarakat. 12

10
11

Op.cit, Marlina, hal.5
Lilik Mulyadi, Wajah sistem peradilan anak di Indonesia,PT.Alumni, Bandung, 2014,

hal.2
12

Ibidhal 6

Universitas Sumatera Utara

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
merupakan undang-undang pertama yang mengatur mengenai anak yang
bersentuhan dengan hukum pidana. Akibatnya dalam pengadilan tidak
mencerminkan peradilan yang lengkap bagi anak, melainkan hanya mengadili
perkara pidana anak. Tujuan dari sistem peradilan pidana yakni resosialiasi serta
rehabilitasi anak (reintegrasi) dan kesejahteraan sosial anak tidak melalui
keadilan restoratif dan diversi tidak menjadi substansi Undang-Undang tersebut.
Kenyataannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 telah gagal
melaksanakan fungsinya, yaitu Anak masih menganut pendekatan yuridis formal
dengan menonjolkan penghukuman (retributive) dan belum sepenuhnya menganut
pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dan diversi; Undang-Undang
ini belum sepenuhnya bertujuan sebagai Undang-Undang lex specialis dalam
memberikan perlindungan secara khusus bagi anak yang berhadapan dengan
hukum; Secara substantif bertentangan dengan spirit perlindungan terhadap anak
sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak. Ketentuan yang bertentangan
antara lain:
1. Usia minimum pertanggung jawaban pidana terlalu rendah;
2. penggunaan term hukum (legal term) anak nakal; dan
3. tidak ada mekanisme pembinaan anak, yang ada adalah sistem
penghukuman anak; Pengadilan anak kerena merupakan bagian dari
peradilan umum, maka proses dan mekanisme hukumnya sama dengan
peradilan.

Universitas Sumatera Utara

Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari
kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). hakikat dari pembaharuan hukum
pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya
pembaharuan hukum pidana itu, seperti berbagai aspek kebijakan sosial,
kebijakan kriminal serta kebijakan penegakan hukum. Pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan
terhadap berbagai aspek, serta kebijakan yang melatarbelakanginya, yaitu aspek
sosialpolitik, sosifilosofis dan sosiokultural. 13
Perlindungan terhadap anak dilakukan dengan segala aspek kehidupan,
termasuk dalam hal ini adalah peradilan pidana anak. Peradilan pidana anak
dikhususkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu anak yang
melakukan tindak pidana. Peradilan pidana anak menegakkan hak-hak anak, baik
sebagai tersangka, terdakwa, maupun sebagai narapiadana. Penegakan hak-hak
anak diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang peradilan anak adalah
perwujudan perlindungan anak.
Mewujudkan kesejahteraan anak, menegakkan keadilan merupakan tugas
pokok badan peradilan menurut undang-undang. Peradilan tidak hanya
mengutamakan penjatuhan pidana saja, tetapi juga perlindungan bagi masa depan
anak, merupakan sasaran yang dicapai oleh Peradilan Pidana anak. Filsafat
Peradilan Pidana Anak adalah untuk mewujudkan kesejahteraan anak, sehingga
terdapat hubungan erat antara peradilan pidana anak dengan Undang-Undang
kesejahteraan anak (Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1979)

13

M.Hamdan, Politik hukum pidana, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 30

Universitas Sumatera Utara

Peradilan pidana anak hendaknya memberikan pengayoman, bimbingan,
pendidikan melalui putusan yang dijatuhkan. Aspek perlindungan anak dalam
Peradilan Pidana Anak ditinjau dari segi psikologis bertujuan agar anak terhindar
dari kekerasan, ketelantaran, penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak senonoh,
kecemasan dan sebagainya. Mewujudkan hal ini perlu ada hukum yang melandasi,
menjadi pedoman dan sarana tercapainya kesejahteraan dan kepastian hukum
guna menjamin perlakuan maupun tindakan yang diambil terhadap anak. 14
Anak yang dijadikan Terdakwa dikenai dakwaan berdasarkan ketentuan
pidana Undang-Undang Nomor 23Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
ancaman hukumannya sangat berat dalam rangkamelindungi anak sebagai korban.
Peradilan bagi si Pelaku yang juga anakdiberlakukan ketentuan tentang
Pengadilan Anak dengan prinsip-prinsip yang melindungi hak-hakanak sekalipun
mereka sebagai pelaku.
Dikaitkan dengan kasus-kasus yang terjadi di daerah balai dimana anak
yang menjadi pelaku ataupun korban, Meninjau bagaimana penerapan sistem
peradilantelah sesuai dengan Undang - Undang sistem peradilan anak nomor 11
tahun 2012, undang - undang perlindungan anak, dan Kitab Undang - Undang
Hukum Acara Pidana. melakukan penelitian pelaksanaan peradilan pidana dimana
memiliki kebijakan tersendiri. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan
diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul :
“PENERAPAN SISTEM PERADILAN ANAK TERHADAP PELAKU DAN
KORBAN (Studi Kasus Pengadilan Negeri Tanjung Balai)”

14

Op.cit, Maidin Gultom, hal .93

Universitas Sumatera Utara

B. Rumusan Masalah
Dari uraian yang telah disampaikan dalam latar belakang di atas, maka
perumusan masalah yang mendasari skripsi ini adalah :
1. Bagaimana sistem peradilan Pidana anak terhadap anak sebagai pelaku
dan korban ditinjau dari Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang
sistem peradilan pdana anak (SPPA)?
2. Bagaimana penerapan penyelesaian tindak pidana terhadap anak sebagai
pelaku dan korban di Pengadilan Tanjung Balai sesuai dengan UndangUndang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui penerapan sistem peradilan anak di daerah Tanjung
Balai telah sesuai dengan sistem peradilan anak menurut ketentuan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem
peradilan anak.
2. Untuk mengetahui penerapan sistem peradilan anak di Tanjung Balai telah
sesuai dengan tujuan penerapan tersebut terhadap korban dan pelaku
Selanjutnya penelitian ini juga diharapkan mendatangkan manfaat yang berupa :
1. Manfaat secara teritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan
wawasan dan menambah ilmu pengetahuan hukum khususnya mengenai
hukum pidana yang berhubungan dengan penerapan sistem peradilan anak

Universitas Sumatera Utara

di indonesia. Selain itu diharapkan juga menjadi referensi bagi penelitian
selanjutnya.
2. Manfaat secara praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
tentang penerapan peradilan anak dan proses pradilan tersebut dan upaya
penegakan hukumnya yang terkait dengan anak-anak yang terlibat hukum
dan mempertimbangkan tujuan peradilan anak tersebut telah sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini berjudul “Penerapan Sistem Peradilan Anak terhadap
Pelaku Dan Korban (Studi Kasus Pengadilan Negeri Tanjung Balai) belum pernah
ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran
dan pemaham dari penulis berdasarkan referensi buku-buku yang terkait denga
penulisan, bacaan-bacaan dari media internet, dan juga bantuan dari berbagai
pihak. Penelitian ini jelas dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pengujian
tentang kesamaan dan keaslian penulisan telah dilewati dan berdasarkan hal
tersebut mendukung keaslian penulisan.
E. Tinjauan Pustaka
1. Tindak Pidana dan Unsur Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, akan
tetapi dalam

peraturan

perundang-undangan

Indonesia

tidak

ditemukan

definisinya, begitupula dengan KUHP yang tidak menjelaskan secara rinci

Universitas Sumatera Utara

pengertian dari strafbaar feit tersebut. Strafbaar beit berasal dari bahasa Belanda
yang dibagi atas dua kata yaitu straafbaar yang berarti dapat dihukum dan feit
memiliki pengertian sebagaian dari suatu kenyataan, sehingga makna harfiaah
perkataan straafbaar feit adalah sebagian dari suatu kenyataan dapat dihukum 15.
Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari
bahasa latin yakni kata delictum. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata
Delik diartikan sebagai suatu perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena
merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang tindak pidana 16
Beberapa definisi lainnya tentang tindak pidana , antara lain :
a. Menurut Wirjono Prodjodikoro
“Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana”
b. Menurut G.A. van Hamel
Sebagaimana yang diterjemahkan oleh Moeljatno, “strafbaar feit adalah
kelakuan orang ( menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang
bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan
dilakukan dengan kesalahan.”
c. Menurut D. Simons
“Tindak pidana (strafbaar feit) adalah kelakuan (handeling) yang diancam
dengan pidana ” yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan
kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab

15

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya, Bandung,
2011.Hal.181
16
Teguh Prasetya, Hukum Pidana, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 47

Universitas Sumatera Utara

(eene strafbaar gestelde “onrechtmatie, met schuld in verband staaande
handeling van een toerekeningsvatbaar person”) 17
Pendapat Simons didasarkan kepada:
1. Adanya suatu tindakan yang dilarang ataupun diwajibkan oleh undangundang, kemudian pelanggaran tersebut dapat dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum.
2. Tindakan tersebut memenuhi unsur delic yang telah dirumuskan undangundang.
3. Merupakan tindakan melawan hukum 18
d. Menurut Moeljanto
“perbuatan pidana hanya untuk menunjuk kepada sifatnya perbuatan
saja,yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar”
Menurut Moeljatno, unsur pelaku dan hal-hal yang berkenan dengannya
seperti kesalahan dan mampu bertanggung jawab, tidak boleh dimasukkan ke
dalam definisi perbuatan pidana, melainkan merupakan bagian dari unsur yang
lain, yaitu unsur pertanggungjawaban pidana. ada dua macam konsep tentang
struktur tindak pidana, yaitu :
(1) Konsep penyatuan antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana
(kesalahan) yang membentuk tindak pidana; dan
(2) Konsep pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban
pidana (kesalahan) yang keduanya merupakan syarat-syarat untuk
dapat dipidananya pelaku. 19
17

Ibidhal. 217
Tongat, Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam PreapektifPembaharuan,UMM Press,
Malang 2002, hal 101
18

Universitas Sumatera Utara

Didalam tindak pidana terdapat unsur-unsur tindak pidana, yaitu :
1. Unsur objektif.
a. unsur yang terdapat di luar pelaku (dader) yangdapat berupa:
Perbuatan,

baik

dalam

arti

berbuat

maupun

dalam

arti

tidak

berbuat.Contoh unsur obyektif yang berupa “perbuatan” yaitu perbuatanperbuatanyang dilarangdan diancam oleh undang-undang.
b. Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana materil. Contoh
unsur obyektif yang berupa suatu “akibat” adalah akibat-akibat yang
dilarang dan diancam oleh undang-undang dan sekaligus merupakan syarat
mutlak dalam tindak pidana.
c. Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam oleh
undang-undang adalah keadaan sebagaimana yang dimaksud dalam
ketentuan Pasal 160, 281 KUHP. 20
2. Unsur Subjektif
Unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan
dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang
ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan di
mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan. 21
Unsur ini terdiri dari ;

19

Frans Maramis, Hukum Pidana umum dan tertulis di Indonesia, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2012, hal. 58
20
Tongat, Hukum Pidana Materiil, UMM Press, Malang, 2003,Hal. 4
21
Op.cit,P.A.F. Lamintang, hlm.193.

Universitas Sumatera Utara

1. Kesengajaan (dolus), dimana hal ini terdapat di dalam pelanggaran
kesusilaan (Pasal 281 KUHP), perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP),
pembunuhan (Pasal 338).
2. Kealpaan (culpa), dimana hal ini terdapat di dalam perampasan kemerdekaan
(Pasal 334 KUHP), dan menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP), dan lainlain.
3. Niat (voornemen), dimana hal ini terdapat di dalam percobaan atau poging
(Pasal 53 KUHP)
4. Maksud (oogmerk), dimana hal ini terdapat dalam pencurian (Pasal 362
KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), dan
lain-lain
5. Dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade), dimana hal ini
terdapat dalam membuang anak sendiri (Pasal 308 KUHP), membunuh anak
sendiri (Pasal 341 KUHP), membunuh anak sendiri dengan rencana (Pasal
342 KUHP). 22
Menurut Moelyatno unsur atau elemen perbuatan pidana terdiri dari:
a) Kelakuan dan akibat (perbuatan)
b) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
c) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
d) Unsur melawan hukum yang objektif
e) Unsur melawan hukum yang subjektif. 23

22
23

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 69.

Universitas Sumatera Utara

Di dalam perundang-undangan pidana yang lain, tindak pidana
dirumuskan di dalam pasal-pasal. Perlu diperhatikan bahwa di bidang hukum
pidana kepastian hukum atau lex carte merupakan hal essensial, dan ini telah
ditandai oleh asas legalitas pada pasal 1 ayat (1) KUHP. Perumusan tindak pidana
juga diharapkan sejauh mungkin memenuhi ketentuan kepastian Hukum itu,
walaupun sebenarnya hak itu tidak mungkin sepenuhnya. Untuk benar-benar tahu
apa yang dimaksudkan di dalam pasal-pasal itu masih diperlukan penafsiranpenafsiran. Bab-babnya dikelompokkan sasaran yang hendak dilindungi oleh
KUHP terhadap tindak pidana tersebut.
jenis-jenis tindak pidana yang dibedakan atas dasar-dasar tertentu, adapun
bentuknya adalah sebagai berikut:
a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana
dibedakan atas Kejahatan yang diatur dalam Buku II dan Pelanggaran yang
dimuat dalam Buku III. Pembagian tersebut bukan hanya berlaku dalam
KUHP akan tetapi berlaku juga sebagai dasar hukum bagi seluruh sistem
hukum pidana di Indonesia.
b. cara merumuskannya, tindak pidana dibedakan dalam bentuk tindak pidana
formil ( formeel delicten) dan tindak pidana materil (materiil delicten).
Tindak pidana formil adalah perbuatan yang dilarang yang aturannya
dirumuskan dalam KUHP tidak memperhatikan akibat yang timbul dari
suatu perbuatan pidana. tindak pidana materil adalah perbuatan pidana yang
menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan dipertanggungjawabkan.

Universitas Sumatera Utara

c. bentuk kesalahan, tinda pidana dapat diberdakan menjadi tindak pidana
yang disengaja (dolus) dan tindak pidana yang tidak disengaja (culpa).
d. Macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif) dan tindak pidana pasif,
Perbuatan aktif memiliki makna yang sama dengan perbuatan materil yang
memiliki pengertian suatu perbuatan yang untuk mewujudkannya
diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat. Perbuatan
pasif dibagi menjadi perbuatan pidana yang murni dan tidak murni.
Perbuatan pidana tidak murni adalah perbuatan yang dirumuskan secara
formil atau tindak pidana yang pada dasar unsur perbuatannya berupa
perbuatan pasif.Tindak Pidana Tidak Murni adalah tindak pidana yang pada
dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara aktif
atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan
dengan tidak berbuat.
Pengertian Pemidanaan menurut Sudarto, yaitu “Perkataan pemidanaan
sinonim dengan istilah ‘penghukuman’. Penghukuman sendiri berasal dari kata
‘hukum’, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan
tentang hukumannya (brechten). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak
hanya dalam lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya.
istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara
pidana yang kerapkali sinonim dengan pemidanan atau pemberian atau penjatuhan
oleh hakim.”
Berdasarkan pendapat Sudarto, dapat diartikan bahwa pemidanaan
merupakan penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Tahap pemberian

Universitas Sumatera Utara

pidana dalam hal ini terdapat dua arti, yaitu dalam arti luas dan arti konkret. Arti
luas yang menyangkut pembentuk undang-undang yang menetapkan stelsel sanksi
hukum pidana, sedangkan dalam arti konkret, yang menyangkut berbagai badan
yang mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana tersebut.24
Para ahli mengelompokkan teori tujuan pemidanaan atas
e. Pidana sebagai sarana retributif (retributivism)
f. Pidana mmempunyai tujuan yang positif yang lebih lanjut teleological
theories)
g. Pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan (teleogical restributivist)
Teori-teori dalam pemidanaan, yaitu:
1. Teori Absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)
Di dalam pandangan ini, diandaikan bahwa setiap individu itu bertanggung
jawab atas perbuatannya sendiri. Setiap perbuatan dengan sendirinya mengandung
konsekuensi unruk mendapatkan respons positif atau negatif. Ciri khas dari
ajaran-ajaran absolut, terutama dari Kant dan Hegel adalah keyakinan mutlak akan
keniscayaan pidana, sekalipun pemidanaan sebenarnya tidak berguna, bahkan
bilapun membuat keadaan pelaku kejahatan menjadi lebih buruk. Teori absolut
melihat gejala yang mempunyai arti sendiri. Mutlak diartikan “dilepaskan” dari
setiap tujuan apapun, maka pidana tidak mempunyai tujuan lain selain daripada
hanya pidana saja. 25
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (doeltheorien)

24
25

Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hal.33
Albu Khair dan Mohammad Eka Putra, Pemidanaan, USU Press, Medan, 2011, hal.31

Universitas Sumatera Utara

bertujuan untuk tidak mengadakan pembalasan dari suatu kejahatan
melainkan untuk menjaga ketertiban yang ada di dalam masyarakat, jadi dasar
pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya.
Pidana dijatuhkan bukan karena orang melakukan kejahatan melainkan supaya
orang jangan melakukan kejahatan atau sebagai prevensi/pencegahan, dimana
tujuan pencegahan atau perbaikan dari si pelaku tindak pidana, tidak boleh hanya
dipandang secara negatif bahwa si pelaku tindak pidana harus dijatuhkan pidana,
tetapi juga harus dipandang secara positif dianggap baik, bahwa pemerintah
mengambil tindakan yang tidak bersifat pidana. 26 Tujuan tersebut , maka teori ini
sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenaran teori ini
adalah terletak pada tujuannya, dimana penjatuhan pidana bukan quia peccatum
est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccatum (supaya orang
jangan melakukan kejahatan) 27teori ini dibagi atas 2 yiatu. Prevensi umum dan
prevensi khusus.
Berdasarkan teori prevensi umum yang dikemukakan oleh Von Feurbach,
ialah jika seseorang terlebih dahulu mengetahui bahwa ia akan mendapat suatu
pidana apabila ia melakukan suatu kejahatan, maka sudah tentu ia akan lebih
berhati-hati akan tetapi, penakutan tersebut bukan suatu jalan mutlak (absolut)
untuk menahan orang melakukan suatu kejahatan. suatu ancaman pidana belum
cukup kuat untuk menahan mereka yang sudah merencanakan melakukan suatu
kejahatan, yaitu khususnya mereka yang sudah biasa tinggal dalam penjara,
meraka yang belum dewasa pikirannya, para psikopat dan lain-lainnya. Menurut
26
27

Ibid
Op.cit Abdul Khair dan Mohammad Eka Putra,hal.41

Universitas Sumatera Utara

teori prevensi khusus,maka tujuan pemidanaan ialah menahan niat buruk
pembuat, pemidanaan bertujuan menahan pelanggar mengulangi perbuatannya
atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah
direncanakannya. Pembela teori prevensi khusus adalah Van Hamel. Ia membuat
suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat prevensi khusus itu sebagai
berikut :
1. Pemidanaan harus memuat suatu anasir menakutkan supaya si pelaku

tidak melakukan niat yang buruk;
2. Pemidanaan harus memuat suatu anasir yang memperbaiki bagi

terpidana, yang nanti memerlukan suatu reclassering;
3. Pemidanaan harus memuat suatu anasir membinasakan bagi penjahat

yang sama sekali tidak dapat diperbaiki lagi;
4. Tujuan satu-satunya dari pemidanaan ialah mempertahankan tata tertib

hukum.
Menurut pandangan modern, prevensi khusus sebagai tujuan dari hukum
pidana adalah merupakan sasaran utama yang akan dicapai. Sebab tujuan
pemidanaan disini diarahkan ke pembinaan atau perawatan bagi si terpidana, yang
berarti dengan pidana itu ia harus dibina sedemikian rupa sehingga setelah selesai
menjalani pidananya ia menjadi orang yang lebih baik daripada sebelum ia
mendapat pidana. 28
b) Teori gabungan (verenigingstheorien)

28

Diakses dari situs http://www.suduthukum.com/2015/03/teori-pemidanaan.html, pada
tanggal 10 juli 2016, pukul 12.18 Wib

Universitas Sumatera Utara

mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib
masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana.
Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori relatif.
Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk
mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si
penjahat 29
Vos menerangkan bahwa di dalam teori gabungan terdapat tiga aliran,
yaitu, teori yang menitikberatkan pada pembalasan, teori yang menitikberatkan
pada tata tertib hukum, dan teori yang menganggap sama antara keduanya.
a. Teori yang menitikberatkan pada pembalasan
Pendukung teori ini adalah Pompe, yang berpandangan bahwa pidana
adalah pembalasan pada pelaku, juga untuk mempertahankan tata tertib hukum,
supaya kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Pidana
yang bersifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila bermanfaat bagi pertahanan
tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tetapi Zevenbergen, berpandangan bahwa
makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud
melindungi tata tertib hukum. Sebab pidana itu adalah mengembalikan dan
mempertahankan ketaatan pada hukum. Oleh sebab itu, pidana baru dijatuhkan
jika memang tidak ada jalan lain untuk mempertahankan tata tertib hukum.
b.

Teori yang menitikberatkan pada tata tertib hukum
Menurut pendukung teori ini, Thomas Aquino, yang menjadi dasar pidana

itu ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana maka harus ada kesalahan
29

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal

106

Universitas Sumatera Utara

pada pelaku, dan kesalahan (schuld) itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan
yang dilakukan dengan sukarela. Sifat membalas dari pidana merupakan sifat
umum dari pidana, tetapi bukan tujuan pidana, sebab tujuan pidana adalah
pertahanan dan perlindungan tata tertib masyarakat.
c.

Teori gabungan yang menitikberatkan sama antara pembalasan dan
perlindungan kepentingan masyarakat
Penganutnya adalah De Pinto. Vos menerangkan bahwa karena pada

umumnya suatu pidana harus memuaskan masyarakat maka hukum pidana harus
disusun sedemikian rupa sebagai suatu hukum pidana yang adil, dengan
idepembalasannya yang tidak mungkin diabaikan baik secara negatif maupun
secara positif.

30

Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar,

yaitu: 31
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan

itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang pelu dan cukup untuk
dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat;
2. Teori

gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib

masyarakat, tetapipenderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih
berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.
3. Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas

diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori
ini memiliki keistimewaan dari segi proses re-sosialisasi pelaku

30

Diakses dari situs http://www.definisi-pengertian.com/2015/07/pengertian-teoripemidanaan.html pada tanggal 10 juli 2016 pukul 12.32 wib
31
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2010, Hlm
162

Universitas Sumatera Utara

sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral
masyarakat agar dapat berintegrasi lagi ke dalam masyarakat.
Menurut Albert Camus, pelaku kejahatan tetap human offender, namun
demikian sebagai manusia, seorang pelaku kejahatan tetap bebas pula
mempelajari nilai-nilai baru dan adaptasi baru. Oleh karena itu, pengenaan sanksi
harus mendidik pula, dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan sanksi
yang bersifat treatment.32
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif.
Aliran ini beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa orang tidak
mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena
dipengaruhi

oleh

kemasyarakatannya,

watak
33

pribadinya,

faktor-faktor

lingkungan

maupun

Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari

keadaan jiwa seorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak
dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana,
melainkan harus diberikan perawatan (treatment) untuk rekonsialisasi pelaku.
Teori perlindungan sosial (social defence), bertujuan utama adalah
mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan
terhadap

perbuatannya.

Hukum

perlindungan

sosial

mensyaratkan

penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan tempatnya
oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu adanya seperangkat
peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk
32

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian
Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), Pustaka Pelajar, Jakarta,2005 hal.96
33
Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992,
hal. 12

Universitas Sumatera Utara

kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada
umumnya. 34
jenis-jenis tindak pidana yang dibedakan atas dasar-dasar tertentu, adapun
bentuknya adalah sebagai berikut:
a. Kejahatan dan Pelanggaran
KUHP menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan Pelanggaran dalam
buku ketiga, tetapi tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan
dan pelanggaran. Kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum dan
pelanggaran merupakan wetsdelict atau delik Undang-Undang. Delik Hukum
adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar keadilan, sedangkan
delik Undang - Undang melanggar aoa yang ditentukan oleh Undang-Undang.
b. Delik Formal (Formil) dan Delisk Material (Materiil)
Delik Formal adalah delik yang dianggap selesai dengan dilakukannya
perbuatan itu, atau dengan perkataan lain titik beratnya berada pada perbuata
itu sendiri. Tidak dipermasalahkan apakah perbuatannya, sedangkan akibatnya
hanya merupakan aksidentalia (hal yang kebetulan), sebaliknya di dalam delik
Material titik beratnya pada akibat yang dilarang, delik itu dianggao selesai
jika akibatnya sudah terjadi, bagaimana cara melakukan perbuatan itu tidak
menjadi masalah.
c. Delik Dolus dan Delik Culpa
Dolus dan Culpa merupakan bentuk kesalahan (Schuld) yang akan dibicarkan
tersendiri di belakang.

34

Ibid

Universitas Sumatera Utara

a) Delik dolus adalah yang memuat unsur kesengajaan,rumusan
kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata yang tegas...dengan
sengaja, tetapi mungkin juga dengan kata lain yang senada, seperti...
diketahuinya dan sebagainya
b) Delik Culpa di dalam rumusannya memuat unsur kealpaan, dengan
kata... karena kealpaannya.
d. Delik Commissionis dan Delik Omissionis
Pelanggaran hukum dapat berbentuk berbuat sesuatu yang dilarang atau tidak
berbuat sesuatu yang diharuskan (to commit = melakukan; to omit =
meniadakan)
a) Delik commissions barangkali tidak terlalu sulit dipahami misalnya
berbuat mengambil, menganiaya, menembak, mengancam, dan
sebagainya.
b) Delik omissions dapat kita jumpai pada pasal 522 (tidak datang
menghadap ke pengadilan sebagai saksi), pasal 164 (tidak
melaporkan adanya pemufakatan jahat)
e. Delik Aduan dan Delik Biasa (Bukan Aduan)
Delik aduan (klachtdelict) adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya
dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau
terkena. Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolute, yang
penuntutannya hanya berdasarkan pengaduan, dan delik aduan relatif disini
karena adanya hubungan istimewa antara pelaku dan korban
f. Jenis delik yang lain

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya terdapat jenis-jenis delik yang lain menurut darimana ditinjau
delik tersebut, antara lain :
a) Delik berturut-turut (vootgezet delict)
b) Delik yang berlangsung terus
c) Delik berkualifikasi (gequalificeerd)
d) Delik dengan Privilege (gepriviligeerd delict)
e) Delik politik
f) Delik propria 35
2.Tinjauan Umum tentang anak
Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan berdasarkan
hasil perkawinan anatar seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Anak juga
merupakan salah satu generasi bangsa dan negara yang merupakan salah satu aset
sumber daya negara yang kelak akan membantu membangun negara dan bangsa.
Pengertian anak dapat dilihat ditinjau dari berbagai sumber, antara lain :
a. Pengertian anak menurut Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang
HAM (Pasal 1 angka 5 ) :
“ Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
b. Pengertian anak menurut Konvensi Hak-Hak Anak:

35

Teguh Prasetya, Op.cit,Hal. 50

Universitas Sumatera Utara

“ anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas)
tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan
bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.
c. Pengertian anak menurut Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang
tindak pidana perdagangan anak :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan”
d. Pengertian anak menurut Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang
perlindungan anak :
“anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
e. Pengertian anak menurut Pasal 45 kitab Undang - Undang hukum pidana
“ Anak yang belum dewasa apabila seseorang tersebut belum berumur 16
(enam belas) tahun”
f. Pengertian anak menurut pasal 330 ayat (1) kitab Undang-Undang hukum
perdata :
“ seseorang yang belum dapat dikatakan dewasa jika orang tersebut
umurnya belum genap 21 tahun, kecuali seseorang tersebut telah menikah
sebelum umur
g. Pengertian anak menurut Undang-Undang perkawinan menurut Undang Undang nomor 1 tahun 1974:
“Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 seorang pria diizinkan
kawin (dianggap sudah dewasa dan layak untuk kawin) sesudah mencapai

Universitas Sumatera Utara

umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita yang sudah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan terhadap hal ini hanya dapat
dimintakan dispensasi.” 36
Di indonesia penentuan batas usia anak

dalam kaitab dengan

pertanggungjawaban pidana, telah diatur secara eksplisit setelah pada 19
desember 1996, Dewab Perwakilan Rakyat yang kemudian diundangkan pada 3
januari 1997 dan mulai berlaku pada 3 januari 1998 ( Undang-Undang nomor 3
tahun 1997, lembaran negara republik Indonesia Nomor 3668).
Undang - Undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, Pasal 1 butir
1 merumuskan bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas)
tahun dan belum kawin. . 37
Undang-Undang SPPA disebutkan anak yang berhadapan dengan Hukum
(ABH) adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban
indak pidana, dan anak yang menjadi saksi.ABH yang selanjutnya disebut anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Anak yang menjadi
korban tindak pidana yanng disebut sebagai anak Korban adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik,
mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Anak
yang menjadi saksi tindak pidana yang disebut sebagai anak saksi adalah anak
yang memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
36

Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia, CV. Mandar Maju,Bandung, hal. 5
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, PT.RajaGrafindo,
Jakarta, hal.7
37

Universitas Sumatera Utara

pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar,
dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Hakikatnya ruang lingkup pengaturan anak,
anak saksi dan anak korban dalam SPPA adalah keseluruhan proses penyelesaian
perkara ABH, mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan
setelah menjalani pidana. 38
Memerhatikan kondisi sosial kemasyarakatan di Indonesia, batasan usia
minimum 8 tahun tersebut sangatlah rendah bila dikaitkan dengan kemampuan
untuk bertanggung jawab secara pidana, sebagai konesekuensi terhadap kenakalan
yang telah dilakukan si anak, walaupun usia tersebut tidak berbeda dengan
pengaturan negara lain. Kesamaan pengaturan tersebut tidak berarti kondisi
perkembangan fisik, psikis, dan sosial anak di indonesia dapat disamakan dengan
negara-negara tersebut.
Usia

12

tahun

sebagai

batasan

minimum

dalam

kaitan

pertanggungjawaban pidana akan lebih mengena karena batas usia tersebut si anak
sudah mulai mengerti dan memahami akan konsekuensi dari tindakan-tindakan
yang telah dilakukannya. Apalagi kalau memerhatikan Dokumen Internasional
yang merekomendasikan bahwa minimum age bagi anak yang telah melakukan
kenakalan, sebaiknya jangan ditentukan rendah 39
Kenakalan anak ini diambil dari istilah asing Juvenile Deliquency, tetapi
kenakalan

ini

bukan

kenakalan

yang

dimaksud

dalam

Pasal

489

KUHPidana.Juvenile artinya young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada
masa muda sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan Deliquency artinya
38
39

Op.cit, M.Hatta Ali, hal. 36
Op.cit Nashriana hal.7

Universitas Sumatera Utara

doing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi
jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribuy, pengacau, penteror,
tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.
Perlu diketahui sebab-sebab timbulnya kenakalan atau dapat juga dikatakan
latar belakang dikakukannya perbuatan itu. Dengan perkataan lain, perlu diketahui
motifasinya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) bahwa yang dikatakan
‘motivasi’ itu adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau
tidak sadar untuk melakukan suatu perbuatan dengan tujuan tertentu. Motivasi
sering juga diartikan sebagai usaha-usaha yang menyebabkan seseorang atau
kelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan karena ingin
mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan
perbuatannya
Bentuk dari motivasi itu ada 2 (dua) macam, yaitu : motivasi intrinsik dan
ekstrinsik. Motifasi intrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang
yang tidak perlu disertai perangsang dari luar, sedangkan motivasi eksrtrinsik
adalah dorongan dari luar luar seseorang.
Berikut ini Romli Atmasasmita mengemukakan pendapatnya mengenai
motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak :
1. Yang termasuk motivasi intrinsik daripada kenakalan anak-anak adalah :
(a) Faktor intelegentia
(b) Faktor usia
(c) Faktor kelamin

Universitas Sumatera Utara

(d) Faktor kedudukan anak dalam keluarga
2. Yang termasuk motivasi eksentrik adalah :
(a) Faktor rumah tangga
(b) Faktor pendidikan dan sekolah
(c) Faktor pergaulan anak
(d) Fakor mass media
Pemidanaan anak di Indonesia telah ditegaskan dalam pasal 4 Undang Undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak yang selengkapnya
berbunyi sebagai berikut :
(1) Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah
sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan
atau belum pernah menikah.
(2) Dalam hal ini anak melakukan tindak pidana pada batas umur
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan,
setelah anak yang bersangkutan melampui batas umur tersebut tetapi
belum mencapai umur 21 tahun, tetap diajukan ke sidang anak.
Apabila pelaku kejahatan adalah anak dibawah usia minimum yang ditentukan
dapat dilihat dari pasal 5 Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 yang menegaskan
bahwa :
(1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dilakukan
pemeriksaan oleh penyidik

Universitas Sumatera Utara

(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua,
wali, atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada
dapartemen sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing
masyarakat.40
KUHP menentukan masalah kemampuan bertanggung jawab dihubungkan
dengan pasal 44 KUHP. Pasal 44 KUHP menentukan “Barang siapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya
cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit”. Berdasarkan
Pasal 44 Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk membedakan antara perbuaan
yang baik dan yang buruk, sesuai hukum dan yang melawan hukum, dan
kemampian untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan
buruknya perbuatan tadi. Syarat pertama faktor akal yaitu dapat membedakan
antara perbuatan yang diperolehkan dan yang tidak; syarat yang kedua adalah
faktor perasaan atau kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan
keinsyafaan atas nama yang diperbolehkan dan yang tidak.
Terpenuhinya syarat-syarat adanya pertanggungjawaban pidana seorang
anak, hal ini berarti bahwa terhadap anak tersebut dapat dikenakan pemidanaan.
Pemidanaan terhadap anak hendaknya harus memperhatikan seorang anak, hal ini
disebabkan bahwa anak tidak dapat kurang berpikir dan kurangnya pertimbangan
atas perbuatan yang dilakukannya. Disamping itu, anak yang melakukan
perbuatan pidana tidak mempunyai motif pidana dalam melakukan tindakan yang

40

ibid

Universitas Sumatera Utara

sangat berbeda dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana karena
memang ada motif pidananya.Pemberian pertanggungjawaban pidana terhadap
anak harus mempertimbangkan perkembangan kepentingan terbaik anak di masa
yang anak datang. Penangan yang salah menyebabkan rusak bahkan musnahnya
bangsa di masa depan, karena generasi penerus bangsa dan cita-cita negara.
3. Pengertian Peradilan
Kata peradilan yang terdiri dari kata dasar “adil” dan mendapat awalan
“per” serta ditambahkan dengan akhiran “an” memiliki arti sebagai segala sesuatu
yang berkaitan dengan pengadilan. Peradilan adalah suatu proses yang dijalankan
di pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan
mengadili perkara.

41

Menurut R.

Subekti dan R.

Tjitrosoedibio, pengertian

peradilan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Penggunaan istilahPeradilan (rechtspraak,
judiciary) menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan dalam rangka
menegakkan hukum (het rechtspreken), sedangkan pengadilan ditujukan kepada
badan atau wadah yang memberikan peradilan. Maka pengadilan bukanlah
merupakan satu-satunya wadah yang menyelenggarakan peradilan.
Pengertian peradilan menurut Sjachran Basah, adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan tugas dalam memutus perkara dengan menerapkan hukum,
menemukan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya
hukum materil, dengan menggunakan cara procedural yang ditetapkan oleh

41

Diakses
dari
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt548d38322cdf2/perbedaan-peradilan-denganpengadilan pada tanggal 21 september 2016 pukul 14.13 wib

situs

Universitas Sumatera Utara

hukum formal, oleh karena itu peradilan itu merupakan salah satu kekuasaan yang
berdiri sendiri dan berdampingan dengan kekuasaan lainnya.
R.Subekti menjelaskan bahwa sistem peradilan Indonesia digolongkan
dalam “Sistem Kontinental” yang ditandai dengan adanya lembaga kasasi oleh
badan pengadilan tertinggi. Kasasi diadakan semata-mata untuk mengawasi segi
penerapan hukumnya dalam setiap putusan badan pengadilan. Lembaga kasasi
berasal dari Perancis, sedangkan dalam sistem yang lainnya, yaitu sistem AngloSaxon, semua instansi yang lebih tinggi daripemeriksaan tingkat pertama adalah
banding atau pengulangan. Dalam banding semua pemeriksaan fakta (bukti) dan
hukum diulangi seluruhnya. 42
Sistem peradilan pidana terdiri dari 4 (empat) komponen yaitu kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyawaratan. Keempat komponen
tersebut bekerja sama dalam menegakkan keadilan. Tahapan dalam proses
penyidikan dan penyelidikan, judikasi (selama sistem peradilan) meliputi
pemeriksaan dan pembuktian