TRANSFORMASI MASYARAKAT PERTANIAN DI PED

MAKALAH

MK: TEORI SOSIOLOGI KLASIK DAN KONTEMPORER
UJIAN AKHIR SEMESTER
PENGAMPU KULIAH:
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Agric, Sc

Oleh:
Oleh: Husaini / NRP. I353150191

Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Jurusan Sosiologi Pedesaan
Fakultas Ekologi Manusia
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
2015
1

TRANSFORMASI MASYARAKAT PERTANIAN DI PEDESAAN : ANALISIS
ADAPTASI EKOLOGI
Perspektif Ekologi Manusia Dalam Membaca Transformasi Sosial
Istilah ekologi dikenalkan pakar biologi Jerman Ernest Haeckel pada 1969. Dia

memulai perhatiannya dalam setiap bidang sosiologi. Dia mengemukakan adanya
hubungan antara makhluk hidup di suatu tempat dengan lingkungannya.
Krisis ekologi yang melanda planet bumi sudah sangat parah bahkan menjadi
ancaman serius bagi kehidupan makhluk hidup. Kelestarian ekologi sangat ditentukan pula
oleh perilaku sosial manusia dalam mengelola sumberdaya alamnya. Tanpa pengelolaan
yang ramah lingkungan maka keberlanjutan ekologi menjadi terancam terutama sektor
pertanian yang sangat rentan terhadap perubahan tersebut.
Efek dari krisis ekologi bukan perkara sepele namun akan menghadirkan bahaya
besar bagi lingkungan diantaranya banjir, bencana longsor, hilangnya plasma nutfah dan
sumberdaya genetik tumbuhan, krisis air bersih, menyebabkan kegagalan panen di sektor
pertanian (pangan) dan beberapa dampak besar lainnya yang sangat berisiko.
Sektor pertanian belum menjadi sektor strategis dan masih
dianggap tidak menjanjikan meskipun negara Indonesia dengan jumlah
penduduk yang bekerja pada sektor ini sangat tinggi dibandingkan
sektor industri. Namum akibat beberapa negara termasuk Indonesia
mengalami krisis moneter, banyak industri dalam negeri harus gulur
tikar karena tidak mampu mengadakan bahan dan membayar upah
tenaga kerjanya. Sedangkan sektor pertanian baik sektor perkebunan
dan tanaman pangan tetap stabil, terutama sektor perkebunan seperti
kelapa sawit dan cokelat yang justru nilai jual melambung tinggi akibat

naiknya nilai dolar di pasar dunia (Lukman Soetrisno, 2002).
Dengan hadirnya berbagai program pembangunan yang dilakukan baik oleh
pemerintah (dalam dan luar negeri) maupun pihak swasta (perusahaan dan LSM)
mengakibatkan kondisi ekologi pertanian kian terpuruk. Misalnya dengan pembangunan
2

pemukiman menyebabkan terdegradasi sumberdaya lahan (hutan) sebagai filter penyangga
(banjir) karena diekploitasi secara besar-besaran untuk kebutuhan pembangunan.
Di sektor pertanian terjadinya alih fungsi lahan produktif yang semakin massif
menjadi ancaman bagi ketahanan pangan nasional. Angka terakhir menyebutkan bahwa
tingkat alih fungsi lahan pertanian produktif ke sektor non pertanian mencapai 100 ribu
hektar per tahun. Laju konversi ini tidak mampu dibendung oleh pihak manapun meskipun
pemerintah telah mengeluarkan undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan atau PLP2B ditambah lagi Peraturan Pemerintah
No. 1 Tahun 2011 tentang Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai
kawasan strategis nasional (Deptan, 2011).
Teori Tiga Tahap August Comte
Dalam menganalis tranformasi sosial yang terjadi di masyarakat
pedesaan


(pertanian),

penulis

diberi

tugas

dengan

memakai

epistemologi salah satu tokoh sosiologi yakni Auguste Comte (17981857) dengan teorinya hukum perkembangan tiga tahap.
Gagasannya

tentang

Teori

Tiga


Tahap

Perkembangan

Masyarakat; masyarakat berkembang secara evolusioner dari tahap
teologis

(percaya terhadap kekuatan dewa atau kegiatan ritual),

kemudian pada tahap metafisik (percaya pada kekuatan abstrak),
hingga ke tahap positivistik (percaya terhadap ilmu sains). Pandangan
evolusioner ini mengasumsikan bahwa masyarakat, seperti halnya
organisme,
demikian,

berkembang
melalui

dari


sosiologi

sederhana
diharapkan

menjadi
mampu

rumit.

Dengan

mempercepat

positivisme yang membawa ketertiban pada kehidupan sosial (Ritzger,
2002).

3


Adaptasi Ekologi dan Transformasi Sosial Masyarakat Pedesaan di Indonesia:
Beberapa pengalaman empiris di sektor pertanian
1. Transformasi Sosial Masyarakat Pertanian di Desa (Tahap Teologis)
Pada teori yang disampaikan August Comte dalam hukum tiga tahap (The three of
stage),

point

pertama

adalah

bahwa

masyarakat

berkembang

secara


evolusioner dari tahap teologis. Dalam konsep ini paham Ketuhanan sangat
manjur digunakan sesuai dengan keyakinan agama dan ritual adat yang mengakar.
Hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan antar makhluk yang tunduk pada
hukum alam (sunatullah). Dalam paper ini penulis ingin menganalisis
perkembangan yang terjadi pada sektor pertanian pada masa pra
revolusi hijau hingga sekarang (revolusi hijau).
Praktek budidaya pertanian yang dilakukan oleh petani Indonesia
pada masa sebelum revolusi hijau masih sangat tradisional, mulai
pengolahan tanah, persiapan benih yang digunakan hingga panen dan
pasca panen. Kehidupan yang dilalui masyarakat pada masa sebelum
revolusi hijau lebih tepat disebut sebagai masyarakat subsisten karena
melakukan budidaya hanya untuk kebutuhan diri sendiri.
Pada tahap pengolahan tanah misalnya, petani melakukan dengan
menggunakan jasa ternak baik kerbau maupun sapi dengan alat yang
sudah dirancang oleh masing-masing petani menurut daerahnya.
Demikian juga halnya pada seperti penyiapan benih. Benih yang
digunakan petani adalah berasal dari benih konsumsi yang produksinya
sangat rendah namun mereka terus menggunakannya secara turun
temurun.
Sama halnya dengan tahapan budidaya diatas, petani tidak

pernah mengenal pupuk apalagi pupuk kimia yang sangat “tabu” bagi

4

mereka. Petani hanya menggunakan pupuk organik dari sisa sampah
dapur dan kotoran ternak seperti feses kambing, sapi dan ayam. Mereka
menganggap

produksinya

sudah

mencukupi

kebutuhan

makan

keluarganya dan tidak ada terbersit bagi mereka untuk menjual.
Sedangkan pada tahap panen dilakukan secara komunal atau

arisan dengan menggunakan alat potong sabit tanpa mekanisasi seperti

harvester, thresser dan mesin panen lainnya. Yang menarik adalah
ketika melakukan perontokan, masing-masing petani telah menyiapkan
jadwal kelompok khusus tentu bagi mereka yang mendapat giliran harus
menyiapkan makanan khas dan segala keperluan perontokan.
Penting kita ketahui adalah tingkat kebersamaan dan romantisme
yang

terjadi

kekeluargaan.

diantara

sesama

Romantisme

ini


petani
juga

sangat
terjadi

intim
ketika

dan

penuh

pada

tahap

penanaman. Intimasi tersebut bukan saja dalam sektor budidaya namun
juga berimbas dalam kehidupan mereka sehari-hari. Artinya untuk

menutupi kekurangan modal, intimasi menjadi solusi dalam menghadapi
berbagai kekurangan dan keterbatasan. Ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Clifford Geertz (1976) bahwa terhambatnya pembangunan ekonomi di
Indonesia disebabkan oleh involusi pertanian.
Lebih jauh Geertz mengatakan, peningkatan produksi disebabkan oleh peningkatan
tenaga kerja dan bukan oleh perkembangan teknologi dan mengakar kepada share poverty
yaitu budaya untuk berbagi kemiskinan. Teori ini menyatakan bahwa budaya yang lebih
mementingkan solidaritas bersama daripada peningkatan penghasilan menyebabkan sektor
pertanian tidak dapat berkembang.

2. Transformasi Sosial Masyarakat Pertanian di Desa (Tahap Metafisik/Revolusi
Hijau)
5

Bila menilik Teori Moral Ekonomi Petani yang dikembangkan oleh James Scott
(1986) bahwa petani Indonesia adalah sangat rasional, tanggap terhadap teknologi dan
ingin maju. Namun ada faktor yang membatasi tindakan petani yaitu penghasilan yang paspasan karena luas usaha yang relatif kecil.
Sedangkan Hasan Kawaguchi (2008) mengatakan sejarah peradaban manusia di
bumi ini, senantiasa berubah untuk menyempurnakan serta meningkatkan kesejahteraan
hidupnya. Teori terbukti dengan perilaku peradaban manusia dari kehidupan memburu
hingga menetap dan dapat bercocok tanam secara lebih baik, misalnya dengan
ditemukannya sistim bersawah. Disini manusia mulai mengetahui sifat-sifat alam
lingkungan hidupnya.
Sementara Charles Darwin (1809-1882), pada paham determinisme dalam teori
evolusinya menyatakan bahwa perkembangan manusia sangat ditentukan oleh alam
lingkungannya. Dia mengemukakan bahwa makhluk hidup (tumbuhan, hewan, dan
manusia) secara berkesinambungan dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Pada
perkembangan tersebut terjadi perjuangan hidup (struggle for life, struggle for existence)
seleksi alam (natural selection) dan akan terjadi survival of the fittest yang kuat akan
bertahan hidup.
Perubahan alam lingkungan dan pola hidup manusia akan berpengaruh baik secara
positif maupun secara negatif. Berpengaruh bagi manusia karena manusia mendapatkan
keuntungan dari perubahan tersebut, dan berpengaruh tidak baik karena dapat mengurangi
kemampuan alam lingkungan hidupnya untuk menyokong kehidupannya. Seperti halnya
revolusi hijau yang digulirkan oleh pemerintah pada tahun 1970.
Revolusi hijau tujuan utamanya adalah untuk menaikan produktivitas pada sektor
pertanian. Hal ini berhasil dilakukan oleh pemerintah dengan baik yaitu dengan
berhasilnya pemerintah mencapai swasembada pangan pada tahun 1984 di bawah Presiden

6

Soeharto. Keberhasilan swasembada tersebut karena pemerintah sanggup “memaksakan”
petani khususnya sub-sektor pertanian tanaman pangan untuk menerapkan paket teknologi
pertanian semi moderen secara massif dengan program bimbangan massal atau BIMAS.
Paket yang diberikan pemerintah tersebut diantaranya adalah pemakaian pupuk organik,
perlindungan tanaman dengan obat-obatan dan penggunaan benih unggul disamping juga
menyediakan kredit pertanian dan pembangunan sarana irigasi (Loekman Soetrisno, 2002).
Memang harus diakui dengan revolusi hijau mengubah sikap petani khususnya para
petani sub-sektor tanaman pangan, dari sikap “anti teknologi” ke sikap yang mau respon
terhadap teknologi pertanian modern dan berpengaruh terhadap kenaikan produktivitas
tanaman pangan (padi). Secara makro, patut diapresiasi kepada pemerintah dengan berhasil
swasembada namun kalau melihat dari sisi mikronya banyak masalah yang ditinggalkan
dengan revolusi hijau.
Diantaranya residual masalah dari revolusi hijau adalah sektor tanaman pangan
rentan terhadap berbagai hama, meskipun memiliki produktivitas yang tinggi namun padi
benih unggul tidak memiliki adaptasi tinggi. Parahnya lagi dengan teknologi tersebut
menimbulkan benih-benih baru dari industri yang sangat rentan terhadap hama sehingga
menimbulkan ketergantungan petani terhadap obat pembasmi hama yang konon dianggap
sebagai politik ekonomi para pengusaha industri obat-obatan pertanian. Padahal petani
sudah sangat nyaman dengan benih lokal yang mereka gunakan selama ini.
Revolusi hijau bukan saja “memaksakan” petani untuk menggunakan teknologi
modern namun juga alat pertanian semisal traktor untuk pengolahan tanah,
memperkenalkan alat tanam padi (transplanter), pemotong padi (combine harvester),
tresher untuk perontokan dan alat pengering pasca panen. Dengan hadirnya alat mekanisasi
pertanian tersebut juga melahirkan berbagai kesenjangan sosial ditengah masyarakat.

7

Bentuk kesenjangan yang terjadi dimasyarakat adalah jika sebelumnya sifat
kebersamaan dan romantisme antar petani dalam usahatani sangat intim, seperti ketika
penanaman, panen dan perontokan. Dengan kehadiran mekanisasi tersebut intimasi dan
kearifan lokal dan kebersamaan petani mulai pudar. Bahkan, ekonomi masyarakat lokal
menjadi rusak akibat tenaga kerja yang biasa bekerja pada bidang tertentu sudah digantikan
oleh mesin.
Dari segi kelembagaan petani, pada masa revolusi hijau hampir seluruh organisasi
petani dikuasai oleh pemerintah di bawah organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
(HKTI). Disinyalir organisasi tersebut berbau unsur politis karena pucuk pimpinannya
kerap dikomandoi oleh kader partai politik tertentu. Disamping itu juga ada organisasi
kelompok tani nelayan andalan (KTNA) yang mengakar hingga ke setiap kecamatan.
Kapitalisme yang terjadi di sektor pertanian sangat diidentik dengan pemodapemoda atau lebih pantas dikatakan dengan sebutan “tengkulak” karena petani merasa
dihisapi dengan sistim yang diberlakukan oleh para “tengkulak” tersebut. Tetapi meskipun
merasa dipermainkan mereka tetap membutuhkan bantuan modal mereka karena sulitnya
akses modal untuk kebutuhan sarana produksi.
3. Transformasi Sosial Masyarakat Pertanian di Desa (Tahap Positivis/Pasca
Revolusi Hijau)
Seharusnya Indonesia sudah selesai dengan persoalan pangan dengan dicapainya
swasemabada pangan pada 1984 silam. Namun setelah masa revolusi hijau dan melejitnya
pembangunan, persoalan pangan justru tambah rumit karena berbagai faktor (konversi
lahan, degradasi kesuburan lahan dan pencemaran lingkungan). Apalagi memasuki abad ke
21 yang memasuki pertanian global. Penulis melihat, akhirnya baik pemerintah (penguasa)
dan petani (yang dikuasai) jera dengan konsep yang revolusi hijau tersebut karena telah
merasakan banyaknya masalah yang ditinggalkan dengan konsep tersebut.

8

Pemerintah yang semula hanya semata-mata ingin meningkatkan produksi, namun
seiring permintaan pangan yang sehat programnya pun diubah menjadi peningkatan
produksi pertanian secara berkelanjutan. Program ini ditandai dengan intruksi penggunaan
pupuk berimbang dan pemakaian pupuk organik secara tepat dan juga untuk
mengembalikan kesuburan tanah.
Pemerintah kalau boleh dikatakan belum berhasil memajukan sektor pertanian
pasca swasembada 1984. Buktinya pemikiran petani belum bisa dirubah menjadi farmers
namun masih tetap sebagai petani subsisten. Artinya petani masih melakukan usahatani
hanya untuk kebutuhan keluarga belum beranjak ke tahap agribisnis. Teknologi dengan
tujuan agar lebih mudah, praktis, efisien dan tentu dengan keuntungan lebih tinggi tidak
membuat pola pikir (mind set) mereka berubah, bahkan mereka tetap miskin dan terus
menjadi “objek” pemerintah.
Para petani mungkin sangat terbantu oleh kemajuan teknologi seperti traktor, alat
penyemprot dan penyiram tanaman, dan berbagai jenis pestisida yang cukup ampuh untuk
memberantas hama. Namun di sisi lain penggunaan pestisida yang berlebihan juga menjadi
ancaman bagi keberlangsungan hidup suatu ekosistem. Jadi, jelas bahwa perkembangan
dan penerapan Iptek tidak selalu membawa dampak positif, namun juga dampak negatif.
Masyarakat Pedesaan akan dibentuk dan dibawa Ke Arah Mana?
Berbicara pedesaan tentu tidak bisa terlepas dari pertanian. William Collier (1996)
dalam Teori Evolusi Pertanian; mengatakan bahwa keterlambatan dalam pembangunan
pertanian disebabkan oleh hambatan faktor-faktor ekonomi seperti terbatasnya luas lahan,
modal, sumberdaya manusia dan kesalahan kebijakan pemerintah yang menganggap bahwa
petani di Indonesia masih terbelakang.
Penting untuk kita ketahui bahwa tidak ada lagi masyarakat yang bercita-cita
ingin menjadi petani. Meskipun banyak pemuda-pemudi yang mengambil program
9

pendidikan tinggi di bidang pertanian, itupun menurut pengamatan penulis karena mereka
tidak lulus pada pilihan favoritnya seperti jurusan ekonomi, teknik dan tentu saja
kedokteran yang banyak diminati. Jikapun kiranya lulus pada pilihan terakhir di jurusan
pertanian namun setelah selesai studi tidak banyak yang ingin berkecimpung disektor
pertanian.
Ini menjadi masalah besar untuk keberlangsungan sektor pertanian indonesia ke
depan. Bagi generasi sekarang sektor pertanian bukanlah pekerjaan yang menarik dan
dianggap tidak menjanjikan. Ya, itu harus diakui, memang pertanian negeri ini identik
dengan sifat kumuh, jorok, miskin dan dianggap sebagai orang yang tidak berpendidikan.
Terbukti, rata-rata pekerja disektor pertanian dengan pendidikan dibawah rata-rata
(dibawah SMP) dan berumur rata-rata diatas 40 tahun (BPS, 2013).
Untuk merubah pandangan sinis itu, pemerintah mengalokasikan
anggaran besar untuk desa dengan tujuan membangun desa atau
“Desa Membangun” pada Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal.
Kementerian tersebut melahirkan Undang – Undang Desa No. 6 tahun
2014 tentang pembangunan desa berkelanjutan dengan kata “otonomi”
desa. Ini mungkin kesempatan sekaligus harapan besar yang diidamkan
oleh desa untuk membangun berbagai sarana dan prasarana yang
memadai khususnya dibidang pertanian.
Tentu dengan aneka pembangunan yang dilakukan terutama di
sektor pertanian seperti jalan usahatani, pengadaan mekanisasi dan
sarana lainnya membuka akses bagi pihak lain seperti pengusaha untuk
membangun

pemukiman

mengakibatkan

ancaman

dan

industri

terjadi

untuk

konversi

investasi.

lahan

Ini

produktif

akan
dan

dampaknya adalah ketahanan pangan ditingkat lokal ikut terancam.
Namun disisi lain pemerintah ingin menyiapkan desa agar mandiri
dari segi ekonomi dan kelembagaan. Disini dipastikan akan terjadi tarik
10

menarik kepentingan SDA (pertanian) karena dengan adanya akses
yang

mudah

terhadap

lahan.

Kapitalisme

akan

mengakibatkan

kelumpuhan total terhadap masyarakat periferal melalui ekspansi
kapitalisme dan globalisme (Robinson; Arya H.D, 2011). Inilah yang
dikhawatirkan

oleh

masyarakat

pedesaan

terhadap

modernisasi

pembangunan (pertanian).
Sebenarnya desa belum siap dan memang tidak disiapkan secara
matang untuk menerima modernisasi dalam pembangunan. Buktinya
otonomi yang diberikan dalam UU Desa tersebut masih digantung oleh
elit pejabat pada tingkat atas. Menjadi dilematis bagi desa (pertanian)
dalam menghadapi dua kepentingan tersebut.
Bagaimanapun pembangunan (pertanian) desa harus dijalankan
secara bijaksana dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan tetap
mempertahankan kebersamaan dan romantisme yang telah terjalin
diantara mereka. Disamping terus menggalakkan agar generasi muda
kembali tertarik dan berminat pada sektor sektor pertanian dengan
memberikan

berbagai

pendampingan

dan

pembinaan

dalam

meningkatkan sumber daya manusianya.
Perlukah Kita Membuat Kategorisasi Masyarakat Desa di Indonesia (Jawa Vs Luar Jawa)?

Pembangunan yang berbasis sentralistik telah membuat beberapa provinsi di luar
pulau Jawa angkat bicara untuk menuntut keadilan. Seperti Provinsi di Ujung Sumatera,
Kalimantan, Maluku dan Papua. Mereka menganggap diri bukan daerah tertinggal tapi
“ditinggalkan”. Namun setelah program pembangunan berlandaskan desantralistik daerah
yang seperti tersebut diatas sudah mulai ikut bersaing dalam pembangunan meskipun
masih jauh harapan, terutama di sektor fisik.
Pentingnya Mengawal Transformasi Sosial yang terjadi di Masyarakat Desa

11

Evolusi teknologi serta tahap peradaban berkembang terus sejalan dengan daya
jelajah manusia, namun tampaknya ruang gerak manusia tetap harus ada batasnya. Oleh
karena itu, dalam kemajuan teknologi yang dicapai saat ini, masih tetap beragam antisipasi
dan respons manusia terhadap lingkungan.
Untuk menjaga romantisme dan lokalitas Pedesaan (Pertanian) agar tetap bergelora
dan eksist perlunya menyiapkan sebuah struktur kelembagaan yang dapat menahan laju
modernitas dan membina SDM yang ada. Pergerakan pembangunan harus berbasis
kearifan lokal sebagai filter dalam menerima modernisme yang kian tajam pada
masyarakat yang sangat terbuka.
Pertanian keberlanjutan (Agricultural Sustainability) menjadi modal penting bagi
pemerintah dan petani untuk ketahanan pangan dan sosial masyarakat. Tentu keberlanjutan
ini harus digerakkan dengan pola pikir dan teknis budidaya yang dilakukan petani berbasis
ramah lingkungan. Banyak pihak belum memiliki perhatian khusus terhadap multifungsi
pertanian yang dilakonkan oleh petani. Pertanian bukan hanya soal pangan namun juga
urusan politis negara.

12

DAFTAR PUSTAKA

Arya H.D, 2011. Otoritas Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam:
Menatap Otonomi Desa Dalam Perspektif Sosiologi Pembangunan
dan Ekologi Politik. Menuju Desa 2030. PKSPL-IPB, P4W dan PSP3IPB.
BPS, 2013. Badan Pusat Statistik RI. Jakarta
Collier, William. 1996. Pendekatan Baru dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa : Kajian
Pedesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun. Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta.
Geertz, Clifford. 1973. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia.
terjemahan. Penerbit Bhatara. Jakarta.
Hasan, K. 2008. Manusia dan Lingkungan. Antropologi UGM
James Scott (1986; 2013). Etika Subsistensi Moral Ekonomi Petani Pedesaan (Pergolakan
dan Subsistensi di Asia Tenggara). LP3ES
Loekman Soetrisno, 2002. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian; Sebuah Tinjauan
Sosiologis. Kanisius, 2002
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern.
Penyadur: Alimandan. Jakarta: Kencana.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi
Wacana

13