POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL PPUK INDUSTR

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) INDUSTRI JAMU TRADISIONAL (Pola Pembiayaan Syariah) BANK INDONESIA

Direktorat Kredit, BPR dan UMKM

  Telepon : (021) 3818043 Fax: (021) 3518951, Email : tbtlkmbi.go.id

1. Pendahuluan

  Obat bahan alam merupakan obat yang menggunakan bahan baku berasal dari alam (tumbuhan dan hewan). Obat bahan alam dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Jamu (Empirical based herbal medicine) adalah obat bahan alam yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut dan digunakan secara tradisional. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris saja. Obat herbal terstandar (Scientific based herbal medicine) yaitu obat bahan alam yang disajikan dari ekstrak atau penyaringan bahan alam yang dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral. Proses ini membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan mahal, serta ditunjang dengan

  Fitofarmaka (Clinical based herbal medicine) merupakan bentuk obat bahan alam dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya telah terstandar serta ditunjang oleh bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia (Maheshwari, 2002). Namun ketiga jenis obat bahan alam tersebut sering disebut juga sebagai jamu.

  Keberadaan jamu tradisional sudah tidak aneh bagi masyarakat Indonesia. Sejak jaman dahulu, nenek moyang kita sudah banyak mengkonsumsi jamu tradisional untuk menjaga kesehatan ataupun mengobati penyakit. Dewasa ini, dengan kesadaran back to nature atau kembali ke alam, nampaknya penggunaan

  baku alam perlu

  dipertimbangkan dibandingkan dengan obat modern yang berbahan baku kimia.

  Ketersediaan bahan baku untuk pembuatan jamu tradisional di Indonesia cukup melimpah. Hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 30.000 spesies tanaman obat dari total 40.000 spesies yang ada di di seluruh dunia. Walaupun Indonesia baru memanfaatkan sekitar 180 spesies sebagai bahan baku obat bahan alam dari sekitar 950 spesies yang berkhasiat sebagai obat. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa dari segi ketersediaan bahan baku, industri jamu tradisional tidak memiliki ketergantungan impor.

  Selain untuk konsumsi nasional, jamu tradisional juga berpotensi untuk di ekspor. Negara tujuan ekspor, menurut data Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat bahan alam Indonesia (GP Jamu), yaitu Malaysia, Korea Selatan, Filipina, Vietnam, Hongkong, Taiwan, Afrika Selatan, Nigeria, Arab Saudi, Timur Tengah, Rusia dan Cile. Ekspor jamu tradisional tersebut sebagian besar masih dilakukan oleh industri jamu yang cukup besar.

  Di Indonesia, industri jamu memiliki asosiasi yang diakui pemerintah sebagai asosiasi bagi pengusaha jamu dan obat bahan alam di Indonesia yaitu Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat bahan alam Indonesia (GP Jamu).

  Anggota GP Jamu terdiri dari produsen, penyalur dan pengecer. Hingga saat ini GP Jamu menghimpun 908 anggota, yang terdiri dari 75 unit industri besar (Industri Obat bahan alamIOT) dan 833 industri kecil (Industri Kecil Obat bahan alamIKOT).

  Sekitar tahun 1900-an, pabrik-pabrik jamu besar mulai berdiri di Indonesia seperti Jamu Jago, Mustika Ratu, Nyonya Meneer, Leo, Sido Muncul, Jamu Simona, Jamu Borobudur, Jamu Dami, Jamu Air Mancur, Jamu Pusaka Ambon, Jamu Bukit Mentjos, dan tenaga Tani Farma (Aceh). Sedangkan di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah, industri kecil jamu tradisional mulai berdiri sejak tahun 1970-an dan terus berkembang di tahun 1980-an. Sehingga saat ini Kabupaten Sukoharjo terkenal sebagai salah satu sentra jamu tradisional di Indonesia.

  Dalam menjalankan usahanya, industri jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo menggunakan modal sendiri dan modal perbankan. Di Kabupaten Sukoharjo juga berdiri Koperasi Jamu Indonesia (KOJAI) pada tahun 1995, yang merupakan wadah bagi pengusaha jamu di Kabupaten Sukoharjo dan sekitarnya. KOJAI juga

  memberikan pembinaan-pembinaan kepada

  pengusaha jamu dalam bentuk pengadaan seminar, pelatihan, konsultasi, dan sebagainya.

  Kabupaten Sukoharjo khususnya Kecamatan Nguter dipilih menjadi daerah survey karena daerah ini merupakan sentra penjualan jamu tradisional yang

  cukup dikenal di Indonesia. Diharapkan hasil survey ini dapat menjadi acuan bagi investor, perbankan, departemen teknis, dan pengusaha dalam pengembangan industri jamu tradisional sehingga usaha ini dapat lebih berkembang dan berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian daerah maupun nasional.

2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

  a. Profil Usaha Kabupaten Sukoharjo khususnya Kecamatan Nguter merupakan sentra

  penjualan jamu tradisional yang cukup dikenal di Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya pedagang kios jamu tradisional yang terletak di Pasar Nguter Sukoharjo. Dari 250 pedagang yang ada, 33 diantaranya khusus berjualan jamu tradisional (Solopos, 2005). Pembelinya tidak hanya datang dari Sukoharjo dan sekitarnya, tetapi banyak juga yang berasal dari luar Jawa. Pelanggan cukup memesan melalui surat atau telepon, kemudian barang pesanan segera dikirim melalui pos atau perusahaan ekspedisi.

  Sebagian pedagang jamu tradisional yang ada di Pasar Nguter ada yang memproduksi jamu sendiri dan sebagian lainnya hanya menjual jamu saja tanpa memproduksinya. Belum ada data secara pasti dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) Sukoharjo maupun Badan Pusat Statistik (BPS) Sukoharjo mengenai jumlah pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo. Data dari KOJAI menyebutkan bahwa anggotanya berjumlah 60 orang yang terdiri dari pengusaha jamu dan penjual jamu. Di pihak lain, ada juga beberapa pengusaha atau penjual jamu yang belum menjadi anggota KOJAI. Tabel 2.1. memperlihatkan banyaknya pekerja menurut jenis sektor dan jenis kelamin di Kabupaten Sukoharjo.

  Tabel 2.1. Banyaknya Pekerja Menurut Jenis Sektor dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sukoharjo Akhir Tahun 2003

  Pekerja Laki-

  Pekerja

  Jenis Sektor

  Industri Kecil

  Pompa Bensin

  Bahan Bangunan

  Batik

  Rokok

  Karoseri

  Produksi Obat

  Hasil wawancara dengan pengusaha jamu di

  Kecamatan Nguter

  menunjukkan bahwa terdapat 8 pengusaha jamu di Kecamatan Nguter yang melakukan proses penggilingan. Untuk Kecamatan Sukoharjo, sebanyak 7 pengusaha melakukan proses penggilingan jamu. Sedangkan pengusaha yang lain tidak melakukan proses penggilingan melainkan hanya memasukan serbuk saja ke dalam kemasan dan mengemasnya, ataupun hanya menjual saja (pedagang). Pada umumnya, skala usaha yang dilakukan pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo masih kecil, hanya satu – dua pengusaha saja yang melakukan proses produksi jamu dengan skala besar. Teknologi yang digunakan pun masih relatif sederhanatradisional, yaitu hanya menggunakan mesin penggiling dan mesin penyaring.

  Jenis serbuk jamu yang dihasilkan hampir sama antara satu pengusaha dengan pengusaha lainnya. Yang membedakan adalah komposisi, variasi, dan mereknya. Rata-rata seorang pengusaha menjual 10 – 30 jenis jamu, walaupun ada juga yang menjual 75 jenis jamu. Pengusaha jamu tersebut tidak menanam tanaman bahan jamu sendiri, tetapi mendapatkannya dari pemasok bahan baku dalam bentuk kering (Dapat dilihat lebih jelas pada sub bab 4.3.) Tenaga kerja yang dipekerjakan pada usaha ini berkisar antara 7 –

  30 orang, tergantung dari besarnya usaha yang dilakukan. Selain menjual jamu hasil produksi sendiri, beberapa pengusaha jamu

  tradisional di Kabupaten Sukoharjo menjual jamu yang bukan hasil produksinya, melainkan dari produsen jamu besar seperti Jamu Jago dan Air Mancur. Jamu-jamu tersebut didapat dari tenaga penjual (sales) yang secara rutin memasok jamu tersebut, hal ini dapat menambah variasi jamu yang dijual oleh pengusaha jamu di Kabupaten Sukoharjo.

  Jamu tradisional merupakan jenis produk yang memerlukan izin khusus yang dikeluarkan oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) yang berupa izin edar (POM-TR). Izin ini dikeluarkan untuk menjamin jamu tersebut aman dikonsumsi dan bebas dari kadar air yang berlebih, kandungan lempeng logam, kuman ataupun mikroba lainnya. Prosesnya adalah berupa pengujian laboratorium terhadap bahan baku simplisia dan produk serbuk jamu. Bila hasilnya sudah sesuai dengan standar kesehatan menurut BBPOM, maka izin edar akan dikeluarkan. Izin tersebut juga sebaiknya selalu diperpanjang setiap 3 bulan sekali. Tetapi proses pengujian laboratorium ini belum banyak dilakukan oleh pengusaha jamu di Kabupaten Sukoharjo karena mahalnya biaya yang harus dikeluarkan, yaitu sekitar Rp 2.250.000 per item produk.

  Pengusaha jamu di Kabupaten Sukoharjo sudah melakukan pencatatan pembukuan sederhana seperti buku keluar masuk barang, buku omzet dan buku penggajian karyawan. Pada umumnya pengusaha jamu tradisional melakukan usaha ini karena melanjutkan usaha keluarga, pertimbangan harga jualnya yang cukup baik, dan prospek usaha yang cukup menjanjikan.

  Sebagian besar pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo merupakan anggota Koperasi Jamu Indonesia (KOJAI). Manfaat yang didapat dengan menjadi anggota KOJAI adalah mendapatkan bimbingan mengenai industri jamu tradisional, mendapatkan solusi bila ada permasalahan, dapat mengikuti seminar lokal maupun nasional, dan dapat mengikuti pameran- pameran. Pada umumnya para pengusaha yang menjadi anggota KOJAI sudah pernah mendapatkan pelatihan atau seminar mengenai teknologi produksipengolahan jamu dan teknik pemasaranpenjualan yang diberikan oleh produsen jamu besar.

  b. Pola Pembiayaan Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan, pengusaha jamu tradisional

  telah memperoleh pembiayaan dari bank konvensional (non syariah). Satu diantaranya bank tersebut adalah Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Tengah.

  Pada awal pengajuan pembiayaan, nasabah pada umumnya harus menanggung biaya administrasi yang berupa biaya notaris, biaya provisi, dan biaya administrasibiaya survey. Besarnya biaya notaris tidak dapat

  dipastikan, tergantung dari jaminan yang diajukan.Biaya provisi ditetapkan sebesar 1 dari nilai pembiayaan yang disetujui. Sedangkan besarnya biaya administrasibiaya survey bervariasi tergantung pada besarnya plafon pembiayaan yang diberikan, yaitu berkisar antara Rp 25.000 - Rp 150.000.

  Dari diskusi dengan pihak bank dan juga pengusaha, prosedur memperoleh pembiayaan untuk usaha jamu tradisional adalah sebagai berikut : Calon mengajukan usulan pembiayaan dengan mengisi blanko pengajuan pembiayaan dengan melengkapi syarat-syarat administrasi. Persyaratan administrasinya yaitu fotocopy KTP (suami dan istri), fotocopy kartu keluarga, fotocopy izin usaha (Surat Izin Usaha PerdaganganSIUP, Tanda Daftar Perusahaan TDP, Tanda Daftar Industri TDI, Izin GangguanHO, dan Nomor Pokok wajib PajakNPWP), pasfoto ukuran 4 x 6 (suami dan istri). Jika persyaratan administrasi sudah lengkap dan pengajuan pembiayaan disetujui, proses pencairan pembiayaan dapat dilakukan dalam waktu 1 – 2 minggu. Tetapi jika persyaratan administrasi tidak lengkap, maka pembiayaan baru dapat dicairkan sekitar 1 bulan kemudian. Proses pencairan biasanya dilakukan secara sekaligus. Tetapi untuk pembiayaan dengan nilai lebih dari Rp 50.000.000,- dapat dilakukan secara bertahap (2 kali pencairan).

  Motivasi pihak bank dalam membiayai usaha jamu tradisional adalah karena usaha ini layak dibiayai dan menguntungkan. Selain itu juga karena Kabupaten Sukoharjo merupakan sentra usaha jamu tradisional sehingga bila berkembang dengan baik berpotensi sebagai sumber pendapatan asli bagi daerah, memperluas kesempatan kerja, dan mengembangkan potensi daerah. Dari awal pengajuan pembiayaan sampai pelaksanaan usaha, pihak bank juga sering memberikan konsultasi manajemen kepada pengusaha, sehingga usaha jamu tradisional yang dilakukan dapat berjalan lancar dan lebih berkembang.

  Secara umum, pola pembiayaan usaha industri jamu tradisional dapat berasal dari pengusaha sendiri maupun dari bank dengan proporsi yang sangat beragam antar pengusaha, tetapi pada umumnya adalah sebesar

  30 dari dana total harus merupakan dana sendiri. Selain itu, jaminan tambahan yang dipersyaratkan adalah sertifikat tanahbangunan tempat usaha, tabungandeposito calon debitur ataupun kombinasi antara tabungan dan cash collateral.

  Merujuk pada perkembangan perbankan syariah, maka pada buku ini salah satu produk syariah yang digunakan untuk pembiayaan usaha industri jamu tradisional adalah murabahah (jual beli).

  Kriteria yang menjadi pertimbangan bank dalam melakukan analisis pembiayaan kepada nasabah adalah 5C, yaitu character (watak), capacity (kemampuan), capital (permodalan), collateral (jaminan) dan condition (kondisi).

  Analisis pembiayaan dengan prinsip 5C menekankan pada aspek karakter calon mudharib. Namun mengingat karakter sulit dinilai, biasanya didasarkan pada aspek jaminan. Disamping itu prospek pemasaran dan sistem pembayaran dalam usaha juga tetap menjadi perhatian penting karena aspek pemasaran diakui merupakan faktor penting yang mempengaruhi kelayakan usaha tersebut.

3. Aspek Pemasaran

  a. Permintaan Penawaran Kecenderungan masyarakat Indonesia maupun mancanegara saat ini dalam

  mengkonsumsi sesuatu adalah kembali ke alam (back to nature). Kondisi tersebut merupakan suatu peluang yang cukup besar dalam hal obat bahan alam untuk menggantikan obat modernobat kimia walaupun belum dapat menggantikannya secara penuh. Sampai saat ini belum ada data pasti baik dari Deperindag maupun BPS mengenai jumlah permintaan jamu secara nasional maupun ekspor,

  Industri jamu nasional membukukan omzet penjualan sekitar Rp 3.200.000.000.000,- hingga Rp 3.500.000.000.000 pada tahun 2004 atau naik sekitar 15 - 20 dibandingkan dengan tahun 2003 (www.bexi.co.id). Data lain menyebutkan bahwa walaupun market share atau pangsa pasar obat alami belum sebesar obat modernobat kimia, tetapi potensi peningkatannya cukup pesat. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1. berikut ini.

  Tabel 3.1. Perbandingan Permintaan Antara Obat Modern dan Obat Alami

  Obat Modern

  Obat Alami

  Market share

  Tahun 2003 Perkiraan Tahun

  Market share

  Tahun 2010

  Sumber: LIPI dalam www.bexi.co.id, 2005

  Selain permintaan untuk pasar domestik, permintaan dari pasar mancanegara untuk produk jamu juga sudah mulai bermunculan. Walaupun permintaan ekspor ini baru dapat dipenuhi oleh pengusaha jamu yang cukup besar. Data pasti mengenai keseluruhan permintaan dari mancanegara juga belum ada, yang ada hanya data mengenai peningkatan ekspor salah satu produsen jamu yang mencapai 80 - 100 selama tiga tahun terakhir (www.bexi.co.id).

  Dari pengusaha jamu tradisional di Kecamatan Nguter, dapat diketahui bahwa jenis konsumen atau kelompok pembelinya adalah konsumen langsung (rumah tangga), pedagang pengumpul, dan pengecer. Jumlah persentase terhadap omzet untuk setiap jenis konsumen adalah 20 untuk konsumen langsung, 40 untuk pedagang pengumpul, dan 40 untuk Dari pengusaha jamu tradisional di Kecamatan Nguter, dapat diketahui bahwa jenis konsumen atau kelompok pembelinya adalah konsumen langsung (rumah tangga), pedagang pengumpul, dan pengecer. Jumlah persentase terhadap omzet untuk setiap jenis konsumen adalah 20 untuk konsumen langsung, 40 untuk pedagang pengumpul, dan 40 untuk

  Tabel 3.2. Pembagian Daerah Penjualan Jamu Tradisional Nguter

  Daerah Penjualan

  Nama Daerah

  Dalam Kecamatan

  Nguter

  Dalam Kabupaten

  Sukoharjo

  Dalam Propinsi

  Wonogiri, Karanganyar, Sragen Bogor, Cirebon, Banjarmasin, Balikpapan,

  Antar Propinsi

  Palu, Gorontalo, Aceh, Sintang, Medan, Kupang, Ternate

  Ekspor

  Malaysia, Filipina Sumber : Data Primer, 2005

2. Penawaran

  BPS dan Deperindag belum dapat menyajikan data mengenai total penawaran dan perkembangan produksi jamu tradisional. Menurut pengusaha jamu tradisional Nguter, hampir semua produk jamu yang dihasilkan habis terserap oleh pasar. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah penawaran hampir sama dengan jumlah permintaan atau setidaknya belum ada kelebihan pasokan. Apabila jumlah permintaan meningkat, pengusaha masih dapat meningkatkan kapasitas produksinya. Untuk saat ini, kapasitas produksi pengusaha jamu tradisional di Kecamatan Nguter adalah sekitar 12 ton bahan baku yang menghasilkan 9,6 ton atau 9.600 kg serbuk jamu per bulan, dengan potensi peningkatan produksi dari tahun ke tahun dapat mencapai 25. Potensi peningkatan ini didukung pula oleh ketersediaan pasokan bahan baku yang memadai.

  b. Persaingan dan Peluang Menurut data, pada tahun 2003 industri jamu nasional diperkirakan memiliki

  omzet senilai Rp 2.500.000.000.000,-. Omzet sebesar itu diperebutkan oleh tidak kurang dari 650 perusahaan jamu besar dan kecil. Sangat jauh dibandingkan industri farmasi yang hanya memiliki 250 pemain tetapi dengan omzet Rp 16.000.000.000.000,- sampai Rp 18.000.000.000.000,-. Dengan demikian, persaingan yang terjadi untuk jamu nasional cukup ketat (www.Sinar harapan.co.id). Untuk pasar ekspor, pesaing terberat untuk produk jamu adalah Cina dan Malaysia. Karena Cina adalah produsen jamu tertua di dunia dan harga produk jamunya jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga jamu dari Indonesia.

  Di wilayah Kecamatan Nguter, persaingan yang terjadi cukup ketat karena jumlah pengusaha jamu semakin banyak. Saat ini terdapat 15 sampai 20 pengusaha di Kecamatan Nguter dan Sukoharjo, ditambah dengan agen penjualan dan pedagang jamu yang jumlahnya dapat mencapai 60 orang. Kondisi tersebut ditambah lagi dengan mulai adanya kios-kios jamu di luar daerah. Walaupun demikian, persaingan usaha yang terjadi masih dapat dikatakan sehat.

  Untuk dapat memenangkan persaingan, setiap pengusaha harus cukup kreatif dan mempunyai strategi dalam meningkatkan kualitas produk dan meningkatkan penjualan. Karena walaupun persaingan yang terjadi cukup ketat dibandingkan sebelumnya, tetapi permintaan pasar masih tetap ada dan cenderung meningkat. Sehingga usaha jamu tradisional ini masih dapat dikatakan memiliki prospek yang cukup baik. Strategi usaha yang dapat dilakukan adalah senantiasa melakukan peningkatan kualitasmutu jamu, peningkatan kualitas kemasan, dan mencari bahan baku yang murah dan berkualitas baik. Selain itu, dapat juga dilakukan pendekatan atau lobi-lobi untuk perluasan pasar, melakukan promosi yang gencar seperti pengadaan bonus, potongan harga, kemudahan pembayaran, dan yang paling penting adalah membangun loyalitas dan komitmen pada konsumen. Selain promosi yang telah disebutkan di atas, promosi juga dapat dilakukan dengan cara beriklan di media lokal seperti di radio ataupun koran lokal. Hal ini perlu dilakukan mengingat persaingan yang cukup ketat dan semakin banyaknya pesaing tidak langsung seperti produsen suplemen herbal dan lain-lain. Pada perhitungan keuangan, biaya promosi tersebut diasumsikan sebesar Rp 1.000.000,- - Rp 2.000.000,- per tahun (Lampiran 9 - 16).

  c. Harga Harga jual untuk produk jamu tradisional yang diproduksi pengusaha di

  Kecamatan Nguter pada umumnya tidak terlalu mahal, yaitu berkisar antara Rp 850 sampai dengan Rp 5.000 per pak. Satu pak umumnya terdiri dari 10 sachet yang berisi serbuk jamu. Tetapi ada juga serbuk jamu yang tidak dijual per pak atau per sachet melainkan dijual per kg. Harganya adalah berkisar antara Rp 4.000 sampai dengan Rp 40.000 per kg. Penentuan harga jamu sangat ditentukan terutama oleh harga bahan baku dan harga kemasan (kertas dan plastik). Walaupun bahan baku relatif mudah didapat dari dalam negeri, tetapi kemasan yang digunakan ada yang berasal dari luar negeri. Sehingga untuk ke depannya perlu dicari jenis kemasan yang merupakan produksi dalam negeri.

  Harga jual produk jamu dari tahun ke tahun mengalami peningkatan sekitar

  10 sampai dengan 25 disesuaikan dengan peningkatan biaya produksi. Perubahan harga dari waktu ke waktu untuk beberapa jenis produk dapat dilihat pada Lampiran 7.

  Volume penjualan produk jamu tradisional per bulannya cenderung berfluktuasi. Biasanya saat Lebaran dan hari-hari besar atau hari libur Volume penjualan produk jamu tradisional per bulannya cenderung berfluktuasi. Biasanya saat Lebaran dan hari-hari besar atau hari libur

  Sistem pembayaran yang diterapkan untuk proses penjualan jamu berbeda- beda tergantung siapa pembelinya, lokasi pembeli, jumlah produk yang dibeli dan tingkat kepercayaan pengusaha kepada pembeli tersebut. Pada umumnya sistem pembayarannya adalah kontan terutama untuk konsumen langsung. Tetapi pembayaran juga dapat dilakukan setelah pengiriman barang, setelah barang laku terjual ataupun pada pengiriman berikutnya, bahkan setelah 1 bulan pengiriman baru dibayar. Oleh karena itu ada biaya pemasarandistribusi yang dikeluarkan yang diperlukan untuk mengirim barang ke lokasi konsumen. Pada perhitungan keuangan, biaya pemasarandistribusi tersebut diasumsikan sebesar Rp 2.000.000,- per tahun (Lampiran 9 - 16).

  d. Jalur Pemasaran Penjualan produk pengusaha jamu tradisional di Kecamatan Nguter

  Kabupaten Sukoharjo saat ini dilakukan oleh pengusaha sendiri ataupun melalui agen penjualan. Jalur pemasaran produk jamu tradisional dapat digambarkan sebagai berikut :

  Gambar 3.1. Jalur Pemasaran Produk Jamu

  Pengusaha jamu mendapatkan bahan baku yang biasa disebut simplisia dari pemasok yaitu para pengepulpengumpul. Sedangkan hasil produksi yaitu produk jamu dapat dijual melalui agen penjualan, melalui pedagang pengumpul, ataupun langsung dijual ke konsumen rumah tangga konsumen langsung.

  Pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo melakukan kemitraan dengan pengepul dan agen penjualan walaupun tidak diikat dalam suatu perjanjian tertulis. Jenis kemitraan ini berbentuk dagang umum. Manfaat yang didapat dari adanya kemitraan ini adalah adanya kemudahan proses penjualan karena sudah rutin dilaksanakan, peningkatan omzetvolume produksi, pengembangan usaha, serta publikasi yang jelas dan menambah pelanggan.

  e. Kendala Pemasaran Pengusaha tidak mengalami kendala yang berarti dalam menjual jamu

  tradisional karena pelanggannya sudah pasti dan cenderung rutin. Tetapi jika persaingan sudah semakin ketat, perlu dilakukan diversifikasi produk dan modifikasi kemasan agar dapat menarik pelanggan. Tantangan lain yang dirasakan adalah sikap dari dunia medis yang belum sepenuhnya menerima jamu dan obat bahan alam sebagai alternatif pengobatan. Selain itu juga masih banyaknya produk jamu hasil produksi pengusaha di Kecamatan Nguter yang belum mendapatkan izin edar dari Balai Besar Pengobatan Obat dan Makanan (POM-TR) yang artinya adalah belum teruji lulus standar kesehatan yang ditetapkan, sehingga peluang untuk ekspor masih sangat kecil

4. Aspek Produksi

  a. Lokasi Usaha Lokasi usaha jamu tradisional yang disurvey terletak di Desa Nguter

  Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. Kabupaten Sukoharjo khususnya Kecamatan Nguter merupakan sentra usaha dan penjualan jamu tradisional yang cukup terkenal di Indonesia. Lahan yang dijadikan usaha merupakan sebagian dari rumah pengusaha, sehingga pemilihan lokasi usaha lebih disebabkan karena memang sudah memiliki lahan di tempat tersebut.

  Untuk dapat menghasilkan jamu tradisional yang berkualitas baik dan aman untuk dikonsumsi, pemilihan lokasi usaha menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Menurut Badan POM (2002), ketentuan-ketentuannya adalah sebagai berikut :

  a. Lokasi pabrikindustri Lokasi bebas dari pencemaran dan tidak mencemari lingkungan.

  b. Bangunan pabrik

  

  Mempunyai konstruksi yang baik dan mudahdibersihkan.

  

  Ruangan sesuai dengan urutan prosespembuatan sertamempunyai penerangan dan ventilasi yang cukup.

  

  Peralatan sesuai kebutuhan dan menjaminkeamanan, mutu dan keseragaman bobot.

  c. Fasilitas untuk pengendalian kebersihan

  

  Harus mempunyai sarana penyediaan airbersih.

  

  Harus mempunyai sarana pembuangan airselokan dankotoran.

  

  Harus mempunyai sarana toilet dan saranacucitangan bagi karyawan.

  d. Menjaga kebersihandan kesehatan terhadapkaryawan, lingkungan, dan kebersihan peralatan proses produksi.

  b. Fasilitas Produksi dan Peralatan

  Untuk memproduksi jamu tradisional dengan kapasitas sekitar 9.600 kg serbuk jamu per bulan dibutuhkan fasilitas dan peralatan produksi sebagai berikut yang disajikan pada Tabel 4.1. Setiap fasilitas dan peralatan produksi yang digunakan harus selalu berada di tempatnya masing-masing. Peralatan produksi tersebut juga harus digunakan dalam keadaan bersih dan higienis.

  Tabel4.1 Fasilitas Produksi dan Peralatan

  No Jenis Peralatan

  1 Timbangan duduk

  Buah

  2 Timbangan kecil

  Buah

  3 Mesin penggerak

  Buah

  4 Mesin penggiling

  Buah

  5 Mesin penyaring

  Buah

  6 Alat pengepres

  Buah

  7 Alat pengukur kadar air

  Buah

  8 Alas sortirterpal

  9 Alat sortirtampah

  Buah

  10 Rak besar

  12 Ember besarwadah

  Buah

  13 Tampah penyimpanan

  Buah

  Sumber : Data Primer, 2005

  c. Bahan Baku Bahan baku pembuatan jamu tradisional disebut sebagai simplisia. Simplisia

  yang digunakan adalah dalam bentuk kering sehingga tidak diperlukan proses pencucian dan pengeringan lagi. Dengan demikian, tidak diperlukan bak penampungan air. Proses pengeringan pun dilakukan oleh pemasok bahan baku. Simplisia yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat jamu tradisional sangat banyak dan beragam. Komposisinya sangat ditentukan oleh jenis jamu tradisional yang akan dihasilkan. Dari pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo, dapat dilihat jenis bahan baku yang digunakan serta manfaat dari setiap jenis, yang disajikan pada Tabel 4.2. berikut ini.

  Bahan baku tersebut diperoleh dari pemasok luar (pengumpul) dalam bentuk kering yang berasal dari Wonogiri, Purwokerto, Purworejo, Ambarawa, dan Jawa Timur. Bentuk bahan baku tersebut dapat berupa daun maupun rimpang. Proses pembelian dapat dilakukan setiap panen raya, yaitu sekitar bulan Juli - Agustus setiap tahun. Tetapi pembelian dapat juga dilakukan setiap bulan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi segala resiko yang mungkin terjadi apabila stok bahan baku disimpan dalam jumlah besar untuk kebutuhan produksi satu tahun. Resiko yang mungkin terjadi adalah resiko kehilangan, resiko kerusakan ataupun resiko peningkatan kadar air. Pada umumnya pasokan bahan baku tersebut lancar sehingga tidak mengganggu proses produksi.

  Tabel 4.2. Jenis Bahan Baku yang Digunakan

  Karminatif, batuk, encok, kolik, demam Karminatif, stimulan, diaforetika, tumor kulit

  2 Jahe

  dan leukimia

  3 Kencur

  Batuk, roboran, sakit perut

  4 Kunit

  Kholagogum, diare, karminatif, skabisid

  5 Laos

  Karminatif, antifungi, sakit perut, malaria Menambah pengeluaran empedu, kolagog,

  6 Temulawak

  sembelit, ambeien, diare Kanker payudara, prostat, usus besar, diabet,

  7 Sambiloto

  hepato, darah tinggi Karminatif, stomakik, disentri, mencret, kepala

  Karminatif, diare Batuk, bisul, bau badan, gusi berdarah, sakit

  10 Daun sirih

  gigi, mengurangi produksi susu - Daun : astringen, disentri, laktagoga, demam,

  batuk,

  malaria

  11 Tapal liman

  - Akar : Malaria, kurang darah, batuk, mencret, sariawan

  12 Kayu manis

  Karminatif, pewangi

  13 Kayu pule

  Demam, tonikum, kembung Karminatif, mulas, corigen saporis, batuk,

  14 Adas

  sariawan

  15 Kayu secan

  Diare, pembersih darah, sipilis

  16 Pulosari

  Demam, sariawan, disentri, karminatif, spasmo

  17 Ginseng

  Obat kuat - Buah : Obat cacing, disentri, astringen

  18 Delima

  - Bunga : Radang selaput lendir gusi Menghilangkan

  lendir,

  keputihan dan

  19 Kayu rapat

  merapatkan

  20 Jati Belanda

  Astringen, pelangsing, diare, batuk

  21 Lada hitam

  Karminatif, antiseptik, stimulan

  22 Cabe Jawa

  Stimulan, diaforetik, karminatif, obat gosok

  23 Pinang

  Obat cacing, keputihan, anti jamur Antipiretik, sakit perut, sakit kulit, tonikum,

  24 Brotowali

  sakit kuning, pegal-pegal

  Sumber : Data Primer, 2005 Kualitas bahan bakusimplisia akan sangat menentukan kualitas jamu yang

  dihasilkan. Oleh karena itu, pemilihan bahan baku yang berkualitas baik dihasilkan. Oleh karena itu, pemilihan bahan baku yang berkualitas baik

  Menurut Badan POM (2002), cara pengelolaan simplisia yang baik adalah sebagai berikut :

  Tabel 4.3. Bagan Alir Cara Pengelolaan Simplisia yang Baik

  Sarana Prasarana Pendukung yang Perlu

  Alir Proses

Diperhatikan

  - Sanitasihigiene

  Bahan baku

  - Timbangan

  simplisia

  - Wadah - Dokumentasi-penerimaan barang

  - Sanitasihigiene - Contoh simplisiapembanding

  Sortasi Basah

  - Wadahkeranjangkantong - Dokumentasi

  - Sanitasihigiene - Air pencuci

  Pencucian

  - Bakbak pencucialat pencuci - Alat penirisankeranjang - Dokumentasi

  - Sanitasihigiene - Alatmesin

  Perajangan

  - Ukuran - Dokumentasi

  - Sanitasihigiene - Cara alamiahbuatan

  Pengeringan

  - Tempattampahbedeng bambu plastik - Dokumentasi

  - Sanitasihigiene - Ruang tertutup

  Sortasi kering

  - Wadah hasil sortasi - Wadah kotoran - Dokumentasi

  - Sanitasihigiene - Pengepakan - Alatwadah

  Penyimpanan

  - Ruang tertutup, ventilasi cukup, sirkulasi udara cukup - Kelembaban dijaga

  - Dokumentasi - Sanitasihigiene

  - Timbangan, mikroskop - Organoleptik, makroskopik - Kadar air

  Pemeriksaan mutu

  - Cemaran mikroba - Cemaran jamur - Cemaran pestisida - Dokumentasi

  Sumber : Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan, 2002

  d. Tenaga Kerja

  Tenaga kerja yang digunakan pada industri jamu tradisional tidak memerlukan keahlian khusus karena teknologi yang digunakan masih sederhana. Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan tergantung pada kapasitas produksi yang digunakan. Dari informasi pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo, untuk kapasitas 9.600 kg serbuk jamu per bulan dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 20 orang. Tugastanggung jawab yang dilakukan adalah menyortir, meramu dan menggiling, mengayakmenyaring, mengisi jamu ke dalam kemasan, mengepres, dan menerima barang. Selain karyawan yang melakukan tugas-tugas tersebut, tenaga kerja juga meliputi manajerpemilik usaha yang bertanggung jawab terhadap jalannya usaha jamu tradisional secara keseluruhan.

  e. Teknologi Teknologi yang digunakan dalam proses produksi jamu secara umum dapat

  dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu tradisional dan modern. Pada teknologi yang tradisional, poses produksi yang dilakukan hanya sedikit menggunakan mesin, prosesnya relatif sederhana, dan produk yang dihasilkan dapat berupa serbuk atau cairan. Mesin yang dapat digunakan pada teknologi ini adalah mesin giling dan mesin penyaringan.

  Pada teknologi yang lebih modern, proses produksi dilakukan dengan menggunakan peralatanmesin yang lebih banyak, prosesnya lebih kompleks, dan produk yang dihasilkannya dapat berupa ekstrak jamu dan berbentuk pil atau kaplet. Mesin yang dapat digunakan pada teknologi yang lebih modern ini adalah ekstraktor, evaporator, aroma recovery, dan retrifikasi (pemurnian).

  f. Proses Produksi Proses produksi yang dilakukan pada industri jamu tradisional di

  teknologi yang

  relatifsederhanatradisional karena produk jamu yang dihasilkan adalah relatifsederhanatradisional karena produk jamu yang dihasilkan adalah

  a. Bahan baku datangdari pemasok dalam bentuk kering

  Foto 4.1.Bahan Baku Jamu

  b. Pengambilan sampel bahan baku, jika kualitasnya cocok maka dibeli

  c. Sortasi bahan baku Sortasibahan baku dilakukan untuk memisahkan bahan baku yang baik

  dengan yangtidak baik yang terlihat secara fisik, misalnya daun yang sudahlayu. Sortasi juga dilakukan untuk memisahkan benda asing yang mungkinterdapat dalam bahan baku tersebut, misalnya kotoran atau tanah.

  d. Pengukuran kadar air Menurutaturan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan, setiap industri

  jamuharus memiliki alat laboratorium, minimal alat untuk mengukur kadar airbahan baku jamu. Sebaiknya simplisia kering yang akan digunakan untukpembuatan jamu memiliki kadar air maksimal 11 . Jika ternyata kadarair

  11 maka dilakukan

  prosespengeringanpenjemuran. Tetapi proses pengukuran kadar air ini belumdilakukan oleh pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo.

  e. Penimbangan bahan baku sesuai kebutuhanmenggunakan timbangan duduk

  Foto 4.2. Timbangan Duduk

  f. Penggilingan simplisia menjadi serbuk Simplisia yang telah ditimbang digiling dengan menggunakan mesin

  penggiling yang digerakkan oleh mesin penggerak. Sebaiknya jenis atau ukuran pisau pada mesin penggiling yang digunakan untuk menggiling daun dan rimpang berbeda. Pisau pada mesin penggiling harus selalu diganti setiap 3 bulan untuk menjamin hasil gilingan selalu dalam ukuran yang seharusnya. Pada perhitungan keuangan, diasumsikan dalam setiap bulan ada pisau yang diganti untuk mesin penggiling yang berbeda, karena jumlah mesin penggiling yang digunakan lebih dari satu (pisau tidak diganti pada saat yang bersamaan untuk semua mesin penggiling). Harga pisau untuk menggiling daun dan rimpang diasumsikan sama (Lampiran 4).

  Foto 4.3. Proses Penggilingan

  g. Penyaringanpengayakan dengan saringan 120 mesh.

  Proses penyaringan dilakukan untuk menghasilkan serbuk dengan ukuran yang halus dan seragam. Dari proses penyaringan ini, pada umumnya serbuk yang tidak lolos adalah sekitar 15 - 20 .

  Foto 4.4. Proses penyaringan

  Foto 4.5. Serbuk Jamu Hasil Penyaringan

  h. Peramuanpencampuran sesuai kombinasi yang diinginkan Serbuk jamu yang telah disaring kemudian diramu dengan jumlah dan

  komposisi yang disesuaikan dengan jenis jamu yang akan dihasilkan. Proses peramuan pencampuran ini dilakukan secara manual.

  i. Pengukuran kadar air serbuk jamu

  Sebelum dikemas, sebaiknya dilakukan pengukuran kadar air serbuk jamu untuk menjamin tingkat kekeringan serbuk tersebut. Kualitas serbuk yang baik adalah yang memiliki kadar air tidak lebih dari 5 . Tetapi proses pengukuran kadar air ini juga belum dilakukan oleh pengusaha jamu tradisional di Kabupaten Sukoharjo.

  j. Pengemasan dalam bentuk sachet dan pak Serbuk jamu dimasukkan dengan ukuran rata-rata 7 - 8 gram ke dalam

  kemasan sachet kemudian dipres dengan alat pengepres dan dilakukan secara manual. Setiap 10 sachet dipak dalam kemasan plastik. Beberapa pak jamu dikemas lagi dalam plastik bening dengan ukuran besar. Beberapa jenis serbuk jamu tidak dikemas dalam bentuk sachet, tetapi dikemas secara kiloan dengan kemasan plastik yang lebih besar.

  Foto 4.6. Proses Pengemasan

  Foto 4.7. Alat Pengepres

  Foto 4.8. Jamu Ukuran Sachet

  Foto 4.9. Jamu yang Telah Dikemas

  k. Penyimpanan produk jadi sebelum dijual Jamu yang siap dijual disimpan terlebih dahulu dalam rak-rak besar secara

  teratur. Gudang penyimpanan jamu harus kering dan tidak lembab sehingga tidak menurunkan kualitas jamu yang telah dihasilkan. Rak-rak penyimpanan tidak boleh menempel pada dinding, tetapi harus ada sedikit jarak sehingga jamu tersebut tidak menjadi lembab.

  Foto 4.10. Rak Penyimpanan Jamu

  l. Distribusi produk jadi pada konsumen Merupakan proses penyampaian jamu tradisional dari produsen ke

  konsumen. Pada tahap ini pun harus diperhatikan aspek higienis dan pengaturan peletakannya,

  baik pada saat pengangkutan maupun

  penyimpanan di kiostoko. Sebagai perbandingan dengan proses produksi yang dilakukan pengusaha

  jamu tradisional di Sukoharjo, cara memproduksi serbuk yang baik menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan adalah sebagai berikut (Tabel 4.4.).

  Tabel 4.4. Bagan Alir Cara Produksi Serbuk yang Baik

  Sarana dan Prasarana Pendukung yang Perlu

  Aliran Proses

Diperhatikan

  Penyiapan bahan Lihat : Cara pengelolaan bahan bakusimplisia yang baku

  baik

  

  Alat ditera secara berkala

  

  Sanitasihigiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi

  Penimbangan

  

  Kebenaran hasil penimbangan

  

  Dokumentasi penimbangan

  

  Sanitasihigiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi

  Penggilingan

  

  Lama penggilingan

  

  Sanitasihigiene perlu diperhatikan untuk

  Pengayakan

  mencegah kontaminasi

  

  Teknik pengayakan yang tepat

  

  Sanitasihigiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi

  Pencampuran

  

  Lama pencampuran sampai homogen

  

  Sanitasihigiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi

  Lama pengeringan

  Pengawasan mutu (kadar air, Kromatografi Lapis Tipis)

  

  Sanitasihigiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi

  

  Alat pengemas

  Pengemasan

  

  Bahan pengemas

  

  Mutu hasil pengemasanuji kemasan

  

  Sanitasihigiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi

  

  Pengujian mutu (organoleptik, kadar air,

  Karantina

  keseragaman bobot, mikroba, pertumbuhan jamur)

  

  Sanitasihigiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi

  Penyimpanan

  

  Uji keawetan

  

  Obat siap untuk dipasarkan

  

  Sanitasihigiene perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi

  Distribusi

  

  Uji keawetan dan dimonitor

  Sumber : Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan, 2002 Obat bahan alam termasuk jamu yang diproduksi oleh industri obat bahan

  alam (IOT) maupun industri kecil obat bahan alam (IKOT) mempunyai persyaratan yang sama yaitu aman untuk digunakan, berkhasiatbermanfaat dan bermutu baik. Oleh karena itu semua usaha di bidang industri obat bahan alam harus dapat menerapkan Cara Pembuatan Obat bahan alam yang Baik (CPOTB) agar dapat menghasilkan obat bahan alam yang memenuhi syarat. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam menerapkan CPOTB adalah :

  1. Personalia

  2. Bangunan

  3. Peralatan

  4. Sanitasi dan higiene

  5. Penyiapan bahan baku

  6. Pengolahan dan pengemasan

  7. Pengawasan mutu

  8. Inspeksi diri

  9. Dokumentasi

  10. Penanganan terhadap hasil pemantauan produk di peredaran

  g. Jumlah, Jenis dan Mutu Produksi

  Produk jamu tradisional yang dihasilkan oleh pengusaha di Kabupaten Sukoharjo bermacam-macam jenisnya. Secara umum jenis jamu tersebut adalah jamu untuk kecantikan, perawatan tubuh, kesehatan dan pengobatan. Jamu tersebut berbentuk serbuk yang dikemas dalam kemasan sachet dengan ukuran rata-rata 7 - 8 gram per sachet dan dikemas dalam bentuk pak sehingga 1 pak terdiri dari 10 sachet. Tetapi ada juga serbuk yang dijual secara kiloan, tidak dalam bentuk sachet. Penentuan jumlah dan jenis jamu yang diproduksi adalah berdasarkan permintaan dan pengalaman dari penjualan sebelumnya.

  Jamu yang bermutu baik adalah jamu yang telah mendapatkan izin edar (POM-TR) dari Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) untuk

  setiap item produknya, sehingga ada

  jaminan keamanan dalam

  mengkonsumsi jamu tersebut. Setiap jenis bahan baku dan produk jadi diperiksa di laboratorium BBPOM. Tetapi bukan berarti jamu tradisional yang

  belum ada izin edarnya bermutu rendah. Jamu tersebut juga dapat berkualitas baik asalkan memperhatikan sanitasi dan higienis dalam setiap proses produksinya yaitu dari mulai penanganan bahan baku sampai distribusi produk jadi. Selain itu faktor kritis lain dalam menghasilkan jamu berkualitas baik adalah pemilihan bahan baku. Bahan baku yang digunakan haruslah bahan baku yang berkualitas baik sehingga akan menghasilkan jamu bermutu baik.

  h. Produksi Optimum Berdasarkan hasil survey pengusaha jamu tradisional di Kabupaten

  Sukoharjo, kapasitas usaha produksi optimum yang dapat dicapai adalah dengan mengolah bahan baku sekitar 12 ton per bulan atau setara dengan jumlah produk sebesar 9,6 ton (9.600 kg). Dengan demikian, rendemen produksi adalah sebesar 80 . Apabila terjadi peningkatan jumlah permintaan, maka dapat dilakukan lembur untuk menambah jam kerja.

  Dari 9.600 kg serbuk jamu yang dihasilkan, sebanyak 8.755 kg dikemas dalam bentuk sachet, sementara sisanya yaitu 845 kg dijual dalam bentuk kiloan. Pengisian serbuk ke dalam sachet diasumsikan 8,5 gram walaupun isi kemasan sachet adalah 7 - 8 gram. Hal ini disebabkan ada serbuk yang Dari 9.600 kg serbuk jamu yang dihasilkan, sebanyak 8.755 kg dikemas dalam bentuk sachet, sementara sisanya yaitu 845 kg dijual dalam bentuk kiloan. Pengisian serbuk ke dalam sachet diasumsikan 8,5 gram walaupun isi kemasan sachet adalah 7 - 8 gram. Hal ini disebabkan ada serbuk yang

  i. Kendala Produksi Kendala produksi yang dihadapi oleh pengusaha jamu tradisional di

  Kabupaten Sukoharjo adalah keterbatasan peralatan yang dimiliki. Contohnya adalah alat pengeprespengemas yang digunakan masih bersifat manual sehingga agak menghambat proses produksi.

  Kendala lain adalah sulitnya untuk mendapatkan izin edar dari BBPOM karena mahalnya biaya yang harus dikeluarkan yaitu untuk biaya pengujian serbuk

  jamu di laboratorium. Sebagai gambaran, biaya yang dikeluarkan untuk tes laboratorium untuk satu jenis produk adalah sekitar Rp 2.250.000 dan itu pun belum tentu lolos uji kesehatan. Hambatan lain untuk mendapatkan izin edar adalah kurang tersedianya apoteker untuk setiap pengusaha jamu. Idealnya satu apoteker bertanggung jawab untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap 5 pengusaha jamu. Menurut ketua KOJAI, di Kabupaten Sukoharjo hanya terdapat 3 apoteker sehingga perannya kurang optimal. Sebagai contoh, dari sekitar 75 jenis jamu yang diproduksi oleh pengusaha jamu tradisional, baru 9 jenis jamu yang sudah mendapatkan izin edar. Menurut data KOJAI, dari sekitar 60 anggota, yang sudah memiliki izin edar baru sekitar 15 pengusaha.

  Untuk kepentingan perhitungan keuangan, diasumsikan jenis item produk jamu yang diuji di laboratorium adalah 10 item produk per tahun. Sehingga biaya pengujian laboratorium selama satu tahun adalah sebesar Rp 22.500.000 per tahun (Lampiran 9 - 16). Sedangkan untuk biaya apoteker, karena satu apoteker bertanggung jawab untuk 5 pengusaha jamu, maka biaya satu apoteker ditanggung oleh 5 pengusaha. Diasumsikan biaya satu apoteker adalah Rp 3.000.000 per bulan, maka satu pengusaha mengeluarkan dana Rp 600.000 untuk biaya apoteker (Lampiran 4).

5. Aspek Keuangan

  a. Fleksibilitas Produk Pembiayaan Syariah

  Analisa aspek keuangan membantu pihak muhal atau shahibul maal (Lembaga Keuangan SyariahLKS) memperoleh gambaran tentang prospek usaha yang akan dibiayai. Aspek keuangan juga dapat membantu pihak muhil atau mudharib (pengusaha) dalam mengelola dana pembiayaan untuk usaha bersangkutan.

  Berbeda dengan produk pembiayaan konvensional yang hanya mengenal satu macam produk yaitu pembiayaan dengan sistem perhitungan suku bunga, pada pola syariah mempunyai keragaman produk pembiayaan dan perhitungan keuntungan (perolehan hasil) yang fleksibel.

  Untuk produk syariah banyak ragamnya, diantaranya mudharabah, musyarakah, salam, istishna, ijarah dan murabahah (Lampiran 1). Dari produk tersebut, setiap produk juga masih mempunyai turunannya. Oleh karena itu, pada pola pembiayaan syariah satu usaha bisa memperoleh pembiayaan lebih dari satu macam produk.

  Sedangkan untuk menghitung tingkat keuntungan yang diharapkan bisa menggunakan sistem margin atau nisbah bagi hasil. Margin merupakan selisih harga beli dengan harga jual sebagai besar keuntungan yang diharapkan. Nisbah bagi hasil adalah proporsi keuntungan yang diharapkan dari suatu usaha. Pada perhitungan nisbah bagi hasil dapat menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharingPLS) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing).Profit sharing, nisbah bagi hasil diperhitung - kan setelah dikurangi seluruh biaya (keuntungan bersih). Sementara revenue sharing perhitungan nisbah berbasis dari pendapatan usaha sebelum dikurangi biaya operasionalnya.

  Keragaman produk pembiayaan dan perhitungan tingkat keuntungan ini dapat memberi keluwesanfleksibilitas baik untuk pihak shahibul maal maupun mudharib untuk memilih produk pembiayaan yang sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya masing-masing. Bagi pihak shahibul maal, pemilihan ini dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan dan tingkat resiko terhadap nasabah dan usahanya. Sehingga bisa terjadi untuk usaha yang sama, mendapat produk pembiayaan maupun besaran margin atau nisbah per nasabahnya berbeda.

  b. Pola Usaha

1. Karakteristik Usaha Industri Jamu Tradisional

  Industri jamu tradisional, hasil peroduksinya dipengaruhi oleh pasokan bahan baku simplesia (bahan jamu yang sudah dikeringkan). Menurut informasi yang diperoleh dari pelaku usaha industri jamu tradisional, sejauh ini mereka tidak mengalami kesulitan untuk memperolehnya. Pelaku usaha, lebih menyukai membeli bahan baku secara bulanan dari pada membeli pada saat panen raya tanaman bahan jamu agar kualitas bahan baku terjamin (kadar air maksimal 5).

  Sedangkan untuk pasar hasil jamu tradisional, pada lokasi penelitian, disampaikan bahwa permintaan akan produk jamu meningkat 25 per tahun. Pengusaha jamu di wilayah Nguter, Kabupaten Sukoharjo sudah mempunyai pelanggan yang pasti (captive market). Hal ini dapat diketahui bahwa sebesar 80 produknya terserap oleh pelanggan tetapnya dan sisanya diperuntukkan bagi pelanggan tidak tetapnya. Dengan demikian, berdasarkan pasarnya, usaha industri jamu tradisional tingkat resiko relatif kecil. Oleh sebab itu, usaha industri jamu tradisional memiliki propek untuk dikembangkan.

2. Pola Pembiayaan

  Pola usaha yang dipilih adalah usaha industri jamu tradisional yang hanya menggunakan mesin penggiling dan alat pengayakpenyaring dalam proses produksinya, yang menghasilkan produk jamu berbentuk serbuk atau bubuk.

  Usaha jamu tradisional ini masih memiliki prospek yang baik karena Indonesia sangat kaya akan bahan baku jamusimplisia sehingga tidak memiliki ketergantungan impor. Selain itu, proses dan teknologinya relatif sederhana sehingga tidak memerlukan tenaga kerja yang memiliki keterampilankeahlian khusus. Kecenderungan masyarakat domestik dan mancanegara untuk mengkonsumsi sesuatu yang alami semakin menguatkan potensi usaha jamu tradisional ini.

  Sedangkan merujuk pada sistem keuangan syariah yang mempunyai banyak ragam produk pembiayaan, maka pada aspek keuangan ini akan disajikan contoh produk pembiayaan dengan cara murabahah (jual beli) baik untuk pembiayaan investasi maupun untuk pembiayaan modal kerja, juga untuk pembiayaan usaha baru (start up) ataupun usaha yang sudah berjalan (running). Pertimbangannya adalah karena produk ini sudah banyak diterapkan dalam praktek oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan masyarakat pemakai pun sudah mengenal serta mengakses pola pembiayaan tersebut.

  Produk murabahah juga sebagai upaya untuk mitigasi resiko baik terhadap usaha maupun nasabah, karena pada produk pembiayaan ini margin secara Produk murabahah juga sebagai upaya untuk mitigasi resiko baik terhadap usaha maupun nasabah, karena pada produk pembiayaan ini margin secara

  Pada contoh perhitungan, akan disampaikan pembiayaan untuk membeli komponen-komponen tertentu. Contoh yang disajikan terdiri dari dua alternatif yaitu pertama, untuk usaha baru (start up) dengan pembiayaan investasi untuk pengadaan kendaraan, mesin dan peralatan industri jamu, dalam jangka waktu 5 (lima) tahun serta pembiayaan modal kerja guna membeli bahan baku dalam jangka waktu dua tahun. Kedua adalah usaha yang sudah berjalan (running) untuk pembiayaan modal kerja bagi pembelian bahan baku jamu tradisional dengan jangka waktu satu tahun.