Hubungan Durasi Perdarahan Haid dan Kadar Hemoglobin pada Mahasiswi Stambuk 2014 Fakultas Kedokteran Universitass Sumatera Utara

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Haid ( Menstruasi )

2.1.1 Definisi

Menstruasi adalah perdarahan uterus yang terjadi secara siklik dan dialami oleh sebagian besar wanita usia produktif (Norwitz dan Schorge, 2008). Usia produktif wanita dicirikan dengan perubahan ritmik bulanan hormon kewanitaan dan perubahan fisik di ovarium dan organ seksual lainnya, yang disebut siklus seksual bulanan wanita atau siklus menstruasi. Siklus tersebut rata-rata berlangsung selama 28 hari (Guyton, 2006). Onset menstruasi, yang disebut menarke, terjadi pada usia rata-rata 12 tahun (Norwitz dan Schorge, 2008). Durasi siklus menstruasi normal bervariasi antara 21 sampai 35 hari, dengan perdarahan yang berlangsung 4-6 hari dan volume darah yang keluar rata-rata 35 mL. (Berek dan Novak, 2007; Speroff dan Fritz, 2005).

Menurut Hanafiah (2009) dalam Maghfirani (2012), panjang siklus haid ialah jarak antara tanggal mulainya haid yang lalu dan mulainya haid berikut. Hari mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus. Karena jam mulainya haid tidak diperhitungkan dan tepatnya waktu keluar haid dari ostium uteri eksternum tidak dapat diketahui, maka panjang siklus mengandung kesalahan kurang lebih satu hari.

2.1.2 Fisiologi Siklus Menstruasi

Siklus menstruasi normal dapat dibagi atas dua berdasarkan organ terjadinya fase dalam siklus menstruasi menjadi siklus ovarium dan siklus uterus. Adapun siklus ovarium dapat dibagi lagi menjadi fase folikular, ovulasi, dan fase luteal. Sedangkan siklus uterus dibagi menjadi fase menstruasi, fase proliferasi, dan fase sekretori. Pada fase- fase tersebut terjadi perubahan hormonal yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini :


(2)

Gambar 2.1 Siklus Menstruasi Sumber: Berek dan Novak (2007)

Pada fase folikuler, terjadi proses perkembangan folikel ovarium menuju kematangan sebagai persiapan untuk ovulasi. Durasi rata-rata fase folikular manusia adalah 10 hingga 14 hari. Keberagaman durasi fase inilah yang menyebabkan variasi dari panjang siklus menstruasi. Folikel yang matang kemudian dilepaskan dari ovarium menuju uterus pada saat ovulasi. Sedangkan fase luteal adalah masa di antara ovulasi dan onset menstruasi siklus berikutnya yang berlangsung sekitar 14 hari. Pola variasi ovarium, uterus, dan hormonal selama siklus menstruasi dapat dijelaskan sebagai berikut :


(3)

- Pada setiap awal siklus bulanan, level steroid gonadal adalah rendah dan sudah mengalami penurunan sejak akhir fase luteal dari siklus sebelumnya.

- Degenerasi korpus luteum mengakibatkan kenaikan level Follicular Stimulating Hormone (FSH) dan merangsang pertumbuhan folikel, yang masing-masing mensekresikan estrogen dengan level yang meningkat seiring pertumbuhan folikel pada fase folikular. Kenaikan level estrogen ini pulalah yang memicu proliferasi endometrium.

- Kenaikan level estrogen selanjutnya mengakibatkan umpan balik negatif pada sekresi FSH di pituitary. Selain itu, folikel yang sedang berkembang memproduksi inhibin-B yang juga menurunkan sekresi FSH di pituitary. Sebaliknya, level Luteinizing Hormone (LH) pada awalnya menurun akibat kenaikan level estrogen, namun kemudian meningkat tajam pada akhir fase folikular (respon bifasik).

- Di akhir fase folikular (tepat sebelum ovulasi), reseptor LH yang diinduksi oleh FSH (FSH-induced LH receptors) ditemukan di sel –sel granulose dan memodulasi sekresi progesterone.

- Stimulasi estrogen derajat tertentu menstimulasi lonjakan LH yang menjadi penyebab terjadinya ovulasi sekitar 24 hingga 36 jam berikutnya. Dengan kata lain, ovulasi adalah masa transisi antara fase luteal dan sekretori.

- Level estrogen menurun pada awal fase luteal mulai sebelum ovulasi hingga pertengahan fase luteal lalu naik kembali saat korpus luteum, yang mensekresikan inhibin-A dilepaskan.

- Level progesteron naik secara cepat setelah ovulasi dan menjadi penanda bahwa ovulasi telah berlangsung.

- Progesteron, estrogen, dan inhibin-A bekerja secara sentral untuk menghambat sekresi gonadotropin dan perkembangan folikel baru. Level hormon-hormon ini tetap naik selama folikel berbentuk korpus luteum dan menurun seiring degenerasinya (Berek dan Novak, 2007)


(4)

2.1.3 Ovulasi

Ovulasi adalah pengeluaran oosit sekunder dari folikel de Graaf (Dorland, 2012). Ovulasi merupakan hasil kerjasama yang kompleks antara sentral (hipotalamus, hipofisis), umpan balik yang baku dan perifer (ovarium) atau yang dikenal sebagai sumbu H-H-O. Adapun sebenarnya sumbu H-H-O sudah ada sejak janin wanita di dalam uterus ibunya pada umur kehamilan sekitar 20 minggu tetapi kemudian tertekan dan baru muncul lagi saat pubertas (Samsulhadi dan Hendarto, 2009).

Pada umur kehamilan sekitar 20 minggu, janin wanita mempunyai cadangan oosit 6-7 juta, jumlah paling banyak sepanjang hidupnya. Pada saat itu sudah ada pertumbuhan folikel sekalipun sumbu H-H-O tertekan dan pertumbuhan folikel berakhir dengan atresia. Hal ini menyebabkan jumlah oosit semakin menurun dan tinggal sekitar 2 juta saat lahir dan sekitar 300-500 ribu saat menarke dan sangat sedikit saat menopause. Cadangan oosit disebut juga sebagai cadangan primordial. Saat pubertas, sumbu H-H-O aktif kembali dan memungkinkan pertumbuhan folikel sampai ovulasi (Samsulhadi dan Hendarto, 2009).

Hipotalamus menghasilkan Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) yang disekresikan secara pulsasi pada setiap fase sepanjang siklus ovulasi. Ditingkat hipofisis, pulsasi sekresi GnRH ini akan memicu sekresi gonadotropin secara pulsasi juga. Pada awal siklus, sekresi FSH lebih dominan dari LH namun pada akhir fase folikuler terjadi peningkatan frekuensi sekresi LH yang mengakibatnya sekresi LH lebih dominan. Pada fase luteal terjadi penurunan sekresi FSH dan LH namun sekresi LH tetap lebih dominan. Sekresi GnRH yang selalu dalam rentang baku seperti di atas menghasukan umpan balik sumbu H-H-O yang baku dengan hasil akhir ovulasi dan siklus haid yang teratur (Samsulhadi dan Hendarto, 2009). Lonjakan gonadotropin (LH lebih dominan dari FSH) dan sedikit peningkatan sekresi progesterone mempunyai peran yang sangat penting pada proses ovulasi, maturasi oosit dan ‘pecahnya’ dinding folikel. Umpan balik H-H-O adalah baku, diawali kadar estrogen yang rendah pada permukaan siklus dan estrogen yang cukup tinggi saat menjelang ovulasi. Pola ini memandu sekresi gonadotropin yang


(5)

fisiologis selama satu siklus. Pada tingkat endometrium, ovulasi yang teratur setiap bulan dengan sekresi estrogen dan progesteron yang teratur akan menghasilkan siklus haid yang teratur pula (Samsulhadi dan Hendarto, 2009).

Gambar 2.2 Lonjakan LH saat Ovulasi Sumber: Hart et al.,(2000)


(6)

Gambar 2.3 Perkembangan Folikel Sumber: Hart et al. (2000)

2.1.4 Siklus Uterus

Seiring dengan terjadinya perubahan hormonal di ovarium, terjadi pula perubahan histologis yang siklik pada endometrium uterus. Perubahan tersebut dapat dilihat secara jelas pada kelenjar endometrium dan stroma. Adapun bagian endometrium yang mengalami perubahan secara siklik adalah 2/3 bagian superfisialnya. Bagian yang disebut decidua functionalis ini berproliferasi dan kemudian luruh pada tiap siklus bila tidak terjadi kehamilan. Bagian paling dalam dari endometrium, yang disebut decidua basalis tidak akan mengalami perubahan siklik tiap bulannya namun berperan penting pada siklus menstruasi sebagai sumber regenerasi jaringan endometrial setelah haid (Berek dan Novak, 2007).

2.1.4.1 Fase Proliferasi

Fase proliferasi ditandai dengan pertumbuhan mitotik decidua functionalis yang progresif sebagai upaya persiapan implantasi embrio bila terjadi kehamilan, sebagai respon terhadap peningkatan level estrogen. Di awal fase ini, tebal endometrium hanyalah sekitar 1-2 mm. Jaringan endometrium yang awalnya tegak dan pendek berubah menjadi lebih panjang. Selain itu, epitelnya yang semula berbentuk low columnar di awal fase berubah menjadi pseudostratified


(7)

sebelum ovulasi. Selama masa ini, bagian stroma tersusun rapat dan struktur vaskuler jarang terlihat (Berek dan Novak, 2007).

Gambar 2.4 Ilustrasi Endometrium saat Fase Proliferasi Sumber : Hart et al.(2000)

2.1.4.2 Fase Sekretori

Pada siklus 28 hari, ovulasi terjadi pada hari ke-14. Dalam 48 hingga 72 hari setelah ovulasi, onset progesteron memicu perubahan endometrium secara histologi dimana terlihat adanya sekret eosinofilik kaya protein pada lumen. Bertolak belakang dengan fase proliferasi, fase sekretori ditandai dengan efek seluler progesteron dan estrogen. Secara umum, efek progesteron bersifat antagonis terhadap efek estrogen, dan terdapat penurunan progresif konsentrasi reseptor estrogen di endometrium. Pada hari ke 6-7 pasca ovulasi, aktivitas sekretori berada pada puncaknya dan endometrium telah siap secara optimal untuk implantasi blastokista. (Berek dan Novak, 2007).


(8)

2.1.4.3. Menstruasi

Bila tidak terjadi implantasi, sekresi glandular akan berhenti, dan terjadi peluruhan decidua functionalis. Proses peluruhan inilah yang dikenal sebagai haid, dimana lisisnya korpus luteum dan produksi estrogen dan progesteron dianggap sebagai penyebabnya. Dengan adanya withdrawal dari hormon seks steroid, terjadilah spasme arterial yang memicu iskemia di endometrium sekaligus Kerusakan lisosom dan pelepasan enzim-enzim proteolitik, yang kemudian memicu kerusakan jaringan secara lokal. Lapisan ini kemudian luruh, meninggalkan decidua basalis sebagai sumber pertumbuhan endometrium selanjutnya. Prostaglandin, yang diproduksi selama siklus menstruasi berada pada konsentrasi tertinggi saat haid. Prostaglandin F2α (PGF2α) merupakan vasokonstriktor kuat sehingga menyebabkan spasme arterial dan iskemia endometrium. Selain itu, PGF2α juga mengakibatkan konsentrasi miometrium yang menurunkan aliran darah lokal ke uterus dan sekaligus membantu pengeluaran jaringan endometrium yang sudah luruh dari uterus (Berek dan Novak, 2007).

Gambar 2.5 Ilustrasi Endometrium pada Awal Fase Sekretori dan Saat Haid Sumber : Hart et al. (2000)


(9)

2.1.5 Perdarahan Uterus Abnormal

Siklus menstruasi yang tidak teratur biasa dijumpai pada tahun-tahun pertama setelah menarke. Namun, sebagian besar wanita mengalami ovulasi dan siklus menstruasi yang teratur pada 5-7 tahun setelah menarke. Pada masa tersebut, panjang siklus yang dianggap normal adalah antara 24 dan 35 hari (rata-rata 28 hari), dengan perdarahan haid berlangsung selama 3-7 hari ((rata-rata-(rata-rata 4 hari) dan rata-rata volume darah yang dikeluarkan 35 mL (berkisar antara 20-80 mL). Pola perdarahan di luar kriteria di atas dianggap abnormal (Curtis et al, 2006).

Gambar 2.6 Persentase Panjang Siklus Menstruasi Sumber : Speroff dan Fritz (2005)


(10)

Perdarahan uterus abnormal dapat dinilai dari durasi, frekuensi, dan jumlahnya. Definisi yang dapat menjelaskan kondisi-kondisi tersebut, sebagai berikut:

- Menoragia, perdarahan lebih dari 80 mL dan/atau peningkatan durasi perdarahan (lebih dari 7 hari) dengan interval yang regular.

- Metroragia, perdarahan dengan interval yang tidak teratur atau perdarahan di antara siklus.

- Menometroragia, peningkatan jumlah perdarahan atau durasi perdarahan dengan interval tidak teratur .

- Polimenorea, interval perdarahan kurang dari 21 hari. - Oligomenorea, panjang siklus lebih dari 35 hari.

- Amenorea, tidak adanya perdarahan haid selama lebih dari enam bulan. - Perdarahan Intermenstrual, perdarahan yang terjadi di antara dua haid yang

teratur (Curtis et al., 2006).

Tabel 2.1 Terminologi Perdarahan Uterus Abnormal Sumber : Berek dan Novak (2007)

ISTILAH INTERVAL DURASI JUMLAH

Menoragia Teratur Memanjang Berlebihan

Metroragia Tidak teratur Memanjang Normal Menometroragia Tidak teratur Memanjang Berlebihan

Hipermenorea Teratur Normal Berlebihan

Hipomenorea Teratur Normal atau memendek

Sedikit

Oligomenorea Jarang atau tidak teratur

Bervariasi Sedikit


(11)

2.2 Hemoglobin 2.2.1 Definisi

Hemoglobin (Hb) adalah molekul di dalam eritrosit yang mengangkut oksigen (O2) dari paru ke jaringan perifer (Rosenthal dan Glew, 2009). Molekul yang terkandung dalam eritrosit ini juga berfungsi mengangkut karbondioksida dan sebagai buffer darah (Chaudhuri, 2002). Hemoglobin terdiri atas heme (gabungan protoporfirin dan besi) dan globin, bagian protein yang terdiri atas dua rantai alfa dan dua rantai beta (Handayani dan Haribowo, 2008). Interaksi dinamik antara heme dan globin menyebabkan Hb memiliki sifat unik dalam hal transport oksigen yang reversibel (Behrman et al, 2012). Zat besi dalam Hb berbentuk ion Ferro (Fe2+) dan menjadi tempat berikatan dengan oksigen. Senyawa hasil pengikatan Hb dan O2 disebut Oksihemoglobin (Chaudhuri, 2002).

Gambar 2.7 Heme. Sumber : Murray et al. (2006)

2.2.2 Sintesis Hemoglobin

Hemoglobin merupakan gabungan dari heme dan globin yang membentuk struktur tetramer. Sintesis globin terjadi seperti protein pada umumnya, mRNA dari intisel akan ditranslasi ribosom untuk merakit rantai asam amino untuk membentuk globin. Di sisi lain proses pembentukan heme relatif lebih kompleks,


(12)

bahan dasar heme adalah asam amino glisin dan suksinil-KoA, hasil dari siklus asam sitrat. Pada awalnya proses ini terjadi di dalam mitokondria, kemudian setelah terbentuk δ-aminolevulinat (ALA) reaksi terjadi di sitoplasma sampai terbentuk coproporhyrinogen III, kemudian substrat akan masuk kembali kedalam mitokondria untuk menyelesaikan serangkaian reaksi pembentukan heme yaitu penambahan besi ferro ke cincin protoforfirin (Murray et al, 2006).

Gambar 2.8 Sintesis Heme Sumber : Murray et al. (2006)


(13)

2.2.3 Kadar Hemoglobin dan Anemia

Konsentrasi Hb adalah indikator anemia yang reliabel di level populasi. Hal ini dikarenakan cara pengukurannya yang relatif mudah dan murah. Konsentrasi Hb dapat pula menjadi indikator yang baik untuk anemia defisiensi besi (ADB), yang prevalensinya tinggi di masyarakat. Adapun kadar Hb yang normal berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel berikut. Konsentrasi Hb di bawah nilai tersebut disebut anemia.

Tabel 2.2 Ambang Batas Konsentrasi Hb Sumber : WHO (2008)

Usia atau Jenis Kelamin Ambang batas Kadar Hb (g/dL)

Anak (0,5-4,99 tahun) 11

Anak (5-11,99 tahun) 11,5

Anak (12-14,99 tahun) 12

Wanita >15 tahun 12

Wanita Hamil 11

Pria 13

2.2.4 Cara Mengukur Kadar Hemoglobin

Konsentrasi Hb diukur dengan mengambil sampel darah. Ada beberapa cara mengukur konsentrasi Hb, seperti cara Sahli, Cyanmethemoglobin, dan pengukuran dengan hemoglobinometer.

2.2.4.1 Cara Sahli

Menurut Gandasoebrata (2009) dalam Maghfirani (2012) pengukuran haemoglobin dengan metode Sahli dikerjakan dengan mengubah hemoglobin menjadi hematin asam, kemudian warna yang terjadi dibandingkan secara visual dengan standard dalam alat itu. Cara Sahli ini bukanlah cara teliti. Kelemahan metodik berdasarkan kenyataan bahwa kolorimeter visual tidak teliti, bahwa hematin asam itu bukan merupakan larutan sejati dan bahwa alat itu tidak dapat


(14)

distandardkan. Cara ini juga kurang baik karena tidak semua macam hemoglobin diubah menjadi hematin asam, umpamanya karboksihemoglobin, methemoglobin dan sulfhemoglobin

2.2.4.2 Cyanmethemoglobin

Metode cyanmethemoglobin adalah salah satu metode yang direkomendasikan, dimana pada metode ini sejumlah darah dicampurkan dengan reagen kemudian konsentrasi Hb dapat ditentukan setelah waktu tertentu dengan fotometer yang akurat dan terkalibrasi. Cyanmethemoglobin adalah metode referensi laboratorium untuk pengukuran Hb kuantitatif , dan digunakan untuk standardisasi dan perbandingan metode lainnya (WHO, 2011).

2.2.4.3 Portable Hemoglobinometer

Gandasoebrata (2009) dalam Maghfirani (2012), mendefinisikan Portable hemoglobinometer sebagai suatu alat noninvasif untuk menentukan konsentrasi oksigen di jaringan yang diambil dari permukaan kulit. Meskipun cara penetapan kadar hemoglobin dalam darah yang dianjurkan masa kini bukanlah yang memakai hemoglobinometer menurut sahli, tapi cara ini masih berguna dalam laboratorium kecil.

2.3 Perdarahan Haid dan Hemoglobin

Dalam siklus menstruasi yang normal, seorang wanita kehilangan darah sekitar 30-40 mL, dan 90% wanita kehilangan darah kurang dari 80 mL (Curtis et al, 2006). Perdarahan haid yang konsisten lebih dari 80 mL tiap siklus dapat menyebabkan anemia (Berek dan Novak, 2007). Hal ini disebabkan oleh hilangnya sekitar 1,4 – 1,6 mg zat besi per hari selama haid dan volume perdarahan lebih dari 60 mL tiap siklus dapat mengurangi jumlah cadangan besi tubuh. Bahkan, kehilangan volume darah lebih dari 80 mL dapat mengindikasikan anemia klinis (Ojofekwu et al., 2014). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perdarahan haid dapat menjadi penyebab anemia defisiensi besi. Sebaliknya, kehilangan volume darah yang cenderung sedikit merupakan salah satu faktor


(15)

protektif terjadinya anemia pada wanita usia produktif (Schumacher et al., 2012 ; Blanco-Rojo et al., 2014).

Sekalipun durasi dan interval haid mudah untuk diukur, tidak demikian halnya dengan volume darah yang hilang saat haid. Perdarahan dapat terjadi berlebihan tanpa durasi yang panjang, sebab biasanya darah dikeluarkan lebih banyak pada tiga hari pertama (Speroff dan Fritz, 2005).

Penelitian Ojofekwu et al.(2014) menunjukkan adanya perbedaan kadar Hb yang siginifkan saat seorang wanita produktif dalam setiap fase siklus menstruasi, dimana kadar terendah terukur pada saat haid. Sementara itu, Kotwaney dan Shetty (2014), memaparkan bahwa kadar Hb pada lebih tinggi pada fase luteal dibandingkan pada fase folikular, yang diimplikasikan sebagai akibat hilangnya sejumlah volume darah saat haid.

Sebuah penelitian yang dipublikasikan LIPI tahun 2009 pada remaja siswi SMP Negeri 1 Lasusua Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa lama haid memiliki hubungan paling besar dengan kadar Hb pada siswi di sekolah tersebut. Penelitian lainnya menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata konsentrasi hemoglobin pada saat menstruasi dan tidak menstruasi (Abidin, 2011). Selanjutnya, penelitian Prastika pada tahun 2011 menyatakan adanya hubungan negatif dan signifikan antara lamanya menstruasi dan kadar Hb.


(1)

Perdarahan uterus abnormal dapat dinilai dari durasi, frekuensi, dan jumlahnya. Definisi yang dapat menjelaskan kondisi-kondisi tersebut, sebagai berikut:

- Menoragia, perdarahan lebih dari 80 mL dan/atau peningkatan durasi perdarahan (lebih dari 7 hari) dengan interval yang regular.

- Metroragia, perdarahan dengan interval yang tidak teratur atau perdarahan di antara siklus.

- Menometroragia, peningkatan jumlah perdarahan atau durasi perdarahan dengan interval tidak teratur .

- Polimenorea, interval perdarahan kurang dari 21 hari. - Oligomenorea, panjang siklus lebih dari 35 hari.

- Amenorea, tidak adanya perdarahan haid selama lebih dari enam bulan. - Perdarahan Intermenstrual, perdarahan yang terjadi di antara dua haid yang

teratur (Curtis et al., 2006).

Tabel 2.1 Terminologi Perdarahan Uterus Abnormal Sumber : Berek dan Novak (2007)

ISTILAH INTERVAL DURASI JUMLAH

Menoragia Teratur Memanjang Berlebihan Metroragia Tidak teratur Memanjang Normal Menometroragia Tidak teratur Memanjang Berlebihan Hipermenorea Teratur Normal Berlebihan Hipomenorea Teratur Normal atau

memendek

Sedikit

Oligomenorea Jarang atau tidak teratur

Bervariasi Sedikit


(2)

2.2 Hemoglobin 2.2.1 Definisi

Hemoglobin (Hb) adalah molekul di dalam eritrosit yang mengangkut oksigen (O2) dari paru ke jaringan perifer (Rosenthal dan Glew, 2009). Molekul yang terkandung dalam eritrosit ini juga berfungsi mengangkut karbondioksida dan sebagai buffer darah (Chaudhuri, 2002). Hemoglobin terdiri atas heme (gabungan protoporfirin dan besi) dan globin, bagian protein yang terdiri atas dua rantai alfa dan dua rantai beta (Handayani dan Haribowo, 2008). Interaksi dinamik antara heme dan globin menyebabkan Hb memiliki sifat unik dalam hal transport oksigen yang reversibel (Behrman et al, 2012). Zat besi dalam Hb berbentuk ion Ferro (Fe2+) dan menjadi tempat berikatan dengan oksigen. Senyawa hasil pengikatan Hb dan O2 disebut Oksihemoglobin (Chaudhuri, 2002).

Gambar 2.7 Heme. Sumber : Murray et al. (2006)

2.2.2 Sintesis Hemoglobin

Hemoglobin merupakan gabungan dari heme dan globin yang membentuk struktur tetramer. Sintesis globin terjadi seperti protein pada umumnya, mRNA dari intisel akan ditranslasi ribosom untuk merakit rantai asam amino untuk membentuk globin. Di sisi lain proses pembentukan heme relatif lebih kompleks,


(3)

bahan dasar heme adalah asam amino glisin dan suksinil-KoA, hasil dari siklus asam sitrat. Pada awalnya proses ini terjadi di dalam mitokondria, kemudian setelah terbentuk δ-aminolevulinat (ALA) reaksi terjadi di sitoplasma sampai terbentuk coproporhyrinogen III, kemudian substrat akan masuk kembali kedalam mitokondria untuk menyelesaikan serangkaian reaksi pembentukan heme yaitu penambahan besi ferro ke cincin protoforfirin (Murray et al, 2006).

Gambar 2.8 Sintesis Heme Sumber : Murray et al. (2006)


(4)

2.2.3 Kadar Hemoglobin dan Anemia

Konsentrasi Hb adalah indikator anemia yang reliabel di level populasi. Hal ini dikarenakan cara pengukurannya yang relatif mudah dan murah. Konsentrasi Hb dapat pula menjadi indikator yang baik untuk anemia defisiensi besi (ADB), yang prevalensinya tinggi di masyarakat. Adapun kadar Hb yang normal berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel berikut. Konsentrasi Hb di bawah nilai tersebut disebut anemia.

Tabel 2.2 Ambang Batas Konsentrasi Hb Sumber : WHO (2008)

Usia atau Jenis Kelamin Ambang batas Kadar Hb (g/dL) Anak (0,5-4,99 tahun) 11

Anak (5-11,99 tahun) 11,5 Anak (12-14,99 tahun) 12

Wanita >15 tahun 12

Wanita Hamil 11

Pria 13

2.2.4 Cara Mengukur Kadar Hemoglobin

Konsentrasi Hb diukur dengan mengambil sampel darah. Ada beberapa cara mengukur konsentrasi Hb, seperti cara Sahli, Cyanmethemoglobin, dan pengukuran dengan hemoglobinometer.

2.2.4.1 Cara Sahli

Menurut Gandasoebrata (2009) dalam Maghfirani (2012) pengukuran haemoglobin dengan metode Sahli dikerjakan dengan mengubah hemoglobin menjadi hematin asam, kemudian warna yang terjadi dibandingkan secara visual dengan standard dalam alat itu. Cara Sahli ini bukanlah cara teliti. Kelemahan metodik berdasarkan kenyataan bahwa kolorimeter visual tidak teliti, bahwa hematin asam itu bukan merupakan larutan sejati dan bahwa alat itu tidak dapat


(5)

distandardkan. Cara ini juga kurang baik karena tidak semua macam hemoglobin diubah menjadi hematin asam, umpamanya karboksihemoglobin, methemoglobin dan sulfhemoglobin

2.2.4.2 Cyanmethemoglobin

Metode cyanmethemoglobin adalah salah satu metode yang direkomendasikan, dimana pada metode ini sejumlah darah dicampurkan dengan reagen kemudian konsentrasi Hb dapat ditentukan setelah waktu tertentu dengan fotometer yang akurat dan terkalibrasi. Cyanmethemoglobin adalah metode referensi laboratorium untuk pengukuran Hb kuantitatif , dan digunakan untuk standardisasi dan perbandingan metode lainnya (WHO, 2011).

2.2.4.3 Portable Hemoglobinometer

Gandasoebrata (2009) dalam Maghfirani (2012), mendefinisikan Portable hemoglobinometer sebagai suatu alat noninvasif untuk menentukan konsentrasi oksigen di jaringan yang diambil dari permukaan kulit. Meskipun cara penetapan kadar hemoglobin dalam darah yang dianjurkan masa kini bukanlah yang memakai hemoglobinometer menurut sahli, tapi cara ini masih berguna dalam laboratorium kecil.

2.3 Perdarahan Haid dan Hemoglobin

Dalam siklus menstruasi yang normal, seorang wanita kehilangan darah sekitar 30-40 mL, dan 90% wanita kehilangan darah kurang dari 80 mL (Curtis et al, 2006). Perdarahan haid yang konsisten lebih dari 80 mL tiap siklus dapat menyebabkan anemia (Berek dan Novak, 2007). Hal ini disebabkan oleh hilangnya sekitar 1,4 – 1,6 mg zat besi per hari selama haid dan volume perdarahan lebih dari 60 mL tiap siklus dapat mengurangi jumlah cadangan besi tubuh. Bahkan, kehilangan volume darah lebih dari 80 mL dapat mengindikasikan anemia klinis (Ojofekwu et al., 2014). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perdarahan haid dapat menjadi penyebab anemia defisiensi besi. Sebaliknya, kehilangan volume darah yang cenderung sedikit merupakan salah satu faktor


(6)

protektif terjadinya anemia pada wanita usia produktif (Schumacher et al., 2012 ; Blanco-Rojo et al., 2014).

Sekalipun durasi dan interval haid mudah untuk diukur, tidak demikian halnya dengan volume darah yang hilang saat haid. Perdarahan dapat terjadi berlebihan tanpa durasi yang panjang, sebab biasanya darah dikeluarkan lebih banyak pada tiga hari pertama (Speroff dan Fritz, 2005).

Penelitian Ojofekwu et al.(2014) menunjukkan adanya perbedaan kadar Hb yang siginifkan saat seorang wanita produktif dalam setiap fase siklus menstruasi, dimana kadar terendah terukur pada saat haid. Sementara itu, Kotwaney dan Shetty (2014), memaparkan bahwa kadar Hb pada lebih tinggi pada fase luteal dibandingkan pada fase folikular, yang diimplikasikan sebagai akibat hilangnya sejumlah volume darah saat haid.

Sebuah penelitian yang dipublikasikan LIPI tahun 2009 pada remaja siswi SMP Negeri 1 Lasusua Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa lama haid memiliki hubungan paling besar dengan kadar Hb pada siswi di sekolah tersebut. Penelitian lainnya menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata konsentrasi hemoglobin pada saat menstruasi dan tidak menstruasi (Abidin, 2011). Selanjutnya, penelitian Prastika pada tahun 2011 menyatakan adanya hubungan negatif dan signifikan antara lamanya menstruasi dan kadar Hb.