Strategi Urbanis dalam Mempertahankan Hidup Di Kelurahan Cinta Damai Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

(1)

23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Urbanisasi dan Masalah yang Ditimbulkan 2.1.1 Pengertian Urbanisasi

Secara sederhana urbanisasi dapat diartikan sebagai peristiwa berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan. Dengan demikian, urbanisasi menjadi faktor yang mempengaruhi dinamika penduduk. Di satu sisi urbanisasi menjadi salah satu faktor yang mengurangi jumlah penduduk perdesaan atau setidaknya dapat menahan laju pertumbuhan penduduk perdesaan. Sedangkan di sisi lain, urbanisasi menjadi salah satu faktor yang menambah jumlah penduduk perkotaan atau meningkatkan laju pertumbuhan penduduk perkotaan.

Ningsih (2002: 25) mengemukakan, urbanisasi bukanlah sekadar perpindahan penduduk dari desa ke kota. Lebih dari itu, urbanisasi merupakan suatu gejala atau suatu proses yang sifatnya multi aspek. Dengan kata lain, urbanisasi tidak hanya bersentuhan dengan aspek ekonomi, seperti upaya untuk memperoleh pekerjaan yang selanjutnya mengakibatkan perolehan pendapatan yang lebih tinggi yang dilakukan masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Lebih dari itu, urbanisasi juga bersentuhan dengan aspek budaya, dimana masyarakat memiliki kecenderungan lebih memilih kota sebagai tempat tinggalnya, dan menganggap desa sebagai lingkungan yang membosankan serta dianggap dapat menghambat dinamika dalam hidupnya.

Firman (dalam LIPI, 2014: 15) mengemukakan, urbanisasi merupakan sebuah transformasi hidup dari perdesaan menjadi hidup dengan cara industri di daerah perkotaan. Artinya, urbanisasi bukan sekadar perpindahan penduduk, melainkan juga


(2)

24 perubahan pola hidup dari agraris ke industri. Oleh karena itu, pelaku urbanisasi dituntut mampu melakukan pola hidup yang lebih modern. Tanpa perubahan pola hidup tersebut maka urbanisasi akan menimbulkan masalah bukan saja bagi lingkungan dan pemerintah, melainkan juga bagi pelaku urbanisasi itu sendiri.

Robert dan Hohmann (dalam LIPI, 2014: 17) mengemukakan, laju urbanisasi yang tinggi akan menjadikan pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi pula. Sehubungan dengan hal ini, maka dikenal konsep tingkat urbanisasi suatu wilayah. Adapun tingkat urbanisasi suatu wilayah ini dilihat berdasarkan proporsi penduduk perkotaan (urban population) terhadap penduduk keseluruhan. Sedangkan perpindahan penduduk dari perdesaan ke perkotaan dapat dikategorikan sebagai migrasi penduduk maupun mobilitas penduduk. Migrasi penduduk adalah perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan dengan tujuan untuk tinggal menetap di daerah perkotaan. Sedangkan mobilitas penduduk berarti perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan yang hanya bersifat sementara atau bukan untuk menetap.

2.1.2 Faktor-faktor Penyebab Urbanisasi

Urbanisasi tentu merupakan suatu pilihan bagi masyarakat yang menjadi pelaku urbanisasi tersebut, atau yang secara umum dikenal dengan kaum urbanis. Hidayat (dalam Kompas, 2012) mengemukakan, untuk menimbulkan niat untuk melakukan migrasi dari desa ke kota, biasanya seseorang harus mendapatkan pengaruh yang kuat, yang antara lain adalah dalam bentuk:

a) Ajakan

b) Informasi media massa c) Impian pribadi


(3)

25 d) Terdesak kebutuhan ekonomi

Dalam kajiannya tentang masalah kesejahteraan masyarakat perkotaan The World Bank (2004: 29) mengemukakan bahwa fenomena urbanisasi terjadi sebagai produk faktor pendorong dan faktor penarik. Adapun faktor pendorong bersumber dan terdapat di daerah asal, yakni di desa-desa, yaitu:

1) Lahan pertanian yang semakin sempit

2) Merasa tidak cocok lagi dengan budaya tempat asalnya di desa-desa 3) Menganggur sebagai dampak sempitnya lapangan pekerjaan di desa-desa 4) Terbatasnya sarana dan prasarana di desa-desa

5) Diusir dari daerah asal atau dari desanya 6) Memiliki impian kuat menjadi orang kaya

Sedangkan faktor penarik berasal dari kota-kota sebagai alternatif tujuan migrasi, yaitu:

1) Kehidupan kota yang lebih modern

2) Sarana dan prasarana kota yang lebih baik dan lebih lengkap 3) Banyak lapangan pekerjaan di kota

4) Pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi yang ada di kota jauh lebih baik dibandingkan dengan yang ada di desa

Firman (dalam LIPI, 2014: 32) mengemukakan bahwa urbanisasi di Indonesia terutama dipicu oleh pembangunan ekonomi, terutama pada sektor industri dan jasa, yang cenderung berlokasi pada kota-kota besar. Akibatnya muncullah fenomena daerah perkotaan dengan segala kemegahannya, dimana kota-kota menjadi pusat pemerintahan, pusat industri, dan pusat perdagangan dengan 7 (tujuh) karakteristik sebagai berikut:


(4)

26 2) Adanya pembagian fungsi antara kota inti dan wilayah sekitarnya yang

semakin proporsional

3) Perubahan dari satu pusat ke banyak pusat wilayah perkotaan;

4) Perubahan penggunaan lahan pada pusat kota dan konversi lahan pertanian di luar kawasan perkotaan;

5) Pembangunan infrastruktur skala besar;

6) Peningkatan besar pada produksi serta terakhir pertumbuhan penglaju (commuters) dan

7) Peningkatan waktu bagi para penglaju.

Sofyan (2014: 32) mengemukakan, bahwa pokok persoalan kenapa urbanisasi masih saja terjadi ialah tidak meratanya pembagian kue pembangunan. Mustahil disangka hingga sekarang pembangunan tetap sentralistis, terpusat di kota-kota besar. Penduduk desa terdorong pindah ke kota, sebab desa sulit menjadi sandaran hidup. Sebaliknya, kota yang kian gemerlap karena pembangunan menumpuk di sana, amat kuat menarik minat ubanisator. Kuat pemikiran bahwa sepahit-pahitnya hidup di kota, masih lebih manis ketimbang hidup di desa karena banyak peluang pekerjaan yang tersedia.

Sofyan menambahkan, bahwa urbanisasi jelas bukan tanggung jawab pemerintahan kota semata. Urbanisasi adalah bentuk kegagalan negara dalam menyebarkan kue pembangunan dan mengikis kesenjangan. Selama kesenjangan antar wilayah terus berlangsung, selama itu pula urbanisasi akan terus terjadi. Selama Jakarta masih menjadi pusat kembang gula, selama itu pula orang desa berbondong-bondong dan berkerumun untuk mencicipinya.

Hasil penelitian LIPI (2014: 203) antara lain menyimpulkan, dalam beberapa tahun terakhir, urbanisasi ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya,


(5)

27 Makassar dan Medan makin berkurang. Orang pulang lebaran lebih banyak dari kota-kota menengah yang sekarang menjadi Ibukota Kabupaten – Kota, seperti Kendari, Pekalongan, Lampung, Tangerang, Jember dan sebagainya. Dalam jangka panjang sebenarnya tidak perlu dikawatirkan karena proses desentralisasi dengan sendirinya akan memberi kesempatan daerah terus berkembang.

Faktor lain yang membuat orang desa mencari pekerjaan di kota, karena mereka tidak memiliki lahan pertanian. Menurut data resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) 80% tanah kita yang berupa sawah, dan terutama hutan, aset negara itu dikuasai oleh 10% oleh orang-orang kaya di kota. Akibatnya ekonomi sawah tidak jalan, dan semakin hari semakin berkurang. Selain itu juga tidak ada perkembangan signifikan dalam pembangunan desa. Karena itu, disamping otonomi daerah diperkuat, sekarang desa diberi hak dan kepercayaan untuk membangun desanya sendiri.

2.1.3 Masalah yang Ditimbulkan Urbanisasi

Berbicara tentang urbanisasi pada umumnya akan menyentuh masalah-masalah yang ditimbulkan. Artinya, urbanisasi dibicarakan dan dibahas banyak kalangan justru karena banyaknya masalah yang ditimbulkannya. Andaikan urbanisasi tidak menimbulkan banyak masalah, maka urbanisasi tidak akan dibicarakan banyak orang. Berbicara tentang masalah urbanisasi, biasanya berkisar pada masalah yang dihadapi pemerintah maupun masyarakat perkotaan (Sutejo, 2011: 78).

Andiantara (2005: 98) mengemukakan, sejatinya fenomena urbanisasi tidak menjadi masalah serius jika seandainya pertambahan penduduk di kota-kota besar sejalan dengan pertumbuhan ekonomi serta peningkatan jumlah sarana dan prasarana


(6)

28 perkotaan. Namun karena pertambahan jumlah penduduk perkotaan tidak sebanding dengan perkembangan ekonomi dan sarana prasarana, maka timbullah dampak negatif dari urbanisasi, yaitu:

1. Kemacetan Lalu Lintas

Pertumbuhan jumlah kendaraan yang sangat cepat (yang diakibatkan oleh semakin bertambahnya jumlah penduduk di kota-kota besar) dan lambatnya pertambahan infrastruktur jalan dan kendaraan umum, membuat arus lalu lintas semakin padat. Terutama ketika masyarakat mulai berangkat kerja dan sekolah pada saat pagi hari dan saat pulang dari aktivitas tersebut ketika sore dan malam hari. Apalagi kendaraan yang melaju pun tidak hanya berasal dari dalam kota tetapi juga dari daerah-daerah di sekitarnya yang hendak beraktivitas di kota-kota besar, sehingga semakin memperparah kemacetan lalu lintas yang ada.

2. Bertambahnya Polusi

Meningkatnya laju urbanisasi juga berakibat pada meningkatnya polusi. Antara lain polusi udara, air, tanah, cahaya, dan suara. Polusi udara, cahaya, dan suara disebabkan oleh tingginya volume kendaraan yang melaju di kota-kota besar, yang mana sebagian dari kendaraan tersebut merupakan kendaraan yang dimiliki oleh para pendatang. Polusi juga berasal dari sampah rumah tangga, industri, bangunan komersial, maupun perkantoran. Baik sampah-sampah yang langsung dibuang ke selokan dan sungai maupun sampah yang ada di tempat pembuangan akhir. Ada pula polusi cahaya yang berasal dari sinar lampu jalan dan papan iklan. Ada beberapa dampak yang ditimbulkan dari polusi-polusi tersebut. Dampak kesehatan yang dirasakan oleh manusia antara lain: gangguan pernafasan, penyakit kulit, mengganggu tidur, kerusakan otak, kerusakan ginjal, dan gangguan pendengaran. Sedangkan dampaknya bagi lingkungan antara lain: mengurangi


(7)

29 kualitas air tanah dan permukaan, merusak struktur bangunan, mengganggu kehidupan hewan dan tumbuhan, peningkatan suhu bumi, merusak lapisan ozon, perubahan iklim, merusak ekosistem, menimbulkan bencana alam (banjir, tanah longsor, erosi, kekeringan), serta penurunan hasil tangkapan para nelayan dan penurunan kualitas pertanian. Polusi (yang diakibatkan oleh polusi cahaya) juga menyebabkan terbatasnya daya pandang terhadap objek-objek di luar angkasa. 3. Makin sulitnya Memperoleh Pekerjaan

Derasnya arus urbanisasi yang tak diimbangi dengan kemampuan kota besar dalam menyediakan lapangan pekerjaan formal serta keahlian para pendatang itu sendiri, membuat sebagian pendatang cukup kesulitan dalam memperoleh pekerjaan yang layak. Sehingga sebagian dari mereka menganggur dan yang lainnya hanya bisa memperoleh pekerjaan nonformal dengan penghasilan yang tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Seperti tukang becak, pembantu rumah tangga, pedagang asongan, pedagang kaki lima, pengemis, pengamen, pemulung, gelandangan, dan lain-lain. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang melakukan tindak kriminal yang meresahkan masyarakat. Seperti pencopetan, pencurian, dan perampokan.

4. Berkurangnya Lahan untuk Ruang Terbuka Hijau

Para pendatang ke kota-kota besar ternyata cukup banyak yang mendirikan bangunan-bangunan di pusat kota. Karena sangat banyaknya bangunan yang ada, membuat lahan di pusat kota semakin terbatas sehingga lahan yang digunakan untuk ruang terbuka hijau pun semakin sedikit, bahkan tidak ada sama sekali. Padahal, ruang terbuka hijau sangat berperan dalam menjaga keseimbangan alam di perkotaan. Berbagai macam polusi bisa diredam oleh tanaman-tanaman yang ada. Selain itu, ruang terbuka hijau juga bisa menjadi sarana rekreasi, ajang


(8)

30 bersosialisasi, mengurangi penat dan stres, menyejukkan suhu udara, serta mempercantik pemandangan kota.

Rudianto (2013: 65) mengemukakan bahwa urbanisasi telah menimbulkan berbagai persoalan di kota-kota besar di Indonesia, seperti:

a) Tumbuhnya tempat-tempat pemukiman baru

b) Meningkatnya tuna karya, yaitu orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan

c) Semakin menyempitnya lahan bagi perumahan sehingga muncul rumah-rumah yang tidak memenuhi persyaratan

d) Banyak kawasan dengan lingkungan yang tidak sehat e) Meningkatnya kerawanan sosial dan kriminal

Suheri (2008: 54) mengemukakan bahwa dampak negatif yang ditimbulkan oleh tingginya arus urbanisasi di Indonesia adalah sebagai berikut:

a) Semakin minimnya lahan kosong di daerah perkotaan. Pertambahan penduduk kota yang begitu pesat, sudah sulit diikuti kemampuan daya dukung kotanya. Saat ini, lahan kosong di daerah perkotaan sangat jarang ditemui. ruang untuk tempat tinggal, ruang untuk kelancaran lalu lintas kendaraan, dan tempat parkir sudah sangat minim. Bahkan, lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) pun sudah tidak ada lagi. Lahan kosong yang terdapat di daerah perkotaan telah banyak dimanfaatkan oleh para urban sebagai lahan pemukiman, perdagangan, dan perindustrian yang legal maupun ilegal. Bangunan-bangunan yang didirikan untuk perdagangan maupun perindustrian umumnya dimiliki oleh warga pendatang. Selain itu, para urban yang tidak memiliki tempat tinggal biasanya menggunakan lahan kosong sebagai pemukiman liar mereka. hal ini menyebabkan semakin minimnya lahan kosong di daerah perkotaan.


(9)

31 2. Menambah polusi di daerah perkotaan. Masyarakat yang melakukan urbanisasi

baik dengan tujuan mencari pekerjaan maupun untuk memperoleh pendidikan, umumnya memiliki kendaraan. Pertambahan kendaraan bermotor roda dua dan roda empat yang membanjiri kota yang terus menerus, menimbulkan berbagai polusi atau pemcemaran seperti polusi udara dan kebisingan atau polusi suara bagi telinga manusia. Ekologi di daerah kota tidak lagi terdapat keseimbangan yang dapat menjaga keharmonisan lingkungan perkotaan.

3. Penyebab bencana alam. Para urban yang tidak memiliki pekerjaan dan tempat tinggal biasanya menggunakan lahan kosong di pusat kota maupun di daerah pinggiran Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk mendirikan bangunan liar baik untuk pemukiman maupun lahan berdagang mereka. Hal ini tentunya akan membuat lingkungan tersebut yang seharusnya bermanfaat untuk menyerap air hujan justru menjadi penyebab terjadinya banjir. Daerah Aliran Sungai sudah tidak bisa menampung air hujan lagi.

4. Pencemaran yang bersifat sosial dan ekonomi. Kepergian penduduk desa ke kota untuk mengadu nasib tidaklah menjadi masalah apabila masyarakat mempunyai keterampilan tertentu yang dibutuhkan di kota. Namun, kenyataanya banyak diantara mereka yang datang ke kota tanpa memiliki keterampilan kecuali bertani. Oleh karena itu, sulit bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Mereka terpaksa bekerja sebagai buruh harian, penjaga malam, pembantu rumah tangga, tukang becak, masalah pedagang kaki lima dan pekerjaan lain yang sejenis. Hal ini akhitnya akan meningkatkan jumlah pengangguran di kota yang menimbulkan kemiskinan dan pada akhirnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, orang orang akan nekat melakukan tindak kejahatan seperti mencuri,


(10)

32 merampok bahkan membunuh. Ada juga masyarakat yang gagal memperoleh pekerjaan sejenis itu menjadi tunakarya, tunawisma, dan tunasusila

5. Penyebab kemacetan lalu lintas. Padatnya penduduk di kota menyebabkan kemacetan dimana-mana, ditambah lagi arus urbanisasi yang makin bertambah. Para urban yang tidak memiliki tempat tinggal maupun pekerjaan banyak mendirikan pemukiman liar di sekitar jalan, sehingga kota yang awalnya sudah macet bertambah macet. Selain itu tidak sedikit para urban memiliki kendaraan sehingga menambah volum kendaraan di setiap ruas jalan di kota.

6. Merusak tata kota. Pada negara berkembang, kota-kotanya tdiak siap dalam menyediakan perumahan yang layak bagi seluruh populasinya. Apalagi para migran tersebut kebanyakan adalah kaum miskin yang tidak mampu untuk membangun atau membeli perumahan yang layak bagi mereka sendiri. Akibatnya timbul perkampungan kumuh dan liar di tanah-tanah pemerintah. Tata kota suatu daerah tujuan urban bisa mengalami perubahan dengan banyaknya urbanisasi. Urban yang mendirikan pemukiman liar di pusat kota serta gelandangan-gelandangan di jalan-jalan bisa merusak sarana dan prasarana yang telah ada, misalnya trotoar yang seharusnya digunakan oleh pedestrian justru digunakan sebagai tempat tinggal oleh para urban. Hal ini menyebabkan trotoar tersebut menjadi kotor dan rusak sehingga tidak berfungsi lagi.

2.2 Kemiskinan

2.2.1 Pengertian Kemiskinan

Memahami masalah kemiskinan seringkali memang menuntut adanya upaya untuk melakukan pendefinisian dan pengukuran. Sehubungan dengan hal ini, perlu disadari bahwa masalah kemiskinan telah dipelajari oleh berbagai ilmuwan sosial


(11)

33 yang berasal dari latar belakang disiplin yang berbeda. Oleh sebab itu, wajar pula apabila kemudian dijumpai berbagai konsep dan cara pengukuran tentang masalah kemiskinan. Dalam konsep ekonomi misalnya, studi masalah kemiskinan akan segera terkait dengan konsep standart hidup, pendapatan dan distribusi pendapatan. Sementara itu, ilmuwan sosial yang lain tidak ingin berhenti pada konsep-konsep tersebut, melainkan mengkaitkan dengan konsep kelas, stratifikasi sosial, struktur sosial dan bentuk-bentuk diferensiasi sosial yang lain.

Siagian (2012: 2-3) mengemukakan, Sebagai suatu kondisi, kemiskinan adalah suatu fakta dimana seseorang atau sekelompok orang hidup di bawah atau lebih rendah dari kondisi hidup layak sebagai manusia disebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam memaparkannya kita harus lebih dahulu menyatakan fakta yang menggambarkan kondisi kehidupannya, bukan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini harus benar-benar dipahami karena banyak individu maupun keluarga yang sesungguhnya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi kondisi kehidupannya justru layak sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat, karena mendapat dukungan dari orang lain, seperti keluarga luas. Dalam konteks ini, pihak yang menurut kemampuan sendiri sesungguhnya dipastikan miskin, namun mereka ternyata berada di dalam lingkaran yang memiliki mekanisme penanggulangan kemiskinan tersendiri secara internal, yang juga sering dinamakan dengan mekanisme pertahanan kelompok. Akibatnya, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup tersebut tidak mengakibatkan mereka jatuh ke jurang kemiskinan.

Sementara sebagai suatu proses, kemiskinan merupakan proses menurunnya daya dukung terhadap hidup seseorang atau sekelompok orang sehingga pada gilirannya ia atau kelompok tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya


(12)

34 dan tidak pula mampu mencapai taraf kehidupan yang dianggap layak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Kata kunci dalam kajian kemiskinan sebagai suatu proses adalah daya dukung. Konsep daya dukung dalam kaitannya dengan kehidupan manusia menunjukkan bahwa kondisi kehidupan yang dihadapi dan sedang dijalani manusia merupakan produk dari proses dimana dalam proses itu terlibat berbagai unsur.

Soetomo (2002: 45) mengemukakan, kemiskinan memiliki beberapa ciri yaitu:

a. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar yaitu pangan, sandang dan papan.

b. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya seperti kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi.

c. Ketiadaan jaminan masa depan yang dikarenakan tidak adanya investasi untuk pendidikan dan keluarga.

d. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. e. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya

alam.

f. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.

g. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

h. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental

i. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial seperti anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil.


(13)

35 Friedman (dalam Suharto, 2009: 23) mengemukakan, kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial, yang meliputi :

1. Modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan). 2. Sumber keuangan (pekerjaan, kredit).

3. Organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial).

4. Jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa. 5. Pengetahuan dan ketrampilan.

6. Informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.

Selanjutnya Bappenas (2000: 14) mendefinisikan kemiskinan dalam 3 kriteria yaitu :

1. Berdasarkan Kebutuhan Dasar

Suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup minimum antara lain: pangan, sandang, perumahan, pelayanan kesehatan dan pedidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Ketidakmampuan ini akan mengakibatkan rendahnya kemampuan fisik dan mental seseorang, keluarga dan masyarakat dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

2. Berdasarkan Pendapatan

Suatu tingkat pendapatan atau pengeluaran seseorang, keluarga dan masyarakat berada di bawah ukuran tertentu (garis kemiskinan). Kemiskinan ini terutama disebabkan oleh rendahnya penguasaan aset seperti lahan, modal dan kesempatan usaha.


(14)

36 Suatu keterbatasan kemampuan dasar seseorang dan keluarga untuk menjalankan fungsi minimal dalam suatu masyarakat. Keterbatasan kemampuan dasar akan menghambat seseorang dan keluarga dalam menikmati hidup yang lebih sehat, maju dan berumur panjang serta memperkecil kesempatan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat dan mengurangi kebebasan dalam menentukan pilihan terbaik bagi kehidupan pribadi.

Dengan menggunakan perspektif yang lebih luas lagi, David Cos (2004) (dalam Suharto, 2009: 28) membagi kemiskinan ke dalam beberapa kelas:

1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan kalah. Pemenang umumnya negara maaju, sedangkan negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas.

2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsistem (kemiskinnan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan perdesaan

(kemiskinan akibat peminggiran perdesaan dalam proses pembangunan, kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotan).

3. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian kejadian lain atau faktor-faktor eksternal diluar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.

4. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak dan kelompok minoritas.


(15)

37 2.2.2 Jenis-jenis Kemiskinan

Siagian (2012: 45-65) mengemukakan, dalam membicarakan masalah kemiskinan atau pemiskinan, kita akan menemui beberapa istilah kategoritatif kemiskinan seperti kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan struktural, kemiskinan situsional (natural) dan kemiskinan kultural.

1. Kemiskinan Absolut

Seseorang dapat dikatakan miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum hidupnya untuk memelihara fisiknya agar dapat bekerja penuh dan efisien. Orang yang dalam kondisi ini dikategorikan dalam jenis kemiskinan absolut. Kemiskinan ini sangat ditentukan oleh nutrisi yang ditentukan oleh nutrisi yang dibutuhkan setiap orang. Nutrisi tersebut akan mempengaruhi jumlah kalori yang dibutuhkan terutama untuk dapat bekerja. Di Indonesia garis batas minimum kebutuhan hidup yang ditentukan BPS sebesar 2.100 kalori per tahun.

2. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan Relatif muncul jika kondisi seseorang atau sekelompok orang dibandingkan dengan kondisi orang lain. Misalnya, seseorang adalah orang yang sangat kaya di desanya, tetapi setelah dibandingkan dengan orang-orang di kota ternyata seseorang tersebut tergolong miskin atau sebaliknya.

3. Kemiskinan Struktural

Kemiskinan struktural lebih menunjuk kepada orang atau sekelompok orang yang telah miskin karena struktur masyarakatnya yang timpang, tidak menguntungkan bagi golongan yang lemah. Mereka tetap miskin atau menjadi miskin bukan karena tidak mau berusaha memperbaiki nasibnya


(16)

38 tetapi karena usaha yang mereka lakukan selalu kandas dan terbentur pada sistem atau struktur masyarakat yang berlaku.

4. Kemiskinan Situsional atau Kemiskinan Natural

Kemiskinan situsional/natural terjadi bila seseorang atau sekelompok orang tinggal di daerah-daerah yang kurang menguntungkan dan oleh karenanya mereka menjadi miskin. Dengan kata lain, kemiskinan itu terjadi sebagai akibat dari situasi yang tidak menguntungkan seperti kemarau panjang, tanah tandus, gagal panen atau bencana alam.

5. Kemiskinan Kultural

Kemiskinan penduduk terjadi karena kultural masyarakatnya. Masyarakat rela dengan keadaan miskinnya karena diyakini sebagai upaya untuk membebaskan diri dari sikap serakah yang pada gilirannya akan membawa kepada ketamakan. Misalnya, masyarakat yang menganut pietisme-dualistis mempunyai anggapan bahwa manusia tediri dari dua bagian yang saling bertentangan, yaitu jiwa (dianggap suci) dan raga (dianggap hina). Sementara itu, mereka juga beranggapan bahwa keselamatan manusia sangat ditentukan oleh pietas, yaitu kesalehan yang menolak kehinaan.

Departemen Sosial (2006: 23) kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan yang disebut garis kemiskinan atau batas kemiskinan. Garis kemiskinan yaitu sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya.


(17)

39 2.2.3 Faktor Penyebab Kemiskinan

Studi empiris Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Departemen Pertanian tahun (2001: 14) yang dilakukan pada tujuh belas provinsi di Indonesia, menyimpulkan bahwa ada enam faktor utama penyebab kemiskinan, yaitu:

1) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya pendidikan, tingginya angka ketergantungan, rendahnya tingkat kesejahteraan, kurangnya alternatif, rendahnya etos kerja, rendahnya ketrampilan dan besarnya jumlah anggota keluarga.

2) Rendahnya daya fisik, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya kualitas dan jumlah produksi dan modal kerja.

3) Rendahnya penerapan teknologi, ditandai dengan rendahnya penggunaan input dan mekanisme pertanian.

4) Rendahnya potensi wilayah yang ditandai oleh rendahnya potensi fisik dan infrastruktur kondisi fisik ini meliputi iklim, tingkat kesuburan, dan topografis wilayah, sedangkan infrastruktur meliputi irigasi transportasi, pasar, kesehatan, pendidikan, pengolahan komoditas pertanian, listrik, dan fasilitas komunikasi.

5) Kurang tepatnya kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam investasi dan pengentasan kemiskinan.

6) Kurang berperannya kelembagaan yang ada, kelembagaan tersebut meliputi pemasaran, penyuluhan perkreditan dan sosial.

Lebih jauh Suyanto menyebutkan ada beberapa faktor penyebab kemiskinan yang terjadi dalam suatu masyarakat, seperti :

1. Kemiskinan karena kolonialisme; kemiskinan ini terjadi karena penjajahan yang dilakukan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain, sehingga bangsa yang


(18)

40 dijajah menjadi tertindas baik ekonomi, politik dan sebagainya. Misalnya Indonesia yang ditindas Belanda.

2. Miskin karena tradisi sosio-kultural; hal ini berkaitan dengan suku bangsa tertentu yang kental kebudayaannya seperti suku kubu di Sumatera dan suku Dayak di pedalaman Kalimantan.

3. Miskin karena terisolasi; seseorang menjadi miskin karena tempat tinggalnya jauh dari keramaian sehingga sulit berkembang.

4. Miskin karena kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan. Kemiskinan ini juga disebabkan oleh persaingan yang tidak seimbang antar negara atau daerah yang mempunyai keunggulan komperatif dengan daerah sekitarnya yang tidak mempunyai keunggulan kompratif (Suyanto, 1995: 23).

Faktor penyebab kemiskinan adalah keterkaitan hubungan antara status sosial ekonomi masyarakat dengan potensi wilayah suatu daerah yang menyebabkan daerah tersebut miskin. Dalam konteks penelitian ini faktor penyebab kemiskinan tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Produktivitas tenaga kerja rendah sebagai akibat rendahnya teknologi. 2. Tidak meratanya distribusi kekayaan terutama tanah

3. Rendahnya taraf pendidikan 4. Rendahnya taraf kesehatan 5. Terbatasnya lapangan kerja

6. Rendahnya kualitas SDM dan rendahnya produktifitas


(19)

41 2.2.4 Ukuran Rumah Tangga Miskin

Kemiskinan merupakan refleksi dari ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan standar yang berlaku. Saat ini sudah cukup banyak ukuran dan standar yang dikeluarkan oleh para pakar dan lembaga mengenai batas garis kemiskinan.

Standar kemiskinan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Agraria (dalam Nawawi, 2001: 45), adalah berdasarkan konsumsi sembilan bahan pokok yang dihitung berdasarkan harga setempat. Standar kebutuhan minimum perorang per bulan : 100 kg beras, 60 liter minyak tanah, 15 kg ikan asin, 6 kg gula pasir, 4 meter tekstil kasar, 6 kg minyak goreng, 2 meter batik kasar dan 4 kg garam.

Selanjuttan Bappenas (2009: 67) menetapkan kriteria rumah tangga miskin sebagaimana disajikan pada tabel 2.1. Seperti diketahui berbagai pelayanan sosial dan pemberdayaan masyarakat masih dijalankan secara residual, sehingga sasaran program adalah kelompok masyarakat yang dianggap menghadapi masalah dan kendala dalam memenuhi kebutuhan hidup. Oleh Kementerian Sosial kelompok tersebut dinamakan dengan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Biasanya mereka yang bermasalah tersebut dipandang sebagai satu kesatuan rumah tangga, sehingga dikenal istilah Rumah Tangga Miskin (RTM). Selanjutnya RTM inilah yang menjadi Rumah Tangga Sasaran (RTS) dari berbagai program pelayanan sosial dan pemberdayaan masyarakat tersebut.


(20)

42 Tabel 2.1

Kriteria rumah tangga miskin menurut biro pusat statistik No. Variabel Kriteria Rumah Tangga Miskin 1 Luas lantai bangunan

tempat tinggal

Kurang dari 8 m² per orang

2 Jenis lantai bangunan tempat tinggal

Tanah/bambu/kayu murahan

3 Jenis dinding tempat tinggal

Bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

4 Fasilitas tempat buang air besar

Tidak punya/bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5 Sumber penerangan

rumah

Bukan listrik

6 Sumber air minum Sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan 7 Bahan bakar untuk

memasak sehari-hari

Kayu bakar/arang/minyak tanah

8 Konsumsi daging / susu / ayam per minggu

Tidak pernah mengkonsumsi/hanya satu kali perminggu

9 Pembelian pakaian baru untuk setiap ART dalam setahun

Tidak pernah membeli/hanya membeli satu stel dalam setahun

10 Makanan dalam sehari untuk setiap ART


(21)

43 11 Kemampuan membayar

untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik

Tidak mampu membayar untuk berobat

12

Lapangan Pekerjaan utama kepala rumah tangga

Petani dengan luas lahan 0,5 ha/buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan Rp 600,000 per bulan

13 Pendidikan tertinggi kepala keluarga

Tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya tamat SD

14

Pemilikan asset/tabungan

Tidak punya tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500,000 seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Sumber : Badan Pusat Statistik 2008

BKKBN (2006: 24) mengambil keluarga batih sebagai unit pengertian, namun tidak menggunakan konsep kemiskinan, melainkan konsep kesejahteraan. Konsep kesejahteraan di sini jelas terkait dengan taraf hidup dan garis kemiskinan. Dengan sejumlah indikator yang dibuat oleh BKKBN, klasifikasi keluarga terdiri dari :

1) Keluarga Sejahtera tahap I adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum mereka tetapi belum memenuhi kebutuhan sosial dan psikologis seperti interaksi keluarga, interaksi bertetangga dan pekerjaan-pekerjaan yang menentukan standar kehidupan yang baik.


(22)

44 2) Keluarga Sejahtera tahap II. Ditujukan dengan anggota keluarga

melaksanakan ibadah agama secara teratur, sekali seminggu keluarga makan daging, ikan/telur. Setiap akhir tahun paling sedikit memperoleh satu stel pakaian baru, luas rumah paling kurang 8 m untuk setiap penghuni. Kesehatan keluarga baik, memiliki penghasilan tetap, anggota keluarga umur 10-60 tahun bisa baca tulisan latin. Anak umur 7-15 tahun bersekolah dan Pasangan Usia Subur (PUS) yang telah memiliki 2 anak atau lebih memakai alat kontrasepsi

3) Keluarga Sejahtera tahap III. Ditujukan dengan anggota keluarga berusaha meningkatkan pengetahuan agama, sebagian penghasilan keluargaditabung, makanan empat sehat lima sempurna dan keluarga makan bersama sehari dalam sekali serta dimanfaatkan untuk berkomunikasi. Ikut dalam kegiatan di masyarakat tempat tinggal, rekreasi minimal enam bulan sekali, mendapat informasi dari surat kabar, TV, radio, majalah dan anggota keluarga mampu menggunakan transportasi setempat.

4) Keluarga Sejahtera IV plus. Di samping ditujukan dengan keadaan keluarga seperti keluarga sejahtera tahap III juga ditambah dengan keluarga secara teratur dengan suka rela memberikan sumbangan materi untuk kegiatan sosial dan ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.

(Jaya, 2001: 45) mengemukakan, karakteristik masyarakat miskin secara umum ditandai oleh ketidakberdayaan/ketidakmampuan (powerlessness) dalam hal : (1) Memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan,

pendidikan, dan kesehatan;


(23)

45 (3) Menjangkau akses sumber daya sosial ekonomi;

(4) Menentukan nasibnya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik; (5) Membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa

mempunyai martabat dan harga diri yang rendah.

Menurut Ellis (1984) dalam Suharto (2009: 78) menyatakan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Secara politik dapat dilihat dari timgkat akses masyarakt terhadap partisipasi dalam pembuatan dan pelaksananannya. Secara sosial-psikologis menunjuk kepada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan produktivitas (Suharto, 2009).

2.3. Strategi Urbanis dalam Mempertahankan Hidup

Pada awalnya istilah strategi digunakan oleh kalangan militer. Penggunaan istilah tersbut dikaitkan dengan kondisi perang. Suatu usaha atau kegiatan membutuhkan strategi jika usaha dan kegiatan itu sulit dilakukan untuk mencapai tujuan atau mewujudkan target. Oleh karena itu dibutuhkanlah strategi yang di dalamnya terdapat perhitungan kekuatan dan kelemahan sendiri, serta kekuatan dan kelemahan musuh, perkiraan peluang, maupun tantangan (Lund, 2001: 56).

Pengertian strategi secara harfiah menurut kamus besar bahasa Indonesia (1988: 859) adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Selain itu pengertian dari strategi adalah pola rencana jangka panjang, yang dipersiapkan berdasarkan perhitungan secara matang (Yusuf, 2001: 56).


(24)

46 Strategi pada hakekatnya adalah perencanaan dan manajemen untuk mencapai suatu tujuan. Selain itu strategi dapat diartikan sebagai suatu “cara atau siasat perang” (Kamisa, 2003: 44). Dengan demikian dapat dipahami bahwa strategi merupakan siasat, teknik, cara maupun metode dalam melaksanakan sesuatu demi tercapainya suatu tujuan yang telah disusun sebelumnya.

Kemauan dan kemampuan manusia untuk dalam lingkungan dan sekitarnya sebenarnya merupakan hal yang manusiawi sebagai penjelmaan dari daya pikir mahluk yang sempurna. Hal seperti ini tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Pengertian mempertahankan hidup di sini adalah kemampuan seseorang untuk dapat bertahan hidup dari keadaan yang kurang menguntungkan di sekelilingnya.

Menurut Effendy (2000 : 47)) strategi pada hakekatnya adalah perencanaan dan manajemen untuk mencapai suatu tujuan. Menurutnya, strategi juga dapat diartikan sebagai suatu “ cara atau siasat perang ”.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa strategi merupakan siasat, teknik cara maupun metode yang dilakukan seseorang dalam melaksanakan segala sesuatu hal demi tercapainya suatu tujuan untuk mempertahankan eksistensi diri yang telah disusun dan dirancang sebelumnya.

Konsep yang identik dengan strategi adalah adaptasi. Adapun adaptasi dapat diartikan sebagai proses perubahan yang dilakukan oleh manusia, baik secara pribadi maupun kelompok karena mereka dihadapkan pada suatu perubahan yang mana perubahan itu adalah suatu tantangan, seperti para buruh korban PHK dengan situasi krisis global dunia. Strategi adaptasi yaitu cara–cara atau tindakan yang dilakukan oleh korban PHK untuk mempertahankan sosial ekonomi keluarganya.

Suhartono menyatakan bahwa defenisi dari strategi bertahan hidup (coping strategi ) adalah kemampuan seorang dalam menerapkan seperangkat cara untuk


(25)

47 mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Dalam konteks keluarga miskin, strategi penanganan masalah ini pada dasarnya merupakan kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola segenap aset yang dimilikinya. Bisa juga disamakan dengan kapabilitas keluarga miskin dalam menanggapi goncangan dan tekanan (shock and stress) (Suhartono. 2007. http//www.policy.hu diakses tanggal 20 Januari 2011 pukul 19:00 Wib )

Menurut J. Piaget (dalam Vembriarto, 2001 : 15) menyebutkan ada beberapa tipe proses adaptasi, yakni :

1. Dalam rangka adaptasi individu mengubah atau menahan implus – implus dalam dirinya. Misalnya dalam keadaan lapar seseorang harus bisa menahan lapar tersebut apabila tidak dapat memenuhinya.

2. Dalam rangka adaptasi invidu mengubah tuntunan atau kondisi – kondisi lingkungan. Misalnya mencari makanan di tong sampah atau mengharapkan penderma yang memberikan makanan.

Ditambahkan, bahwa adaptasi yang dilakukan oleh manusia lewat tingkah lakunya dapat menerangkan reaksi – reaksi terhadap tuntutan atau tingkah lakunya tentu saja merupakan adaptasi terhadap tuntutan masyarakat sosial sekitarnya. Adapun ia menggolongkan tuntutan tersebut ke dalam dua bagian, yaitu : tuntutan internal dan tuntutan eksternal. Dalam hal ini tuntutan internal merupakan tuntutan yang timbul dari dalam diri sendiri, baik yang bersifat fisik maupun sosial. Sementara itu tuntutan eksternal adalah tuntutan yang berasal dari luar individu, baik yang bersifat fisik maupun sosial. Misalnya keadaan sosial.

Berdasarkan konsep ini Moser (dalam Rahman, 2005: 34) membuat kerangka analisis yang disebut “The Aset Vurnerability”. Kerangka ini meliputi berbagai


(26)

48 pengelolaan asset yang digunakan untuk melakukan penyesuaian dan pengembangan strategi tertentu dalam mempertahankan kelangsungan hidup seperti :

a. Aset Tenaga Kerja (Labour Asets)

Misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak dalam keluarga untuk bekerja membantu ekonomi rumah tangga.

b. Aset Modal Manusia (Human Capital Asets)

Misalnya memanaatkan status kesehatan yang dapat menentukan kapasitas orang atau bekerja atau keterampilan dan pendidikan yang menentukan umpan balik atau hasil kerja (return) terhadap tenaga yang dikeluarkannya.

c. Aset Produktif (Productive Asets)

Misalnya menggunakan rumah, sawah, ternak, tanaman untuk keperluan hidupnya.

d. Aset Relasi Rumah Tangga atau Keluarga (Household Relation Asets)

Misalnya memanfaatkan jaringan dan dukungan dari system keluarga besar, kelompok etnis, migrasi tenaga kerja dan mekanisme “uang kiriman” (remittance)

e. Aset Modal Sosial (Social Capital Asets)

Misalnya memanfaatkan lembaga-lembaga lokal, arisan dan pemberi kredit informasi dalam proses dan sistem perekonomian keluarga.

Selanjutnya Edi Suhartono menyatakan strategi bertahan hidup (cooping strategies) dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dilakukan dengan berbagai cara yang dapat dikelompokkan menjadi 3 cara yaitu:

a. Strategi aktif yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk (misalnya melakukan akivitasnya sendiri, memperpanjang jam kerja,


(27)

49 memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitarnya dan sebagainya).

b. Strategi pasif yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misanya pengeluaran sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya).

c. Strategi jaringan misalnya menjalin relasi, baik secara informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan (misalnya meminjam uang tetangga, mengutang ke warung, memanfaatkan program kemiskinan, meminjam uang ke renenir atau bank dan sebagainya). (Suhartono. 2007.

Sebagian besar peneliti mengenai coping strategies menggunakan keluarga atau rumah tangga sebagai unit analisis. Meskipun istilah keluarga dan rumah tangga sering dipertukarkan, keduanya memiliki sedikit perbedaan. Keluarga menunjuk pada hubungan normatif antara orang-orang yag memiliki ikatan biologis, sedangkan rumah tangga menunjukkan pada sekumpulan orang yang hidup satu atap namun tidak selalu memiliki hubungan darah. Baik anggota keluarga maupun rumah tangga umumnya memiliki kesempatan untuk menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya secara bersama-sama.

Konsep mata pencaharian (livelihood) sangat penting dalam memahami coping strategies karena merupakan bagian dari atau kadang-kadang dianggap sama dengan strategi mata pencaharian (livelihood strategies). Suatu mata pencaharian meliputi pendapatan (baik yang bersifat tunai maupun barang), lembaga-lembaga sosial, relasi gender, hak-hak kepemilikan yang diperlukan guna mendukung dan menjamin kehidupan. Suatu kehidupan ditunjang oleh interaksi antara orang, asset nyata dan asset tidak nyata. Orang menunjuk pada kemampuan mencari nafkah (livelihood capabilities) asset nyata menunjuk pada simpanan (makanan, emas,


(28)

50 tabungan) dan sumber-sumber (tanah, air, sawah, tanaman, binatanng ternak) sedangkan asset tidak nyata menunjuk pada klaim dan akses yang merupakan kesempatan-kesempata untuk menggunaka sumber, simpanan, pelayanan, informasi, barang-barang, teknologi, pekerjaan, dan pendapatan.

Strategi yang dilakukan keluarga miskin dalam mengadaptasi naiknya harga kebutuhan pokok yaitu:

1. Pengontrolan konsumsi dan pengeluaran yaitu mengurangi jenis dan pola makan, membeli barang-barang murah, mengurangi pegeluaran untuk pendidikan dan kesehatan, mengurangi kunjungan kedesa memperbaiki rumah atau alat-alat rumah tangga sendiri.

2. Pengubahan komposisi keluarga. 3. Migrasi ke desa atau kota lain.

4. Meningkatkan jumlah anggota rumah tangga untuk memaksimalkan pendapatan. 5. Menitipkan anak ke kerabat atau keluarga lain untuk diurus baik secara temporer

maupun secara permanen.

6. Menanam tanaman yang bisa dikonsumsi di pekarangan rumah.

7. Sistem gotong royong diantara anggota keluarga dan anggota masyarakat dalam mengelola makanan dan sumber daya manusia pada masa krisis.

8. Penggantian makanan yang dikonsumsi dengan yang lebih murah atau terjangkau, misalnya: mengganti ikan dengan telur.

9. Penjualan simpanan benda-benda berharga seperti emas, perabotan rumah tangga untuk memperoleh tambahan uang.

10.Penjualan asset produktif seperti tanah, binatang ternak untuk memperoleh tambahan uang.


(29)

51 11.Peminjaman kredit dari bank, kerabat atau anggota keluarga lain, pedagang atau

lintah darat.

12.Produksi dan perdagangan skala kecil seperti membuka warung atau kedai sampah dengan target masyarakat yang tinggal disekitar tempat tinggal.

13.Pemanfaatan bantuan pemerintah dimasa krisis misalnya melalui program

Jaringan Pengamanan Sosial (JPS) (Miles.20

diakses tanggal 20 Januari 2011 pukul 20:25 Wib)

Adiyuwono (2001 : 9) mengemukakan, bahwa timbulnya keinginan mempertahankan hidup adalah karena adanya usaha manusia untuk keluar dari kesulitan yang dihadapinya. Faktor kesulitan tersebut antara lain

a. Keadaan alam (cuaca, keadaan lingkungan) b. Keadaan mahluk lain di sekitar kita c. Keadaan diri sendiri

“Semangat untuk tetap hidup”, dengan semangat inilah akan tumbuh kekuatan pantang menyerah dalam keadaan sesulit apa pun. Motivasi inilah yang akan selalu menumbuhkan harapan dengan disertai sifat-sifat positif dan juga keberanian. Kepercayaan diri merupakan tenaga potensial yang harus tetap dijaga. Dengan kepercayaan diri akan timbul kekuatan untuk melaksanakan segala sesuatu dengan penuh keyakinan.

Dalam mempertahankan hidup, belajar dari pengalaman sangatlah berharga. Hampir seluruh materi pengajaran adalah kumpulan pengalaman. Pengalaman ini benar-benar sangat berharga baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain. Tidak ada yang membantah bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik. Selain itu dalam memperluas pengetahuan tentang mempertahankan hidup, tentu saja ada baiknya banyak belajar dari penduduk setempat tentang pengalaman, pengetahuan dan kebiasaannya

Pola relasi sosial dan produksi yang terbangun dalam hubungan informal ini memberikan jaminan secara sosial-ekonomi bagi para buruh dan subkontraktor untuk


(30)

52 tetap memperoleh pekerjaan, dengan berbagai aturan atau kedisiplinan yang relatif lebih longgar dibandingkan dengan hubungan formal pada usaha-usaha besar. Oleh karena itu, kondisi yang dipandang timpang dari sudut pandang ekonomi, dalam hal pertukaran sumber daya dan distribusi keuntungan, justru dipandang sebagai hal yang wajar dan tidak bisa diubah oleh buruh. Kondisi timpang tersebut dianggap setara dengan jaminan ekonomi yang mereka terima dari subkontraktor. Hal ini yang menyebabkan ketidak puasan buruh tidak pernah pecah menjadi perselisihan terbuka.

Meskipun demikian, kedekatan hubungan antarwarga seperti ini merupakan modal sosial untuk kelangsungan hidup masyarakat tersebut. Komunitas sebagai social safety net selalu menjadi andalan individu maupun kelompok miskin. Ada berbagai istilah untuk menunjukkan jaminan sosial-ekonomi jenis ini, yaitu coping strategies, coping mechanism, dan jaminan sosial informal/tradisional. Semua konsep ini mengacu pada strategi dan mekanisme bertahan dalam menghadapi kesulitan ekonomi, yaitu melalui penurunan kualitas hidup dan pemanfaatan jaringan sosial yang dekat. Strategi ini meliputi pengurangan pengeluaran untuk konsumsi secara kualitas dan kuantitas, mengembangakan jaringan sosial yang dekat atau sumber daya eksternal, yaitu komunitas yang terdiri atas kerabat, teman, dan tetangga (misalnya dalam arisan, utang- piutang, koperasi), serta membuat jaringan yang kuat dengan institusi keagamaan. Tetapi, kita tetap harus waspada jika krisis melanda banyak orang secara bersama-sama sehingga tidak ada satu pun tempat atau jaringan sosial untuk bergantung (Cook, dalam Strahm, 2005: 72).

2.4. Kerangka Pemikiran

Urbanisasi sudah menjadi gejala umum. Bahkan tumbuh dan berkembangnya kota-kota di dunia tidak terlepas dari urbanisasi. Secara demografis dan geografis, urbanisasi adalah peristiwa berpindahnya penduduk dari wilayah perdesaan ke


(31)

53 wilayah perkotaan. Namun psikis, bagi pelaku urbanisasi atau yang secara umum dinamakan dengan kaum urbanis, berpindahnya penduduk dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan adalah didorong oleh keinginan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di daerah tujuan.

Wilayah perdesaan senantiasa dipertentangkan dengan wilayah perkotaan. Hal ini wajar, karena memang kondisi dari kedua wilayah tersebut sangat berbeda. Wilayah perdesaan sering diidentifikasi sebagai wilayah yang relatif statis, sedangkan wilayah perkotaan sering diidentifikasi dengan wilayah yang relatif dinamis. Dengan demikian tantangan yang ada di perkotaan dianggap lebih sulit dibandingkan dengan tantangan yang ada di perdesaan.

Oleh karena itu, ciri-ciri masyarakat perdesaan dianggap berbeda dibandingkan dengan ciri-ciri masyarakat perkotaan. Masyarakat perdesaan sering diidentifikasi dengan masyarakat yang sederhana, pendidikan rendah, tidak memiliki keterampilan yang memadai, memiliki ikatan sosial yang masih kuat. Sedangkan masyarakat perkotaan diidentifikasi sebagai masyarakat yang kompleks, pendidikan tinggi, keterampilan khusus, dan ikatan sosial yang sudah longgar.

Oleh karena itu, kaum urbanis (mereka yang melakukan urbanisasi) sesampai di perkotaan yang menjadi tujuan dihadapkan pada kondisi dan tantangan yang berbeda. Dalam rangka menghadapi tantangan itu, mereka dipaksa melakukan strategi dalam mempertahankan hidup. Boleh jadi mereka mencoba mengasah keterampilan, melakukan strategi aktif, maupun strategi pasif atau strategi produk yang berkaitan dengan produksi maupun konsumsi, serta strategi jaringan, baik ditujukan pada komunitas, pemerintah, maupun organisasi non pemerintah.

Setelah kaum urbanis melakukan strategi tersebut, maka mereka mencapai tingkat kehidupan tertentu. Mungkin mereka mencapai kehidupan yang statis atau


(32)

54 relatif sama dengan kehidupan mereka di desa, mungkin lebih rendah atau lebih buruk, tetapi mungkin pula lebih baik. Kondisi kehidupan tersebut secara spesifik dapat dilihat dari jenis pekerjaan, kenyamanan bekerja, tingkat pendapatan, tingkat keterpenuhan kebutuhan: sandang, pangan, papan, keterpenuhan kebutuhan pendidikan anak, pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua, tingkat kenyamanan hidup, kebutuhan rekreasi/hiburan, kebutuhan fasilitas transportasi.

Gambar 2.1 Bagan Alir Pikiran

2.5. Defenisi Konsep

Urbanisasi

Kondisi Baru dan Berbeda di Kota

Strategi Mempertahankan Hidup:

1. Strategi produksi 2. Strategi konsumsi 3. Relasi/Jaringan:

a. Kerabat, tetangga, rekan Kerja (komunitas) b. Organisasi Pemerintah c. Organisasi Non Peme- rintah

Kehidupan Sosial Ekonomi: 1. Jenis pekerjaan

2. Kenyamanan bekerja 3. Tingkat pendapatan

4. Tingkat keterpenuhan kebu- tuhan: sandang, pangan, papan

5. Tingkat keterpenuhan kebu- tuhan pendidikan anak 6. Pemeliharaan kesehatan 7. Jaminan hari tua

8. Tingkat kenyamanan hidup 9. Kebutuhan rekreasi/hiburan 10.Kebutuhan fasilitas trans- portasi


(33)

55 Konsep dapat diartikan sebagai unsur-unsur pokok kajian penelitian. Dalam suatu penelitian, biasanya terdapat beberapa unsur pokok yang menjadi pokok kajian penelitian itu (Babbie, 2008: 19). Adapun konsep-konsep yang dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Strategi diartikan sebagai suatu rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran atau tujuan khusus. Strategi di sini adalah suatu cara yang dilakukan manusia untuk menghadapi masalah dan tantangan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga keluarganya.

2. Urbanis kelompok masyarakat dalam unit rumah tangga yang melakukan perpindahan dari desa ke kota, dimana mereka telah menetap di kota antara 1 sampai dengan 9 tahun.

3. Mempertahankan hidup adalah suatu mekanisme psikologi yang dilakukan manusia dan masyarakat untuk mempertahankan kehidupannya dengan suatu kondisi tertentu yang memungkinkan manusia dan masyarakat tersebut mampu melanjutkan kehidupannya.

2.6. Defenisi Operasional

Defenisi operasional merupakan unsur pokok dalam suatu penenlitian, karena dengan unsur itulah konsep-konsep penelitian yang kemudian disimpulkan dalam golongan variabel penelitian dapat diukur (Babbie, 2008: 21). Sesuai dengan variabel penelitian dan hubungan di antara variabel penelitian ini, maka kajian penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel bebas, yaitu strategi urbanis dalam mempertahankan hidup dan variabel terikat, yaitu kehidupan sosial ekonomi urbanis setelah mereka tinggal dan melakukan aktivitas hidup di kota sebagai tujuan mereka.


(34)

56 Variabel bebas, yakni strategi atau upaya buruh dalam mempertahankan hidup, meliputi:

1. Strategi produksi atau strategi aktif, diukur dari: a. Bagaimana mereka memperoleh pendapatan

b. Keterlibatan anggota keluarga dalam memperoleh pendapatan 2. Strategi konsumsi atau strategi pasif, diukur dari:

a. Pemilihan alternatif sandang,

b. Pemilihan alternatif sandang pangan, c. Pemilihan alternatif sandang papan, d. Pemilihan alternatif sandang pendidikan, 3. Strategi relasi/jaringan, diukur dari:

a. Relasi dengan kerabat b. Relasi dengan tetangga c. Relasi dengan rekan kerja

d. Akses terhadap program pelayanan sosial dari Pemerintah e. Akses terhadap pelayanan sosial dari organisasi non Pemerintah

Variabel terikat, kehidupan sosial ekonomi urbanis setelah mereka tinggal dan melakukan aktivitas hidup di kota sebagai tujuan mereka, meliputi:

1. Jenis pekerjaan, diukur dari golongan pekerjaan: a. Formal

b. Informal

c. Kesesuaian dengan pendidikan, keterampilan, dan keinginan 2. Kenyamanan bekerja, diukur dari:

a. Resiko bahaya kecelakaan kerja b. Resiko PHK/Kehilangan pekerjaan


(35)

57 c. Sifat permanen atau non permanen

3. Tingkat pendapatan, diukur dari :

a. Jumlah pendapatan (dalam satuan rupiah) b. Kesesuaian dengan kebutuhan

c. Kesesuaian dengan harapan

4. Tingkat keterpenuhan kebutuhan: sandang, pangan, papan, diukur dari: a. Tingkat pemenuhan sandang, seperti jumlah dan kualitas sandang b. Frekuensi dan kualitas pangan

c. Tipe rumah, status kepemilikan rumah

5. Tingkat keterpenuhan kebutuhan pendidikan anak, diukur dari: a. Tingkat pendidikan yang diikuti anak

b. Kualitas sekolah dimana anak memperoleh pendidikan c. Prestasi pendidikan akan

6. Pemeliharaan kesehatan, diukur dari:

a. Perilaku berobat, seperti: bilamana berobat: apakah sesudah parah atau belum, kemana berobat, dari mana biaya berobat – ada tidaknya jaminan kesehatan

7. Jaminan hari tua, diukur dari: besar tabungan, tempat menabung, asuransi. 8. Tingkat kenyamanan hidup, diukur dari perasaan nyaman tidaknya menjalani

kehidupan, ada tidaknya rasa takut

9. Kebutuhan rekreasi/hiburan, diukur dari: frekuensi menikmati rekreasi/hiburan dan tujuan rekreasi/hiburan

10.Kebutuhan fasilitas transportasi, diukur dari kepemilikan alat transport, ketersediaan alat transport umum, jangkauan alat transport dan akses/kemampuan menikmati alat transport


(1)

52 tetap memperoleh pekerjaan, dengan berbagai aturan atau kedisiplinan yang relatif lebih longgar dibandingkan dengan hubungan formal pada usaha-usaha besar. Oleh karena itu, kondisi yang dipandang timpang dari sudut pandang ekonomi, dalam hal pertukaran sumber daya dan distribusi keuntungan, justru dipandang sebagai hal yang wajar dan tidak bisa diubah oleh buruh. Kondisi timpang tersebut dianggap setara dengan jaminan ekonomi yang mereka terima dari subkontraktor. Hal ini yang menyebabkan ketidak puasan buruh tidak pernah pecah menjadi perselisihan terbuka.

Meskipun demikian, kedekatan hubungan antarwarga seperti ini merupakan modal sosial untuk kelangsungan hidup masyarakat tersebut. Komunitas sebagai social safety net selalu menjadi andalan individu maupun kelompok miskin. Ada berbagai istilah untuk menunjukkan jaminan sosial-ekonomi jenis ini, yaitu coping strategies, coping mechanism, dan jaminan sosial informal/tradisional. Semua konsep ini mengacu pada strategi dan mekanisme bertahan dalam menghadapi kesulitan ekonomi, yaitu melalui penurunan kualitas hidup dan pemanfaatan jaringan sosial yang dekat. Strategi ini meliputi pengurangan pengeluaran untuk konsumsi secara kualitas dan kuantitas, mengembangakan jaringan sosial yang dekat atau sumber daya eksternal, yaitu komunitas yang terdiri atas kerabat, teman, dan tetangga (misalnya dalam arisan, utang- piutang, koperasi), serta membuat jaringan yang kuat dengan institusi keagamaan. Tetapi, kita tetap harus waspada jika krisis melanda banyak orang secara bersama-sama sehingga tidak ada satu pun tempat atau jaringan sosial untuk bergantung (Cook, dalam Strahm, 2005: 72).

2.4. Kerangka Pemikiran

Urbanisasi sudah menjadi gejala umum. Bahkan tumbuh dan berkembangnya kota-kota di dunia tidak terlepas dari urbanisasi. Secara demografis dan geografis, urbanisasi adalah peristiwa berpindahnya penduduk dari wilayah perdesaan ke


(2)

53 wilayah perkotaan. Namun psikis, bagi pelaku urbanisasi atau yang secara umum dinamakan dengan kaum urbanis, berpindahnya penduduk dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan adalah didorong oleh keinginan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di daerah tujuan.

Wilayah perdesaan senantiasa dipertentangkan dengan wilayah perkotaan. Hal ini wajar, karena memang kondisi dari kedua wilayah tersebut sangat berbeda. Wilayah perdesaan sering diidentifikasi sebagai wilayah yang relatif statis, sedangkan wilayah perkotaan sering diidentifikasi dengan wilayah yang relatif dinamis. Dengan demikian tantangan yang ada di perkotaan dianggap lebih sulit dibandingkan dengan tantangan yang ada di perdesaan.

Oleh karena itu, ciri-ciri masyarakat perdesaan dianggap berbeda dibandingkan dengan ciri-ciri masyarakat perkotaan. Masyarakat perdesaan sering diidentifikasi dengan masyarakat yang sederhana, pendidikan rendah, tidak memiliki keterampilan yang memadai, memiliki ikatan sosial yang masih kuat. Sedangkan masyarakat perkotaan diidentifikasi sebagai masyarakat yang kompleks, pendidikan tinggi, keterampilan khusus, dan ikatan sosial yang sudah longgar.

Oleh karena itu, kaum urbanis (mereka yang melakukan urbanisasi) sesampai di perkotaan yang menjadi tujuan dihadapkan pada kondisi dan tantangan yang berbeda. Dalam rangka menghadapi tantangan itu, mereka dipaksa melakukan strategi dalam mempertahankan hidup. Boleh jadi mereka mencoba mengasah keterampilan, melakukan strategi aktif, maupun strategi pasif atau strategi produk yang berkaitan dengan produksi maupun konsumsi, serta strategi jaringan, baik ditujukan pada komunitas, pemerintah, maupun organisasi non pemerintah.

Setelah kaum urbanis melakukan strategi tersebut, maka mereka mencapai tingkat kehidupan tertentu. Mungkin mereka mencapai kehidupan yang statis atau


(3)

54 relatif sama dengan kehidupan mereka di desa, mungkin lebih rendah atau lebih buruk, tetapi mungkin pula lebih baik. Kondisi kehidupan tersebut secara spesifik dapat dilihat dari jenis pekerjaan, kenyamanan bekerja, tingkat pendapatan, tingkat keterpenuhan kebutuhan: sandang, pangan, papan, keterpenuhan kebutuhan pendidikan anak, pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua, tingkat kenyamanan hidup, kebutuhan rekreasi/hiburan, kebutuhan fasilitas transportasi.

Gambar 2.1 Bagan Alir Pikiran

2.5. Defenisi Konsep

Urbanisasi

Kondisi Baru dan Berbeda di Kota

Strategi Mempertahankan Hidup:

1. Strategi produksi 2. Strategi konsumsi 3. Relasi/Jaringan:

a. Kerabat, tetangga, rekan Kerja (komunitas) b. Organisasi Pemerintah c. Organisasi Non Peme- rintah

Kehidupan Sosial Ekonomi: 1. Jenis pekerjaan

2. Kenyamanan bekerja 3. Tingkat pendapatan

4. Tingkat keterpenuhan kebu- tuhan: sandang, pangan, papan

5. Tingkat keterpenuhan kebu- tuhan pendidikan anak 6. Pemeliharaan kesehatan 7. Jaminan hari tua

8. Tingkat kenyamanan hidup 9. Kebutuhan rekreasi/hiburan 10.Kebutuhan fasilitas trans- portasi


(4)

55 Konsep dapat diartikan sebagai unsur-unsur pokok kajian penelitian. Dalam suatu penelitian, biasanya terdapat beberapa unsur pokok yang menjadi pokok kajian penelitian itu (Babbie, 2008: 19). Adapun konsep-konsep yang dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Strategi diartikan sebagai suatu rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran atau tujuan khusus. Strategi di sini adalah suatu cara yang dilakukan manusia untuk menghadapi masalah dan tantangan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga keluarganya.

2. Urbanis kelompok masyarakat dalam unit rumah tangga yang melakukan perpindahan dari desa ke kota, dimana mereka telah menetap di kota antara 1 sampai dengan 9 tahun.

3. Mempertahankan hidup adalah suatu mekanisme psikologi yang dilakukan manusia dan masyarakat untuk mempertahankan kehidupannya dengan suatu kondisi tertentu yang memungkinkan manusia dan masyarakat tersebut mampu melanjutkan kehidupannya.

2.6. Defenisi Operasional

Defenisi operasional merupakan unsur pokok dalam suatu penenlitian, karena dengan unsur itulah konsep-konsep penelitian yang kemudian disimpulkan dalam golongan variabel penelitian dapat diukur (Babbie, 2008: 21). Sesuai dengan variabel penelitian dan hubungan di antara variabel penelitian ini, maka kajian penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel bebas, yaitu strategi urbanis dalam mempertahankan hidup dan variabel terikat, yaitu kehidupan sosial ekonomi urbanis setelah mereka tinggal dan melakukan aktivitas hidup di kota sebagai tujuan mereka.


(5)

56 Variabel bebas, yakni strategi atau upaya buruh dalam mempertahankan hidup, meliputi:

1. Strategi produksi atau strategi aktif, diukur dari: a. Bagaimana mereka memperoleh pendapatan

b. Keterlibatan anggota keluarga dalam memperoleh pendapatan 2. Strategi konsumsi atau strategi pasif, diukur dari:

a. Pemilihan alternatif sandang,

b. Pemilihan alternatif sandang pangan, c. Pemilihan alternatif sandang papan, d. Pemilihan alternatif sandang pendidikan, 3. Strategi relasi/jaringan, diukur dari:

a. Relasi dengan kerabat b. Relasi dengan tetangga c. Relasi dengan rekan kerja

d. Akses terhadap program pelayanan sosial dari Pemerintah e. Akses terhadap pelayanan sosial dari organisasi non Pemerintah

Variabel terikat, kehidupan sosial ekonomi urbanis setelah mereka tinggal dan melakukan aktivitas hidup di kota sebagai tujuan mereka, meliputi:

1. Jenis pekerjaan, diukur dari golongan pekerjaan: a. Formal

b. Informal

c. Kesesuaian dengan pendidikan, keterampilan, dan keinginan 2. Kenyamanan bekerja, diukur dari:

a. Resiko bahaya kecelakaan kerja b. Resiko PHK/Kehilangan pekerjaan


(6)

57 c. Sifat permanen atau non permanen

3. Tingkat pendapatan, diukur dari :

a. Jumlah pendapatan (dalam satuan rupiah) b. Kesesuaian dengan kebutuhan

c. Kesesuaian dengan harapan

4. Tingkat keterpenuhan kebutuhan: sandang, pangan, papan, diukur dari: a. Tingkat pemenuhan sandang, seperti jumlah dan kualitas sandang b. Frekuensi dan kualitas pangan

c. Tipe rumah, status kepemilikan rumah

5. Tingkat keterpenuhan kebutuhan pendidikan anak, diukur dari: a. Tingkat pendidikan yang diikuti anak

b. Kualitas sekolah dimana anak memperoleh pendidikan c. Prestasi pendidikan akan

6. Pemeliharaan kesehatan, diukur dari:

a. Perilaku berobat, seperti: bilamana berobat: apakah sesudah parah atau belum, kemana berobat, dari mana biaya berobat – ada tidaknya jaminan kesehatan

7. Jaminan hari tua, diukur dari: besar tabungan, tempat menabung, asuransi. 8. Tingkat kenyamanan hidup, diukur dari perasaan nyaman tidaknya menjalani

kehidupan, ada tidaknya rasa takut

9. Kebutuhan rekreasi/hiburan, diukur dari: frekuensi menikmati rekreasi/hiburan dan tujuan rekreasi/hiburan

10.Kebutuhan fasilitas transportasi, diukur dari kepemilikan alat transport, ketersediaan alat transport umum, jangkauan alat transport dan akses/kemampuan menikmati alat transport