Strategi Urbanis dalam Mempertahankan Hidup Di Kelurahan Cinta Damai Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

(1)

1

STRATEGI URBANIS DALAM MEMPERTAHANKAN

HIDUP DI KELURAHAN CINTA DAMAI

KECAMATAN MEDAN HELVETIA

KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh:

SOFIA AZMI NASUTION

110902008

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

2 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKUTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Sofia Azmi Nasution

NIM : 110902008

Departemen : Ilmu Kesejahteraan Sosial

Judul : Strategi Urbanis dalam Mempertahankan Hidup Di Kelurahan Cinta Damai Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

Medan, September 2015

PEMBIMBING

19630319 199303 1 001 Drs. Matias Siagian, M.Si, Ph.D

KETUA DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

19710927 199801 2 001 Hairani Siregar, S.Sos, M.SP

DEKAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

NIP. 19680525 199203 1 002 Prof. Dr. Badaruddin, M.Si


(3)

3 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

Nama : Sofia Azmi Nasution NIM : 110902008

ABSTRAK

Strategi Urbanis dalam Mempertahankan Hidup Di Kelurahan Cinta Damai Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

Perpindahan penduduk dari desa ke kota yang dikenal dengan konsep urbanisasi merupakan gejala sosial yang sering menimbulkan masalah sosial di perkotaan. Semakin sempitnya lapangan kerja di desa akibat ketidak seimbangan antara luas lahan pertanian dengan jumlah penduduk mengakibatkan sulitnya masyarakat desa meningkatkan kesejahteraan mereka. Selain itu, pesona kota sering menjadi penarik masyarakat desa untuk pindah ke kota. Penelitian secara khusus mengkaji strategi kaum urbanis dalam mempertahankan hidup di kota. Adapun masalah penelitian ini adalah: Strategi apa saja yang dilakukan urbanis dalam mempertahankan hidup dan bagaimana sosial ekonomi di Kelurahan Cinta Damai Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi yang dilakukan urbanis dalam mempertahankan hidup dan sosial ekonomis urbanis di Kelurahan Cinta Damai Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dengan tujuan untuk dapat menggambarkan fenomena sosial berupa strategi yang diterapkan urbanis dalam mempertahankan hidup di kota, baik berupa strategi aktif, strategi pasif dan strategi jaringan. Sebagai produk dari penerapan strategi tersebut adalah kondisi kehidupan sosial ekonomi keluarga urbanis saat penelitian dilakukan. Adapun kehidupan sosial ekonomi dalam penelitian ini diukur dari kenyamanan bekerja, tingkat pendapatan, tingkat pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan, pendidikan, pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua, rekreasi/hiburan, kenyamanan hidup dan kebutuhan transportasi. Data penelitian diperoleh dari 55 keluarga sampel, dengan menyebarkan angket ditambah dengan wawancara. Data penelitian dianalisis secara deskkriptif kuantitatif dengan menggunakan ukuran


(4)

4 statistik deskriptif dalam persentase kemunculan fenomena sosial yang diteliti sehingga diketahui kecenderungan fenomena sosial tersebut.

Hasil analisis data menyimpulkan bahwa kaum urbanis menerapkan strategi produksi antara lain dengan cara memperluas keterlibatan anggota keluarga dalam aktivitas ekonomi, termasuk di dalamnya melibatkan anak. Sedangkan dalam strategi konsumsi menyimpulkan bahwa keluarga urbanis berusaha menekan pengeluaran serendah-rendahnya tanpa memperhatikan kualitas akan makanan. Sedangkan strategi jaringan antara lain dengan cara memanfaatkan berbagai akses untuk memperoleh pelayanan sosial dari pemerintah seperti memperoleh fasilitas raskin, PNPM Mandiri, dan pelayanan sosial yang dilakukan lembaga-lembaga agama. Secara umum kehidupan sosial ekonomi kaum urbanis tergolong rendah dan buruk.

Kata kunci: Strategi mempertahankan hidup, strategi aktif, strategi pasif, Strategi jaringan


(5)

5 KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan nikmatnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW karena perjuangan Beliau kita berada dalam alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Masalah urbanisasi merupakan masalah nasional, karena fenomena tersebut menimbulkan banyak masalah perkotaan. Rendahnya pendidikan dan tidak adanya keterampilan menjadi masalah tersendiri bagi kaum urbanis dalam menjalani hidupnya di kota. Pembahasan tentang program strategi urbanis dalam menjalani hidupnya dibahas dalam skripsi ini melalui penelitian dengan judul “Strategi Urbanis dalam Mempertahankan Hidup di Kelurahan Cinta Damai Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan”.

Pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Ibu Hairani Siregar S.Sos. M.Sp. selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Bapak Drs. Matias Siagian, M.Si, Ph.D selaku Dosen pembimbing saya beserta para Dosen-dosen dan staf Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial lainnya yang terlibat dan membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.


(6)

6 3. Bapak Ranto Nainggolan selaku Lurah dan seluruh perangkat kelurahan Cinta Damai kecamatan Medan Helvetia kota Medan yang telah banyak membantu saya selama penelitian dalam mendapatkan informasi dan berbagai hal yang saya butuhkan dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ayahanda tercinta Alm. Ishak Jasir Nasution yang telah menjadi seorang inspirator bagi anak-anaknya dan selalu sabar dalam menghadapi cobaan hidup yang tiada pernah ada hentinya. Kepada ibunda tersayang Nurwani yang bukan hanya menjadi figur seorang ibu tetapi menjadi segalanya yang memiliki pengaruh besar di setiap langkah anak-anaknya.

5. Kakak-kakakku tercinta Ismayani, Afni, Adawiah, Zulaikha, yang selalu mendukung setiap hal positif yang adiknya perbuat baik dengan moril maupun materil

6. Masyarakat kelurahan Cinta Damai yang terpilih menjadi responden atas kesediaannya memberikan data/informasi yang diperlukan dalam penelitian ini.

7. Teman-teman saya stambuk 2011, vindy, farras, hairi. Dan rekan-rekan seperjuangan desrina, irawati dan teman-teman 11 lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

8. Sahabat-sahabatku tercinta Wulandari, Aldrien, Yogi dan sahabat-sahabat yang lainnya. Terima kasih atas dukungan dan motivasi yang selalu kalian berikan.

9. Korps yayasan Nazar Medan yang menjadi tempat PKL II sekaligus tempat saya mengabdi sebagai konselor adiksi. Buat rekan-rekan kerja penulis sis Rahma, Bro Yahya, bro Andre dan seluruh staff yayasan Nazar Medan, terimakasih atas kerjasama dan kekompakannya selama ini.


(7)

7 10. Bapak Poltak Marbun S.Th M.Min selaku Pimpinan Yayasan Nazar

Medan yang membuka jalan bagi penulis untuk bekerja di BNN dan senantiasa memberikan pengertian bagi penulis sehingga tetap dapat mengikuti perkuliahan dan penulisan skripsi.

11. Buat seseorang yang sangat spesial yang sangat berperan penting dalam usaha penulis menyelesaikan skripsi ini. Terimaksih buat semua bantuan, motivasi waktu dan tenaga yang telah diberikannya.

Medan, September 2015


(8)

8 DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Pembatasan Masalah ... 9

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.5. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II. TIN JAUAN PUSTAKA 2.1. Urbanisasi dan Masalah Yang Ditimbulkan ... 13

2.1.1. Pengertian Urbanisasi... 13

2.1.2. Faktor-faktor Penyebab Urbanisasi ... 14

2.1.3. Masalah yang Ditimbulkan Urbanisasi...17

2.2. Kemiskinan ... 22

2.2.1. Pengertian Kemiskinan ... 22

2.2.2. Jenis-jenis Kemiskinan... 27

2.2.3. Faktor Penyebab Kemiskinan...29

2.2.4. Ukuran Rumah Tangga Miskin...31

2.3. Strategi Urbanis dalam Mempertahankan Hidup ... 35

2.4. Kerangka Pemikiran ... 42


(9)

9

2.6. Defenisi Operasional ... 45

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian ... 48

3.2. Lokasi Penelitian ... 48

3.3. Populasi dan Sampel ... 49

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 50

3.5. Teknik Analisa Data ... 51

BAB IV. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1. Tinjauan Geografis Kelurahan Cinta Damai ... 52

4.2. Keadaan Demografis ... 53

4.3. Sarana Pendidikan di Kelurahan Cinta Damai ... 57

4.4. Sarana Kesehatan di Kelurahan Cinta Damai ... 59

4.5. Sarana Ibadah di Kelurahan Cinta Damai ... 60

4.6. Sarana Olah Raga di Kelurahan Cinta Damai ... 61

4.7. Sarana Ekonomi di Kelurahan Cinta Damai ... 62

4.8. Aspek Pemerintahan Kelurahan Cinta Damai... 66

BAB V. ANALISA DATA 5.1. Karakteristik Umum Responden ... 68

5.2. Strategi Mempertahankan Hidup ... 77

5.2.1. Strategi Produksi ... 83

5.2.2. Strategi Pasif ... 90

5.3. Kondisi Ekonomi Keluarga ... 102

BAB VI. PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 128


(10)

10 6.2. Saran ... 130 DAFTAR PUSTAKA ... 132


(11)

3 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

Nama : Sofia Azmi Nasution NIM : 110902008

ABSTRAK

Strategi Urbanis dalam Mempertahankan Hidup Di Kelurahan Cinta Damai Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan

Perpindahan penduduk dari desa ke kota yang dikenal dengan konsep urbanisasi merupakan gejala sosial yang sering menimbulkan masalah sosial di perkotaan. Semakin sempitnya lapangan kerja di desa akibat ketidak seimbangan antara luas lahan pertanian dengan jumlah penduduk mengakibatkan sulitnya masyarakat desa meningkatkan kesejahteraan mereka. Selain itu, pesona kota sering menjadi penarik masyarakat desa untuk pindah ke kota. Penelitian secara khusus mengkaji strategi kaum urbanis dalam mempertahankan hidup di kota. Adapun masalah penelitian ini adalah: Strategi apa saja yang dilakukan urbanis dalam mempertahankan hidup dan bagaimana sosial ekonomi di Kelurahan Cinta Damai Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi yang dilakukan urbanis dalam mempertahankan hidup dan sosial ekonomis urbanis di Kelurahan Cinta Damai Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dengan tujuan untuk dapat menggambarkan fenomena sosial berupa strategi yang diterapkan urbanis dalam mempertahankan hidup di kota, baik berupa strategi aktif, strategi pasif dan strategi jaringan. Sebagai produk dari penerapan strategi tersebut adalah kondisi kehidupan sosial ekonomi keluarga urbanis saat penelitian dilakukan. Adapun kehidupan sosial ekonomi dalam penelitian ini diukur dari kenyamanan bekerja, tingkat pendapatan, tingkat pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan, pendidikan, pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua, rekreasi/hiburan, kenyamanan hidup dan kebutuhan transportasi. Data penelitian diperoleh dari 55 keluarga sampel, dengan menyebarkan angket ditambah dengan wawancara. Data penelitian dianalisis secara deskkriptif kuantitatif dengan menggunakan ukuran


(12)

4 statistik deskriptif dalam persentase kemunculan fenomena sosial yang diteliti sehingga diketahui kecenderungan fenomena sosial tersebut.

Hasil analisis data menyimpulkan bahwa kaum urbanis menerapkan strategi produksi antara lain dengan cara memperluas keterlibatan anggota keluarga dalam aktivitas ekonomi, termasuk di dalamnya melibatkan anak. Sedangkan dalam strategi konsumsi menyimpulkan bahwa keluarga urbanis berusaha menekan pengeluaran serendah-rendahnya tanpa memperhatikan kualitas akan makanan. Sedangkan strategi jaringan antara lain dengan cara memanfaatkan berbagai akses untuk memperoleh pelayanan sosial dari pemerintah seperti memperoleh fasilitas raskin, PNPM Mandiri, dan pelayanan sosial yang dilakukan lembaga-lembaga agama. Secara umum kehidupan sosial ekonomi kaum urbanis tergolong rendah dan buruk.

Kata kunci: Strategi mempertahankan hidup, strategi aktif, strategi pasif, Strategi jaringan


(13)

11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krisis global 2008 yang berawal dari Amerika Serikat ternyata memiliki pengaruh negatif yang merambat ke hampir seluruh belahan dunia. Akibat utama yang sangat mengkhawatirkan dari krisis global tersebut antara lain adalah terjadinya kelesuan ekonomi. Selanjutnya kelesuan ekonomi antara lain mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran. Sebagai contoh, data pemerintah Amerika Serikat pada bulan Oktober 2008 mengindikasikan bahwa secara kuantitas, jumlah pekerja yang mengalami PHK di Amerika Serikat mencapai 478.000 orang. Selanjutnya pada bulan Desember di tahun yang sama, Wall Street kembali mengumumkan tambahan tenaga kerja yang mengalami PHK sebanyak 152.000 orang. Kondisi di atas jauh di luar prakiraan semula, dimana para pakar ekonomi Amerika Serikat memprediksikan jumlah tenaga kerja yang mengalami PHK hanya sebanyak 85.000 orang (Modjo, 2008).

Krisis global, terutama krisis di bidang ekonomi di Amerika Serikat tentu berdampak cukup signifikan bagi Indonesia. Hal tersebut terjadi karena salah satu negara tujuan ekspor dari berbagai komoditi Indonesia adalah Amerika Serikat. Oleh karena itu, krisis global yang berawal di Amerika Serikat secara signifikan tentu mengurangi daya beli masyarakat di sana. Kondisi ini tentu akan mengurangi permintaan masyarakat atas komoditi dari Indonesia yang seterusnya secara signifikan akan mengurangi volume ekspor Indonesia. Kondisi tersebut pada gilirannya akan mengakibatkan gangguan dalam bentuk pengurangan atas volume produksi. Selanjutnya, pengurangan volume produksi ini akan pula mengurangi


(14)

12 penggunaan jam kerja maupun jumlah tenaga kerja di Indonesia. Akibat dari kondisi ini, tentu akan mengurangi pendapatan yang akan berimbas pada penurunan daya beli masyarakat (Gie, 2009: 12).

Ketua Asosiasi Pengusaha Cold Storage Indonesia, Johan Suryadarma mengemukakan, krisis global telah antara lain mengakibatkan menurunnya volume ekspor udang. Bahkan dari target 2014 sebesar 800.000 ton, yang dapat direalisasi hanya 550.000 ton. Kondisi ini tentu diakibatkan kelesuan ekonomi di berbagai negara tujuan ekspor, karena memang tujuan utama produksi komoditi udang unggulan adalah ekspor (Suryadarma, dalam Kompas, 20 Januari 2015).

Hingga saat ini dampak krisis global masih nyata. Antara lain terlihat pada pertumbuhan yang sangat lambat atas permintaan tenaga kerja. Pengurangan penggunaan dan pemanfaatan jumlah tenaga kerja dan jam kerja tentu akan mengakibatkan makin mengecilnya sumber pendapatan bagi rumah tangga-rumah tangga konsumen. Padahal sektor riil hanya akan mungkin bergairah jika didukung oleh daya beli masyarakat yang memadai sehingga aktivitas produksi akan menemukan gairahnya. Kondisi seperti ini sangat nyata, antara lain pada sektor industri, yang antara lain ditandai dengan PHK pekerja di berbagai pabrik.

Masalah perlambatan ekspor terutama mengakibatkan masalah ekonomi masyarakat perkotaan. Hal ini terjadi karena pusat-pusat industri di berbagai daerah di Indonesia pada umumnya berada di daerah perkotaan. Oleh karena itu perlambatan pertumbuhan ekonomi sebagai salah dampak perlambatan ekspor tentu mengurangi permintaan tenaga kerja. Penawaran tenaga kerja yang jauh lebih tinggi atau tidak seimbang dibandingkan dengan permintaan tenaga kerja sebagai salah satu dampak krisis global mengakibatkan posisi tawar tenaga kerja atas manajemen perusahaan tempat mereka bekerja sangat rendah. Hal ini antara lain berakibat pada rendahnya


(15)

13 upah buruh, bahkan tidak sedikit perusahaan yang memberikan upah bagi pekerja di bawah upah minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah (Tatang, dalam Waspada, 12 Oktober 2014).

Dampak selanjutnya dari rendahnya upah pekerja adalah munculnya masyarakat miskin baru di perkotaan. Masyarakat miskin perkotaan juga terjadi karena adanya fenomena Pemutusan Hubungan Kerja seperti telah disajikan sebelumnya. Fenomena pengangguran penuh dan pengangguran tidak kentara (jam kerja di bawah 35 jam per minggu) selanjutnya ikut memberikan kontribusi terhadap membengkaknya masyarakat miskin atau kaum marginal perkotaan.

Kondisi kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat marjinal yang terlihat dari daya beli masyarakat yang sangat rendah tidak hanya mendapat pukulan dari gangguan pada proses produksi yang mengakibatkan penurunan pendapatan. Pukulan telak juga datang dari laju inflasi, khususnya dari sektor pangan, tegasnya yang menyangkut kebutuhan pokok rakyat banyak. Sebagai contoh, kenaikan harga beras yang cukup tajam belakangan ini, misalnya beras kualitas menengah dari semula Rp. 8.500 menjadi Rp. 9.300 hingga Rp.10.500 per kilogram sesungguhnya sudah di luar kemampuan masyarakat (Kompas, 14 Pebruari 2015).

Bahan kebutuhan pokok lain yang mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan adalah ikan. Sebagai contoh, di Medan, harga ikan laut, khususnya tongkol mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yaitu dari semula Rp. 23.000,- per kilogram menjadi Rp. 25.000,- per kilogram. Kenaikan yang hampir sama persentasenya juga terjadi pada jenis ikan lain, bahkan bahan kebutuhan pokok lainnya (Kompas, 8 Juni 2015).

Terjadinya kenaikan harga dari berbagai kebutuhan pokok terutama di daerah perkotaan di satu pihak dan penurunan daya beli masyarakat sebagai akibat dari


(16)

14 penurunan pendapatan tentu akan mengakibatkan masalah kemiskinan perkotaan semakin parah. Masalah kemiskinan perkotaan yang sudah parah ternyata semakin diperparah lagi oleh urbanisasi. Banyak pemerhati masalah perkotaan berpendapat bahwa pertumbuhan kaum marginal perkotaan tidak terlepas dari arus urbanisasi yang senantiasa deras. Kaum marginal perkotaan, yang di dalamnya termasuk kaum urbanis bahkan sering divonis sebagai pihak yang menimbulkan pemukiman kumuh di perkotaan.

Dalam thesisnya berjudul “Pemukiman Kumuh sebagai Dampak dari Urbanisasi di Kota Medan, Studi Kasus di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun Kota Medan”, Wan Zulkarnain (2004: 185) antara lain menyimpulkan bahwa pemukiman kumuh dihuni banyak kaum urbanis. Mereka pada umumnya memiliki pendidikan yang rendah, tidak memiliki keterampilan yang memadai, tidak memiliki pekerjaan tetap. Salah satu kesimpulan mendasar dari penelitian tersebut adalah bahwa urbanisasi memberikan kontribusi secara signifikan terhadap kemiskinan perkotaan pada umumnya dan pertumbuhan pemukiman kumuh pada khususnya.

Kepergian penduduk desa ke kota untuk mengadu nasib tidaklah menjadi masalah jika mereka mempunyai keterampilan tertentu yang dibutuhkan di kota. Namun, kenyataannya ialah banyak di antara mereka yang datang ke kota tanpa keterampilan kecuali bertani. Akibatnya sulit bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Terpaksa mereka bekerja sebagai buruh harian, penjaga malam, pembantu rumah tangga, tukang becak, dan pekerjaan lain yang sejenis. Bahkan, mereka yang gagal memperoleh pekerjaan sejenis itu menjadi tunakarya, tunawisma, dan tunasusila. Hal itu mendorong mereka melakukan perbuatan yang


(17)

15 kurang benar. Misalnya, mendirikan gubuk-gubuk liar di tepi jalur kereta api, di daerah-daerah jalur hijau, dan di daerah-daerah bantaran sungai (Andi, 2013: 15).

Badaruddin, seorang sosiolog yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa urbanisasi antara lain menjadi penyebab "warga miskin kota" Medan. Sejumlah masyarakat yang melaksanakan urbanisasi ke kota Medan, diduga salah satu penyebab terjadinya "warga miskin kota", dan menjadi beban bagi pemerintah daerah setempat. Kota Medan saat ini, terus didatangi warga dari berbagai pedesaan di Sumatera Utara untuk tujuan mengubah nasib dan penghidupan yang lebih layak, namun akhirnya mereka terbentur, serta hidup terkatung-katung yang tidak tentu arah dan tujuan. Warga yang hidup terlunta-lunta itu akhirnya tinggal dimana saja, inilah salah satu penyebab terjadinya gelandangan dan pengemis (gepeng) yang terus "menjamur" di ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Semakin terus meningkatnya gepeng setiap tahun di kota Medan, tidak hanya menjadi beban bagi pemerintah di kota itu, tetapi juga sudah sangat meresahkan masyarakat di daerah tersebut. "Aktivitas para gepeng itu, secara terang-terangan sudah mau memasuki perkantoran, rumah makan, hotel, mesjid, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan para gepeng yang beroperasi di persimpangan jalan, ada yang mencoba memaksa masyarakat untuk memberikan sumbangan. Jika warga tidak mau memberikan bantuan berupa uang, maka para gepeng itu tidak segan-segan memaki dan mengeluarkan ucapan kotor terhadap masyarakat. Selain itu, ada juga gepeng yang meludahi mobil masyarakat, karena tidak diberi bantuan. Fenomena seperti ini, sering terjadi di persimpangan lampu merah di beberapa Jalan Protokol di Kota Medan (Antara, 2 April 2014).

Jika kita kaji secara mendalam, apa yang dipaparkan Badaruddin sesungguhnya bukan hanya masalah perkotaan yang disebabkan oleh urbanisasi,


(18)

16 tetapi juga sudah menggambarkan strategi urbanis dalam mempertahankan hidup. Antara lain dalam pemilihan lokasi tempat tinggal mereka, yang secara ekonomis memiliki harga atau biaya yang rendah, walaupun harus melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti menempati bantaran sungai maupun jalur rel kereta api. Juga dalam pemilihan pekerjaan, yang tentu pada umumnya adalah di sektor informal, bahkan menjadi pengemis, yang merupakan aktivitas yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, mereka terpaksa mengerahkan seluruh anggota keluarga untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi, termasuk di dalamnya adalah anak-anak.

Marbun (2003: 18) mengemukakan bahwa pengerahan anak untuk ikut bekerja merupakan salah satu strategi keluarga miskin perkotaan dalam menghadapi sulitnya menjalani hidup di daerah perkotaan. Oleh karena itu, anak memiliki nilai ekonomi bagi keluarga miskin. Anak bukan golongan konsumtif seperti yang terjadi pada keluarga tidak miskin, melainkan menjadi golongan produktif.

Kelurahan Cinta Damai adalah salah satu dari tujuh kelurahan yang ada di wilayah Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan. Hasil prasurvey penulis antara lain

menginformasikan bahwa Kelurahan Cinta Damai berpenduduk 24.060 jiwa. Secara

geografi dapat dikemukakan bahwa wilayah kelurahan Cinta Damai tergolong daerah pinggiran kota Medan. Kelurahan ini antara lain berbatasan dengan desa Tanjung Gusta Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.

Sebagai daerah pinggiran kota Medan, maka wilayah kelurahan Cinta Damai merupakan salah satu alternatif tujuan bagi kaum urbanis. Alasannya adalah bahwa bermukim wilayah kelurahan ini tidak menuntut biaya yang sudah tentu tinggi, namun masih jauh di bawah wilayah yang tergolong pusat kota Medan.


(19)

17 Salah satu kharakteristik wilayah kelurahan Cinta Damai adalah bahwa sebagian wilayahnya merupakan jalur rel kereta api. Pra survey yang penulis lakukan juga menginformasikan bahwa pinggiran jalur rel kereta api yang sering disebut jalur hijau ternyata dan sebenarnya tidak untuk pemukiman ternyata digunakan penduduk sebagai pemukiman. Di sepanjang pinggiran jalur rel kereta api yang ada di wilayah kelurahan Cinta Damai berdiri rumah-rumah penduduk yang pada umumnya sederhana.

Berdasarkan pengamatan penulis antara lain diketahui, bahwa pada umumnya penghuni pinggiran jalur rel kereta api tersebut bekerja di sektor informal, seperti pengumpul barang bekas, berdagang di persimpangan jalan, penarik becak, supir angkutan kota, dan bekerja serabutan (tidak menetap). Dilihat dari kondisi tempat tinggal mereka antara lain dapat dikemukakan bahwa mereka memiliki kualitas hidup yang cukup rendah.

Sebagian dari wilayah kelurahan Cinta Damai masih berupa lahan kosong. Lahan kosong tersebut antara lain milik Kodam I Bukit Barisan, milik perusahaan swasta, maupun milik pribadi yang tidak dikelola pemilik. Sebagian dari lahan tersebut digunakan penduduk sebagai lahan pertanian. Mereka bercocok tanam padi layaknya penduduk desa. Di atas lahan yang terkesan terlantar tersebut juga berdiri beberapa rumah sederhaana atau berupa gubuk yang dihuni penduduk.

Data sekunder yang diperoleh antara lain menginformasikan bahwa terdapat 275 kepala keluarga penduduk kelurahan Cinta Damai yang tergolong kaum urbanis. Mereka melakukan urbanisasi sekitar 1 hingga sembilan tahun yang lalu. Jumlah kaum urbanis yang cukup banyak tersebut antara lain bermukim di wilayah jalur rel kereta api, maupun lahan lain yang secara umum dapat digolongkan sebagai pemukiman kumuh.


(20)

18 Pada umumnya mereka memiliki pendidikan yang rendah dan tidak memiliki keterampilan yang dapat diandalkan untuk memperoleh pekerjaan di sektor formal atau melakukan aktivitas ekonomi secara profesional. Oleh karena itu mereka pada umumnya bekerja di sektor informal dan secara umum dapat dikategorikan sebagai kelompok marginal perkotaan.

Selain menimbulkan berbagai masalah perkotaan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kondisi pendidikan dan keterampilan yang mereka miliki tentu secara khusus menjadi hambatan bagi mereka untuk mempertahankan hidup, terlebih meningkatkan kesejahteraan mereka. Tantangan dan persaingan hidup di perkotaan yang tentu lebih sulit dan ketat dibandingkan dengan tantangan dan persaingan hidup yang ada di perdesaan yang menjadi wilayah asal mereka, tentu membutuhkan strategi tersendiri agar mereka dapat tetap eksis dan jika memungkinkan memperoleh kondisi hidup yang lebih baik dari sebelum.

Kajian para ahli, hasil penelitian, dan komentar dari berbagai pihak berkenaan dengan urbanisasi dan masalah perkotaan, ditambah lagi hasil prasurvey penulis, menjadikan penulis merasa tertarik untuk melakukan kajian khusus, dalam bentuk penelitian, yang hasilnya akan dituangkan dalam skripsi berjudul: Strategi Urbanis dalam Mempertahankan Hidup di Kelurahan Cinta Damai Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan.

1.2. Perumusan Masalah

Masalah merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah, maka yang menjadi permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Strategi apa saja yang dilakukan urbanis dalam mempertahankan hidup dan bagaimana kondisi


(21)

19 sosial ekonomi urbanis di Kelurahan Cinta Damai Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan?”.

1.3. Pembatasan Masalah

Untuk lebih menjamin fokus dan ketajaman kajian tentang strategi urbanis dalam mempertahankan hidup, maka penulis membatasi materi kajian sebagai berikut :

a. Objek kajian dibatasi pada keluarga urbanis yang bekerja bukan sebagai PNS/TNI/POLRI.

b. Erat kaitannya dengan point a, bahwa keluarga urbanis yang menjadi objek kajian dibatasi pada keluarga yang melakukan urbanisasi atas inisiatif sendiri dan/atau ajakan orang lain, bukan karena mutasi kerja dari suatu instansi atau lembaga tempat mereka bekerja.

c. Keluarga urbanis yang menjadi obyek kajin dibatasi pada keluarga yang daerah asalnya adalah berstatus desa, bukan kelurahan. Jika daerah asal mereka berupa ibukota kecamatan, maka daerah tersebut harus berstatus desa, dan secara sosiologis memiliki ciri-ciri pedesaan, terutama ditandai dengan sektor pertanian sebagai mata pencaharian pokok penduduknya. d. Kondisi sosial ekonomi urbanis di kelurahan Cinta Damai Kecamatan


(22)

20 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan masalah penelitian yang dirumuskan sebelumnya, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: “Untuk mengetahui strategi yang dilakukan urbanis dalam mempertahankan hidup dan kondisi sosial ekonomi urbanis di Kelurahan Cinta Damai Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan”.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Temuan yang diperoleh melalui penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut :

1) Memberikan kontribusi keilmuan berupa pengetahuan mengenai kemampuan bertahan hidup kelompok masyarakat yang merupakan kaum urbanis.

2) Sebagai bahan referensi dalam memahami kondisi sosial ekonomi masyarakat marginal yang berstatus urbanis sekaligus merumuskan suatu kebijakan dan model pemberdayaan masyarakat miskin pada umumnya dan kaum urbanis pada khususnya..

1.5 Sistematika Penulisan

Rancangan dan hasil penelitian ini akan dilaporkan menurut sistematika penulisan sebagai berikut.


(23)

21 Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian teoritis tentang konsep-konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran yang kemudian dituangkan dalam bentuk bagan alir pikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi penelitian, sampel penelitian serta teknik penarikan sampel, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data yang digunakan.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan uraian tentang gambaran lokasi penelitian, yaitu wilayah desa Mulyo Rejo Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, yang meliputi: sejarah singkat, gambaran umum masyarakat, sarana dan prasarana yang ada, serta uraian aspek pemerintahan.


(24)

22 Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari pengumpulan data penelitian, yaitu melalui kuesioner yang dibagikan kepada keluarga sampel yang kemudian diisi oleh responden penelitian, kemudian dianalisis sehingga dapat dipahami data yang ada serta makna yang ada di balik data penelitian tersebut. Uraian analisis diawali dengan informasi tentang kharakteristik umum responden, kondisi sosial ekonomi keluarga sampel, yang kemudian diakhiri dengan analisis strategi yang diterapkan keluarga responden dalam menghadapi kesulitan ekonomi yang ada.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan penelitian yang dirumuskan dari hasil analisis data, kemudian dilanjutkan dengan saran yang direkomendasikan berdasarkan kesimpulan penelitian yang diperoleh.


(25)

23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Urbanisasi dan Masalah yang Ditimbulkan 2.1.1 Pengertian Urbanisasi

Secara sederhana urbanisasi dapat diartikan sebagai peristiwa berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan. Dengan demikian, urbanisasi menjadi faktor yang mempengaruhi dinamika penduduk. Di satu sisi urbanisasi menjadi salah satu faktor yang mengurangi jumlah penduduk perdesaan atau setidaknya dapat menahan laju pertumbuhan penduduk perdesaan. Sedangkan di sisi lain, urbanisasi menjadi salah satu faktor yang menambah jumlah penduduk perkotaan atau meningkatkan laju pertumbuhan penduduk perkotaan.

Ningsih (2002: 25) mengemukakan, urbanisasi bukanlah sekadar perpindahan penduduk dari desa ke kota. Lebih dari itu, urbanisasi merupakan suatu gejala atau suatu proses yang sifatnya multi aspek. Dengan kata lain, urbanisasi tidak hanya bersentuhan dengan aspek ekonomi, seperti upaya untuk memperoleh pekerjaan yang selanjutnya mengakibatkan perolehan pendapatan yang lebih tinggi yang dilakukan masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Lebih dari itu, urbanisasi juga bersentuhan dengan aspek budaya, dimana masyarakat memiliki kecenderungan lebih memilih kota sebagai tempat tinggalnya, dan menganggap desa sebagai lingkungan yang membosankan serta dianggap dapat menghambat dinamika dalam hidupnya.

Firman (dalam LIPI, 2014: 15) mengemukakan, urbanisasi merupakan sebuah transformasi hidup dari perdesaan menjadi hidup dengan cara industri di daerah perkotaan. Artinya, urbanisasi bukan sekadar perpindahan penduduk, melainkan juga


(26)

24 perubahan pola hidup dari agraris ke industri. Oleh karena itu, pelaku urbanisasi dituntut mampu melakukan pola hidup yang lebih modern. Tanpa perubahan pola hidup tersebut maka urbanisasi akan menimbulkan masalah bukan saja bagi lingkungan dan pemerintah, melainkan juga bagi pelaku urbanisasi itu sendiri.

Robert dan Hohmann (dalam LIPI, 2014: 17) mengemukakan, laju urbanisasi yang tinggi akan menjadikan pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi pula. Sehubungan dengan hal ini, maka dikenal konsep tingkat urbanisasi suatu wilayah. Adapun tingkat urbanisasi suatu wilayah ini dilihat berdasarkan proporsi penduduk perkotaan (urban population) terhadap penduduk keseluruhan. Sedangkan perpindahan penduduk dari perdesaan ke perkotaan dapat dikategorikan sebagai migrasi penduduk maupun mobilitas penduduk. Migrasi penduduk adalah perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan dengan tujuan untuk tinggal menetap di daerah perkotaan. Sedangkan mobilitas penduduk berarti perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan yang hanya bersifat sementara atau bukan untuk menetap.

2.1.2 Faktor-faktor Penyebab Urbanisasi

Urbanisasi tentu merupakan suatu pilihan bagi masyarakat yang menjadi pelaku urbanisasi tersebut, atau yang secara umum dikenal dengan kaum urbanis. Hidayat (dalam Kompas, 2012) mengemukakan, untuk menimbulkan niat untuk melakukan migrasi dari desa ke kota, biasanya seseorang harus mendapatkan pengaruh yang kuat, yang antara lain adalah dalam bentuk:

a) Ajakan

b) Informasi media massa c) Impian pribadi


(27)

25 d) Terdesak kebutuhan ekonomi

Dalam kajiannya tentang masalah kesejahteraan masyarakat perkotaan The World Bank (2004: 29) mengemukakan bahwa fenomena urbanisasi terjadi sebagai produk faktor pendorong dan faktor penarik. Adapun faktor pendorong bersumber dan terdapat di daerah asal, yakni di desa-desa, yaitu:

1) Lahan pertanian yang semakin sempit

2) Merasa tidak cocok lagi dengan budaya tempat asalnya di desa-desa 3) Menganggur sebagai dampak sempitnya lapangan pekerjaan di desa-desa 4) Terbatasnya sarana dan prasarana di desa-desa

5) Diusir dari daerah asal atau dari desanya 6) Memiliki impian kuat menjadi orang kaya

Sedangkan faktor penarik berasal dari kota-kota sebagai alternatif tujuan migrasi, yaitu:

1) Kehidupan kota yang lebih modern

2) Sarana dan prasarana kota yang lebih baik dan lebih lengkap 3) Banyak lapangan pekerjaan di kota

4) Pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi yang ada di kota jauh lebih baik dibandingkan dengan yang ada di desa

Firman (dalam LIPI, 2014: 32) mengemukakan bahwa urbanisasi di Indonesia terutama dipicu oleh pembangunan ekonomi, terutama pada sektor industri dan jasa, yang cenderung berlokasi pada kota-kota besar. Akibatnya muncullah fenomena daerah perkotaan dengan segala kemegahannya, dimana kota-kota menjadi pusat pemerintahan, pusat industri, dan pusat perdagangan dengan 7 (tujuh) karakteristik sebagai berikut:


(28)

26 2) Adanya pembagian fungsi antara kota inti dan wilayah sekitarnya yang

semakin proporsional

3) Perubahan dari satu pusat ke banyak pusat wilayah perkotaan;

4) Perubahan penggunaan lahan pada pusat kota dan konversi lahan pertanian di luar kawasan perkotaan;

5) Pembangunan infrastruktur skala besar;

6) Peningkatan besar pada produksi serta terakhir pertumbuhan penglaju (commuters) dan

7) Peningkatan waktu bagi para penglaju.

Sofyan (2014: 32) mengemukakan, bahwa pokok persoalan kenapa urbanisasi masih saja terjadi ialah tidak meratanya pembagian kue pembangunan. Mustahil disangka hingga sekarang pembangunan tetap sentralistis, terpusat di kota-kota besar. Penduduk desa terdorong pindah ke kota, sebab desa sulit menjadi sandaran hidup. Sebaliknya, kota yang kian gemerlap karena pembangunan menumpuk di sana, amat kuat menarik minat ubanisator. Kuat pemikiran bahwa sepahit-pahitnya hidup di kota, masih lebih manis ketimbang hidup di desa karena banyak peluang pekerjaan yang tersedia.

Sofyan menambahkan, bahwa urbanisasi jelas bukan tanggung jawab pemerintahan kota semata. Urbanisasi adalah bentuk kegagalan negara dalam menyebarkan kue pembangunan dan mengikis kesenjangan. Selama kesenjangan antar wilayah terus berlangsung, selama itu pula urbanisasi akan terus terjadi. Selama Jakarta masih menjadi pusat kembang gula, selama itu pula orang desa berbondong-bondong dan berkerumun untuk mencicipinya.

Hasil penelitian LIPI (2014: 203) antara lain menyimpulkan, dalam beberapa tahun terakhir, urbanisasi ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya,


(29)

27 Makassar dan Medan makin berkurang. Orang pulang lebaran lebih banyak dari kota-kota menengah yang sekarang menjadi Ibukota Kabupaten – Kota, seperti Kendari, Pekalongan, Lampung, Tangerang, Jember dan sebagainya. Dalam jangka panjang sebenarnya tidak perlu dikawatirkan karena proses desentralisasi dengan sendirinya akan memberi kesempatan daerah terus berkembang.

Faktor lain yang membuat orang desa mencari pekerjaan di kota, karena mereka tidak memiliki lahan pertanian. Menurut data resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) 80% tanah kita yang berupa sawah, dan terutama hutan, aset negara itu dikuasai oleh 10% oleh orang-orang kaya di kota. Akibatnya ekonomi sawah tidak jalan, dan semakin hari semakin berkurang. Selain itu juga tidak ada perkembangan signifikan dalam pembangunan desa. Karena itu, disamping otonomi daerah diperkuat, sekarang desa diberi hak dan kepercayaan untuk membangun desanya sendiri.

2.1.3 Masalah yang Ditimbulkan Urbanisasi

Berbicara tentang urbanisasi pada umumnya akan menyentuh masalah-masalah yang ditimbulkan. Artinya, urbanisasi dibicarakan dan dibahas banyak kalangan justru karena banyaknya masalah yang ditimbulkannya. Andaikan urbanisasi tidak menimbulkan banyak masalah, maka urbanisasi tidak akan dibicarakan banyak orang. Berbicara tentang masalah urbanisasi, biasanya berkisar pada masalah yang dihadapi pemerintah maupun masyarakat perkotaan (Sutejo, 2011: 78).

Andiantara (2005: 98) mengemukakan, sejatinya fenomena urbanisasi tidak menjadi masalah serius jika seandainya pertambahan penduduk di kota-kota besar sejalan dengan pertumbuhan ekonomi serta peningkatan jumlah sarana dan prasarana


(30)

28 perkotaan. Namun karena pertambahan jumlah penduduk perkotaan tidak sebanding dengan perkembangan ekonomi dan sarana prasarana, maka timbullah dampak negatif dari urbanisasi, yaitu:

1. Kemacetan Lalu Lintas

Pertumbuhan jumlah kendaraan yang sangat cepat (yang diakibatkan oleh semakin bertambahnya jumlah penduduk di kota-kota besar) dan lambatnya pertambahan infrastruktur jalan dan kendaraan umum, membuat arus lalu lintas semakin padat. Terutama ketika masyarakat mulai berangkat kerja dan sekolah pada saat pagi hari dan saat pulang dari aktivitas tersebut ketika sore dan malam hari. Apalagi kendaraan yang melaju pun tidak hanya berasal dari dalam kota tetapi juga dari daerah-daerah di sekitarnya yang hendak beraktivitas di kota-kota besar, sehingga semakin memperparah kemacetan lalu lintas yang ada.

2. Bertambahnya Polusi

Meningkatnya laju urbanisasi juga berakibat pada meningkatnya polusi. Antara lain polusi udara, air, tanah, cahaya, dan suara. Polusi udara, cahaya, dan suara disebabkan oleh tingginya volume kendaraan yang melaju di kota-kota besar, yang mana sebagian dari kendaraan tersebut merupakan kendaraan yang dimiliki oleh para pendatang. Polusi juga berasal dari sampah rumah tangga, industri, bangunan komersial, maupun perkantoran. Baik sampah-sampah yang langsung dibuang ke selokan dan sungai maupun sampah yang ada di tempat pembuangan akhir. Ada pula polusi cahaya yang berasal dari sinar lampu jalan dan papan iklan. Ada beberapa dampak yang ditimbulkan dari polusi-polusi tersebut. Dampak kesehatan yang dirasakan oleh manusia antara lain: gangguan pernafasan, penyakit kulit, mengganggu tidur, kerusakan otak, kerusakan ginjal, dan gangguan pendengaran. Sedangkan dampaknya bagi lingkungan antara lain: mengurangi


(31)

29 kualitas air tanah dan permukaan, merusak struktur bangunan, mengganggu kehidupan hewan dan tumbuhan, peningkatan suhu bumi, merusak lapisan ozon, perubahan iklim, merusak ekosistem, menimbulkan bencana alam (banjir, tanah longsor, erosi, kekeringan), serta penurunan hasil tangkapan para nelayan dan penurunan kualitas pertanian. Polusi (yang diakibatkan oleh polusi cahaya) juga menyebabkan terbatasnya daya pandang terhadap objek-objek di luar angkasa. 3. Makin sulitnya Memperoleh Pekerjaan

Derasnya arus urbanisasi yang tak diimbangi dengan kemampuan kota besar dalam menyediakan lapangan pekerjaan formal serta keahlian para pendatang itu sendiri, membuat sebagian pendatang cukup kesulitan dalam memperoleh pekerjaan yang layak. Sehingga sebagian dari mereka menganggur dan yang lainnya hanya bisa memperoleh pekerjaan nonformal dengan penghasilan yang tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Seperti tukang becak, pembantu rumah tangga, pedagang asongan, pedagang kaki lima, pengemis, pengamen, pemulung, gelandangan, dan lain-lain. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang melakukan tindak kriminal yang meresahkan masyarakat. Seperti pencopetan, pencurian, dan perampokan.

4. Berkurangnya Lahan untuk Ruang Terbuka Hijau

Para pendatang ke kota-kota besar ternyata cukup banyak yang mendirikan bangunan-bangunan di pusat kota. Karena sangat banyaknya bangunan yang ada, membuat lahan di pusat kota semakin terbatas sehingga lahan yang digunakan untuk ruang terbuka hijau pun semakin sedikit, bahkan tidak ada sama sekali. Padahal, ruang terbuka hijau sangat berperan dalam menjaga keseimbangan alam di perkotaan. Berbagai macam polusi bisa diredam oleh tanaman-tanaman yang ada. Selain itu, ruang terbuka hijau juga bisa menjadi sarana rekreasi, ajang


(32)

30 bersosialisasi, mengurangi penat dan stres, menyejukkan suhu udara, serta mempercantik pemandangan kota.

Rudianto (2013: 65) mengemukakan bahwa urbanisasi telah menimbulkan berbagai persoalan di kota-kota besar di Indonesia, seperti:

a) Tumbuhnya tempat-tempat pemukiman baru

b) Meningkatnya tuna karya, yaitu orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan

c) Semakin menyempitnya lahan bagi perumahan sehingga muncul rumah-rumah yang tidak memenuhi persyaratan

d) Banyak kawasan dengan lingkungan yang tidak sehat e) Meningkatnya kerawanan sosial dan kriminal

Suheri (2008: 54) mengemukakan bahwa dampak negatif yang ditimbulkan oleh tingginya arus urbanisasi di Indonesia adalah sebagai berikut:

a) Semakin minimnya lahan kosong di daerah perkotaan. Pertambahan penduduk kota yang begitu pesat, sudah sulit diikuti kemampuan daya dukung kotanya. Saat ini, lahan kosong di daerah perkotaan sangat jarang ditemui. ruang untuk tempat tinggal, ruang untuk kelancaran lalu lintas kendaraan, dan tempat parkir sudah sangat minim. Bahkan, lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) pun sudah tidak ada lagi. Lahan kosong yang terdapat di daerah perkotaan telah banyak dimanfaatkan oleh para urban sebagai lahan pemukiman, perdagangan, dan perindustrian yang legal maupun ilegal. Bangunan-bangunan yang didirikan untuk perdagangan maupun perindustrian umumnya dimiliki oleh warga pendatang. Selain itu, para urban yang tidak memiliki tempat tinggal biasanya menggunakan lahan kosong sebagai pemukiman liar mereka. hal ini menyebabkan semakin minimnya lahan kosong di daerah perkotaan.


(33)

31 2. Menambah polusi di daerah perkotaan. Masyarakat yang melakukan urbanisasi

baik dengan tujuan mencari pekerjaan maupun untuk memperoleh pendidikan, umumnya memiliki kendaraan. Pertambahan kendaraan bermotor roda dua dan roda empat yang membanjiri kota yang terus menerus, menimbulkan berbagai polusi atau pemcemaran seperti polusi udara dan kebisingan atau polusi suara bagi telinga manusia. Ekologi di daerah kota tidak lagi terdapat keseimbangan yang dapat menjaga keharmonisan lingkungan perkotaan.

3. Penyebab bencana alam. Para urban yang tidak memiliki pekerjaan dan tempat tinggal biasanya menggunakan lahan kosong di pusat kota maupun di daerah pinggiran Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk mendirikan bangunan liar baik untuk pemukiman maupun lahan berdagang mereka. Hal ini tentunya akan membuat lingkungan tersebut yang seharusnya bermanfaat untuk menyerap air hujan justru menjadi penyebab terjadinya banjir. Daerah Aliran Sungai sudah tidak bisa menampung air hujan lagi.

4. Pencemaran yang bersifat sosial dan ekonomi. Kepergian penduduk desa ke kota untuk mengadu nasib tidaklah menjadi masalah apabila masyarakat mempunyai keterampilan tertentu yang dibutuhkan di kota. Namun, kenyataanya banyak diantara mereka yang datang ke kota tanpa memiliki keterampilan kecuali bertani. Oleh karena itu, sulit bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Mereka terpaksa bekerja sebagai buruh harian, penjaga malam, pembantu rumah tangga, tukang becak, masalah pedagang kaki lima dan pekerjaan lain yang sejenis. Hal ini akhitnya akan meningkatkan jumlah pengangguran di kota yang menimbulkan kemiskinan dan pada akhirnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, orang orang akan nekat melakukan tindak kejahatan seperti mencuri,


(34)

32 merampok bahkan membunuh. Ada juga masyarakat yang gagal memperoleh pekerjaan sejenis itu menjadi tunakarya, tunawisma, dan tunasusila

5. Penyebab kemacetan lalu lintas. Padatnya penduduk di kota menyebabkan kemacetan dimana-mana, ditambah lagi arus urbanisasi yang makin bertambah. Para urban yang tidak memiliki tempat tinggal maupun pekerjaan banyak mendirikan pemukiman liar di sekitar jalan, sehingga kota yang awalnya sudah macet bertambah macet. Selain itu tidak sedikit para urban memiliki kendaraan sehingga menambah volum kendaraan di setiap ruas jalan di kota.

6. Merusak tata kota. Pada negara berkembang, kota-kotanya tdiak siap dalam menyediakan perumahan yang layak bagi seluruh populasinya. Apalagi para migran tersebut kebanyakan adalah kaum miskin yang tidak mampu untuk membangun atau membeli perumahan yang layak bagi mereka sendiri. Akibatnya timbul perkampungan kumuh dan liar di tanah-tanah pemerintah. Tata kota suatu daerah tujuan urban bisa mengalami perubahan dengan banyaknya urbanisasi. Urban yang mendirikan pemukiman liar di pusat kota serta gelandangan-gelandangan di jalan-jalan bisa merusak sarana dan prasarana yang telah ada, misalnya trotoar yang seharusnya digunakan oleh pedestrian justru digunakan sebagai tempat tinggal oleh para urban. Hal ini menyebabkan trotoar tersebut menjadi kotor dan rusak sehingga tidak berfungsi lagi.

2.2 Kemiskinan

2.2.1 Pengertian Kemiskinan

Memahami masalah kemiskinan seringkali memang menuntut adanya upaya untuk melakukan pendefinisian dan pengukuran. Sehubungan dengan hal ini, perlu disadari bahwa masalah kemiskinan telah dipelajari oleh berbagai ilmuwan sosial


(35)

33 yang berasal dari latar belakang disiplin yang berbeda. Oleh sebab itu, wajar pula apabila kemudian dijumpai berbagai konsep dan cara pengukuran tentang masalah kemiskinan. Dalam konsep ekonomi misalnya, studi masalah kemiskinan akan segera terkait dengan konsep standart hidup, pendapatan dan distribusi pendapatan. Sementara itu, ilmuwan sosial yang lain tidak ingin berhenti pada konsep-konsep tersebut, melainkan mengkaitkan dengan konsep kelas, stratifikasi sosial, struktur sosial dan bentuk-bentuk diferensiasi sosial yang lain.

Siagian (2012: 2-3) mengemukakan, Sebagai suatu kondisi, kemiskinan adalah suatu fakta dimana seseorang atau sekelompok orang hidup di bawah atau lebih rendah dari kondisi hidup layak sebagai manusia disebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam memaparkannya kita harus lebih dahulu menyatakan fakta yang menggambarkan kondisi kehidupannya, bukan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini harus benar-benar dipahami karena banyak individu maupun keluarga yang sesungguhnya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi kondisi kehidupannya justru layak sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat, karena mendapat dukungan dari orang lain, seperti keluarga luas. Dalam konteks ini, pihak yang menurut kemampuan sendiri sesungguhnya dipastikan miskin, namun mereka ternyata berada di dalam lingkaran yang memiliki mekanisme penanggulangan kemiskinan tersendiri secara internal, yang juga sering dinamakan dengan mekanisme pertahanan kelompok. Akibatnya, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup tersebut tidak mengakibatkan mereka jatuh ke jurang kemiskinan.

Sementara sebagai suatu proses, kemiskinan merupakan proses menurunnya daya dukung terhadap hidup seseorang atau sekelompok orang sehingga pada gilirannya ia atau kelompok tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya


(36)

34 dan tidak pula mampu mencapai taraf kehidupan yang dianggap layak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Kata kunci dalam kajian kemiskinan sebagai suatu proses adalah daya dukung. Konsep daya dukung dalam kaitannya dengan kehidupan manusia menunjukkan bahwa kondisi kehidupan yang dihadapi dan sedang dijalani manusia merupakan produk dari proses dimana dalam proses itu terlibat berbagai unsur.

Soetomo (2002: 45) mengemukakan, kemiskinan memiliki beberapa ciri yaitu:

a. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar yaitu pangan, sandang dan papan.

b. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya seperti kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi.

c. Ketiadaan jaminan masa depan yang dikarenakan tidak adanya investasi untuk pendidikan dan keluarga.

d. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. e. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya

alam.

f. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.

g. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

h. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental

i. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial seperti anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil.


(37)

35 Friedman (dalam Suharto, 2009: 23) mengemukakan, kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial, yang meliputi :

1. Modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan). 2. Sumber keuangan (pekerjaan, kredit).

3. Organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial).

4. Jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa. 5. Pengetahuan dan ketrampilan.

6. Informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.

Selanjutnya Bappenas (2000: 14) mendefinisikan kemiskinan dalam 3 kriteria yaitu :

1. Berdasarkan Kebutuhan Dasar

Suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup minimum antara lain: pangan, sandang, perumahan, pelayanan kesehatan dan pedidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Ketidakmampuan ini akan mengakibatkan rendahnya kemampuan fisik dan mental seseorang, keluarga dan masyarakat dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

2. Berdasarkan Pendapatan

Suatu tingkat pendapatan atau pengeluaran seseorang, keluarga dan masyarakat berada di bawah ukuran tertentu (garis kemiskinan). Kemiskinan ini terutama disebabkan oleh rendahnya penguasaan aset seperti lahan, modal dan kesempatan usaha.


(38)

36 Suatu keterbatasan kemampuan dasar seseorang dan keluarga untuk menjalankan fungsi minimal dalam suatu masyarakat. Keterbatasan kemampuan dasar akan menghambat seseorang dan keluarga dalam menikmati hidup yang lebih sehat, maju dan berumur panjang serta memperkecil kesempatan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat dan mengurangi kebebasan dalam menentukan pilihan terbaik bagi kehidupan pribadi.

Dengan menggunakan perspektif yang lebih luas lagi, David Cos (2004) (dalam Suharto, 2009: 28) membagi kemiskinan ke dalam beberapa kelas:

1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan kalah. Pemenang umumnya negara maaju, sedangkan negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas.

2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsistem (kemiskinnan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan perdesaan

(kemiskinan akibat peminggiran perdesaan dalam proses pembangunan, kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotan).

3. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian kejadian lain atau faktor-faktor eksternal diluar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.

4. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak dan kelompok minoritas.


(39)

37 2.2.2 Jenis-jenis Kemiskinan

Siagian (2012: 45-65) mengemukakan, dalam membicarakan masalah kemiskinan atau pemiskinan, kita akan menemui beberapa istilah kategoritatif kemiskinan seperti kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan struktural, kemiskinan situsional (natural) dan kemiskinan kultural.

1. Kemiskinan Absolut

Seseorang dapat dikatakan miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum hidupnya untuk memelihara fisiknya agar dapat bekerja penuh dan efisien. Orang yang dalam kondisi ini dikategorikan dalam jenis kemiskinan absolut. Kemiskinan ini sangat ditentukan oleh nutrisi yang ditentukan oleh nutrisi yang dibutuhkan setiap orang. Nutrisi tersebut akan mempengaruhi jumlah kalori yang dibutuhkan terutama untuk dapat bekerja. Di Indonesia garis batas minimum kebutuhan hidup yang ditentukan BPS sebesar 2.100 kalori per tahun.

2. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan Relatif muncul jika kondisi seseorang atau sekelompok orang dibandingkan dengan kondisi orang lain. Misalnya, seseorang adalah orang yang sangat kaya di desanya, tetapi setelah dibandingkan dengan orang-orang di kota ternyata seseorang tersebut tergolong miskin atau sebaliknya.

3. Kemiskinan Struktural

Kemiskinan struktural lebih menunjuk kepada orang atau sekelompok orang yang telah miskin karena struktur masyarakatnya yang timpang, tidak menguntungkan bagi golongan yang lemah. Mereka tetap miskin atau menjadi miskin bukan karena tidak mau berusaha memperbaiki nasibnya


(40)

38 tetapi karena usaha yang mereka lakukan selalu kandas dan terbentur pada sistem atau struktur masyarakat yang berlaku.

4. Kemiskinan Situsional atau Kemiskinan Natural

Kemiskinan situsional/natural terjadi bila seseorang atau sekelompok orang tinggal di daerah-daerah yang kurang menguntungkan dan oleh karenanya mereka menjadi miskin. Dengan kata lain, kemiskinan itu terjadi sebagai akibat dari situasi yang tidak menguntungkan seperti kemarau panjang, tanah tandus, gagal panen atau bencana alam.

5. Kemiskinan Kultural

Kemiskinan penduduk terjadi karena kultural masyarakatnya. Masyarakat rela dengan keadaan miskinnya karena diyakini sebagai upaya untuk membebaskan diri dari sikap serakah yang pada gilirannya akan membawa kepada ketamakan. Misalnya, masyarakat yang menganut pietisme-dualistis mempunyai anggapan bahwa manusia tediri dari dua bagian yang saling bertentangan, yaitu jiwa (dianggap suci) dan raga (dianggap hina). Sementara itu, mereka juga beranggapan bahwa keselamatan manusia sangat ditentukan oleh pietas, yaitu kesalehan yang menolak kehinaan.

Departemen Sosial (2006: 23) kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan yang disebut garis kemiskinan atau batas kemiskinan. Garis kemiskinan yaitu sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya.


(41)

39 2.2.3 Faktor Penyebab Kemiskinan

Studi empiris Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Departemen Pertanian tahun (2001: 14) yang dilakukan pada tujuh belas provinsi di Indonesia, menyimpulkan bahwa ada enam faktor utama penyebab kemiskinan, yaitu:

1) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya pendidikan, tingginya angka ketergantungan, rendahnya tingkat kesejahteraan, kurangnya alternatif, rendahnya etos kerja, rendahnya ketrampilan dan besarnya jumlah anggota keluarga.

2) Rendahnya daya fisik, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya kualitas dan jumlah produksi dan modal kerja.

3) Rendahnya penerapan teknologi, ditandai dengan rendahnya penggunaan input dan mekanisme pertanian.

4) Rendahnya potensi wilayah yang ditandai oleh rendahnya potensi fisik dan infrastruktur kondisi fisik ini meliputi iklim, tingkat kesuburan, dan topografis wilayah, sedangkan infrastruktur meliputi irigasi transportasi, pasar, kesehatan, pendidikan, pengolahan komoditas pertanian, listrik, dan fasilitas komunikasi.

5) Kurang tepatnya kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam investasi dan pengentasan kemiskinan.

6) Kurang berperannya kelembagaan yang ada, kelembagaan tersebut meliputi pemasaran, penyuluhan perkreditan dan sosial.

Lebih jauh Suyanto menyebutkan ada beberapa faktor penyebab kemiskinan yang terjadi dalam suatu masyarakat, seperti :

1. Kemiskinan karena kolonialisme; kemiskinan ini terjadi karena penjajahan yang dilakukan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain, sehingga bangsa yang


(42)

40 dijajah menjadi tertindas baik ekonomi, politik dan sebagainya. Misalnya Indonesia yang ditindas Belanda.

2. Miskin karena tradisi sosio-kultural; hal ini berkaitan dengan suku bangsa tertentu yang kental kebudayaannya seperti suku kubu di Sumatera dan suku Dayak di pedalaman Kalimantan.

3. Miskin karena terisolasi; seseorang menjadi miskin karena tempat tinggalnya jauh dari keramaian sehingga sulit berkembang.

4. Miskin karena kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan. Kemiskinan ini juga disebabkan oleh persaingan yang tidak seimbang antar negara atau daerah yang mempunyai keunggulan komperatif dengan daerah sekitarnya yang tidak mempunyai keunggulan kompratif (Suyanto, 1995: 23).

Faktor penyebab kemiskinan adalah keterkaitan hubungan antara status sosial ekonomi masyarakat dengan potensi wilayah suatu daerah yang menyebabkan daerah tersebut miskin. Dalam konteks penelitian ini faktor penyebab kemiskinan tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Produktivitas tenaga kerja rendah sebagai akibat rendahnya teknologi. 2. Tidak meratanya distribusi kekayaan terutama tanah

3. Rendahnya taraf pendidikan 4. Rendahnya taraf kesehatan 5. Terbatasnya lapangan kerja

6. Rendahnya kualitas SDM dan rendahnya produktifitas


(43)

41 2.2.4 Ukuran Rumah Tangga Miskin

Kemiskinan merupakan refleksi dari ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan standar yang berlaku. Saat ini sudah cukup banyak ukuran dan standar yang dikeluarkan oleh para pakar dan lembaga mengenai batas garis kemiskinan.

Standar kemiskinan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Agraria (dalam Nawawi, 2001: 45), adalah berdasarkan konsumsi sembilan bahan pokok yang dihitung berdasarkan harga setempat. Standar kebutuhan minimum perorang per bulan : 100 kg beras, 60 liter minyak tanah, 15 kg ikan asin, 6 kg gula pasir, 4 meter tekstil kasar, 6 kg minyak goreng, 2 meter batik kasar dan 4 kg garam.

Selanjuttan Bappenas (2009: 67) menetapkan kriteria rumah tangga miskin sebagaimana disajikan pada tabel 2.1. Seperti diketahui berbagai pelayanan sosial dan pemberdayaan masyarakat masih dijalankan secara residual, sehingga sasaran program adalah kelompok masyarakat yang dianggap menghadapi masalah dan kendala dalam memenuhi kebutuhan hidup. Oleh Kementerian Sosial kelompok tersebut dinamakan dengan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Biasanya mereka yang bermasalah tersebut dipandang sebagai satu kesatuan rumah tangga, sehingga dikenal istilah Rumah Tangga Miskin (RTM). Selanjutnya RTM inilah yang menjadi Rumah Tangga Sasaran (RTS) dari berbagai program pelayanan sosial dan pemberdayaan masyarakat tersebut.


(44)

42 Tabel 2.1

Kriteria rumah tangga miskin menurut biro pusat statistik No. Variabel Kriteria Rumah Tangga Miskin 1 Luas lantai bangunan

tempat tinggal

Kurang dari 8 m² per orang

2 Jenis lantai bangunan tempat tinggal

Tanah/bambu/kayu murahan

3 Jenis dinding tempat tinggal

Bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

4 Fasilitas tempat buang air besar

Tidak punya/bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5 Sumber penerangan

rumah

Bukan listrik

6 Sumber air minum Sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan 7 Bahan bakar untuk

memasak sehari-hari

Kayu bakar/arang/minyak tanah

8 Konsumsi daging / susu / ayam per minggu

Tidak pernah mengkonsumsi/hanya satu kali perminggu

9 Pembelian pakaian baru untuk setiap ART dalam setahun

Tidak pernah membeli/hanya membeli satu stel dalam setahun

10 Makanan dalam sehari untuk setiap ART


(45)

43 11 Kemampuan membayar

untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik

Tidak mampu membayar untuk berobat

12

Lapangan Pekerjaan utama kepala rumah tangga

Petani dengan luas lahan 0,5 ha/buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan Rp 600,000 per bulan

13 Pendidikan tertinggi kepala keluarga

Tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya tamat SD

14

Pemilikan asset/tabungan

Tidak punya tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500,000 seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Sumber : Badan Pusat Statistik 2008

BKKBN (2006: 24) mengambil keluarga batih sebagai unit pengertian, namun tidak menggunakan konsep kemiskinan, melainkan konsep kesejahteraan. Konsep kesejahteraan di sini jelas terkait dengan taraf hidup dan garis kemiskinan. Dengan sejumlah indikator yang dibuat oleh BKKBN, klasifikasi keluarga terdiri dari :

1) Keluarga Sejahtera tahap I adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum mereka tetapi belum memenuhi kebutuhan sosial dan psikologis seperti interaksi keluarga, interaksi bertetangga dan pekerjaan-pekerjaan yang menentukan standar kehidupan yang baik.


(46)

44 2) Keluarga Sejahtera tahap II. Ditujukan dengan anggota keluarga

melaksanakan ibadah agama secara teratur, sekali seminggu keluarga makan daging, ikan/telur. Setiap akhir tahun paling sedikit memperoleh satu stel pakaian baru, luas rumah paling kurang 8 m untuk setiap penghuni. Kesehatan keluarga baik, memiliki penghasilan tetap, anggota keluarga umur 10-60 tahun bisa baca tulisan latin. Anak umur 7-15 tahun bersekolah dan Pasangan Usia Subur (PUS) yang telah memiliki 2 anak atau lebih memakai alat kontrasepsi

3) Keluarga Sejahtera tahap III. Ditujukan dengan anggota keluarga berusaha meningkatkan pengetahuan agama, sebagian penghasilan keluargaditabung, makanan empat sehat lima sempurna dan keluarga makan bersama sehari dalam sekali serta dimanfaatkan untuk berkomunikasi. Ikut dalam kegiatan di masyarakat tempat tinggal, rekreasi minimal enam bulan sekali, mendapat informasi dari surat kabar, TV, radio, majalah dan anggota keluarga mampu menggunakan transportasi setempat.

4) Keluarga Sejahtera IV plus. Di samping ditujukan dengan keadaan keluarga seperti keluarga sejahtera tahap III juga ditambah dengan keluarga secara teratur dengan suka rela memberikan sumbangan materi untuk kegiatan sosial dan ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.

(Jaya, 2001: 45) mengemukakan, karakteristik masyarakat miskin secara umum ditandai oleh ketidakberdayaan/ketidakmampuan (powerlessness) dalam hal : (1) Memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan,

pendidikan, dan kesehatan;


(47)

45 (3) Menjangkau akses sumber daya sosial ekonomi;

(4) Menentukan nasibnya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik; (5) Membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa

mempunyai martabat dan harga diri yang rendah.

Menurut Ellis (1984) dalam Suharto (2009: 78) menyatakan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Secara politik dapat dilihat dari timgkat akses masyarakt terhadap partisipasi dalam pembuatan dan pelaksananannya. Secara sosial-psikologis menunjuk kepada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan produktivitas (Suharto, 2009).

2.3. Strategi Urbanis dalam Mempertahankan Hidup

Pada awalnya istilah strategi digunakan oleh kalangan militer. Penggunaan istilah tersbut dikaitkan dengan kondisi perang. Suatu usaha atau kegiatan membutuhkan strategi jika usaha dan kegiatan itu sulit dilakukan untuk mencapai tujuan atau mewujudkan target. Oleh karena itu dibutuhkanlah strategi yang di dalamnya terdapat perhitungan kekuatan dan kelemahan sendiri, serta kekuatan dan kelemahan musuh, perkiraan peluang, maupun tantangan (Lund, 2001: 56).

Pengertian strategi secara harfiah menurut kamus besar bahasa Indonesia (1988: 859) adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Selain itu pengertian dari strategi adalah pola rencana jangka panjang, yang dipersiapkan berdasarkan perhitungan secara matang (Yusuf, 2001: 56).


(48)

46 Strategi pada hakekatnya adalah perencanaan dan manajemen untuk mencapai suatu tujuan. Selain itu strategi dapat diartikan sebagai suatu “cara atau siasat perang” (Kamisa, 2003: 44). Dengan demikian dapat dipahami bahwa strategi merupakan siasat, teknik, cara maupun metode dalam melaksanakan sesuatu demi tercapainya suatu tujuan yang telah disusun sebelumnya.

Kemauan dan kemampuan manusia untuk dalam lingkungan dan sekitarnya sebenarnya merupakan hal yang manusiawi sebagai penjelmaan dari daya pikir mahluk yang sempurna. Hal seperti ini tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Pengertian mempertahankan hidup di sini adalah kemampuan seseorang untuk dapat bertahan hidup dari keadaan yang kurang menguntungkan di sekelilingnya.

Menurut Effendy (2000 : 47)) strategi pada hakekatnya adalah perencanaan dan manajemen untuk mencapai suatu tujuan. Menurutnya, strategi juga dapat diartikan sebagai suatu “ cara atau siasat perang ”.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa strategi merupakan siasat, teknik cara maupun metode yang dilakukan seseorang dalam melaksanakan segala sesuatu hal demi tercapainya suatu tujuan untuk mempertahankan eksistensi diri yang telah disusun dan dirancang sebelumnya.

Konsep yang identik dengan strategi adalah adaptasi. Adapun adaptasi dapat diartikan sebagai proses perubahan yang dilakukan oleh manusia, baik secara pribadi maupun kelompok karena mereka dihadapkan pada suatu perubahan yang mana perubahan itu adalah suatu tantangan, seperti para buruh korban PHK dengan situasi krisis global dunia. Strategi adaptasi yaitu cara–cara atau tindakan yang dilakukan oleh korban PHK untuk mempertahankan sosial ekonomi keluarganya.

Suhartono menyatakan bahwa defenisi dari strategi bertahan hidup (coping


(49)

47 mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Dalam konteks keluarga miskin, strategi penanganan masalah ini pada dasarnya merupakan kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola segenap aset yang dimilikinya. Bisa juga disamakan dengan kapabilitas keluarga miskin dalam menanggapi goncangan dan tekanan (shock and stress) (Suhartono. 2007. http//www.policy.hu diakses tanggal 20 Januari 2011 pukul 19:00 Wib )

Menurut J. Piaget (dalam Vembriarto, 2001 : 15) menyebutkan ada beberapa tipe proses adaptasi, yakni :

1. Dalam rangka adaptasi individu mengubah atau menahan implus – implus dalam dirinya. Misalnya dalam keadaan lapar seseorang harus bisa menahan lapar tersebut apabila tidak dapat memenuhinya.

2. Dalam rangka adaptasi invidu mengubah tuntunan atau kondisi – kondisi lingkungan. Misalnya mencari makanan di tong sampah atau mengharapkan penderma yang memberikan makanan.

Ditambahkan, bahwa adaptasi yang dilakukan oleh manusia lewat tingkah lakunya dapat menerangkan reaksi – reaksi terhadap tuntutan atau tingkah lakunya tentu saja merupakan adaptasi terhadap tuntutan masyarakat sosial sekitarnya. Adapun ia menggolongkan tuntutan tersebut ke dalam dua bagian, yaitu : tuntutan internal dan tuntutan eksternal. Dalam hal ini tuntutan internal merupakan tuntutan yang timbul dari dalam diri sendiri, baik yang bersifat fisik maupun sosial. Sementara itu tuntutan eksternal adalah tuntutan yang berasal dari luar individu, baik yang bersifat fisik maupun sosial. Misalnya keadaan sosial.

Berdasarkan konsep ini Moser (dalam Rahman, 2005: 34) membuat kerangka analisis yang disebut “The Aset Vurnerability”. Kerangka ini meliputi berbagai


(50)

48 pengelolaan asset yang digunakan untuk melakukan penyesuaian dan pengembangan strategi tertentu dalam mempertahankan kelangsungan hidup seperti :

a. Aset Tenaga Kerja (Labour Asets)

Misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak dalam keluarga untuk bekerja membantu ekonomi rumah tangga.

b. Aset Modal Manusia (Human Capital Asets)

Misalnya memanaatkan status kesehatan yang dapat menentukan kapasitas orang atau bekerja atau keterampilan dan pendidikan yang menentukan umpan balik atau hasil kerja (return) terhadap tenaga yang dikeluarkannya.

c. Aset Produktif (Productive Asets)

Misalnya menggunakan rumah, sawah, ternak, tanaman untuk keperluan hidupnya.

d. Aset Relasi Rumah Tangga atau Keluarga (Household Relation Asets)

Misalnya memanfaatkan jaringan dan dukungan dari system keluarga besar, kelompok etnis, migrasi tenaga kerja dan mekanisme “uang kiriman” (remittance)

e. Aset Modal Sosial (Social Capital Asets)

Misalnya memanfaatkan lembaga-lembaga lokal, arisan dan pemberi kredit informasi dalam proses dan sistem perekonomian keluarga.

Selanjutnya Edi Suhartono menyatakan strategi bertahan hidup (cooping strategies) dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dilakukan dengan berbagai cara yang dapat dikelompokkan menjadi 3 cara yaitu:

a. Strategi aktif yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk (misalnya melakukan akivitasnya sendiri, memperpanjang jam kerja,


(51)

49 memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitarnya dan sebagainya).

b. Strategi pasif yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misanya pengeluaran sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya).

c. Strategi jaringan misalnya menjalin relasi, baik secara informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan (misalnya meminjam uang tetangga, mengutang ke warung, memanfaatkan program kemiskinan, meminjam uang ke renenir atau bank dan sebagainya). (Suhartono. 2007.

Sebagian besar peneliti mengenai coping strategies menggunakan keluarga atau rumah tangga sebagai unit analisis. Meskipun istilah keluarga dan rumah tangga sering dipertukarkan, keduanya memiliki sedikit perbedaan. Keluarga menunjuk pada hubungan normatif antara orang-orang yag memiliki ikatan biologis, sedangkan rumah tangga menunjukkan pada sekumpulan orang yang hidup satu atap namun tidak selalu memiliki hubungan darah. Baik anggota keluarga maupun rumah tangga umumnya memiliki kesempatan untuk menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya secara bersama-sama.

Konsep mata pencaharian (livelihood) sangat penting dalam memahami coping strategies karena merupakan bagian dari atau kadang-kadang dianggap sama dengan strategi mata pencaharian (livelihood strategies). Suatu mata pencaharian meliputi pendapatan (baik yang bersifat tunai maupun barang), lembaga-lembaga sosial, relasi gender, hak-hak kepemilikan yang diperlukan guna mendukung dan menjamin kehidupan. Suatu kehidupan ditunjang oleh interaksi antara orang, asset nyata dan asset tidak nyata. Orang menunjuk pada kemampuan mencari nafkah (livelihood capabilities) asset nyata menunjuk pada simpanan (makanan, emas,


(52)

50 tabungan) dan sumber-sumber (tanah, air, sawah, tanaman, binatanng ternak) sedangkan asset tidak nyata menunjuk pada klaim dan akses yang merupakan kesempatan-kesempata untuk menggunaka sumber, simpanan, pelayanan, informasi, barang-barang, teknologi, pekerjaan, dan pendapatan.

Strategi yang dilakukan keluarga miskin dalam mengadaptasi naiknya harga kebutuhan pokok yaitu:

1. Pengontrolan konsumsi dan pengeluaran yaitu mengurangi jenis dan pola makan, membeli barang-barang murah, mengurangi pegeluaran untuk pendidikan dan kesehatan, mengurangi kunjungan kedesa memperbaiki rumah atau alat-alat rumah tangga sendiri.

2. Pengubahan komposisi keluarga. 3. Migrasi ke desa atau kota lain.

4. Meningkatkan jumlah anggota rumah tangga untuk memaksimalkan pendapatan. 5. Menitipkan anak ke kerabat atau keluarga lain untuk diurus baik secara temporer

maupun secara permanen.

6. Menanam tanaman yang bisa dikonsumsi di pekarangan rumah.

7. Sistem gotong royong diantara anggota keluarga dan anggota masyarakat dalam mengelola makanan dan sumber daya manusia pada masa krisis.

8. Penggantian makanan yang dikonsumsi dengan yang lebih murah atau terjangkau, misalnya: mengganti ikan dengan telur.

9. Penjualan simpanan benda-benda berharga seperti emas, perabotan rumah tangga untuk memperoleh tambahan uang.

10.Penjualan asset produktif seperti tanah, binatang ternak untuk memperoleh tambahan uang.


(53)

51 11.Peminjaman kredit dari bank, kerabat atau anggota keluarga lain, pedagang atau

lintah darat.

12.Produksi dan perdagangan skala kecil seperti membuka warung atau kedai sampah dengan target masyarakat yang tinggal disekitar tempat tinggal.

13.Pemanfaatan bantuan pemerintah dimasa krisis misalnya melalui program

Jaringan Pengamanan Sosial (JPS) (Miles.20

diakses tanggal 20 Januari 2011 pukul 20:25 Wib)

Adiyuwono (2001 : 9) mengemukakan, bahwa timbulnya keinginan mempertahankan hidup adalah karena adanya usaha manusia untuk keluar dari kesulitan yang dihadapinya. Faktor kesulitan tersebut antara lain

a. Keadaan alam (cuaca, keadaan lingkungan) b. Keadaan mahluk lain di sekitar kita c. Keadaan diri sendiri

“Semangat untuk tetap hidup”, dengan semangat inilah akan tumbuh kekuatan pantang menyerah dalam keadaan sesulit apa pun. Motivasi inilah yang akan selalu menumbuhkan harapan dengan disertai sifat-sifat positif dan juga keberanian. Kepercayaan diri merupakan tenaga potensial yang harus tetap dijaga. Dengan kepercayaan diri akan timbul kekuatan untuk melaksanakan segala sesuatu dengan penuh keyakinan.

Dalam mempertahankan hidup, belajar dari pengalaman sangatlah berharga. Hampir seluruh materi pengajaran adalah kumpulan pengalaman. Pengalaman ini benar-benar sangat berharga baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain. Tidak ada yang membantah bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik. Selain itu dalam memperluas pengetahuan tentang mempertahankan hidup, tentu saja ada baiknya banyak belajar dari penduduk setempat tentang pengalaman, pengetahuan dan kebiasaannya

Pola relasi sosial dan produksi yang terbangun dalam hubungan informal ini memberikan jaminan secara sosial-ekonomi bagi para buruh dan subkontraktor untuk


(54)

52 tetap memperoleh pekerjaan, dengan berbagai aturan atau kedisiplinan yang relatif lebih longgar dibandingkan dengan hubungan formal pada usaha-usaha besar. Oleh karena itu, kondisi yang dipandang timpang dari sudut pandang ekonomi, dalam hal pertukaran sumber daya dan distribusi keuntungan, justru dipandang sebagai hal yang wajar dan tidak bisa diubah oleh buruh. Kondisi timpang tersebut dianggap setara dengan jaminan ekonomi yang mereka terima dari subkontraktor. Hal ini yang menyebabkan ketidak puasan buruh tidak pernah pecah menjadi perselisihan terbuka.

Meskipun demikian, kedekatan hubungan antarwarga seperti ini merupakan modal sosial untuk kelangsungan hidup masyarakat tersebut. Komunitas sebagai

social safety net selalu menjadi andalan individu maupun kelompok miskin. Ada

berbagai istilah untuk menunjukkan jaminan sosial-ekonomi jenis ini, yaitu coping

strategies, coping mechanism, dan jaminan sosial informal/tradisional. Semua

konsep ini mengacu pada strategi dan mekanisme bertahan dalam menghadapi kesulitan ekonomi, yaitu melalui penurunan kualitas hidup dan pemanfaatan jaringan sosial yang dekat. Strategi ini meliputi pengurangan pengeluaran untuk konsumsi secara kualitas dan kuantitas, mengembangakan jaringan sosial yang dekat atau sumber daya eksternal, yaitu komunitas yang terdiri atas kerabat, teman, dan tetangga (misalnya dalam arisan, utang- piutang, koperasi), serta membuat jaringan yang kuat dengan institusi keagamaan. Tetapi, kita tetap harus waspada jika krisis melanda banyak orang secara bersama-sama sehingga tidak ada satu pun tempat atau jaringan sosial untuk bergantung (Cook, dalam Strahm, 2005: 72).

2.4. Kerangka Pemikiran

Urbanisasi sudah menjadi gejala umum. Bahkan tumbuh dan berkembangnya kota-kota di dunia tidak terlepas dari urbanisasi. Secara demografis dan geografis, urbanisasi adalah peristiwa berpindahnya penduduk dari wilayah perdesaan ke


(55)

53 wilayah perkotaan. Namun psikis, bagi pelaku urbanisasi atau yang secara umum dinamakan dengan kaum urbanis, berpindahnya penduduk dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan adalah didorong oleh keinginan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di daerah tujuan.

Wilayah perdesaan senantiasa dipertentangkan dengan wilayah perkotaan. Hal ini wajar, karena memang kondisi dari kedua wilayah tersebut sangat berbeda. Wilayah perdesaan sering diidentifikasi sebagai wilayah yang relatif statis, sedangkan wilayah perkotaan sering diidentifikasi dengan wilayah yang relatif dinamis. Dengan demikian tantangan yang ada di perkotaan dianggap lebih sulit dibandingkan dengan tantangan yang ada di perdesaan.

Oleh karena itu, ciri-ciri masyarakat perdesaan dianggap berbeda dibandingkan dengan ciri-ciri masyarakat perkotaan. Masyarakat perdesaan sering diidentifikasi dengan masyarakat yang sederhana, pendidikan rendah, tidak memiliki keterampilan yang memadai, memiliki ikatan sosial yang masih kuat. Sedangkan masyarakat perkotaan diidentifikasi sebagai masyarakat yang kompleks, pendidikan tinggi, keterampilan khusus, dan ikatan sosial yang sudah longgar.

Oleh karena itu, kaum urbanis (mereka yang melakukan urbanisasi) sesampai di perkotaan yang menjadi tujuan dihadapkan pada kondisi dan tantangan yang berbeda. Dalam rangka menghadapi tantangan itu, mereka dipaksa melakukan strategi dalam mempertahankan hidup. Boleh jadi mereka mencoba mengasah keterampilan, melakukan strategi aktif, maupun strategi pasif atau strategi produk yang berkaitan dengan produksi maupun konsumsi, serta strategi jaringan, baik ditujukan pada komunitas, pemerintah, maupun organisasi non pemerintah.

Setelah kaum urbanis melakukan strategi tersebut, maka mereka mencapai tingkat kehidupan tertentu. Mungkin mereka mencapai kehidupan yang statis atau


(56)

54 relatif sama dengan kehidupan mereka di desa, mungkin lebih rendah atau lebih buruk, tetapi mungkin pula lebih baik. Kondisi kehidupan tersebut secara spesifik dapat dilihat dari jenis pekerjaan, kenyamanan bekerja, tingkat pendapatan, tingkat keterpenuhan kebutuhan: sandang, pangan, papan, keterpenuhan kebutuhan pendidikan anak, pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua, tingkat kenyamanan hidup, kebutuhan rekreasi/hiburan, kebutuhan fasilitas transportasi.

Gambar 2.1 Bagan Alir Pikiran

2.5. Defenisi Konsep

Urbanisasi

Kondisi Baru dan Berbeda di Kota

Strategi Mempertahankan Hidup:

1. Strategi produksi 2. Strategi konsumsi 3. Relasi/Jaringan:

a. Kerabat, tetangga, rekan Kerja (komunitas) b. Organisasi Pemerintah c. Organisasi Non Peme- rintah

Kehidupan Sosial Ekonomi: 1. Jenis pekerjaan

2. Kenyamanan bekerja 3. Tingkat pendapatan

4. Tingkat keterpenuhan kebu- tuhan: sandang, pangan, papan

5. Tingkat keterpenuhan kebu- tuhan pendidikan anak 6. Pemeliharaan kesehatan 7. Jaminan hari tua

8. Tingkat kenyamanan hidup 9. Kebutuhan rekreasi/hiburan 10.Kebutuhan fasilitas trans- portasi


(1)

138 BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis atas data yang relevan sesuai dengan variabel penelitian sebagaimana telah diuraikan pada Bab V penulis merumuskan kesimpulan sebagai berikut :

1. Pada umumnya sumber pendapatan bagi keluarga miskin yang menjadi sampel penelitian ini adalah sektor informal dengan tingkat pendapatan yang sangat rendah. Rendahnya pendapatan ayah mengakibatkan ibu dan anak dalam keluarga secara aktif berperan dalam menambah pendapatan keluarga, namun karena rendahnya pendidikan dan keterampilan mengakibatkan penambahan pendapatan keluarga tidak mampu membawa keluarga dari lingkaran kemiskinan. Selain rendahnya pendapatan, kemiskinan atau kesulitan ekonomi keluarga juga terlihat pada status kepemilikan rumah dimana pada umumnya keluarga sampel menempati rumah kotrakan (sewa), kondisi atau kategori rumah yang tidak permanen dan paling utama adalah bahwa keluarga sampel ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga secara baik.

2. Kemiskinan atau kesulitan ekonomi sudah menjadi masalah bagi mayoritas keluarga sampel, dalam mereka telah merasakan kesulitan ekonomi setidaknya lima bahkan lebih dari 10 tahun, bahkan mayoritas juga merasakan keadaan yang makin buruk. Pada umumnya keluarga sampel secara khusus membicarakan atau mendiskusikan kesulitan ekonomi dalam keluarga, dimana dalam pembicaraan


(2)

139 tersebut tidak selalu ditemukan jalan keluar, karena mereka tidak memiliki potensi untuk menyelesaikan sendiri kesulitan ekonomi yang mereka hadapi.

3. Kesulitan ekonomi sudah menjadi momok bagi seluruh keluarga sampel, apakah anggota keluarga mereka ada yang mengalami PHK atau tidak. Dalam kaitannya dengan strategi pendapatan yang diterapkan, bagi keluarga yang mengalami PHK maka mencari pekerjaan lain, menciptakan sendiri pekerjaan, dan memperbanyak anggota keluarga yang bekerja menjadi strategi pilihan mereka. Disamping itu dalam rangka mempertahankan pendapatan keluarga mereka berupaya mencari pekerjaan lain, mencari pekerjaan tambahan, dan memperbanyak anggota keluarga yang bekerja, dan memanfaatkan sistem jaringan melalui akses mendapatkan BLT dari Pemerintah. Bagi mereka dana BLT itu membantu, tetapi tidak selamanya berarti, karena jumlahnya yang kecil dan memang mereka lebih membutuhkan lapangan pekerjaan yang mampu menjamin pendapatan yang lebih tinggi.

4. Dalam kaitannya dengan strategi pengeluaran yang diterapkan keluarga sampel, berhenti dari sekolah, walaupun anak masih dalam usia sekolah merupakan pilihan yang terpaksa diambil. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga sampel berupaya memanfaatkan sistem jaringan, khususnya dalam mendapatkan akses pada program raskin. Mayoritas keluarga sampel merasa terbantu secara signifikan dengan adanya program raskin. Sehubungan dengan upaya memenuhi kebutuhan pakaian, keluarga sampel menerapkan berbagai strategi, seperti jarang membeli pakaian baru, jika membeli pakaian cenderung membeli pakaian bekas, dan berupaya mendapat pakaian bekas dari keluarga


(3)

140 (dalam arti mereka juga memanfaatkan sistem jaringan keluarga). Sedangkan strategi yang diterapkan sehubungan dengan kebutuhan akan konsumsi susu dalam keluarga adalah mereka makin jarang minum susu, membeli susu yang lebih murah, dan tidak minum susu lagi. Khusus dalam rangka memenuhi kebutuhan makan sehari-hari keluarga sampel menerapkan strategi seperti dengan membeli beras dan lauk yang paling murah, dan makan hanya 2 kali dalam sehari.

6.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian penulis merumuskan saran sebagai berikut:

1. Kesulitan ekonomi yang ditandai dengan rendahnya pendapatan keluarga pada hakekatnya berakar dari sedikitnya lapangan kerja dan rendahnya keterampilan. Oleh karena itu Pemerintah dituntut membenahi rancangan ekonomi makro sehingga lapangan pekerjaan terbuka lebih lebar. Disamping itu kajian mikro atas kondisi ekonomi masyarakat perlu dilakukan, sehingga dapat dirumuskan strategi pemberdayaan bagi masyarakat marginal perkotaan yang memiliki pendidikan dan keterampilan rendah sehingga tidak memiliki akses bagi lapangan pekerjaan yang menjanjikan pendapatan yang memadai.

2. Pemerintah kota Medan sudah saatnya mendirikan crisis center khusus bidang pendidikan, sehingga anak dalam keluarga miskin dapat ditangani, dalam arti dicegah jangan sampai putus sekolah. Sehubungan dengan hal ini, Pemerintah tidak cukup memandang masalah putus sekolah dari segi uang sekloah saja, karena biaya sekolah sarat dengan item pengeluaran lainnya seperti biaya membeli buku, transport ke sekolah, kebutuhan makan dan gizi murid, biaya


(4)

141 kesehatan, biaya praktek, biaya tabungan kelas, dan masih banyak lagi kutipan atau jenis pengeluaran lain yang harus ditanggung oleh keluarga dari anak yang ada di bangku sekolah. Crisis center diharapkan mampu melakukan kajian dan mencari solusi yang komprehensif dalam rangka mencegah murid harus keluar dari sekolah karena ketidakmampuan biaya.


(5)

142

DAFTAR PUSTAKA

Andiantara, 2005, Masalah-masalah Perkotaan Masa Kini, Dian, Bandung.

Andi, Kaful, 2013. Kemiskinan Perkotaan, Sumber Penyebab dan Akibatnya,

Angkasa, Bandung.

Bappenas, 2000, Pedoman Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai, Humas Bappenas, Jakarta.

Bappenas, 2009, Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Masyarakat, Humas Bappenas, Jakarta.

BKKBN, 2006, Buku Saku Bagi Penyuluh KB, BKKBN, Jakarta

Departemen Sosial, 2006. Program Komunitas Adat Terpencil, Depsos, Jakarta. Gie, The Liang, 2009. Strategi dan Hambatan Pasar dalam Pembangunan,

BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta.

Hidayat, Pemukiman Kumuh di Kota-kota Besar di Indonesia, Kompas, 14 Juli 2012.

LIPI, 2014. Dinamika Urbanisasi Pada Kota Kedua di Indonesia Periode Tahun

1990 – 2010, Unit Penerbitan LIPI, Jakarta.

Jaya, 2001, Teknik Pengumpulan Data dalam Triangulasi, Kreasi, Jakarta.

Lund, Fashar, 2001, Strategi dalam Manajemen Strategis, Kreasi, Jakarta.

Marbun, Tohap, 2003. Nilai-nilai Ekonomi Anak dalam Keluarga Miskin, BKKBN, Jakarta.

Modjo, Rama, 2008. Masalah Tenaga Kerja dan Pembangunan Nasional, PT PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Ningsih, Sulistianti, 2002. Jebakan-jebakan Pembangunan Sentralistik Perkotaan,

Bina Agung, Jakarta.

Departemen Pertanian, 2001, Kemiskinan di Sektor Pertanian, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Departemen Pertanian, jakarta

Effendy, Rudi, 2000. Perencanaan Sosial dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta. Rahman, Dani, 2005, Bertahan Hidup, Esay, Jakarta.

Redaksi, Harga Kebutuhan Pokok Mencekik Leher, Kompas 14 Pebruari 2015.


(6)

143 Redaksi, Urbanisasi di Kota Medan dan Masalah yang Ditimbulkannya, Antara, 2

April 2014.

Rudiantoro, 2013, Strategi Pembangunan Perkotaan. Sebuah Tantangan Masa

Depan, Ranacipta Nusantara, Jakarta.

Siagian, Matias, 2012, Kemiskinan dan Solusi, Grasindo Monoratama, Medan. Soetomo, 2002, Indokator-indikator Pembangunan Masa Kini, Sandika, Semarang. Sofyan, 2014. Belajar dari Kisah Urbanisasi di Kota Jakarta, Perisai, Bandung. Suharto, Edi, 2009. Pelayanan Sosial dan Revitalisas Kementerian Sosial, Bahan

Seminar, Jakarta.

_______, 2009. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung

Suyanto, 1995, Mengkaji Kemiskinan dan Strategi Pembangunan, Swadaya, Bali.

Suheri, Andi. 2008, Pemukiman Kumuh dan Penyakit Menular, Bina Agung, jakarta

Suryadarma, Stagnasi Ekonomi Nasional Mengancam, Kompas 20 Januari 2015.

Sutejo, 2011. Menggagas Kota-kota Besar Bukan Sebagai Pusat Industri, Kreatif, Yogyakarta.

Tatang, Upah Minimum dan Kesejahteraan Buruh Kota, Waspada, 12 Oktober 2014.

Vembriarto, 2001, Psikologi Sosial, Rasio, Jakarta.

World Bank, 2004. Making Services Work for Poor People, Oxford University Press, Washington.

Yusuf, Dadang, 2001, Perencanaan Pembangunan di Negara Berkembang,

Gramedia, Jakarta.

Zulkarnain, Wan, 2004. Pemukiman Kumuh sebagai Dampak dari Urbanisasi di Kota Medan Studi Kasus di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun Kota Medan, Thesis. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Sumber-sumberLain :