MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM AGAMA
MATA KULIAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
AGAMA DAN MASYARAKAT
KELOMPOK 8
NAMA :
1.
2.
3.
4.
5.
SALAFUL HANIF ANWAR
REZA PRATAMA
NANI SURYANI
RAHMAT RUSTANTIO
NIMAS MASRUROH
(2014051560)
(2014051473)
(2014050825)
(2014050155)
(2014051207)
FAKULTAS MANAJEMEN
UNIVERSITAS PAMULANG
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar tanpa ada halangan apapun
yang berarti. Makalah ini berjudul “AGAMA DAN MASYARAKAT” sebagai
tugas,makalah yang kami buat ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada para
pembaca tentang pemahaman agama dan masyarakat.
Terima kasih kami ucapkan kepada Ust. Taifuqurrahman Bedowi yang telah
memberikan tugas ini sehingga kami dapat menambah pemahaman tentang pengertian Islam
dan Ilmu Pengetahuan.Terima kasih pula kami ucapkan kepada pihak-pihak yang telah
membantu kami dalam menyusun makalah ini.
Kami telah berupaya menyempurnakan maklah ini, namun seperti kata pepatah “Tak
ada gading yang tak retak” maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari Ust. Taifuqurrahman Bedowi serta teman-teman dan orang lain yang mau
meluangkan waktunya untuk menyimak isi dari makalah ini agar kedepannya kami mampu
lebih baik lagi, kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Tangerang , 28 Juni 2014
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi
untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam
diri manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri
makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah,
karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya
tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat
instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman keras,
atau menggunakan narkoba dan main judi).
Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran
agama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama
dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang
maka dia akan mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang
salah satu karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self contor) dari pemuasan
hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan judul makalah penulis yaitu “Agama dan Masyarkat“ maka penulis
menarik beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :
1. Dasar pembentukan keluarga dan Islam
2. Tunangan, pernikahan dan perceraian
3. Pembentukan masyarakat Islam
Pengertian masyarakat Islam
Masyarakat Madani
Ciri-ciri masyarakat Islam
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai syarat penilaian mata kuliah
“Pendidikan Agam Islam“ serta sebagai jawaban atas masalah yang telah kami kemukakan
diatas.Serta diharapkan dapat memberi manfaat dan dapat dipahami oleh pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DASAR PEMBENTUKAN KELUARGA DALAM ISLAM
Perkawinan dari sudut pandang Islam merupakan sistem peraturan dari Allah SWT yang
mengandung karunia yang besar dan hikmah yang agung. Melalui perkawinan dapat
diatur hubungan laki-laki dan wanita (yang secara fitrahnya saling tertarik) dengan aturan
yang khusus. Dari hasil pertemuan ini juga akan berkembang jenis keturunan sebagai
salah satu tujuan dari perkawinan tersebut. Dan dari perkawinan itu pulalah terbentuk
keluarga yang diatasnya didirikan peraturan hidup khusus dan sebagai konsekuensi dari
sebuah perkawinan.
Islam telah memerintahkan dan mendorong untuk melakukan pernikahan. Diriwayatkan
dari Ibnu Mas’ud ra yang berkata bahwasanya Rosulullah SAW bersabda :
"Wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah mampu memikul beban, maka
hendaklah ia kawin, karena dengan menikah dapat menundukkan pandangan dan
menjaga ke’hormatan’, dan barang siapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa,
karena dengan puasa itu dapat menjadi perisai"
Dari pertemuan antara wanita dan pria inilah kemudian muncul hubungan yang berkait
dengan kemaslahatan mereka dan kemaslahatan masyarakat tempat mereka hidup dan
juga hubungannya dengan negara. Hal ini mengingat ciri khas pengaturan Islam ( syariat
Islam ) atas manusia selalu mengaitkannya dengan masyarakat dan negara. Sebab definisi
dari masyarakat sendiri adalah ‘ Kumpulan individu ( manusia ) yang terikat oleh
pemikiran, perasaan dan aturan ( sistem ) yang satu ( sama )’5). Hal ini berarti dalam
sebuah masyarakat mesti ada interaksi bersama antar mereka yang terjadi secara terus
menerus dan diatur dalam sebuah aturan yang fixed. Rosulullah SAW telah menjelaskan
status dan hubungan individu dengan masyarakat dengan sabdanya :
" Perumpamaan orang-orang Muslim , bagaimana kasih sayang yang tolong menolong
terjalin antar mereka, adalah laksana satu tubuh. Jika satu bagian merintih merasakan
sakit, maka seluruh bagian tubuh akan bereaksi membantunya dengan berjaga ( tidak
tidur ) dan bereaksi meningkatkan panas badan ( demam ) "( HR Muslim )
Oleh karena itu , Islam memandang individu-individu, keluarga, masyarakat dan negara
sebagai umat yang satu dan memiliki aturan yang satu. Di mana dengan peraturan dan
sistem nilai tersebut, manusia akan dibawa pada kehidupan yang tenang, bahagia dan
sejahtera.
Menurut Shihab, beberapa faktor untuk membentuk keluarga sakinah: (a) Kesetaraan.
Kesetaraan ini mencakup banyak aspek, seperti kesetaraan dalam kemanusiaan. (b)
Musyawarah. Pernikahan yang sukses bukan saja ditandai oleh tidak adanya cekcok
antara suami/istri karena bisa saja cekcok terjadi bila salah satu pasangan tidak bisa
menerima semua yang dikehendaki oleh pasangannya. Dari berbagai problem rumah
tangga, bimbingan dan konseling terhadap berbagai problem rumah tangga relevan
dengan fungsi konseling keluarga Islam yaitu membantu agar klien dapat menjalani
kehidupan berumah tangga secara benar, bahagia dan mampu mengatasi problemproblem yang timbul dalam kehidupan perkawinan. Oleh karena itu maka konseling
keluarga khususnya yang islami pada prinsipnya berisi dorongan untuk menghayati
kembali prinsip-prinsip dasar, hikmah, tujuan dan tuntunan hidup berumah tangga
menurut ajaran Islam.
B. TUNANGAN, PERNIKAHAN DAN PERCERAIAN
.1 Tunangan
Di zaman sekarang ini tidak asing lagi bagi kita bila mendengar istilah Tunangan.
Istilah tersebut hampir dikenal seluruh kalangan dan lingkungan, dari kalangan orang
biasa sampai kalangan orang luar biasa, dari lingkungan kota sampai lingkungan
desa.
Sebenarnya dalam Islam pun istilah tersebut telah dikenal, namun dengan istilah lain,
yaitu Khitbah. Hanya saja istilah Tunangan tersebut mempunyai qoyyid atau
ketentuan yang menjadikan Khitbah yang dijelaskan oleh Syari’at dengan Tunangan
seakan-akan berbeda. Pasalnya Tunangan itu sendiri mengharuskan kedua pasangan
untuk saling memakaikan cincin tunangan sebagai tanda ikatanTunangan yang
disebut juga dengan istilah tukar cincin. Sedangkan menurut Syari’at, Khitbah
tersebut tidak menuntut hal demikian, bahkan saling memakaikan cincin–yang
tentunya di antara kedua pasangan tersebut memegang tangan pasangannya–adalah
sesuatu yang dilarang Syari’at; karena diantara keduanya belum sah dalam sebuah
ikatan pernikahan. Dan laki-laki yang mengkhitbah seorang perempuan hanya
diperbolehkan melihat dua anggota dari seorang perempuan yang dikhitbahnya, yaitu
muka dan kedua telapak tangan saja.
Di dalam istilah jawa, istilah Tunangan disebut juga dengan istilah “Tetalen”. Istilah
tersebut diambil dari kata “Tali”; karena seseorang yang telah terlibat dengan istilah
tersebut seakan-akan mereka berada dalam sebuah tali yang mengikat mereka. Kedua
pasangan Tetalen tidak bisa sesuka hati memilih atau menerima orang lain ke jenjang
pernikahan, kecuali dengan seseorang yang mempunyai ikatan tersebut dan selagi
ikatan tersebut belum terputus atau dilepas atas kesepakatan keduanya.
Sedangkan di kalangan anak muda zaman sekarang, hubungan khusus antar lawan
jenis yang resmi menurut mereka—dengan artian kedua pasangan tersebut
mengakuinya—dikelompokkan ke dalam tiga katagori, yaitu:
1) Pacar, yaitu bila salah satu dari pasangan tersebut mengucapkan kata-kata cinta
yang mungkin murni dari hati atau sekedar gombal atau permintaan menjadi pacar
yang menuntut jawaban iya atau tdak, dan yang satunya menerima dengan
jawaban iya atau dengan ungkapan yang searti dengan ungkapan tersebut.
2) Tunangan, yaitu apabila kedua pasangan tersebut saling memakaikan cincin
tunanagan, baik secara resmi dengan mengadakan acara khusus dan melibatkan
kedua keluarga pasangan atau hanya sekedar perjanjian diantara keduanya saja.
3) Suami-Istri, yaitu apabila kedua pasangan tersebut sudah berada dalam ikatan
pernikahan yang sah.
Di samping tiga katagori tersebut, baru-baru ini muncul yang namanya “Teman tapi
mesra” dan “Kakak adik ketemu gede”. seorang laki-laki menganggap seorang
perempuan sebagai adik atau sebaliknya, atau menganggap teman tapi melebihi dari
batas teman yang wajar. Diantara faktor keduanya adalah timbul dari perasaan tidak
enak kepada seseorang yang ia tolak cintanya, dengan tujuan supaya tidak menyakiti
hati orang tersebut, atau karena rasa kagum pada seseorang dan menginginkan orang
tersebut menjadi kakak atau adik angkatnya. Bahkan tidak sedikit dalam kasus seperti
ini mereka yang tersandung cinta kepada adik angkatnya ketika telah beranjak
dewasa.
1.1. Pengertian Khitbah
Khitbah atau Pinangan menurut Syari’at adalah langkah penetapan atau penentuan
sebelum pernikahan. Bagi laki-laki yang akan meminang seorang perempuan harus
dalam ketenanagan dan kemantapan untuk menentukan pilihannya dari semua sisi
sehingga setelah meminang tidak terlintas dalam benaknya untuk membatalkan
pinangan dan mengundur pernikahannya tanpa ada sebab; karena hal tersebut
menyakiti diri perempuan yang di pinang, merobek perasaan dan melukai
kemuliannya dengan sesuatau yang tidak di ridloi Agama dan tidak sesuai dengan
budi pekerti yang luhur.
Pinangan tersebut adalah sesuatau yang timbul dari seorang laki-laki yang meminang
ketika berniat untuk menikah dengan menjelaskan maksudnya, baik dirinya sendiri
atau melalui perantaraan seseorang yang dipercaya dari keluarga atau saudaranya.
1.2. Hukum Meminang Perempuan Yang Telah Di Pinang
Ketika seorang perempuan telah dipinang, maka ia telah menutup diri dari pinangan
orang lain, dalam artian tidak satupun seseorang yang diperbolehkan Syari’at untuk
meminangnya; karena hal tersebut mejadikan terputusnya ikatan, menumbuhkan
kebencian dan permusuhan. Seorang muslim tidak diperkenankan menyaingi dan
merebut pinangan yang telah didahului saudara seislamnya kecuali saudaranya telah
membatalkan pinangan tersebut dengan tanpa ragu. Ketika ia ragu dalam memutus
pinangan, maka wajib meminta izin padanya atas diperbolehkan atau tidaknya
meminang pinangan yang ia masih ragu untuk memutusnya.
Sebagaimana Rosulullah melarang hal tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Abdullah bin Umar R.A, Rosulullah SAW bersabda :
“tidak di perbolehkan bagi seorang laki-laki meminang seorang wanita yang telah
dipinang saudaranya sehingga pinangannya itu dibatalkan sebelumnya atau
seorang yang meminang member izin padanya.”(Au kama Qol).
Larangan yang dijelaskan hadits di atas menunjukan terhadap larangan yang berunsur
“Haram” menurut pendapat Jumhurul Fuqoha (mayoritas Ulama), di antaranya adalah
Imam Syafi’I RA. Beliau berkata: “Arti hadits tersebut adalah ketika seorang laki-laki
telah meminang seorang perempuan yang telah rela dan cenderung menerima
pinangannya, maka tidak diperbolehkan kepada siapapun untuk meminangnya”.
Adapun ketika seorang perempuan tersebut belum diketahui kerelaan dan
kecenderungan menerima pinangan tersebut, maka hukum meminangnya
diperbolehkan, dan di antara tanda-tanda dari kerelaan perempuan yang Perawan
(Bikr) adalah diamnya, dan Janda (Tsayyib) dengan ucapan iya atau sejenisnya.
1.3. Hukum Perempuan Yang Telah Di Pinang Adalah Hukum Perempuan Lain
(Ajnabiyah)
Hal ini adalah tatak rama Islam dalam sesuatau yang berhubungan dengan
diperbolehkannya melihat perempuan yang akan dipinang, namun kebanyakan orang
zaman sekarng beranggapan bahwa perempuan yang dipinangnya atau disebut
dengan tunangannya sebagai seseorang yang mutlak ia miliki, padahal anggapan
tersebut salah; karena Tunangan atau seorang yang telah meminang atau yang telah
dipinang itu masih dalam hukum orang lain, masih diharamkan apa saja yang
diharamkan terhadap orang lain sebelum resepsi pernikannya dilaksanakan dengan
sempurna.
1.4. Syabak
Ada istilah lain dalam bahasa Arab yang sama arti dengan tunangan yaitu “Syabak”,
dan hadiyah yang diberikan ketika tunangan baik berbentuk cincin tunangan atau
lainnya disebut dengan “Syabkah”. Hal tersebut adalah sesuatu yang baru-baru
muncul dan marak di kalangan masyarakat umum di zaman sekarang ini. mereka
menambah beban terhadap seseorang yang hendak menikah bahkan mereka bermahalmahalan dalam masalah syabkah (Hadiah Tunanangan) dan hampir samapi
mendahulukan mahar.
Demikian itu bukanlah dari urusan Islam sedikitpun , hanya saja Islam tidak melarang
hal tersebut selagi masih dalam batas-batas kemampuan; karena Syari’at bisa
menganggap ‘urf (konvensi) atau kebiasaan selagi tidak bertentangan dengan nas-nas
Syari’at tersebut.
Tapi harus diperhatikan bahwa seorang laki-laki diharamkan memakai sesuatu yang
terbuat dari emas baik berbentuk cincin atau yang lainnya. Cukuplah cincin tunangan
yang terbuat dari emas dipakai Tunangan Perempuan saja atau Tunangan laki-laki
memakai cincin tunangan selain emas, seperti perak, tembaga dan lain lain tanpa
saling memakaikan cincin tunangan tersebut; karena keduanya belumlah halal dalam
ikatan pernikahan yang sah.
1.5. Membatalkan Tunangan
Kadang-kadang setelah bertunagan, terjadi sesuatu yang mendatangkan terhadap
batalnya tunangan. Dalam hal ini mengembalikan syabkah ( hadiah tunangan) secara
utuh itu hukumnya wajib menurut Syari’at. Adapun hadiah-hadiah yang bersifat tidak
langgeng seperti makanan, maka hukumnya tidak wajib diganti, sedangkan sesuatu
yang bersifat langgeng seperti jam tangan, cincin emas dan gelang, maka wajib
dikembalikan apabila pembatalan tunangan tersebut diminta dari pihak perempuan.
Jika pembtalan tunangan tersebut dari pihak laki-laki atau disebabkan kematian maka
tidak wajib mengembalikannya.
Tetapi sebagai orang yang bermoral tinggi dan bermartabat luhur, hendaknya kita
tidak pernah meminta kembali sesuatu sesuatu yang telah kita berikan kepada
seseorang; karena seorang yang meminta pemberiannya kembali sama halnya dengan
anjing yang memakan utah-utahannya sendiri, sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits Nabi SAW.
2. PERNIKAHAN
Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain
juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara
sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan
ke pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam. Kata zawaj digunakan
dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang dalam penggunaannya pula juga dapat
diartikan sebagai pernikahan, Allah s.w.t. menjadikan manusia itu saling berpasangan,
menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.
2.1. Hukum Nikah
Hukum pernikahan bersifat kondisional, artinya berubah menurut situasi dan kondisi
seseorang dan lingkungannya.
Jaiz, artinya boleh kawin dan boleh juga tidak, jaiz ini merupakan hukum dasar
dari pernikahan. Perbedaan situasi dan kondisi serta motif yang mendorong
terjadinya pernikahan menyebabkan adanya hukum-hukum nikah berikut.
Sunat, yaitu apabila seseorang telah berkeinginan untuk menikah serta memiliki
kemampuan untuk memberikan nafkah lahir maupun batin.
Wajib, yaitu bagi yang memiliki kemampuan memberikan nafkah dan ada
kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zina bila tidak segera
melangsungkan perkawinan. Atau juga bagi seseorang yang telah memiliki
keinginan yang sangat serta dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam perzinahan
apabila tidak segera menikah.
Makruh, yaitu bagi yang tidak mampu memberikan nafkah.
Haram, yaitu apabila motivasi untuk menikah karena ada niatan jahat, seperti
untuk menyakiti istrinya, keluarganya serta niat-niat jelek lainnya.
2.2. Hikmah Pernikahan
Cara yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui ini selain
lewat perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah dan amat
merugikan.
Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
Memelihara kesucian diri
Melaksanakan tuntutan syariat
Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan
yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa
orangtua akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan
tidak bermoral. Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan
Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada
anak-anak
Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab
Dapat mengeratkan silaturahim
2.3. Syarat Calon Suami
Islam
Laki-laki yang tertentu
Bukan lelaki muhrim dengan calon istri
Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
Bukan dalam ihram haji atau umroh
Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu
Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri
2.4. Syarat Calon Istri
Islam
Perempuan yang tertentu
Bukan perempuan muhrim dengan calon suami
Bukan seorang banci
Akil Baligh
Bukan dalam ihram haji atau umroh
Tidak dalam iddah
Bukan istri orang
3. PERCERAIAN ATAU TALAK
Talak menurut bahasa bermaksud melepaskan ikatan dan menurut syarak pula, talak
membawa maksud melepaskan ikatan perkahwinan dengan lafaz talak dan
seumpamanya. Talak merupakan suatu jalan penyelesaian yang terakhir sekiranya
suami dan isteri tidak dapat hidup bersama dan mencari kata sepakat untuk mecari
kebahagian berumahtangga. Talak merupakan perkara yang dibenci Allah s.w.t tetapi
dibenarkan.
3.1. Hukum Talak
Hukum talak dapat berbeda-beda sesuai dengan kondisi dari pernikahan tersebut.
Secara garis besar hokum tlah terbagi menjadi 3, yaitu:
Wajib, apabila:
Jika perbalahan suami isteri tidak dapat didamaikan lagi
Dua orang wakil daripada pihak suami dan isteri gagal membuat kata sepakat
untuk perdamaian rumahtangga mereka
Apabila pihak kadi berpendapat bahawa talak adalah lebih baik
Jika tidak diceraikan keadaan sedemikian, maka berdosalah suami
Haram, Apabila:
Menceraikan isteri ketika sedang haid atau nifas
Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi
Ketika suami sedang sakit yang bertujuan menghalang isterinya daripada
menuntut harta pusakanya
Menceraikan isterinya dengan talak tiga sekali gus atau talak satu tetapi disebut
berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih
Sunat, Apabila:
Suami tidak mampu menanggung nafkah isterinya
Isterinya tidak menjaga maruah dirinya
Makruh, Apabila:
Suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang baik, berakhlak mulia dan
mempunyai pengetahuan agama
Suami yang lemah keinginan nafsunya atau isterinya belum datang haid atau telah
putus haidnya
3.2. Jenis Talak
Talak raj’i
Suami melafazkan talak satu atau talak dua kepada isterinya. Suami boleh merujuk
kembali isterinya ketika masih dalam idah. Jika tempoh idah telah tamat, maka suami
tidak dibenarkan merujuk melainkan dengan akad nikah baru.
Talak bain
Suami melafazkan talak tiga atau melafazkan talak yang ketiga kepada isterinya.
Isterinya tidak boleh dirujuk kembali. Si suami hanya boleh merujuk setelah isterinya
berkahwin lelaki lain, suami barunya menyetubuhinya, setelah diceraikan suami
barunya dan telah habis idah dengan suami barunya.
Talak sunni
Suami melafazkan talak kepada isterinya yang masih suci dan tidak disetubuhinya
ketika dalam tempoh suci
Talak bid’i
Suami melafazkan talak kepada isterinya ketika dalam haid atau ketika suci yang
disetubuhinya.
Talak taklik
Talak taklik ialah suami menceraikan isterinya bersyarat dengan sesuatu sebab atau
syarat. Apabila syarat atau sebab itu dilakukan atau berlaku, maka terjadilah
penceraian atau talak.
C. PEMBENTUKAN MASYARAKAT ISLAM
1. Pengertian Masyarakat Islam
Penting kita pahami bahwa masyarakat Muslim (al-mujtama’ al-muslim) atau masyarakat
Islam (al-mujtama’ al-islami) tidak semata diukur dengan anggotanya yang terdiri dari
orang-orang Muslim atau beragama Islam, padahal nilai-nilai yang mengatur kehidupan
sosialnya bukanlah aturan Islam.
Masyarakat Islami adalah masyarakat rabbani (menjadikan Allah sebagai sumber nilai),
yang mempunyai tujuan pengabdian kepada Allah, segala aturannya bersumber dari
syari’at Islam, dan diikat dengan ikatan iman, bukan hanya berdasarkan darah, nasab atau
kesukuan.
Maka, tidaklah otomatis kumpulan sejumlah orang beragama Islam disebut masyarakat
Islam. Masih banyak nilai-nilai yang harus diperjuangkan untuk terwujudnya sebuah
masyarakat Islami. Namun, ini tidak serta merta kita menjuluki masyarakat yang ada kini
sebagai masyarakat jahiliyah. Kita bisa saja menyebutnya masyarakat Islam yang tengah
berproses menuju idealita.
Tentang ini, Sayyid Quthb menegaskan, sistem masyarakat Islam sama sekali berbeda
dengan sistem-sistem sosial yang pernah dikenal masyarakat Barat seperti sistem
perbudakan, feodalisme, sosialisme, komunisme maupun kapilitalisme. “Alasan utama
dari keunikan masyarakat Islam dibandingkan masyarakat lainnya karena masyarakat
Islam itu bentukan syari’at yang khas yang datang dari sisi Tuhan. Syari’at itulah yang
telah membentuk masyarakat atas dasar apa yang Allah inginkan bagi hamba-Nya bukan
atas kehendak segelintir manusia. Dan dalam naungan syari’at itulah tumbuh
masyarakat Islam, menghadirkan ikatan-ikatan kerja, produksi, hukum, tatanan individu
dan masyarakat, prinsip-prinsip perilaku, aturan interaksi dan seluruh tonggak bagi
masyarakat yang khas, dengan corak yang jelas,” urainya. Dia menambahkan, syari’at
Islamlah yang membentuk masyarakat Islam, bukan sebaliknya.
Sejalan dengan itu, Ustadz Yusuf Qardhawi mengatakan, “Masyarakat Muslim adalah
masyarakat yang istimewa dibandingkan seluruh masyarakat lainnya, karena
keistimewaan komponen-komponen dan karakterisitiknya. Ia merupakan masyarakat
rabbani, manusiawi, berakhlak, dan seimbang.
Kaum Muslimin dituntut mewujudkan masyarakat ini hingga mereka dapat mengeksiskan
agama dan mengaktualisasikan jati diri mereka, serta hidup dalam naungan kehidupan
Islami yang terpadu. Yakni, kehidupan yang dibimbing akidah Islam, disucikan dengan
ibadah Islam, dikendalikan oleh pemahaman Islam, digerakkan oleh perasaan Islam,
dipagari oleh akhlak Islam, diperindah oleh tatakrama Islam, didominasi oleh nilai-nilai
Islam, hukumnya adalah syari’at Islam, dan orientasi ekonomi, seni, dan politiknya
adalah ajaran Islam.”
2. Masyarakat Madani
Masyarakat Madani (dalam bahasa Inggris: civil society) dapat diartikan sebagai suatu
masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan mamaknai kehidupannya.
Kata madani sendiri berasal dari bahasa Inggris yang artinya civil atau civilized
(beradab). Istilah masyarakat madani adalah terjemahan dari civil atau civilized society,
yang berarti masyarakat yang berperadaban. Menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani
merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif dari
individu dan masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang
berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu.
Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan
peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama. Dawam menjelaskan,
dasar utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang
didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan
yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan. Masyarakat Madani
pada prinsipnya memiliki multimakna, yaitu masyarakat yang demokratis, menjunjung
tinggi etika dan moralitas, transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi,
berpartisipasi, konsisten memiliki bandingan, mampu berkoordinasi, sederhana, sinkron,
integral, mengakui, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah
masyarakat yang demokratis.
Masyarakat madani adalah kelembagaan sosial yang akan melindungi warga negara dari
perwujudan kekuasaan negara yang berlebihan. Bahkan Masyarakat madani tiang utama
kehidupan politik yang demokratis. Sebab masyarakat madani tidak saja melindungi
warga negara dalam berhadapan dengan negara, tetapi juga merumuskan dan
menyuarakan aspirasi masyarakat.
3. Konsep Masyarakat Madani
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah.Memiliki banyak arti atau
sering diartikan dengan makna yang berbeda – beda. Bila merujuk pada pengertian dalam
bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi
dari masyarakat militer.
Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society, juga berdasarkan
pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622
M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat yang
beradaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun, dan konsep Al Madinah al Fadhilah
(Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al-Farabi pada abad
pertengahan.
Menurut Dr. Ahmad Hatta, peneliti pada Lembaga Pengembangan Pesantren dan Studi
Islam, Al Haramain, Piagam Madinah adalah dokumen penting yang membuktikan betapa
sangat majunya masyarakat yang dibangun kala itu, di samping juga memberikan
penegasan mengenai kejelasan hukum dan konstitusi sebuah masyarakat. Bahkan, dengan
menyetir pendapat Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958),
Piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi
ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-
hak sipil (civil rights), atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum
Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence, 1997),
Revolusi Prancis (1789), dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948)
dikumandangkan.
Sementara itu konsep masyarakat madani atau dalam khazanah Barat dikenal sebagai
civil society (masyarakat sipil), muncul pada masa pencerahan (Renaissance) di Eropa
melalui pemikiran John Locke dan Emmanuel Kant. Sebagai sebuah konsep, civil society
berasal dari proses sejarah panjang masyarakat Barat yang biasanya dipersandingkan
dengan konsepsi tentang state (negara). Dalam tradisi Eropa abad ke-18, pengertian
masyarakat sipil ini dianggap sama dengan negara (the state), yakni suatu kelompok atau
kesatuan yang ingin mendominasi kelompok lain.
4. Ciri-Ciri Masyarakat Islam
Ada beberapa tipe tipologi atau ciri-ciri dalam masyarakat Islam secara global dimana
Ciri khas ini berbeda sekali dengan segala sistem sosial yang dikenal Eropa, yang tumbuh
mengikuti perkembangan dan sebagai buah dari pertarungan dalam negeri antara pelbagai
lapisan masyarakat. Dalam bentuk lain ia adalah buah dari perbenturan yang dapat
dielakkan, yaitu antara hubungan kerja yang berbentuk itu ke itu saja, dan metode
produksi yang selalu diperbaharui. Semua itu, ditambah dengan pertentangan kepentingan
antara kelompok-kelompok yang beraneka ragam dalam masyarakat, merupakan faktorfaktor yang mempengaruhi dunia perundang-undangan dan bentuk kemasyarakatan dan
nilai-nilai akhlak. Lantaran itu, maka segala peraturan hukum dan perundang-undangan
yang terbentuk mengikuti perkembangan sosial di negeri barat, tidak dapat dipasangkan
ke dalam masyarakat Islam, yakni karena perbedaan landasan tempat berpijaknya, juga
karena perbedaan landasan tempat berpijaknya, juga karena perbedaan perundangundangan yang menetapkan pertumbuhan dan perkembangannya.
Dengan tegas dapat dikatakan, bahwa bukan masyarakat Islam yang menciptakan syari’at,
tetapi syari’atlah yang menciptakan masyarakat Islam. Dialah yang menentukan ciri dan
polanya dan dia pula yang mengarahkannya dan perkembangannya.
Syari’at tidak hanya “meladeni” kepentingan setempat dan temporer, seperti halnya
perundang-undangan bikinan manusia tetapi ia adalah “rencana Ilahi” untuk mengangkat
martabat manusia seluruhnya, dan membentuknya dengan pola tertentu, lalu
mendorongnya ke suatu arah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang menjadi tujuan.
Makin tinggi pengetahuan manusia dalam perjalanan waktu, makin dekatlah jarak yang
akan ditempuh untuk perwujudunnya.
Ciri yang tadi adalah batas yang tegas dalam mendefinisikan hakekat masyarakat Islam,
sehingga benar-benar jelas bedanya dari segala bentuk masyarakat Islam yang tumbuh
menurut pembawaannya pula dan menerbitkan peraturan hukum mengikuti perubahanperubahan dalam batasbatas waktu yang menyentuh kehidupan masyarakat itu.
Syari’at Islam yang tetap itu berpusat pada beberapa ciri khas yang dibebankan
kepadanya untuk membina suatu masyarakat yang menerima perkembangan dan
pembaharuan, dan supaya masyarakat sendiri selalu mampu untuk melaksanakan tuntutan
kemanusiaan yang serba baru. Ciri khas itu ialah:
1) Dia selaku ciptaan Allah yang mengetahui peri keadaan mahluk-Nya,
direncanakan selaras dengan sendi-sendi umum kemanusiaan yang hidup
bersekutu, yakni sesuai dengan pembawaan asli manusia (fitrah).
2) Dia tampil dalam bentuk prinsip-prinsip umum yang menyeluruh, dapat
dibidang-bidangkan dan dipasangkan pada bagian-bagian yang selalu
diperbaharui dan pada keadaan yang berubah-rubah, tanpa terlepas dari
landasannya yang pertama, dan tanpa menciptakan cara-cara pemecahan yang
baru bagi kesulitan-kesulitan yang menurut sifatnya silih berganti.
3) Prinsip-prinsip umum yang menyeluruh ini tampil dengan mencakup segala
sendi kehidupan manusia dengan semua aspeknya. Dia mencakup hal
kehidupan pribadi, jalinan jema’ah, dasar-dasar negara, dan hubungan
International. Selanjutnya dia mencakup perikehidupan manusia dalam segala
lapangan kegiatan lalu menetapkan bagiannya hukum yang mengatakan
masing-masing lapangan tersebut: pidana, perdata, dagang, sosial dan politik.
Tidak ada satu segipun daripadanya yang kosong dari pengaturan melalui
hukum. Teori-teori yang dicakup oleh prinsip-prinsip umum ini mengenai
segi-segi itu, masih tetap unggul dibandingkan dengan teoriteori hukum yang
pernah terpikir oleh manusia.
4) Prinsip-prinsip kemasyarakatan yang terbit dari prinsip-prinsip umum itu
melahirkan gerak maju. Dia mendorong kemanusiaan agar maju ke depan, dan
sampai sekarang pun dia senantiasa mampu untuk mengulang jejak
kepeloporannya itu. Sebab dengan membandingkannya dengan rencana
kemasyarakatan dan teori yang sedang “laku” sekarang ini, maka prinsipprinsip yang dibawa oleh syari’at itu masih tetap unggul.
Prof. Moore menggagas tentang ciri atau tipologi masyarakat Islam dikaitkan dengan
gagasan Toynbee “tradisi Islam tentang persaudaraan manusia” sebagai alternatif bagi
pilar peradaban yang akan datang, maka orang akan mulai bersikap apresiatif terhadap
gagasan itu. Ciri-ciri penting yang harus ada dalam kemasyarakatan Islam di sini
mengenai ide tentang satu Tuhan dan satu kemanusiaan yang begitu sentral dalam AlQur'an telah memberikan keamanan ontologi bagi bangunan sebuah masyarakat dan
peradaban yang hendak ditawarkan ini. Landasan ontology yang kuat, maka masyarakat
yang hendak dibangun itu haruslah: terbuka, demokratik, toleran dan damai. Empat ciri
utama ini haruslah dijadikan acuan bagi semua gerakan pembaharuan moral dan
pembaharuan masyarakat Islam di muka bumi ini. Islam amat mendambakan terwujudnya
sebuah bangunan masyarakat yang berwajah ramah dan anggun. Dalam masyarakat ini
perbedaan agama, ideologi dan nilai-nilai budaya, tidak boleh dijadikan penghambat
untuk tercapainya ciri-ciri di atas.
Ciri keterbukaan berangkat dari sifat Al-Qur'an sebagai kitab suci yang terbuka. Ia
terbuka untuk diterima atau untuk ditolak sudah tentu dengan argumen-argumen yang
kuat. Yang menolak Al-Qur'an tidak harus dikucilkan dari masyarakat. Islam memelihara
hakekat plurarisme agama dan budaya. Sikap yang harus dikembangkan bukan sikap
monopoli kebenaran, tapi sikap saling menghargai dan menghormati. Keterbukaan adalah
watak dari sebuah perbedaan yang percaya diri.
Paham persamaan Islam pasti punya dampak politik. Bagi masyarakat Islam haruslah
sebuah masyarakat yang demokratik. Sistem-sistem politik yang otoriter apalagi yang
totaliter harus dinyatakan sebagai sistem yang haram dalam perspektif Islam, apapun
alasannya. Hanya dalam sistem politik demokrasilah anggota masyarakat dapat
mengembangkan potensi dirinya secara kreatif dan bebas sampai batas-batas yang jauh
untuk menjadi manusia penuh.
Ciri penting terakhir dari masyarakat Islam ialah agar ia memancarkan wajah damai
selaras dengan the very root dari perkataan Islam itu: S.L.M bermakna damai, sejahtera,
selamat, wajah-wajah yang mengerikan yang berlindung di balik tabel Islam adalah suatu
pengkhianatan dan pencerobohan terhadap maksud Islam itu sendiri, memperbaiki ciri
diri ini perlulah dijadikan program utama oleh seluruh gerakan Islam. Hanya sewaktu
menghadapi musuh yang garang saja Islam perlu bersikap tegas dan pasti
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang
meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi
rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut
menimbulkan relegi, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman
agamanya para tasauf.
Bukti di atas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna
hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya
merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali
kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan
akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat seharusnyalah
tidak bersifat antagonis.
B. SARAN
Dengan dibuatnya makalah ini kami mengharapkan kepada pembaca agar bisa
memahami dan dapat menerangkan hubungan antara agama dan masyarakat.
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
AGAMA DAN MASYARAKAT
KELOMPOK 8
NAMA :
1.
2.
3.
4.
5.
SALAFUL HANIF ANWAR
REZA PRATAMA
NANI SURYANI
RAHMAT RUSTANTIO
NIMAS MASRUROH
(2014051560)
(2014051473)
(2014050825)
(2014050155)
(2014051207)
FAKULTAS MANAJEMEN
UNIVERSITAS PAMULANG
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar tanpa ada halangan apapun
yang berarti. Makalah ini berjudul “AGAMA DAN MASYARAKAT” sebagai
tugas,makalah yang kami buat ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada para
pembaca tentang pemahaman agama dan masyarakat.
Terima kasih kami ucapkan kepada Ust. Taifuqurrahman Bedowi yang telah
memberikan tugas ini sehingga kami dapat menambah pemahaman tentang pengertian Islam
dan Ilmu Pengetahuan.Terima kasih pula kami ucapkan kepada pihak-pihak yang telah
membantu kami dalam menyusun makalah ini.
Kami telah berupaya menyempurnakan maklah ini, namun seperti kata pepatah “Tak
ada gading yang tak retak” maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari Ust. Taifuqurrahman Bedowi serta teman-teman dan orang lain yang mau
meluangkan waktunya untuk menyimak isi dari makalah ini agar kedepannya kami mampu
lebih baik lagi, kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Tangerang , 28 Juni 2014
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi
untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam
diri manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri
makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah,
karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya
tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat
instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman keras,
atau menggunakan narkoba dan main judi).
Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran
agama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama
dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang
maka dia akan mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang
salah satu karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self contor) dari pemuasan
hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan judul makalah penulis yaitu “Agama dan Masyarkat“ maka penulis
menarik beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :
1. Dasar pembentukan keluarga dan Islam
2. Tunangan, pernikahan dan perceraian
3. Pembentukan masyarakat Islam
Pengertian masyarakat Islam
Masyarakat Madani
Ciri-ciri masyarakat Islam
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai syarat penilaian mata kuliah
“Pendidikan Agam Islam“ serta sebagai jawaban atas masalah yang telah kami kemukakan
diatas.Serta diharapkan dapat memberi manfaat dan dapat dipahami oleh pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DASAR PEMBENTUKAN KELUARGA DALAM ISLAM
Perkawinan dari sudut pandang Islam merupakan sistem peraturan dari Allah SWT yang
mengandung karunia yang besar dan hikmah yang agung. Melalui perkawinan dapat
diatur hubungan laki-laki dan wanita (yang secara fitrahnya saling tertarik) dengan aturan
yang khusus. Dari hasil pertemuan ini juga akan berkembang jenis keturunan sebagai
salah satu tujuan dari perkawinan tersebut. Dan dari perkawinan itu pulalah terbentuk
keluarga yang diatasnya didirikan peraturan hidup khusus dan sebagai konsekuensi dari
sebuah perkawinan.
Islam telah memerintahkan dan mendorong untuk melakukan pernikahan. Diriwayatkan
dari Ibnu Mas’ud ra yang berkata bahwasanya Rosulullah SAW bersabda :
"Wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah mampu memikul beban, maka
hendaklah ia kawin, karena dengan menikah dapat menundukkan pandangan dan
menjaga ke’hormatan’, dan barang siapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa,
karena dengan puasa itu dapat menjadi perisai"
Dari pertemuan antara wanita dan pria inilah kemudian muncul hubungan yang berkait
dengan kemaslahatan mereka dan kemaslahatan masyarakat tempat mereka hidup dan
juga hubungannya dengan negara. Hal ini mengingat ciri khas pengaturan Islam ( syariat
Islam ) atas manusia selalu mengaitkannya dengan masyarakat dan negara. Sebab definisi
dari masyarakat sendiri adalah ‘ Kumpulan individu ( manusia ) yang terikat oleh
pemikiran, perasaan dan aturan ( sistem ) yang satu ( sama )’5). Hal ini berarti dalam
sebuah masyarakat mesti ada interaksi bersama antar mereka yang terjadi secara terus
menerus dan diatur dalam sebuah aturan yang fixed. Rosulullah SAW telah menjelaskan
status dan hubungan individu dengan masyarakat dengan sabdanya :
" Perumpamaan orang-orang Muslim , bagaimana kasih sayang yang tolong menolong
terjalin antar mereka, adalah laksana satu tubuh. Jika satu bagian merintih merasakan
sakit, maka seluruh bagian tubuh akan bereaksi membantunya dengan berjaga ( tidak
tidur ) dan bereaksi meningkatkan panas badan ( demam ) "( HR Muslim )
Oleh karena itu , Islam memandang individu-individu, keluarga, masyarakat dan negara
sebagai umat yang satu dan memiliki aturan yang satu. Di mana dengan peraturan dan
sistem nilai tersebut, manusia akan dibawa pada kehidupan yang tenang, bahagia dan
sejahtera.
Menurut Shihab, beberapa faktor untuk membentuk keluarga sakinah: (a) Kesetaraan.
Kesetaraan ini mencakup banyak aspek, seperti kesetaraan dalam kemanusiaan. (b)
Musyawarah. Pernikahan yang sukses bukan saja ditandai oleh tidak adanya cekcok
antara suami/istri karena bisa saja cekcok terjadi bila salah satu pasangan tidak bisa
menerima semua yang dikehendaki oleh pasangannya. Dari berbagai problem rumah
tangga, bimbingan dan konseling terhadap berbagai problem rumah tangga relevan
dengan fungsi konseling keluarga Islam yaitu membantu agar klien dapat menjalani
kehidupan berumah tangga secara benar, bahagia dan mampu mengatasi problemproblem yang timbul dalam kehidupan perkawinan. Oleh karena itu maka konseling
keluarga khususnya yang islami pada prinsipnya berisi dorongan untuk menghayati
kembali prinsip-prinsip dasar, hikmah, tujuan dan tuntunan hidup berumah tangga
menurut ajaran Islam.
B. TUNANGAN, PERNIKAHAN DAN PERCERAIAN
.1 Tunangan
Di zaman sekarang ini tidak asing lagi bagi kita bila mendengar istilah Tunangan.
Istilah tersebut hampir dikenal seluruh kalangan dan lingkungan, dari kalangan orang
biasa sampai kalangan orang luar biasa, dari lingkungan kota sampai lingkungan
desa.
Sebenarnya dalam Islam pun istilah tersebut telah dikenal, namun dengan istilah lain,
yaitu Khitbah. Hanya saja istilah Tunangan tersebut mempunyai qoyyid atau
ketentuan yang menjadikan Khitbah yang dijelaskan oleh Syari’at dengan Tunangan
seakan-akan berbeda. Pasalnya Tunangan itu sendiri mengharuskan kedua pasangan
untuk saling memakaikan cincin tunangan sebagai tanda ikatanTunangan yang
disebut juga dengan istilah tukar cincin. Sedangkan menurut Syari’at, Khitbah
tersebut tidak menuntut hal demikian, bahkan saling memakaikan cincin–yang
tentunya di antara kedua pasangan tersebut memegang tangan pasangannya–adalah
sesuatu yang dilarang Syari’at; karena diantara keduanya belum sah dalam sebuah
ikatan pernikahan. Dan laki-laki yang mengkhitbah seorang perempuan hanya
diperbolehkan melihat dua anggota dari seorang perempuan yang dikhitbahnya, yaitu
muka dan kedua telapak tangan saja.
Di dalam istilah jawa, istilah Tunangan disebut juga dengan istilah “Tetalen”. Istilah
tersebut diambil dari kata “Tali”; karena seseorang yang telah terlibat dengan istilah
tersebut seakan-akan mereka berada dalam sebuah tali yang mengikat mereka. Kedua
pasangan Tetalen tidak bisa sesuka hati memilih atau menerima orang lain ke jenjang
pernikahan, kecuali dengan seseorang yang mempunyai ikatan tersebut dan selagi
ikatan tersebut belum terputus atau dilepas atas kesepakatan keduanya.
Sedangkan di kalangan anak muda zaman sekarang, hubungan khusus antar lawan
jenis yang resmi menurut mereka—dengan artian kedua pasangan tersebut
mengakuinya—dikelompokkan ke dalam tiga katagori, yaitu:
1) Pacar, yaitu bila salah satu dari pasangan tersebut mengucapkan kata-kata cinta
yang mungkin murni dari hati atau sekedar gombal atau permintaan menjadi pacar
yang menuntut jawaban iya atau tdak, dan yang satunya menerima dengan
jawaban iya atau dengan ungkapan yang searti dengan ungkapan tersebut.
2) Tunangan, yaitu apabila kedua pasangan tersebut saling memakaikan cincin
tunanagan, baik secara resmi dengan mengadakan acara khusus dan melibatkan
kedua keluarga pasangan atau hanya sekedar perjanjian diantara keduanya saja.
3) Suami-Istri, yaitu apabila kedua pasangan tersebut sudah berada dalam ikatan
pernikahan yang sah.
Di samping tiga katagori tersebut, baru-baru ini muncul yang namanya “Teman tapi
mesra” dan “Kakak adik ketemu gede”. seorang laki-laki menganggap seorang
perempuan sebagai adik atau sebaliknya, atau menganggap teman tapi melebihi dari
batas teman yang wajar. Diantara faktor keduanya adalah timbul dari perasaan tidak
enak kepada seseorang yang ia tolak cintanya, dengan tujuan supaya tidak menyakiti
hati orang tersebut, atau karena rasa kagum pada seseorang dan menginginkan orang
tersebut menjadi kakak atau adik angkatnya. Bahkan tidak sedikit dalam kasus seperti
ini mereka yang tersandung cinta kepada adik angkatnya ketika telah beranjak
dewasa.
1.1. Pengertian Khitbah
Khitbah atau Pinangan menurut Syari’at adalah langkah penetapan atau penentuan
sebelum pernikahan. Bagi laki-laki yang akan meminang seorang perempuan harus
dalam ketenanagan dan kemantapan untuk menentukan pilihannya dari semua sisi
sehingga setelah meminang tidak terlintas dalam benaknya untuk membatalkan
pinangan dan mengundur pernikahannya tanpa ada sebab; karena hal tersebut
menyakiti diri perempuan yang di pinang, merobek perasaan dan melukai
kemuliannya dengan sesuatau yang tidak di ridloi Agama dan tidak sesuai dengan
budi pekerti yang luhur.
Pinangan tersebut adalah sesuatau yang timbul dari seorang laki-laki yang meminang
ketika berniat untuk menikah dengan menjelaskan maksudnya, baik dirinya sendiri
atau melalui perantaraan seseorang yang dipercaya dari keluarga atau saudaranya.
1.2. Hukum Meminang Perempuan Yang Telah Di Pinang
Ketika seorang perempuan telah dipinang, maka ia telah menutup diri dari pinangan
orang lain, dalam artian tidak satupun seseorang yang diperbolehkan Syari’at untuk
meminangnya; karena hal tersebut mejadikan terputusnya ikatan, menumbuhkan
kebencian dan permusuhan. Seorang muslim tidak diperkenankan menyaingi dan
merebut pinangan yang telah didahului saudara seislamnya kecuali saudaranya telah
membatalkan pinangan tersebut dengan tanpa ragu. Ketika ia ragu dalam memutus
pinangan, maka wajib meminta izin padanya atas diperbolehkan atau tidaknya
meminang pinangan yang ia masih ragu untuk memutusnya.
Sebagaimana Rosulullah melarang hal tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Abdullah bin Umar R.A, Rosulullah SAW bersabda :
“tidak di perbolehkan bagi seorang laki-laki meminang seorang wanita yang telah
dipinang saudaranya sehingga pinangannya itu dibatalkan sebelumnya atau
seorang yang meminang member izin padanya.”(Au kama Qol).
Larangan yang dijelaskan hadits di atas menunjukan terhadap larangan yang berunsur
“Haram” menurut pendapat Jumhurul Fuqoha (mayoritas Ulama), di antaranya adalah
Imam Syafi’I RA. Beliau berkata: “Arti hadits tersebut adalah ketika seorang laki-laki
telah meminang seorang perempuan yang telah rela dan cenderung menerima
pinangannya, maka tidak diperbolehkan kepada siapapun untuk meminangnya”.
Adapun ketika seorang perempuan tersebut belum diketahui kerelaan dan
kecenderungan menerima pinangan tersebut, maka hukum meminangnya
diperbolehkan, dan di antara tanda-tanda dari kerelaan perempuan yang Perawan
(Bikr) adalah diamnya, dan Janda (Tsayyib) dengan ucapan iya atau sejenisnya.
1.3. Hukum Perempuan Yang Telah Di Pinang Adalah Hukum Perempuan Lain
(Ajnabiyah)
Hal ini adalah tatak rama Islam dalam sesuatau yang berhubungan dengan
diperbolehkannya melihat perempuan yang akan dipinang, namun kebanyakan orang
zaman sekarng beranggapan bahwa perempuan yang dipinangnya atau disebut
dengan tunangannya sebagai seseorang yang mutlak ia miliki, padahal anggapan
tersebut salah; karena Tunangan atau seorang yang telah meminang atau yang telah
dipinang itu masih dalam hukum orang lain, masih diharamkan apa saja yang
diharamkan terhadap orang lain sebelum resepsi pernikannya dilaksanakan dengan
sempurna.
1.4. Syabak
Ada istilah lain dalam bahasa Arab yang sama arti dengan tunangan yaitu “Syabak”,
dan hadiyah yang diberikan ketika tunangan baik berbentuk cincin tunangan atau
lainnya disebut dengan “Syabkah”. Hal tersebut adalah sesuatu yang baru-baru
muncul dan marak di kalangan masyarakat umum di zaman sekarang ini. mereka
menambah beban terhadap seseorang yang hendak menikah bahkan mereka bermahalmahalan dalam masalah syabkah (Hadiah Tunanangan) dan hampir samapi
mendahulukan mahar.
Demikian itu bukanlah dari urusan Islam sedikitpun , hanya saja Islam tidak melarang
hal tersebut selagi masih dalam batas-batas kemampuan; karena Syari’at bisa
menganggap ‘urf (konvensi) atau kebiasaan selagi tidak bertentangan dengan nas-nas
Syari’at tersebut.
Tapi harus diperhatikan bahwa seorang laki-laki diharamkan memakai sesuatu yang
terbuat dari emas baik berbentuk cincin atau yang lainnya. Cukuplah cincin tunangan
yang terbuat dari emas dipakai Tunangan Perempuan saja atau Tunangan laki-laki
memakai cincin tunangan selain emas, seperti perak, tembaga dan lain lain tanpa
saling memakaikan cincin tunangan tersebut; karena keduanya belumlah halal dalam
ikatan pernikahan yang sah.
1.5. Membatalkan Tunangan
Kadang-kadang setelah bertunagan, terjadi sesuatu yang mendatangkan terhadap
batalnya tunangan. Dalam hal ini mengembalikan syabkah ( hadiah tunangan) secara
utuh itu hukumnya wajib menurut Syari’at. Adapun hadiah-hadiah yang bersifat tidak
langgeng seperti makanan, maka hukumnya tidak wajib diganti, sedangkan sesuatu
yang bersifat langgeng seperti jam tangan, cincin emas dan gelang, maka wajib
dikembalikan apabila pembatalan tunangan tersebut diminta dari pihak perempuan.
Jika pembtalan tunangan tersebut dari pihak laki-laki atau disebabkan kematian maka
tidak wajib mengembalikannya.
Tetapi sebagai orang yang bermoral tinggi dan bermartabat luhur, hendaknya kita
tidak pernah meminta kembali sesuatu sesuatu yang telah kita berikan kepada
seseorang; karena seorang yang meminta pemberiannya kembali sama halnya dengan
anjing yang memakan utah-utahannya sendiri, sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits Nabi SAW.
2. PERNIKAHAN
Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain
juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara
sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan
ke pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam. Kata zawaj digunakan
dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang dalam penggunaannya pula juga dapat
diartikan sebagai pernikahan, Allah s.w.t. menjadikan manusia itu saling berpasangan,
menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.
2.1. Hukum Nikah
Hukum pernikahan bersifat kondisional, artinya berubah menurut situasi dan kondisi
seseorang dan lingkungannya.
Jaiz, artinya boleh kawin dan boleh juga tidak, jaiz ini merupakan hukum dasar
dari pernikahan. Perbedaan situasi dan kondisi serta motif yang mendorong
terjadinya pernikahan menyebabkan adanya hukum-hukum nikah berikut.
Sunat, yaitu apabila seseorang telah berkeinginan untuk menikah serta memiliki
kemampuan untuk memberikan nafkah lahir maupun batin.
Wajib, yaitu bagi yang memiliki kemampuan memberikan nafkah dan ada
kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zina bila tidak segera
melangsungkan perkawinan. Atau juga bagi seseorang yang telah memiliki
keinginan yang sangat serta dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam perzinahan
apabila tidak segera menikah.
Makruh, yaitu bagi yang tidak mampu memberikan nafkah.
Haram, yaitu apabila motivasi untuk menikah karena ada niatan jahat, seperti
untuk menyakiti istrinya, keluarganya serta niat-niat jelek lainnya.
2.2. Hikmah Pernikahan
Cara yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui ini selain
lewat perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah dan amat
merugikan.
Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
Memelihara kesucian diri
Melaksanakan tuntutan syariat
Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan
yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa
orangtua akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan
tidak bermoral. Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan
Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada
anak-anak
Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab
Dapat mengeratkan silaturahim
2.3. Syarat Calon Suami
Islam
Laki-laki yang tertentu
Bukan lelaki muhrim dengan calon istri
Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
Bukan dalam ihram haji atau umroh
Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu
Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri
2.4. Syarat Calon Istri
Islam
Perempuan yang tertentu
Bukan perempuan muhrim dengan calon suami
Bukan seorang banci
Akil Baligh
Bukan dalam ihram haji atau umroh
Tidak dalam iddah
Bukan istri orang
3. PERCERAIAN ATAU TALAK
Talak menurut bahasa bermaksud melepaskan ikatan dan menurut syarak pula, talak
membawa maksud melepaskan ikatan perkahwinan dengan lafaz talak dan
seumpamanya. Talak merupakan suatu jalan penyelesaian yang terakhir sekiranya
suami dan isteri tidak dapat hidup bersama dan mencari kata sepakat untuk mecari
kebahagian berumahtangga. Talak merupakan perkara yang dibenci Allah s.w.t tetapi
dibenarkan.
3.1. Hukum Talak
Hukum talak dapat berbeda-beda sesuai dengan kondisi dari pernikahan tersebut.
Secara garis besar hokum tlah terbagi menjadi 3, yaitu:
Wajib, apabila:
Jika perbalahan suami isteri tidak dapat didamaikan lagi
Dua orang wakil daripada pihak suami dan isteri gagal membuat kata sepakat
untuk perdamaian rumahtangga mereka
Apabila pihak kadi berpendapat bahawa talak adalah lebih baik
Jika tidak diceraikan keadaan sedemikian, maka berdosalah suami
Haram, Apabila:
Menceraikan isteri ketika sedang haid atau nifas
Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi
Ketika suami sedang sakit yang bertujuan menghalang isterinya daripada
menuntut harta pusakanya
Menceraikan isterinya dengan talak tiga sekali gus atau talak satu tetapi disebut
berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih
Sunat, Apabila:
Suami tidak mampu menanggung nafkah isterinya
Isterinya tidak menjaga maruah dirinya
Makruh, Apabila:
Suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang baik, berakhlak mulia dan
mempunyai pengetahuan agama
Suami yang lemah keinginan nafsunya atau isterinya belum datang haid atau telah
putus haidnya
3.2. Jenis Talak
Talak raj’i
Suami melafazkan talak satu atau talak dua kepada isterinya. Suami boleh merujuk
kembali isterinya ketika masih dalam idah. Jika tempoh idah telah tamat, maka suami
tidak dibenarkan merujuk melainkan dengan akad nikah baru.
Talak bain
Suami melafazkan talak tiga atau melafazkan talak yang ketiga kepada isterinya.
Isterinya tidak boleh dirujuk kembali. Si suami hanya boleh merujuk setelah isterinya
berkahwin lelaki lain, suami barunya menyetubuhinya, setelah diceraikan suami
barunya dan telah habis idah dengan suami barunya.
Talak sunni
Suami melafazkan talak kepada isterinya yang masih suci dan tidak disetubuhinya
ketika dalam tempoh suci
Talak bid’i
Suami melafazkan talak kepada isterinya ketika dalam haid atau ketika suci yang
disetubuhinya.
Talak taklik
Talak taklik ialah suami menceraikan isterinya bersyarat dengan sesuatu sebab atau
syarat. Apabila syarat atau sebab itu dilakukan atau berlaku, maka terjadilah
penceraian atau talak.
C. PEMBENTUKAN MASYARAKAT ISLAM
1. Pengertian Masyarakat Islam
Penting kita pahami bahwa masyarakat Muslim (al-mujtama’ al-muslim) atau masyarakat
Islam (al-mujtama’ al-islami) tidak semata diukur dengan anggotanya yang terdiri dari
orang-orang Muslim atau beragama Islam, padahal nilai-nilai yang mengatur kehidupan
sosialnya bukanlah aturan Islam.
Masyarakat Islami adalah masyarakat rabbani (menjadikan Allah sebagai sumber nilai),
yang mempunyai tujuan pengabdian kepada Allah, segala aturannya bersumber dari
syari’at Islam, dan diikat dengan ikatan iman, bukan hanya berdasarkan darah, nasab atau
kesukuan.
Maka, tidaklah otomatis kumpulan sejumlah orang beragama Islam disebut masyarakat
Islam. Masih banyak nilai-nilai yang harus diperjuangkan untuk terwujudnya sebuah
masyarakat Islami. Namun, ini tidak serta merta kita menjuluki masyarakat yang ada kini
sebagai masyarakat jahiliyah. Kita bisa saja menyebutnya masyarakat Islam yang tengah
berproses menuju idealita.
Tentang ini, Sayyid Quthb menegaskan, sistem masyarakat Islam sama sekali berbeda
dengan sistem-sistem sosial yang pernah dikenal masyarakat Barat seperti sistem
perbudakan, feodalisme, sosialisme, komunisme maupun kapilitalisme. “Alasan utama
dari keunikan masyarakat Islam dibandingkan masyarakat lainnya karena masyarakat
Islam itu bentukan syari’at yang khas yang datang dari sisi Tuhan. Syari’at itulah yang
telah membentuk masyarakat atas dasar apa yang Allah inginkan bagi hamba-Nya bukan
atas kehendak segelintir manusia. Dan dalam naungan syari’at itulah tumbuh
masyarakat Islam, menghadirkan ikatan-ikatan kerja, produksi, hukum, tatanan individu
dan masyarakat, prinsip-prinsip perilaku, aturan interaksi dan seluruh tonggak bagi
masyarakat yang khas, dengan corak yang jelas,” urainya. Dia menambahkan, syari’at
Islamlah yang membentuk masyarakat Islam, bukan sebaliknya.
Sejalan dengan itu, Ustadz Yusuf Qardhawi mengatakan, “Masyarakat Muslim adalah
masyarakat yang istimewa dibandingkan seluruh masyarakat lainnya, karena
keistimewaan komponen-komponen dan karakterisitiknya. Ia merupakan masyarakat
rabbani, manusiawi, berakhlak, dan seimbang.
Kaum Muslimin dituntut mewujudkan masyarakat ini hingga mereka dapat mengeksiskan
agama dan mengaktualisasikan jati diri mereka, serta hidup dalam naungan kehidupan
Islami yang terpadu. Yakni, kehidupan yang dibimbing akidah Islam, disucikan dengan
ibadah Islam, dikendalikan oleh pemahaman Islam, digerakkan oleh perasaan Islam,
dipagari oleh akhlak Islam, diperindah oleh tatakrama Islam, didominasi oleh nilai-nilai
Islam, hukumnya adalah syari’at Islam, dan orientasi ekonomi, seni, dan politiknya
adalah ajaran Islam.”
2. Masyarakat Madani
Masyarakat Madani (dalam bahasa Inggris: civil society) dapat diartikan sebagai suatu
masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan mamaknai kehidupannya.
Kata madani sendiri berasal dari bahasa Inggris yang artinya civil atau civilized
(beradab). Istilah masyarakat madani adalah terjemahan dari civil atau civilized society,
yang berarti masyarakat yang berperadaban. Menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani
merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif dari
individu dan masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang
berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu.
Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan
peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama. Dawam menjelaskan,
dasar utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang
didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan
yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan. Masyarakat Madani
pada prinsipnya memiliki multimakna, yaitu masyarakat yang demokratis, menjunjung
tinggi etika dan moralitas, transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi,
berpartisipasi, konsisten memiliki bandingan, mampu berkoordinasi, sederhana, sinkron,
integral, mengakui, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah
masyarakat yang demokratis.
Masyarakat madani adalah kelembagaan sosial yang akan melindungi warga negara dari
perwujudan kekuasaan negara yang berlebihan. Bahkan Masyarakat madani tiang utama
kehidupan politik yang demokratis. Sebab masyarakat madani tidak saja melindungi
warga negara dalam berhadapan dengan negara, tetapi juga merumuskan dan
menyuarakan aspirasi masyarakat.
3. Konsep Masyarakat Madani
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah.Memiliki banyak arti atau
sering diartikan dengan makna yang berbeda – beda. Bila merujuk pada pengertian dalam
bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi
dari masyarakat militer.
Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society, juga berdasarkan
pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622
M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat yang
beradaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun, dan konsep Al Madinah al Fadhilah
(Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al-Farabi pada abad
pertengahan.
Menurut Dr. Ahmad Hatta, peneliti pada Lembaga Pengembangan Pesantren dan Studi
Islam, Al Haramain, Piagam Madinah adalah dokumen penting yang membuktikan betapa
sangat majunya masyarakat yang dibangun kala itu, di samping juga memberikan
penegasan mengenai kejelasan hukum dan konstitusi sebuah masyarakat. Bahkan, dengan
menyetir pendapat Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958),
Piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi
ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-
hak sipil (civil rights), atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum
Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence, 1997),
Revolusi Prancis (1789), dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948)
dikumandangkan.
Sementara itu konsep masyarakat madani atau dalam khazanah Barat dikenal sebagai
civil society (masyarakat sipil), muncul pada masa pencerahan (Renaissance) di Eropa
melalui pemikiran John Locke dan Emmanuel Kant. Sebagai sebuah konsep, civil society
berasal dari proses sejarah panjang masyarakat Barat yang biasanya dipersandingkan
dengan konsepsi tentang state (negara). Dalam tradisi Eropa abad ke-18, pengertian
masyarakat sipil ini dianggap sama dengan negara (the state), yakni suatu kelompok atau
kesatuan yang ingin mendominasi kelompok lain.
4. Ciri-Ciri Masyarakat Islam
Ada beberapa tipe tipologi atau ciri-ciri dalam masyarakat Islam secara global dimana
Ciri khas ini berbeda sekali dengan segala sistem sosial yang dikenal Eropa, yang tumbuh
mengikuti perkembangan dan sebagai buah dari pertarungan dalam negeri antara pelbagai
lapisan masyarakat. Dalam bentuk lain ia adalah buah dari perbenturan yang dapat
dielakkan, yaitu antara hubungan kerja yang berbentuk itu ke itu saja, dan metode
produksi yang selalu diperbaharui. Semua itu, ditambah dengan pertentangan kepentingan
antara kelompok-kelompok yang beraneka ragam dalam masyarakat, merupakan faktorfaktor yang mempengaruhi dunia perundang-undangan dan bentuk kemasyarakatan dan
nilai-nilai akhlak. Lantaran itu, maka segala peraturan hukum dan perundang-undangan
yang terbentuk mengikuti perkembangan sosial di negeri barat, tidak dapat dipasangkan
ke dalam masyarakat Islam, yakni karena perbedaan landasan tempat berpijaknya, juga
karena perbedaan landasan tempat berpijaknya, juga karena perbedaan perundangundangan yang menetapkan pertumbuhan dan perkembangannya.
Dengan tegas dapat dikatakan, bahwa bukan masyarakat Islam yang menciptakan syari’at,
tetapi syari’atlah yang menciptakan masyarakat Islam. Dialah yang menentukan ciri dan
polanya dan dia pula yang mengarahkannya dan perkembangannya.
Syari’at tidak hanya “meladeni” kepentingan setempat dan temporer, seperti halnya
perundang-undangan bikinan manusia tetapi ia adalah “rencana Ilahi” untuk mengangkat
martabat manusia seluruhnya, dan membentuknya dengan pola tertentu, lalu
mendorongnya ke suatu arah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang menjadi tujuan.
Makin tinggi pengetahuan manusia dalam perjalanan waktu, makin dekatlah jarak yang
akan ditempuh untuk perwujudunnya.
Ciri yang tadi adalah batas yang tegas dalam mendefinisikan hakekat masyarakat Islam,
sehingga benar-benar jelas bedanya dari segala bentuk masyarakat Islam yang tumbuh
menurut pembawaannya pula dan menerbitkan peraturan hukum mengikuti perubahanperubahan dalam batasbatas waktu yang menyentuh kehidupan masyarakat itu.
Syari’at Islam yang tetap itu berpusat pada beberapa ciri khas yang dibebankan
kepadanya untuk membina suatu masyarakat yang menerima perkembangan dan
pembaharuan, dan supaya masyarakat sendiri selalu mampu untuk melaksanakan tuntutan
kemanusiaan yang serba baru. Ciri khas itu ialah:
1) Dia selaku ciptaan Allah yang mengetahui peri keadaan mahluk-Nya,
direncanakan selaras dengan sendi-sendi umum kemanusiaan yang hidup
bersekutu, yakni sesuai dengan pembawaan asli manusia (fitrah).
2) Dia tampil dalam bentuk prinsip-prinsip umum yang menyeluruh, dapat
dibidang-bidangkan dan dipasangkan pada bagian-bagian yang selalu
diperbaharui dan pada keadaan yang berubah-rubah, tanpa terlepas dari
landasannya yang pertama, dan tanpa menciptakan cara-cara pemecahan yang
baru bagi kesulitan-kesulitan yang menurut sifatnya silih berganti.
3) Prinsip-prinsip umum yang menyeluruh ini tampil dengan mencakup segala
sendi kehidupan manusia dengan semua aspeknya. Dia mencakup hal
kehidupan pribadi, jalinan jema’ah, dasar-dasar negara, dan hubungan
International. Selanjutnya dia mencakup perikehidupan manusia dalam segala
lapangan kegiatan lalu menetapkan bagiannya hukum yang mengatakan
masing-masing lapangan tersebut: pidana, perdata, dagang, sosial dan politik.
Tidak ada satu segipun daripadanya yang kosong dari pengaturan melalui
hukum. Teori-teori yang dicakup oleh prinsip-prinsip umum ini mengenai
segi-segi itu, masih tetap unggul dibandingkan dengan teoriteori hukum yang
pernah terpikir oleh manusia.
4) Prinsip-prinsip kemasyarakatan yang terbit dari prinsip-prinsip umum itu
melahirkan gerak maju. Dia mendorong kemanusiaan agar maju ke depan, dan
sampai sekarang pun dia senantiasa mampu untuk mengulang jejak
kepeloporannya itu. Sebab dengan membandingkannya dengan rencana
kemasyarakatan dan teori yang sedang “laku” sekarang ini, maka prinsipprinsip yang dibawa oleh syari’at itu masih tetap unggul.
Prof. Moore menggagas tentang ciri atau tipologi masyarakat Islam dikaitkan dengan
gagasan Toynbee “tradisi Islam tentang persaudaraan manusia” sebagai alternatif bagi
pilar peradaban yang akan datang, maka orang akan mulai bersikap apresiatif terhadap
gagasan itu. Ciri-ciri penting yang harus ada dalam kemasyarakatan Islam di sini
mengenai ide tentang satu Tuhan dan satu kemanusiaan yang begitu sentral dalam AlQur'an telah memberikan keamanan ontologi bagi bangunan sebuah masyarakat dan
peradaban yang hendak ditawarkan ini. Landasan ontology yang kuat, maka masyarakat
yang hendak dibangun itu haruslah: terbuka, demokratik, toleran dan damai. Empat ciri
utama ini haruslah dijadikan acuan bagi semua gerakan pembaharuan moral dan
pembaharuan masyarakat Islam di muka bumi ini. Islam amat mendambakan terwujudnya
sebuah bangunan masyarakat yang berwajah ramah dan anggun. Dalam masyarakat ini
perbedaan agama, ideologi dan nilai-nilai budaya, tidak boleh dijadikan penghambat
untuk tercapainya ciri-ciri di atas.
Ciri keterbukaan berangkat dari sifat Al-Qur'an sebagai kitab suci yang terbuka. Ia
terbuka untuk diterima atau untuk ditolak sudah tentu dengan argumen-argumen yang
kuat. Yang menolak Al-Qur'an tidak harus dikucilkan dari masyarakat. Islam memelihara
hakekat plurarisme agama dan budaya. Sikap yang harus dikembangkan bukan sikap
monopoli kebenaran, tapi sikap saling menghargai dan menghormati. Keterbukaan adalah
watak dari sebuah perbedaan yang percaya diri.
Paham persamaan Islam pasti punya dampak politik. Bagi masyarakat Islam haruslah
sebuah masyarakat yang demokratik. Sistem-sistem politik yang otoriter apalagi yang
totaliter harus dinyatakan sebagai sistem yang haram dalam perspektif Islam, apapun
alasannya. Hanya dalam sistem politik demokrasilah anggota masyarakat dapat
mengembangkan potensi dirinya secara kreatif dan bebas sampai batas-batas yang jauh
untuk menjadi manusia penuh.
Ciri penting terakhir dari masyarakat Islam ialah agar ia memancarkan wajah damai
selaras dengan the very root dari perkataan Islam itu: S.L.M bermakna damai, sejahtera,
selamat, wajah-wajah yang mengerikan yang berlindung di balik tabel Islam adalah suatu
pengkhianatan dan pencerobohan terhadap maksud Islam itu sendiri, memperbaiki ciri
diri ini perlulah dijadikan program utama oleh seluruh gerakan Islam. Hanya sewaktu
menghadapi musuh yang garang saja Islam perlu bersikap tegas dan pasti
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang
meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi
rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut
menimbulkan relegi, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman
agamanya para tasauf.
Bukti di atas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna
hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya
merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali
kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan
akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat seharusnyalah
tidak bersifat antagonis.
B. SARAN
Dengan dibuatnya makalah ini kami mengharapkan kepada pembaca agar bisa
memahami dan dapat menerangkan hubungan antara agama dan masyarakat.