ushul fiqh semester 2 PENDAHULUAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Sumber” dalam bahasan Arab adalah ‫ المصدر‬yang berarti asal segala
sesuatu atau tempat merujuk segala sesuatu. Dalam istilah ulama Ushul Fiqh
kontemporer istilah

‫ مصادرالحكام الشرعيه‬berarti rujukan utama di dalam

menetapkan hukum syar’i atau disebut pula dengan sumber-sumber hukum
syar’i.
Sebagaimana pembahasan tentang Pembuat Hukum Syar’i (‫ )الحاكم‬pada
bab dan satu-satunya sumber hukum. Tidak ada syari’at dalam Islam kecuali
Allah, termasuk hukum-hukum baik taklifi maupun wadl’i. Menurut
kesepakan ulama semua hukum berasal dari Allah. Dengan demikian, sumber
hukum secara hakiki adalah Allah, baik yang diturunkan melalui wahyu
berupa al-Qur’an maupun yang berbentuk Sunnah.
Al-Qur’an merupakan ‫وحي مثلو‬
dianggap sebagai

(wahyu yang ditulis) dan Sunnah


‫( وحي غير مثلو‬wahyu yang tidak ditulis). Rasulullah

hanya berfungsi sebagai penegas dan penjelas ( ‫ )المبين والمؤكد‬atas hukumhukum yang disampaikan Allah melalui wahyu-wahyu tersebut. Walaupun
Rasulullah kadang-kadang menetapkan hukum melalui Sunnahnya ketika alQur’an tidak diturunkan Allah tetapi ketetapan Rasulullah tersebut tidak
terlepas dari bimbingan wahyu.
Metode-metode hukum seperti Ijma’, Qiyas, Istihsan, Istishlah
(Mashlahah Musrsalah), Istishhab, Urf, Syar’u Man Qablana, Fatawa al
Shahabah dan Sad al-Dzari’ah tidak dapat disebut sebagai sumber hukum
syar’i karena keberadaan metode-metode tersebut tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Sesuatu
yang membutuhkan sumber lain untuk dijadikan petunjuk hukum (‫)حجه‬
tidak dapat disebut sebagai sumber, karena tidak dapat berdiri sendiri. Sesuatu
dapat dijadikan sebagai sumber apabila bersifat berdiri sendiri.

1

B. Rumusan Masalah
Berdasarkanlatarbelakangtersebut,


rumusanmasalah

akandibahasadalahsebagaiberikut:
1. ApaPengertian Sumber Dan Dalil Hukum?
2. MengapaAl-Qur’an Sebagai Sumber Dan Dalil Hukum Utama?
3. ApaPengertian Al-Qur’an?
4. ApaKedudukan Al-Qur’an?
5. ApaFungsi Al-Qur’an?
6. ApaPokok-pokok Isi Kandungan Al-Qur’an?
7. Apa saja hukum-hukum yang ada di dalam Al Qur’an
8. Apasajadalalahdari Al-Qur’an?
9. ApaSajaCiri Khas Dan Keistimewaan Al-Qur’an?

2

yang

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sumber Dan Dalil Hukum

Dalam bahasa Arab, yang dimaksud dengan “sumber” adalah
“mashdar”, yaitu asal dari segala sesuatu dan sebagai tempat untuk merujuk
sesuatu. Dalam ushul fiqh kata mashdir al-ahkam al-syariyyah berarti rujukan
utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Al Qur’an dan Sunnah.
Sedangkan kata “dalil” dalam bahasa arab yakni al-dalil, jamaknya
al-dallillah, yang artinya petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material
ataupun nonmaterial (maknawi).
Sedangkan secara terminologi, dalil mengandung pengertian yakni
suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar daqlam
memperoleh hhukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qath’I
(pasti) maupun zhanni (relatif).1
B. Al-Qur’an Sebagai Sumber Dan Dalil Hukum Utama
1. Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi, Al-quran merupakan bentuk mashdar dari kata
qara’a; timbangan kata (wazan)-nya adalah fu’lan, artinya: bacaan. Lebih
lanjut, pengertian kebahasaan Al-quran ialah, yang dibaca, dilihat, dan
ditelaah.
Adapun dalam pengertian terminologi, terdapat beberapa definisi
Alquran yang dikemukakan ulama. Pada umumnya, ulama ushul fiqh
mendefinisikan Al-quran sebagai berikut.


1 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta : Logos Wacana ilmu, 1997), 15.

3

Alquran ialah firman Allah diturunkan kepada Muhammad berbahasa
Arab, diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, termaktub di dalam
mushhaf, membacanya merupakan ibadah, dimulai dari surah al-Fatihah
dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Sementara itu, menurut Muhammad Ali ash-Shabuni:2

Alquran ialah firman Allah yang merupakan mukjizat, yang ditur kan
kepada “Penutup para nabi dan rasul”; (Muhammad) melalui malaikat
Jibril, termaktub di dalam mushhaf, yang diriwayat kepada kita secara
mutawatir, membacanya merupakan ibada dimulai dari surah al-Fatihah
dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Sedangkan Ali Hasbullah mendefinisikan:3

Al-Kitab atau Alquran ialah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad berbahasa Arab yang nyata, sebagai penjelasan untuk

kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Dari tiga definisi di atas dapat diketahui bahwa pada hakikatnya
Alquran itu adalah sebagai berikut.
a. Merupakan wahyu yang difirmankan Allahbaik makna maupun
lafalnya. Dengan demikian, wahyu yang disampaikan dalam bentuk
2Muhammad Ali ash-Shabuni, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an(Jakarta : Dinamika Berkah Utama,
t.t.),6.
3 Ali Hasbullah, Ushul at-Tasyri al-Islami(Mesir: Daral-Ma’arif, 1971-1391),17.

4

maknanya saja, sedang lafalnya berasal dari Nabi Muhammad tidak
disebut Alquran, melainkan hadis qudsi atau hadis pada umumnya.
b. Diturunkan kepada Nabi MuhammadArtinya, wahyu Allah yang
diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad
seperti: Taurat, Zabur, dan Injil, bukanlah Alquran. Dalam pada itu,
Alquran banyak menceritakan kembali dan menyitir wahyu yang
diturunkan Allah

kepada para nabi dan rasul terdahulu.


c. Bahasa Alquran adalah bahasa Arab. Dengan demikian, terjemahan
Alquran ke dalam bahasa lain atau tafsirnya tidak disebut Alquran
Sebab, baik terjemahan maupun tafsiran Alquran dapat mengandung
kesalahan. Oleh karena itu pula, terjemahan Alquran ke dalam bahasa
lain atau tafsirnya tidak dapat dijadikan rujukan dan digunakan
sebagai dalil untuk menetapkan hukum (istinbath al-ahkam).
d. Diriwayatkan secara mutawatir. Artinya, semua ayat Alquran yang
terdapat dalam mushaf Utsmani dijamin kepastian keberadaannya
sebagai wahyu Allah dan tidak satu ayat pun yang termaktub di dalam
mushaf itu yang bukan wahyu Allah
e. Ditulis dalam mushaf. Hal ini mengandung bahwa apa-apa yang tidak
ditulis dalam mushaf meskipun wahyu itu diturunkan kepada Nabi
termasuk ayat-ayat yang sudah dinasakh tidaklah disebut al-Qur’an.
f. Beribadah membacanya. Hal ini mengandung arti bahwamembaca
ayat-ayat al-Qur’an yang diiringi oleh keikhlasan meskipun tidak
mengetahui maknanya akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Al-Qur’an pertama kali diturunkan di kota Mekkah tepatnya di
Gua Hira pada tahun 611 M dan berakhir di madinah pada tahun 633
M dalam rentang waktu 22 tahun, beberapa bulan, Adapun tentang ayat

terakhir yang diturunkan, para ulama berbeda pendapat. Menurut
Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H) dalam kitabnya al-Itqan fiUlum alQur’an yang dinukil dari Ibnu Abbas adalah ayat 251 surat al-Baqarah.
Menurut al-Suyuti setelah ayat ini diturunkan Rasulullah masih hidup

5

Sembilan malam kemudian beliau wafat pada hari senin tanggal 3
bulan Rabi ’alawal. Dengan berakhirnya ayat di atas maka berakhirlah
turunnya wahyu.4 .
2. Status Kehujjahan Al Qur’an
Kedudukan Al Qur’an merupakan satu-satunya sumber pertama
dan yang paling utama dalam hukum Islam, sebelum sumber-sumber
hukum yang lain. Sebab Al Qur’an merupakan UU tertinggi bagi umat
Islam, sehingga semua hukum dan sumber hukum tidak boleh
bertentangan dengan al Qur’an.
Menurut Imam Ghazali, ayat-ayat Al Qur’an yang berisi tentang
hukum ada 500 ayat, terbagi jadi dua macam yaitu, ayat-ayat yang bersifat
ijmali ( global) dan ayat yang bersifat taafsili (detail). Ayat\ayat Al Qur’an
yang berisi hukum disebut dengan ayat-ul ahkam. Dasar kedudukan al
Qur’an merupakan satu-satunya sumber yang pertama dan yang paling

utama dalam hukum Islam adalah firma Allah dalam QS Al maidah ayat 49
:5

    




    
     
    
     
6
    
49. Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah
kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah),
Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan

mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan
Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.7

4SapiudinShidiq, UshulFiqh(Jakarta: Kencana, 2011), 28.
5 Tim Guru MGPK, FIQIH, 111.
6 Aplikasi Qur’an in Word.
7 Ibid.

6

Yang mendasari penggunaan Al Qur’an sebagai dasar pengambilan serta
penentuan hukum Islam, yakni seperti yang telah dikemukankan oleh para
ulama ushul fiqh :8
a. Al Qur’an.
An Nisa’ [4] ayat 105




   

     
9
   
105.

Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan

membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa
yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang
khianat.10
b. Hadits.
Hadits nabi SAW: “Aku tinggalkan diantara kamu semua dua perkara,
yang kamu se,ua tidak akan tersesat selama kamu semua berpegang teguh
kepada dua perkara itu, yaiutu kotab Allah (Al Qur’an) dan Sunnah Rosul
(hadits).” (HR. Muslim).11
Unsur-unsur yang membuat Al-Quran itu menjadi mukjizat yang tidak
mampu ditandingi akal manusia, di antaranya adalah:
1. Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya, umpamanya berupa
keseimbangan jumlah bilangan kata dengan lawannya, di antaranya seperti:

Al-Hayah (hidup) dan Al-Maut (mati), dalam bentuk difinitif sama-sama
berjumlah 145 kali; Al-Kufr (kekufuran) dan Al-Imam (iman) sama- sama
terulang sebanyak 17 kali.

8 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta : Logos Wacana ilmu, 1997), 27-29.
9 Aplikasi Qur’an in Word.
10 Ibid.
11 Tim Guru MGPK Provinsi Jawa Timur, FIQIH – MADRASAH ALIYAH KELAS XI PROGRAM
KEAGAMAAN, (Mojokerto : Sinar Mulia Mojosari, 2012), 108.

7

2. Dari segi pemberitaan-pemberitaan gaib yang dipaparkan Al-Quran. seperti
dalam surat Yunus ayat 92 dikatakan bahwa badan Fir’aun akan
diselamatkan Tuhan sebagai pelajaran bagi generasi-generasi berikutnya,
yang benar-benar terbukti ketika pada tahun 1896 para arkeolog
menemukan mummi yang menurut arkeolog adalah Fir’aun yang mengejarngejar Nabi Musa.
3. Isyarat-isyarat ilmiah yang dikandung Al-Quran, seperti dalam surat Yunus
ayat 5 dikatakan, "Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang
cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari).12
3. Fungsi Al-Qur’an
Al-Quran berfungsi sebagai pedoman bagi kehidupan dan penghidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan, baik di dunia maupun di
akhirat. Berikut fungsi al-Qur’an meliputi:
a. Sebagai al-huda (petunjuk) bagi manusia yang bertakwa untuk
keselamatan dan kebahagiaannya di dunia dan di akhirat.
b. Sebagai rahmat yang mengantarkan manusia untuk hidup dengan penuh
kasih sayang, dan bukti bahwa Tuhan Maha pengasih dan penyayang.
c. Sebagai maw’izhah (bimbingan dan pengajaran) bagi manusia untuk
mencapai keluhuran dan kesucian fitrahnya, sebagai tibyan (penjelasan)
dan tafshil (pemerinci) atas segala sesuatu yang perlu diketahui manusia
untuk kepentingan keselamatannya di dunia dan akhirat.
d. Sebagai furqon (sebagai pembeda antara yang baik dan yang buruk,
yang benar dan yang salah, yang berada dalam jalan yang benar dan
yang sesat).
e. Sebagai nur (cahaya) yang menerangi kalbu manusia untuk melihat
kebenaran dan menjadi benar dalam hidupnya.13

12Chaerul Uman, Dkk, Ushul Fiqih 1(Bandung: Pustaka Setia, 1998),50-52.
13Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh(Jakarta: Amzah, 2011),125.

8

4. Pokok-pokok Isi Kandungan Al-Qur’an
Pokok-pokok isi kandungan Al-Qur’an mencakup beberapa hal. antara
lain sebagai berikut.
a. Tauhid, sebagai inti dari seluruh akidah (kepercayaan) karena ada
manusia yang menyembah berhala dan ada pula yang menyembah
Allah.
b. Ibadah, menghidupkan rasa ketauhidan dalam hati dan menetapkannya dalam jiwa dengan arti hubungan antara makhluk dengan
Khaliknya.
c. Janji baik dan janji buruk, janji baik terhadap orang yan
dikehendaki, Allah dan memberi kabar gembira dengan kebaika
pahalanya (hasil amalaimya). Janji burak terhadap orang yang tidal
berpegang dengan Al-Quran dan diberi berita ketakutan dengai
akibat-akibatnya.
d. Menjelaskan jalan kebahagiaan dan cara-cara melaluinya untuk
memperoleh kesenangan dunia dan akhirat.
e. Cerita-cerita dan sejarah-sejarah. Sejarah orang yang berpegang
kepada peraturan Allah dan hukum-hukum agama, yaitu para Rasul
dan orang-orang saleh. Selain itu, sejarah orang-orang yang melampaui
peraturan-peraturan Allah dan tidak mengindahkan hukum-hukum
agamanya secara zahir, sedangkan Allah memberikan pedoman
menurut cara yang baik dan menetapkan peraturan kepada manusia.14
5. Hukum-Hukum yang Ada di Dalam Al Qur’an
Menurut para ahli ushul fiqh, Al Qur’an sebagai petunjuk hidup
secara umum mengandung 3 ajaran pokok :
1. Hukum-hukum I’tiqad / Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan
akidah (keimanan) yang membicarakan tentang hal-hal

yang wajib

diyakini seperti masalah tauhid, masalah kenabian, mengenai Kitab-

14Nazar Bakri, Fiqih dan Ushul Fiqih (Jakarta: Rajawali Press, 1993), 37.

9

Nya, Malikat, hari kemudian dan sebgainya yang berhubungan dengan
doktrin akidah.
2. Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akhlak, yaitu hal-hal yang
harus dijadikan perhiasan diri oleh setiap mukallaf yang berupa sifatsifat keutamaan dan menghindarkan diri dari hal-hal yang membawa
kepada kehinaan (doktrin akhlak).
3. Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuna-ketentuan yagn berhubungan
dengan amal perbuatan mukallaf (doktrin Syari’ah / fiqih ). Dari
hukum-hukum amaliyah inilah timbul dan berkembangnya ilmu fiqih.
Hukum-hukum amaliyah dalam Al Qur’an terdiri dari dua cabang, yaitu
hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah
dan hukum-hukum mu’amalat yang megnatur hubungan manusia
dengan sesamanya.15
Hukum-hukum amaliyah ini dapat pula dibagi menjadi :
a. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah seperti salat, puasa,zakat,
haji nazar dan sumpah.
b. Hukum-hukum yang berkaitan dengan mu’amalah seperti transaksi
jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, yang dibagi lagi menjadi :
1.) Hukum-hukum perorangan, seperti kawin, talak, waris, wasiat, waqaf
2.) Hukum-hukum perdata, seperti jual beli beli, pinjam meminjam,
perserikatan dagang, dan transaksi harta dan hak lainnya.
c. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah pidana,
d. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah peradilan, baik yang
bersifat
perdata maupun yang bersifat pidana.
e. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah ketatanegaraan.
f. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah hubungan antar negara
g. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah ekonomi, baik bersifat

15 Satria Efendi dan M. Zein, USHUL FIQH, (Jakarta : Prenada Media Group, 2009), 92.

10

pribadi, masyarakat, maupun Negara.16
6. Dalalah Al Qur’an
Dalil dalam bahasa Arab ad-dalil (‫ )الدليل‬jamaknya al-adillah (‫)الدلة‬,
dan secara terminologi berarti: “petunjuk kepada sesuatu baik yang
bersifat material maupun non material (maknawi).” 17
Wahbah az-Zuhaili, dalam Ushul al-Fiqh al-Islami, memberikan
batasan dengan: “Suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang
benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang
statusnya qath’I (pasti) maupun zhanni (relatif). 18
Adapun nash-nash al-Qur’an itu dari segi dalalahnya terhadap hukumhukum yang dikandungnya, maka ia terbagi menjadi dua bagian:
a. Nash yang qath’i (pasti) dalalahnya terhadap hukumnya,
Nash yang memiliki petunjuk hukum pasti adalah nash yang
menunjukan makna yang dipahami secara tertentu, tidak memerlukan
takwil dan tidak mungkin dipaham dengan makna yang lain. 19
Seperti firman Allah:

      
       
     
     
      
       
     
     
       





     



 

     
16 Nasrun, Ushul Fihh 1, 29-30.
17Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Penerbit Amzah
2009, 54
18Ibid., 54-55
19Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta:Pustaka Amani, 2003, 36

11

 
  

   
   
   

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteriisterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.
jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benarbenar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
(QS. An Nissa’ : 12)
Petunjuk hukum diatas adalah pasti, karena bagian suami pada
masalah seperti dalam ayat adalah setengah, tidak yang lain. Juga firman
Allah tentang hukuman bagi orang laki-laki dan perempuan yang berzina:

  
     
     
    




12





 

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah

(pelaksanaan)

hukuman

mereka

disaksikan

oleh

sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS. An Nuur : 2)
Petunjuk hukum ayat ini juga pasti, yaitu bahwa hukuman zina
adalah seratus kali dera, tidak kurang dan tidak lebih. Begitu juga nash
yang menjelaskan bagian waris atau jumlah hukuman dan batas minimal
zakat tertentu.
b. Nash yang zhanni (dugaan) dalalahnya terhadap hukumnya.
Nash yang memiliki petunjuk hukum dugaan adalah nash yang
menunjukan makna tetapi dimungkinkan adanya takwil dan mungkin
untuk dipalingkan dari makna asal kepada makna lain.
Seperti firman Allah:20

  
      





    
     


 


    
   
     

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
20Ibid, 37

13

akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (QS. Al Baqarah : 228)
Lafal Quru’ dalam bahasa arab memiliki dua makna; suci dan haid.
Sedangkan dalam nash diterangkan bahwa wanita-wanita yang ditalak itu
hendaknya menunggu tiga kali quru’, sehingga mungkin yang dikehendaki
adalah tiga kali suci atau tiga kali haid. Jadi, petunjuk ayat ini belum pasti
pada satu makna dari dua makna yang ada. Oleh karena itu para mujtahid
berbeda dalam memberikan hukum terhadap wanita-wanita yang ditalak,
sebagian berpendapat tiga kali suci dan sebagian lagi berpendapat tiga kali
haid.
Juga seperti firman Allah:




   






  
     
    
      
    
    








     
     
   
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas,

14

kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan
bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak
panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah
putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu
takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. Al Maidah : 3)
Lafal al maytah (bangkai) bersifat umum, sedangkan nash
memungkinkan untuk diberi makna semua bangkai dan mungkin
dikhususkan, kecuali bangkai binatang laut (air). Maka semua nash yang
mempunyai makna ganda, umum atau semisalnya, petunjuk hukumnya
adalah dugaan, karena nash itu menunjukkan makna tertentu tetapi
mungkin juga menunjukkan makna yang lain.
Adapun kandungan ayat Al Qur’an menurut seorang ahli Tafsir As
Tsa’alaby, dapat dibagi atas sembilan bagian:
1. Ayat yang mengenai peringatan (nazirah), 1000 ayat
2. Ayat yang mengenai janji baik (wa’ad), 1000 ayat
3. Ayat yang mengenai janji buruk (wa’id), 1000 ayat
4. Ayat yang mengenai kisah ummat purbakala, 1000 ayat
5. Ayat yang mengenai contoh (i’tibar), 1000 ayat
6. Ayat yang mengenai halal dan haram, 500 ayat
7. Ayat yang mengenai perintah dan larangan, 1000 ayat
8. Ayat yang mengenai tasbih dan tahlil, 100 ayat
9. Ayat yang mengenai nasikh dan mansukh, 60 ayat21

21Idris Ahmad, Dasar-Dasar Hukum Islam dan Aqidah Ahlu Sunnah Wa Jamaah, Jakarta: Pustaka
Azam, 1969, 6

15

Dari ayat-ayat yang demikianlah, timbulnya hukum syar’i (hukum
Islam), terutama dari ayat-ayat yang mengandung perintah atau larangan,
halal dan haram.

   
    
     
 
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu
menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat. (Q.S. An Nissa’ : 105)
Menentukan hukum syar’i dengan ayat Kitabullah atau Al Qur’an,
mengandung dua:
Pertama, Menentukan hukum dengan nash yang syarih (nash ayat), dengan
arti bahwa ayat ini tidak diragukan lagi untuk hukum itu.
Kedua, Menentukan hukum dengan mafhum ayat. Yaitu difahamkan dari
“perintah” atau dari “larangan” yang terkandung dalam ayat itu. 22
Menentukan hukum dengan nash dan lahir ayat, misalnya sebagai berikut:




   






  
     
    
      
    
    








22Ibid., 8

16

     
     
   

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan
bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak
panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah
putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu
takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Q.S. Al Maidah : 3)
Nash dari ayat ini menunjukan bahwa semuanya yang tersebut itu
haram dimakan, karena ada didalamnya kata “hurrimat” (haram), dan tak
diragukan lagi untuk hukum yang lain.
Misalnya yang lain adalah ayat Tuhan dibawah ini :




     
     
     
    
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.
(yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu

17

sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukumhukum menurut yang dikehendaki-Nya. (Q.S. Al Maidah : 1)
Nash dari ayat ini menunjukan bahwa binatang ternak itu
dihalalkan karena didalamnya terkandung kata “uhillat” (dihalalkan) dan
tidak diragukan lagi untuk hukum yang lain.
Menentukan hukum dengan mafhum ayat ialah:
1. Yang difahamkan dari faedah “amru” atau perintah, baik perintah keras,
maupun perintah ringan.23 Misalnya Allah berfirman:




    





   
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan

bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki
kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang
baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (Q.S. Thaahaa : 132)
Yang difahamkan dari faedah perintah ini ialah hukum “wajib”
sembahyang.
2. Yang difahamkan dari faedah “nahi” atau larangan, baik larangan itu
keras maupun ringan. Misalnya Allah berfirman:

     
    
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah

suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (Q.S. Al Isra’ :
32)
Yang difahamkan dari “larangan” ini ialah hukum “haram” melakukan
zina. Menurut hukum yang asli, bahwa sesuatu perintah menimbulkan dan
memfaedahkan hukum “wajib”, kecuali kalau ada suatu hal yang
23Ibid., 9

18

menunjukan kepada yang sunnah, mubah, atau suatu hukum yang lain.
Begitu juga suatu larangan menurut asalnya menimbulkan hukum
“haram”, kecuali kalau ada suatu hal yang menunjukan kepada makruh,
mubah atau lainnya.

7. Sifat Al Qur’an dalam Menetapkan Hukum
a. Tidak menyulitkan.
QS. Al Baqarah ayat 185





   .…
.…   

24

“…. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu….”25
b. Tidak memperbanyak tuntutan (beban).26
QS. Al maidah ayat 101

   
    
    
    
     
27
 
“101. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan
(kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu
diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan
(kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.”28
24 Aplikasi Qur’an in Word.
25 Tim Guru, FIQIH, 108.
26 Ushul fiqh, (Jakarta : PT Bumirestu, 1987), 105.
27 Aplikasi Qur’an in Word.
28 Ibid.

19

c. Bertahap dalam pelaksanaannya.
Dalam mengharamkan khamr ditetapkan dalam tiga proses.
1. Menjelaskan manfaat khamr lebih kecil dibandingkan dengan akibat
buruknya. Pada QS. Al Baqarah ayat 219.
2. Melarang pelaku shalat dalam keadaan mabuk. Pada QS. An Nisa’
ayat 43.
3. Menegakkan hukum haram kepada khamr dan perbuatan buruk lainnya.
Pada QS. Al Maidah ayat 90.
d. Membatasi yang mutlak.
Kadang-kadang ayat dating dalam bentuk mutlak, tanpa ada batasanbatasan yang harus dilaksanakan seperti ayat tentang pencurian. QS. Al
Maidah ayat 38. Pada ayat tersebut, terdapat istilah tangan yang berarti
dari ketiak sampai ibu jari. Maka rosul membatasi dengan ucapan Beliau
“Potong tangan pencuri dampai pada pergelangan tangan .” Begitu juga
keadaan barang-barang yang dicuri sehingga potong tangan dibatasi
minimal seperempat dirham.
e. Mengkhususkan yang umum.
Ayat-ayat Al Qur’an kadang-kadang mengandung hukum yang berlaku
umum, maka Nabi SAW menjelaskan pengecualiannya seperti masalah
waris.
QS. An Nisa’ ayat 11

 




     
    
      
    
    
       
   
     
     
     
20




     
      
  
“ 11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh
separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan
ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”
Rosul menjelaskan pengecualian-pengecuaiannya seperti :
a. Para Nabi tidak mewarisi.
b. Anak yang membunuh orang tuanya dan anak yang kafir tidak
mewarisi.29
8. Penjelasan Al Qur’an terhadap Hukum-Hukum
Para ulama Ushul Fiqh menetapkan bahwa Al Qur’an sebagai sumer
utama hukum Islam elah menjelaskan hukum-hukum yang terkandung
didalamnya dengan cara :
1. Penjelasan Rinci (juz’i) terhadap sebagian hukum-hukum yang
dikandungnya, tanpa memerlukan penjelasan serta dapat dipahami secara
langsung,30 seperti yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum waris,
hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana hudud dan kaffarat.
Hukum-hukum yang rinci ini, menurut para ahli ushul fiqh, disebut sebagai
hukum ta’buddi yang tidak bisa dimasuki logika.
29 Tim Guru, FIQIH, 108-110.
30 Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 63.

21

2. Penjelasan Al Qur’an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu bersifat
global (kulli), umum, dan mutlak, seperti masalah shalat yang tidak dirinci
berapa kali sehari dilakukan, berapa raka’at dan sebagainya. 31 Hal ini
dimaksudkan agar Al Qur’an dapat berinteraksi dalam semua dimensi
ruang dan waktu, sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia.32
3. Al Qur’an menjelaskan suatu hukum yang bersifat ibarat dan isyarat.
Penjelasan seperti ini dimaksudkan agar dapat dipahami makna dan isyarat
yang terkandung didalamnya. Model seperti ini dapat ditemukan dalam
syariat haji dan qurban yang secara dzahir mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Tetapi makna tersiratnya adalah perintha untuk melakukan
perenungan tentang perintah melakukan intropeksi diri, dan membangun
solidaritas sosial yang kuat melalui sifat kebersamaan dan pengorbanan.33
9. Ciri Khas Dan Keistimewaan Al-Qur’an
Al-Quran mempunyai ciri-ciri khas dan keistimewaan sebagai
berikut:
a. Lafal dan maknanya datang dari Allah dan disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW. melalui Malaikat Jibril dengan jalan wahyu Nabi
tidak boleh mengubah, baik kalimat ataupun pengertiannya melainkan
harus menyampaikan seperti apa yang diterimanya.
b. Al-Quran diturunkan dengan lafal dan gaya bahasa Arab, seperti yang
difirmankan Allah SWT. :

Artinya:
“Sesungguhnya Kami jadikan Al-Quran sebagai bacaan yang
berbahasa Arab.” (QS. Az-Zukhruf: 3)
Pada surat Fussilat ayat 3:

31 Nasrun, Ushul Fihh 1, 30.
32 Syukri, Filsafat, 64.
33 Ibid.

22

Artinya:
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa
Arab, untuk kaum yang mengetahui. “ (QS. Fussilat: 3)
Pada surat Asy-Syu’ara ayat 194 - 195:

Artinya:
“... agar engkau menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas. (QS. Asy-Syu'ara
: 194 - 195)
Pada surat Fussilat ayat 44:

Artinya:
“Dan jika kamu jadikan Al-Quran itu bacaan bukan berbahasa Arab,
tentulah mereka berkata, “Mengapa tidak dijelaskan apakah ia
berbahasa Arab atau bukan.”(QS.Fussilat:44)
Memang di dalam Al-Quran terdapat sebagian lafadz nadir (ganjil),
yang menurut sebagian ulama bukan merupakan bahasa Arab asli.
Akan tetapi, hal ini tidaklah membuat cacatnya sebagai bahasa Arab.
Kata-kata asing itu misalnya:

23

Sekalipun demikian, kata-kata tersebut sudah dijadikan orang Arab
sebagai bahasanya. Sebagaimana halnya juga terdapat dalam segala
bahasa, adanya kata-kata dari bahasa asing yang di-Arabkan. Dalam
bahasa Indonesia pun terdapat banyak kata dari bahasa asing yang
sudah diindonesiakan sehingga menjadi bahasa asli.
Berdasarkan hal tersebut, terjemahan dari Al-Quran ke dalam
bahasa-bahasa asing tidak boleh disebut Al-Quran dan sehingga tidak
sah shalat dengan terjemahan Al-Quran dan tidak dapat dijadikan
sumber hukum. Memang pernah diriwayatkan bahwa Abu Hanifah
pernah membolehkan shalat dengan terjemahan bahasa Parsi terhadap
sebagian Al-Quran bagi orang yang tidak mampu mengucapkan bahasa
Arab. Akan tetapi, di kalangan ulama sudah disahkan bahwa Abu
Hanifah menarik fatwanya itu. Para imam selain Abu Hanifah
berpendapat bahwa orang yang tidak dapat mengucapkan bahasa Arab
dalam bacaan shalatnya cukup diam saja seraya menekuni makna
ibadah, taat dan bermunajat sebagaimana halnya orang yang tak
mampu shalat berdiri, cukup shalat duduk.
Oleh karena itu, Imam Syafi'i dan lain-lain mewajibkan kaum
muslimin untuk mengetahui baca tulis bahasa Arab bagi keperluan
membaca Al-Quran serta menghafal bagian yang perlu dibaca dalam
shalat.
Sesungguhnya menerjemahkan Al-Quran menurut maknanya
yang bersifat sastra adalah mustahil. Yang mungkin hanyalah
menerjemahkan secara tafsir/interpretasi sebagai terjemahan menurut
perkataan dan pandangan ahli tafsir, bukan sebagai terjemahan AlQuran itu sendiri, karena kemungkinan adanya kekeliruan pada ahli
tafsir dan ahli terjemah.
c. Al-Quran disampaikan atau diterima melalui jalan mutawatir yang
menimbulkan keyakinan dan kepastian tentang kebenarannya: Dia
dihafal dalam hati, dibukukan dalam mushaf dan disebarluaskan ke
seluruh negeri Islam, tanpa adanya perbedaan dan diragukan di

24

dalamnya, baik ayat ataupun susunannya. Allah SWT. menjamin hal
tersebut dengan firman-Nya:

Artinya:
“Sesungguhnva Kami turunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kami
pulalah yang memeliharanya.”(QS. Al-Hijr: 9)
d. Membaca setiap kata dalam Al-Qur’an itu mendapat pahala dari Allah,
baik bacaan itu berasal dari pahala sendiri maupun dibaca langsung
dari mushaf Al-Qur’an.
e. Ciri terakhir dari Al-Qur’an yang dianggap sebagai suatu kehati-hatian
bagi para ulama untuk membedakan Al-Qur’an dengan kitab-kitab
lainnya itu dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat AnNas.34

34Chaerul Uman, Dkk, Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 35-41.

25

BAB III
KESIMPULAN
1. Penggunaan Al Qur’an dalam menentukan hukum-hukum Islam telah didukung
oleh penjelasan-penjelasan yang telah terdapat dalam An Nisa’ ayat 105, selain
itu dalam hadits pun juga telah dijelaskan bahwa penggunaan Al Qur’an juga
sebagai sumber hukum yang pertama dan utama.
Apabila dikaji lebih jauh, maka kandungan hukum-hukum yang berada
dalam al Qur’an, sungguhlah banyak dan terperinci, akan tetapi tidak semua
ayat-ayat yang mengandung hukum menjelaskan secara terperinci.
3.2 SARAN
Sebaiknya pemahaman tentang hukum-hukum yang terdapat di dalam al
Qur’an

harus

dipertajam.

Sehingga

kita

dapat

menjalankan

kegiatan

keberagamaan yang sesuai dengan syariat Islam. Selain itu agar dapat memahami
hukum-hukum Islam dengan baik, sebaiknya kita juga harus mempelajari tentang
Al Hadits, Qiyas dan Ijma’.

26

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Idris. Dasar-Dasar Hukum Islam dan Aqidah Ahlu Sunnah Wa Jamaah
Jakarta: Pustaka Azam. 1969)
Aplikasi Qur’an in Word.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. Jakarta : Dinamika
Berkah Utama. t.t.
Bakri, Nazar. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Rajawali Press. 1993.
Dahlan, Abd. Rahman.Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2011.
Efendi, Satria dan M. Zein. USHUL FIQH. Jakarta : Prenada Media Group. 2009.
Hasbullah, Ali. Ushul at-Tasyri al-Islami. Mesir: Daral-Ma’arif
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. (Jakarta : Logos Wacana ilmu, 1997
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta:
Penerbit Amzah. 2009
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani. 2003
Nasution, Muhammad Syukri Albani. Filsafat Hukum islam. Jakarta: Rajawali
Pers. 2013.
Shidiq,Sapiudin.UshulFiqh. Jakarta: Kencana. 2011.
Tim Guru MGPK Provinsi Jawa Timur. FIQIH – MADRASAH ALIYAH KELAS
XI PROGRAM KEAGAMAAN. Mojokerto : Sinar Mulia Mojosari. 2012
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta:
Penerbit Amzah 2009.

27

28