Pengaruh Pelatihan Supervisi Kepala Ruangan terhadap Perubahan Iklim Organisasi Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia (IPI) Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pelatihan
2.1.1. Definisi pelatihan
Proses pelatihan meliputi tugas untuk membantu praktisi menggunakan
kesempatan dalam merefleksikan supervisi klinis atau membantu pembentukan
para supervisor klinis. Hal ini bukan hanya tentang supervisi, tetapi pelajaran
tentang cara melakukan supervisi dengan baik. Peserta yang datang berharap akan
diajarkan cara melakukan supervisi, tetapi supervisi klinis adalah suatu proses
yang tidak mempunyai sekumpulan prosedur atau cara seperti banyak disiplin
praktik. Hal itu tergantung keberhasilan sikap, kualitas dan keterampilan
hubungan antar pribadi peserta (Proctor, 2001). Pelatihan bertujuan meringankan
tugas perawat untuk melakukan supervisi, bukan menjadi yang disupervisi
(Cutcliffe, 2001).
Pelatihan harus memiliki iklim yang dapat menghadapi tantangan sikap
dan menciptakan iklim jika terjadi kesalahan, mencoba pendekatan yang sangat
berbeda dan menjadi peka terhadap suatu nilai (Hawkins & Shohet, 2006). Lynch
et al. (2008) menyatakan agar dapat menjalankan fungsi sebagai supervisor yang
berkualitas, dibutuhkan perawat senior yang memiliki pengalaman dalam
melakukan supervisi klinis. Pengalaman tersebut dapat berupa hasil dari

pendidikan formal maupun didapat dari pelatihan apalagi memiliki pengalaman
menjadi staf yang pernah disupervisi menjadi lebih baik.

Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Prinsip-prinsip pelatihan
Hawkins dan Smith (2006) mengemukakan prinsip-prinsip untuk
rancangan pengembangan dan pelatihan yaitu: 1) Mulai berfokus pada kesadaran
diri

sendiri

dengan

mengembangkan

proses

pengalaman


belajar,

2) Mengembangkan otoritas, kehadiran dan pengaruh dirasakan individu melalui
umpan balik, 3) Mengajarkan keterampilan dan teknik dasar dengan cara
demonstrasi, cerita ilustratif, ikatan dan refleksi pelatihan yang mereka alami,
4) Mengajarkan teori ketika pengalaman belajar yang didapat sedang berlangsung,
5) Hanya waktu belajar: Pelajaran yang paling efektif ketika seseorang yang
belajar memahami kebutuhan pelajaran dan dapat menerapkan pelajaran tersebut,
6) Waktu belajar sebenarnya: Pelajaran ditingkatkan oleh seseorang yang belajar
untuk menunjukkan masalah yang tidak terpecahkan, dan 7) Setelah pelatihan
awal memerlukan periode praktik supervisi yang panjang sebelum terciptanya
pengintegrasian diri, keterampilan, teori dan pengalaman praktik mereka.
2.2. Supervisi
2.2.1. Definisi supervisi
Supervisi adalah menetapkan pengawasan, pemberian bimbingan dan
umpan balik mengenai masalah-masalah pribadi, profesional dan pengembangan
pendidikan dalam konteks perawatan dokter terhadap pasien (Kilminster & Jolly,
2000). Supervisi memungkinkan pelaksanaan praktik merubah norma-norma yang
diperkenalkan selama pelatihan. Hal ini dapat menjadi positif dengan terus
meningkatkan kreatifitas dan fleksibilitas, atau negatif karena terjadi kecerobohan

dalam praktik (Handerson, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Supervisi merupakan aspek khusus administrasi organisasi. Ketika
sejumlah orang bersama-sama diberikan peralatan dan fasilitas yang diperlukan
untuk melakukan pekerjaan tertentu, perlu ada koordinasi usaha yang sistematis
jika tujuan kelompok harus dicapai secara efisien (Kadushin & Harkness, 2002).
Supervisi meliputi manajemen klinis, pengajaran dan riset, manajemen dan
administrasi, perawatan kehidupan, keterampilan interpersonal, pengembangan
personal, dan refleksi (Kilminster & Jolly, 2000). Supervisi juga memeriksa
pekerjaan orang lain, mengevaluasi pelaksanaan pekerjaan, dan menyetujui atau
memperbaiki pelaksanaan kerjanya (Gillies, 1994).
Supervisi yang efektif melalui kombinasi keterampilan dan teknikal,
manajer operasional dapat menyusun sumber daya untuk menemukan sasaran dan
tujuan dari departemen. Pekerjaan direncanakan, sumber daya terorganisir,
memberi pengarahan, membangun kontrol, membuat koreksi, dan menghasilkan
produk. Hal ini disebut proses supervisi (Morgan, 1982).
Supervisi klinis adalah suatu dukungan dan proses pendidikan. Responden
mengidentifikasi supervisi klinis dengan dua cara meliputi: pengembangan

pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan mengevaluasi diri terhadap
keterampilan yang dimiliki (Turner & Hill, 2011). Supervisi klinis menjadi bagian
penting bahwa perawat memelihara diri, menghadapi pandangan mereka sendiri
dan prasangka dalam bekerja secara efektif dengan keikutsertaan stakeholder
dalam pelayanan kesehatan lingkungan, meliputi perawat, pelayanan kesehatan
para profesional lain, pasien dan keluarga mereka (Lynch, Hancox, Happell, &
Parker, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Supervisi klinis yang efektif mengakui adanya sifat manusiawi dari
perawat. Hal itu mengajarkan tentang cara menggunakan kepribadian,
pengetahuan dan keterampilan yang membentuk sikap positif, hubungan bersifat
membangun dan adanya interaksi. Supervisi klinis dapat membantu dalam
mengidentifikasi aspek perilaku yang didapat melalui interaksi dan hubungan
(Lynch et al., 2008).
2.2.2. Batas-batas supervisi
Hal yang penting dalam memulai supervisi pertama kali adalah memahami
batas-batas supervisi dan dapat membuat kontrak yang jelas serta dinegosiasikan.
Sebuah batasan yang sering dikhawatirkan antara yang disupervisi dan supervisor

baru adalah batas antara supervisi dan konseling atau terapi. Secara jelas
pekerjaan membantu profesi dalam menstimulasi kembali perasaan secara
personal, tertekan, marah atau ketidakbahagiaan. Batas dasar merupakan sesi
supervisi yang selalu dimulai dari penjelasan mengenai isu-isu pekerjaan dan
berakhir dengan melihat yang disupervisi serta memahami pekerjaan yang telah
dijelaskan (Hawkins & Shohet, 2006).
Kontrak supervisi harus mencakup batasan yang jelas mengenai
kerahasiaan. Kerahasiaan memberikan perhatian bagi banyak supervisor baru.
Banyak supervisor yang mengalami masalah mengatakan kepada yang disupervisi
bahwa segala sesuatu yang disampaikan dalam supervisi bersifat rahasia, dan
menemukan beberapa situasi tidak terduga muncul di mana mereka merasa perlu
untuk berbagi materi dalam memahami batas-batas sesi supervisi (Hawkins &
Shohet, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.2.3. Kontrak supervisi
Ketika kontrak dengan supervisor, kedua belah pihak harus memiliki
kesempatan untuk mengatakan tujuan dari sesi, menjelaskan seberapa banyak
harapan yang dihadapi, melihat harapan dan ketakutan tentang hubungan kerja

mereka. Adanya ketidakcocokan dalam harapan, adalah hal yang penting bahwa
perbedaan ini dijelaskan lebih lanjut dalam beberapa bentuk negosiasi yang
berlangsung. Konflik tujuan harus dibicarakan, sebagaimana seharusnya masalah
model, asumsi dan nilai-nilai (Hawkins & Shohet, 2006).
Aturan dasar supervisi yang perlu dipahami mengenai frekuensi, durasi,
tempat dan kasus, juga kontrak supervisi dan pekerjaan yang dievaluasi (Hawkins
& Shohet, 2006). Hawkins dan Shohet menyatakan bahwa dalam kontrak ada
enam bidang utama yang harus dibahas: 1) Praktik dan rencana pertemuan,
2) Batasan, 3) Ikatan kerja, 4) Format sesi, 5) Konteks organisasi dan profesional,
dan 6) Membuat catatan.
2.2.4. Unsur-unsur pokok supervisi
Unsur-unsur pokok supervisi menurut Azwar (2010) antara lain:
1. Pelaksana
Pelaksana atau yang bertanggung jawab melaksanakan supervisi adalah
atasan, yakni mereka yang memiliki kelebihan dalam organisasi. Kelebihan yang
dimaksud sering dikaitkan dengan status yang lebih tinggi (Supervisor) dan
karena itu fungsi supervisi lebih dimiliki oleh “atasan”. Namun keberhasilan
supervisi, yang lebih diutamakan adalah kelebihan pengetahuan atau keterampilan
(Azwar, 2010, p. 325; Nursalam, 2012).


Universitas Sumatera Utara

Nursalam (2012) menyatakan pelaksana supervisi meliputi: 1) Kepala
ruang: bertanggung jawab dalam supervisi pelayanan keperawatan pada klien di
ruang perawatan, merupakan ujung tombak tercapai atau tidaknya tujuan
pelayanan kesehatan di rumah sakit, dan mengawasi perawat pelaksana dalam
melaksanakan praktik keperawatan di ruang perawatan sesuai dengan yang
didelegasikan, 2) Pengawas keperawatan: bertanggung jawab dalam mensupervisi
pelayanan kepada kepala ruangan yang ada di instalasinya, 3) Kepala seksi
keperawatan: mengawasi instalasi dalam melaksanakan tugas secara langsung dan
seluruh perawat secara tidak langsung.
2. Sasaran
Sasaran atau objek dari supervisi adalah pekerjaan yang dilakukan oleh
bawahan yang melakukan pekerjaan. Sasaran pekerjaan yang dilakukan oleh
“bawahan”, disebut sasaran langsung. Sedangkan sasaran “bawahan” yang
melakukan pekerjaan disebut supervisi tidak langsung (Azwar, 2010, p. 325).
3. Frekuensi
Supervisi harus dilakukan dengan frekuensi yang berkala. Supervisi yang
dilakukan hanya sekali, bukan supervisi yang baik. Organisasi dan lingkungan
selalu berkembang sehingga perlu dilakukan penyesuaian. Supervisi membantu

penyesuaian tersebut, yakni melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan
“bawahan” (Azwar, 2010, p. 325). Frekuensi sesi supervisi klinis sesuai dengan
kebutuhan spesifik kelompok. Kelompok supervisi diadakan setidaknya sekali
dalam sebulan. Masalah yang terjadi karena frekuensi harus meningkatkan shift
kerja, berarti beberapa anggota tidak dapat menghadiri sesi yang dijadwalkan.

Universitas Sumatera Utara

Jika sesi diadakan setiap awal bulan maka seorang perawat akan melewatkannya,
dan berarti 2 bulan diantara sesi-sesi, yang mana dapat menyebabkan kehilangan
kontinuitas dan mengurangi hubungan dengan tim (Lynch et al., 2008).
Standar minimum untuk supervisi bulanan untuk tim, dengan frekuensi
bervariasi. Mereka disupervisi selama empat mingguan tampaknya menemukan
dokumentasi yang lebih berguna daripada interval 2-3 minggu (Turner & Hill,
2011). Edwards et al. (2005) mengidentifikasi faktor-faktor kemungkinan yang
mempengaruhi efektifitas supervisi klinis didapat bahwa panjang sesi antara 31-45
menit memiliki nilai lebih besar dari pada 60 menit. Tidak ada pedoman yang
pasti seberapa sering supervisi dilakukan. Pedoman umum yang digunakan
tergantung dari derajat kesulitan pekerjaan yang dilakukan serta sifat penyesuaian
yang dilakukan (Azwar, 2010).

4. Tujuan
Tujuan supervisi adalah memberikan bantuan kepada bawahan secara
langsung, sehingga bawahan memiliki bekal yang cukup untuk dapat
melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan hasil yang baik (Nursalam, 2010).
Supervisor harus memiliki perencanaan supervisi, berhubungan pada kompetensi
yang dikaji, tingkat pengembangan untuk peserta pelatihan, dan memiliki tujuan
yang berhubungan dengan kontrak supervisi. Rencana difokuskan pada
pengalaman spesifik dari tujuan tersebut (Falender & Shafranske, 2004). Supervisi
untuk mengenali dan membedakan kegiatan pengawasan dari proses lainnya
seperti penilaian manajemen sistem (Western Health and Social Care Trust
[WHSCT], 2013).

Universitas Sumatera Utara

5. Teknik
Teknik dalam kegiatan pokok supervisi pada dasarnya akan mencakup
empat hal yang bersifat pokok, yakni: 1) Menetapkan masalah dan prioritasnya,
2) Menetapkan penyebab masalah, prioritas dan jalan keluarnya, 3) Melaksanakan
jalan ke luar, dan 4) Menilai hasil yang dicapai untuk tindak lanjut (Azwar, 2010).
Ada dua teknik dalam melaksanakan supervisi yang baik menurut Azwar,

(2010), yaitu:
1. Pengamatan langsung
Pengamatan langsung harus

dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Beberapa hal yang harus diperhatikan: 1) Sasaran pengamatan: pengamatan
langsung yang tidak jelas sasarannya, dapat menimbulkan kebingungan, karena
pelaksanaan supervisi mengamati sesuatu secara detail, 2) Obyektifitas
pengamatan: pengamatan langsung yang tidak memiliki standar dapat
mengganggu obyektifitas. Mencegah keadaan seperti ini maka pengamatan
langsung perlu dibantu dengan suatu daftar isian atau check list yang telah
dipersiapkan, dan 3) Pendekatan pengamatan: pengamatan langsung sering
menimbulkan berbagai dampak dan kesan negatif, misalnya rasa takut, tidak
senang atau kesan mengganggu pekerjaan. Maka dianjurkan pendekatan
pengamatan dilakukan secara edukatif dan suportif, tidak kekuasaan atau otoriter.
2. Kerjasama
Tujuan pokok supervisi adalah berupaya meningkatkan penampilan
“bawahan” dengan memberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan “bawahan”
secara langsung di tempat. Upaya mengatasi masalah yang akan ditemukan,


Universitas Sumatera Utara

sehingga perlu terjalin kerjasama antara pelaksana supervisi dengan yang
disupervisi. Kerjasama tersebut akan terwujud, jika di satu pihak, berlangsung
komunikasi yang baik antara pelaksana supervisi dengan yang disupervisi, dan
pihak lain sehingga mereka yang disupervisi merasakan masalah yang dihadapi
adalah masalah mereka sendiri (sense of belonging) (Azwar, 2010, p. 329).
2.2.5. Proses supervisi
Supervisi berkaitan dengan kompetensi dan efisiensi yang pada dasarnya
berorientasi secara manajerial (Kelly, Long, & McKenna, 2001). Proses supervisi
dikemukakan Morgan (1983) terdiri dari lima fase yaitu Fase 1: Menjelaskan dan
menyatakan tujuan. Pekerjaan supervisor untuk bekerja dalam batasan tugas dan
menurut standar yang telah ditetapkan. Walaupun manajer supervisor tidak
biasanya menetapkan pedoman umum operasional dari unit atau departemen,
pekerjaan supervisor untuk menjelaskan kebijakan, standar, dan tujuan pekerja ini.
Fase 2: Mengalokasikan dan menjadwalkan sumber daya. Manajer harus
mengalokasikan dan menjadwalkan sumber daya secara efisien, efektif, dan
ekonomis. Hal ini memerlukan penempatan karyawan sesuai keterampilan yang
mereka gunakan, dan mengembangkan prosedur, metode, dan sistem secara
menyeluruh (biasanya dalam bentuk perencanaan kerja) dengan tenggat waktu
yang terpenuhi. Sumber daya harus digunakan dengan benar, dan pekerjaan harus
ditingkatkan secara teratur dan konsisten.
Fase 3: Mengambil tindakan dan mendapatkan hasil. Bagian penting dari
manajemen supervisi. Karyawan harus dimotivasi, kegiatan supervisi, dan sumber
daya manusia dan tidak manusia digabungkan serta diarahkan terhadap tujuan.

Universitas Sumatera Utara

Tindakan yang diambil menimbulkan hubungan timbal balik dari berbagai fungsi
daripada tindakan lain. Hasil prosedur mengharuskan perubahan, membuat
koreksi di tempat, sumber daya dijadwal ulang dan direalokasikan, dan tindakan
yang mengkoordinasikan manajer departemen dalam dan luar.
Fase 4: Mengumpulkan informasi dan mengukur kinerja. Tindakan ini
dilakukan oleh manajer dalam proses mengobservasi dan meninjau catatan
kembali untuk mendeteksi penyimpangan norma yang dibentuk dari standarstandar tersebut. Manajer mengevaluasi, menilai, dan menyatukan perbedaan
antara kinerja sebenarnya dan tindakan yang seharusnya diambil.
Fase 5: Meningkatkan kinerja pekerjaan. Tindakan penting dari proses
supervisi adalah meningkatkan kinerja dari manajer departmen. Hal ini meliputi:
konseling dan pelatihan karyawan, meningkatkan dan menyederhanakan metode
kerja, membangun dan mengimplementasikan suatu program pengurangan biaya,
dan sejumlah kegiatan teknis serta manajerial diperlukan untuk meningkatkan
kinerja menyeluruh dari departemen umum dan setiap karyawan khususnya.
Penelitian Dawson, Phillips, dan Leggat (2012, 2013) bertujuan untuk
mengeksplorasi proses supervisi klinis terhadap Allied Health Professionals
(AHPs) dan meningkatan identifikasi. Cruz, Carvalho, dan Sousa (2014) juga
menghubungkan implementasi dari model supervisi klinik berdasarkan perawat
yang disupervisi terhadap stres dan sumber koping yang mereka gunakan.
Penelitian Cruz, Carvalho dan Sousa (2012) telah mempublikasikan hasil fase
pertama dalam kegiatan supervisi keperawatan berdasarkan persepsi kepala
perawat. Sílvia, Monteiro, dan Cruz (2011) melakukan penelitian eksplorasi,

Universitas Sumatera Utara

deskriptif dan longitudinal dalam mengembangkan supervisi klinis model
keperawatan yang terbaik untuk mendukung praktik perawat profesional.
2.2.6. Jenis-jenis supervisi
Supervisi memberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan
profesional dan keadilan untuk menilai hubungan perawat/pasien hubungan dan
suatu komitmen untuk mencapai pengembangan profesional dalam rangka
meningkatkan standard pelayanan (WHSCT, 2013). Kategori utama supervisi
yang dikemukakan Hawkins dan Shohet (2006) yaitu: 1) Tutorial supervisi:
Beberapa aturan supervisor memiliki peran yang lebih dari seorang guru, hampir
seluruhnya berkonsentrasi pada fungsi pengembangan, membantu peserta
pelatihan yang mengeksplorasi pekerjaan dengan klien, menyediakan sumber daya
dan fungsi pengawasan kualitatif di tempat kerja, 2) Pelatihan supervisi: Supervisi
menekankan fungsi pengembangan terhadap yang disupervisi dalam pelatihan
atau peran pada masa percobaan (Hawkins & Shohet, 2006). Pelatihan seorang
supervisor dan program pengembangan dapat membangun keahlian yang
dibutuhkan (Eley & Murray, 2009).
Jenis-jenis supervisi lainnya 3) Manajer supervisi: Supervisor merupakan
manajer lini dari yang disupervisi. Supervisor memiliki tanggung jawab yang jelas
terhadap pekerjaan yang dilakukan dengan klien, tetapi supervisor dan yang
disupervisi berada dalam hubungan manajer yang lebih baik, dan 4) Konsultasi
supervisi: Supervisi memiliki tanggung jawab atas pekerjaan yang dilakukan
dengan klien mereka, tetapi berkonsultasi dengan supervisor yang tidak menjadi
pelatih adalah masalah yang ingin dieksplorasi (Hawkins & Shohet, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.2.7. Model-model supervisi
Suyanto (2009) mengemukakan model-model supervisi antara lain:
1) Model konvensional: Supervisi dilakukan melalui inspeksi langsung untuk
menemukan masalah dan kesalahan dalam pemberian asuhan keperawatan, serta
mengawasi staf dalam menjalankan tugas, 2) Model ilmiah: Supervisi dilakukan
dengan pendekatan yang direncanakan sehingga tidak hanya mencari kesalahan
atau masalah saja, 3) Model klinis: Supervisi model klinis bertujuan membantu
perawat pelaksana dalam mengembangkan profesionalisme sehingga penampilan
dan kinerjanya dalam pemberian asuhan keperawatan meningkat. Supervisi
dilakukan secara sistematis melalui pengamatan pelayanan keperawatan yang
diberikan seorang perawat selanjutnya dibandingkan dengan standar keperawatan,
4) Model artistik: Supervisi model artistik dilakukan dengan pendekatan personal
untuk menciptakan rasa aman sehingga supervisor dapat diterima oleh perawat
pelaksana yang akan disupervisi.
Model supervisi yang digunakan adalah model klinis. Model supervisi
klinis yang dikembangkan Brigid Proctor merupakan model paling populer dari
supervisi klinis di United Kingdom. Model Proctor sangat identik dengan model
Kadushin, yang terdiri dari tiga fungsi utama meliputi: Fungsi normatif, formatif,
dan restoratif (Lynch et al., 2008).
Fungsi normatif setara dengan fungsi administrasi Kadushin. Fungsi ini
mengacu secara khusus pada pemantauan, proses evaluasi dan nilai peran.
Fungsi yang melibatkan dan menyediakan supervisi yang bermutu. Fungsi
berfokus terhadap nilai-nilai, keyakinan, evaluasi perawatan, dokumentasi,

Universitas Sumatera Utara

kebijakan dan prosedur, akuntabilitas dan manajemen beban kasus. (Lynch et al.,
2008). Komponen normatif yang dikembangkan secara strategis untuk mengatur
tanggung jawab profesional dan masalah mutu dalam keperawatan (Brunero &
Stein-Parbury, 2008). Area kedua dari pengembangan formatif bahwa supervisi
berfokus pada pengambilan keputusan (Lynch et al., 2008).
Fungsi normatif meliputi: perubahan tindakan, sensitifitas moral,
pemecahan masalah, ketegasan komitmen, konfirmasi tindakan dan peran,
identifikasi solusi, meningkatkan praktik keperawatan, meningkatkan pemahaman
tentang isu-isu profesional, identitas profesional, mengkonfirmasi keunikan peran,
perubahan

organisasi

dari

asuhan

keperawatan,

meningkatkan

asuhan

keperawatan individu, mengkritisi praktik, meningkatkan praktik, pengambilan
risiko, kepuasan kerja, solidaritas profesional, konfirmasi intervensi keperawatan,
kerjasama pasien perawat, kurang pemahaman pasien, dan meningkatkan
hubungan pasien (Brunero & Stein-Parbury, 2008).
Fungsi formatif sama dengan fungsi pendidikan dari model Kadushin,
yaitu peran pengembangan supervisi (Lynch et al., 2008). Formatif atau
keterampilan dan area pengembangan pengetahuan supervisi klinis (Brunero &
Stein-Parbury, 2008). Hal ini memerlukan hubungan baik antara supervisor dan
yang disupervisi sehingga fokus belajar dan kebutuhan berkembang dapat
diidentifikasi dan dikembangkan sesuai teori dengan praktik. Fungsi formatif
berfokus pada tugas, keputusan, dan praktik reflektif (Lynch et al., 2008).

Universitas Sumatera Utara

Fungsi formatif meliputi pembelajaran baru, peningkatan pengetahuan,
pengembangan profesional (pengetahuan yang lebih dalam), kepercayaan diri,
kesadaran diri dari pikiran dan perasaan, meningkatan pengetahuan tentang hak
asasi manusia, mengenali kebutuhan keluarga yang lebih, kompetensi dan
kreatifitas, pengembangan profesional, melihat keunikan pasien, mendapatkan
pengetahuan, kompetensi, kepercayaan diri sendiri, pengetahuan, memahami
penggunaan terapi diri saat berhubungan dengan pasien, meningkatkan ide waktu,
dukungan ide, kreatifitas dan inovasi, dan keterampilan komunikasi (Brunero &
Stein-Parbury, 2008).
Fungsi restoratif berfokus pada fungsi pemberian dukungan supervisi
klinis. Tanggung jawab supervisor memastikan bahwa yang disupervisi memadai
dan mendukung. Hubungan supervisor dibutuhkan terhadap yang disupervisi
sehingga dirasakan, diterima, dihargai, dipahami, merasa aman dan cukup terbuka
untuk meninjau ulang dan menghadapi tantangan diri (Lynch et al., 2008).
Fungsi restoratif meliputi: mendengarkan dan bersikap mendukung,
meningkatkan koping kerja, mengakses dukungan, hubungan baik antara staf,
keterlibatan di tempat kerja, lingkungan kelompok yang aman, rasa aman,
kepuasan dengan perawat, kecemasan yang dirasakan lebih rendah, memahami
rekan kerja untuk meningkatnya minat, menghilangkan (mendiskusikan pikiran
dan perasaan), menghilangkan pikiran dan perasaan empati, rasa kebersamaan,
pemahaman diri, meningkatkan hubungan dengan perawat, kepercayaan,
mengurangi konflik, mengurangi kebosanan, mengurangi kejenuhan, prestasi
pribadi, pengembangan pribadi, koping (Brunero & Stein-Parbury, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Model Proctor dapat dilihat pada skema 2.1

Normatif

Pengkajian dan kualitas
Tugas

Supervisi klinis

Formatif

Keputusan
Praktik refkektif
Dukungan

Restoratif

Skema 2.1. Supervisi Model Proctor
(Sumber: Lynch, Hancox, Happell & Parker, 2008)

Model

Proctor

mengembangkan

proses

utama

dalam

supervisi

menggunakan istilah formatif, restoratif dan normatif. Selain itu model Kadushin
menulis tentang supervisi pada pekerja sosial meliputi tiga fungsi utama yaitu:
edukatif, suportif, dan manajerial. Berdasarkan kedua model tersebut Hawkins
dan Shohet (2006) juga mengembangkan tiga fungsi utama meliputi
perkembangan, sumber daya dan kualitatif.
Fungsi perkembangan sama dengan fungsi formatif yang dikemukakan
oleh model Proctor. Fungsi perkembangan adalah mengembangkan keterampilan,
pemahaman dan kapasitas dari yang disupervisi. Fungsi ini dilakukan melalui
refleksi, dan eksplorasi dari pekerjaan yang disupervisi dengan klien mereka.
Eksplorasi ini dibantu oleh supervisor untuk memahami klien lebih baik, lebih
menyadari reaksi mereka sendiri dan tanggap terhadap klien, memahami dinamika
dan interaksi dengan klien, melihat keikutsertaan dan konsekuensi dari intervensi,
dan mengeksplorasi cara-cara kerja dan situasi (Hawkins & Shohet, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Fungsi sumber daya sama dengan fungsi restoratif yang dikemukakan oleh
model Proctor. Fungsi sumber daya adalah cara menanggapi setiap karyawan yang
terlibat pekerjaan secara personal dengan klien, yang selalu membiarkan diri
mereka dipengaruhi oleh tekanan, rasa sakit dan fragmentasi klien, dan
memerlukan waktu untuk menyadari dan menghadapi reaksi apapun (Hawkins &
Shohet, 2006). Sumber daya manusia memastikan bahwa organisasi memperoleh
dan mempertahankan modal manusia yang dibutuhkan dan mempekerjakan
mereka secara produktif (Armstrong, 2006).
Fungsi kualitatif sama dengan fungsi normatif yang dikemukakan oleh
model Proctor. Aspek kualitatif supervisi menyediakan fungsi kontrol kualitas
dalam pekerjaan dengan banyak orang. Hal ini tidak hanya kurangnya pelatihan
atau pengalaman yang diperlukan, sebagai pekerja, seseorang melihat yang kita
kerjakan, tapi kegagalan tidak dapat dihindari, masalah-masalah tidak terlihat,
kerentanan dan prasangka kita sendiri. Supervisor dapat bertanggung jawab untuk
menegakkan standar lembaga pada pekerjaan yang sedang dilakukan. Hampir
semua supervisor, bahkan ketika mereka bukan seorang manajer lini, memiliki
tanggung jawab untuk memastikan bahwa pekerjaan yang di supervisi sesuai
dalam standar etika yang ditetapkan (Hawkins & Shohet, 2006).
2.2.8. Evaluasi supervisi
Lynch et al. (2008); Winstanley dan White (2011); Winstanley (2001)
melakukan evaluasi pada supervisi klinis dengan menggunakan instrumen
Manchester Clinical Supervision Scale. Manchester Clinical Supervision Scale
merupakan instrumen yang digunakan untuk menilai keefektifan supervisi.

Universitas Sumatera Utara

Manchester Clinical Supervision Scale terdiri atas tiga komponen pengembangan
model Proctor yaitu: normatif (mempertahankan kinerja dan meningkatkan
profesionalisme), formatif (meningkatkan pengetahuan dan keterampilan), dan
restoratif (memberikan dukungan).
Winstanley dan White (2011); Winstanley (2000, 2001) menyatakan ada
tujuh faktor yang terdapat dalam Manchester Clinical Supervision Scale meliputi:
1) Kepercayaan/hubungan (Normatif/restoratif): Tingkat kepercayaan/hubungan
dengan supervisor, selama sesi dan kemampuan untuk mendiskusikan masalah
sensitif/rahasia, 2) Pengarahan/dukungan supervisor (Restoratif): Hal ini meluas
pada yang disupervisi merasakan dukungan oleh supervisor, mengukur tingkat
arahan dan menerima bimbingan, 3) Meningkatkan pelayanan/keterampilan
(Formatif): Fokus ini pada yang disupervisi merasakan supervisi klinis telah
mempengaruhi

pemberian

asuhan

mereka

dan

mendorong

peningkatan

keterampilan.
Faktor yang terdapat dalam Manchester Clinical Supervision Scale
selanjutnya 4) Nilai penting dari supervisi klinis (Normatif): Pengukuran yang
penting dari penerimaan supervisi klinis dan proses supervisi klinis yang bernilai
atau diperlukan untuk meningkatkan mutu pelayanan, 5) Penemuan waktu
(Normatif/restoratif): Pengukuran waktu yang tersedia untuk sesi supervisi klinis,
6) Masalah pribadi (Restoratif): Pengukuran ini mendukung yang disupervisi
merasakan masalah pribadi secara alami, dan 7) Refleksi (Formatif): Pengukuran
ini mendukung yang disupervisi merasakan refleksi pengalaman klinis yang
kompleks.

Universitas Sumatera Utara

2.2.9. Supervisi yang efektif
Supervisi yang efektif dikemukakan oleh Kilminster dan Jolly (2000),
antara lain: 1) Supervisi mempunyai suatu hal positif yang mempengaruhi
outcome pasien dan ketiadaan supervisi membahayakan pasien, 2) Supervisi
secara langsung memberi pengaruh positif outcome pasien dan peserta pelatihan,
terutama ketika dikombinasikan dengan fokus umpan balik, 3) Supervisi memiliki
pengaruh yang lebih ketika peserta pelatihan memiliki lebih sedikit pengalaman,
4) Supervisi diri sendiri tidaklah efektif, masukan dari seorang supervisor
diperlukan, 5) Mutu dari hubungan supervisi sangat penting, yang paling penting
kesinambungan dari waktu ke waktu, mengontrol produk yang disupervisi dari
supervisi, 6) Peserta pelatihan mencoba untuk memanipulasi proses supervisi
dengan cara memahami konflik dengan peluang belajar dan tidak mungkin
berpengaruh baik bagi pasien, 7) Perubahan perilaku terjadi secara relatif cepat
sebagai hasil supervisi sedangkan perubahan pemikiran dan sikap menjadi lebih
lama, dan 8) Peserta pelatihan mengidentifikasi banyak keuntungan dari supervisi.
2.2.10. Peran supervisor
Peran menjadi seorang supervisor akan memberikan kesempatan untuk
meningkatkan pengembangan keterampilan dalam membantu orang lain untuk
belajar dan berkembang dalam pekerjaan mereka. Sebagai supervisor baru akan
terdorong untuk berhenti, merenungkan dan mengartikulasikan cara bekerja
sebagai seorang praktisi. Tantangannya adalah menggunakan pengalaman sendiri
untuk membantu yang disupervisi mengembangkan gaya kerja dan solusi mereka
sendiri untuk situasi kerja yang sulit (Hawkins & Shohet, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Hawkins dan Shohet (2006) menyatakan sebagai supervisor harus
mencakup banyak fungsi dalam perannya sebagai berikut: 1) Sebagai seorang
konselor yang memberikan dukungan, 2) Pendidik membantu yang disupervisi
untuk belajar dan berkembang, 3) Manajer bertanggung jawab untuk kualitas
pekerjaan yang disupervisi dalam melakukan pekerjaan dengan klien, dan
4) Seorang manajer atau konsultan tanggung jawab terhadap organisasi dalam
melakukan supervisi.
Hawkins dan Shohet (2006) menyatakan supervisor yang baik meliputi:
1) Fleksibilitas: dapat bergerak antara konsep-konsep teoritis dan penggunaan
berbagai intervensi dan metode, 2) Pandangan multi-perspektifal: mampu melihat
situasi yang sama dari berbagai sudut, 3) Peta kerja disiplin di mana mereka
melakukan supervisi, 4) Kemampuan bekerja secara transkultural, 5) Kapasitas
untuk mengelola dan mengatasi kecemasan mereka sendiri dari yang disupervisi,
6) Keterbukaan untuk belajar dari yang disupervisi dan situasi baru yang muncul,
7) Kepekaan terhadap isu-isu kontekstual yang lebih luas berdampak pada terapi
dan proses pengawasan, 8) Menangani persaingan secara tepat dan tidak
menindas, dan 9) Humoris, kerendahan hati dan kesabaran.
Supervisor akan melihat bahwa sebagian besar kualitas, kesadaran dan
keterampilan yang sudah dimiliki atau telah dikembangkan untuk menjadi praktisi
yang kompeten dalam membantu profesi (Hawkins & Shohet, 2006).
Keterampilan diperlukan untuk supervisi dalam membangun komunikasi dan
kemudahan kemampuan yang dipelajari melalui pelatihan awal dan registrasi
akhir pengembangan profesional (WHSCT, 2013).

Universitas Sumatera Utara

2.2.11. Keterampilan supervisor
Keterampilan tidak dapat dipelajari sebelum dimulai dan memang
membutuhkan

waktu

bertahun-tahun

untuk

berkembang.

Penting

untuk

mengetahui semua tingkatan keterampilan dan perspektif secara bertahap untuk
memperluas fokus dalam sesi (Hawkins & Shohet, 2006).
Proctor (2001) mengemukakan pekerjaan dan keterampilan dari supervisor
antara lain: 1) Membangun iklim, melalui pengaturan lingkungan fisik yang
ramah, mendapatkan informasi, mendengarkan tanpa penilaian atau prasangka
terlebih dahulu, memeriksa yang telah didengar, berbagi informasi yang tepat,
mengukur tingkat kesesuaian secara formal/informal dalam praktik, dan situasi
tertentu, 2) Mengklarifikasi dan negosiasi kontrak dan perjanjian kerja, melalui
keterampilan utama dari pernyataan tujuan yang jelas dan menyatakan preferensi
maupun mendengarkan, mengklarifikasi, dan memeriksa pemahaman bersama.
Keterampilan supervisor selanjutnya 3) Memajukan proses supervisi.
Keterampilan untuk melakukan supervisi dimana peserta mengharapkan diajarkan
ketika mereka datang pada pelatihan supervisi, 4) Menghadapi tantangan dalam
cara otoritatif (menentang otoriter), 5) Memberi dan menerima umpan balik, baik
evaluatif dan non evaluatif, 6) Mengakui dan menghormati perasaan dan
pengalaman (baik di dalam kata-kata dan dalam hubungan supervisi) misalnya,
keadaan yang sulit, kerentanan, kebingungan, kemarahan, rasa malu, rasa
bersalah, penyesalan, dan 7) Mengelola perjanjian dalam batasan-batasan,
manajemen waktu, ulasan, tanggung jawab administrasi.

Universitas Sumatera Utara

Keterampilan intervensi dalam melakukan supervisi ada lima kategori
intervensi dari model Heron (Hawkins & Shohet, 2006) meliputi: 1) Menentukan:
Memberi nasihat, memberi instruksi, 2) Informatif: mendidik, memberi instruksi,
menginformasikan, 3) Konfrontatif: Menantang, memberi umpan balik langsung,
4) Katalitik (sebagai penengah): Merefleksikan, mendorong pemecahan masalah
secara mandiri, 5) Katartis (menghilangkan emosi): Melepaskan ketegangan,
abreaksi, dan 6) Suportif.
Keterampilan umpan balik supervisor adalah proses menyampaikan
kepada individu lain bagaimana mereka memiliki pengalaman dalan memberikan
umpan balik. Memberi dan menerima umpan balik memiliki kesulitan dan
kecemasan karena umpan balik negatif yang diberikan menjadi kenangan kembali
dan umpan balik positif yang terdahulu tentang perintah tidak menjadi hal yang
besar. Banyak orang memberikan umpan balik hanya ketika ada sesuatu yang
salah. Ada beberapa aturan sederhana aturan untuk memberi dan menerima umpan
balik yang membuat transaksi berguna dan membuat perubahan. Cara
memberikan umpan balik harus jelas, dimiliki, teratur, seimbang, dan spesifik
(Hawkins & Shohet, 2006).
Sebelum membina hubungan supervisi, supervisor memulai dengan
melakukan supervisi diri sendiri, memperhatikan dan mengetahui alasan bahwa
supervisor secara normal menyembunyikan sesuatu sebagai kejujuran yang
mungkin dilakukan. Supervisi diri sendiri dapat membuat jarak yang kadangkadang terjadi dalam membantu mereka menyelesaikan masalah, dan melihat
klien sebagai orang yang sakit (Hawkins & Shohet, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Deskripsi dari Rioch, Coulter, dan Weinberger (1976) tentang seminar
menunjukkan tahap pengembangan kelompok tentu tidak dapat diabaikan ketika
melakukan supervisi dalam sebuah kelompok. Memahami teori pengembangan
kelompok dan memiliki wawasan ke dalam dinamika kelompok tidak cukup.
Kelompok supervisor harus tahu cara menghadapi proses kelompok dan
memfasilitasi perilaku positif kelompok.
2.3. Iklim Organisasi
2.3.1. Definisi iklim organisasi
Iklim didefinisikan sebagai persepsi individual tentang unit khusus atau
lingkungan. Iklim merefleksikan persepsi karyawan dari budaya organisasi dan
lebih mudah untuk pendekatan, sedangkan budaya jauh lebih sulit untuk
diperkirakan karena nilai dan kepercayaan yang tidak nyata (Huber, 2006).
Budaya organisasi adalah sistem simbol dan interaksi unik pada setiap organisasi,
meliputi cara berfikir, berperilaku, berkeyakinan, yang sama-sama dimiliki oleh
anggota unit (Marquis & Huston, 2010).
Penelitian iklim adalah penelitian besar pada psikologi Gestalt dari Kurt
Lewin. Berasal dari psikologi Gestalt menjadi bangsa yang kritis secara
menyeluruh. Gestalt berarti bahwa elemen individual dari persepsi yang dibentuk
menjadi keutuhan yang mewakili lebih dari jumlah sederhana dari elemen
individu yang spesifik (Ashkanasy, Wilderom, & Peterson, 2000). Lewin, Lippitt,
dan White melakukan studi iklim sebagai “kenyataan empirik” dalam sebuah
eksperimen meliputi pengaruh perilaku atmosfir yang didapatkan dari tiga
perbedaan pemimpin. Tiga peran kepemimpinan adalah otoriter, demokratik,

Universitas Sumatera Utara

dan laissez-faire. Teori motivasi Lewin, konsep dari “atmosfir” atau “iklim”
merupakan esensi dari fungsi hubungan manusia dan lingkungan

(Litwin &

Stringer, 1968, p. 37).
Iklim organisasi adalah sebuah Gestalt berdasarkan pola-pola yang dirasa
sebagai pengalaman yang spesifik dan perilaku seseorang dalam organisasi. Maka
dari itu, pengalaman dan perilaku dianggap berpola dengan cara tertentu.
Gestalt yang menjelaskan pola secara abstrak merupakan situasi dari iklim,
dengan kata lain seseorang berpikir membuat pola dari pengalaman dan perilaku
yang mereka miliki, atau bagian situasi lainnya yang mereka miliki, merupakan
situasi dari iklim (Ashkanasy et al., 2000).
Iklim organisasi melibatkan keadaan emosional anggota yang ada dalam
sistem tersebut dapat bersifat formal, rileks, difensif, perhatian, penerimaan,
kepercayaan, dan sebagainya (Swansburg, 2000). Iklim ini adalah impresi
subjektif karyawan atau persepsi tentang organisasi mereka. Karyawan yang
mendapatkan perhatian terbesar dari manajer perawat adalah perawat pelaksana.
Perawat pelaksana ikut terlibat dalam pembuatan iklim yang melibatkan perasaan
pasien. Iklim kerja disusun oleh manajer perawat yang menentukan perilaku dari
praktik perawat klinis (Swansburg, 2000; Swansburg & Swansburg, 2001). Iklim
organisasi mendeskripsikan praktik dan prosedur dari organisasi atau subunit dan
mempengaruhi sikap dan perilaku dari individu (Huber, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.3.2. Iklim organisasi yang positif
Swansburg (2000); Swansburg dan Swansburg (2001) menyatakan
aktifitas untuk meningkatkan iklim organisasi positif yaitu: 1) Mengembangkan
misi, sasaran, dan tujuan organisasi dengan masukan dari perawat pelaksana.
Termasuk sasaran pribadi mereka, 2) Membuat kepercayaan dan keterbukaan
melalui komunikasi yang mencakup umpan balik dan merangsang motivasi segera
dan sering, 3) Memberikan kesempatan untuk bertambah dan berkembang,
termasuk

pengembangan

karier

dan

program

pendidikan

berkelanjutan,

4) Meningkatkan kerja tim, 5) Meminta perawat pelaksana untuk menyatakan
kepuasan dan ketidakpuasan mereka selama pertemuan dan konferensi serta
melalui survei, 6) Memasarkan organisasi keperawatan untuk perawat pelaksana,
karyawan lain, dan masyarakat, 7) Mengikuti semua aktifitas yang melibatkan
perawat pelaksana, 8) Menganalisis sistem kompensasi untuk seluruh organisasi
keperawatan dan struktur untuk penghargaan kompetensi, ulang tahun, dan
produktivitas, 9) Meningkatkan harga diri, autonomi, dan pemenuhan diri untuk
perawat pelaksana, termasuk perasaan dalam pengalaman kerja yang bermutu,
10) Menekankan program pengenalan perawat pelaksana terhadap organisasi.
Swansburg (2000); Swansburg dan Swansburg (2001) menyatakan
aktifitas untuk meningkatkan iklim organisasi positif selanjutnya 11) Mengkaji
ancaman dan hukuman yang tidak dibutuhkan dan menghilangkannya,
12) Memberikan keamanan kerja dengan lingkungan yang memungkinkan
kebebasan ekspresi ide dan pendapat tanpa ancaman yang dapat terjadi sebagai
laporan kinerja negatif, konfortasi, konflik, atau kehilangan pekerjaan,

Universitas Sumatera Utara

13) Termasuk dalam semua hubungan dengan perawat pelaksana, 14) Membantu
perawat pelaksana mengatasi kelemahan mereka dan mengembangkan kekuatan
mereka, 15) Mendorong dan mendukung loyalitas, persahabatan, dan kesadaran
warga negara, 16) Mengembangkan rencana strategis yang mencakup
desentralisasi pembuatan keputusan dan partisipasi oleh perawat pelaksana, dan
17) Menjadi model peran untuk kinerja yang diinginkan dari perawat pelaksana.
2.3.3. Dimensi iklim organisasi
Istilah iklim organisasi menunjukkan serangkaian pendekatan dari
lingkungan kerja, yang dirasa langsung dan tidak langsung oleh orang yang
tinggal dan bekerja dalam lingkungan kerja dan mengasumsikan pengaruh
motivasi dan perilaku mereka. Pengukuran iklim organisasi adalah Organizational
Climate Questionnaire (OCQ) oleh Litwin dan Stringer (1968), yang meliputi 50
item. Litwin dan Stringer (1968) mengkategorikan iklim organisasi pada sembilan
dimensi atau variabel, yaitu; struktur, tanggung jawab individu, kehangatan,
dukungan, penghargaan dan hukuman, konflik dan toleransi konflik, standar
penampilan dan harapan, identitas organisasi dan loyalitas kelompok, serta risiko.
Struktur dan kendala (Structure and constraint): Keadaan struktur
didefinisikan dalam batasan istilah yang dirasakan pada keadaan tugas, sejumlah
informasi yang detail, dan kendala ditempatkan pada perilaku yaitu mengurangi
tantangan pekerjaan baik atau dirasakan pekerjaan berhasil. Harapan dan
karakteristik insentif dari situasi tidak membangkitkan alasan berprestasi atau jika
terpengaruh, alasan lainnya juga sibuk dan relevan dengan motivasi keberhasilan
sangat menurun (Litwin & Stringer, 1968).

Universitas Sumatera Utara

Tekanan dan tanggung jawab individu (Emphasis on individual
responsibility): Secara logika dihubungkan dengan struktur organisasi menjadi
tingkat penekanan yang ditempatkan sebagai tanggung jawab individu. Penekanan
tanggung jawab individu tidak tampak berhubungan dengan jumlah keanggotaan.
Tidak ada keterangan empirik mengenai efek tanggung jawab pada perilaku
berhubungan dengan keanggotaan (Litwin & Stringer, 1968).
Kehangatan dan dukungan (Warmth and support): Kehangatan dan
dukungan emosional telah lama menjadi pengaruh penting dalam perkembangan
manusia. Situasi organisasi menekankan terciptanya hubungan secara positif yang
diharapkan memiliki alasan membangun keanggotaan sebab anggota kelompok
diberikan dengan jumlah anggota tanpa syarat (Litwin & Stringer, 1968).
Penghargaan dan hukuman, diterima atau tidak diterima (Reward and
punishment, approval or disapproval): Lingkungan bisnis yang lain, berhubungan
erat dengan meningkatkan kehangatan dan dukungan, merupakan tekanan yang
dirasakan akibat penghargaan dan hukuman. Hal ini dapat digambarkan dengan
pencapaian yang menimbulkan pengaruh kehangatan dan dukungan yang lebih
besar dalam istilah memperkuat nilai mereka (Litwin & Stringer, 1968).
Konflik dan toleransi konflik (Conflict and tolerance for conflict):
Dimensi iklim yang telah diterima banyak penelitian sebelumnya merupakan
bentuk organisasi secara umum dan menyelesaikan konflik pada masing-masing
anggota staf. Hipotesa yang dilakukan dengan toleransi dalam menyelesaikan
konflik, tidak membangun kepemimpinan dan motivasi keanggotaan, tetapi akan
memimpin untuk membangun motivasi kesehatan (Litwin & Stringer, 1968).

Universitas Sumatera Utara

Standar

penampilan

dan

harapan

(Performance

standards

and

expectations): Teori pencapaian motivasi dibangun berdasarkan pencapaian
standar yang sudah baku dan akan menjadi tingkatan standar yang diharapkan,
bahwa standar-standar merupakan faktor penting dalam pencapaian motivasi
(Litwin & Stringer, 1968).
Identitas organisasi dan loyalitas kelompok (Organizational identity and
group loyalty): Organisasi formal tidak hanya seorang individu yang bekerja tanpa
memandang kehadiran yang lain, tetapi bekerja bersama dalam tugas-tugas.
Usaha untuk mempromosikan, mengidentifikasi manusia dengan kelompok atau
organisasi diperlukan dalam organisasi (Litwin & Stringer, 1968).
Risiko dan mengambil risiko (Risk and risk taking): Dimensi iklim
organisasi merupakan bagian penting untuk menentukan pencapaian motivasi
melibatkan perilaku risiko. Kondisi lingkungan mengenai risiko dan risiko
merupakan determinan yang penting dari motivasi (Litwin & Stringer, 1968).
Hubungan timbal balik dimensional (Dimensional interrelationships):
Suatu pendekatan yang lebih nyata meliputi: dimensi interaksi dengan yang
lainnya dalam pola yang lebih kompleks. Hubungan perilaku pencapaian, afiliasi
terkait perilaku, kekuatan berhubungan dengan perilaku seperti perilaku yang
hanya membangkitkan alasan tertentu dipermasalahkan (Litwin & Stringer, 1968).
Dimensi iklim organisasi yang dikembangkan oleh Litwin dan Stringer
(1968) mengalami modifikasi. Stringer (2002) mengemukakan pengukuran iklim
organisasi menggunakan Organizational Climate Questionnaire (OCQ) meliputi
24 item dan awalnya terdiri dari sembilan dimensi menjadi enam dimensi.

Universitas Sumatera Utara

Dimensi iklim organisasi meliputi: Struktur, standar, tanggung jawab, pengakuan,
dukungan dan komitmen.
Struktur (Structure): Struktur merefleksikan perasaan karyawan yang
terorganisasi dengan baik dan mendapatkan kejelasan definisi dari peran dan
tanggung jawab mereka. Struktur dikatakan tinggi ketika setiap orang merasa
pekerjaannya didefinisikan dengan baik. Struktur akan rendah bila karyawan
bingung tentang tugas-tugas dan siapa yang mempunyai otoritas dalam membuat
keputusan (Stringer, 2002).
Struktur menunjukkan kondisi perawatan yang disediakan meliputi:
1) Sumber material, seperti fasilitas dan perlengkapan, 2) Sumber daya manusia,
seperti jumlah, keanekaragaman, dan kualifikasi profesional dan dukungan
personil, 3) Karakteristik organisasi, seperti organisasi dari medis dan staf
keperawatan, adanya fungsi pengajaran dan penelitian, jenis supervisi dan tinjauan
ulang kinerja, metode pembayaran untuk keperawatan dan sebagainya
(Donabedian, 2003). Standar struktur menjelaskan peraturan sistem, meliputi:
hubungan organisasi, misi organisasi, kewenangan, komite-komite, personal,
peralatan, gedung, rekam medik, keuangan, pembekalan, obat, dan fasilitas.
Standar struktur merupakan rules of the game (Pohan, 2006).
Standar (Standard): Standar mengukur tekanan yang dirasakan untuk
meningkatkan kinerjanya, dan kebanggaan yang dirasakan oleh karyawan karena
telah melakukan pekerjaan dengan baik. Standar yang tinggi berarti karyawan
mencari cara untuk meningkatkan kinerjanya. Standar yang rendah dilihat dari
cara karyawan merefleksikan ekspektasi kinerja yang rendah (Stringer, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Standar adalah tingkat kesempurnaan yang telah ditentukan sebelumnya dan
menjadi panduan untuk praktik. Standar memiliki karakteristik yang berbeda:
standar

ditentukan

sebelumnya,

disusun

oleh

orang

yang

berwenang,

dikomunikasikan dan diterima oleh orang yang dipengaruhi oleh standar tersebut
(Marquis & Huston, 2010). Sedangkan standar pelayanan rumah sakit
memerlukan standar medis yang menjadi acuan dalam meningkatkan dan
mengembangkan rumah sakit untuk mencapai kondisi sesuai dengan standar yang
ditetapkan. Setiap jenis pelayanan memuat sebagian atau keseluruhan standar,
yaitu: Standar 1: falsafah dan tujuan, standar 2: administrasi dan manajemen,
standar 3: staf dan pimpinan, standar 4: fasilitas dan peralatan, standar 5:
kebijakan dan prosedur, standar 6: pengembangan staf dan program pendidikan,
standar 7: evaluasi dan pengendalian mutu (Wijono, 2000).
Tanggung jawab (Responsibility): Tanggung jawab adalah tugas atau
penugasan dan merupakan implementasi pekerjaan. Manajer memberikan
tanggung jawab dengan kewenangan yang sesuai. Jika kewenangan tidak sepadan
dengan tanggung jawab, kebingungan peran dialami setiap orang yang terlibat
(Marquis & Huston, 2010). Tanggung jawab merefleksikan perasaan karyawan
dengan “menjadikan diri mereka sebagai pimpinan” dan tidak harus memeriksa
kembali keputusan dengan yang lain. Rasa tanggung jawab yang tinggi
menunjukkan bahwa karyawan merasa mampu menyelesaikan masalah mereka.
Tanggung jawab yang rendah menunjukkan risiko diambil dan diuji dari
pendekatan baru yang cenderung menakutkan (Stringer, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Pengakuan (Recognition): Pengakuan mengindikasikan perasaan karyawan
terhadap penghargaan untuk pekerjaan yang dilakukan dengan baik. Hal ini
mengukur kedudukan penghargaan (reward) terhadap kritik dan hukuman
(punishment). Pengakuan yang tinggi dalam iklim ditandai dengan keseimbangan
yang tepat dari penghargaan dan hukuman. Pengakuan yang rendah berarti
pekerjaan baik diberikan penghargaan yang konsisten (Stringer, 2002).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang tenaga kesehatan menguraikan bahwa
kepada tenaga kesehatan yang bertugas pada sarana kesehatan atau dasar prestasi
kerja, pengabdian, kesetiaan, berjasa pada Negara atau meninggal dunia dalam
melaksanakan tugas diberikan penghargaan. Penghargaan sebagaimana dimaksud,
dapat diberikan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. Bentuk penghargaan dapat
berupa kenaikan pangkat, tanda jasa, uang atau bentuk lain (Wijono, 2000).
Dukungan (Support): Dukungan merefleksikan perasaan dari kepercayaan
(trust) dan dukungan yang saling menguntungkan dalam kelompok kerja.
Dukungan yang tinggi menunjukkan karyawan merasa bahwa dirinya menjadi
bagian dari suatu kelompok yang bertugas dengan baik dan mudah mendapatkan
bantuan atau dukungan (terutama dari atasan) bila diperlukan. Ketika dukungan
yang rendah, karyawan merasa bekerja terpisah dan sendirian (Stringer, 2002).
Komitmen (Commitment): Komitmen merefleksikan perasaan bangga
sebagai bagian dari organisasi dan tingkat komitmen dalam mencapai tujuan
organisasi. Perasaan komitmen yang kuat membuat loyalitas terhadap organisasi
menjadi tinggi. Tingkat komitmen rendah menunjukkan karyawan merasakan
apatis terhadap perkembangan dalam mencapai tujuan organisasi (Stringer, 2002).

Universitas Sumatera Utara

2.3.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi iklim organisasi
Tregunno (2005) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi iklim
organisasi dan budaya yaitu: 1) Individu: Iklim dan bentuk budaya, dapat dibentuk
oleh individu dalam organisasi. Individu sebagai pendatang baru sangat penting
untuk sebuah organisasi karena mereka dapat membawa harapan tentang budaya
ketika bergabung, dan budaya dapat ditransmisikan terhadap pendatang baru oleh
staf yang ditetapkan (Tregunno, 2005), 2) Ciri-ciri organisasi: Iklim organisasi
dan budaya dibentuk tidak hanya oleh individu-individu tetapi juga oleh ciri-ciri
organisasi.

Ciri-ciri

organisasi

mempunyai

dasar

fundamental

dalam

mempengaruhi harapan dan persepsi individu. Hal ini meliputi struktur organisasi,
rutinitas, perintah, harapan yang dikontrol, dan norma operasional (Tregunno,
2005), 3) Eksternal (lingkungan): Manajer perawat lebih berhasil jika mereka
mendapat perhatian dari lingkungan organisasi sampai perubahan diperkenalkan
dan perubahan pun dilakukan (Swansburg, 2000).
Faktor-faktor yang mempengaruhi (determinan) iklim organisasi menurut
Cannon (2006) meliputi:
1. Kepemimpinan: Determinan dari iklim organisasi yang paling utama
adalah perilaku sehari-hari dari manajer. Pemimpin dalam kelompok kerja
mempunyai pengaruh yang kuat pada harapan anggotanya (Cannon, 2006;
Stringer, 2002). Manajer mengontrol reward, menegakkan peraturan kerja dan
struktur, memberi penguatan pada standar penampilan, dan mengatur peraturan
informal di tempat kerja. Jadi cara paling cepat untuk merubah iklim organisasi
adalah merubah manajer atau cara manajer dalam mengatur (Stringer, 2002).

Universitas Sumatera Utara

2. Budaya organisasi: Determinan iklim yang kedua adalah budaya
organisasi (Cannon, 2006). Budaya dalam organisasi ini termasuk hasil karya,
pandangan, nilai, asumsi, simbol-simbol, bahasa, dan perilaku yang efektif.
Budaya organisasi meliputi pula kerangka kerja komunikasi, baik formal maupun
informal. Meliputi struktur status atau peran yang berhubungan dengan ciri-ciri
pekerja dan penerima pelayanan atau pasien (Swansburg, 2000).
3. Struktur, sistem, dan prosedur organisasi: Determinan iklim yang ketiga
pada umumnya pengat