INTERAKSI ANTARA BAKTERI DAN AUKSIN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tumbuhan

memiliki

berbagai

cara

untuk

meregulasi

pertumbuhan

dan

perkembangannya. Salah satu cara regulasi tumbuhan agar dapat terus tumbuh dan
berkembang adalah dengan mensintesis hormon auksin. Auksin merupakan hormon

terpenting pada tumbuhan karena berfungsi sebagai viabilitas bagi tumbuhan. Auksin
meregulasi berbagai perkembangan pada tumbuhan, yaitu pemanjangan sel, pembesaran sel,
diferensiasi sel, pembentukan bunga, dominansi apikal, dan respon cahaya (Woodward &
Bartel, 2005, dalam Ali, 2015).
Seperti yang telah kita kethaui bahwa bakteri dapat bersimbiosis dengan tumbuhan
(host), seperti fiksasi Nitrogen oleh bakteri Rhizobium sp. yang hidup di bintil akar kelompok
tanaman Leguminoceae. Selain itu, berbagai hasil penelitian mengemukakan bahwa auksin
disekresikan pula oleh bakteri sebagai metabolit sekunder (Ali, 2015). Oleh karena itu, para
peneliti menggunakan berbagai metode untuk membuktikan bahwa bakteri dapat
mensekresikan auksin pada tumbuhan dan bakteri apa saja yang berperan dalam produksi
auksin tersebut..
B. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah analisis jurnal ini diantaranya untuk mengetahui:
a. Interaksi antara bakteri dan hormon auksin pada tumbuhan.
b. Metode yang digunakan untuk mengisolasi bakteri agar dapat mensintesis auksin.
c. Berbagai macam bakteri yang mensekresikan hormon auksin.
d. Pengaruh interaksi bakteri-auksin pada pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan.

BAB II
BACTERIAL-AUXIN INTERACTION


1

Fitohormon merupakan molekul yang berperan sebagai pembawa pesan kimia untuk
mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (Ali, 2015). Fitohormon berupa
substansi organik yang disintesis pada berbagai organ pada tumbuhan akan ditranslokasikan
ke berbagai bagian tumbuhan dan akan memberikan berbagai macam respon fisiologis.
Fitohormon pada tumbuhan terdiri dari berbagai macam, diantaranya auksin, sitokinin,
gibberellin, asam absisat, etilen, dan brassinosteroid. Akan tetapi, pada ulasan kali ini hanya
akan membahas mengenai auksin.
Auksin dengan struktur molekul indole-3-acetic acid (IAA) merupakan hormon
dengan jumlah yang besar dan sangat berpengaruh terhadap viabilitas tumbuhan (Ali, 2015).
Auksin meregulasi berbagai perkembangan pada tumbuhan, yaitu pemanjangan sel,
pembesaran sel, diferensiasi sel, pembentukan bunga, dominansi apikal, dan respon cahaya.
Perkembangan pada tumbuhan tersebut tentu dapat mengubah bentuk morfologi dan fisiologi
tumbuhan. Bahkan, auksin dapat mempengaruhi proses kerja hormon lainnya, baik itu
pengaruh yang berbanding lurus maupun yang berbanding terbalik, seperti dominansi apikal
yang diregulasi oleh hormon sitokinin dengan pengaruh berbanding terbalik dari hormon
auksin.
A. Biosintesis Auksin oleh Bakteri

Produksi IAA oleh bakteri telah banyak dilaporkan dalam berbagai penelitian. Bahkan
dapat diasumsikan bahwa lebih dari 80% bakteri yang diisolasi dari rizosfer mampu
mensintesis IAA (Khalid et al., 2004, dalam Kafrawi et al., 2014). Hal tersebut juga
dikemukakan oleh Ali (2015) bahwa seperti halnya tumbuhan, auksin juga dapat disintesis
oleh bakteri. Auksin yang disintesis oleh bakteri merupakan salah satu metabolit sekunder
bakteri. Bakteri terlibat dalam perkembangan tumbuhan dengan menyeimbangkan distribusi
auksin pada tumbuhan. Hal ini juga merupakan salah satu hal yang menyebabkan
meningkatnya pertumbuhan dan berbagai macam hasil panen. Salah satu contoh bakteri yang
dapat mensintesis auksin adalah rizobakteri pada genus Azospirillium. Selain memfiksasi
Nitrogen, Azospirillium juga mensintesis auksin dengan meningkatkan pertumbuhan tanaman
(Bloemberg & Lugtenberg, 2001, dalam Ali, 2015). Dengan potensi yang dimiliki auksin,
para peneliti melakukan berbagai percobaan untuk melihat interaksi bakteri dengan auksin
terutama pada bidang pertanian guna menghasilkan produk hasil panen yang lebih baik.

2

Prekursor utama untuk biosintesis IAA adalah asam amino Triptofan atau L-Triptofan
(L-TRP) (Ali, 2015). Prekursor ini tidak hanya berfungsi pada bakteri rizosfer, namun juga
beberapa bagian lainnya pada tumbuhan. Penelitian lain dilakukan oleh Imtiaz dan Ali (2014)
dengan mengisolasi bakteri dari filosfer (bagian pada permukaan daun yang terdedah pada

atmosfer). Selain itu, Lins et al. (2014) melakukan isolasi pada bakteri endofit, yaitu bakteri
tanaman yang tidak membahayakan inangnya juga menghasilkan metobolit sekunder.
Walaupun berbagai penelitian mengemukakan bahwa biosintesis IAA dapat dilakukan melaui
bakteri, namun hanya beberapa bakteri yang dapat melakukannya.
B. Tujuan Penelitian
Ali (2015) dalam penelitiannya menggunakan Arabidopsis thaliana untuk lebih
memahami hubungan interaksi antara bakteri dengan pertumbuhan tumbuhan terutama
karena pengaruh auksin. Alasan digunakannya spesies Arabidopsis thaliana adalah karena A.
thaliana memiliki waktu hidup yang singkat dan memiliki latar belakang genetik yang baik
dan mudah untuk diteliti. Selain itu, disertakan pula beberapa mutan dari A. thaliana untuk
mengevaluasi Plant Growth Promotion Rhizobacteria (PGPR).
Pada penelitian tersebut, sinyal bakteri terhadap auksin dalam memediasi tumbuhan
untuk merepson pertumbuhannya diselidiki menggunakan A. thaliana tipe Columbia liar
(Col-0) dan mutan fitohormon aux1-7 (insensitif terhadap auksin dam etilen), axr4-1
(insensitif terhadap auksin) dan eir1-1 (insensitif terhadap etilen). Beberapa genus bakteri
seperti Bacillus, Pseudomonas, Micrococcus, Escherichia, dan Staphylococcus digunakan
untuk memproduksi auksin secara in vitro yang kemudian diinokulasikan pada A. thaliana.
Selain A. thaliana, pengaruh bakteri pada pertumbuhan dan hasil gandum juga diselidiki pada
kondisi yang berbeda pada tanaman Triticum aestivum. Dengan demikian, PGPR- A. thaliana
digunakan untuk membandingkan pengaruh sinyal auksin pada pertumbuhan dan hasil sereal.

Berikut merupakan alur penelitian pengaruh produksi auksin pada bakteri terhadap
pertumbuhan tanaman (Ali, 2015):

3

Gambar 1a. Alur Penelitian pada Arabidopsis thaliana (Ali, 2015)

Beberapa peneliti lain juga menggunakan PGPR
untuk mengetahui interkasi antara bakteri dan auksin
(Iqbal & Hasnain, 2014; Imtiaz & Ali, 2014; Reetha et
al., 2014). Hal yang diamati sebagai pengaruh interaksi
bakteri dan auksin pada PGPR biasanya adalah panjang
tunas, berat basah/kering tunas, panjang akar, berat
basah/kering akar, juga siliqua (buah yang berkembang
dari dua karpel, biasanya berbentuk polong).

Gambar 1b. Alur Penelitian pada Triticum
aestivum (Ali, 2015)

C. Metode Penelitian

1. Produksi Auksin Secara In vitro
4

Penelitian yang berhubungan dengan interaksi antara bakteri dan auksin dilakukan
secara in vitro termasuk penelitian yang dilakukan oleh Ali (2015). Inokulasi dilakukan
dengan beberapa bakteri dari genus yang telah disebutkan sebelumnya. Untuk A. thaliana,
bakteri yang diinokulasikan adalah Bacillus megaterium MiR-4, B. pumilus DaR-2, B.
circulans CaR-3, B. licheniformis BP-1, B. subtilis TpP-1, Pseudomonas sp. AvH-4, P.
aeruginosa As-17,

Micrococcus

sp. AvR-5,

Escherichia

hermannii

SnR-1,


dan

Staphylococcus saprophyticus SdR-1. Bakteri-bakteri tersebut (strains) diisolasi dari rizosfer
dan filosfer.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa biosintesis auksin diperlukan adanya prekursor
L-Triptofan. Berikut langkah-langkah produksi auksin secara in vitro:
- Bakteri akan ditumbuhkan pada medium L-broth yang diberikan suplemen L-TRP.
- Tabung prekursor L-TRP diinokulasikan dengan sel bakteri yang telah disuspensikan,
-

kemudian diinkubasi.
Setelah inkubasi, pada kultur tersebut sel dipisahkan dari fase stasioner dengan
sentrifugasi (supernatant). Pemisahan pada fase stasioner ini dilakukan karena fase ini
merupakan keadaan seimbang antara laju pertumbuhan dan kematian, sehingga jumlah
keseluruhan bakteri yang hidup akan tetap. Selain itu, pada fase ini bakteri biasnaya

-

menghasilkan metabolit sekunder, seperti yang diharapkan yaitu sintesis auksin.
Setelah diperoleh supernatant, kemudian dicampurkan dengan reagent Salkowski untuk

menentukan produksi auksin oleh bakteri. Warna pink pada kultur supernatant
menunjukkan adanya auksin, sedangkan kuning menandakan tidak ada auksin (Ali, 2015;

-

Reetha et al., 2014; Lins et al., 2014).
Selain itu, dilakukan pula metode kuantifikasi dengan colorimetric untuk melihat interval
perbedaan pertumbuhan bakteri.
Selain in vitro, Ali (2015) juga melakukan analisis Gas Chromatography and Time-

Of-Flight Mass Spectrometry (GC-TOFMS). Analisis ini dilakukan dengan menyaring
ekstrak kasar bakteri untuk mengetahui kehadiran bakteri-bakteri tersebut. Metode in vitro ini
dilakukan hampir oleh seluruh peneliti yang akan mengamati produksi auksin oleh bakteri.
Hal-hal yang berbeda terletak pada bakteri yang diinokulasi, perbedaan konsentrasi atau
banyaknya larutan yang akan digunakan, atau pada parameternya (Kafrawi et al., 2014; Iqbal
& Hasnain, 2013; Imtiaz & Ali, 2014; Reetha et al., 2014; Lins et al., 2014).
2. Interaksi Bakteri – Arabidopsis thaliana
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa spesies A. thaliana yang digunakan
terdiri dari tipe Columbia liar (Col-0) dan mutan fitohormon aux1-7 (insensitif terhadap
auksin dam etilen), axr4-1 (insensitif terhadap auksin) dan eir1-1 (insensitif terhadap etilen)

5

yang diambil dari Umeå Plant Science Center, Umeå, Sweden. Bagian yang digunakan dari
setiap tipe tersebut adalah biji, karena pada metode ini, hasil yang ingin diketahui adalah
PGPR. Berikut merupakan langkah-langkah untuk melihat interaksi antara bakteri dan A.
thaliana:
- Biji disterilkan terlebih dahulu menggunakan etanol.
- Biji yang telah steril diinokulasikan dalam medium basal Murashige dan Skoog dan
-

diberikan suplemen sukrosa serta agar.
Setelah itu, medium tersebut dinkubasi dalam gelap selama 48 jam untuk menumbuhkan

-

tunas.
Medium diinkubasi kembali dengan 12 jam fotoperiod atau pemberian cahaya.
Sekitar 1 minggu, tumbuh 5 semaian yang kemudian ditranplantasikan ke dalam masingmasing 3 pot yang mengandung campuran tanah yang sudah diautoklafkan dan

-


vermiculite (lapisan mineral silica yang telah mengalami pemanasan pada suhu tinggi).
Setelah itu semaian tersebut diinokulasikan dengan suspensi sel bakteri.
Untuk kontrol, tipe liat dan mutan diberi air distilasi yang sudah steril.
Setelah 3 hari ditransplantasikan, dilakukan thinning (penjarangan) denga melepaskan 3
jenis semaian pada setiap pot yang mulai tumbuh ke arah kematangan. Hal ini dilakukan
karena parameter yang akan diamati adalah panjang tunas, berat basah tunas, dan jumlah

-

siliqua.
Percobaan dilakukan di bawah kondisi yang benar-benar steril selama 6 minggu dengan 2
kali pengulangan.

3. Bakteri – Triticum aestivum
Biji Triticum aestivum diambil dari Punjab seed corporation, Lahore, Pakistan.
Berbeda dengan A. thaliana, untuk T.aestivum, bakteri yang diinokulasikan adalah Bacillus
pumilus DaR-2, B. circulans CaR-3, B. megaterium MiR-4, Pseudomonas sp. AvH-4, dan P.
aeruginosa As-17. Pada T. aetivum, percobaan dilakukan dalam kondisi yang berbeda dengan
A. thaliana dan juga terdapat dua bagian kondisi, yaitu axenic dan ambient. Kondisi axenic

merupakan kondisi dimana hanya terdapat satu galur bakteri dalam satu lingkungan (pot),
sedangkan ambient merupakan kondisi dimana diberikan perlakuan sesuai dengan kondisi
lingkungan (natural). Berikut merupakan langkah-langkah untuk melihat interaksi antara
bakteri dan T. aestivum:
- Untuk kondisi axenic, 8 biji disemaikan ke dalam masing-masing 3 pot yang berisi
-

campuran tanah yang bisa digunakan untuk bahan pembakar dan vermiculate.
Setelah mengalami perkecambahan, 5 semaian dilepaskan dari pot (thinning).
Setelah 2 minggu dilakukan pengukuran parameter yaitu persen perkecambahan biji,
panjang tunas, dan berat basah tanaman. Percobaan dilakukan dengan 2 kali pengulangan.

6

-

Untuk kondisi ambient, biji disemaikan pada pot yang lebih besar dan berisi tanah yang
berasal dari kebun liar (tanpa pupuk). Tanah tersebut mengandung pH netral dan beberapa

-

mineral organik.
15 biji disemaikan masing-masing ke dalam 6 pot, kemudian dilepaskan 10 kecambah

-

pada setiap pot (thinning).
Parameter yang dikukur adalah panjang tunas, jumlah tiller, panjang spike, dan berat biji.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan ANOVA pada SPSS 16. Perbedaan

rata-rata perlakuan dibandingan menggunakan Duncan’s multiple range test (P=0,05).
Keofisien korelasi antara produksi auksin secara in vitro dan kepadatan sel bakteri pada kurva
pertumbuhan juga turut diperhitungkan.
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Beberapa metode penelitian telah dikemukakan sebelumnya. Berdasarkan kuantifikasi
colorimetric pada Figure 1, pada umumnya, produksi maksimum auksin terjadi pada fase
stasioner (Ali, 2015). Hal tersebut mengindikasikan bahwa produksi auksin bergantung pada
kepadatan sel bakteri (korelasi positif). Pada fase lag, tentu belum terlihat perubahan apapun,
karena mesin biokimia sel bakteri berada dalam proses peningkatan pertumbuhan. Pada fase
log, terajadi peningkatan yang tinggi yang berarti terjadi akumulasi IAA dalam waktu
beberapa jam bergantung pada bakteri yang melakukannya. Bakteri yang menghasilkan
konsentrasi auksin tertinggi adalah Pseudomonas aeruginosa As-17, yaitu 106 µg mL-1
dengan periode waktu pertumbuhan 80 jam. Selain itu, Bacillus megaterium MiR-4 juga
menghasilkan konsentrasi auksin yang tinggi yaitu 92 µg mL-1 dengan periode waktu
pertumbuhan 64 jam. Konsentrasi auksin terendah dihasilkan oleh Bacillus pumilus DaR-2,
yaitu 25 µg mL-1 dengan periode waktu pertumbuhan 64 jam. Hasil penelitian Reetha et al.,
(2014) juga menunjukkan hal yang sama bahwa Pseudomonas memproduksi auksin dengan
konsentrasi yang lebih tinggi daripada Bacillus.
Berdasarkan analisis GC-TOFMS, pada Figure 2 terdapat perbedaan tipe metabolit
sekunder yang dihasilkan oleh berbagai bakteri tersebut dari kultur supernatant (Ali, 2015).
Puncak IAA terdeteksi pada waktu penyimpanan 345,8 detik. Konsentrasi IAA yang
dihasilkan cukup tertinggi dibandingkan dengan metabolit sekunder lainnya, karena hampir
menyamai puncak tertinggi (anthranilic acid). Hasil penelitian Iqbal dan Hasnain (2013) juga
menunjukkan hal yang sama, bahwa produksi metabolit sekunder dari Pseudomonas adalah
auksin.
Hasil penelitian selanjutnya merupakah hasil dari PGPR pada Arabidopsis thaliana
dan Triticum aestivum. Pengaruh rizobakteri terhadap panjang tunas A. thaliana khususnya
pada pada Col-0 menunjukkan peningkatan yang signifikan pada seluruh bakteri, melebihi
7

kontrol (Tabel 1, dalam Ali, 2015). Pada mutan tipe aux1-7, terjadi pertumbuhan yang kurang
baik, walaupun pada Bacillus subtilis TpP-1 dan Pseudomonas aeruginosa As-17 terjadi
sedikit peningkatan. Hal tersebut karena pertumbuhan tanaman memang memerlukan sinyal
auksin dan etilen. Peningkatan pada kedua spesies tersebut terjadi karena spesies tersebut
memiliki kemampuan untuk merespon kehadiran L-TRP walaupun insensitif auksin-etilen.
Begitupun halnya pada mutan axr4-1 (Pseudomonas sp. AvH-4, Micrococcus sp. AvR-5, dan
Staphylococcus saprophyticus CdR-1) dan eir1-1 (B. subtillus TpP-1, Pseudomonas sp. AvH4, P. aeruginosa As-17, Escherichia hermannii SnR-1, S. saprophyticus CdR-1).
Hasil berat basah akar menunjukkan perbedaan signifikan pada Col-0 dan aux1-7
dibandingkan dengan kontrol, namun tidak pada axr4-1 (Tabel 2, dalam Ali, 2015). Pada
eir1-1 terjadi perbedaan yang beragam, yaitu meningkat pada B. subtillus TpP-1,
Pseudomonas sp. AvH-4, P. aeruginosa As-17, dan Escherichia hermannii SnR-1. Begitupun
halnya pada pengaruh rizobakteri terhadap jumlah siliqua A. thaliana (Tabel 3, dalam Ali,
2015). Jumlah siliqua menunjukkan perbedaan signifikan seluruh bakteri pada Col-0 dan
aux1-7 dibandingkan dengan kontrol. Akan tetapi, pada aux1-7, hanya B. subtillus TpP-1
yang berbeda signifikan dan hanya terjadi sedikit perbedaan pada axr4-1 yaitu pada bakteri S.
saprophyticus CdR-1. Pada eir1-1 terjadi perbedaan cukup signifikan dibandingkan dengan
kontrol yaitu pada B. subtillus TpP-1, Pseudomonas sp. AvH-4, P. aeruginosa As-17, dan
Escherichia hermannii SnR-1.
Hasil penelitian pengaruh rizobakteri pada Triticum aestivum menunjukkan
peningkatan lebih tinggi pada perkecambahan biji pada kondisi ambient daripada axenic. Hal
tersebut terjadi karena tanah yang digunakan pada kondisi ambient adalah tanah liar yang
sesuai dengan lingkungannya dan tidak diberikan perlakuan apapun serta memiliki
kandungan organik, sedangkan pada axenic, tanahnya merupakan tanah yang bisa digunakan
sebagai pembakar (panas), sehingga kurang baik bagi bakteri untuk mensintesis auksin.
Begitupun halnya pada pengaruh produksi auksin oleh bakteri terhadap panjang tunas dan
berat basah akar. Inokulasi bakteri membantu pembentukan auksin walaupun dalam keadaan
axenic daripada kontrol.
Pengaruh rizobakteri terhadap pertumbuhan dan hasil T. aestivum juga menunjukkan
hasil yang berbeda signifikan pada panjang tunas, jumlah tillers, panjang spike, dan berat dari
100 biji dibandingkan dengan kontrol (kondisi ambient). Akan tetapi, terdapat satu spesies
yang tidak berbeda signifikan dibandingkan kontrol, yaitu B. circulans. Secara keseluruhan
Pseudomonas sp. AvH-4 merupakan baketri yang paling efektif meningkatkan panjang tunas
(29%), jumlah tillers (74%), dan berat biji (26%).

8

Pada beberapa penelitian, hasil sama juga terjadi, dimana terjadi perbedaan
konsentrasi baik lebih rendah atau lebih tinggi dari kontrol. Hal tersebut terjadi karena
rizobakteri mungkin memiliki karakter dan perilaku yang berbeda (Lins et al., 2014). Selain
itu, efisiensi PGPR bergantung pada diversifikasi kondisi lingkungan (Iqbal & Hasnain,
2013). Kondisi lingkungan yang liar (tanpa perlakuan) memiliki diversifikasi yang lebih
tinggi. Akan tetapi terkadang kondisi natural belum tentu sesuai bagi bakteri untuk
mendukung pertumbuhan tanaman dengan memproduksi auksin, karena terdapat beberapa
faktor lingkungan yang kurang sesuai bagi aktivitas bakteri tersebut.
E. Kesimpulan
Kesimpulan penelitian ini adalah respon pertumbuhan tipe liar (Col-0) yang
dibandingkan dengan tipe mutan (aux1-7, axr4-1, eir1-1) dari tanaman Arabidopsis thaliana
diindikasikan dengan lebih dari satu jalur tansduksi, dalam hal ini adalah auksin dan etilen
yang juga dipromotori oleh inokulasi bakteri. Begitupun halnya dengan Triticum aestivum.
Produksi auksin oleh bakteri yang diinokulasi pada T. aestivum meningkat signifikan pada
parameter vegetatif dan hasil. Dengan demikian, stimulasi pertumbuhan yang cenderung
selalu tinggi oleh Bacillus subtilis TpP-1, Pseudomonas sp. AvH-4, dan P. aeruginoasa As-17
dihubungkan dengan sinyal auksin bakteri. Hasil penelitian ini juga menyimpulkan bahwa
interaksi PGPR-Arabidospsis merupakan model yang baik untuk memahami pengaruh
rizobakteri dalam pertumbuhan agronomi tanaman sereal.
F. Kekurangan dan kelebihan
Penelitian ini memiliki beberapa kekurangan, yaitu:
- Tidak menjelaskan kontrol pada perlakuan tanaman Triticum aestivum.
- Kurva pertumbuhan bakteri dan produksi auksin kurang lengkap (Figure 1), sedangkan
data yang lainnya lengkap. Kesepuluh kurva bakteri masih bisa disertakan dengan ukuran
-

gambar yang lebih kecil.
Gambar hasil colorimtric tidak dicantumkan serta tidak dijelaskan indikasi positif atau

-

negatif untuk colorimetric tersebut.
Pembahasan kurang mendalam, sebab akibatnya kurang dimunculkan.
Penelitian ini juga memiliki beberapa kelebihan, yaitu:

-

Penelitian ini merupakan penelitian yang kompleks, menyertakan perbandingan dua

-

percobaan dengan cukup banyak parameter yang diukur.
Penyertaan mutan dapat lebih menunjukkan pengaruh perbedaan produksi auksin oleh

-

bakteri. Demikian halnya dengan kondisi axenic dan ambient.
Penyajian data sangat jelas walaupun ada beberapa data yang tidak disertakan.
9

DAFTAR PUSTAKA
Jurnal utama:
Ali, B. (2015). Bacterial Auxin Signalling: Comparative Study of Growth Induction in
Arabidopsis thaliana and Triticum aestivum. Turkish Journal of Botany. [Online], 39, 19. Tersedia: http://journals.tubitak.gov.tr/botany/ [20 Maret 2015]
Jurnal pendukung:
Imtiaz, A. & Ali, B. (2014). Auxin Production by Phyllospheric Bacteria and Their Growth
Promoting Effects on Cicer arietinum L. Global Journal of Scientific Research. [Online],
2, (1), 1-6. Tersedia: gjsr.blue-ap.org [20 Maret 2015]
Iqbal, A. & Hasnain, S. (2013). Auxin Producing Pseudomonas Strains: Biological
Candidates to Modulate the Growth of Triticum aestivum Benefically. American Journal
of
Plants
Sciences.
[Online],
4,
1693-1700.
Tersedia:
http://dx.doi.org/10.4236/ajps.2013.49206 [20 Maret 2015]
Kafrawi, et al. (2014). Screening of Free-Living Indole Acetic Acid Producing Rhizobacteria
from Shallot Rhizophere in The Island of Sulawesi. International Journal of Scientific
Research. [Online], 3, (2), 118-121. Tersedia: www.ijstr.org [20 Maret 2015]

10

Lins, M.R.d.C.B., et al. (2014). Plant Growth Promoting Potential of Endophytic Bacteria
Isolated from Cashew Leaves. African Journal of Biotechnology. [Online], 13, (33),
3360-3365. Tersedia: http://www.academicjournals.org/AJB [20 Maret 2015]
Reetha, et al. (2014). Isolation of Indole Acetic Acid (IAA) Producing Rhizobacteria of
Pseudomonas fluoresens and Bacillus subtilis and Enhance Growth of Union (Allium
cepa.L). International Journal of Current Microbiology and Applied Sciences. [Online],
3, (2), 568-574. Tersedia: http://www.ijcmas.com [20 Maret 2015]

11