ISLAM DAN DEMOKRASI Telaah atas Pemikira
ISLAM DAN DEMOKRASI
Telaah atas Pemikiran Khaled Abou el-Fadl
Ansori
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.
Abstrak
The article discusses the thought of a prominent muslim scholar, Khaled M.
Abou el-Fadl, on democracy. Some important issues are discussed through
the article. Among others are the question whether democracy is compatible
with Islam and the issue on khila>fah. It argues that el-Fadl is against the
khila>fah as the contemporary political system and argues that democracy is
in agreement with Islam.
Artikel ini menjelaskan pemikiran Khaled M. Abou el-Fadl mengenai
demokrasi. Beberapa isu dijelaskan di antaranya apakah demokrasi
sesuai dengan Islam, apakah khilafah adalah sistem yang benar. Artikel
ini menemukan bahwa pemikiran Abour El-Fadl menentang asumsi
ketidaksesuaian Islam dan demokrasi dan menilai khilafah adalah system
yang tidak tepart untuk diterapkan.
Kata Kunci: demokrasi, kekaisaran, puritan, khilafah
A. Pengantar
Diskursus demokrasi di dunia Islam hampir saja mencapai
kebuntuan. Alasannya, karena demokrasi dianggap sebagai barang
langka, impor, tidak sesuai dengan ajaran Islam dan bahkan sesuatu yang
dipaksakan. Penolakan atas demokrasi dalam dunia Islam, pada umumnya
dilatari cara pandang atas demokrasi sebagai tradisi di luar Islam (the
Ansori: Islam dan Demokrasi
other).1 Perlawanan atas demokrasi yang makin menguat juga kadang
disetarakan dengan perlawanan atas yang lain. Oleh karena itu, salah
satu tugas berat yang harus dilakukan para cendikiawan muslim adalah
mencoba menetralisir cara pandang tersebut sembari merekonstruksi
wacana demokrasi yang bersumber dari tradisi dan khazanah Islam.
Khalid Abou el-Fadhl adalah salah seorang pemikir muslim yang
mampu melakukan tugas berat tersebut. Dengan melakukan penelusuran
atas teks suci dan doktrin-doktrin klasik dalam kaitannya dengan nilainilai fundamental demokrasi, ia mampu melakukan pembongkaran
sekaligus pemaknaan kontemporer untuk relevansi Islam dan demokrasi.
Bagaimana pembongakaran dan pemaknaan kontemporer Abou el-Fadhl
tentang relevansi Islam dan demokrasi tersebut? Inilah permasalahan
mendasar yang menjadi objek bahasan makalah ini.
B. Biograi dan Cultural Background Khalid Abou el-Fadhl
Nama lengkapnya adalah Khaled Medhiat Abou el-Fadhl. Ia
dilahirkan di Kuwait pada tahun 1963 dari sebuah keluarga muslim
berdarah Mesir. Perjalanan akademiknya dimulai di Kuwait dengan
menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di sana. Selain pendidikan
formal, ia juga aktif mengikuti kelas-kelas (halaqah) al-Qur’an dan ilmu
Syariat pada setiap liburan musim panas di masjid al-Azhar Mesir. Rasa
cinta Khalid Abou el-Fadhl kepada al-Qur’an mendorong dia untuk
menghafalkannya, dan pada usia yang ke-12 tahun Khalid Abou el-Fadhl
telah hafal al-Qur’an.
Pada tahun 1989 Khalid Abou el-Fadhl menamatkan studi
magisternya dalam bidang hukum di Universitas Pennsylvania, Amerika
Serikat. Di tahun yang sama ia memperoleh penghargaan sebagai peserta
terbaik dalam Jessup Moot Court Competition. Prestasi ini membawanya
diterima bekerja pada Pengadilan Tinggi (Supreme Court Justice) wilayah
1
Dalam konteks ini, biasanya sistem pemerintahan yang ditawarkan adalah
khilafah, karena ia dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai dasar normatif dalam
Islam. Khilafah secara bahasa berasal dari khalafa-yakhlifu, khilafatan yang berarti
pengganti/wakil. Term ini diambil dari irman Allah SWT QS. Al-Baqarah: 30 dan
juga QS. Al-A’raf: 142. Mengenai khilafah ini, para ulama memberikan legitimasi atas
kekhalifahan Abu Bakar al-Shiddiq hingga para khalifah Turki Usmani yang runtuh di
awal abad 20. Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan Fikih Demokratik Kaum Santri (Jakarta:
Pustaka Ciganjur, 1999), hlm.63.
182 ж Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011
Ansori: Islam dan Demokrasi
Arizona, spesiikasi kerja sebagai pengacara bidang hukum dagang dan
imigrasi. Dari Pengadilan Tinggi ini, Khalid Abou el-Fadhl kemudian
mendapatkan pengakuan sebagai warga negara Amerika Serikat.
Kegiatannya sebagai pengacara dibarengi dengan mengajar di
Universitas Texas di Austin USA. Di samping itu, ia juga tidak melewatkan
kesempatan untuk melanjutkan studi program doktor di Universitas
Princeton. Di sela-sela kesibukannya dalam bekerja, mengajar, dan kuliah,
ia juga aktif menulis berbagai artikel dan buku tentang kajian Islam. Pada
tahun 1999 Khalid Abou el-Fadhl berhasil mendapatkan gelar Ph.D.
dalam bidang hukum dengan hasil sangat memuaskan. Disertasinya,
berjudul Rebellion and Violence in Islamic Law, dinobatkan sebagai ajaran
moralnya.Sejumlah karya akademik telah dihasilkannya, di antaranya
adalah Islam In Challenge of Democracy: The Place of Tolerance in Islam, Speaking
in God’s Name, Islamic Law, Authority and Women, God Knows The Soldiers,
Conference of Books, dan lain-lain.
C. Sejarah Demokrasi
Sebelum berbicara lebih lanjut tentang demokrasi dalam kaca
mata Khaled Abou el-Fadhl, maka terlebih dahulu akan dipaparkan
pembahasan tentang deinisi dan sejarah munculnya demokrasi.
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘demos’ artinya ‘people’
(rakyat) dan ‘cratos’ yang artinya ‘role or authority’ (kekuasaan). Dengan
demikian, demokrasi artinya role of authority by people, yaitu sebuah sistem di
mana kedaulatan/kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat dan dijalankan
secara langsung maupun melalui perwakilan di bawah sistem pemilihan
yang bebas, atau sederhananya sebagaimana yang dikemukakan Abraham
Lincolin, demokrasi adalah government of the people, by the people, and for people
(pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.2
Pemerintahan dari rakyat (government of the people) adalah suatu
pemerintahan yang berkuasa mendapat pengakuan dan dukungan dari
rakyat (legitimate government). Pemerintahan oleh rakyat (government by people)
adalah pemerintahan yang menjalankan kekuasaan atas nama rakyat dan
pengawasannya dijalankan oleh rakyat bukan oleh siapa-siapa atau lembaga
2
Bachtiar Efendi, “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang
Memungkinkan”, dalam M. nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (ed.), Agama dan Dialog
antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 86.
Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011 ж 183
Ansori: Islam dan Demokrasi
pengawasan yang ditunjuk oleh pemerintah. Sedangkan, pemerintahan
untuk rakyat (government for the people) adalah suatu pemerintahan yang
mendapat mandate kekuasaan yang diberikan oleh rakyat dipergunakan
untuk menjalankan aspirasi rakyatnya.3
Sebagaimana diketahui, sistem pemerintahan demokrasi yang
sekarang berkembang bukanlah hasil pengalaman manusia yang sekali jadi.
Ia merupakan produk perkembangan sosio-kultur dengan rentang waktu
yang cukup panjang. Paling tidak, terbentuk dari empat sumber gagasan
dan praktik, yaitu; tradisi Yunani kuno, tradisi republikan dari Romawi
kuno dan berkembang dalam negara kota Italia pada abad pertengahan
dan renaissance, paham pemerintahan perwakilan dan ide persamaan
(baca: ide memililh dan mengembangkan diri) dalam bentuk walfare state.4
Demokratia Yunani kuno merupakan praktik demokrasi pertama di
dunia yang awalnya sebagai respon terhadap pengalaman buruk monarkhi
dan kediktatoran di negara kota Yunani kuno, di mana praktik demokrasi
pada waktu itu sebagai sistem seluruh warga negara membentuk lembaga
legislatif. Ia dimulai setelah reformasi sistem pemerintahan di negara
kota (city state) Athena oleh Kleisthenes pada tahun 508 SM.5 Kleisthenes
memperoleh kekuasaan setelah pada tahun 510 SM, Hipias seorang
tiran yang lalim, digulingkan oleh sekelompok bangsawan atas bantuan
Sparta, yang kemudian setelah itu terjadi konlik antar faksi. Sebagai
seorang aristocrat yang cerdas, Kleisthenes dengan bantuan rakyatnya
menggulingkan rival-rivalnya. Segera setelah berkuasa, ia meletakkan
dasar-dasar yang kokoh bagi demokrasi Athena. Satu hal pokok dalam
hal ini adalah dibentuknya Majelis Lima Ratus yang keanggotaannya
terbuka bagi warga negara laki-laki di atas tiga puluh tahun dan jumlah
yang dibutuhkan dipilih dengan undian.
A. Ubaidillah Razak dkk., Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, dan
Masyarakat Madani (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hlm. 163-165.
4
Robert A. Dahl, Demokrasi dan Pengkritiknya, terj. A. Rahman Zainuddin
(Jakarta: Paramadina, 1992), hlm. 3-39.
5
Athena adalah kota yang mampu merealisasikan demokrasi secara langsung
dalam sebuah majelis dan di dalamnya hanya terdiri dari 5000 sampai 6000 orang yang
memungkinkan dalam jumlah tersebut berkumpul dalam satu ruangan. Namun, bentuk
demokrasi langsung tidak lagi banyak dianut oleh negara-negara maju dikarenakan
jumlah penduduk yang lebih banyak dan lebih nyaman menggunakan perwakilan dalam
mengurusi suatu tatanan kenegaraan. Lihat The Word of Encyclopedia, juz V (Chicago:
Word Book, Inc, 1993), hlm. 106.
3
184 ж Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011
Ansori: Islam dan Demokrasi
Demokrasi Athena ini, kemudian berkembang dan disempurnakan
pada masa Paricies (461-429 SM). Pada periode ini, Majelis mulai
menetapkan undang-undang dan yang terpenting adalah dibentuknya
Dewan Sepuluh Jenderal (Startegol) yang berfungsi semacam kabinet
dalam demokrasi perlementer sekarang. Kekuasaan Startegol ini diawasi
oleh Majelis, di mana kebijakannya dinilai majelis, anggotanya dapat direcall dan dapat dituntut setiap saat.
Sebagaimana keterangan di atas, demokrasi, Di samping dibentuk
oleh pengalaman demokrasi di Yunani klasik, gagasan dan lembaga
demokrasi juga dibentuk oleh tradisi republikanisme, perwakilan, dan ide
persamaan pengembangan diri dalam bentuk welfare state. Adapun yang
dimaksud dengan tradisi republikanisme adalah sejumlah pemikiran yang
berasal dari gagasan dan praktik demokrasi Yunani kuno, tetapi lebih dari
para pengkritiknya (salah seorang yang paling terkenal adalah Aristoteles),
dari gagasan dan praktik politik Roma dan Vinisia (satu-satunya republik
Roma yang bertahan hingga 1797), dan bahkan sampai Sparta.
Sedangkan demokrasi dalam bentuk perwakilan adalah bentuk
pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik
diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh
mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses
pemilihan yang bebas. Dengan demikian, dalam demokrasi perwakilan,
rakyat tidak lagi memerintah dirinya secara langsung, seperti negara kota
Athena, tetapi memilih pemimpinnya yang akan mengontrol jalannya
pemerintahan.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa demokrasi
lahir seiring dengan perjalanan hidup manusia di muka bumi ini. Ia telah
menjelma sebagai isu dan persoalan penting dalam berbagai kehidupan
negara-negara di dunia, termasuk negara-negara Islam. Fenomena
ini terlihat paling tidak dalam dasa warsa terakhir abad kedua puluh.
Bersamaan dengan lahirnya gerakan keagamaan, ia terkadang seiring
dengan pembentukan politik yang lebih demokratis, namun di wilayah
lain menimbulkan kenyataan yang paradoks.6
6
John L. Esposito, “Islam and Democracy: in Search of Viable Synthesis”,
dalam Studia Islamika, Vol. 2, No. 4, 19995, hlm. 86.
Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011 ж 185
Ansori: Islam dan Demokrasi
D. Demokrasi, Mengapa Harus Ditolak ?
1. Perbedaan antara Syariat dan Fikih
Menurut Khaled Abou el-Fadhl, syariat mempunyai makna yang
komprehensif; teosentrik sekaligus antroposentrik. Syariat adalah jalan
Tuhan yang ditafsirkan oleh manusia dalam berbagai ragam aliran
pemikiran. Kendati demikian, hemat Khaled, perlu adanya pemisahan
yang tegas antara syariat dan ikih. Syariat adalah nilai-nilai ideal,
sedangkan ikih adalah upaya manusia dalam memahami yang ideal.7
Berdasarkan pamisahan di atas, Khaled ingin mengatakan bahwa
seluruh yang dipersepsikan umat Islam tentang Syariat, termasuk di
dalamnya wilayah politik (sistem pemerintahan) sesungguhnya adalah ikih
(ikih siyasi). Konsekusensi dari hal ini, wacana sistem politik sebagai bagian
dari ikih, ia bersifat dinamis dan plural. Dengan demikian, mengacu pada
fakta sejarah di mana ada sistem politik natural, monarkhi, dan khilafah
yang berbasis syariat, semuanya adalah fakta objektif perihal keberadaan
iqih politik yang dinamis dan plural tersebut.
Lebih jauh, adanya pemisahan antara Syariat dan ikih seperti di
atas, juga dimaksudkan Khaled Abou el-Fadhl sebagai counter terhadap
pemikiran sebagaian umat Islam yang menempatkan ikih sebagai
sesuatu yang baku dan inal. Fikih diperlakukan sebagai kehendak mutlak
Tuhan,8 padahal ikih merupakan releksi sejarah dalam memahami pesan
ketuhanan, ia bersifat situasional dan bergantung kepada konteks sosial
yang melatarinya.
2. Syariat dan Demokrasi
Pada umumnya, para pakar dan penggiat politik Islam seringkali
memahami bahwa Syariat adalah sebuah sistem yang sempurna.
7
Zuhairi Misrawi, “Demokrasi dan Kedaulatan Tuhan Khaled Abou el-Fadhl
dan Yusuf al-Qaradhawi”, dalam jurnal Perspektif Progresif, Edisi Perdana, Juli-Agustus
2005, hlm. 21.
8
Bagi Abou el-Fadhl, terjadinya fenomena di atas adalah akibat dari kesalahan
procedural metodologis terkait dengan relasi antara ketiga unsur, yaitu kompetensi
(pengarang), penetapan makna (teks), dan perwakilan (pembaca). Seorang pembaca,
misalnya, yang mengunci teks dalam sebuah makna tertentu, maka ia telah merusak
integritas pengarang dan teks. Khaled M. Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih
Otoriter ke Fiqih Otoritatif, terj. Cecep Lukman yasin (Jakarta: Serambi, 2004), hlm.89.
186 ж Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011
Ansori: Islam dan Demokrasi
Pemahaman akan kesempurnaan Syariat sebagai sistem hukum inilah
yang kemudian kaitannya dengan masalah politik dipakai untuk melawan
demokrasi. Syariat adalah hukum Tuhan, sedangkan demokrasi adalah
hukum oleh dan untuk manusia.9 Oleh karena itu, dalam sejumlah riset,
bila dilontarkan opsi untuk memilih diantara keduanya, maka sebagian
besar masyarakat muslim akan memilih Syariat, karena ia bersumber dari
Tuhan yang kebenarannya tidak diragukan lagi.
Pemahaman akan supremasi Syari’ah daripada lainnya, barangkali
tidaklah salah, hanya permasalahannya; apakah yang dimaksud dengan
Syariat itu dan relevankah ia dilawankan dengan demokrasi?
Pertanyaan ontologis seperti di atas jelas layak diajukan agar umat
Islam tidak melakukan kesewenang-wenangan dalam memakni Syariat. Hal
ini, karena dari pelbagai pengalaman negara-negara yang memberlakukan
Syariat, seperti; Saudi Arabia, Taliban, Nigeria, Maroko, dan belakangan
beberapa propinsi di Indonesia, tidak begitu jelas menafsirkan Syariat
dalam konteks sosial-politik. Pemaknaan Syariat seperti itu tidak terlepas
dari Wahabisme10 yang dikopi oleh hampir sebagian besar dunia Islam
sebagai cetak biru politik. Oleh karena itu, upaya penggalian makna
progresif Syariat dalam konteks sistem politik modern sangatlah penting.
Berbeda dengan pemaknaan Syariat di atas, Khaled mempunyai
pemaknaan tersendiri. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, Syariat
menurut Khaled adalah mengacu pada nilai-nilai yang ideal. Dengan
pemaknaan ini, bagi Khaled Syariat pada dasarnya telah memfasilitasi
untuk bisa lahirnya ikih kontekstual, khususnya tentang tata pemerintahan
9
Gagasan bahwa Tuhan merupakan pembentuk hokum dalam sebuah
negara Islam, sementara agen manusia merupakan sumber hokum dalam sebuah sistem
demokrasi, merupakan pendapat Maulana Maududi. Ia berargumen bahwa dalam sebuah
negara Islam, Tuhan merupakan pemegang kedaulatan satu-satunya, sementara dalam
sebuah sistem demokrasi kehendak dan keinginan kelompok mayoritas memegang
kendali. Khaled Abou el-Fadhl, Islam dan Tantangan Demokrasi, terj. Gifta Ayu Rahmani
dan Ruslani (Jakarta: Ufuk Press, 2004), hlm. 67.
10
Dasar-dasar ideologi Wahabi oleh seorang fanatic abad ke-18 yaitu
Muhammad ibn Abd al-Wahhab (w. 1206 H/1792 M). Gagasan utama Abd al-Wahhab
adalah umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyimpang dari ajaran Islam
yang lurus, dan hanya dengan kembali ke satu-satunya agama yang benar mereka akan
diterima dan mendapat ridha Allah SWT. Khaled Abou el-Fadhl, Selamatkan Islam dari
Muslim Puritan, terj. Helmi Mustafa (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 61.
Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011 ж 187
Ansori: Islam dan Demokrasi
yang lebih memberikan perhatian pada kepentingan publik.11 Dimensi
Syariat yang terbuka dan membebaskan sesungguhnya modal besar untuk
merancangbangun perubahan-perubahan yang mendasar bagi tercapainya
keadilan dan kasih sayang di dalam sebuah sistem/tata pemerintahan
yang modern. Dengan demikian, selama reinterpretasi dan revitalisasi
atas Syariat selalu dilakukan, maka harapan untuk tata pemerintahan
yang demokratis bukanlah hal yang mustahil bagi dunia Islam. Dari sini,
jelas tidak relevan lagi mempertentangkan antara Syariat dan demokrasi.
3. Demokrasi dan Kedaulatan Tuhan
Jika Syariat diyakini tidak perlu dipertentangkan dengan demokrasi,
lalu bagaimana dengan konsep kedaulatan Tuhan (al-H{akimiyyah) yang
telah mempunyai akar kuat dalam tradisi politik Islam.12
Pertanyaan ini, tentu saja membutuhkan penalaran tersendiri untuk
membongkar benang kusut sejumlah poin penting dalam diskursus
politik Islam. Konsep kedaulatan Tuhan adalah konsep yang sejak
mula kemunculannya problematis. Letak problematikanya dalam dua
hal; pertama, kedaulatan Tuhan untuk apa dan siapa? Kedua, mengapa
kedaulatan Tuhan dalam banyak hal sering selalu terkait dengan cara-cara
kekerasan, seperti pembunuhan? Bukankah Tuhan melarang kekerasan
dan tindakan kursif dalam agama?
Melihat fenomena di atas, Kholed menyatakan bahwa kedaulatan
Tuhan sebagai sesuatu yang taken for granted dalam Islam. Kedaulatan
Tuhan merupakan salah satu rukun iman yang paling penting di antara
lainnya. Sebagai agama monoteis, kedaulatan Tuhan menjadi sesuatu yang
amat penting, tetapi persoalannya, bagaimana klaim kedaulatan Tuhan
dalam ranah politik?13
Dalam hal ini, Khaled sangat keberatan dengan upaya membawa
11
Zuhairi Misrawi, “Demokrasi…”, hlm.22.
Persoalan tentang kekuasaan politik Tuhan (hakimiyatullah), pada awal
sejarah Islam mulai dimunculkn oleh kelompok yang terkenal dengan sebutan
Haruriyyah, ketika mereka memberontak terhadap khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib.
Kelompok ini kemudian dikenal dengan Khawarij. Dikatakan khawarij (orang-orang yang
keluar), karena sebelumnya mereka adalah orang-orang yang mendukkung Ali bin Abi
Thalib, namun kemudian mereka keluar dan berbalik menyerang Ali, ketika Ali setuju
dengan proses arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan politik dengan kelompok
Muawiyyah. Khaled Abou el-Fadhl, Islam, hlm. 14-15.
13
Zuhairi Misrawi, “Demokrasi”, hlm. 22.
12
188 ж Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011
Ansori: Islam dan Demokrasi
iman atau kedaulatan Tuhan ke dalam ranah politik. Sesungguhnya, hemat
Khaled, Ali bin Abi Thalib adalah sosok yang pertama kali keberatan
dengan klaim kedaulatan Tuhan dalam ranah politik, karena amat mungkin
disalahartikan dan disalahgunakan. Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib
dengan cepat menanggapi kalangan Khawarij, bahwa klaim kedaulatan
Tuhan bisa bergeser fungsinya menjadi “Kalimatu haqqin yuradu biha albathil”14 (kalimat yang benar tetapi digunakan untuk tujuan-tujuan yang
batil), baik kepentingan politik maupun kepentingan kekerasan.
Khaled berkeyakinan bahwa munculnya kelompok konservatif dan
fundamentalis untuk menggunakan kedaulatan Tuhan dalam kampanye
politik sesungguhnya telah mengulangi kesalahan fatal kalangan Khawarij.
Kedaulatan Tuhan yang semula menjadi slogan iman, lalu dimetamorfosa
menjadi slogan politik.
Sekali lagi, bagi Khaled, sejak awal konsep kedaulatan Tuhan
adalah konsep yang problematis, walaupun memberikan kesempatan
kepada manusia untuk memimpin. Sebab, konsep kedaulatan Tuhan
tidak sesuai dengan teologi Islam. Tidak ada seorang pun yang berhak
mengatasnamakan dirinya sebagai satu-satunya wakil Tuhan yang dapat
memahami kehendak Tuhan, sehingga barang siapa menganggap dirinya
sebagai satu-satunya wakil Tuhan yang dapat memahami kehendak Tuhan,
maka sesungguhnya ia telah berlaku otoriter.15
Dengan kata lain, klaim kedaulatan Tuhan mempunyai potensi
yang sangat besar untuk melahirkan otoritarianisme yang akhirnya akan
menghalalkan segala cara. Bila ini yang terjadi, maka tesis yang muncul
adalah ‘kedaulatan Tuhan’ versus ‘klaim kedaulatan Tuhan’. Tuhan yang
mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan keindahan akan dijabarkan oleh
14
Ibid.
Adapun mekanisme terjadinya tindakan (penafsiran) yang otoriter, menurut
Khaled Abou el-Fadh adalah: “Ketika seorang pembaca bergelut dengan teks dan
mebarik sebuah hukum dari teks, resiko yang dihadapinya adalah bahwa pembaca
menyatu dengan teks, atau penetapan pembaca akan menjadi perwujudan eksklusif
teks tersebut. Akibatnya, teks dan konstruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa.
Dalam proses ini, teks itu tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi
pengganti teks. Jika seorang pembaca memilih car abaca tertentu atas teks dan mengklaim
bahwa tidak ada lagi pembacaan lain, teks tersebut larut ke dalam karakter pembaca.
Jika pembaca melampau dan menyelewengkan teks, bahaya yang akan dihadapi adalah
pembaca akan menjadi tidak efektif, tidak tersentuh, melangit, dan otoriter”. Khaled
Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan…, hlm. 206.
15
Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011 ж 189
Ansori: Islam dan Demokrasi
klaim kedaulatan Tuhan yang mengajarkan kekerasan dan pembunuhan.
Oleh karena itu, Khaled ingin menerjemahkan kedaulatan Tuhan bukan
dalam konteks negara Islam, tetapi dalam konteks prinsip-prinsip dan
nilai-nilai kemanusiaan, sebab yang dimaksud dengan kedaulatan Tuhan
adalah terwujudnya keindahan dan keadilan (kemaslahatan bersama).
Lalu bagaimana hubungan kedaulatan Tuhan dengan demokrasi?
Bagi Khaled, demokrasi dipahami bukan sebagai tujuan, tetapi sebagai
cara dan prosedur untuk mencapai kemaslahatan bersama. Dengan
demikian, prinsip ini sejalan dengan prinsip kedaulatan Tuhan yang
dipahami oleh Khaled. Bahkan, ia menegaskan demokrasi sebagai hasil
reinterpretasi manusia tentang sistem politik yang sesuai dengan konteks
zamannya adalah konteks yang paling mungkin untuk menerjemahkan
dan membumikan kedaulatan Tuhan (baca: nilai-nilai kemanusiaan) dalam
ranah politik. Dalam hal ini, ada enam alasan yang dikemukakan oleh
Khaled; 1) umat manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi, 2) perwakilan
ini merupakan landasan tanggung jawab individual, 3) tanggung jawab dan
perwakilan individual menyediakan landasan untuk hak-hak asasi manusia
dan persamaan, 4) umat manusia pada umumnya, dan khusunya umat
Islam memiliki kewajiban fundamental untuk melaksanakan keadilan, 5)
hukum Ilahi harus dibedakan dari interpretasi-interpretasi manusia yang
mungkin keliru, dan 6) negara tidak seharusnya berperan melembagakan
kedaulatan dan kekuasaan Ilahi.16
E. Perlukah Khilafah?
Menurut Khaled, keadilan adalah ajaran pokok Islam yang harus
ditegakkan dalam penyelenggaraan pemerintahan, karenanya umat
Islam harus membangun sistem politik dan pemerintahan yang dapat
menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban untuk semua
manusia tanpa membedakan agama. Keadilan dapat dicapai apabila
sistem pemerintahan memungkinkan masyarakat memperoleh akses
terhadap kekuasaan atau institusi (pemerintahan) tersebut. Berdasarkan
pengalaman sejarah, menurutnya, sistem pemerintahan demokrasilah
yang dapat menfasilitasi hal tersebut. Selain sistem demokrasi sangar sulit
terjaminnya keadilan negara dan cenderung tidak bertanggung jawab atas
berbagai penyelewengan dan terbukanya akses bagi masyarakat untuk
16
Khaled Abou el-Fadl, Islam, hlm. 126-127.
190 ж Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011
Ansori: Islam dan Demokrasi
berperan serta membenahi dan memperbaiki ketidakadilan tersebut17.
Sistem demokrasi sebenarnya merupakan representasi sistem
pemerintahan yang dipraktikan oleh nabi yang terformulasikan dalam
Piagam Madinah, dan sejatinya merupakan konsep al-Qur’an yaitu agar
umat Islam melaksanakan urusannya lewat musyawarah (syura). Syura
merupakan konsep yang didalamnya mengandung ajaran dan penegasan
agar pengambilan keputusan tidak boleh hanya ditangan individu.
Khaled menolak bentuk pemerintahan teokratis yaitu negara atau
pemerintahan yang dibentuk untuk menjalankan kompilasi hukum Tuhan
yang tak tersentuh oleh akuntabilitas manusia dan tidak mengenal kata
perubahan. Hal ini menurutnya tidak berarti bahwa bimbingan Tuhan
(agama) tidak diperlukan atau tidak berguna bagi manusia, tetapi bahwa
Tuhan berbicara kepada hati manusia, tidak kepada institusi. Ini dapat
dilihat dalam uraiannya sebagai berikut:
”Pada saat institusi-institusi itu berlagak mewakili Tuhan institusi-institusi
itu melukai Tuhan dan membohongi manusia. Tuhan terlalu indah dan
abadi untuk bisa direpresentasikan oleh institusi manusia atau oleh satu
orang saja”
Dari ungkapan di atas terlihat Khaled ingin menyampaikan bahwa
khilafah bukan merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan yang
harus diperjuangkan mati-matian, dan jangan dianggap sebagai bentuk
pemerintahan yang given, pasti, absolute, taken for granted, paling menentukan
dan klaim-klaim sejenisnya, dalam Islam. Karena itu ia tidak sepakat
dengan komunitas muslim yang ia sebut sebagai ”orang-orang/kaum/
kelompok puritan” yang ingin mengembalikan/membentuk sistem
khilafah di dunia atau negara-negara Islam.
Menurut Khaled, nilai-nilai kebertuhanan tidak dapat dicapai oleh
sebuah negara yang memaksakan begitu rupa. Ketika negara memainkan
peran sebagai pelaksana Tuhan, berarti negara menggantikan Tuhan, dan
di sinilah justru letak ketiadaan nilai-nilai kebertuhanan.18
Sistem khalifah yang dijalankan oleh al-Khulafa ’al-Rasyidin
dan lembaga khilafah yang berjalan pada masa kejayaan dan keemasan
Islam, bukan representasi suatu teori pemerintahan tertentu, melainkan
merupakan sebuah institusi historis yang berhasil menyatukan banyak
17
18
Khaled M. Abau EL Fadl , Selamatkan Islam, hlm. 225 – 226.
Ibid., hlm. 236.
Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011 ж 191
Ansori: Islam dan Demokrasi
umat Islam di masa silam, tidak serta merta sebagai suatu model
pemerintahan tertentu. Dengan kata lain, kalau umat Islam hanya terfokus
pada istilah bentuk pemerintahan (sebagai simbol), tanpa membicarakan
secara kreatif, cerdas, kritis tentang prosedur seperti apa yang akan
menjamin seorang pemimpin negara (pemerintahan) dapat berlaku adil,
bijak, saleh, patuh terhadap undang-undang dalam menjalankan amanat
bangsa dan negara, maka tidak mustahil justru akan terjadi benturanbenturan intern umat Islam dan juga dalam pergaulan global dengan
umat dan negara-negara lain di dunia.
Merujuk pada konsep Us\u>l al-Fiqh, yang penting bagi Khaled, 5
(lima) hak asasi manusia yaitu agama (din, religion), kehidupan (nafs, life),
akal (’aql, intellect), keturunan (nasl, lieage), dan harta (mal>, property) yang
termasuk kategori dharuriyyat19 dapat terjamin dalam bentuk pemerintahan
apapun. Keterjaminan 5 (lima) hak dasar manusia tersebut, tidak hanya
wajib dijaga dan direalisasikan oleh Islam untuk umat muslimin tetapi
juga untuk umat manusia secara keseluruhan, dan itulah inti pesan Islam
rahmatan li al-alamin sebagai tujuan utama diutusnya nabi Muhammad
membawa agama (Islam) di dunia ini. Sangat ironis kalau demokrasi
ditolak hanya karena istilah/kata itu bukan dari Islam (bahasa Arab)
dan sebaliknya terlalu berlebihan kalau istilah khilafah disakralkan hanya
karena itu pernah dipraktikkan dalam sejarah (negara) Islam.
F. Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas, sebenarnya tersirat satu gagasan
fundamental Khaled Abou el-Fadhl, yaitu pembongkaran terhadap
potensi otoritarianisme dalam hukum Islam. Wacana demokrasi yang
digagasnya adalah salah satu upayanya untuk membongkar otoritarianisme
tersebut.
Sistem khilafah sebagaimana yang diperjuangkan oleh sebagian umat
Islam, jika dipahami sebagai sebuah alternatif (tawaran) tata pemerintahan
sebenarnya sah-sah saja, akan tetapi jika sistem khilafah itu dipahami dan
dikunci maknanya sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang Islami
(dikehendaki Tuhan), maka ini namanya otoritarianisme.
Dalam perspektif hukum, khususnya yang berkaitan dengan sistem
D{aru>riyya>t merupakan kebutuhan mendasar dan esensial bagi keberlangsungan
5 (lima) hak asasi atau hak-hak dasar tersebut.
19
192 ж Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011
Ansori: Islam dan Demokrasi
politik yang mesti dikedepankan adalah kemaslahatan dan kebaikan
bersama. Politik Islam bukan dipahami dan diartikulasikan sebagai
kedaulatan Tuhan (kemaslahatan Tuhan), karena dalam praktiknya yang
terlibat dalam legislasi dan seluruh prosedur politik bukanlah Tuhan
tetapi manusia. Dengan demikian, dekonstruksi atas konsep kedaulatan
Tuhan, khususnya dalam ranah politik kontemporer merupakan sebuah
keniscayaan, sehingga dapat melahirkan politik yang terbuka dan
demokratis.
Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011 ж 193
Ansori: Islam dan Demokrasi
DAFTAR PUSTAKA
Dahl, Robert A., Demokrasi dan Pengkritiknya, terj. A. Rahman Zainuddin,
Jakarta: Paramadina, 1992.
Efendi, Bachtiar, “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang
Memungkinkan”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher
(ed.), Agama dan Dialog antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1998.
Esposito, John L., “Islam and Democracy: in Search of Viable Synthesis”,
dalam Studia Islamika, Vol. 2, No. 4, 1995.
Fadhl, Khaled Abou el-, Islam dan Tantangan Demokrasi, terj. Gifta Ayu
Rahmani dan Ruslani, Jakarta: Ufuk Press, 2004.
----, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustafa, Jakarta:
Serambi, 2006.
----, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fiqih Otoritatif, terj. Cecep
Lukman yasin, Jakarta: Serambi, 2004.
Misrawi, Zuhairi, “Demokrasi dan Kedaulatan Tuhan Khaled Abou
el-Fadhl dan Yusuf al-Qaradhawi”, dalam Jurnal Perspektif Progresif,
Edisi Perdana, Juli-Agustus 2005.
Razak, A. Ubaidillah, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM,
dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000.
Siradj, Said Aqiel, Islam Kebangsaan Fikih Demokratik Kaum Santri, Jakarta:
Pustaka Ciganjur, 1999.
The Word of Encyclopedia, V, Chicago: Word Book, Inc, 1993.
194 ж Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011
Telaah atas Pemikiran Khaled Abou el-Fadl
Ansori
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.
Abstrak
The article discusses the thought of a prominent muslim scholar, Khaled M.
Abou el-Fadl, on democracy. Some important issues are discussed through
the article. Among others are the question whether democracy is compatible
with Islam and the issue on khila>fah. It argues that el-Fadl is against the
khila>fah as the contemporary political system and argues that democracy is
in agreement with Islam.
Artikel ini menjelaskan pemikiran Khaled M. Abou el-Fadl mengenai
demokrasi. Beberapa isu dijelaskan di antaranya apakah demokrasi
sesuai dengan Islam, apakah khilafah adalah sistem yang benar. Artikel
ini menemukan bahwa pemikiran Abour El-Fadl menentang asumsi
ketidaksesuaian Islam dan demokrasi dan menilai khilafah adalah system
yang tidak tepart untuk diterapkan.
Kata Kunci: demokrasi, kekaisaran, puritan, khilafah
A. Pengantar
Diskursus demokrasi di dunia Islam hampir saja mencapai
kebuntuan. Alasannya, karena demokrasi dianggap sebagai barang
langka, impor, tidak sesuai dengan ajaran Islam dan bahkan sesuatu yang
dipaksakan. Penolakan atas demokrasi dalam dunia Islam, pada umumnya
dilatari cara pandang atas demokrasi sebagai tradisi di luar Islam (the
Ansori: Islam dan Demokrasi
other).1 Perlawanan atas demokrasi yang makin menguat juga kadang
disetarakan dengan perlawanan atas yang lain. Oleh karena itu, salah
satu tugas berat yang harus dilakukan para cendikiawan muslim adalah
mencoba menetralisir cara pandang tersebut sembari merekonstruksi
wacana demokrasi yang bersumber dari tradisi dan khazanah Islam.
Khalid Abou el-Fadhl adalah salah seorang pemikir muslim yang
mampu melakukan tugas berat tersebut. Dengan melakukan penelusuran
atas teks suci dan doktrin-doktrin klasik dalam kaitannya dengan nilainilai fundamental demokrasi, ia mampu melakukan pembongkaran
sekaligus pemaknaan kontemporer untuk relevansi Islam dan demokrasi.
Bagaimana pembongakaran dan pemaknaan kontemporer Abou el-Fadhl
tentang relevansi Islam dan demokrasi tersebut? Inilah permasalahan
mendasar yang menjadi objek bahasan makalah ini.
B. Biograi dan Cultural Background Khalid Abou el-Fadhl
Nama lengkapnya adalah Khaled Medhiat Abou el-Fadhl. Ia
dilahirkan di Kuwait pada tahun 1963 dari sebuah keluarga muslim
berdarah Mesir. Perjalanan akademiknya dimulai di Kuwait dengan
menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di sana. Selain pendidikan
formal, ia juga aktif mengikuti kelas-kelas (halaqah) al-Qur’an dan ilmu
Syariat pada setiap liburan musim panas di masjid al-Azhar Mesir. Rasa
cinta Khalid Abou el-Fadhl kepada al-Qur’an mendorong dia untuk
menghafalkannya, dan pada usia yang ke-12 tahun Khalid Abou el-Fadhl
telah hafal al-Qur’an.
Pada tahun 1989 Khalid Abou el-Fadhl menamatkan studi
magisternya dalam bidang hukum di Universitas Pennsylvania, Amerika
Serikat. Di tahun yang sama ia memperoleh penghargaan sebagai peserta
terbaik dalam Jessup Moot Court Competition. Prestasi ini membawanya
diterima bekerja pada Pengadilan Tinggi (Supreme Court Justice) wilayah
1
Dalam konteks ini, biasanya sistem pemerintahan yang ditawarkan adalah
khilafah, karena ia dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai dasar normatif dalam
Islam. Khilafah secara bahasa berasal dari khalafa-yakhlifu, khilafatan yang berarti
pengganti/wakil. Term ini diambil dari irman Allah SWT QS. Al-Baqarah: 30 dan
juga QS. Al-A’raf: 142. Mengenai khilafah ini, para ulama memberikan legitimasi atas
kekhalifahan Abu Bakar al-Shiddiq hingga para khalifah Turki Usmani yang runtuh di
awal abad 20. Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan Fikih Demokratik Kaum Santri (Jakarta:
Pustaka Ciganjur, 1999), hlm.63.
182 ж Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011
Ansori: Islam dan Demokrasi
Arizona, spesiikasi kerja sebagai pengacara bidang hukum dagang dan
imigrasi. Dari Pengadilan Tinggi ini, Khalid Abou el-Fadhl kemudian
mendapatkan pengakuan sebagai warga negara Amerika Serikat.
Kegiatannya sebagai pengacara dibarengi dengan mengajar di
Universitas Texas di Austin USA. Di samping itu, ia juga tidak melewatkan
kesempatan untuk melanjutkan studi program doktor di Universitas
Princeton. Di sela-sela kesibukannya dalam bekerja, mengajar, dan kuliah,
ia juga aktif menulis berbagai artikel dan buku tentang kajian Islam. Pada
tahun 1999 Khalid Abou el-Fadhl berhasil mendapatkan gelar Ph.D.
dalam bidang hukum dengan hasil sangat memuaskan. Disertasinya,
berjudul Rebellion and Violence in Islamic Law, dinobatkan sebagai ajaran
moralnya.Sejumlah karya akademik telah dihasilkannya, di antaranya
adalah Islam In Challenge of Democracy: The Place of Tolerance in Islam, Speaking
in God’s Name, Islamic Law, Authority and Women, God Knows The Soldiers,
Conference of Books, dan lain-lain.
C. Sejarah Demokrasi
Sebelum berbicara lebih lanjut tentang demokrasi dalam kaca
mata Khaled Abou el-Fadhl, maka terlebih dahulu akan dipaparkan
pembahasan tentang deinisi dan sejarah munculnya demokrasi.
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘demos’ artinya ‘people’
(rakyat) dan ‘cratos’ yang artinya ‘role or authority’ (kekuasaan). Dengan
demikian, demokrasi artinya role of authority by people, yaitu sebuah sistem di
mana kedaulatan/kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat dan dijalankan
secara langsung maupun melalui perwakilan di bawah sistem pemilihan
yang bebas, atau sederhananya sebagaimana yang dikemukakan Abraham
Lincolin, demokrasi adalah government of the people, by the people, and for people
(pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.2
Pemerintahan dari rakyat (government of the people) adalah suatu
pemerintahan yang berkuasa mendapat pengakuan dan dukungan dari
rakyat (legitimate government). Pemerintahan oleh rakyat (government by people)
adalah pemerintahan yang menjalankan kekuasaan atas nama rakyat dan
pengawasannya dijalankan oleh rakyat bukan oleh siapa-siapa atau lembaga
2
Bachtiar Efendi, “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang
Memungkinkan”, dalam M. nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (ed.), Agama dan Dialog
antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 86.
Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011 ж 183
Ansori: Islam dan Demokrasi
pengawasan yang ditunjuk oleh pemerintah. Sedangkan, pemerintahan
untuk rakyat (government for the people) adalah suatu pemerintahan yang
mendapat mandate kekuasaan yang diberikan oleh rakyat dipergunakan
untuk menjalankan aspirasi rakyatnya.3
Sebagaimana diketahui, sistem pemerintahan demokrasi yang
sekarang berkembang bukanlah hasil pengalaman manusia yang sekali jadi.
Ia merupakan produk perkembangan sosio-kultur dengan rentang waktu
yang cukup panjang. Paling tidak, terbentuk dari empat sumber gagasan
dan praktik, yaitu; tradisi Yunani kuno, tradisi republikan dari Romawi
kuno dan berkembang dalam negara kota Italia pada abad pertengahan
dan renaissance, paham pemerintahan perwakilan dan ide persamaan
(baca: ide memililh dan mengembangkan diri) dalam bentuk walfare state.4
Demokratia Yunani kuno merupakan praktik demokrasi pertama di
dunia yang awalnya sebagai respon terhadap pengalaman buruk monarkhi
dan kediktatoran di negara kota Yunani kuno, di mana praktik demokrasi
pada waktu itu sebagai sistem seluruh warga negara membentuk lembaga
legislatif. Ia dimulai setelah reformasi sistem pemerintahan di negara
kota (city state) Athena oleh Kleisthenes pada tahun 508 SM.5 Kleisthenes
memperoleh kekuasaan setelah pada tahun 510 SM, Hipias seorang
tiran yang lalim, digulingkan oleh sekelompok bangsawan atas bantuan
Sparta, yang kemudian setelah itu terjadi konlik antar faksi. Sebagai
seorang aristocrat yang cerdas, Kleisthenes dengan bantuan rakyatnya
menggulingkan rival-rivalnya. Segera setelah berkuasa, ia meletakkan
dasar-dasar yang kokoh bagi demokrasi Athena. Satu hal pokok dalam
hal ini adalah dibentuknya Majelis Lima Ratus yang keanggotaannya
terbuka bagi warga negara laki-laki di atas tiga puluh tahun dan jumlah
yang dibutuhkan dipilih dengan undian.
A. Ubaidillah Razak dkk., Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, dan
Masyarakat Madani (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hlm. 163-165.
4
Robert A. Dahl, Demokrasi dan Pengkritiknya, terj. A. Rahman Zainuddin
(Jakarta: Paramadina, 1992), hlm. 3-39.
5
Athena adalah kota yang mampu merealisasikan demokrasi secara langsung
dalam sebuah majelis dan di dalamnya hanya terdiri dari 5000 sampai 6000 orang yang
memungkinkan dalam jumlah tersebut berkumpul dalam satu ruangan. Namun, bentuk
demokrasi langsung tidak lagi banyak dianut oleh negara-negara maju dikarenakan
jumlah penduduk yang lebih banyak dan lebih nyaman menggunakan perwakilan dalam
mengurusi suatu tatanan kenegaraan. Lihat The Word of Encyclopedia, juz V (Chicago:
Word Book, Inc, 1993), hlm. 106.
3
184 ж Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011
Ansori: Islam dan Demokrasi
Demokrasi Athena ini, kemudian berkembang dan disempurnakan
pada masa Paricies (461-429 SM). Pada periode ini, Majelis mulai
menetapkan undang-undang dan yang terpenting adalah dibentuknya
Dewan Sepuluh Jenderal (Startegol) yang berfungsi semacam kabinet
dalam demokrasi perlementer sekarang. Kekuasaan Startegol ini diawasi
oleh Majelis, di mana kebijakannya dinilai majelis, anggotanya dapat direcall dan dapat dituntut setiap saat.
Sebagaimana keterangan di atas, demokrasi, Di samping dibentuk
oleh pengalaman demokrasi di Yunani klasik, gagasan dan lembaga
demokrasi juga dibentuk oleh tradisi republikanisme, perwakilan, dan ide
persamaan pengembangan diri dalam bentuk welfare state. Adapun yang
dimaksud dengan tradisi republikanisme adalah sejumlah pemikiran yang
berasal dari gagasan dan praktik demokrasi Yunani kuno, tetapi lebih dari
para pengkritiknya (salah seorang yang paling terkenal adalah Aristoteles),
dari gagasan dan praktik politik Roma dan Vinisia (satu-satunya republik
Roma yang bertahan hingga 1797), dan bahkan sampai Sparta.
Sedangkan demokrasi dalam bentuk perwakilan adalah bentuk
pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik
diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh
mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses
pemilihan yang bebas. Dengan demikian, dalam demokrasi perwakilan,
rakyat tidak lagi memerintah dirinya secara langsung, seperti negara kota
Athena, tetapi memilih pemimpinnya yang akan mengontrol jalannya
pemerintahan.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa demokrasi
lahir seiring dengan perjalanan hidup manusia di muka bumi ini. Ia telah
menjelma sebagai isu dan persoalan penting dalam berbagai kehidupan
negara-negara di dunia, termasuk negara-negara Islam. Fenomena
ini terlihat paling tidak dalam dasa warsa terakhir abad kedua puluh.
Bersamaan dengan lahirnya gerakan keagamaan, ia terkadang seiring
dengan pembentukan politik yang lebih demokratis, namun di wilayah
lain menimbulkan kenyataan yang paradoks.6
6
John L. Esposito, “Islam and Democracy: in Search of Viable Synthesis”,
dalam Studia Islamika, Vol. 2, No. 4, 19995, hlm. 86.
Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011 ж 185
Ansori: Islam dan Demokrasi
D. Demokrasi, Mengapa Harus Ditolak ?
1. Perbedaan antara Syariat dan Fikih
Menurut Khaled Abou el-Fadhl, syariat mempunyai makna yang
komprehensif; teosentrik sekaligus antroposentrik. Syariat adalah jalan
Tuhan yang ditafsirkan oleh manusia dalam berbagai ragam aliran
pemikiran. Kendati demikian, hemat Khaled, perlu adanya pemisahan
yang tegas antara syariat dan ikih. Syariat adalah nilai-nilai ideal,
sedangkan ikih adalah upaya manusia dalam memahami yang ideal.7
Berdasarkan pamisahan di atas, Khaled ingin mengatakan bahwa
seluruh yang dipersepsikan umat Islam tentang Syariat, termasuk di
dalamnya wilayah politik (sistem pemerintahan) sesungguhnya adalah ikih
(ikih siyasi). Konsekusensi dari hal ini, wacana sistem politik sebagai bagian
dari ikih, ia bersifat dinamis dan plural. Dengan demikian, mengacu pada
fakta sejarah di mana ada sistem politik natural, monarkhi, dan khilafah
yang berbasis syariat, semuanya adalah fakta objektif perihal keberadaan
iqih politik yang dinamis dan plural tersebut.
Lebih jauh, adanya pemisahan antara Syariat dan ikih seperti di
atas, juga dimaksudkan Khaled Abou el-Fadhl sebagai counter terhadap
pemikiran sebagaian umat Islam yang menempatkan ikih sebagai
sesuatu yang baku dan inal. Fikih diperlakukan sebagai kehendak mutlak
Tuhan,8 padahal ikih merupakan releksi sejarah dalam memahami pesan
ketuhanan, ia bersifat situasional dan bergantung kepada konteks sosial
yang melatarinya.
2. Syariat dan Demokrasi
Pada umumnya, para pakar dan penggiat politik Islam seringkali
memahami bahwa Syariat adalah sebuah sistem yang sempurna.
7
Zuhairi Misrawi, “Demokrasi dan Kedaulatan Tuhan Khaled Abou el-Fadhl
dan Yusuf al-Qaradhawi”, dalam jurnal Perspektif Progresif, Edisi Perdana, Juli-Agustus
2005, hlm. 21.
8
Bagi Abou el-Fadhl, terjadinya fenomena di atas adalah akibat dari kesalahan
procedural metodologis terkait dengan relasi antara ketiga unsur, yaitu kompetensi
(pengarang), penetapan makna (teks), dan perwakilan (pembaca). Seorang pembaca,
misalnya, yang mengunci teks dalam sebuah makna tertentu, maka ia telah merusak
integritas pengarang dan teks. Khaled M. Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih
Otoriter ke Fiqih Otoritatif, terj. Cecep Lukman yasin (Jakarta: Serambi, 2004), hlm.89.
186 ж Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011
Ansori: Islam dan Demokrasi
Pemahaman akan kesempurnaan Syariat sebagai sistem hukum inilah
yang kemudian kaitannya dengan masalah politik dipakai untuk melawan
demokrasi. Syariat adalah hukum Tuhan, sedangkan demokrasi adalah
hukum oleh dan untuk manusia.9 Oleh karena itu, dalam sejumlah riset,
bila dilontarkan opsi untuk memilih diantara keduanya, maka sebagian
besar masyarakat muslim akan memilih Syariat, karena ia bersumber dari
Tuhan yang kebenarannya tidak diragukan lagi.
Pemahaman akan supremasi Syari’ah daripada lainnya, barangkali
tidaklah salah, hanya permasalahannya; apakah yang dimaksud dengan
Syariat itu dan relevankah ia dilawankan dengan demokrasi?
Pertanyaan ontologis seperti di atas jelas layak diajukan agar umat
Islam tidak melakukan kesewenang-wenangan dalam memakni Syariat. Hal
ini, karena dari pelbagai pengalaman negara-negara yang memberlakukan
Syariat, seperti; Saudi Arabia, Taliban, Nigeria, Maroko, dan belakangan
beberapa propinsi di Indonesia, tidak begitu jelas menafsirkan Syariat
dalam konteks sosial-politik. Pemaknaan Syariat seperti itu tidak terlepas
dari Wahabisme10 yang dikopi oleh hampir sebagian besar dunia Islam
sebagai cetak biru politik. Oleh karena itu, upaya penggalian makna
progresif Syariat dalam konteks sistem politik modern sangatlah penting.
Berbeda dengan pemaknaan Syariat di atas, Khaled mempunyai
pemaknaan tersendiri. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, Syariat
menurut Khaled adalah mengacu pada nilai-nilai yang ideal. Dengan
pemaknaan ini, bagi Khaled Syariat pada dasarnya telah memfasilitasi
untuk bisa lahirnya ikih kontekstual, khususnya tentang tata pemerintahan
9
Gagasan bahwa Tuhan merupakan pembentuk hokum dalam sebuah
negara Islam, sementara agen manusia merupakan sumber hokum dalam sebuah sistem
demokrasi, merupakan pendapat Maulana Maududi. Ia berargumen bahwa dalam sebuah
negara Islam, Tuhan merupakan pemegang kedaulatan satu-satunya, sementara dalam
sebuah sistem demokrasi kehendak dan keinginan kelompok mayoritas memegang
kendali. Khaled Abou el-Fadhl, Islam dan Tantangan Demokrasi, terj. Gifta Ayu Rahmani
dan Ruslani (Jakarta: Ufuk Press, 2004), hlm. 67.
10
Dasar-dasar ideologi Wahabi oleh seorang fanatic abad ke-18 yaitu
Muhammad ibn Abd al-Wahhab (w. 1206 H/1792 M). Gagasan utama Abd al-Wahhab
adalah umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyimpang dari ajaran Islam
yang lurus, dan hanya dengan kembali ke satu-satunya agama yang benar mereka akan
diterima dan mendapat ridha Allah SWT. Khaled Abou el-Fadhl, Selamatkan Islam dari
Muslim Puritan, terj. Helmi Mustafa (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 61.
Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011 ж 187
Ansori: Islam dan Demokrasi
yang lebih memberikan perhatian pada kepentingan publik.11 Dimensi
Syariat yang terbuka dan membebaskan sesungguhnya modal besar untuk
merancangbangun perubahan-perubahan yang mendasar bagi tercapainya
keadilan dan kasih sayang di dalam sebuah sistem/tata pemerintahan
yang modern. Dengan demikian, selama reinterpretasi dan revitalisasi
atas Syariat selalu dilakukan, maka harapan untuk tata pemerintahan
yang demokratis bukanlah hal yang mustahil bagi dunia Islam. Dari sini,
jelas tidak relevan lagi mempertentangkan antara Syariat dan demokrasi.
3. Demokrasi dan Kedaulatan Tuhan
Jika Syariat diyakini tidak perlu dipertentangkan dengan demokrasi,
lalu bagaimana dengan konsep kedaulatan Tuhan (al-H{akimiyyah) yang
telah mempunyai akar kuat dalam tradisi politik Islam.12
Pertanyaan ini, tentu saja membutuhkan penalaran tersendiri untuk
membongkar benang kusut sejumlah poin penting dalam diskursus
politik Islam. Konsep kedaulatan Tuhan adalah konsep yang sejak
mula kemunculannya problematis. Letak problematikanya dalam dua
hal; pertama, kedaulatan Tuhan untuk apa dan siapa? Kedua, mengapa
kedaulatan Tuhan dalam banyak hal sering selalu terkait dengan cara-cara
kekerasan, seperti pembunuhan? Bukankah Tuhan melarang kekerasan
dan tindakan kursif dalam agama?
Melihat fenomena di atas, Kholed menyatakan bahwa kedaulatan
Tuhan sebagai sesuatu yang taken for granted dalam Islam. Kedaulatan
Tuhan merupakan salah satu rukun iman yang paling penting di antara
lainnya. Sebagai agama monoteis, kedaulatan Tuhan menjadi sesuatu yang
amat penting, tetapi persoalannya, bagaimana klaim kedaulatan Tuhan
dalam ranah politik?13
Dalam hal ini, Khaled sangat keberatan dengan upaya membawa
11
Zuhairi Misrawi, “Demokrasi…”, hlm.22.
Persoalan tentang kekuasaan politik Tuhan (hakimiyatullah), pada awal
sejarah Islam mulai dimunculkn oleh kelompok yang terkenal dengan sebutan
Haruriyyah, ketika mereka memberontak terhadap khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib.
Kelompok ini kemudian dikenal dengan Khawarij. Dikatakan khawarij (orang-orang yang
keluar), karena sebelumnya mereka adalah orang-orang yang mendukkung Ali bin Abi
Thalib, namun kemudian mereka keluar dan berbalik menyerang Ali, ketika Ali setuju
dengan proses arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan politik dengan kelompok
Muawiyyah. Khaled Abou el-Fadhl, Islam, hlm. 14-15.
13
Zuhairi Misrawi, “Demokrasi”, hlm. 22.
12
188 ж Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011
Ansori: Islam dan Demokrasi
iman atau kedaulatan Tuhan ke dalam ranah politik. Sesungguhnya, hemat
Khaled, Ali bin Abi Thalib adalah sosok yang pertama kali keberatan
dengan klaim kedaulatan Tuhan dalam ranah politik, karena amat mungkin
disalahartikan dan disalahgunakan. Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib
dengan cepat menanggapi kalangan Khawarij, bahwa klaim kedaulatan
Tuhan bisa bergeser fungsinya menjadi “Kalimatu haqqin yuradu biha albathil”14 (kalimat yang benar tetapi digunakan untuk tujuan-tujuan yang
batil), baik kepentingan politik maupun kepentingan kekerasan.
Khaled berkeyakinan bahwa munculnya kelompok konservatif dan
fundamentalis untuk menggunakan kedaulatan Tuhan dalam kampanye
politik sesungguhnya telah mengulangi kesalahan fatal kalangan Khawarij.
Kedaulatan Tuhan yang semula menjadi slogan iman, lalu dimetamorfosa
menjadi slogan politik.
Sekali lagi, bagi Khaled, sejak awal konsep kedaulatan Tuhan
adalah konsep yang problematis, walaupun memberikan kesempatan
kepada manusia untuk memimpin. Sebab, konsep kedaulatan Tuhan
tidak sesuai dengan teologi Islam. Tidak ada seorang pun yang berhak
mengatasnamakan dirinya sebagai satu-satunya wakil Tuhan yang dapat
memahami kehendak Tuhan, sehingga barang siapa menganggap dirinya
sebagai satu-satunya wakil Tuhan yang dapat memahami kehendak Tuhan,
maka sesungguhnya ia telah berlaku otoriter.15
Dengan kata lain, klaim kedaulatan Tuhan mempunyai potensi
yang sangat besar untuk melahirkan otoritarianisme yang akhirnya akan
menghalalkan segala cara. Bila ini yang terjadi, maka tesis yang muncul
adalah ‘kedaulatan Tuhan’ versus ‘klaim kedaulatan Tuhan’. Tuhan yang
mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan keindahan akan dijabarkan oleh
14
Ibid.
Adapun mekanisme terjadinya tindakan (penafsiran) yang otoriter, menurut
Khaled Abou el-Fadh adalah: “Ketika seorang pembaca bergelut dengan teks dan
mebarik sebuah hukum dari teks, resiko yang dihadapinya adalah bahwa pembaca
menyatu dengan teks, atau penetapan pembaca akan menjadi perwujudan eksklusif
teks tersebut. Akibatnya, teks dan konstruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa.
Dalam proses ini, teks itu tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi
pengganti teks. Jika seorang pembaca memilih car abaca tertentu atas teks dan mengklaim
bahwa tidak ada lagi pembacaan lain, teks tersebut larut ke dalam karakter pembaca.
Jika pembaca melampau dan menyelewengkan teks, bahaya yang akan dihadapi adalah
pembaca akan menjadi tidak efektif, tidak tersentuh, melangit, dan otoriter”. Khaled
Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan…, hlm. 206.
15
Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011 ж 189
Ansori: Islam dan Demokrasi
klaim kedaulatan Tuhan yang mengajarkan kekerasan dan pembunuhan.
Oleh karena itu, Khaled ingin menerjemahkan kedaulatan Tuhan bukan
dalam konteks negara Islam, tetapi dalam konteks prinsip-prinsip dan
nilai-nilai kemanusiaan, sebab yang dimaksud dengan kedaulatan Tuhan
adalah terwujudnya keindahan dan keadilan (kemaslahatan bersama).
Lalu bagaimana hubungan kedaulatan Tuhan dengan demokrasi?
Bagi Khaled, demokrasi dipahami bukan sebagai tujuan, tetapi sebagai
cara dan prosedur untuk mencapai kemaslahatan bersama. Dengan
demikian, prinsip ini sejalan dengan prinsip kedaulatan Tuhan yang
dipahami oleh Khaled. Bahkan, ia menegaskan demokrasi sebagai hasil
reinterpretasi manusia tentang sistem politik yang sesuai dengan konteks
zamannya adalah konteks yang paling mungkin untuk menerjemahkan
dan membumikan kedaulatan Tuhan (baca: nilai-nilai kemanusiaan) dalam
ranah politik. Dalam hal ini, ada enam alasan yang dikemukakan oleh
Khaled; 1) umat manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi, 2) perwakilan
ini merupakan landasan tanggung jawab individual, 3) tanggung jawab dan
perwakilan individual menyediakan landasan untuk hak-hak asasi manusia
dan persamaan, 4) umat manusia pada umumnya, dan khusunya umat
Islam memiliki kewajiban fundamental untuk melaksanakan keadilan, 5)
hukum Ilahi harus dibedakan dari interpretasi-interpretasi manusia yang
mungkin keliru, dan 6) negara tidak seharusnya berperan melembagakan
kedaulatan dan kekuasaan Ilahi.16
E. Perlukah Khilafah?
Menurut Khaled, keadilan adalah ajaran pokok Islam yang harus
ditegakkan dalam penyelenggaraan pemerintahan, karenanya umat
Islam harus membangun sistem politik dan pemerintahan yang dapat
menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban untuk semua
manusia tanpa membedakan agama. Keadilan dapat dicapai apabila
sistem pemerintahan memungkinkan masyarakat memperoleh akses
terhadap kekuasaan atau institusi (pemerintahan) tersebut. Berdasarkan
pengalaman sejarah, menurutnya, sistem pemerintahan demokrasilah
yang dapat menfasilitasi hal tersebut. Selain sistem demokrasi sangar sulit
terjaminnya keadilan negara dan cenderung tidak bertanggung jawab atas
berbagai penyelewengan dan terbukanya akses bagi masyarakat untuk
16
Khaled Abou el-Fadl, Islam, hlm. 126-127.
190 ж Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011
Ansori: Islam dan Demokrasi
berperan serta membenahi dan memperbaiki ketidakadilan tersebut17.
Sistem demokrasi sebenarnya merupakan representasi sistem
pemerintahan yang dipraktikan oleh nabi yang terformulasikan dalam
Piagam Madinah, dan sejatinya merupakan konsep al-Qur’an yaitu agar
umat Islam melaksanakan urusannya lewat musyawarah (syura). Syura
merupakan konsep yang didalamnya mengandung ajaran dan penegasan
agar pengambilan keputusan tidak boleh hanya ditangan individu.
Khaled menolak bentuk pemerintahan teokratis yaitu negara atau
pemerintahan yang dibentuk untuk menjalankan kompilasi hukum Tuhan
yang tak tersentuh oleh akuntabilitas manusia dan tidak mengenal kata
perubahan. Hal ini menurutnya tidak berarti bahwa bimbingan Tuhan
(agama) tidak diperlukan atau tidak berguna bagi manusia, tetapi bahwa
Tuhan berbicara kepada hati manusia, tidak kepada institusi. Ini dapat
dilihat dalam uraiannya sebagai berikut:
”Pada saat institusi-institusi itu berlagak mewakili Tuhan institusi-institusi
itu melukai Tuhan dan membohongi manusia. Tuhan terlalu indah dan
abadi untuk bisa direpresentasikan oleh institusi manusia atau oleh satu
orang saja”
Dari ungkapan di atas terlihat Khaled ingin menyampaikan bahwa
khilafah bukan merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan yang
harus diperjuangkan mati-matian, dan jangan dianggap sebagai bentuk
pemerintahan yang given, pasti, absolute, taken for granted, paling menentukan
dan klaim-klaim sejenisnya, dalam Islam. Karena itu ia tidak sepakat
dengan komunitas muslim yang ia sebut sebagai ”orang-orang/kaum/
kelompok puritan” yang ingin mengembalikan/membentuk sistem
khilafah di dunia atau negara-negara Islam.
Menurut Khaled, nilai-nilai kebertuhanan tidak dapat dicapai oleh
sebuah negara yang memaksakan begitu rupa. Ketika negara memainkan
peran sebagai pelaksana Tuhan, berarti negara menggantikan Tuhan, dan
di sinilah justru letak ketiadaan nilai-nilai kebertuhanan.18
Sistem khalifah yang dijalankan oleh al-Khulafa ’al-Rasyidin
dan lembaga khilafah yang berjalan pada masa kejayaan dan keemasan
Islam, bukan representasi suatu teori pemerintahan tertentu, melainkan
merupakan sebuah institusi historis yang berhasil menyatukan banyak
17
18
Khaled M. Abau EL Fadl , Selamatkan Islam, hlm. 225 – 226.
Ibid., hlm. 236.
Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011 ж 191
Ansori: Islam dan Demokrasi
umat Islam di masa silam, tidak serta merta sebagai suatu model
pemerintahan tertentu. Dengan kata lain, kalau umat Islam hanya terfokus
pada istilah bentuk pemerintahan (sebagai simbol), tanpa membicarakan
secara kreatif, cerdas, kritis tentang prosedur seperti apa yang akan
menjamin seorang pemimpin negara (pemerintahan) dapat berlaku adil,
bijak, saleh, patuh terhadap undang-undang dalam menjalankan amanat
bangsa dan negara, maka tidak mustahil justru akan terjadi benturanbenturan intern umat Islam dan juga dalam pergaulan global dengan
umat dan negara-negara lain di dunia.
Merujuk pada konsep Us\u>l al-Fiqh, yang penting bagi Khaled, 5
(lima) hak asasi manusia yaitu agama (din, religion), kehidupan (nafs, life),
akal (’aql, intellect), keturunan (nasl, lieage), dan harta (mal>, property) yang
termasuk kategori dharuriyyat19 dapat terjamin dalam bentuk pemerintahan
apapun. Keterjaminan 5 (lima) hak dasar manusia tersebut, tidak hanya
wajib dijaga dan direalisasikan oleh Islam untuk umat muslimin tetapi
juga untuk umat manusia secara keseluruhan, dan itulah inti pesan Islam
rahmatan li al-alamin sebagai tujuan utama diutusnya nabi Muhammad
membawa agama (Islam) di dunia ini. Sangat ironis kalau demokrasi
ditolak hanya karena istilah/kata itu bukan dari Islam (bahasa Arab)
dan sebaliknya terlalu berlebihan kalau istilah khilafah disakralkan hanya
karena itu pernah dipraktikkan dalam sejarah (negara) Islam.
F. Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas, sebenarnya tersirat satu gagasan
fundamental Khaled Abou el-Fadhl, yaitu pembongkaran terhadap
potensi otoritarianisme dalam hukum Islam. Wacana demokrasi yang
digagasnya adalah salah satu upayanya untuk membongkar otoritarianisme
tersebut.
Sistem khilafah sebagaimana yang diperjuangkan oleh sebagian umat
Islam, jika dipahami sebagai sebuah alternatif (tawaran) tata pemerintahan
sebenarnya sah-sah saja, akan tetapi jika sistem khilafah itu dipahami dan
dikunci maknanya sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang Islami
(dikehendaki Tuhan), maka ini namanya otoritarianisme.
Dalam perspektif hukum, khususnya yang berkaitan dengan sistem
D{aru>riyya>t merupakan kebutuhan mendasar dan esensial bagi keberlangsungan
5 (lima) hak asasi atau hak-hak dasar tersebut.
19
192 ж Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011
Ansori: Islam dan Demokrasi
politik yang mesti dikedepankan adalah kemaslahatan dan kebaikan
bersama. Politik Islam bukan dipahami dan diartikulasikan sebagai
kedaulatan Tuhan (kemaslahatan Tuhan), karena dalam praktiknya yang
terlibat dalam legislasi dan seluruh prosedur politik bukanlah Tuhan
tetapi manusia. Dengan demikian, dekonstruksi atas konsep kedaulatan
Tuhan, khususnya dalam ranah politik kontemporer merupakan sebuah
keniscayaan, sehingga dapat melahirkan politik yang terbuka dan
demokratis.
Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011 ж 193
Ansori: Islam dan Demokrasi
DAFTAR PUSTAKA
Dahl, Robert A., Demokrasi dan Pengkritiknya, terj. A. Rahman Zainuddin,
Jakarta: Paramadina, 1992.
Efendi, Bachtiar, “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang
Memungkinkan”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher
(ed.), Agama dan Dialog antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1998.
Esposito, John L., “Islam and Democracy: in Search of Viable Synthesis”,
dalam Studia Islamika, Vol. 2, No. 4, 1995.
Fadhl, Khaled Abou el-, Islam dan Tantangan Demokrasi, terj. Gifta Ayu
Rahmani dan Ruslani, Jakarta: Ufuk Press, 2004.
----, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustafa, Jakarta:
Serambi, 2006.
----, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fiqih Otoritatif, terj. Cecep
Lukman yasin, Jakarta: Serambi, 2004.
Misrawi, Zuhairi, “Demokrasi dan Kedaulatan Tuhan Khaled Abou
el-Fadhl dan Yusuf al-Qaradhawi”, dalam Jurnal Perspektif Progresif,
Edisi Perdana, Juli-Agustus 2005.
Razak, A. Ubaidillah, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM,
dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000.
Siradj, Said Aqiel, Islam Kebangsaan Fikih Demokratik Kaum Santri, Jakarta:
Pustaka Ciganjur, 1999.
The Word of Encyclopedia, V, Chicago: Word Book, Inc, 1993.
194 ж Mukaddimah, Vol. 17, No. 2, 2011