PEMULIHAN KEKUASAAN KELAS DOMINAN DAN PO

PEMULIHAN KEKUASAAN KELAS DOMINAN DAN
POLITIK NEOLIBERALISME
(Oleh: Eric Hiariej)



Kapitalisme global sebelum neoliberalisme, terutama setelah berakhirnya
Perang Dunia II, sebetulnya bertumpu pada prinsip embedded liberalism yang
menekankan arti penting partisipasi negara dalam perekonomian domestik sembari
menolak keterlibatan yang serupa pada level internasional (lihat, misalnya, Harvey
1989; Cox 1997). Prinsip ini merupakan jawaban terhadap malaise ekonomi yang
bersumber dari norma-norma merkantilisme yang melandasi praktik perdagangan
antar negara sepanjang abad sebelumnya yang menganjurkan intervensi
pemerintah dalam pasar internasional sebagai jalan terbaik mewujudkan
kepentingan nasional. Karenanya motivasi utamanya adalah mengembalikan elan
perdagangan bebas, menggantikan sikap-sikap protektif dan perang tarif yang
mewarnai perekonomian dunia sebelum dan selama perang. Tapi resesi ekonomi
yang melanda negara-negara maju sejak awal 1970an mengakhiri embedded
liberalism, terutama keyakinan positif terhadap intervensi negara, yang justru
dinilai sebagai sumber masalah. Sebagai gantinya kapitalisme global ditata ulang
menurut cara berpikir disembedded liberalism, diantaranya dengan menghilangkan

konsensus buruh-majikan dalam kerangka demokrasi sosial, yang diwujudkan
melalui seperangkat regulasi, “teori-teori ilmiah” dan doktrin yang kemudian
dikenal dengan neoliberalisme.


Regulation School mengingatkan peralihan ini tidak berlangsung di balik

dinding-dinding perdebatan akademik di University of Chicago atau University of
Cambridge dan sama sekali tidak steril politik (Aglietta 1976; Lipietz 1987; lihat
juga Jessop 1990; Hoogvelt 2001). Dengan memanfaatkan skema yang
dikembangkan Karl Marx (1970; Marx and Engels 1967;1972) tentang hubungan
antara forces of production dan production relations dalam menjelaskan peralihan



Staf Pengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL Universitas Gadjah Mada.

1|Page

kapitalisme dari sebuah tipe khusus mode of production ke tipe khusus lainnya,

mazhab ini melihat apa yang tulisan ini sebut dengan disembedded liberalism
sebagai hubungan produksi baru yang tak terelakkan, mengikuti kemunculan teknik
produksi baru, yang luas dikenal sebagai posfordisme, yang dimaksudkan untuk
mengatasi stagnasi ekonomi di Eropa Barat dan Amerika Utara. Kebijakan-kebijakan
seperti penarikan subsidi, reformasi pajak dan penundaan jaminan sosial
merupakan mode of regulations baru, yang sejalan dengan mode of production yang
juga baru, bukan sekedar panduan tentang bagaimana ekonomi dikelola, tapi
merupakan upaya “mengatur” kembali—atau bahkan mendisiplinkan—kehidupan
sosial-politik agar sesuai dengan kapitalisme yang tidak lagi bertumpu pada
kerjasama dan distribusi kekuasaan yang berimbang antara kelas pekerja dan
pemilik modal.


Cara berpikir Regulation School membantu tulisan ini melihat perkembangan

neoliberalisme sebagai proses yang tidak berlangsung dalam ruang hampa politik
seperti yang dibayangkan para penganut setianya sebagai sebuah keniscayaan yang
universal, netral dan bermoral. Pertama, jika kembali pada konsep hubungan
produksi perkembangan neoliberalisme berkaitan dengan perubahan perimbangan
kekuatan kelompok-kelompok sosial yang berkepentingan dengan proses

perubahan barang dan jasa menjadi komoditi yang alat produksi dan
keuntungannya dikendalikan oleh kelompok yang tidak terlibat langsung dalam
proses produksi. Kedua, sebagai mode of regulations neoliberalisme berkenaan
dengan proses penyebaran sebuah kesadaran baru yang dimaksudkan untuk
menundukkan bentuk-bentuk perlawanan yang mungkin muncul dengan cara-cara
persuasif. Ringkasnya tulisan ini akan melihat neoliberalisme dalam konteks
pemulihan kekuasaan kelas dominan dan hegemoni ideologi yang memungkinkan
mistifikasi proses pemulihan kekuasaan tersebut.


Gelombang liberalisme ekonomi besar-besaran yang menandai era

disembedded liberalism menurut sejumlah pemimpin, politisi dan pengamat,
menjanjikan sebuah dunia yang lebih baik. Tapi dalam tiga dekade terakhir orang
tidak perlu susah-susah, misalnya, membaca kembali Marxisme, untuk sekedar
2|Page

menegaskan bahwa janji ini hanyalah sebuah kebohongan besar. Gelombang
liberalisasi di hampir seantero bumi secara ironi justru telah gagal mencapai
tujuannya sendiri, yakni gagal mendorong pertumbuhan ekonomi dunia. Selama

dekade 1960an angka rata-rata pertumbuhan global adalah 3,5 persen pertahun.
Tiga dasawarsa berikutnya tingkat pertumbuhan hanya berkisar antara 1,1 dan 1,4
persen (UNDP 1999;2003). Di sebagian besar bekas negara-negara komunis di
Eropa Timur, terapi kejut ala Dana Moneter Internasional membawa malapetaka.
Selama dasawarsa 1990an pendapatan perkapita di Rusia, misalnya, anjlok 3,5
persen setiap tahunnya. Sementara tidak ada perubahan baik yang cukup berarti
bagi Afrika, di wilayah Amerika Latin disembedded liberalism menciptakan the lost
decade of 1980s bagi sebagian negara dan pertumbuhan yang berakhir dengan
kebangkrutan bagi sebagian lainnya (Harvey 2005). Tampaknya liberalisasi
mencatat beberapa prestasi menakjubkan di wilayah Asia Timur, Asia Tenggara dan
India. Tapi bahkan di tempat yang dinilai paling dinamis ini, keberhasilan ekonomi
disebabkan oleh sejumlah praktik dan kebijakan yang melenceng dari petunjuk
baku textbook liberalisme ekonomi, terutama dalam hal peran penting negara dalam
mendorong pembangunan ekonomi dan “membina” kelas pemilik modal (Harvey
2005). Serupa dengan itu, di Swedia praktik liberalisme ekonomi setengah hati
terbukti lebih berhasil dibanding komitmen penuh yang diberikan pemerintah
Inggris. Swedia melampaui Inggris dari segi pendapatan perkapita, tingkat inflasi,
posisi neraca pembayaran, tingkat kemiskinan dan taraf hidup (Harvey 2005).



Sebaliknya, dalam kurang lebih empat dekade terakhir sejak 1960an dunia

sesungguhnya

menyaksikan

dua

perkembangan

yang

bertolakbelakang:

proletarisasi dan pemulihan dominasi borjuasi. Hampir tidak ada bedanya dengan
apa yang diungkapkan Marx sekitar dua abad yang lalu, perkembangan kapitalisme
paling kontemporer ditandai dengan keterpurukan kelas pekerja dan kejayaan kelas
pemilik modal. Berdasarkan perhitungan Bank Dunia (1995) jumlah tenaga kerja
dunia bertambah dua kali lipat dalam kurun waktu 1966-1995. Diperkirakan sekitar
3 milyar diantaranya tergolong buruh upahan yang bekerja dalam kondisi yang

buruk karena efek mekanisasi, pemotongan jam kerja, pengurangan jaminan sosial
3|Page

dan peningkatan resiko kesejahteraan. Bank Dunia (1995: 1-2) mencatat “…more
than a billion individuals living on a dollar or less a day depend…on pitifully low
returns to hard work. In many countries workers lack representation and work in
unhealthy, dangerous, or demeaning conditions.” Sejak pertengahan 1970an gerakan
buruh bukan lagi dijinakkan, tapi bahkan dilumpuhkan sama sekali (lihat Hoogvelt
2001; Harvey 2005). Upaya ini dilakukan dengan cara kasar dan keras seperti yang
dipraktikkan Augusto Pinochet, Park Chung Hee atau Soeharto; dengan manipulasi
ideologi ala Deng Xiao Ping; maupun dengan jalan demokrasi yang dilalui Margaret
Thatcher dan Ronald Reagen. Di negara-negara berkembang dan cenderung otoriter
pertumbuhan industri yang berbasiskan buruh murah memerlukan pendisiplinan
kelas pekerja yang dilakukan melalui kombinasi represi politik dan manipulasi
perwakilan kepentingan (lihat misalnya Hadiz 1997). Aparat keamanan merupakan
agen pemerintah paling penting dalam mengatasi konflik industrial dan menindak
buruh-buruh oposan. Negara-negara ini juga mengkampanyekan beberapa ideologi
baru, seperti “pembangunanisme” dan “patriotisme”, untuk menutup-nutupi praktik
kapitalisme dan eksploitasi dalam rangka menundukkan common sense para buruh.
Saksi sejarah kekalahan ini bisa ditemukan dalam berbagai peristiwa pelanggaran

HAM yang menimpa aktivis buruh seperti insiden penembakan di Kwangju atau
pembunuhan Marsinah.


Di negara-negara maju proses kekalahan buruh lebih rumit, berkaitan erat

dengan restrukturisasi akibat krisis fordisme (Hoogvelt 2001; Jessop 2002; Harvey
2005; lihat juga Scholte 2000; Sklair 2001). Disiplin fiskal dan moneterisme yang
menjadi semangat dasar reformasi ekonomi untuk mengatasi stagnasi tak lain dari
”pemindahan kekayan dari tangan orang miskin ke tangan orang kaya”. Upaya keras
menciptakan “iklim bisnis yang kondusif” misalnya harus dibaca sebagai
penggunaan sumber daya publik (yang sebelumnya diperuntukkan bagi orang
miskin) untuk membangun infrastruktur yang memadai bagi akumulasi kapital dan
menyediakan subsidi dan pemotongan pajak bagi pemilik modal. Sudah tentu
kebijakan semacam ini menuai perlawanan kelas pekerja. Tapi sebuah “kontra
revolusi” di atas berhasil melumpuhkan perlawanan tersebut. Pertama-tama
4|Page

kekuatan serikat buruh dipreteli dengan cara merevisi semua UU perburuhan agar
berpihak kepada kapital. Selain itu pemerintah-pemerintah konservatif seperti

Reagan dan Thatcher juga memanipulasi pembangunan sektor industri untuk
melemahkan posisi tawar para pekerja. Di Amerika misalnya pemindahan aktivitas
industri ke daerah atau negara lain yang tidak memiliki kelas pekerja yang
terorganisir dengan baik merupakan praktik standar deindustrialisasi kawasan
yang menjadi basis gerakan buruh. Di Inggris Thatcher membuka negaranya bagi
investasi dan kompetisi modal asing yang menamatkan riwayat sejumlah industri
dengan tradisi perlawanan buruh yang kuat. Di awal 1980an monumen kekalahan
kelas pekerja bisa dilihat dalam kemenangan Reagan atas buruh pengawas lalu
lintas udara dan keberhasilan Thatcer menundukkan perlawanan para pekerja
tambang yang melakukan protes lebih dari setahun.


Sementara pendapatan orang miskin terus menurun secara drastis, para

borjuasi merupakan penerima keuntungan paling besar dari upaya melumpuhkan
kelas pekerja yg dilakukan baik di negara maju maupun di negara berkembang.
Menurut laporan PBB sejak 1960 jumlah pendapatan dari 20 persen orang terkaya
di dunia meningkat antara 70 sampai 85 persen (lihat Harvey 2000). Sampai dekade
1990an jumlah penghasilan bersih 358 orang terkaya di dunia setara dengan jumlah
pendapatan 45 persen penduduk dunia paling miskin (lihat Harvey 2000). Di

Amerika misalnya jumlah bersih kekayaan Bill Gates diperkirakan melampuai
jumlah bersih kekayaan sekitar 40 persen penduduk negeri itu yang paling miskin.
Boleh dibilang upaya mengintegrasikan ekonomi dunia dengan liberalisasi ekonomi,
pengurangan intervensi pemerintah dan pemberlakuan pasar bebas dalam tiga
puluh tahun terakhir hanya membuka jalan bagi proses pemulihan kekuasaan kelas
pemilik modal.


Pemulihan dominasi borjuasi, uniknya, tidak mengambil jalan konvensional.

Secara historis pemiliki modal dalam ekonomi kapitalis yang sudah maju
memperkaya dirinya dengan cara memperluas kegiatan produksi yang
memungkinkannya menumpuk keuntungan baru. Imperialisme merupakan salah
satu mode of development yg ditempuh ketika proses akumulasi kapital di negara
5|Page

pusat mengalami kejenuhan dan cenderung menghasilkan penurunan keuntungan.
Sebaliknya sejak awal 1980an para pemilik modal, bahkan di negara maju
sekalipun, mulai menumpuk kekayaannya dengan cara-cara tradisional seperti
“perampasan” atau dalam bahasa yang lebih halus “redistribusi kekayaan.” David

Harvey (2005: 159-65; 2000) menggunakan istilah accumulation by dispossession
untuk menyebut proses menghasilkan keuntungan yang dilakukan dengan cara meredistribusi ketimbang memproduksi kekayaan. Istilah ini merupakan hasil
modifikasi yang dilakukan Harvey terhadap konsep akumulasi primitif yang pernah
dikembangkan Marx saat menggambarkan model-model penumpukan keuntungan
di masa-masa awal perkembangan kapitalisme. Yang tergolong dalam bentukbentuk redistribusi kekayaan, diantaranya, adalah: Komodifikasi dan privatisasi
tanah yang selalu diiringi dengan pemindahan paksa masyarakat petani; pengalihan
berbagai bentuk hak milik yang bersifat publik menjadi hak milik yang secara
eksklusif bersifat pribadi; penindasan hak-hak kolektif; komodifikasi tenaga kerja
dan pengekangan terhadap metode produksi dan konsumsi alternatif yang biasanya
disediakan masyarakat pribumi; perampasan aset melalui kekuatan-kekuatan
kolonial, neokolonial maupun imperial; moneterisasi sistem pertukaran dan
perpajakan terutama yang berkaitan dengan tanah; serta manipulasi hutang negara
dan sistem kredit untuk menumpuk kekayaan. Daftar ini bisa diperpanjang dengan
menambahkan beberapa teknik akumulasi dengan cara redistribusi kekayaaan yang
paling baru, termasuk, diantaranya, pemungutan sewa atas hak paten dan hak milik
intelektual dan penghapusan hampir semua bentuk hak milik bersama yang masih
tersisa seperti jaminan hari tua melalui sistem pensiun dan akses yang memadai
bagi pendidikan dan perawatan kesehatan.



Secara garis besar Harvey (2005: 160-65) menyebut empat bentuk

akumulasi dengan cara me-redistribusi kekayaan. Model pertama adalah privatisasi
dan komodifikasi yang bertujuan membuka lahan baru bagi akumulasi kapital yang
seringkali berakhir dengan korporatisasi sektor-sektor produksi yang sejauh ini
diterima sebagai wilayah yang seharusnya bebas dari upaya menumpuk
keuntungan. Sektor-sektor seperti fasilitas umum (air, telekomunikasi dan
6|Page

transportasi), jaminan kesejahteraan sosial (perumahan, pendidikan dan layanan
kesehatan), dan institusi publik (universitas, pusat penelitian dan penjara) menjadi
lahan bisnis baru yang mendatangkan keuntungan pribadi berlipat ganda di hampir
semua negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Bahkan aktivitas seperti
peperangan sekalipun tidak luput dari terjangan privatisasi, seperti apa yg terjadi
dengan penggunaan tentara bayaran di Irak. WTO membantu proses komodifikasi
ini lebih jauh dengan memfasilitasi kesepakatan TRIPS yang menetapkan hak milik
pribadi atas produk-produk genetik dalam bentuk hak milik intelektual. Hak ini
membenarkan pemilik modal memungut sewa dari penduduk kebanyakan yang
justru berperan paling penting dalam mengembangkan produk-produk genetik yang
dipatenkan secara sepihak oleh segelintir perusahan besar. Komodifikasi juga
berlangsung atas budaya, sejarah dan kreativitas pikiran, umumnya melalui industri
pariwisata, yang berujung pada “penjualan” sebuah masyarakat secara keseluruhan
kepada pemilik modal. Seperti biasanya, kekuasaan negara selalu digunakan untuk
memaksakan privatisasi dan komodifikasi sekalipun harus menentang kehendak
umum. Berbagai program deregulasi yang bertujuan menyudahi intervensi
pemerintah dalam mekanisme pasar harus dibaca sebagai re-regulasi untuk
menyediakan kerangka kebijakan baru yang lebih sesuai bagi korporatisasi semua
sektor kehidupan. Sokongan negara yang tak jarang dilakukan dengan cara-cara
brutal pada dasarnya mempermudah pengalihan aset dan sumber daya dari tangan
publik dan masyarakat ke dalam kantong pribadi segelintir kelompok sosial.


Model kedua adalah finansialisasi yang berkaitan dengan deregulasi (atau re-

regulasi) yang membuat sistem finansial menjadi sentra baru akumulasi
keuntungan dengan cara redistribusi kekayaan. Sejak 1980 dunia menyaksikan
gelombang finansialisasi besar-besaran di hampir seantero jagad. Dalam waktu
kurang dari dua dekade jumlah total keuntungan transaksi finansial di bursa
internasional melonjak drastis dari angka US$ 2,3 milyar di tahun 1983 menjadi US$
130 milyar di tahun 2001 (lihat Harvey 2005). Angka spektakular tersebut
dibarengi oleh menjamurnya berbagai perilaku ekonomi yg destruktif seperti
spekulasi dan berbagai teknik manipulasi lainnya yang bisa berdampak buruk
7|Page

terhadap perekonomian sebuah negara. Bagaimana sebuah redistribusi kekayaan
berlangsung dan bagaimana penumpukan keuntungan dengan cara ini membawa
efek buruk bisa dilihat dari perilaku seorang pialang di bursa saham (lihat Harvey
2005; Hoogvelt 2001). Seorang pialang “menggantungkan hidupnya” pada transaksi.
Kekayaannya merupakan akumulasi keuntungan yang ia peroleh dari komisi yang ia
dapatkan dari setiap transaksi. Karenanya setiap pialang punya kecenderungan
meningkatkan jumlah transaksi di rekeningnya (praktik yang dikenal dengan istilah
churning). Tak heran jika jumlah transaksi dan keuntungan yang tercatat dalam
sebuah pasar modal seringkali lebih mencerminkan churning ketimbang
kepercayaan pasar yang sesungguhnya. Perilaku yg semacam ini, ditambah
perekonomian yang semakin terceraikan dari sektor riil, membuat kebangkrutan
seperti yang dialami Enron mudah terjadi. Kebangkrutan Enron atau kelumpuhan
sistem moneter yang dialami beberapa negara Asia di akhir 1990an mencerminkan
kontradiksi antara para peraup keuntungan di pasar modal yang memperbanyak
kekayaannya dengan “spekulasi” di satu sisi dan orang kebanyakan yang tiba-tiba
jatuh miskin karena “ulah spekulan” di sisi lainnya.


Harvey (2005: 162) menyebut model ketiga the management and

manipulation of crisis. Apa yang dia maksudkan adalah proses pengalihan kekayaan,
umumnya dari negara-negara dunia ketiga ke negara-negara maju, dengan cara
memanfaatkan krisis hutang. Sejak awal dekade 1980an krisis hutang di suatu
negara yang hampir tidak pernah terjadi di era 1960an semakin sering terjadi.
Krisis ini menjadi langganan hampir semua negara berkembang, bahkan menjadi
penyakit yang endemik yang berpengaruh besar terhadap sejumlah proses
peralihan kekuasaan politik di Amerika Latin. Krisis hutang kemudian dirancang,
dikelola dan dikendalikan oleh lembaga-lembaga internasional seperti Dana
Moneter Internasional dan Bank Dunia untuk bukan saja mereformasi ekonomi tapi
juga yang terpenting mentransfer aset yang dimiliki negara yang dililit kesulitan ke
tangan korporasi besar. Menurut sebuah perhitungan, sejak 1980 diperkirakan
tidak kurang dari US$ 4,6 triliun telah disumbangkan oleh masyarakat di wilayah
pinggiran kepada para kreditor di negara-negara maju. Berkenaan dengan krisis
8|Page

moneter di Indonesia, Thailand dan negara-negara Asia lainnya Wade dan Veneroso
(1998: 21) mencatat “[f]inancial crisis have always caused trasnfers of ownership and
power to those who keep their own assets intact and who are in a position to create
credit, and the Asian crisis is no exception…there is no doubt that Western and
Japanese corporations are the big winners.” Keduanya menegaskan “[t]he
combination of massive devaluations, IMF-pushed financial liberalization, and IMFfacilitated recovery may even precipitate the biggest peacetime transfer of assets from
dometic to foreign owners in the past fifty years anywhere in the world…”


Model keempat adalah proses pengalihan kekayaan yang dilakukan oleh

negara sendiri. Negara, sekali mengalami proses liberalisasi, menjadi agen utama
kebijakan-kebijakan redistribusi yang mengalihkan alur perpindahan sumberdaya
dari kelas bawah ke kelas atas. Negara melakukan ini dengan cara privatisasi sektorsektor publik dan memangkas habis semua belanja negara yang memberikan
jaminan sosial kepada masyarakat kebanyakan. Harvey (2005: 164; lihat juga Jessop
2002; Swank 2003) mencatat seringkali privatisasi dikira menguntungkan kelas
bawah seperti dalam kasus privatisasi perumahan yang dilakukan rezim Margareth
Thatcher di Inggris. Mulanya semua orang begitu yakin proyek ini berpihak pada
kesejahteraan kelompok sosial pinggiran sejak ia memberi kesempatan kepada
kelompok tersebut untuk membeli rumah sendiri dengan harga yang terjangkau.
Tapi sekali privatisasi dilakukan yang bermain adalah spekulasi harga perumahan,
terutama di wilayah-wilayah perumahan yang dekat pusat perkotaan, yang
memaksa penduduk dengan penghasilan kecil terpaksa harus memilih tempat
tinggal yang semakin jauh dari tempat kerja bagi yang bernasib baik dan menjadi
gelandangan bagi yang bernasib kurang mujur. Harvey (2005: 164) menemukan hal
yang senada dalam kasus privatisasi yang dipelopori negara di Mexico dan Cina. Di
Meksiko privatisasi ejidos menghasilkan migrasi besar-besaran penduduk pedesaan
ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan. Di Cina pembaharuan wilayah
perkotaan, terutama di sekitar Beijing, mendislokasi tidak kurang dari 350.000
keluarga (atau sekitar satu juta orang). Negara juga me-redistribusi kekayaan dan
pendapatan dari tangan orang miskin ke kantong orang kaya melalui manipulasi
9|Page

sistem perpajakan. Negara, diantaranya, mengutamakan pajak atas pendapatan
ketimbang pajak atas investasi, mempromosikan elemen-lemen regresif dalam kode
pajak dan pemberian berbagai macam subsidi dan potongan pajak bagi perusahan.
Neoliberalisme merupakan basis ideologi paling penting yang memberi
legitimasi bagi kapitalisme global dalam tiga dekade terakhir yang memulihkan
kekuasaan kelas pemilik modal (lihat Sklair 2002; Harvey 2005; McEwan 1999).
Secara garis besar neoliberalisme adalah semacam pendekatan ekonomi-politik
yang memperjuangkan kesejahteraan umat manusia melalui proses pembebasan
individu dari setiap macam kekangan. Kemerdekaan individu dalam hal ini hanya
bisa dijamin melalui kerangka kelembagaan yang ditandai dengan pengakuan
terhadap hak milik pribadi, pasar bebas dan perdagangan bebas. Negara bertugas
menciptakan dan mempertahankan kerangka kelembagaan yang sesuai untuk itu.
Negara, misalnya, harus menjamin kualitas dan integritas uang dengan berbagai
fungsinya. Negara juga harus membangun sistem pertahanan, membentuk militer
dan polisi dan fungsi-fungsi terkait lainnya untuk mengamankan hak milik pribadi
dan menjamin, dengan paksa jika perlu, beroperasinya pasar secara optimal.
Selanjutnya, jika sistem pasar bebas belum terbentuk di sektor-sektor seperti
pendidikan dan kesehatan maka sistem tersebut perlu segera diadakan, bila perlu
melalui regulasi yang dibuat negara (lihat Mehmet 1995; McEwan 1999).


Menurut catatan Harvey (2005) cikal bakal neoliberalisme berkaitan dengan

terbentuknya sebuah kelompok eksklusif pada tahun 1947 yang diberi nama Mont
Pelerin Society (MPS). Diambil dari nama salah satu tempat spa di Swiss, MPS
beranggotakan pemikir, ekonom dan sejarawan seperti Milton Friedman, Ludvig
von Mises, Karl Popper dan pemikir politik asal Austria yang cukup terkemuka saat
itu, Friedrich von Hayek. Kelompok ini menyebut dirinya “liberal” karena
komitmennya untuk memperjuangkan kemerdekaan individu. Seperti yang dikutip
dalam www.montpelerin.org/aboutmps.html (Harvey 2005: 20) manifesto MPS
diantaranya menyatakan: “The central values of civilization are in danger. Over large
stretchess of the earth’s surface the essential conditions of human dignity and freedom
have already disappeared…The position of the individual and the voluntary group are
10 | P a g e

progressively undermined by extensions of arbitrary power.” MPS percaya
perkembangan ini “…have been fostered by a decline of belief in private property and
the competitive market; for without the diffused power and initiative associated with
these institutions it is difficult to imagine a society in which freedom may be effectively
preserved.” Label neoliberal yang kemudian banyak digunakan untuk menyebut MPS
dan tokoh-tokoh lain diluarnya yang bersimpati dan berafiliasi dengan gagasangagasan yang dilontarkan terutama oleh Hayek dan Friedman mencerminkan
kesetiaan ideologis kelompok eksklusif ini terhadap prinsip-prinsip pasar bebas yg
dikembangkan ekonom-ekonom neoklasik—khususnya berkat tulisan-tulisan Alfred
Marshall, William Stanley Jevons dan Leon Walras—di paruh kedua abad ke-19
untuk menggantikan teori-teori klasik versi Adam Smith, David Ricardo dan Karl
Marx. Tapi keberpihakan kepada kemerdekaan individu membuat MPS tidak
menolak begitu saja semua warisan pemikiran para teoritisi klasik. Adam Smith,
misalnya, tetap menjadi panutan penting. Idenya tentang “tangan-tangan yang tidak
kelihatan” yang menjadi basis penting beroperasinya pasar bebas diterima sebagai
mekanisme sosial paling baik dalam menggerakkan dan mengkoordinasikan
beragam insting dan perilaku manusia—termasuk bermacam tabiat paling buruk
yang pernah ada seperti nafsu memperkaya diri dan ambisi menguasai—untuk
menghasilkan kemaslahatan bersama (lihat Friedman 1982). MPS karenanya
menganggap bukan saja fasisme, komunisme dan berbagai kekuasaan diktatorial
sebagai ancaman, tapi juga segala bentuk intervensi negara yang menegasikan
kebebasan individu untuk memilih dan memutuskan atas nama kesepakatan
kolektif dan kebaikan publik. Doktrin ini selama lebih kurang dua dekade setelah PD
II digunakan untuk menentang model ekonomi Keynesian yang menekankan peran
penting negara dalam mempertahankan siklus usaha dan mengendalikan resesi.
MPS dan para neoliberal menolak intervensi negara dalam mempengaruhi investasi
dan akumulasi modal seperti yang dianjurkan John Myanard Keynes karena mereka
yakin informasi yang diperoleh negara melalui mekanisme politik—sebelum
membuat keputusan—tidak sebaik sinyal yang diperoleh pasar melalui operasi
“tangan-tangan tidak kelihatan.” Neoliberalisme percaya keputusan yang dibuat

11 | P a g e

negara cenderung bias kepentingan kelompok yang lebih kuat, sedangkan
keputusan yang dibuat pasar tidak mungkin terperangkap dalam persoalan serupa.

Hegemoni Gagasan-gagasan Neoliberal



Hayek (1978) melihat pertarungan ide sebagai kunci keberhasilan

neoliberalisme. Menurutnya diperlukan sedikitnya satu generasi sebelum
neoliberalisme benar-benar berhasil mengalahkan Marxisme, Sosialisme, model
ekonomi etatis dan model campur tangan negara ala Keynesian. Namun dalam
praktiknya, keberhasilan ideologi yang diperjuangkan MPS dan kelompok-kelompok
serupa lainnya seperti Institute of Economic Affairs di London dan Heritage
Foundation di Washington mendominasi dunia berhutang banyak pada sokongan
dana dan politik beberapa orang kaya dan pemimpin-pemimpin korporasi besar
yang berpengaruh di Inggris dan Amerika. Para borjuis ini bersedia memberi
dukungan penuh kepada siapa saja—termasuk kepada McCarthyism—sepanjang
bertentangan dengan konsensus pasca PD II yang cenderung berpihak pada model
ekonomi yang bergantung pada campur tangan pemerintah. Dominasi
neoliberalisme juga berhutang pada jasa baik elit perbankan di Swedia yang
berpengaruh besar dalam pemberian hadiah Nobel kepada Hayek di tahun 1974 dan
Friedman di tahun 1976. Hadiah Nobel itu sendiri membawa semacam aura
superioritas akademik bagi gagasan-gagasan neoliberalisme, yang diantaranya
mempermudah dan memperkuat dominasi Milton Friedman di University of
Chicago.


Tapi keberhasilan yang sesungguhnya dari neoliberalisme berkaitan dengan

kemampuannya mengkonstruksi semacam “persetujuan politik” yang berasal dari
spektrum sosial yang cukup luas yang bisa dimanfaatkan kekuatan-kekuatan politik
pendukungnya—terutama

partai-partai

konservatif

pada

mulanya—untuk

memenangkan pemilu. Persetujuan politik ini membuat neoliberalisme menjadi apa
yang disebut Gramsci (1971: 321-43) dengan common sense—yakni sense atau cara
berpikir yang diyakini umum—yang ditempa melalui proses sosialisasi budaya yang
memakan waktu lama dan seringkali ditautkan ke dalam tradisi nasional maupun
12 | P a g e

lokal. Gramsci mengingatkan common sense, bertolak belakang dengan good sense,
bisa dikonstruksikan tanpa sikap kritis terhadap persoalan hidup sehari-hari.
Neoliberalisme yang telah menjadi common sense karenanya bisa menyesatkan atau
menyamarkan persoalan sosial sesungguhnya dibalik kedok-kedok seperti
prasangka kultural dan stereotip. Nilai-nilai budaya dan tradisi seperti kepercayaan
pada Tuhan, patriotisme dan pandangan tentang posisi perempuan dalam
masyarakat dan ketakutan terhadap komunis, pendatang atau orang asing selalu
dengan mudahnya dimobilisasi untuk menutup-nutupi realitas yang sebenarnya.
Efek paling penting dari proyek hegemoni semacam ini adalah jargon-jargon
neoliberal seperti pasar bebas dan hak milik pribadi diterima sebagai sesuatu yg
perlu, dan bahkan alami, bagi proses penataan (kembali) orde sosial. Efek lainnya
adalah masalah-masalah mendasar seperti kemiskinan dan kriminalitas tidak lagi
dipandang sebagai isu politik dan dinetralkan sebagai persoalan kultural.


Penetrasi ideologi neoliberalisme melalui berbagai saluran: perusahaan,

media dan berbagai lembaga yang membentuk arena yang disebut masyarakat sipil
seperti universitas, sekolah, lembaga agama, lembaga swadaya masyarakat dan
asosiasi profesional. Yang menarik, neoliberalisme berhasil menancapkan
pengaruhnya dengan cara memanipulasi para pengkritiknya dan menggunakan
kritik-kritik yang dilontarkan terhadap dirinya sebagai basis pembenaran baru bagi
kapitalisme. Seperti yang diuraikan di atas para neoliberalis selalu menggambarkan
neoliberalisme sebagai ideologi yang berorientasi pada kemerdekaan individu. Saat
menjadi common sense gambaran ini menciptakan suasana pendapat umum yang
mendukung dan menyetujui sistem pasar bebas dan hak milik pribadi sebagai
penjamin paling baik kebebasan sipil dan hak-hak asasi manusia. Namun
sebetulnya, dalam kurang lebih empat dasawarsa terakhir kemerdekaan individu
sebagi idealisme, sebagai nilai penting yang menentukan legitimasi sebuah orde
sosial, bukan milik para neoliberalis. Idealisme ini, pada awalnya, milik para
aktivis—kebanyakan mahasiswa, seniman, intelektual, sastrawan dan filsosof—
yang turun ke jalan kota-kota besar seperti Paris, Berlin, Mexico City, Washington
dan Bangkok sejak akhir 1960an (lihat Dalton and Kuechler 1995; Harvey 2005).
13 | P a g e

Para aktivis gerakan yang kemudian dikenal dengan “Gerakan 1968” menuntut
kemerdekaan pribadi yang lebih besar dari kendali orang tua, lembaga pendidikan,
korporasi, birokrasi dan negara. Gerakan 1968 juga memperjuangkan keadilan
sosial. Para aktivis, terutama yang berlatar belakang “kiri”, melihat eksploitasi di
bidang ekonomi sama berbahayanya dengan penindasan kebebasan sipil dan hakhak politik (Gitlin 1994; Zaretski 1995). Tapi masalahnya upaya mewujudkan
keadilan sosial mensyaratkan adanya semacam solidaritas sosial dan kesediaan
mengorbankan beberapa hasrat, kebutuhan dan kepentingan yang bersifat
individual bagi sebuah tujuan bersama yang lebih besar seperti mengurangi jurang
kesenjangan sosial dan meningkatkan kelestarian lingkungan alam. Dalam tradisi
gerakan kiri dimana saja, misalnya, para aktivis sudah lama menyadari sulitnya
menempa disiplin kolektif yang diperlukan bagi sebuah aksi politik untuk mencapai
keadilan sosial tanpa sampai batas-batas tertentu mengebiri kemerdekaan inidvidu
dan pengakuan sepenuhnya atas kebebasan berekspresi setiap identitas. Mulanya
kedua jenis idealisme ini bisa dipersatukan oleh musuh bersama. Pendukung
keduanya sama-sama menganggap negara dan korporasi besar sebagai ancaman
bukan saja terhadap kemerdekaan individu tapi juga terhadap keadilan,
kesejahteraan dan lingkungan. Namun sejak awal pula bibit perpecahan sudah
nampak bahkan dalam cikal bakal Gerakan 1968 itu sendiri antara kelompok “kiri”
yang didominasi serikat buruh dan sisa-sisa partai komunis di satu sisi dan para
mahasiswa dan intelektual yang begitu terobsesi dengan kebebasan berbicara dan
berekspresi di sisi seberangnya. Neoliberalisme tidak menciptakan perpecahan ini,
tapi ikut memanipulasinya untuk kepentingan pemulihan kekuasaan kelas. Retorika
ala neoliberal yang juga menekankan arti penting kebebasan individu memiliki
kekuatan

untuk

menceraikan

libertarianisme,

politik

identitas

dan

multikulturalisme dari tema-tema keadilan sosial. Pertama-tama, neoliberalisme
memanfaatkan tuntutan kemerdekaan pribadi yang lebih besar untuk melucuti
kekuatan semua bentuk aksi kolektif—terutama negara dan serikat buruh.
Margareth Thatcher, misalnya, menolak arti penting society yang melebihi arti
penting individu dan mempertanyakan apakah society sebagai konsep dalam ilmu
sosial benar-benar ada dalam dunia empiris, sebagai bagian dari retorikanya saat
14 | P a g e

memangkas habis sisa-sisa negara kesejahteraan peninggalan model ekonomi
Keynesian di Inggris (lihat Hoogvelt 2001; Jessop 2002; Harvey 2005). Langkah
berikutnya, kebebasan sipil dan hak asasi manusia yang diperjuangkan begitu
banyak orang dalam empat dekade belakangan menjadi sumber inspirasi bagi
penciptaan sebuah kultur sosial baru yang berbasis pasar bebas dan menjamin
proses akumulasi kapital secara terus menerus. Untuk itu neoliberalisme perlu
sedikit memelintir gagasan kemerdekaan individu menjadi kebebasan setiap
konsumen untuk memilih bukan saja produk yang tersedia di pasar, tapi juga yang
lebih penting adalah kemerdekaan memilih gaya hidup, cara-cara berekspresi dan
berbagai macam praktik-praktik budaya lainnya. Proses neoliberalisasi yang
bertumpu pada upaya mendiskriminasi gagasan keadilan sosial dan menjunjung
tinggi kebebasan sipil dan hak asasi manusia ini karenanya berperan besar dalam
menghasilkan dan memanfaatkan budaya pop kontemporer di satu sisi dan begitu
lengket dengan gerakan budaya yang dikenal dengan sebutan posmodernisme di
sisi lainnya (lihat Callincios 1989; 2003).


Artinya semua gerakan politik yang terobsesi dengan gagasan kemerdekaan

individu dan memandang kebebasan sipil dan hak asasi manusia sebagai sesuatu
yang sakral mudah terjatuh ke dalam pelukan neoliberalisme. Karena itu bisa
dimengerti jika Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia dengan mudahnya bisa
menyusupi negara-negara yang sedang menjalani proses “transisi menuju
demokrasi” yang begitu mendambakan kebebasan dan keterbukaan politik. Mudah
juga dipahami bila di kebanyakan negara yang baru ditinggalkan rezim otoriter
upaya menegakkan demokrasi—konsep yang memiliki pengertian luas dengan
elemen-elemen yang bisa bertentangan satu sama lain—mengalami proses
penyempitan makna menjadi upaya memperjuangkan akuntabilitas publik,
menuntut transparansi dan membentuk good governance. Tiga konsep terakhir ini
merupakan produk cara berpikir neoliberal tentang fungsi yang sepantasnya
diemban sebuah negara dan demokrasi bagi kepentingan beroperasinya pasar
bebas dan perlindungan hak milik pribadi. Secara historis Bank Dunia, diantaranya,

15 | P a g e

merupakan salah satu badan internasional yang mengkampanyekan pentingnya
good governance.

Manipulasi Wacana Anti Kapitalisme


Bagaimana ini dijelaskan? Menurut salah satu pemikir Neomarxis

kontemporer, Luc Boltanksi, (Boltanski et al. 1991; lihat juga Callinicos 2006)
kapitalisme selalu memerlukan ideologi sebagai medium yang cenderung
nirkekerasan untuk memperlancar proses akumulasi modal. Tanpa idelogi
kapitalisme bisa tampil dalam wajah perang yang brutal. Karena itu bagi Boltanski
the spirit of capitalism seperti yang dikemukakan Weber, tapi diabaikan Marx,
berperan penting melestarikan proses penumpukan kapital dan kekuasaan kelas.
Tapi Boltanski juga mengingatkan kapitalisme bukanlah sistem yang bisa
membenarkan dirinya sendiri. Kapitalisme selalu mencari sumber pembenar dari
sistem (nilai) yang lain. Etika protestan, misalnya, merupakan contoh sistem lain
yang dimanfaatkan kapitalisme sebagai basis legitimasi. Untuk itu, menurut
Boltanski, konsep legitimasi atau ideologi (atau juga mungkin hegemoni) tidak
begitu cocok. Sebab istilah-istilah ini mudah terperangkap dalam pemilahan
Marxisme ortodoks antara base dan superstructure yang membuat ideologi dan
legitimasi sekedar sebagai bentuk kultural dominasi kelas dengan basis penindasan
sesungguhnya berada di wilayah ekonomi, dan karenanya menganggap kapitalisme
sebagai sistem yang mandiri. Sebagai gantinya ia menggunakan istilah justification.
Dengan menggunakan konsep justification Boltanski mengembangkan berbagai
corak kapitalisme yang bisa dibeda-bedakan berdasarkan “semangat kapitalisme”nya. Setidaknya ada tiga tipe kapitalism jika dilihat dari segi “semangat
kapitalisme”: kapitalisme keluarga, kapitalisme manajerial dan kapitalisme global.
Dalam kapitalisme keluarga justification terhadap proses akumulasi kapital
bersumber dari nilai-nilai konservatif tentang peran individu (biasanya laki-laki
yang dianggap kepala keluarga) yang berjuang menghidupi anak dan istrinya yang
biasanya disediakan agama-agama besar. Legitimasi model kapitalisme managerial,
di lain pihak, berkaitan erat dengan nilai-nilai kebaikan yang selalu dilekatkan
16 | P a g e

dengan sosok seorang manajer yang berkualitas. Dalam perkembangan terakhir,
menurut Boltanski, model kapitalisme global berhasil memanfaatkan wacana yang
dikembangkan para pengkritiknya sebagai sumber justification.


Bagi pengkritiknya kapitalisme selalu menimbulkan empat persoalan besar:

ketercerabutan dari akar-akar sosial, penindasan, kesengsaraan dan kesenjangan,
dan oportunisme dan egoisme. Bersandar pada dua tipe alienasi seperti yg pernah
diterangkan Marx, Boltanski membedakan antara jenis kritik “artistik” yang
bersumber dari dua persoalan pertama yang lebih memperhatikan isu kemerdekaan
individu dan kritik “sosial” yang berkaitan dengan dua persoalan terakhir yang lebih
menekankan soal keadilan sosial. Kritik artistik menyalahkan kapitalisme karena
merusak otonomi setiap individu dan kapasitas setiap orang untuk menjalani hidup
menurut pilihannya masing-masing. Kritik sosial menganggap kapitalisme sebagai
penyebab kemiskinan, ketidakadilan dan menurunnya solidaritas kolektif. Dalam
kurun waktu yang cukup lama kritik sosial mendominasi diskursus anti-kapitalisme.
Tapi sejak 1968 muncul tema-tema seperti otonomi, kreatifitas dan alienasi sebagai
kekuatan perlawanan ideologi baru yang membuka jalan bagi dominasi kritik
artistik. Mulanya kritik artistik—yang terpusat pada upaya memperjuangkan
kemerdekaan individu seperti diungkapkan di atas—menjadi milik mahasiswa,
intelektual, seniman dan kalangan terpelajar kelas menengah lainnya. Tapi
kemudian kritik model ini juga menjangkiti tempat-tempat kerja. Sementara kritik
sosial cenderung menuntut, misalnya, upah yang lebih tinggi, kritik artistik menolak
kerja itu sendiri, seperti perlawanan yang dilakukan para pekerja berusia muda
terhadap metode taylorism.


Para pemilik modal, mulanya, memahami peningkatan resistensi terhadap

kapitalisme sejak akhir 1960an dalam konteks kritik “sosial” (Calinicos 2006). Tak
heran jika reaksinya berbentuk pemberian berbagai konsesi yang bersifat material
sembari berupaya keras memulihkan kompromi buruh-majikan pasca perang ala
Keynesian. Tapi sejak pertengahan 1970an kelas dominan mulai menyadari bahwa
perlawanan tersebut harus dibaca dengan kacamata kritik “artistik.” Untuk itu
respon yang diberikan pun bergeser menjadi reorganisasi otoritas manajerial di
17 | P a g e

tempat kerja dengan slogan “fleksibilitas.” Kendali manajer perusahan diganti
dengan sistem kerja yang bertumpu pada self-control, begitu juga tanggung jawab
kolektif yang diemban perusahaan dialihkan menjadi tanggung jawab setiap pekerja
penerima upah. Akibatnya, di satu sisi, hirarki organisasi produksi berubah dari
struktur yang vertikal menjadi model manajerial yang lebih horisontal, ukuran
perusahaan berangsur-angsur diperkecil dan kerja tim sebagai unit kecil pelaku
produksi di pabrik menjadi semakin dominan (lihat Hoogvelt 2001; Jessop 2002). Di
sisi lain berkembang praktik-praktik seperti subcontracting yang praktis mengganti
model korporasi yang bersifat sentralistik dengan model jaringan kerjasama antar
perusahaan yang independen satu sama lain dan profil baru tenaga kerja yang
hidupnya tidak lagi bersandar pada perusahaan tapi semakin tergantung secara
langsung pada pasar (lihat Castells 2000; Urry 2003). Kata kunci dari perubahan ini
adalah network, yakni sebuah sistem (sosial) yang fleksibel yang memungkinkan
setiap orang bisa bekerja sama satu sama lain dengan tetap mempertahankan
identitas masing-masing. Menurut Boltanski tekanan pada network, fleksibilitas dan
identitas menujukkan apa yang ia sebut dengan the morphological homology antara
kapitalisme dan diskursus anti kapitalisme dalam dua puluh tahun terakhir. Kritik
“artistic” yang menuntut pemulihan otoritas pribadi dan hak memilih hidup
berdasarkan pilihannya sendiri telah menjadi sumber justification penting bagi
kapitalisme global untuk menciptakan sosok manusia (borjuis) baru, network man,
yang sering dikampanyekan majalah-majalah seperti Financial Times. Para aktivis
dan pemikir yang terlibat di garda paling depan dalam gerakan kritik sejak akhir
1960an, ironinya, tampil sebagai salah satu pendukung penting transformasi
kapitalisme global. Dalam dunia filosofi avant-garde, catat Boltanski, konsep
network menjadi metaphor paling popular sejak 1970an sebagai bentuk
representasi baru dari apa yang selama ini dikenal dengan masyarakat. Pemikirpemikir seperti Deleuze, Guattari dan Negri (Deleuze dan Guattari 1983; Hardt dan
Negri 2000; 2006)—juga Derrida dan Baudrillard—berkali-kali membela metaphor
ini sambil menolak konsep seperti struktur dan sistem sebagai bentuk esensialisme
yang tidak lebih dari sekedar ilusi atau sebagai ekspresi etos borjuasi.

18 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA
Aglietta, M. 1976. The Theory of Capitalist Regulation. London: Verso
Boltanski, L., Thevenot, L. and Porter, C. 1991. On Justification: Economies of
Worth. Princeton: Princeton University Press
Callinicos, A. 1989. Agianst Postmodernism: A Marxist Critique. Cambridge: Polity
Callinicos, A. 2003. An Anti-Capitalist Manifesto. Cambridge: Polity Press
Callinicos, A. 2006. The Resources of Critique. Cambridge: Polity
Castells, Manuel. 2000. The Information Age, vol. 1, The Riose of Network Society.
Oxford: Balckwell Publishers
Cox, R. 1997. Democracy in Hard Times: Economic Globalization and the Limits
of Liberal Democracy. Dalam A. McGre (ed.), The Transformation of
Democracy?. Cambridge: Polity Press
Dalton, R. and Kuechler, M. (ed.). 1990. Challenging the Political Order: New Social
and Political Movements in Western Democracies. New York: Oxford
University Press
Deleuze, G. and Guattari, F. 1983. Anti-Oedipus: Capitalism and Schizoprenia.
Minneapolis: University of Minnesota Press
Friedman, Milton. 1982. Capitalism and Freedom. Chicago: University of Chicago
Press.
Gitlin, T. 1994. From Universality to Difference: Notes on the Fragmentation of
the Idea of the Left. In C. Calhoun (ed.), Social Theory and the Politics of
Identity. Oxford, UK and Cambridge, US: Blackwell
Gramsci, A. 1971. Selections from the Priosn Notebooks. Diterjemahkan oleh Q.
Hoare dan G. Nowell Smith. London: Lawrence and Wishart
Hardt, M. and Negri, A. 2000. Empire. Cambridge: Harvard University Press
Hardt, M. and Negri, A. 2006. Multitude. London: Penguin
Harvey, D. 1989. The Condition of Postmodernity. Oxford and New Malden:
Blackwell
Harvey, D. 2000. Spaces of Hope. Edinburgh: Edinburgh University Press
Harvey, D. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press
Hayek, F. 1978. The Constitution of Liberty. Chicago: University of Chicago Press
Hoogvelt, A. 2001. Globalization and the Postcolonial World: The New Political
Economy of Development. Baltimore: John Hopkins University Press
19 | P a g e

Jessop, R. 1990. Regulation Theories in Retrospect and Prospect. Economy and
Society 19 (2): 153-216
Jessop, R. 2002. The Future of the Capitalist State. Cambridge: Polity.
Lipietz, A. 1987. Mirages and Miracles. London: Verso.
Marx, K. 1967. Capital (3 volume). New York: International Publishers
Marx, K. 1970. Preface dalam A Contribution to the Critique of Political Economy.
Moscow: Progress Publishers.
Marx, K. and Engels, F. 1967. The Communist Manifesto. Harmondsworth:
Penguin Books.
Marx, K and Engels, F. 1972. The German Ideology. In The Marx-Engels Reader,
edited by R. C. Tucker. New York: Norton
MacEwan, A. 1999. Neo-liberalism or Democracy? Economic Strategy, Markets, and Its
Alternatives for the 21st Century. London: Pluto
Mehmet, O. 1995. Westernizing the Third World: The Eurocentricity of Economic
Development Theories. London: Routledge
Scholte, J.A. 2000. Globalization: A Critical Introduction. New York: Palgrave.
Sklair, L. 2002. Capitalism and Its Alternatives. Oxford: Oxford University Press.
Swank, D. 2003. Withering Welfare? Globalisation, Political Economic Institution,
and Contemporary Welfare States. Dalam L. Weiss (ed.), States in Global
Economy: Bringing Domestic Instituion Back In. Cambridge: Cambridge
University Press.
UNDP. 1999. Human Development Report
UNDP. 2003. Human Development Report
Urry, J. 2003. Global Complexity. Cambridge: Polity
Wade, R. and Veneroso, F. 1998. The Asian Crisis: The High Debt Model versus
the Wall Street-Treasury-IMF Complex. New Left Review (228): 3-23
World Bank. 1995. World Development Report: Workers in Integrating World. New
York: World Bank
Zaretski, E. 1995. The Birth of Identity Politics in the 1960s: Psychoanalysis and
the Public/Private Division. In M. Featherstone, S. Lash and R.
Robertson (ed.), Global Modernities. London, Thousand Oaks and New
Delhi: Sage Publications

20 | P a g e